neo-sufisme - (STIT) Muhammadiyah Kendal

advertisement
Neo Sufisme Nusantara
BAB III
NEO-SUFISME NUSANTARA
A. Neo-Sufisme
1. Pengertian Neo-Sufisme
eo-sufisme secara etimologi diasumsikan berakar kata dari
bahasa Yunani ; neo yang berarti baru, sophis yang berarti arif,
dan isme yang berarti ajaran atau aliran (Masrur, 2001: 103).
Adapun pengertian neo-sufisme secara terminologi merupakan sebuah
sufisme atau penghayatan batini yang menghendaki hidup aktif dan
terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan, di samping
mengharuskan praktik dan pengalaman keagamaan tetap terkontrol oleh
ajaran al-Quran dan Sunnah nabi Muhammad saw (Madjid, 1993: 93).
Menurut al-Kumayi (2006: 172) neo-sufisme merupakan sufisme baru
yang diperkenalkan pertama kali oleh Fazlurrahman dengan ciri utama
berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan
muraqabah guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi
tersebut disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan
meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral
jiwa. Melucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya dan
digantikan dengan kandungan al-Quran dan sunnah.
Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada aspek rekonstruksi
moral sosial masyarakat. Sufisme merupakan terapi yang efektif untuk
membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme bukan berarti
meninggalkan dunia. Tetapi, menjalani sufisme justru meletakkan nilai
yang tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai media meraih
spiritualitas yang sempurna (Teba, 2004: 164).
Pada hakikatnya neo-sufisme berarti paham tasawuf baru, atau
menurut istilah Fazlurrahman (1991: 223) tasawuf yang diperbaharui
untuk menyebut paham tasawuf para ahli hadits yang puritan, terutama
tasawuf Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Al-Qayim Al-Jauziyah.
Sekalipun keduanya sangat memusuhi sufisme populer, namun jelas
N
59 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
bahwa keduanya adalah kaum neo-sufisme, malah mereka menjadi
perintis ke arah kecenderungan ini. Selanjutnya kata Rahman, mereka
juga mengakui sampai batas tertentu klaim kebenaran sufisme populer ;
mereka menerima konsep al-kashf (pengalaman penyingkapan
kebenaran Ilahi) kaum sufi, tetapi menolak klaim seolah-olah tidak ada
salah (al-ma`sum) dengan menekankan bahwa kehandalan kashf adalah
sebanding dengan kebersihan moral dari kalbu yang sesungguhnya
mempunyai tingkatan-tingkatan yang tidak terhingga. Dari pemaparan
tersebut menunjukkan bahwa meskipun Ibnu Taimiyah sangat keras
terhadap sufisme, namun dia memandang banyak sisi-sisi kebenaran
ajaran sufisme dalam batas-batas tertentu. Penjelasan tersebut
merupakan sikap Ibnu Taimiyah dalam memberikan apresiasi terhadap
sufisme sebagai ajaran yang berkapasitas sebagai ijtihad (jika benar
memperoleh pahala dua, dan jika salah memperoleh pahala satu).
Menurut Kuswanto (2007: 172) meskipun Ibnu Taimiyah menentang
berbagai praktik sufi, terutama kultus individu, namun dia justru
mengadopsi metode yang mereka gunakan yakni meniru cara kaum sufi
dalam menjalin komunikasi yang akrab dengan Allah SWT.
Sebagai ahli hukum Islam, Ibnu Taimiyah berusaha
menyeimbangkan syariat dan tasawuf. Caranya, berbagai ragam
pengalaman sufistik diuji dengan pengalaman empirik. Perilaku eksternal
sufi dikonfrontasikan dan diuji merujuk aspek lahiriah ajaran Islam. NeoSufisme cenderung mengacu pada kehidupan Nabi Muhammad saw
secara utuh. Tidak ada dikotomi antar syariat dan taswuf karena Nabi
Muhammad saw mampu menggabungkan keduanya dalam satu perilaku
dan cermin kehidupan. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan tasawuf
karena Nabi Muhammad membangun pola kehidupan yang merangkum
keduanya.
Dengan demikian apa yang dikatakan Fazlurrahman bahwa Ibnu
Taimiyah merupakan salah satu ulama salaf yang meletakkan dasar-dasar
neo-sufisme dalam pembaharuan atau kebangkitan pemikiran sufisme
tidaklah tanpa alasan. Fazlurrahman merupakan intektual muslim
kontemporer yang sangat mendalami pemikiran Ibnu Taimiyah dengan
begitu semangatnya mengkampanyekan konsep neo-sufisme di abad
modern ini. Pandangan Fazlurrahman tersebut secara konklusif
menyarankan perlunya rekrutmen tsawuf dalam proses modifikasi,
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 60
Neo Sufisme Nusantara
adaptasi dan penyerapan sebagaimana dilakukan sufisme ortodoks yang
telah berhasil mengelaborasikan antara ajaran syariat dan tasawuf.
2. Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlurrahman, neo-sufisme adalah “reformed sufism”
yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui (Rahman, 1991: 205).
Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling
dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam
sufisme baru ini digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme yang diharapkan Fazlurrahman cenderung untuk memperbaharui
tingkah laku sufi klasik yang menyimpang dari ajaran Islam murni dan
menanamkan kembali suatu sikap positip terhadap dunia yang sesuai
yang termaktub dalam al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw
(Rahman, 1991: 204).
Hamka (2001: 3) sebagai seorang intelektualisme Indonesia yang
juga tertarik untuk mereformasi sufisme dengan menawarkan tasawuf
modern menawarkan karakteristik sufismenya sama seperti sufisme alJunaid yakni meninggalkan budi pekerti yang tercela dan
menggantikannya dengan budi pekerti yang terpuji. Berdasar
karakteristik sufisme yang dibangunnya, untuk menjadi sufi tidak harus
memasuki tarekat, berhening-hening dengan guru (syeikh), tidak harus
menyepi (uzlah), dan tidak harus dengan metode khusus untuk
menempuhnya. Bagi Hamka, ajaran tasawuf itu dapat dilakukan oleh
siapa saja, dan kapan saja, tanpa mengenal kekhususan, karena tasawuf
yang benar adalah sufisme sebagaimana terdapat dalam kehidupan Nabi
Muhamamad saw dan yang diamalkan oleh para sahabat-sahabatnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, neo-sufisme mengalihkan pusat
pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim,
sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir
tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu,
karakter keseluruhan neo-sufisme menurut Siregar (2002: 314) adalah
“puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling
berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling
bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut
Fazlurrahman (1991: 194) kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl alHadith. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan
kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam orthodok terutamanya
61 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa karakteristik neo-sufisme
cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap
memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan
penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi (Siregar,
2002: 315) Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya
penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan
ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang
kosmologis.
Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern memberikan porsi
penghayatan esoteris Islam secara wajar dan seimbang, namun
disertakan peringatan bahwa aspek esoterisme itu harus tetap terkendali
dengan ajaran-ajaran standar syariat. Untuk itu, Hamka menghendaki
adanya suatu penghayatan keagamaan esoterisme yang mendalam
namun tidak dengan melakukan pengasingan diri atau uzlah, melainkan
tetap melibatkan diri dalam masyarakat (Maksum, 2003: 114). Sejalan
pemikiran tersebut, al-Qushashi (1909: 119-120) menyatakan sufi yang
sebenarnya bukanlah mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi
yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr
bi al-ma’ruf wa nahy `an al-munkar demi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat.
Karakter neo-sufisme dengan merujuk pandangan Hamka dan alQushashi di atas menunjukkan bahwa neo-sufisme sebagai ajaran yang
tidak menolak terhadap dunia, dan perlunya sikap aktif dan meleburkan
diri dalam kehidupan masyarakat untuk melakukan gerakan moral demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu karakteristik
tasawuf Hamka adalah melaksanakan kembali konsep tasawuf yang
pangkal pokoknya adalah tauhid. Berdasarkan konsep tersebut model
tasawuf Hamka ialah tasawuf akhlaki (taswuf sunni) yakni tasawuf yang
berorientasi pada amal perbuatan terpuji dan sesuai ajaran al-Quran dan
sunnah Nabi Muhammad.
Tokoh pemikir Islam Indonesia lainnya, Nurcholish Madjid
mengemukakan karakteristik neo-sufisme terletak pada penekanan
perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat dari sufisme
lama. Menurutnya, neo-sufisme cenderung untuk menghidupkan kembali
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 62
Neo Sufisme Nusantara
aktiivtas salafi dan menanamkan sikap positip pada dunia (Maksum,
2003: 114). Manakala al-Buti mengutarakan konsep Ruhaniyyah alIjtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak
kepada konsep neo-sufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini
al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi
terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih
daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan
pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar
adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam
kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi (al-Buti,
1965: 61).
