(Rasmun, 2004) mendefinisikan stres adalah respon tu

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Stres
2.1.1
Pengertian Stres
Selye, et al (Rasmun, 2004) mendefinisikan stres adalah respon tubuh yang
tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena
universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari,
setiap orang mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada individu
yaitu terhadap fisik, psikologis, itelektual, social, dan spiritual, stres dapat
mengancam keseimbangan fisiologis. Defenisi lain menyebutkan bahwa stres
adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan
fisik dan psikis pada seseorang (Isaacs, 2004).
Stres menurut Vincent Cornelli, seorang psikolog ternama, merupakan
suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
tuntutan kehidupan; serta dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan
individu dalam lingkungan tersebut.Secara spesifik Richard Lazarus, menganggap
stres sebagai sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan (gap) antara
realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan
kemampuan, antara peluang dan potensi (Setiono dkk, 1998).
Pada dasarnya stres merupakan gejala harian yang wajar dan pasti dialami
setiap orang. Stres bukan sesuatu yang harus disembunyikan, tetapi seperti halnya
tantangan yang lain, stres harus dihadapi(Setiono dkk, 1998).
2.1.2
Penyebab / Sumber Stres
Penyebab timbulnya stres disebut juga dengan stresor. Stres terjadi karena
stresor dipersepsikan oleh idividu sebagai suatu ancaman sehingga menimbulkan
kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik
dan psikologis (Rasmun, 2004).
Faktor-faktor penyebab stres antara lain (Setiono dkk, 1998):
1.
Kerja/ belajar/ tugas-tugas rumah tangga.
Cenderung tidak punya waktu, terlalu banyak atau sedikit yang harus
dilakukan, terlalu banyak tugas dan terlalu sedikit pengendalian, tidak
mendapatkan ucapan terimakasih atau dihargai, tidak menyukai atasan, bawahan
ataupun rekan kerja, tidak mempunyai cukup keterampilan untuk menyelesaikan
pekerjaan, kurang tantangan atau kebanyakan, tidak ada tujuan dari apa yang
dilakukan, menyangsikan apakah sesuatu yang dijalani merupakan keinginan,
terpaku pada pola perfeksionis, yang berlebihan dan kaku.
2.
Keluarga
Merasa tidak punya keluarga dekat, merasa keluarga menyita banyak
waktu, terlalu banyak tanggungan keluarga, jarang memiliki suasana kebersamaan
keluarga, anggota keluarga sakit, lokasi tinggal tidak ideal, kekerasan mewarnai
keluarga, keuangan keluarga memprihatinkan, kekhawatiran terhadap keluarga.
3.
Masyarakat/ teman/ komunitas
Tidak cukup banyak teman, kurang bergaul dan sosialisasi, tidak memiliki
teman dekat yang dapat dipercaya dan tempat curhat).
4.
Karakter personal/ kepribadian
Tipe selalu gelisah; tertekan, khawatir dan merasa tidak aman/ terancam,
tidak melatih dan mengelola diri secara teratur, merasa tidak memiliki kondisi
fisik dan kejiwaan yang baik, sulit tertawa dan kurang rasa humor, tidak menyukai
diri sendiri, kurang keseimbangan diri, cenderung agak sinis, pesimis, dan
menginginkan yang terburuk, sulit termotivasi dan sebagainya.
Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh (Rasmun,
2004) berupa:
a.
Stresor Biologik, misalnya; mikroba, hewan, binatang, berbagai
macam
tumbuhan
dan
makhluk
hidup
lainnya
yang
dapat
mempengaruhi kesehatan sehingga dipersepsikan dapat mengancam
konsep diri individu.
b.
Stresor fisik, misalnya; perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografi
(letak tempat tinggal, domisili), demografi (jumlah anggota dalam
keluarga, nutrisi, radiasi, kepadatan penduduk, imigrasi), kebisingan,
dan lain-lain.
c.
Stresor Kimia; dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan
glukosa sedangkan dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan,
pemakaian alcohol, nikotin, cafein, polusi udara, gas beracun,
insektisida, pencemaran lingkungan, bahan-bahan kosmetik, bahanbahan pengawet, pewarna, dan lain-lain.
d.
