6 BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Jasa Jasa merupakan pemberian suatu kriteria atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. (Rangkuti, 2006, p26). Sedangkan menurut pendapat Musanto (2004), pada dasarnya jasa merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur ketakberwujudan yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan memberikan berbagai manfaat bagi pihak-pihak terkait. Pada umumnya, jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut. Pemasaran jasa tidak sama dengan pemasaran produk karena : • Pemasaran jasa lebih bersifat intangible dan immaterial karena produknya tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. • Produksi jasa dilakukan saat konsumen berhadapan dengan petugas sehingga pengawasan kualitasnya dilakukan dengan segera. Hal ini lebih sulit daripada pengawasan produk fisik. • Interaksi antara konsumen dan petugas adalah penting untuk dapat mewujudkan produk yang dibentuk. Tujuan manajemen jasa pelayanan adalah untuk mencapai tingkat kualitas pelayanan tertentu yang dihubungkan dengan tingkat kepuasan pelanggan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam konsep manajemen jasa pelayanan : 7 1) Merumuskan suatu strategi pelayanan 2) Mengkomunikasikan kualitas kepada pelanggan 3) Menetapkan suatu standar kualitas secara jelas 4) Menerapkan sistem pelayanan yang efektif 5) Karyawan yang berorientasi kepada kualitas pelayanan 6) Survey tentang kepuasan dan kebutuhan pelanggan. Sukses suatu industri jasa tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu mengelola tiga aspek yang dikenal sebagai Segitiga Jasa berikut : 1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan. 2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut. 3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan. Pelanggan EXTERNAL MARKETING INTERACTIVE MARKETING Menetapkan janji mengenai produk/jasa yang akan disampaikan Menyampaikan produk/jasa sesuai dengan yang telah dijanjikan Karyawan INTERNAL MARKETING Manajemen Membuat agar produk/jasa yang disampaikan sesuai dengan yang dijanjikan Sumber : Rangkuti (2006, p27) Gambar 2.1 Diagram Segitiga Pemasaran Jasa 8 Kegagalan di satu sisi dapat menyebabkan segitiga jasa roboh, yang artinya industri jasa tersebut gagal. Pembahasan industri jasa harus meliputi perusahaan, karyawan, serta pelanggan. Status dan peran perusahaan, karyawan, serta pelanggan seperti pada Gambar 2.1. Tabel 2.1 Peran dan Status Segitiga Pemasaran Jasa STATUS PERAN Fasilitator terhadap karyawan agar mampu melayani pelanggan. • penyelidik keinginan pelanggan • pembuat spesifikasi jasa yang akan disampaikan • pemberdaya karyawan agar mampu menyampaikan jasa kepada pelanggan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan KARYAWAN Penyampai jasa • jasa itu sendiri • personifikasi atau gambaran dari perusahaan • pemasar jasa secara tidak langsung PELANGGAN Penerima jasa Penilai kualitas jasa PERUSAHAAN Sumber : Rangkuti (2006, p28) 2.1.2 Pengertian Kualitas Jasa Kualitas jasa didefinisikan sebagai penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan pelanggan. (Rangkuti, 2006, p28). Jenis kualitas jasa yang digunakan untuk menilai kualitas jasa adalah sebagai berikut : 1) Kualitas teknik (outcome), yaitu kualitas hasil kerja penyampaian jasa itu sendiri. 2) Kualitas pelayanan (proses), yaitu kualitas cara penyampaian jasa tersebut. 9 Setiap perusahaan jasa perlu mengetahui, mengantisipasi, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan pelanggan dengan memperhatikan kriteria jasa. Berdasarkan pendapat Rangkuti (2006, p29), ada sepuluh kriteria umum atau standar yang menentukan kualitas suatu jasa, yaitu : • Reliability (keandalan) • Responsiveness (ketanggapan) • Competence (kemampuan) • Access (mudah diperoleh) • Courtesy (keramahan) • Communication (komunikasi) • Credibility (dapat dipercaya) • Security (keamanan) • Understanding (knowing the customer) (memahami pelanggan) • Tangibles (bukti nyata yang kasat mata) Kesepuluh dimensi tersebut dapat disederhanakan menjadi lima dimensi, yaitu sebagai berikut : 1) Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik. 2) Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. 