A16 24 APRIL 2011 Rak Kekeliruan Soal Negara Islam Perbincangan tentang negara Islam hingga kini masih tetap ada di beberapa kelompok kaum muslim. Mereka menganggap Islam telah mengajarkan semua aspek secara paripurna, termasuk konsep negara. Ini merujuk pada fakta sejarah tentang berdirinya pemerintahan (chiefdom) Madinah pada masa Rasulullah SAW. Namun benarkah pemerintahan Madinah itu sebagai sebuah konsep negara Islam? Pemahaman seperti ini perlu dikaji kesahihannya. Buku karya Abdul Aziz ini hadir dengan pendekatan dan metode interpretasi historissosiologis. Hasilnya, penulis menyatakan bahwa Islam dan tradisi Arab jahiliyah samasama memberi andil bagi kemunculan pemerintahan Madinah. Buku ini terdiri atas tujuh bab, penjelasannya dimulai dari studi para pemikir muslim tentang pembentukan negara pada abad kedua Hijriah. Buku ini juga menguraikan benih pemikiran sejumlah pemikir muslim kontemporer, seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin. ● Judul buku: CHIEFDOM MADINAH, SALAH PAHAM NEGARA ISLAM Penulis Editor Penerbit Edisi Tebal : Dr Abdul Aziz, MA : Ahmad Baedowi : Pustaka Alvabet : Maret 2011 : 424 halaman Mengungkap Situs Pembocor WikiLeaks WikiLeaks bisa jadi situs paling ditakuti banyak negara. Situs pembocor rahasia intelijen ini telah banyak mengungkap konspirasi perang, korupsi korporasi, suap-menyuap bisnis minyak, dan tekanan-tekanan politik yang dilakukan negara besar ke negara kecil. Tak mengherankan bila pendiri WikiLeaks, Julian Assange, sempat diburu beberapa negara. Dia dicari-cari Interpol dengan tuduhan apa pun yang bisa membawanya ke penjara. Siapa sebenarnya Assange, yang mendapat julukan The Robin Hood of Hacking? Bagaimana sistem kerja WikiLeaks sehingga bisa mendapatkan hingga 250 ribu bocoran kawat diplomatik Amerika Serikat itu? Siapa otak di belakangnya? Semua pertanyaan itu bisa ditemukan dalam buku ini. Isinya sangat informatif lantaran menyajikan banyak hal yang belum diketahui banyak orang tentang sosok Assange dan WikiLeaks. Bahasanya mudah dicerna dan gambar sampulnya memikat mata. ● AMIRULLAH Judul buku: WIKILEAKS, BERBAHAYA DI DUNIA Penulis: Haris Priyatna Penerbit: Mizan Edisi: Maret 2011 Tebal: 233 halaman SITUS PALING Salah satu karakter dasar kekuasaan adalah hidup mewah. bdurrahman Ibnu Khaldun al-Magribi al-Hadrami alMaliki, atau yang dikenal dengan nama Ibnu Khaldun, bukanlah seorang ahli nujum. Ia bukan pula seorang syekh meski hafal Al-Quran sejak usia dini. Tapi pemikiran-pemikirannya melampaui usia zamannya. Salah satunya seputar gejolak politik dan sosial di Timur Tengah. Mulai runtuhnya rezim Husni Mubarak di Mesir hingga upaya menjungkalkan rezim Kolonel Muammar qadhafi di Libya. “Ketika karakter dasar penguasa adalah menikmati kebesaran secara individual, hidup bermewah-mewah, dan senang berdiam diri, maka kerajaan di ambang kehancuran,” demikian dikatakan Ibnu Khaldun lewat karyanya, Mukaddimah. Karya sarjana Islam yang hidup pada abad ke-14 ini memang mengemuka dan dikagumi kalangan intelektual dari Barat dan Timur hingga kini. Tak mengherankan bila filsuf Jerman, Wilhelm Windelband (1848-1915), dalam filsafat sejarahnya menyebut Ibnu Khaldun sebagai figur tokoh yang ajaib.“Ia sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang,” tuturnya. Tiga pekan lalu, Pustaka Al-Kautsar menerbitkan versi ilmiah karya yang sudah “kanonik”ini dalam edisi bahasa Indonesia dengan kemasan yang luks. Terjemahan buku ini pernah hadir pada 1980-an. Berangkat dari pengalaman dan pengamatannya yang tajam, Ibnu Khaldun merajut pikiranpikiran kritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Ia juga memberikan kritik yang inovatif terhadap cakupan sejarah seperti tertuang dalam Mukaddimah, yang merupakan pengantar dari buku induknya, yakni Kitab Al-’Ibar atau Sejarah Universal. Buku ini dirampungkan Ibnu Khaldun, yang asli Tunisia, pada usia 43 tahun. Jauh sebelum Presiden Sukarno mewanti-wanti rakyat Indonesia agar tidak sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), Ibnu Khaldun telah mengingatkan, lewat Mukaddimah, pentingnya arti sejarah. “Fungsinya beragam dan tujuan yang mulia,”kata guru besar Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, ini. Karena itu, di buku ini, pertama-tama ia membahas tentang peran ilmu sejarah. Ia juga melakukan renovasi terhadap cara penulisan