Stresor Sosial Psikologik, yaitu labeling (penamaan) dan prasangka,
ketidakpuasan terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya, perkosaan),
konflik peran, percaya diri yang rendah, perubahan ekonomi, emosi
yang negative, dan kehamilan.
e.
Stresor Spiritual; yaitu adanya persepsi negative terhadap nilai-nilai
ke-Tuhan-an.
Tidak semua bentuk stres itu mempunyai konotasi negatif, cukup banyak
yang bersifat positif, misalnya promosi jabatan. Jabatan yang lebih tinggi
memerlukan tanggung jawab yang lebih berat yang merupakan tantangan bagi
yang bersangkutan. Bila ia sanggup menjalankan tugas jabatan yang baru ini
dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental serta mrasa senang,
maka ia dikatakan tidak mengalami stres melainkan disebut eustres(Suliswati et
al, 2005).
2.1.3
Tanda-tanda Stres
Menurut Davis dan Nelson (dikutip dari Agoes, 2003), ada beberapa tanda
atau gejala umum yang menunjukkan seseorang mengalami stres yaitu: khawatir,
cemas dan gelisah, merasa ketakutan, mudah marah, suka murung dan tidak
mampu menangulangi masalah yang dihadapi. Tanda-tanda stres yang meliputi
pikiran yaitu: emosi tidak stabil dan takut gagal. Perilaku orang yang mengalami
stres yaitu: jika berbicara gagap atau gugup, menangis tanpa alasan, tidak mampu
rileks, mudah terkejut dan sulit bekerjasama, kehilangan nafsu makan atau makan
berlebih-lebihan, dan merokok meningkat. Adapun keluhan-keluhan secara fisik
seperti: berkeringat, mulut dan kerongkongan terasa kering, kepala, leher, dan
punggung terasa sakit.
2.1.4
Tingkatan Stres
Potter (2005), membagi stress menjadi 3 tingkatan besar:
1.
Stres Ringan, stresor yang dialami setiap orang teratur seperti terlalu
banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi seperti
ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam. Stres ringan
biasanya tidak menyebabkan kerusakan fisiologis kronis, namun jika
stresor ringan yang banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan
resiko penyakit.
2.
Stres Sedang, berlangsung lebih lama, dari beberapa jam sampai
beberapa hari. Misalnya, perselisihan yang tidak terselesaikan dengan
rekan kerja, anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari
anggota keluarga. Stres sedang dan berat dapat menimbulkan resiko
penyakit medis atau memburuknya penyakit kronis.
3.
Stres Berat, situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawinan terus
menerus, kesulitan financial yang berkepanjangan, dan penyakit fisik
jangka panjang. Semakin sering dan semakin lama situasi stres, makin
tinggi resiko penyakit yang ditimbulkan.
Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena
perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana
tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik
di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert J.
an Amberg (1979) dalam penelitiannya terdapat dalam Sriati (2008) membagi
tahapan-tahapan stres sebagai berikut :
1.
Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut: semangat bekerja besar,
berlebihan (over acting); penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya; merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari
cadangan energi semakin menipis.
2.
Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”
sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul
keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup
sepanjang hari, karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang
dimaksud antara lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau
memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhankeluhan yang
sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai
berikut: merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar; merasa
mudah lelah sesudah makan siang; lekas merasa capai menjelang sore hari; sering
mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort); detakan jantung lebih
keras dari biasanya (berdebar-debar); otot-otot punggung dan tengkuk terasa
tegang; tidak bisa santai.
3.
Stres Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan
keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu: gangguan lambung
dan usus semakin nyata; misalnya keluhan “maag”(gastritis), buang air besar tidak
teratur (diare); ketegangan otot-otot semakin terasa; perasaan ketidaktenangan dan
ketegangan emosional semakin meningkat; gangguan pola tidur (insomnia),
misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah
malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau
dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia); koordinasi tubuh
terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini
seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau
bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan
untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.
4.
Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul: untuk bertahan sepanjang hari saja
sudah terasa amat sulit; aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan
mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit; yang semula
tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara
memadai (adequate); ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin seharihari; gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan;
Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan;
daya konsentrasi daya ingat menurun; timbul perasaan ketakutan dan kecemasan
yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.