3) Emphaty (empati), yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, serta kemudahan untuk dihubungi. 4) Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan, kesopanan petugas, serta sifatnya yang dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari risiko. 10 5) Tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan sarana komunikasi. 2.1.3 Pengertian Konsumen dan Pelanggan Berdasarkan Model Lima Kekuatan Kompetitif dari Porter, konsumen memiliki kedudukan sebagai salah satu kekuatan melalui daya tawarnya (bargaining power). Daya tawar konsumen ini menjadi sangat penting karena merekalah yang mempunyai kebutuhan dan keinginan, sarana pembelian (waktu dan uang), dan menentukan keputusan pembelian. (Prasetijo dan Ihalauw, 2005, p4) Definisi pelanggan potensial menurut Harvey Thompson (2000, p42) yaitu : • Seorang pelanggan atau konsumen adalah orang atau organisasi yang berinteraksi dengan produk, jasa, atau proses dan kemungkinan merupakan pengguna akhir. • Seorang pelanggan atau channel adalah orang atau organisasi yang membeli atau menangani produk atau jasa, biasanya sebagai intermediary pengguna lain. • Pelanggan atau proses internal adalah bagian dari rantai proses perusahaan yang menyediakan produk atau jasa kepada pelanggan eksternal. Pelanggan (Customer) berbeda dengan konsumen (Consumer). Seseorang dapat dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggan tetapi sebagai seorang pembeli atau konsumen. (Trisno Musanto, 2004) Seorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. 11 Strategi, rencana, program, dan prioritas perusahaan mengenai hubungan dengan pelanggannya biasanya dibuat berdasarkan perspektif sudut pandang dari dalam ke luar (inside-out). Padahal seharusnya perusahaan melihat dari sudut pandang luar ke dalam (outside-in), mengambil dari perspektif pelanggan seterusnya ketika berinteraksi dalam bisnis. Berdasarkan pendapat Harvey Thompson (2000, p31) perusahaan perlu mengidentifikasi target pelanggan dan mendapatkan visi mereka untuk berbisnis dengan perusahaan dengan beberapa langkah berikut ini : • Bagaimana nilai atau keuntungan yang diperoleh pelanggan dari interaksi yang terjadi dengan produk, pelayanan, dan proses perusahaan? • Apa level minimum dari nilai yang harus dimiliki untuk mempertahankan pelanggan? • Apa level optimum dari nilai yang dapat diharapkan pelanggan? • Atribut apa saja dari penjual ideal dan nilai pengiriman ideal yang dapat mempengaruhi perilaku, loyalitas, dan pertumbuhan pembeli? 2.1.4 Perilaku Konsumen Banyak definisi mengenai Perilaku konsumen yang telah dikemukakan para ahli sebagai berikut : Interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar kita di mana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. J. Paul Peter dan Jerry C. Oslo Tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan ini. James F. Engel Sedangkan menurut Freddy Rangkuti, perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai berikut : 12 1) Perilaku konsumen adalah dinamis, menekankan bahwa seorang konsumen, kelompok konsumen serta masyarakat luas selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. 2) Perilaku konsumen melibatkan interaksi, menekankan bahwa untuk mengembangkan strategi pemasaran yang tepat, kita harus memahami yang dipikirkan (kognisi), dirasakan (pengaruh), dan dilakukan (perilaku) oleh konsumen. Selain itu kita juga harus memahami apa dan di mana peristiwa (kejadian sekitar) yang mempengaruhi serta dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan konsumen. 