BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Dalam manajemen keuangan, tujuan utama perusahaan adalah memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Untuk itu manajer yang diangkat oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, tetapi ternyata sering terjadi konflik antara pihak manajemen dengan pemegang saham. Konflik ini menyebabkan perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Dalam Wahidahwati (2002) dikatakan bahwa manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini disebut sebagai keterbatasan rasional dan manajer cenderung tidak menyukai risiko. Jensen dan Meckling (1976) dalam Wahidahwati (2002) menyatakan bahwa agency problem akan terjadi apabila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya sendiri dan sudah tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematik dari saham perusahaan, karena mereka melakukan investasi pada portofolio yang 8 terdiversifikasi dengan baik. Namun manajer sebaliknya lebih peduli pada risiko perusahaan secara keseluruhan. Penelitian Watts dan Zimmerman (1986) dalam D’Yan (2004) mengenai Agency Theory dalam akuntansi menyatakan bahwa individu bertindak demi kepentingan pribadinya yang ada pada saat-saat tertentu dapat bertentangan dengan kepentingan perusahaan. Uyana dan Tuasikal (2003) dalam D’Yan (2004) menyatakan bahwa aliran kas yang tersedia dapat menimbulkan konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham (pemilik). Manajer lebih menginginkan dana tersebut diinvestasikan lagi pada proyek-proyek yang dapat meningkatkan keuntungan karena alternatif ini akan meningkatkan insentif yang diterima. Disisi lain pemegang saham (pemilik) mengharapkan sisa dana tersebut dibagikan sehingga akan menambah kesejahteraan mereka. Pemegang saham menganggap reinvestasi pada proyek-proyek dengan nilai bersih negatif merupakan suatu bentuk inefisiensi, sekaligus merupakan penundaan bagi kesejahteraan. 2.1.2 Akuntansi Konservatif Konservatisme merupakan konsep yang kontroversial (Mayangsari dan Wilopo, 2002). Kritik terhadap konservatisme menyatakan bahwa pada awalnya prinsip ini memang akan menyebabkan laba dan aktiva menjadi rendah, namun akhirnya akan membuat laba dan aktiva menjadi tinggi di masa datang. Dengan kata lain laba dan aktiva akan menjadi tidak konservatif di masa datang. 9 Prinsip konservatisme menganggap bahwa ketika memilih antara dua atau lebih teknik akuntansi yang berlaku umum, suatu preferensi ditunjukkan untuk opsi yang memiliki dampak paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang saham. Secara lebih spesifik, prinsip tersebut mengimplikasikan bahwa nilai terendah dari aktiva dan pendapatan serta nilai tertinggi dari kewajiban dan beban yang sebaiknya dilaporkan. Oleh karena itu, prinsip konservatisme mengharuskan bahwa akuntan menampilkan sikap pesimistas secara umum ketika memilih teknik akuntansi untuk pelaporan keuangan, (Belkoui, 2006). Hendriksen (1992) dalam Sari (2004) menyatakan bahwa konservatisme adalah prinsip untuk melaporkan informasi akuntansi yang terendah dari beberapa kemungkinan nilai untuk aktiva dan pendapatan serta yang tertinggi dari beberapa kemungkinan nilai kewajiban dan beban. Menurut Sterling (1970) dalam Sari (2004) konservatisme merupakan prinsip yang paling mempengaruhi penilaian dalam akuntansi. Watts (2003) dalam Sari (2004) menyatakan bahwa manfaat akuntansi konservatisme bagi perusahaan yang menerapkannya, yaitu: 1) Konservatisme akan membatasi perilaku oportunistik manajer (misalnya memanipulasi laba) dalam menyajikan laporan keuangan. Dampak lainnya adalah peningkatan nilai perusahaan karena konservatisme akan membatasi opportunistic payment kepada manajer (dalam bentuk bonus) dan juga kepada pihak lain seperti shareholders (dalam bentuk dividen). 10 2) Berkaitan dengan masalah tuntutan hukum. Tuntutan hukum mendorong perkembangan konservatisme karena tuntutan hukum banyak muncul pada saat laba dan aktiva dicatat terlalu tinggi. Karena adanya potensi tuntutan hukum akibat pencatatan yang overstatement daripada yang understatement, manajemen dan auditor terdorong untuk melaporkan laba dan aktiva yang konservatif. 