5.
Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V,
yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: kelelahan fisik dan mental yang
semakin mendalam (physical dan psychological exhaustion); ketidakmampuan
untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana; gangguan
sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder); timbul perasaan
ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
6.
Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan
panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami
stres tahap VI ini berulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU,
meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ
tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut: debaran jantung
teramat keras; susah bernapas (sesak dan megap-megap); sekujur badan terasa
gemetar, dingin dan keringat bercucuran; ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang
ringan; pingsan atau kolaps (collapse). Bila dikaji maka keluhan atau gejala
sebagaimana digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik
yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat
stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
2.1.5
Respon Tubuh terhadap Stres
Sindrom Adaptasi Umum, atau teori Selye, menggambarkan stres sebagai
kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa memedulikan apakah penyebab stres
tersebut positif atau negatif. Respon tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan
stressor atau penyebab tertentu (Isaacs, 2004; Suliswati, 2005).
a.
Reaksi Alarm
Reaksi ini terjadi ketika sistem saraf simpatik dan sistem endokrin bereaksi
terhadap stres. Pada tahap ini dapat terlihat reaksi psikologis “fight or flight
syndrome” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik yang akan muncul adalah curah
jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal
mengalir ke kapala dan ekstremitas. Karenanya banyak organ tubuh yang
terpengaruh, maka gejala stres akan memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot,.
Pada saat yang sama daya tahan tubuh berkurang, dan bahkan bila stresor sangat
besar dan kuat (mis. Luka bakar hebat, suhu yang terlalu panas/ dingin), dapat
menimbulkan kematian.
b.
Tahap Resistensi
Merupakan respons adaptif yang berusaha membatasi kerusakan akibat
stres. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang telah dipengaruhi
selama reaksi waspada/ alarm untuk sedapat mungkin kembali kekeadaan normal
dan pada waktu yang sama pula tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab
stres. Apabila proses fisiologis teratasi maka gejala-gejala stres akan menurun dan
tubuh berusaha normal kembali. Jika stresor berjalan terus dan tidak dapat diatasi
maka ketahanan tubuh untuk beradaptasi akan habis dan individu tidak akan
sembuh.
c.
Tahap Kelelahan
Adalah ketika kekuatan fisiologik dan psikologik telah terkuras dan sistem
kekebalan menjadi terdepresi. Tahap ini timbul kembali tanda-tanda waspada
namun bersifat irreversible, dan individu akan meninggal.
Respon terhadap segala bentuk stresor bergantung kepada fungsi
fisiologis, kepribadian dan karakteristik perilaku, seperti juga halnya sifat dari
stresor tersebut. Sifat stresor mencakup faktor intensitas (minimal, sedang, berat),
cakupan (terbatas, sedang, luas), durasi, dan jumlah stresor. Setiap faktor
mempengaruhi respon terhadap stressor (Potter, 2005). Rasmun (2004)
menjelaskan sifat stresor seperti berikut:
1.
Bagaimana individu mempersepsikan stresor
Artinya jika stresor akan dipersepsikan akan berakibat buruk bagi dirinya
maka tingkat stres yang dirasakan akan berat, namun sebaliknya jika stresor
dipersepsikan tidak mengancam dan individu merasa mampu mengatasinya maka
tingkat stres yang dirasakan akan lebih ringan.
2.
Bagaimana intensitasnya terhadap stimulus
Artinya bagaimana tingkat intensitas serangan stres terhadap individu, jika
intensitas serangan stres tinggi maka kemungkinan kekuatan fisik dan mental
tidak mampu mengadaptasinya, demikian juga sebaliknya.
3.
Jumlah stresor yang harus dihadapi pada waktu yang sama
Artinya pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang
dihadapi, sehingga stresor kecil dapat menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi
yang berlebihan. Sering ditemukan seseorang yang sering dapat menyelesaikan
masalah pekerjaan yang sangat sederhana dengan baik, namun tiba-tiba ia tidak
dapat mengerjakannya, ini diakibatkan pada saat yang sama ia menghadapi
banyak stresor.