3) Perilaku konsumen melibatkan pertukaran, menekankan bahwa konsumen tetap konsisten dengan definisi pemasaran yang sejauh ini juga berkaitan dengan pertukaran. Antecendent (misalnya Expectations) Performance Outcomes Black Box (Processing Psychology) Satisfaction Dissatisfaction Sumber : Rangkuti (2006, p60) Gambar 2.2 Diagram Model “Kotak Hitam” Pembeli Model perilaku konsumen sebagian bersumber dari model rangsangan tanggapan. Rangsangan pemasaran dan lainnya masuk ke dalam “kotak hitam” pembeli dan 13 menghasilkan tanggapan pembeli. Rangsangan pemasaran yang terdiri dari produk, harga, tempat, dan promosi yang disertai dengan rangsangan lainnya berupa kekuatan dan peristiwa besar dalam lingkungan pembeli, ekonomi, politik, dan budaya akan masuk melalui “kotak hitam” pembeli dan menghasilkan serangkaian tanggapan pembeli. Hal ini dapat diamati seperti yang terlihat pada gambar berikut. Perilaku pembelian para konsumen sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor utama berkut : • Faktor budaya Faktor budaya yang memiliki pengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku pembelian konsumen, terdiri dari komponen budaya, subbudaya, dan kelas sosial. • Faktor Sosial Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status. • Faktor Pribadi Keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang meliputi usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, dan konsep diri. • Faktor Psikologis Pilihan seseorang untuk membeli dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama, yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, serta keyakinan dan pendirian. 2.1.5 Sikap Konsumen Lefton mendefinisikan sikap sebagai pola perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku terhadap orang, ide, atau obyek yang tetap dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan Schiffman dan Kanuk mengatakan sikap adalah predisposisi yang dipelajari dalam 14 merespons secara konsisten sesuatu objek, dalam bentuk suka atau tidak suka. (Prasetijo dan Ihalauw, 2005, p104). Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pola perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku seseorang dalam bentuk suka atau tidak suka yang konsisten terhadap suatu objek. Sikap konsumen merupakan salah satu komponen penting dalam perilaku pembelian. Dalam proses pengambilan keputusan, ada dua variabel pemikiran dalam sisi psikologis seorang konsumen, yaitu sikap dan kebutuhan. Dalam terminologi pemasaran, kebutuhan adalah tujuan yang menggerakkan konsumen melakukan pembelian. Sedangkan sikap adalah evaluasi konsumen atas kemampuan atribut suatu produk atau merek alternatif dalam memenuhi kebutuhan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebutuhan mempengaruhi sikap dan sikap mempengaruhi pembelian. Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk berperilaku dan dapat dipengaruhi oleh situasi. Sikap konsumen terhadap produk atau jasa tertentu bisa bersifat positif maupun negatif. Dua fase pembentukan sikap : 1) Pada saat konsumen tidak mempunyai pengetahuan atau sikap terhadap merek, pembentukan sikap terhadap merek sangat diperlukan. 2) Apabila sikap telah terbentuk, fase berikutnya adalah bagaimana mengubah sikap. Konsumen mulai belajar tentang sikap terhadap merek produk atau jasa tertentu sebelum ia melakukan tindakan pembelian. Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya (aaipoel.wordpress.com). Model Tiga komponen sikap (Three Component Attitude Model) merupakan model yang dikembangkan oleh para ahli perilaku yang menentukan secara tepat komposisi sikap dengan maksud agar perilaku 15 dapat dijelaskan dan diprediksi. