8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Keagenan (Agency Theory)
Dalam
manajemen
keuangan,
tujuan
utama
perusahaan
adalah
memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Untuk itu manajer yang diangkat oleh
pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, tetapi ternyata
sering terjadi konflik antara pihak manajemen dengan pemegang saham. Konflik ini
menyebabkan perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Dalam
Wahidahwati
(2002)
dikatakan
bahwa
manajemen
perusahaan
mempunyai
kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya
pihak lain. Perilaku ini disebut sebagai keterbatasan rasional dan manajer cenderung
tidak menyukai risiko. Jensen dan Meckling (1976) dalam Wahidahwati (2002)
menyatakan bahwa agency problem akan terjadi apabila proporsi kepemilikan
manajer atas saham perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung
bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya sendiri dan sudah tidak berdasarkan
maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan.
Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah
keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematik
dari saham perusahaan, karena mereka melakukan investasi pada portofolio yang
8
terdiversifikasi dengan baik. Namun manajer sebaliknya lebih peduli pada risiko
perusahaan secara keseluruhan.
Penelitian Watts dan Zimmerman (1986) dalam D’Yan (2004) mengenai
Agency Theory dalam akuntansi menyatakan bahwa individu bertindak demi
kepentingan pribadinya yang ada pada saat-saat tertentu dapat bertentangan dengan
kepentingan perusahaan. Uyana dan Tuasikal (2003) dalam D’Yan (2004)
menyatakan bahwa aliran kas yang tersedia dapat menimbulkan konflik kepentingan
antara manajer dengan pemegang saham (pemilik). Manajer lebih menginginkan dana
tersebut diinvestasikan lagi pada proyek-proyek yang dapat meningkatkan
keuntungan karena alternatif ini akan meningkatkan insentif yang diterima. Disisi lain
pemegang saham (pemilik) mengharapkan sisa dana tersebut dibagikan sehingga akan
menambah kesejahteraan mereka. Pemegang saham menganggap reinvestasi pada
proyek-proyek dengan nilai bersih negatif merupakan suatu bentuk inefisiensi,
sekaligus merupakan penundaan bagi kesejahteraan.
2.1.2
Akuntansi Konservatif
Konservatisme merupakan konsep yang kontroversial (Mayangsari dan
Wilopo, 2002). Kritik terhadap konservatisme menyatakan bahwa pada awalnya
prinsip ini memang akan menyebabkan laba dan aktiva menjadi rendah, namun
akhirnya akan membuat laba dan aktiva menjadi tinggi di masa datang. Dengan kata
lain laba dan aktiva akan menjadi tidak konservatif di masa datang.
9
Prinsip konservatisme menganggap bahwa ketika memilih antara dua atau
lebih teknik akuntansi yang berlaku umum, suatu preferensi ditunjukkan untuk opsi
yang memiliki dampak paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang
saham. Secara lebih spesifik, prinsip tersebut mengimplikasikan bahwa nilai terendah
dari aktiva dan pendapatan serta nilai tertinggi dari kewajiban dan beban yang
sebaiknya dilaporkan. Oleh karena itu, prinsip konservatisme mengharuskan bahwa
akuntan menampilkan sikap pesimistas secara umum ketika memilih teknik akuntansi
untuk pelaporan keuangan, (Belkoui, 2006).
Hendriksen (1992) dalam Sari (2004) menyatakan bahwa konservatisme
adalah prinsip untuk melaporkan informasi akuntansi yang terendah dari beberapa
kemungkinan nilai untuk aktiva dan pendapatan serta yang tertinggi dari beberapa
kemungkinan nilai kewajiban dan beban. Menurut Sterling (1970) dalam Sari (2004)
konservatisme merupakan prinsip yang paling mempengaruhi penilaian dalam
akuntansi.
Watts (2003) dalam Sari (2004) menyatakan bahwa manfaat akuntansi
konservatisme bagi perusahaan yang menerapkannya, yaitu:
1) Konservatisme akan membatasi perilaku oportunistik manajer (misalnya
memanipulasi laba) dalam menyajikan laporan keuangan.
Dampak lainnya adalah peningkatan nilai perusahaan karena konservatisme
akan membatasi opportunistic payment kepada manajer (dalam bentuk bonus)
dan juga kepada pihak lain seperti shareholders (dalam bentuk dividen).