4.
Lamanya pemaparan stresor
Memanjangnya stresor dapat menyebabkan menurunnya kemampuan
individu mengatasi stres karena individu telah berada pada fase kelelahan,
individu sudah kehabisan tenaga untuk menghadapi stresor tersebut.
5.
Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam
menghadapi stresor yang sama. Individu yang pernah mengalami pengalaman
negatif maka saat kembali menghadapi hal yang sama individu akan cemas.
6.
Tingkat perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor
yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tiap tingkat perkembangan
akan berbeda. Berikut akan diuraikan stresor pada tiap tingkat perkembangan,
yaitu:
a.
Anak
Stresor pada masa ini yaitu: menyelesaikan konflik antara mandiri dan
ketergantungan, mulai sekolah, membina hubungan dan menyesuaikan diri
dengan teman sebaya, koping terhadap kompetisi dengan teman.
b.
Remaja
Stresor
pada
masa
remaja
yaitu:
menerima
perubahan
tubuh,
menghubungkan hubungan heteroseksual dan orang lain, mandiri, memilih karier
untuk masa depan.
c.
Dewasa muda
Stresor pada masa dewasa muda yaitu: menikah, meninggalkan rumah,
mengelola rumah tangga sendiri, mulai bekerja, melanjutkan pendidikan,
membesarkan anak.
d.
Dewasa pertengahan
Stresor pada masa dewasa pertengahan yaitu: menerima proses menua,
mempertahankan status sosial dan standar kehidupan, membantu remaja menjadi
mandiri, menyesuiakan diri menjadi nenek/ kakek.
e.
Dewasa tua (lansia)
Stresor pada masa lansia yaitu: menerima penurunan kemampuan dan
kesehatan fisik, menerima perubahan tempat tinggal, menyesuaikan diri dengan
masa pension dan penurunan pendapatan, penyesuaian diri dengan kematian
pasangan dan teman.
2.1.6
Stres Keluarga
Agen-agen pencetus yang mengaktifkan stres dalam keluarga adalah
kejadian-kejadian yang cukup serius yang menimbulkan perubahan-perubahan
dalam sistem keluarga (Hill dalam Friedman, 1998). Stres dalam keluarga
bersumber dari masalah keluarga ditandai dengan adanya perselisihan masalah
keluarga, masalah keuangan serta adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga
dimana permasalahan ini akan selalu menimbulkan keadaan yang dinamakan stres
(Hidayat, 2004).
Minuchin dalam Friedmen (1998) menyebutkan ada 4 sumber dasar stres
keluarga, yaitu:
1.
Kontak penuh stres dari seorang anggota keluarga dengan kekuatan di
luar keluarga. Ketika seorang anggota keluarga dibuat stres oleh
stresor-stresor, anggota keluarga merasa perlu menyesuaikan situasi
yang berubah.
2.
Kontak penuh stres seluruh keluarga
dengan kekuatan di luar
keluarga. Kesulitan- kesulitan ekonomi seperti kemiskinan dan
diskriminasi
merupakan
dua
kekuatan
mengancam
yang
menegangkan.
3.
Stresor tradisional. Masalah-masalah transisi yang terjadi dalam
beberapa situasi yang paling sering terjadi adalah perubahan
perkembangan keluarga dan anggota keluarga alami dan perubahan
normative yang terjadi dalam komposisi keluarga.
4.
Stresor situasional. Tipe-tipe stresor ini berkaitan dengan masalah
yang unik, normatif, dan idiosinkratik yang dialami oleh kelurga,
seperti masalah-masalah penularan dan merawat salah satu orang tua
di rumah sakit, berakibat pada seluruh keluarga.
2.2
Konsep Koping
2.2.1
Pengertian Koping
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan
situasi stresful. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang
mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Koping diartikan sebagai usaha
perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stres yang
dihadapi (Rasmun, 2004).
2.2.2
Macam-macam Koping
Dibawah ini akan dijelaskan 2 macam koping yaitu koping psikologis dan
psiko-sosial(Rasmun, 2004).
a.