Menurut Burhani (1991: 23) ciri-ciri neo-sufisme adalah tidak
mengenal Tarekat, inklusif dalam memandang aliran tasawuf bahkan
agama lain, tidak mengenal guru atau mursyid apalagi guru ruhani,
didominasi kaum terpelajar, dan pengikutnya dari kalangan yang
bermateri cukup.
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar beberapa tokoh
tasawuf di atas menunjukkan bahwa neo-sufisme berupaya untuk
kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang
seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala
segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan
bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang
baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan
dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan
masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang
mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah esoterisme atau
penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan
terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan (Madjid, 2002: 15). Neosufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna
keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada
salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah keseimbangan
(tawazun).
B. Pemikiran Neo-Sufisme di Nusantara
63 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Pemurnian tasawuf di Indonesia pada pertengahan kedua abad ke
19 dan abad ke 20 M, pada dasarnya, mementingkan ciri puritanis dan
aktitivis. Artinya, tasawuf baik dalam aspek ajaran maupun praktiknya
harus berpijak kokoh pada sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan
al-Sunnah, dan oleh karena itu terhindar dan praktik-praktik bid’ah
(Siregar, 2002: 314). Selain itu, tasawuf tidak lagi berorientasi kepada
kesalihan individu dan kepasifan tetapi mementingkan moral sosial dan
keaktifan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penekanan pada
kedua aspek kemurnian ajaran tasawuf tersebut, pada batas-batas
tertentu, merupakan kontinuitas dan aktivitas pemurnian yang sudah
dimulai oleh para ulama Nusantara pada abad ke 18, yang dilengkapi
dengan perubahan-perubahan yang terjadi sejak pertengahan kedua
abad ke 19 dan reformulasi baru sesuai dengan kondisi sosial dan politik
yang terjadi pada abad ke 20. Sesuai dengan pemahaman bahwa tarekat
lebih merupakan aspek praktis dari tasawuf, sebagian besar ulama
tarekat lebih mementingkan kegiatan-kegiatan praktis dibandingkan
kegiatan-kegiatan intelektual. Namun sebagian dari mereka juga ikut
ambil bagian dalam wacana intelektual pemurnian tasawuf di Indonesia
pada abad ini.
Pemahaman tentang konsep tasawuf di kalangan ulama-ulama
tarekat pada abad ke 19 dan 20 tidak terdapat perbedaan yang berarti.
Tasawuf lebih dipahami secara moderat dalam arti lebih menekankan
pada aspek akhlak dari aspek filosofisnya. Al-’Arifin (1988: 107)
menjelaskan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dengan
mengontrol nafsu dan akhlak yang tercela, memiliki akhlak terpuji dan
mengikuti seluruh ajaran Nabi Muhammad saw.
Sejalan dengan formulasi tersebut, Badawi (1985: 38) menyatakan
bahwa tasawuf merupakan pensucian jiwa dan akhlak yang tercela.
Formulasi tasawuf dan kedua tokoh tarekat tersebut lebih tepat kalau
disebut tujuan tasawuf. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut
Badawi menjelaskan dua macam tarekat yaitu thariqah ‘ammah (tarekat
umum) dan thariqah khassah (tarekat khusus). Thariqah ‘ammah
merupakan seluruh amal ketakwaan yang dikerjakan secara istiqamah
dengan niat yang ikhlas sedangkan thariqah khassah merujuk kepada
seperangkat dzikir yang dilaksanakan secara terus-menerus dan diterima
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 64
Neo Sufisme Nusantara
dan syaikh sufi tertentu yang mentransmisinya dan Nabi Muhammad
saw.
Pandangan Badawi tersebut mewakili pandangan ulama tarekat
pada umumnya, sepenti yang dikemukakan Dhofier (1978: 10) yang
mengemukakan pengertiannya secara bahasa dan istilah umum, yakni
“pertama: yaitu pandangan umum bahwa hanya mereka yang
menjalankan amalan-amalan dzikir dan wiridan tertentu menurut
tuntutan Kutubul Aullyak; kedua: pengertian bahasa yaitu thoriqoh
diartikan sebagai jalan menuju kepada kesempurnaan, dan taqarrub
untuk memperoleh mahabbah dari Allah” Formulasi-formulasi tersebut
menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh ajaran-ajaran al-Ghazali dalam
perkembangan intelektual para sufi dan ulama tarekat abad ini. Pengaruh
pemikiran tersebut tentu saja kuat sekali pada pemikiran kesufian para
ulama tarekat pada pertengahan kedua abad ke 19 seperti Syaikh ‘Abd AlKarim Amrullah dan Syaikh Nawawi Banten.