10
2) Berkaitan dengan masalah tuntutan hukum.
Tuntutan hukum mendorong perkembangan konservatisme karena tuntutan
hukum banyak muncul pada saat laba dan aktiva dicatat terlalu tinggi. Karena
adanya potensi tuntutan hukum akibat pencatatan yang overstatement
daripada yang understatement, manajemen dan auditor terdorong untuk
melaporkan laba dan aktiva yang konservatif.
3) Dalam hubungannya dengan pajak.
Dengan konservatisme perusahaan dapat mengurangi present value pajak
dengan jalan menunda pengakuan pendapatan.
4) Mengakui peraturan.
Peraturan yang dibuat oleh penyusunan standar akuntansi juga memberikan
intensif kepada perusahaan untuk menerapkan akuntansi konservatisme. Bagi
penyusun standar akuntansi, konservatisme akan menghindarkan mereka dari
kritik akibat dari penyajian laporan keuangan yang overstate.
2.1.3 Kebijakan Dividen
Persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang saham
sebagai cash dividen disebut dividend payout ratio (Riyanto,2001). Apabila
perusahaan memilih untuk membagikan dividen kas dalam jumlah yang besar akan
mengurangi aktiva yang tersedia untuk pemegang obligasi. Pembayaran dividen akan
secara simultan mengurangi kas dan modal perusahaan.
Sartono (2001) menyatakan kebijakan dividen merupakan keputusan apakah
11
laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di
masa mendatang. Kebijakan dividen (dividend policy) menentukan berapa banyak
dari keuntungan harus di bayarkan kepada pemegang saham dan berapa banyak yang
harus ditahan kembali di dalam perusahaan. Laba yang ditahan merupakan salah satu
sumber dana yang terpenting untuk membiayai pertumbuhan, tetapi dividen
membentuk uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham
(Wetson dan Brigham, 1991).
Menurut Sugiyarso dan Winarni (2005) kebijakan dividen adalah keputusan
untuk menentukan perlakuan earnings after tax (EAT), apakah dibagikan sebagai
dividen, di investasikan kembali, atau sebagian dibagikan sebagai dividen dan
sebagian lagi di investasikan kembali ke perusahaan.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Menurut Sugiyarso dan Winarni (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen antara lain:
1) Perjanjian utang
Perjanjian utang antara perusahaan dengan kreditur dapat membatasi
pembayaran dividen sebab seringkali deviden hanya dapat dibayarkan jika
kewajiban utang kepada kreditur telah dipenuhi perusahaan. Rasio-rasio
keuangan yang menunjukkan perusahaan dalam kondisi sehat juga merupakan
faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen.
12
2) Pembatasan dari saham
Pembatasan dari saham preferen belum dibayar, maka pembayaran dividen
kepada pemegang saham biasa belum dapat dilakukan.
3) Tersedianya kas
Kas dividen hanya dapat dibayarkan apabila tersedia uang tunai yang cukup.
Keadaan demikian dapat ditunjukkan dalam rasio likuiditas perusahaan yang
baik.
4) Pengendalian terhadap perusahaan
Faktor yang penting khususnya pada perusahaan-perusahaan yang relatif kecil
adalah apabila pihak manajemen ingin mempertahankan kontrol terhadap
perusahaan. Keadaan demikian menyebabkan ada kecenderungan perusahaan
segan menjual saham baru dan lebih suka menahan laba guna memenuhi
kebutuhan pendanaan perusahaan. Akibatnya dividen yang dibayarkan dalam
bentuk kas menjadi kecil.
5) Kebutuhan dana untuk investasi
Perusahaan yang berkembang selalu membutuhkan dana baru untuk
diinvestasikan pada proyek-proyek yang menguntungkan. Dalam hal ini,
manajemen cenderung lebih suka memanfaatkan laba ditahan karena
pemanfaatan laba ditahan tidak memerlukan floation cost.
6) Fluktuasi laba
Apabila laba perusahaan berfluktuasi maka dividen yang dibayarkan kecil, hal
ini dilakukan untuk menjaga kestabilan pembayaran dividen. Dengan laba
13
yang berfluktuasi perusahaan juga tidak banyak mempergunakan utang
sebagai sumber pendanaan, hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko
kebangkrutan. Dengan keadaan demikian laba ditahan akan menjadi besar dan
dividen yang dibayarkan semakin mengecil.