Koping Psikologis
Pada umumnya gejala yang timbul bergantung pada 2 faktor yaitu persepsi
atau penerimaan individu terhadap stresor dan keefektifan strategi koping yag
digunakan individu. Jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan
adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jka
sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis.
b.
Koping Psiko-sosial
Adalah reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima
atau dihadapi. Mneurut Stuart dan Sundeen (1991), terdapat 2 kategori koping
yang digunakan untuk mengatasi stres dan kecemasan yaitu: reaksi yang
berorientasi pada tugas (menyerang, menarik diri, dan kompromi) yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik, dan memenuhi kebutuhan
dasar; reaksi yang berorientasi pada ego yang bekerja secara tidak sadar dalam
waktu sesaat (kompensasi, mengingkari, mengalihkan, disosiasi, identifikasi,
intelektualisasi, introyeksi, proyeksi rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, represi,
splitting, supresi, undoing, dan sublimasi).
a.
Kompensasi; kelemahan yang ada pada dirinya ditutupi dengan
menngkatkan kemampuan di
bidang lain untuk mengurangi
kecemasan.
b.
Mengingkari; perilaku menolak realita yang terjadi pada dirinya,
dengan beusaha mengatakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
c.
Mengalihkan; mengalihkan emosi yang diarahkan pada benda/ objek
yang kurang/ tidak berbahaya.
d.
Disosiasi; kehilangan kemampuan mengingat peristiwa yang terjadi
pada dirinya.
e.
Identifikasi; individu menyamakan dirinya dengan bintang pujaannya
dengan meniru pikiran, penampilan, perilaku, atau kesukaannya.
f.
Intelektualisasi; alas an atau logika yang berebihan untuk menekan
perasaan yang tidak menyenangkan.
g.
Introyeksi; perilaku dimana individu menyatuka nilai orang lain atau
kelompok ke dalam dirinya.
h.
Proyeksi; keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi
kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
i.
Rasionalisasi; memberikan alasan yang dapat diterima secara social,
yang tampaknya masuk akal untuk membenarkan kesalahan dirinya.
j.
Reaksi Formasi; pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang
berlawanan
dengan
apa
yang
benar-benar
dirasakan
atau
dilakukanoleh orang lain.
k.
Regresi; menghindari stres, kecemasan dengan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perkembangan anak.
l.
Represi; menekan perasaan/ pengalaman yang menyakitkan atau
konflik atau ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat
mekanisme ego lainnya.
m. Spliting; kegagalan individu dalam mengintegrasikan dirinya dalam
menilai baik-buruk yang memandang seseorang semuanya baiksemuanya buruk yang tidak konsisten.
n.
Supresi; menekan perasaan/ pemgalaman yang menyakitkan kealam
tak sadar sampai ia melupakan peristiwa yang menyakitkan itu.
o.
Undoing; bertindak atau berkomunikasi yang sebagian diingkarinya
sebgaimana yang pernah dikomunikasikannya sebelumnya.
p.
Sublimasi; penenrimaan tujuan pengganti yang diterima secara social
karena dorongan yang merupakan saluran normal dari ekspresi yang
terhambat.
2.2.3
Metode koping
Bell (1977) dalam Rasmun(2004) menyebutkan 2 metode koping individu
dalam mengatasi masalah psikologis yaitu:
a.
Metode Koping jangka Panjang
Merupakan cara konstruktif sehingga dinilai efektif dan realistis dalam
menangani masalah psikologis untuk kurun wakktu yang lama misalnya berbicara
dengan orang lain tentang masalah yang dihadapi, mencari informasi lebih banyak
tentang masalah yang dihadapi, memghubungkan masalah dengan kekuatan
supranatural, latihan fisik, membuat berbagao alternative tindakan untuk
mengurangi masalah, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa
lalu.
b.
Metode Koping Jangka Pendek
Cara ini digunakan untuk mengurangi stress psikologis dan cukup efektif
untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif digunakan untuk waktu jangka panjang
misalnya menggunakan alcohol atau obat-obatan, melamun dan fantasi, mencoba
melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, yakin bahwa semua
akan kembali stabil, banyak tidur, banyak merokok, menangis, beralih pada
aktifitas lain agar melupakan masalah.