Pemikiran tasawuf dan tarekat para ulama tarekat tersebut
sekaligus juga menunjukkan bahwa tasawuf dan tarekat itu berdasarkan
pada al-Quran dan al-Hadits. Badawi (1985: 38) menegaskan bahwa
tasawuf merupakan kewajiban yang harus dijalankan oeh seorang muslim
karena ia merupakan salah satu aspek dan ortodoksi Islam dan setiap
muslim harus selalu berusaha agar seseorang dekat dengan Tuhan.
Seperti Kyai Syamsuri, al-’Arifin (1988) menegaskan bahwa tasawuf harus
berdasarkan al-Quran dan al-Hadits sambil mengutip berbagai ayat dan
hadits Nabi yang berkenaan dengan dzikir, talqin, bai’ah dan silsilah.
Ulama tarekat ini juga menjelaskan dua sumber lain yang digunakan
dalam sufisme yaitu ijma’ dan qiyas untuk menjelaskan masalah-masalah
yang tidak deIaskan secara rinci dalam dua sumber utama tersebut.
Para ulama tarekat biasanya menggunakan konsep ihsan dan
hadits Nabi Muhammad saw sebagai dasar pokok dan ajaran dan praktik
tasawuf itu. Dalam hadits tersebut ada tiga rangkaian dimensi Islam yang
saling berkaitan satu sama lain dan tentu saja tidak bertentangan, yakni
Islam, iman, dan ihsan. Dalam menjelaskan hadits tersebut, Siddiq (1992:
1-2) menjelaskan bahwa Islam termasuk ke dalam fiqh, iman dalam
tauhid, dan ihsan dalam tasawuf. Ulama ini kemudian menekankan
bahwa setiap orang diwajibkan mempraktikkan sufisme sebagaimana dia
juga wajib mempraktikkan ajaran-ajaran fiqh dan tauhid. Hanya saja,
65 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
berbeda dengan figh dan tauhid, tasawuf boleh dipraktikkan sesuai
dengan kemampuan seseorang.
Para ulama tarekat di Nusantara juga berpendapat bahwa tidak
terdapat pertentangan antara ajaran syariat dan tarekat tetapi keduanya
saling berkaitan satu sama lain. Syariat tetap harus dipegang dan
dijalankan untuk dapat memasuki dunia tasawuf. Dalam bukunya yang
berjudul “Tasawuf Petunjuk ke Jalan Kebenaran”, Hamid (1996: 12),
seorang mursyid Naqsyabandiyah-Khalidiyah yang wafat tahun 1916,
mengibaratkan syariah itu sebagal bahtera yang dapat dijadikan sarana
berlayar, tarekat sebagai lautan yang memiliki mutiara, sedangkan
hakikat sebagai mutiara yang dicari dalam lautan. Hamid (1996: 14)
kemudian menulis:
Barangsiapa yang berniat mencari mutiara haqiqat, maka harus
memakai bahtera yang baik dan sempurna alatnya, yaitu melaksanakan
agama Allah serta mengetahui dan melaksanakan hukum agama. Harus
mau dan berani menyelami lautan thariqah yang artinya melaksanakan
agama dengan lebih berhati-hati dan bersungguh-sungguh ibadah serta
riyadhah. Jika tidak demikian, akan bisa menjadi tersesat dan
menyesatkan serti yang telah disebutkan di atas. Adapun thariqah dan
haqiqat itu tidak akan berhasil, kalau tanpa melaksanakan syariat di atas.
Maka wajib bagi orang yang berjalan di jalannya para Wali untuk
menghiasi anggota lahiriyahnya dengan mengerjakan syariat agar jadi
jernih hatinya yang dilihat Allah dan bisa hilang gelapnya hati supaya
thariqah bisa bersemayam di hatinya sampai mudah dan senang
melakukan thariqah.
Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa setiap orang harus
menjalankan syariah maupun haqiqah. Syariah dan haqiqah merupakan
aspek zhahir dan permulaan sedangkan haqiqah merupakan buah atau
hasil dari dimensi syariah dan thariqah (Rachman, 1996: 101). Penjelasan
serupa diberikan oleh Syukri (1994: 100-106), mursyid Tarekat
Sammaniyah yang paling berpengaruh di Palembang, yang membagi
syariah kepada syariah lahir dan syariah batin. Titik pertemuan antara
syari’ah zahir dan syari’ah batin dari dalam tiap ibadah yang disyariahkan
secara zahir mengandung aspek-aspek batin. Kesempurnaan yang
diperoleh manusia itu ialah apabila ia dapat menghimpun dan
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 66
Neo Sufisme Nusantara
rnelaksanakan keduanya dan ini yang menjadi dambaan bagi setiap
muslim.