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut (Prasetijo dan Ihalauw, 2005, p106-107) : • Komponen Kognitif Merupakan pengetahuan (cognition) dan persepsi yang diperoleh melalui kombinasi dari pengalaman langsung dengan obyek sikap (attitude object) dan informasi terkait yang didapat dari berbagai sumber. • Komponen Afektif Merupakan emosi atau perasaan terhadap suatu produk atau merek tertentu yang mempunyai hakikat evaluatif. • Komponen Konatif Kecenderungan seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan dan perilaku dengan cara tertentu terhadap suatu obyek sikap. Komponen konatif lazimnya diperlakukan sebagai ekspresi niat konsumen untuk membeli atau menolak suatu produk atau jasa. Cognitive Component SIKAP Conative Component Affective Component Sumber : Prasetijo dan Ihalauw (2005, p108) Gambar 2.3 Model Tiga Komponen Sikap 16 Empat fungsi utama sikap dalam mempengaruhi masing-masing individu adalah sebagai berikut (Rangkuti, 2006, p67-68) : 1) Fungsi penyesuaian • Mengarahkan pada objek yang menyenangkan • Menghindari objek yang tidak menyenangkan • Memaksimalkan konsep reward and punishment • Sikap konsumen sebagian besar tergantung pada persepsi mereka tentang apa yang memuaskan dan merugikan mereka 2) Fungsi mempertahankan ego • Sikap membantu pertahanan ego untuk melindungi citra diri dari ancaman • Sikap membantu menjaga citra diri kita, walaupun hal ini sering tidak kita sadari. 3) Fungsi pengekspresian nilai • Sikap memungkinkan orang untuk mengekspresikan nilai-nilai sentranya • Dengan sikap, seseorang dapat lebih mudah menerjemahkan nilai-nilainya ke dalam hal yang lebih nyata 4) Fungsi pengetahuan Manusia memiliki kecenderungan mencari stabilitas, definisi, dan pemahaman yang menimbulkan sikap untuk memproses pengetahuan. Apa yang ingin diketahui pun cenderung spesifik, tertuju pada apa yang perlu atau tidak perlu dipahaminya. Sikap positif tidak selalu mengarah pada pembelian. Menurut pendapat Rangkuti (2006, p65), beberapa kondisi yang dapat menyebabkan renggangnya hubungan sikap dan perilaku adalah : • Harga • Ketersediaan produk • Perubahan kondisi pasar 17 Terdapat dua teori perubahan sikap, yaitu (Rangkuti, 2006, p66) : 1) Cognitif Dissonance Theory Ketidaksesuaian terjadi ketika konsumen memperoleh informasi penting tentang kepercayaan atas satu produk atau jasa yang bertentangan dengan kepercayaan sebelumnya. 2) Attribution Theory Teori ini berusaha menjelaskan bagaimana seseorang merespon suatu kejadian dengan menggunakan tolok ukur perilaku yang mereka miliki secara relatif dibandingkan dengan perilaku orang lain. Strategi pengubahan sikap yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap konsumen mereka terdiri dari (Rangkuti, 2006, p66) : 1) Mengubah komponen afektif Yaitu mempengaruhi rasa suka konsumen terhadap merek tertentu secara tidak langsung dengan tujuan meningkatkan kepercayaan positif yang dapat mengarah ke perilaku pembelian. Cara yang umum digunakan adalah melalui classical conditioning. 2) Mengubah komponen perilaku Personel pemasaran perlu mengetahui faktor-faktor pembentukan sikap untuk mencoba-coba produk atau jasa tertentu yang dapat menuntun konsumen pada peningkatan pengetahuan yang dapat mengubah komponen kognitif. 3) Mengubah komponen kognitif Pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengubah sikap adalah berfokus pada komponen kognitif. Dengan berubahnya kepercayaan, perasaan, dan perilaku, sikap juga akan berubah. 18 Keyakinan (kepercayaan) dan evaluasi konsumen terhadap suatu produk membentuk sikap konsumen. Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Karena dalam memutuskan produk dan jasa yang akan dibeli maka konsumen akan memilih produk dan jasa yang dievaluasi secara paling menguntungkan. Sehingga adanya sikap yang baik dan positif atas berbagai atribut produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan, maka konsumen akan melakukan pembelian berulang terhadap produk atau tersebut. Sikap positif ini akan memberikan dasar pada pembelian ulang dan membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut. (Sri Hartini, 2004) 2.1.6 Loyalitas Pelanggan Menurut Olson (1993), loyalitas pelanggan merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang tersebut (Musanto, 2004). Seorang pelanggan yang loyal memiliki prasangka spesifik mengenai apa yang akan dibeli dan dari siapa. Pembeliannya bukan merupakan peristiwa acak. Selain itu, loyalitas menunjukkan kondisi dari durasi waktu tertentu dan mensyaratkan bahwa tindakan pembelian terjadi tidak kurang dari dua kali. Dua kondisi penting