2.2.4
Respon Koping
Menurut Stuart (2006), respon koping dapat digolongkan dalam 2 bagian
yaitu:
1.
Koping Adaptif
Koping adaptif merupakan mekanisme koping yang mendukung integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan sehingga seseorang secara berulang
memproyeksikan evaluasi diri dan bertahan terhadap ancaman-ancaman dasar
yang dirasakan.
2.
Koping Maladaptif
Koping maladaptive merupakan koping yang menghambat fungsi
integrasi, pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung mengasai. Koping
maladaptif menunjukkan respon kelainan atau kerusakan perilaku adaptif dan
ketidakmampuan memecahkan masalah pada diri seseorang dalam memenuhi
kebutuhan dan tuntutan dalam kehhidupan.
2.2.5
Koping Keluarga
Keluarga yang sehat dan fungsional cenderung bertindak dalam suatu arah
yang dapat mengurangi stres (Friedmen, 1998). Tipe strategi koping keluarga ada
2 yaitu:
1.
Internal atau intrafamilial (dalam keluarga inti)
Strategi koping keluarga internal meliputi : mengandalkan kelompok
keluarga, penggunaan humor, lebih banyak menggunakan pengungkapan bersama,
mengontrol makna dari masalah dan penyusunan kembali kognitif, pemecahan
masalah secara bersama-sama, fleksibilitas peran, dan normalisasi.
2.
Eksternal atau ekstrafamilial (diluar keluarga inti).
Strategi koping keluarga eksternal meliputi : mencari informasi,
memelihara hubungan aktif dengan komunitas yang lebih luas, mengupayakan
dukungan social,dan mencari dukungan spiritual (Friedmen, 1998).
Koping keluarga yang digunakan dalam menghadapi masalah menurut
Mc.Cubbin adalah mencari dukungan social, menggunakan pengalaman masa lalu
untuk mengurangi stres, mencari dukungan spiritual, penilaian secara pasif
terhadap peristiwa yang dialami dengan cara menonton tv, atau diam saja
(Rasmun, 2004).
2.3
Konsep Keluarga
2.3.1
Pengertian Keluarga
Keluarga dapat didefinisikan secara biologis, secara hokum, atau sebagai
jaringan social dengan ikatan konstruktif secara personal dan ideologis. Keluarga
sering digambarkan dalam model tipe Norman Rockwell: dengan orang dewasa
dan anak-anak tinggal bersama dalam lingkungan yang selaras. Keluarga terdiri
dari berbagai macam jenis bergantung pada individu yang membentuk keluarga
(Potter,2005). Hawley (dikutip dari Sitono, 1998), merumuskan keluarga sebagai
kelompok kecil individu dalam keterkaitan darah, berbeda dalam jenis kelamin
dan umur sebagai akibat hubungan fisik yang erat, tinggal disatu tempat dan
mempunyai kegiatan untuk mempertahankan kehidupan bersama.
Karekteristik keluarga menurut Setyowati (2008) yaitu terdiri dari dua atau
lebih individu yang diikat oleh hubungan perkawinan atau adopsi; hidup bersama
atau jika terpisah tetap memperhatikan satu sama lain; saling berinteraksi dan
masing-masing mempunyai peran social suami, istri, anak, kakak,adik; dan
mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan
perkembangan fisik, psikologis, dan social anggota.
2.3.2
Bentuk Keluarga
Potter (2005) menyatakan Bentuk keluarga merupakan pola manusia yang
disadari oleh anggota keluarga untuk dimasukkan ke dalam keluarga. Bentuk
keluarga inti sebagai unit terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak; keluarga besar
terdiri dari kelurga inti ditambah kerabat (bibi, paman, kakek, nenek, dan sepupu);
kelurga dengan orang tua tunggal; keluarga campuran (pernikahan kembali); dan
pola alternative hubungan seperti kelurga “skip generation” (kakek/nenek yang
mengasuh cucu).
2.3.3
Fungsi Keluarga
Friedmann dalam setyowati (2008) menyatakan terdapat 5 fungsi dasar
keluarga, yaitu fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial,
fungsi sosialisasi dimana keluarga merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi, fungsi reproduksi berfungsi untuk meneruskan keturunan dan
menambah sumber daya manusia, fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga
untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, dan fungsi perawatan
kesehatan untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan yaitu untuk mencegah
terjadinya gangguan kesehatan dan merawat anggota keluarga yang sakit.