Tuduhan dan kritik golongan muslim modernis Indonesia mengenai
penyimpangan tasawuf dan syariah dan kecenderungan tasawuf untuk
meinggalkan ajaran syariah tidak beralasan sama sekali. Hal ini tergambar
dan tutisan-tulisan para ulama tarekat Indonesia. Tidak ada satupun
tulisan mereka yang mengesampingkan keberadaan syariah dalam
tasawuf. Dhofier (1982: 147) mencatat penjelasan Kyai Syamsuri dari
Pesantren Tebuireng tentang kewajiban melaksanakan syariah dan
tasawuf secara bersama-sama yang menjadi tradisi para kyai di Jawa dan
tradisi tersebut diambil dari Imam Maliki, yakni “Seorang muslim yang
mempelajani syariah Islam tetapi melupakan aspek tasawwuf, akan
menjadi munafiq, seorang muslim yang mempelajani tasawuf tetapi
mengabaikan syariah menjadi kafir zindiq; dan seorang muslim yang
mempelajari dan mengamalkan dua-duanya (syariah dan tasawuf) akan
memperoleh kesempurnaan dalam Islam. Terhadap praktik-praktik yang
mengesampingkan syariah, Zuhri (1987: 71) menyebutnya kepercayaan di
luar Islam dan pengikutnya dikenal sebagai dukun keramat atu ahli
nujum. Mantan Menteri Agama RI ini menegaskan bahwa orang yang
hanya mengikuti tasawuf tetapi meninggalkan syariah itu bertentangan
dengan hakikat dirinya sendiri yang bukan makhluk sepiritual tetapi
memiliki unsur-unsur lahir dan unsur-unsur batin.
Meskipun tidak menegasikan keharusan berpegang teguh pada
syariah, ulama tarekat menyepakati hanya dengan tasawuf seseorang
dapat memperoleh kenikmatan dan kepuasan beragama. Badawi (1985:
39) berargumentasi bahwa syariah memang esensial tetapi tidak dapat
menyelesaikan problem-problem kehidupan manusia. Oleh sebab itu,
masyarakat muslim harus menghiasi diri dengan dimensi esoteris dan
kemuliaan batin. Kerusakan batin merupakan sumber segala kerusakan
dan malapetaka yang menimpa umat manusia. Sufisme, menurut ulama
tarekat ini, adalah sumber kedamaian jiwa manusia balk dalam keadaan
kesusahan dan kesulitan maupun dalam keadaan kesenangan dan
kesejahteraan. Dengan demikian, berpegang teguh pada syariah saja
tanpa dilkuti dengan tasawuf tidak akan mendatangkan kebahagiaan,
balk di dunia maupun akhirat.
67 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Para ulama tarekat dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan
kehidupan sehari-hari, tidak memandang sufisme hanya untuk tujuan
akhirat semata tanpa mempedulikan kehidupan di dunia. Dalam masalah
ini jelas bahwa tuduhan sebagian orang yang mengatakan tasawuf
sebagai ajaran-ajarari kepasifan tertolak. Badawi (1985: 39) menjelaskan
bahwa sufisme tidak membenci dunia. Tentang hadits Nabi saw. yang
menyatakan bahwa “dunia adalah penjara bagi orang muslim dan surga
bagi orang kafir”, ulama tarekat ini memberi komentar bahwa hadits
tersebut tidak mengandung pengertian bahwa seorang muslim tidak
dibolehkan kaya raya den hidup sejahtera sedangkan kekayaan dan
kesenangan ito identik dengan orang kafir. Bahkan, menurut
K.H.Syansuri Badawi, tepat juga bila dikatakan bahwa kehiciupan di dunia
ml bukan neraka bagi orang muslim baik kaya maupun miskin. Yang
paling penting adalah bahwa seorang muslim baik kaya maupun miskin
harus senantiasa berusaha untuk taqarrub kepada Allah. Dalam sufisme,
hidup tidak mencintai dunia dikenal dengan istilah zuhud.