yang berhubungan dengan loyalitas adalah retensi pelanggan (customer retention) dan total pangsa pelanggan (total share of customer). Tingkat retensi pelanggan adalah persentase pelanggan yang telah memenuhi sejumlah pembelian ulang selama periode waktu yang terbatas. Pangsa pelanggan suatu perusahaan menunjukkan persentase dari anggaran pelanggan yang dibelanjakan ke perusahaan tersebut. Setiap kali pelanggan membeli, pelanggan akan bergerak melalui siklus pembelian. Pembeli pertama-kali akan bergerak melalui lima langkah : 19 1) Kesadaran Langkah pertama menuju loyalitas dimulai dengan kesadaran pelanggan akan produk. Pada tahap ini perusahaan mulai membentuk “pangsa pikiran” yang dibutuhkan untuk memposisikan ke dalam pikiran calon pelanggan bahwa produk atau jasa yang ditawarkan lebih unggul dari pesaing. 2) Pembelian Awal Pembelian pertama kali merupakan pembelian percobaan, perusahaaan dapat menanamkan kesan positif atau negatif kepada pelanggan dengan produk atau jasa yang diberikan. 3) Evaluasi pasca-pembelian Setelah pembelian dilakukan, pelanggan secara sadar atau tidak sadar akan mengevaluasi transaksi. Bila pembeli merasa puas, atau ketidakpuasannya tidak terlalu mengecewakan sampai dapat dijadikan dasar pertimbangan beralih ke pesaing. 4) Keputusan membeli kembali Keputusan membeli kembali sering kali merupakan langkah selanjutnya yang terjadi secara ilmiah bila pelanggan telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan produk tertentu. Cara lain untuk memotivasi pelanggan supaya membeli kembali adalah dengan menanamkan gagasan ke dalam pikiran pelanggan bahwa beralih ke pesaing lain akan membuang waktu, uang, atau menghambat kinerja pelanggan. 5) Pembelian kembali Langkah akhir dalam silkus pembelian adalah pembelian kembali yang aktual. Untuk dapat dianggap benar-benar loyal, pelanggan harus terus membeli kembali dari perusahaan yang sama, mengulangi langkah ketiga sampai kelima (lingkaran pembelian kembali) berkali-kali. Hambatan terhadap peralihan dapat mendukung 20 pelanggan untuk membeli kembali. Pelanggan yang benar-benar loyal menolak pesaing dan membeli kembali dari perusahaan yang sama kapan saja item itu dibutuhkan. Itu adalah jenis pelanggan yang harus didekati, dilayani, dan dipertahankan. Keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap produk atau jasa dibentuk oleh dua dimensi, yaitu : 1) Tingkat Preferensi Seberapa besar keyakinan pelanggan terhadap produk atau jasa tertentu. 2) Tingkat diferensiasi produk yang dipersepsikan Seberapa signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternatif-alternatif lain. Pelanggan yang membeli barang atau jasa tertentu secara berulang kali belum tentu merupakan pelanggan yang setia. Pelanggan ini bisa saja melakukan pembelian secara berulang karena tidak ada pilihan lain. Kesetiaan pelanggan yang sebenarnya mencerminkan komitmen psikologis pelanggan terhadap merek tertentu. Kesetiaan sebagai suatu komitmen untuk membeli kembali secara konsisten barang atau jasa dimasa yang akan datang. Pelanggan menjadi setia biasanya bukan disebabkan salah satu aspek dalam perusahaan saja, tetapi biasanya pelanggan menjadi setia karena “paket” yang ditawarkan seperti produk, pelayanan, dan harga. Kriteria untuk mengidentifikasi pelanggan setia, yaitu : 1. Keinginan untuk membeli produk atau jasa dari perusahaan dan memberi perhatian yang lebih sedikit kepada produk atau jasa yang ditawarkan oleh pesaing. 2. Merekomendasikan perusahaan, produk, pelayanan perusahaan dari mulut ke mulut kepada orang lain. 3. Membeli lebih banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan memperbaharui produk-produk yang ada. 21 4. Membicarakan hal-hal yang baik tentang perusahaan dan produk-produknya. 5. Kurang peka terhadap harga dan tindakan proaktif untuk memberikan saran produk atau jasa kepada perusahaan. 