2.3.4
Keluarga dalam Pelayanan Kesehatan
Doherty dan Campbell dalam Setiono (1998) mengembangkan konsep
lingkaran kesehatan keluarga dan penyakit yang dapat dipakai dengan difokuskan
pada pengalaman keluarga menghadapi penyakit. Reaksi penyakit paling mudah
diteliti pada penyakit khronis dan degeneratif. WHO menulis bahwa keluarga
sebagai primary social agent dalam promosi kesehatan atau penelitian-penelitian
keluarga/ kesehatan sangat dipengaruhi perilaku kesehatan dan pendekatan
melalui keluarga (family center approach) merupakan cara yang paling efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan kesehatan untuk semua orang (health for all) pada
tahun 2000 (Setiono dkk, 1998).
Sebagai klien yang bersifat keluarga, manusia diartikan sebagai
sekelompok individu atau kumpulan dari individu yang saling berhubungan dan
berinteraksi satu dengan yang lain dalam lingkungan sendiri atau masyarakat,
sehingga dalam memberikan perawatan selalu memandang aspek keluarga karena
melalui keluarga ini akan dapat diketahui faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan agar tujuan perawatan dalam rangka membantu meningkatkan
kemampuan keluarga untuk mampu menyelesaikan masalah (tugas) kesehatan
secara mandiri (Hidayat, 2004).
2.4
Konsep Sehat dan Sakit
2.4.1
Pengertian Sehat dan Sakit
Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit
akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek
fisik, emosi, sosial dan spiritual (Potter, 2005). Menurut WHO (1947) Sehat itu
sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik,
mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Sakit adalah suatu keadaan dimana fungsi fisik, emosional, inetelektual,
sosial, perkembangan , atau spiritual seseorang berkurang atau terganggu bila
dibandingkan kondisi sebelumnya (Potter, 2005).
Status kesehatan bersifat dinamis dan selalu berubah setiap waktu
sehingga diperlukan alat ukur untuk menilai status kesehatan yang digambarkan
sebagai berikut:
Sejahtera
2.4.2
sehat
sehat
sekali
normal
setengah
sakit
sakit
sakit
mati
kronis
Perilaku Sakit
Seseorang yang sedang sakit pada umumnya mempunyai perilaku yang
menurut istilah sosiologi kedokteran disebut perilaku sakit. Perilaku sakit
mencakup
cara
seseorang
memantau
tubuhnya,
mendefinisikan
dan
menginterpretasikan gejala yang dialaminya,melakukan upaya penyembuhan, dan
menggunakan system pelayanan kesehatan (Mechanic dalam Potter, 2005). Jika
individu merasa dirinya sakit, maka perilaku sakit dapat berfungsi sebagai
mekanisme koping (Potter,2005).
Variable yang mempengaruhi perilaku sakit dapat dibagi menjadi 2
(Potter,2005) yaitu: variable internal dan eksternal. Variable internal antara lain
persepsi terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami. Variable eksternal terdiri
dari gejala yang dapat dilihat, kelompok social, latar belakang budaya, variable
ekonomi, kemudahan akses ke dalam system pelayanan kesehatan, dan dukungan
social.
Adapun perilaku yang terjadi selama sakit antara lain: adanya perasaan
ketakutan, menarik diri, egosentris, sensitif terhadap persoalan sakit, reaksi
emosional tinggi, perubahan persepsi, dan berkurangnya minat (Hidayat, 2004).
2.4.3
Dampak Sakit
Dampak sakit dapat terjadi pada individu yang telah mengalami sakit baik
yang dirawat di rumah maupun dirawat di rumah sakit. Dampak tersebut dapat
terjadi pada individu, keluarga, atau masyarakat. Dampak-dampak tersebut antara
lain: terjadi perubahan peran pada keluarga, terjadinya gangguan psikologis,
masalah keuangan, kesepian akibat perpisahan, terjadinya perubahan kebiasaan
social, terganggunya privasi seseorang, otonomi akibat pasien selalu memiliki
ketergantungan, dan terjadinya perubahan gaya hidup (Hidayat, 2004).
