twnindonesia.info Negara Berkembang Khawatir tentang Proses Copenhagen Accord Monday, 15 February 2010 [Meena Raman – Jenewa] Beberapa negara berkembang dilaporkan menyampaikan kekhawatiran mereka tentang Copenhagen Accord atau Persetujuan Kopenhagen (berkaitan dengan perubahan iklim), dan cara sekretariat Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change -UNFCCC) atau Sekjen PBB dan Perdana Menteri Denmark menulis surat kepada mereka tentang Persetujuan tersebut. Kekhawatiran itu disampaikan dalam surat dari masing-masing negara yang dikirimkan kepada masing-masing orang tersebut. Copenhagen Accord muncul dari sebuah pertemuan 26 kepala pemerintahan yang diadakan Perdana Menteri (PM) Denmark di Kopenhagen, di luar Konferensi Para Pihak (COP) UNFCCC pada bulan Desember. Persetujuan itu disajikan pada COP dalam sidang pleno terakhir dan “dicatat” tapi tidak diadopsi, setelah beberapa negara berkembang mengkritik proses yang tidak trasnparan yang melahirkan Persetujuan tersebut. Venezuela menyampaikan rasa khawatir mengenai upaya Presiden COP Copenhagen . Pemerintah Venezuela menyampaikan pandangannya melalui surat tertanggal 14 Januari yang ditulis Menteri Luar Negerinya, Nicolas Maduro Moros, kepada Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer. Surat itu mengungkapkan rasa kekhawatiran yang mendalam tentang “kegagalan hasil dari COP Copenhagen”. Moros mengatakan bahwa Pemerintahan Denmark, yang menjadi ketua COP, bertindak sebagai juru bicara kekuatan adi daya dan “mencoba, melalui penipuan dan muslihat, untuk mendapatkan dukungan yang sebenarnya tidak ada” di saat COP Copenhagen. Ia menyatakan kekhawatiran tentang upaya “mendistorsi kehendak mayoritas saat Perwakilan Tetap Denmark, melaui nota verbal tertanggal 30 Desember, mempromosikan penerimaan atas dokumen yang hanya dicatat oleh COP, dan karena itu tidak diadopsi”. Surat Venezuela selanjutnya menyebutkan bahwa inisiatif oleh Presidensi COP Denmark ini secara serius memengaruhi sistem multilateral tetnang perubahan iklim dan “memulai sebuah preseden berbahaya yang secara serius mengubah kehendak COP dan memengaruhi netralitas serta kredibilitas Presiden COP”. Moros juga menyatakan bahwa PM Denmark, Lars Rasmussen sebagai Presiden COP tidak mempunyai mandat maupun tanggung jawab untuk mengabaikan keputusan COP15 dan mendorong agar negara menerima suatu dokumen yang tidak disepakati dalam COP. Inisiatif ini melemahkan rasa kepercayaan terhadap Presiden COP dan melemahkan transparansi yang seharusnya melandasi negosiasi multilateral, lanjutnya. "Kami merasa terpaksa harus mengingatkan sekretariat tidak mempunyai mandat untuk memfasilitasi inisiatif apapun yang dirancang untuk mendukung Copenhagen Accord yang salah arah ini, yang tidak diadopsi dalam COP dan tidak seharusnya dianggap sebagai basis bagi negosiasi untuk instrumen yang mengikat secara hukum di masa depan”, demikian bunyi surat tersebut. Pemerintah Pakistan berupaya mendapatkan klarifikasi tentang Copenhagen Accord. Perwakilan Tetap Pakistan pada PBB di New York menulis surat kepada pejabat Perwakilan Tetap Denmark, Carsten Staur, yang telah mengirimkan nota verbal tersebut tertanggal 30 Desember 2009 kepada semua negara anggota UNFCCC; surat itu mengundang mereka untuk berasosiasi dengan Copenhagen Accord. Dalam surat tertanggal 29 Januari, Perwakilan Tetap Pakistan pada PBB di New York, Duta Besar Abdullah Hussain Haroon, mengatakan bahwa Pakistan bergabung dengan konsensus untuk mencatat Copenhagen Accord dalam semangat konstruktif, “walaupun kami mempunyai keberatan agak serius tentang proses”. Surat itu mengatakan bahwa “serangkaian komunikasi, pengumuman, klaim dan klaim balik oleh berbagai Anggota dan Sekretariat (UNFCCC) telah menambah kebingungan mengenai proses, substansi dan status Persetujuan ini”. "Guna memahami Persetujuan ini dengan lebih baik, beserta implikasinya dan guna memberikan respon yang serius dan penuh pertimbangan pada undangan untuk berasosiasi dengan Persetujuan ini”, Pakistan ingin mendapatkan klarifikasi atas berbagai aspek dari Persetujuan ini. Pakistan mengajukan delapan pertanyaan, termasuk berikut ini: · Apakah panduan yang sudah ada untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi (MRV - measuring, reporting and verifying) komitmen pengurangan emisi terkuantifikasi di pihak negara maju seperti yang tertera pada paragraf 4 dari Persetujuan ini (yang berkaitan dengan mitigasi oleh negara maju)?; · Berkaitan dengan tindakan mitigasi oleh negara berkembang seperti tercantum pada paragraf 5 dari Persetujuan dimana Para Pihak perlu mengindikasikan tindakan mereka dalam Appendix II paling lambat 31 Januari 2010, Pakistan