Sufisme memang mengajarkan hidup zuhud tetapi sering
disalahartikan oleh orang yang tidak memahaminya. al-Jalil (1996: 25)
menjelaskan bahwa zuhud wajib dilaksanakan agar seseorang dekat
kepada Allah. Zuhud diartikannya sebagai “menghilangkan rasa cinta
kepada harta dunia yang dapat melupakan ibadah kepada Allah”. Akan
tetapi, orang yang zuhud itu bukan berarti tidak memiliki harta kekayaan
sama sekali dan tidak boleh mencari harta tetapi ia harus memiliki harta
kekayaan yang sebagiannya untuk dirinya dan keluarganya untuk tujuan
beribadah kepada Allah sedang sebagiannya lagi diberikan sebagai
sedekah dan infaq kepada golongan yang membutuhkan.
Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Kyai Syamsuri, bahwa
seseorang yang memiliki harta tidak boleh mencintai harta tersebut dan
meninggalkan zuhud karena harta hanya merupakan amanah Allah yang
harus dibelanjakani untuk kepentingan akhirat nanti. Seseorang tidak
boleh membelanjakan hartanya secara berlebihan dan hanya untuk
kesenangannya sendiri tetapi harus membelanjakannya untuk tuluan
keagamaan yakni membayar zakat, bersedekah, dan memberikan amal
jariah seperti membangun masjid dan sekolah (Dhofier, 1980: 269).
Menurut Mas’udi (1985: 69) yang mempelajari pemikiran kitab kuning,
kitab yang digunakan di lingkungan pesantren, isi kitab kuning tidak
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 68
Neo Sufisme Nusantara
pernah mengesampingkan pentingnya harta sehingga seseorang tidak
perlu bekerja. Seseorang dilarang jatuh ke lembah kemiskinan maupun
melampaui batas dalam mengumpulkan harta kekayaan. Al-’Arifin
sebagai ulama tasawuf yang ingin melakukan pemurnian terhadap ajaranajaran tasawuf yang menyimpang dari al-Quran bahkan memberikan
interpretasi yang dinamis tentang zuhud yakni “kejarlah dunia itu
sebanyak-banyaknya, kejarlah harta dan pangkat sebanyak-banyaknya,
tapi semua itu kendaklah tidak membuat engkau lengah untuk berdzikir
kepada Allah. Bahkan mengejar kepentingan dunia itu harus dalam
rangka ibadah kepada Allah” (Rachman, 1991: 102)
Zuhud dipandang sebagai sikap terhadap dunia yang paling baik
dan mulia yang harus dipegang oleh setiap orang. Badawi (1985: 41)
membagi sikap manusia terhadap harta kepada empat tingkatan, yaitu
pertama dan tertinggi ialah al-zahid yakni seseorang yang tidak bersedih
jika tidak memperoleh harta tetapi ia sedih kalau menerimanya karena
memandang harta itu sebagai amanah yang berat dan Allah yang harus
dijalankan sesuai dengan kehendak-Nya. Kedua adalah al-radi yakni
seseorang yang tidak pernah bersedih ketika memperoleh atau tidak
memperoleh harta. Ketiga, al-qani ialah seseorang yang tidak bersedih
jika tidak mendapat harta tetapi bahagia bila menerimanya. Tingkatan
keempat dan terendah adalah al-harisy yakni seseorang yang
menggerutu jika tidak mendapat harta tetapi sangat bahagia bila
menerimanya walaupun harta itu tidak halal.
Para ulama tarekat biasanya mengemukakan argumentasinya
tentang keuntungan hidup zuhud dan kerugian meninggalkannya.
Seorang yang hidup zuhud akan memperoleh kedudukan yang tinggi di
sisi Allah sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw yang
memerintahkan untuk hidup zuhud di dunia agar menjadi kekasih Allah.
Sebaliknya, argumentasi al-Jalil (1996: 26), seseorang yang mencintai
harta dan kehidupan di dunia akan mendapat kebingungan karena ía
akan senantiasa berusaha mencari keutungan. Ulama ini melanjutkan
penjelasannya: Jika rugi bingungnya setengah mati lari kesana kemari
mencari tambalan. Jika beruntung masih saja mengeluh kurang banyak,
berlari-lari mencari tambahan, bagaikan orang kebanyakan minumminuman keras sampai mabuk sehingga tidak mengenal saudaranya,
69 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
yang diketahui hanyalah uang, tidak rukun dengan kawan karena takut
kalau-kalau diminta pertolongan.