2.4.4
Tahapan Proses Sakit
Adapun tahapan proses sakit menurut Hidayat (2004) adalah seperti
berikut:
1.
Tahap gejala
Merupakan tahap awal seseorang mengalami proses sakit dengan ditandai
adanya perasaan tidak nyaman terhadap dirinya karena timbulnya suatu gejala
yang dapat meliputigejala fisik seperti adanya perasaan nyeri, panas, dan lain-lain
sebagai manifestasi terjadinya ketidakseimbangan dalam tubuh. Setiap gejala
timbul sebagai manifestasi fisik.
2.
Tahap asumsi terhadap sakit
Pada tahap ini seseorang akan melakukan interpretasi terhadap sakit yang
dialaminya dan akan merasakan keragu-raguan pada kelainan atau gangguan yang
dirasakan pada tubuhnya sehingga akan timbul respon dalam bentuk emosi seperti
merasakan kecemasan atau ketakutan.
3.
Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan
Tahapan ini seseorang telah mengadakan hubungan dengan pelayanan
kesehatan dengan meminta nasehat dari profesi kesehatan seperti dokter, perawat
atau lainnya.
4.
Tahap ketergantungan
Tahapan ini terjadi setelah seseorang dianggap mengalami suatu penyakit
yang tentunya akan mendapatkan bantuan pengobatan sehingga kondisi seseorang
sudah mulai ketergantungan sesuai tingkat penyakitnya.
5.
Tahap penyembuhan
Merupakan tahap terakhir menuju proses kembalinya kemampuan untuk
beradaptasi, dimana seseorang kan melakukan proses belajar untuk melepaskan
perannya selama sakit dan kembali berperan seperti sebelum sakit serta adanya
persiapan untuk berfungsi dalam kehidupan sosial.
2.4.5
Jenis-jenis Penyakit
Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang
menyebabkan ketidak nyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang
dipengaruhinya. Jenis penyakit yang diderita oleh manusia sangat beragam. Ada
penyakit yang disebabkan dari dalam tubuh manusia maupun dari luar tubuh
manusia seperti kegagalan fungsi organ tubuh, bakteri, kuman, racun, virus,
jamur, atau keturunan (Asia Brain, 2008). Jenis penyakit terdiri dari:
1.
Jenis penyakit kronis
Jenis penyakit yang terjangkit dalam tubuh manusia dalam kurun waktu
yang sangat lama bahkan dapat mengakibatkan kematian, diantaranya: AIDS,
Kanker, Jantung.
2.
Jenis penyakit langka
Penderita penyakit ini masih dibilang sedikit, kurang lebih sekitar seratus
ribu atau 0,5% dari seluruh penduduk dunia. Pada masa sekarang, penyakit langka
ini masih sangat sulit memperoleh obat atau pengobatannya. Penyakit-penyakit
tersebut, antara lain : Asidosis tubulus renalis, Citrulinemia Fabry disease,
Morquio, kekurangan enzim lisosom tertentu, Multiple sclerosis (MS),
Phenylketonuria (PKU).
3.
Jenis penyakit tidak penyakit menular
Penyakit ini disebabkan masalah metabolisme atau fisiologis pada jaringan
tubuh manusia, antara lain: batuk, keracunan makanan, ketergantungan dan
penyalahgunaan obat terlarang, kecelakaan, penyakit gangguan mental, sakit gigi,
sakit perut, sariawan.
4.
Jenis penyakit menular
Jenis penyakit yang disebabkan oleh amuba, bakteri, jamur, virus, yang
menjangkiti tubuh manusia. Di bawah ini disebutkan beberapa jenis penyakit
menular yang umum kita kenal: anthrax, batuk rejan, cacingan, cacar air, campak,
chikungunya, demam berdarah, demam campak, demam kelenjar, diare, disentri,
amuba, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, impetigo, influenza, kolera, kudis,
kutu, kurap, lepra, malaria, penyakit tangan, kaki dan mulut, rabies, radang
lambung dan usus, rubella, tetanus.
Download