2.1.5 Jenis Kebijakan Dividen
Perusahaan satu dengan perusahaan lain pastilah menerapkan kebijakan
dividen yang berbeda-beda. Manajemen dalam suatu perusahaan tentu saja akan
mengadopsi kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan perusahaannya. Riyanto
(2001) menyatakan bahwa terdapat empat macam kebijakan dividen yang dapat
diterapkan oleh perusahaan sebagai berikut:
1) Kebijakan dividen yang stabil
Artinya bahwa jumlah dividen per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya
relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar
saham per tahunnya berfluktuasi. Alasan diterapkannya kebijakan dividen
stabil ini adalah: (a) dapat memberikan kesan kepada investor bahwa
perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik di masa-masa mendatang,
(b) banyak pemegang saham yang hidup dari pendapatan yang diterima dari
dividen, dan (c) banyak negara yang pada ketentuan pasar modalnya
mengharuskan organisasi atau yayasan sosial, perusahaan asuransi, bank
tabungan, dana pensiun, pemerintah kota madya hanya diijinkan menanamkan
14
modal pada saham-saham perusahaan yang menjalankan kebijakan dividen
yang stabil.
2) Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah
ekstra tertentu.
Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham
setiap tahunnya. Dalam keadaan keuntungan yang lebih baik, perusahaan akan
membayarkan dividen ekstra diatas jumlah minimal tersebut. Bagi pemodal
ada kepastian akan menerima jumlah dividen yang minimal setiap tahunnya
meskipun keadaan keuangan perusahaan agak memburuk.
3) Kebijakan dividen dengan penetapan payout ratio yang konstan.
Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan dividen payout ratio
yang konstan misalnya 50%. Ini berarti bahwa jumlah dividen per lembar
saham yang dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan
perkembangan keuntungan neto yang diperoleh setiap tahunnya.
4) Kebijakan dividen dengan penerapan payout ratio yang fleksibel.
Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan payout ratio yang
fleksibel, yang besarnya setiap tahunnya disesuaikan dengan posisi finansial
dan kebijakan finansial dari perusahaan yang bersangkutan.
2.1.6 Kepemilikan Manajerial
Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan persentase saham
yang dimiliki oleh pemegang saham dalam perusahaan dan pemegang saham dari luar
15
perusahaan. Menurut Iturraga dan Sanz dalam Eddy dan Mas’ud (2003), struktur
kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan
(agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric
information). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai sebuah
instrumen atau alat untuk mengurangi konflik kepentingan diantara beberapa
pemegang klaim. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme
struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan
informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di pasar modal.
Negara dengan perlindungan negara yang buruk, kepemilikannya cenderung
terkonsentrasi (sedikit pemilik dengan kepemilikan dalam jumlah besar). Dengan
demikian, struktur kepemilikan perusahaan berbeda di setiap negara. Pada
kepemilikan menyebar, masalah perbedaan kepentingan utama yang terjadi adalah
antara kepentingan pemilik (pemegang saham) dan kepentingan pengelola perusahaan
(manajemen). Permasalahan perbedaan kepentingan ini berbeda dengan perusahaan
yang mempunyai struktur kepemilikan terkonsentrasi. Kepemilikan terkonsentrasi
masalah utamanya yaitu perbedaan kepentingan antara pemilik mayoritas dan sebagai
pengendali perusahaan dengan pemilik minoritas.
Menurut Fitri dan Mamduh dalam Kristya (2007) pemegang saham sebagai
pemilik modal dapat dibedakan menjadi 3, diantaranya adalah:
16
1) Manajerial ownership atau internal ownership
Adalah pemegang saham yang merupakan pihak insider perusahaan yang ikut
aktif dalam kegiatan operasional perusahaan seperti dewan direksi dan
manajer.
2) External ownership
Adalah pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional
perusahaan diluar pihak insider perusahaan.
3) Institusional ownership
Adalah pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif
dalam kegiatan operasional perusahaan.