sejarah. Sebab, kata Ibnu Khaldun,“Lewat sejarahlah kita mengenal kondisi bangsa-bangsa terdahulu dari segi perilaku dan moral politik raja-raja dan penguasa.”Lebih dari itu, menurut dia, mempelajari peristiwa-peristiwa masa lampau penting guna memahami masa yang akan datang. Karena itulah A IBNU KHALDUN DAN USIA KEKUASAAN Judul buku: IBNU KHALDUN: MUKADDIMAH Sebuah Karya Mega-Fenomenal dari Cendekiawan muslim Abad Pertengahan Pengarang: Ibnu Khaldun Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Edisi: Maret 2011 Tebal: 1.087 Halaman Harga: Rp 210 ribu prediksi-prediksinya tentang kondisi sosial-politik di negara-negara Arab Islam, yang senantiasa dililit konflik antar-elite kekuasaan, masih relevan hingga kini. “Kekuasaan terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas kelompok lainnya,”kata Ibnu Khaldun. Karena itulah, menurut dia, partai politik sering kali menjadi pelindung, pembela, dan bahkan klaim atas segala persoalan. “Karena itulah kelompok yang berkuasa kerap mencari legitimasi kemenangan dari massa lewat pelbagai siasat serta manuver dengan mengatasnamakan kelompok, profesi, dan bahkan agama.” Alhasil, Ibnu Khaldun menawarkan konsep agar kekuasaan maupun politik senantiasa selaras dengan rasa kemanusiaan. “Kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanah dari Allah,”demikian dia menulis. Pandangan inilah yang membedakan Ibnu Khaldun dengan Niccolo Machiavelli (1469-1528), seorang filsuf asal Italia yang menulis ideide bangunan sosial-politik kenegaraan lewat bukunya, The Prince. Sebagaimana berakhirnya rezim Mubarak, Ibnu Khaldun telah mewanti-wanti bahwa pemerintahan itu memiliki usia yang alami layaknya manusia. Berda- sarkan hasil telaahnya, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa usia pemerintahan, meski berbeda-beda situasi dan kondisi yang melingkupinya, tak lebih dari usia tiga generasi.Tak lupa ia mengutip Al-Quran surat Al-A’raf ayat 34: “Maka apabila telah datang waktunya, mereka tak dapat memundurkanya barang sesaat pun dan tak (pula) dapat memajukannya.” Menurut dia, suatu bangsa tak akan memperoleh kekuasaan kecuali dengan perjuangan.“Tujuan akhir dari perjuangan adalah kemenangan dan kekuasaan,” ujar Ibnu Khaldun. Maka, apabila tujuan itu telah tercapai, segenap upaya untuk mendapatkan kekuasaan itu berakhir dengan sendirinya. Ia pun mengutip sebuah syair: Aku kagum kepada perjuangan, masa antara aku dengannya Ketika perjuangan kami selesai, maka masa itu pun hening. Lalu apa yang diperoleh para penguasa itu? “Mereka memilih istirahat, menenangkan diri, dan bersantai,” begitu kata Ibnu Khaldun. “Mereka memilih bersantai daripada hidup bersusahpayah lagi dengan meraih fasili- tas-fasilitas kemewahan sebagai penguasa. Rumah dan tempat tinggal yang megah, serta pakaian-pakaian yang mewah, membuat air mancur, dan berusaha menikmati kehidupan dunia.” Begitulah dengan detail Ibnu Khaldun memerinci fakta-fakta dan gejala-gejala psikologis, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Mengaitkan itu semua dengan arus sejarah dan kemajuan peradaban manusia, lalu mempelajarinya dengan metode-metode yang masuk akal. Termasuk menggelar studi atau penelitian. Itu sebabnya, pada Mukaddimah, Ibnu Khaldun membahas beragam topik, dari gejala sosial, sejarah, filsafat, geografis, lingkungan, sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sampai ilmu pengetahuan. Singkat kata, karya pada abad ke-14 ini sungguh amat lengkap dalam menerangkan ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Lantaran pemikirannya yang brilian itulah, Ibnu Khaldun pun menyandang banyak gelar: peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam, Bapak Ekonomi Islam, pionir ilmu filsafat sejarah, Bapak Sosiologi Islam, dan sederet gelar lainnya. Meski pada kenyataannya pemikiran Ibnu Khaldun, dalam mencatat perkembangan peradaban, tak semata-mata berlandaskan “Kehendak Tuhan”, ia melihat bahwa perkembangan peradaban itu tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada jenis masyarakat mana pun, baik muslim maupun nonmuslim. Selain karena kepandaiannya, semua itu diperolehnya lewat pengalaman. Ibnu Khaldun pernah menduduki sejumlah jabatan penting di Fez, Granada, dan Afrika Utara. Ia juga pernah menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ibnu Khaldun wafat di Kairo pada 19 Maret 1406 M. ● ANDREE PRIYANTOX