3) Dalam hubungannya dengan pajak. Dengan konservatisme perusahaan dapat mengurangi present value pajak dengan jalan menunda pengakuan pendapatan. 4) Mengakui peraturan. Peraturan yang dibuat oleh penyusunan standar akuntansi juga memberikan intensif kepada perusahaan untuk menerapkan akuntansi konservatisme. Bagi penyusun standar akuntansi, konservatisme akan menghindarkan mereka dari kritik akibat dari penyajian laporan keuangan yang overstate. 2.1.3 Kebijakan Dividen Persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang saham sebagai cash dividen disebut dividend payout ratio (Riyanto,2001). Apabila perusahaan memilih untuk membagikan dividen kas dalam jumlah yang besar akan mengurangi aktiva yang tersedia untuk pemegang obligasi. Pembayaran dividen akan secara simultan mengurangi kas dan modal perusahaan. Sartono (2001) menyatakan kebijakan dividen merupakan keputusan apakah 11 laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa mendatang. Kebijakan dividen (dividend policy) menentukan berapa banyak dari keuntungan harus di bayarkan kepada pemegang saham dan berapa banyak yang harus ditahan kembali di dalam perusahaan. Laba yang ditahan merupakan salah satu sumber dana yang terpenting untuk membiayai pertumbuhan, tetapi dividen membentuk uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham (Wetson dan Brigham, 1991). Menurut Sugiyarso dan Winarni (2005) kebijakan dividen adalah keputusan untuk menentukan perlakuan earnings after tax (EAT), apakah dibagikan sebagai dividen, di investasikan kembali, atau sebagian dibagikan sebagai dividen dan sebagian lagi di investasikan kembali ke perusahaan. 2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Menurut Sugiyarso dan Winarni (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen antara lain: 1) Perjanjian utang Perjanjian utang antara perusahaan dengan kreditur dapat membatasi pembayaran dividen sebab seringkali deviden hanya dapat dibayarkan jika kewajiban utang kepada kreditur telah dipenuhi perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang menunjukkan perusahaan dalam kondisi sehat juga merupakan faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. 12 2) Pembatasan dari saham Pembatasan dari saham preferen belum dibayar, maka pembayaran dividen kepada pemegang saham biasa belum dapat dilakukan. 3) Tersedianya kas Kas dividen hanya dapat dibayarkan apabila tersedia uang tunai yang cukup. Keadaan demikian dapat ditunjukkan dalam rasio likuiditas perusahaan yang baik. 4) Pengendalian terhadap perusahaan Faktor yang penting khususnya pada perusahaan-perusahaan yang relatif kecil adalah apabila pihak manajemen ingin mempertahankan kontrol terhadap perusahaan. Keadaan demikian menyebabkan ada kecenderungan perusahaan segan menjual saham baru dan lebih suka menahan laba guna memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan. Akibatnya dividen yang dibayarkan dalam bentuk kas menjadi kecil. 5) Kebutuhan dana untuk investasi Perusahaan yang berkembang selalu membutuhkan dana baru untuk diinvestasikan pada proyek-proyek yang menguntungkan. Dalam hal ini, manajemen cenderung lebih suka memanfaatkan laba ditahan karena pemanfaatan laba ditahan tidak memerlukan floation cost. 6) Fluktuasi laba Apabila laba perusahaan berfluktuasi maka dividen yang dibayarkan kecil, hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan pembayaran dividen. Dengan laba 13 yang berfluktuasi perusahaan juga tidak banyak mempergunakan utang sebagai sumber pendanaan, hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kebangkrutan. Dengan keadaan demikian laba ditahan akan menjadi besar dan dividen yang dibayarkan semakin mengecil. 