Sartono (2001) menyatakan kebijakan dividen merupakan keputusan apakah
laba yang diperoleh perusahan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di
masa mendatang. Kebijakan dividen (dividend policy) menentukan berapa banyak
dari keuntungan harus di bayarkan kepada pemegang saham dan berapa banyak yang
harus ditahan kembali didalam perusahaan. Laba yang ditahan merupakan salah satu
sumber dana yang terpenting untuk membiayai pertumbuhan, tetapi dividen
membentuk uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham
(Wetson dan Brigham, 1991). Menurut Sugiyarso dan Winarni (2005) kebijakan
dividen adalah keputusan untuk menentukan perlakuan earnings after tax (EAT),
apakah dibagikan sebagai dividen, diinvestasikan kembali, atau sebagian dibagikan
sebagai dividen dan sebagian lagi di investasikan kembali ke perusahaan.
17
Husnan, dkk (2002) menyebutkan bahwa di dalam menentukan kebijakan
dividen, pembagian dividen sebesar-besarnya dianggap tidak benar, sebab apabila
dana
yang diperoleh
dari operasi
perusahaan bisa dipergunakan dengan
menguntungkan, maka pembagian dividen yang terlalu besar dianggap tidak perlu.
Pada dasarnya laba tersebut bisa dibagi sebagai dividen atau ditahan untuk
diinvestasikan kembali. Kapan laba akan dibagikan dan kapan akan ditahan, harus
tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.7 Pertumbuhan Perusahaan
Setiap perusahaan pasti menginginkan laba yang besar sehingga pertumbuhan
perusahaan berjalan dengan lancar. Perusahaan yang mengalami pertumbuhan akan
mempunyai kesempatan untuk memperoleh laba yang lebih besar. Putra (2004)
menyatakan bahwa perusahaan yang pertumbuhannya tinggi mempunyai kesempatan
yang profitabel lebih besar untuk pengembangan aktivitas usahanya. Martalia (2005)
mendefinisikan
pertumbuhan
perusahaan
adalah
prestasi
yang
ditunjukkan
perusahaan dari tahun ke tahun untuk meningkatkan aktivitas investasinya.
Perusahaan yang mengalami pertumbuhan akan mempunyai kesempatan untuk
memperoleh laba yang lebih besar.
Pendapat-pendapat di atas bermakna bahwa pertumbuhan perusahaan
ditunjukkan dari peningkatan kemampuan perusahaan untuk pengembangan aktivitas
usahanya dalam mendapatkan laba.
18
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Sari (2004) yang meneliti ”Hubungan antara Konservatisme Akuntansi
dengan konflik Bondholders-Shareholders Seputar Kebijakan Dividen dan Peringkat
Obligasi Perusahaan”. Dimana penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan
antara konflik bondholders-shareholders seputar kebijakan dividen dan penerapan
akuntansi konservatif, digunakan 28 sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya periode 1999-2003, sedangkan untuk menguji
hubungan antara peringkat obligasi dan penerpan akuntansi konservatif, digunakan 18
sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya.
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan
antara konservatisme dengan fluktuasi ROA dan rasio dividen kas yang merupakan
indikator konflik bondholders-shareholders seputar kebijakan dividen dan juga
menunjukan bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara konservatisme
dengan peringkat obligasi perusahaan.
Answer, Bruce, dkk (2002) meneliti tentang peran akuntansi konservatisme
dalam mengurangi konflik pemegang sahan obligasi atas kebijakan dividen dan
dalam menurunkan biaya utang. Dimana variabel bebasnya adalah akuntansi
konservatif dan variabel terikatnya adalah konflik pemegang saham obligasi,
kebijakan dividen, dan biaya utang. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis
regresi linear berganda. Hasil regresi menunjukkan bahwa konflik pemegang saham
19
obligasi dan biaya utang memiliki hubungan yang positif dengan penerapan akuntansi
konservatisme.
Dewi (2007) meneliti ”Pengaruh Akuntansi Konservatisme dan Kebijakan
Dividen terhadap Pertumbuhan Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
akuntansi konservatisme dan kebijakan dividen terhadap pertumbuhan perusahaan.
Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling, denga kriteria
yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, yang membagikan
dividen secara berturut-turut selama lima tahun yaitu dari periode 2001-2005
menerbitkan laporan keuangan auditan secara lengkap dengan periode berakhir 31
desember dan laporan keuangan yang mencerminkan prinsip konservatisme dengan
nilai CONACC kurang dari nol. Model analisis yang digunakan adalah analisis
regresi linear berganda dengan melakukan Uji F dan Uji t yang menggunakan
program SPSS release 13. Hasil dari penelitian ini adalah baik secara simultan atau
secara parsial variabel kebijakan dividen dan akuntansi konservatisme tidak terbukti
berpengaruh terhadap pertumbuhan perusahaan. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan variabel terikat yaitu
akuntansi konservatisme. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah terletak pada variabel yang diteliti, periode atau dimensi waktu
yang digunakan, serta sampel yang digunakan. Selain menggunakan akuntansi
konservatisme sebagai variabel terikat, penelitian ini juga menggunakan variabel
bebas yaitu kebijakan dividen, kepemilikan manajerial, dan pertumbuhan perusahaan.