ingin tahu negara berkembang mana yang harus mengindikasikan tindakan mitigasi. Apakah semua negara berkembang yang ingin berasosiasi dengan Persetujuan diharuskan melakukan hal itu dan apakah ini termasuk baik tindakan yang diberi dukungan (dana) dan yang tidak diberi dukungan oleh negara maju?; · Apa bentuk konsultasi dan analisis internasional untuk tindakan yang tidak didukung? Siapa yang akan merumuskan panduan untuk konsultasi dan analisis internasional? Apakah ini akan berupa proses di dalam negeri?; · (Paragraf 5 dari Persetujuan menyatakan bahwa “Negara non-Annex I Parties akan mengkomunikasikan informasi tentang implementasi tindakan mereka melalui Komunikasi Nasional atau National Communications, dengan ketentuan untuk konsultasi dan analisis internasional berdasarkan panduan yang didefinisikan dengan jelas yang akan menjamin bahwa kedaulatan nasional dihormati”); · Mengingat bahwa pengukuran, pelaporan dan verifikasi (dari tindakan mitigasi yang tepat secara nasional atau NAMA - nationally appropriate mitigation actions) sesuai dengan Rencana Tindak Bali (Bali Action Plan) juga harus menerapkan penyediaan finansial dan teknologi, yang merupakan kaitan antara daftar atau registry untuk tindakan mitigasi yang didukung dan mekanisme finansial dari Konvensi?; · (Paragraf 5 dari Persetujuan juga menyatakan bahwa "tindakan mitigasi yang tepat secara nasional yang ingin mendapatkan dukungan internasional akan dicatat dalam sebuah registri berasama dengan dukungan teknologi, keuangan serta pengembangan kapasitas yang relevan "); · Surat juga menanyakan apakah pemahamannya benar bahwa penyediaan dana dan teknologi akan bersifat otomatis untuk mendukung tindakan yang dicatat dalam registry; · Apa yang dimaksud dengan “pengaturan dana yang efektif dan efisien” untuk menyalurkan dana bagi adaptasi yang tercantum pada paragraf 8 dari Persetujuan? · Apakah ada definisi tentang “negara yang paling rentan”? (Paragraf 8 dari Persetujuan menyebutkan bahwa “Dana untuk adaptasi akan diprioritaskan bagi negara-negara berkembang yang paling rentah, seperti negara yang paling kurang berkembang, negara kepulauan kecil dan Africa"); · Karena mobilisasi 100 http://twnindonesia.info/ Powered by Joomla! Generated: 1 November, 2017, 02:20 twnindonesia.info miliar dolar adalah dalam konteks tindakan mitigasi yang berarti dan transparansi implementasi, apakah itu berarti bahwa pendanaan untuk tindakan adaptasi selama periode ini (2012-2020) akan merupakan tambahan dari 100 miliar dolar? (Paragraf 8 dari Copenhagen Acccord juga menyatakan bahwa “dalam konteks untuk aksi mitigasi dan transparansi dalam implementasi, negara-negara maju berkomitmen pada tujuan dengan secara bersama memobilisasi 100 miliar dolar per tahun pada 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara-negara berkembang”); Pakistan mengatakan bahwa klarifikasi mengenai hal-hal di atas akan “memungkinkan negara seperti Pakistan untuk mempertimbangkan permintaan agar berasosiasi dengan Persetujuan ini”. Menurut laporan pers dari New Delhi, Perdana Menteri India Dr Manmohan Singh juga menulis surat ke Sekjen PBB Ban Ki-Moon, yang menyatakan keberatan atas beberapa bagian dari surat yang ditulis bersama oleh Sekjen dan Perdana Menteri Denmark kepada kepala pemerintahan 26 negara yang berpartisipasi dalam pertemuan kecil di Copenhagen. Surat bersama oleh Ban KiMoon dan Rasmussen mengandung sebuah paragraf yang menyatakan bahwa Persetujuan ini akan “menjadi langkah pertama yang esensial dalam suatu proses yang mengarah pada perjanjian iklim internasional yang kuat”. Respon Perdana Menteri India adalah menolak premis dari surat Rasmussen-Ban dan menekankan bahwa ini bukanlah pemahaman negara-negara anggota BASIC (BASIC adalah aliansi informal Brazil, South Africa atau Afrika Selatan, India, and China) di Kopenhagen. Menurut sumber diplomatik, pemerintah Arab Saudi juga telah menulis surat kepada Sekretaris Eksekutif UNFCCC mempertanyakan peran Sekretariat dalam meminta negara anggota untuk memberitahu Sekretariat apakah mereka ingin “berasosiasi” dengan Persetujuan ini. Karena Persetujuan ini bukanlah sebuah dokumen yang dihasilkan melalui suatu proses UNFCCC, Arab Saudi merasa bahwa tidak tepat bila Sekretariat mengambil peran ini, kata sumber tersebut. Kuba juga telah menulis surat senada kepada Sekretaris Eksekutif UNFCCC. (Sumber: TWN Info service on Climate Change 5 Februari 2010 berjudul Developing countries express concerns about Accord process, diterbitkan pertama kali dalam SUNS #6856, 4 Februari 2010. Info lain bisa dilihat www.twnside.org.sg) http://twnindonesia.info/ Powered by Joomla! Generated: 1 November, 2017, 02:20