2.1.5 Jenis Kebijakan Dividen Perusahaan satu dengan perusahaan lain pastilah menerapkan kebijakan dividen yang berbeda-beda. Manajemen dalam suatu perusahaan tentu saja akan mengadopsi kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan perusahaannya. Riyanto (2001) menyatakan bahwa terdapat empat macam kebijakan dividen yang dapat diterapkan oleh perusahaan sebagai berikut: 1) Kebijakan dividen yang stabil Artinya bahwa jumlah dividen per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi. Alasan diterapkannya kebijakan dividen stabil ini adalah: (a) dapat memberikan kesan kepada investor bahwa perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik di masa-masa mendatang, (b) banyak pemegang saham yang hidup dari pendapatan yang diterima dari dividen, dan (c) banyak negara yang pada ketentuan pasar modalnya mengharuskan organisasi atau yayasan sosial, perusahaan asuransi, bank tabungan, dana pensiun, pemerintah kota madya hanya diijinkan menanamkan 14 modal pada saham-saham perusahaan yang menjalankan kebijakan dividen yang stabil. 2) Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah ekstra tertentu. Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuntungan yang lebih baik, perusahaan akan membayarkan dividen ekstra diatas jumlah minimal tersebut. Bagi pemodal ada kepastian akan menerima jumlah dividen yang minimal setiap tahunnya meskipun keadaan keuangan perusahaan agak memburuk. 3) Kebijakan dividen dengan penetapan payout ratio yang konstan. Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan dividen payout ratio yang konstan misalnya 50%. Ini berarti bahwa jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan neto yang diperoleh setiap tahunnya. 4) Kebijakan dividen dengan penerapan payout ratio yang fleksibel. Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan payout ratio yang fleksibel, yang besarnya setiap tahunnya disesuaikan dengan posisi finansial dan kebijakan finansial dari perusahaan yang bersangkutan. 2.1.6 Kepemilikan Manajerial Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan persentase saham yang dimiliki oleh pemegang saham dalam perusahaan dan pemegang saham dari luar 15 perusahaan. Menurut Iturraga dan Sanz dalam Eddy dan Mas’ud (2003), struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik kepentingan diantara beberapa pemegang klaim. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di pasar modal. Negara dengan perlindungan negara yang buruk, kepemilikannya cenderung terkonsentrasi (sedikit pemilik dengan kepemilikan dalam jumlah besar). Dengan demikian, struktur kepemilikan perusahaan berbeda di setiap negara. Pada kepemilikan menyebar, masalah perbedaan kepentingan utama yang terjadi adalah antara kepentingan pemilik (pemegang saham) dan kepentingan pengelola perusahaan (manajemen). Permasalahan perbedaan kepentingan ini berbeda dengan perusahaan yang mempunyai struktur kepemilikan terkonsentrasi. Kepemilikan terkonsentrasi masalah utamanya yaitu perbedaan kepentingan antara pemilik mayoritas dan sebagai pengendali perusahaan dengan pemilik minoritas. Menurut Fitri dan Mamduh dalam Kristya (2007) pemegang saham sebagai pemilik modal dapat dibedakan menjadi 3, diantaranya adalah: 16 1) Manajerial ownership atau internal ownership Adalah pemegang saham yang merupakan pihak insider perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan operasional perusahaan seperti dewan direksi dan manajer. 2) External ownership Adalah pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan diluar pihak insider perusahaan. 3) Institusional ownership Adalah pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan. Sartono (2001) menyatakan kebijakan dividen merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa mendatang. Kebijakan dividen (dividend policy) menentukan berapa banyak dari keuntungan harus di bayarkan kepada pemegang saham dan berapa banyak yang harus ditahan kembali didalam perusahaan. Laba yang ditahan merupakan salah satu sumber dana yang terpenting untuk membiayai pertumbuhan, tetapi dividen membentuk uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham (Wetson dan Brigham, 1991). Menurut Sugiyarso dan Winarni (2005) kebijakan dividen adalah keputusan untuk menentukan perlakuan earnings after tax (EAT), apakah dibagikan sebagai dividen, diinvestasikan kembali, atau sebagian dibagikan sebagai dividen dan sebagian lagi di investasikan kembali ke perusahaan. 