Al-Badawi (1985: 41) menekankan pentingnya hidup sederhana
tetapi prinsip hidup sederhana itu memiliki makna yang berbeda bagi
orang-orang yang berasal dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Akan
tetapi sufisme dapat, dan bahkan harus dipraktikkan oleh setiap muslim
tanpa memandang tingkatan sosial ekonominya. Dia bahkan memandang
bahwa sufisme merupakan solusi agama terhadap persoalan-persoalan
kehidupan modern. Seorang artis sekalipun, tegas al-’Arifin, tidak saja
boleh tetapi harus mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf karena artis itu
hanya sekedar profesi. Yang penting ialah bahwa dalam menjalankan
tugas-tugas profesinya seseorang harus senantiasa dzikir kepada Allah
(Rachman, 1991: 102). Pandangan-pandangan ini sejalan dengan
pandangan Nasr (1984), tokoh neo-tradisionalis terkenal saat ini, yang
menegaskan bahwa hanya sufisme yang mampu memberikan solusi bagi
berbagai krisis yang dialami manusia modern, yang krisis-krisis tersebut
berpangkal dari kehampaan spiritual dan kehilangan visi keilahian.
Selain zuhud, ajaran tasawuf tentang ‘uzlah merupakan salah satu
kritik yang dilancarkan golongan modernis dan menjadi sumber
kesalahfahaman terhadap sufisme berkenaan dengan aspek-aspek
modernitas. ‘Uzlah juga menjadi salah satu tema yang dikaji dalam
wacana neo-sufisme. Kelompok yang mengkritik sufisme biasanya
menuding bahwa uzlah yang berarti pengasingan diri berisi ajaran
tentang kepasifan hidup di dunia.
Bagi para ulama tarekat, ‘uzlah atau mengasingkan diri dari
keramaian itu harus dipertimbangkan manfaat dan mudharatnya bagi
agama dan ibadah kepada Allah. `Abdul Jalil menjelaskan bahwa ‘uzlah
lebih baik dilakukan daripada harus bergaul dengan orang-orang yang
suka mengikuti hawa nafsunya dan suka berkhianat (al-Jalil, 1996: 48).
Abdul Jalil mengutip pendapat Al-Ghazali tentang manfaat ‘uzlah dan
manfaat bergaul sesama manusia. Ada enam manfaat ‘uzlah, yaitu 1) bisa
melulu beribadah kepada Allah, 2) bisa selamat dari dosa akibat bergaul
sesama manusia, 3) bisa selamat dari fitnah dan pertentangan, 4) bisa
selamat dari kejahatan manusia, 5) terhindar dan sifat tamak, dan 6) bisa
mengetahui perbuatan-perbuatan tercela. Akan tetapi, menurut ‘Abdul
Jalil, bergaul dalam jamaah itu lebih utama bagi orang yang mampu
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 70
Neo Sufisme Nusantara
melaksanakan amar makruf dan nahi munkar serta ia yakin benar bahwa
berkumpul dalam jamaah tersebut tidak akan mengurangi dan
mengalahkan kebaikan.
Gugusan pemikiran di atas sesuai dengan pendapat Al-Ghazaii,
bergaul sesama manusia itu memiliki tujuh manfaat, yaitu 1). bisa
mengajar, 2). baik din maupun hartanya bisa bermanfaat bagi orang lain,
3). bisa mendidik, 4). memperoleh kesenangan dan kebahagiaan bile
bertemu teman dan sahabat yang juga merupakan ibadah, 5). bisa
memperoleh pahala dengan menjenguk orang sakit dan ta’ziyah, 6). bisa
melaksanakan amar makruf nahi munkar, dan 7). bisa mengetahui
kekuatan hatinya dalam menghadapi perilaku manusia yang beraneka
ragam (al-Jalil, 1996:48-49). Dengan poin-poin ini jelas bahwa ‘uzlah
bukanlah jalan yang utama yang harus ditempuh tetapi hanya merupakan
suatu keterpaksaan bila tidak mampu melaksanakan amar makruf dan
nahi munkar. Jalan yang lebih baik dan utama adalah bergaul sesama
manusia dengan melaksanakan berbagai ibadah sosial kemasyarakatan
Dengan demikian, hidup aktif dalam masyarakat memerlukan
kemampuan tenaga, fikiran dan harta agar mampu melaksanakan amar
makruf dan nahi munkar.
Meskipun para ulama tarekat pada akhir abad ke 19 dan 20 ini tidak
menamai pemikirannya sebagai neo-sufisme atau tasawuf modern
seperti Hamka, pemikiran mereka mengandung unsur-unsur yang serupa
dengan ciri-ciri neo-sufisme pada umumnya. Di kalangan ulama tersebut
memang berkembang prinsip untuk berpegang teguh pada tradisi
sufisme yang telah dibangun oleh para sufi dan guru-guru mereka
walaupun mereka tetap menerima hal-hal baru yang dianggap lebih baik.