20
Periode yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2004-2007, sedangkan
sampel yang digunakan adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.3
Rumusan Hipotesis
2.3.1
Pengaruh kebijakan dividen terhadap penerapan akuntansi konservatif
Sartono (2001) menyatakan kebijakan dividen merupakan keputusan apakah
laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di
masa mendatang. Kebijakan dividen (dividend policy) menentukan berapa banyak
dari keuntungan harus di bayarkan kepada pemegang saham dan berapa banyak yang
harus ditahan kembali di dalam perusahaan. Laba yang ditahan merupakan salah satu
sumber dana yang terpenting untuk membiayai pertumbuhan, tetapi dividen
membentuk uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham
(Wetson dan Brigham, 1991).
Kebijakan deviden merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
keputusan pendanaan perusahaan. Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba
yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai deviden
atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan untuk dikelola manajemen guna
pembiayaan investasi masa datang. Laba dan aktiva yang konservatif akan dapat
membatasi pembayaran dividen untuk pemegang saham (shareholders). Pembayaran
dividen yang terlalu tinggi kepada pemegang saham (shareholders) menyebabkan
perusahaan menerapkan akuntansi yang konservatif sehingga laba akan menjadi lebih
21
rendah, dengan laba yang lebih rendah maka dapat mengurangi pembayaran dividen
yang terlalu tinggi.
Berdasarkan referensi tersebut, maka diajukan rumusan hipotesis sebagai
berikut:
H1: Kebijakan dividen berpengaruh positif pada penerapan akuntansi konservatif di
Bursa Efek Indonesia.
2.3.2
Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap penerapan akuntansi
konservatif
Kepemilikan yang ada dalam suatu perusahaan membawa pengaruh terhadap
kebijakan dividen yang ditetapkan perusahaan. Bila perusahaan memiliki persentase
kepemilikan manajerial yang tinggi, maka ada kecenderungan perusahaan tersebut
akan lebih banyak menggunakan alternative pembiayaan internal, sehingga akan
berdampak pada keputusan perusahaan untuk tidak membagikan deviden kepada
pemegang saham atau membaginya, namun dalam jumlah yang lebih kecil. Hal ini
juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan dividen,
namun dengan slope yang negatif. Rozeff (1982) dalam Wahidahwati (2002)
menyatakan bahwa pembayaran dividen adalah bagian dari monitoring perusahaan.
Ini berarti bahwa perusahaan cenderung untuk membayar dividen yang tinggi, jika
manajer memiliki proporsi saham yang lebih rendah.
22
Berdasarkan referensi tersebut, maka diajukan rumusan hipotesis sebagai
berikut:
H2: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada penerapan akuntansi
konservatif di Bursa Efek Indonesia.
2.3.3 Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap penerapan akuntansi
konservatif
Pada perusahan yang menggunakan prinsip konservatif terdapat cadangan
tersembunyi yang digunakan untuk investasi, sehingga perusahaan yang konservatif
identik dengan perusahaan yang tumbuh. Pertumbuhan ini akan direspon positif oleh
investor sehingga nilai pasar perusahaan yang konservatif lebih besar dari nilai
bukunya, sehingga akan tercipta goodwill. Pasar menilai positif atas investasi yang
yang dilakukan. Saat ini diharapkan perusahaan akan mendapatkan kenaikan arus kas
di masa depan. Feltham dan Ohlson (1995) dan Panman (2001) dalam Widay (2004)
menyatakan bahwa akuntansi konservatif merupakan konsep yang sesuai karena
konsep tersebut menunjukkan pertumbuhan suatu perusahaan karena aktiva neto yang
dilaporkan lebih rendah dari nilai pasar.
Berdasarkan referensi tersebut, maka diajukan rumusan hipotesis sebagai
berikut :
H3
: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif pada penerapan akuntansi
konservatif di Bursa Efek Indonesia.
23
Download