17 Husnan, dkk (2002) menyebutkan bahwa di dalam menentukan kebijakan dividen, pembagian dividen sebesar-besarnya dianggap tidak benar, sebab apabila dana yang diperoleh dari operasi perusahaan bisa dipergunakan dengan menguntungkan, maka pembagian dividen yang terlalu besar dianggap tidak perlu. Pada dasarnya laba tersebut bisa dibagi sebagai dividen atau ditahan untuk diinvestasikan kembali. Kapan laba akan dibagikan dan kapan akan ditahan, harus tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan. 2.1.7 Pertumbuhan Perusahaan Setiap perusahaan pasti menginginkan laba yang besar sehingga pertumbuhan perusahaan berjalan dengan lancar. Perusahaan yang mengalami pertumbuhan akan mempunyai kesempatan untuk memperoleh laba yang lebih besar. Putra (2004) menyatakan bahwa perusahaan yang pertumbuhannya tinggi mempunyai kesempatan yang profitabel lebih besar untuk pengembangan aktivitas usahanya. Martalia (2005) mendefinisikan pertumbuhan perusahaan adalah prestasi yang ditunjukkan perusahaan dari tahun ke tahun untuk meningkatkan aktivitas investasinya. Perusahaan yang mengalami pertumbuhan akan mempunyai kesempatan untuk memperoleh laba yang lebih besar. Pendapat-pendapat di atas bermakna bahwa pertumbuhan perusahaan ditunjukkan dari peningkatan kemampuan perusahaan untuk pengembangan aktivitas usahanya dalam mendapatkan laba. 18 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Sari (2004) yang meneliti ”Hubungan antara Konservatisme Akuntansi dengan konflik Bondholders-Shareholders Seputar Kebijakan Dividen dan Peringkat Obligasi Perusahaan”. Dimana penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara konflik bondholders-shareholders seputar kebijakan dividen dan penerapan akuntansi konservatif, digunakan 28 sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya periode 1999-2003, sedangkan untuk menguji hubungan antara peringkat obligasi dan penerpan akuntansi konservatif, digunakan 18 sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara konservatisme dengan fluktuasi ROA dan rasio dividen kas yang merupakan indikator konflik bondholders-shareholders seputar kebijakan dividen dan juga menunjukan bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara konservatisme dengan peringkat obligasi perusahaan. Answer, Bruce, dkk (2002) meneliti tentang peran akuntansi konservatisme dalam mengurangi konflik pemegang sahan obligasi atas kebijakan dividen dan dalam menurunkan biaya utang. Dimana variabel bebasnya adalah akuntansi konservatif dan variabel terikatnya adalah konflik pemegang saham obligasi, kebijakan dividen, dan biaya utang. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil regresi menunjukkan bahwa konflik pemegang saham 19 obligasi dan biaya utang memiliki hubungan yang positif dengan penerapan akuntansi konservatisme. Dewi (2007) meneliti ”Pengaruh Akuntansi Konservatisme dan Kebijakan Dividen terhadap Pertumbuhan Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh akuntansi konservatisme dan kebijakan dividen terhadap pertumbuhan perusahaan. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling, denga kriteria yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, yang membagikan dividen secara berturut-turut selama lima tahun yaitu dari periode 2001-2005 menerbitkan laporan keuangan auditan secara lengkap dengan periode berakhir 31 desember dan laporan keuangan yang mencerminkan prinsip konservatisme dengan nilai CONACC kurang dari nol. Model analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dengan melakukan Uji F dan Uji t yang menggunakan program SPSS release 13. Hasil dari penelitian ini adalah baik secara simultan atau secara parsial variabel kebijakan dividen dan akuntansi konservatisme tidak terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan perusahaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan variabel terikat yaitu akuntansi konservatisme. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada variabel yang diteliti, periode atau dimensi waktu yang digunakan, serta sampel yang digunakan. Selain menggunakan akuntansi konservatisme sebagai variabel terikat, penelitian ini juga menggunakan variabel bebas yaitu kebijakan dividen, kepemilikan manajerial, dan pertumbuhan perusahaan. 20 Periode yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2004-2007, sedangkan sampel yang digunakan adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2.3 Rumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh kebijakan dividen terhadap penerapan akuntansi konservatif Sartono (2001) menyatakan kebijakan dividen merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa mendatang. Kebijakan dividen (dividend policy) menentukan berapa banyak dari keuntungan harus di bayarkan kepada pemegang saham dan berapa banyak yang harus ditahan kembali di dalam perusahaan. Laba yang ditahan merupakan salah satu sumber dana yang terpenting untuk membiayai pertumbuhan, tetapi dividen membentuk uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham (Wetson dan Brigham, 1991). Kebijakan deviden merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keputusan pendanaan perusahaan. Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai deviden atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan untuk dikelola manajemen guna pembiayaan investasi masa datang. Laba dan aktiva yang konservatif akan dapat membatasi pembayaran dividen untuk pemegang saham (shareholders). Pembayaran dividen yang terlalu tinggi kepada pemegang saham (shareholders) menyebabkan perusahaan menerapkan akuntansi yang konservatif sehingga laba akan menjadi lebih 21 rendah, dengan laba yang lebih rendah maka dapat mengurangi pembayaran dividen yang terlalu tinggi. Berdasarkan referensi tersebut, maka diajukan rumusan hipotesis sebagai berikut: H1: Kebijakan dividen berpengaruh positif pada penerapan akuntansi konservatif di Bursa Efek Indonesia. 2.3.2 Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap penerapan akuntansi konservatif Kepemilikan yang ada dalam suatu perusahaan membawa pengaruh terhadap kebijakan dividen yang ditetapkan perusahaan. Bila perusahaan memiliki persentase kepemilikan manajerial yang tinggi, maka ada kecenderungan perusahaan tersebut akan lebih banyak menggunakan alternative pembiayaan internal, sehingga akan berdampak pada keputusan perusahaan untuk tidak membagikan deviden kepada pemegang saham atau membaginya, namun dalam jumlah yang lebih kecil. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan dividen, namun dengan slope yang negatif. Rozeff (1982) dalam Wahidahwati (2002) menyatakan bahwa pembayaran dividen adalah bagian dari monitoring perusahaan. Ini berarti bahwa perusahaan cenderung untuk membayar dividen yang tinggi, jika manajer memiliki proporsi saham yang lebih rendah. 22 Berdasarkan referensi tersebut, maka diajukan rumusan hipotesis sebagai berikut: H2: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada penerapan akuntansi konservatif di Bursa Efek Indonesia. 2.3.3 Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap penerapan akuntansi konservatif Pada perusahan yang menggunakan prinsip konservatif terdapat cadangan tersembunyi yang digunakan untuk investasi, sehingga perusahaan yang konservatif identik dengan perusahaan yang tumbuh. Pertumbuhan ini akan direspon positif oleh investor sehingga nilai pasar perusahaan yang konservatif lebih besar dari nilai bukunya, sehingga akan tercipta goodwill. Pasar menilai positif atas investasi yang yang dilakukan. Saat ini diharapkan perusahaan akan mendapatkan kenaikan arus kas di masa depan. Feltham dan Ohlson (1995) dan Panman (2001) dalam Widay (2004) menyatakan bahwa akuntansi konservatif merupakan konsep yang sesuai karena konsep tersebut menunjukkan pertumbuhan suatu perusahaan karena aktiva neto yang dilaporkan lebih rendah dari nilai pasar. Berdasarkan referensi tersebut, maka diajukan rumusan hipotesis sebagai berikut : H3 : Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif pada penerapan akuntansi konservatif di Bursa Efek Indonesia. 23