Prinsip agar berpegang teguh pada syariah merupakan kontinuitas dari
ajaran-ajaran yang telah dikembangkan tokoh-tokoh sufi di Nusantara
pada abad ke 18. Nuansa-nuansa baru tampak jelas pada pemikiran
mereka mengenai ajaran-ajaran tasawuf tentang keaktifan dalam
masyarakat. Pemikiran tersebut tergolong maju sehingga tampak bahwa
sufisme dapat menjadi solusi terhadap masalah-masalah masyarakat
modern. Tema-tema ini tampaknya belum ditemukan dalam pemikiran
ulama sufi Indonesia pada abad sebelumnya. Perubahan pemikiran
tersebut dilatarbelakangi adanya tuntutan agar sufisme tidak hanya
dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosiokultural di
71 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Indonesia tetapi juga dapat menjadi solusi terhadap masalah-masalah
yang dihadapi masyarakat modern.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa tema-tema neo-sufisme
yang menekankan kontinuitas dan sinergitas ajaran tasawuf dengan
syariah telah mewarnai pemikiran para tokoh tarekat abad ke 20 di
Nusantara. Diantara tokoh-tokoh sufisme nusantara tersebut yang
tergolong kuat gaungnya menyuarakan neo-sufisme adalah Hamka. Dia
lebih suka menamakan pemikirannya dengan tasawuf modern,
menurutnya modern memiliki kesan lebih optimistik, sehingga kalau
membaca pemikiran tasawufnya nampak bahwa tasawuf yang diinginkan
Hamka adalah tasawuf yang memiliki benang merah dengan syariah serta
tasawuf yang adaptif dan fungsional di era modern (Kuswanto, 2007: vii).
Sejalan dengan pemikiran Hamka, tokoh lain yang sangat kuat
menyuarakan neo-sufisme di tanah air adalah Nurcholish Madjid. Sosok
cendekiawan ini sangat gigih dan konsisten untuk selalu
memperjuangkan gagasan plurarisme Islam, dan dikenal sebagai
perumus “wajah Islam Indonisia” yang empati dan inklusif melalui
penyerasian tiga tema besar yang sofistikatif: Keislaman, kemoderan, dan
keindonesiaan.
Pemikiran neo-sufisme Cak Nur mengajak umat Islam Indonesia
untuk mengamalkan tasawuf, karena tasawuf memiliki akar yang kokoh
dalam Islam dan memiliki sinergitas dengan syariah. Tasawuf yang
dikembangkan Cak Nur adalah neo-sufisme yang mengajarkan hidup aktif
dalam masyarakat atau lebih membumi dan mampu menjadi solusi
menghadapi kehidupan modern. Menurut Cak Nur, ajaran tasawuf
seperti zuhud, qana`ah, dan tawakkal sama sekali bukan ajaran tentang
kepasifan. Ajaran tersebut tetap merupakan ajakan untuk berusaha dan
bekerja secara maksimal tetapi disertai dengan sikap bathin yang
mengakui akan ke-Maha-Hadiran dan ke-Maha-Kuasa-an Tuhan.
Kesuksesan dan kegagalan usaha tersebut tidak selamanya dapat
dipahami tanpa ada pengakuan akan kekuasaan Tuhan (Zulkifli, 1997:
149).
Cak Nur memiliki pandangan kesufian lebih komprehensif dan lebih
maju. Hal ini disebabkan dia memiliki latar belakang pendidikan Islam
yang mewakili berbagai tradisi dan kajian keislaman. Studinya di Barat
yang menekankan sikap kritis membuat dia memiliki analisis yang tidak
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 72
Neo Sufisme Nusantara
dimiliki pemikir lainnya. Perubahan orientasi studi Islam di Indonesia
membawa perubahan mendasar dalam pemikiran kesufian di Indonesia.
Cak Nur berusaha melakukan sintesis dari dari beberapa pemikiran
kesufian yang menonjol dan berbeda satu sama lain. Sintesis tersebut
dikontekstualisasikan dengan persoalan-persoalan kemodernan sehingga
melahirkan sufisme baru, wajah sufisme yang berakar kokoh dalam
sumber ajaran Islam yang lebih menjajikan dalam menjawab masalahmasalah kemasyarakatan dan kemanusiaan. Kemampuannya melakukan
sintesis dan kontekstualisasi dengan sikap apresiatif terhadap tradisitradisi dan antisipatif terhadap modernitas melahirkan pemikiran neosufisme yang dapat memberikan penyegaran bagi pemikiran dan
kehidupan tasawuf di Indonesia.
73 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Download