2.1.7 Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling) 2.1.7.1 Definisi Model Persamaan Struktural Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling) atau yang dikenal sebagai SEM adalah generasi kedua teknik analisis multivariate yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun non- recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model. (Ghozali dan Fuad, 2005, p3) Fungsi dari Structural Equation Modeling adalah untuk menganalisis hubungan yang kompleks antarvariabel laten baik yang langsung maupun tidak langsung, dan total dari variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat, serta mengetahui kontribusi dan signifikansi masing-masing variabel indikator terhadap variabel-variabel latennya. Dalam Structural Equation Modeling dikenal beberapa istilah variabel sebagai berikut : • Variabel Laten, yaitu variabel yang tidak bisa diukur secara langsung dan memerlukan beberapa indikator sebagai proksi. • Variabel Manifest (variabel observed atau indikator), yaitu variabel yang dapat diukur yang membentuk variabel laten. • Variabel Eksogen, yaitu suatu variabel yang tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya dalam model penelitian. • Variabel Endogen, yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain dalam suatu model penelitian 22 • Variabel Perantara (variabel intervening), yaitu variabel endogen yang juga dapat menjadi variabel independen yang mempengaruhi variabel endogen lain dalam suatu model. • Variabel referens, yaitu salah satu dari indikator variabel laten yang dianggap paling baik merepresentasikan variabel laten. Tujuan dari Structural Equation Modeling dalam analisisnya adalah untuk menentukan apakah model plausible (masuk akal) atau fit, dalam arti lain apakah model “benar” berdasarkan suatu data yang dimiliki. Sedangkan tujuan lainnya adalah untuk menguji berbagai hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Dalam konteks penentuan model fit, model fit dapat ditentukan dengan meminimalkan perbedaan antara sample covariance matrix (matriks kovarians yang diperoleh melalui observasi atau data) dengan implied/fitted covariance matrix (matriks kovarians yang diperoleh berdasarkan model). Structural Equation Modeling dapat menganalisis hubungan kausal yang bersifat struktural dengan memperhitungkan sifat-sifat hubungan antarvariabel karena Structural Equation Modeling mencakup Model Jalur (Path Model) dan Model Pengukuran (Measurement Model). Ilustrasi pada Gambar 2.4 menunjukkan contoh bentuk Structural Equation Modeling. Dalam Structural Equation Modeling variabel manifest dinyatakan dengan bentuk persegi empat (misalnya Dep 1, Imm 2, Illns 3) dan variabel laten dinyatakan dengan bentuk lingkaran atau elips (misalnya Depression, Immune Function, dan Illness). Kesalahan pengukuran dinyatakan dengan ‘e’. Kesalahan pengukuran merupakan varians residual yang tidak terukur dalam variabel yang dihipotesiskan pada model. 23 Sumber : www.ssicentral.com Gambar 2.4 Ilustrasi Model dalam Structural Equation Modeling 2.1.7.2 Model Jalur (Path Model) Model Jalur (Path Model) adalah model yang mengakomodasi pengaruh langsung, tidak langsung, dan total dari peubah-peubah bebas terhadap peubah-peubah terikat, dan analisisnya disebut Analisis Jalur (Path Analysis). (Ghozali, 2001) Analisis Jalur merupakan teknik statistika yang digunakan untuk menguji hubungan kausal antara dua atau lebih variabel. Analisis Jalur didasarkan pada sistem persamaan linear yang pertama kali dikembangkan oleh Sewall Wright pada tahun 1930-an dan diadopsi oleh bidang-bidang ilmu sosial sejak tahun 1960-an. Terdapat beberapa definisi mengenai Analisis Jalur (atau disebut Path Analysis), diantaranya : • Analisis Jalur menurut BohrnStedt (1974) yaitu “a technique for estimating the effect’s a set of independent variables has on a dependent variable from a set of 24 observed correlations, given a set of hypothesized causal asymetric relation among the variables.” (Riduwan dan Kuncoro, 2007, p1) • Analisis Jalur menurut Robert D. Rutherford (1993) yaitu suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung. (Sarwono, 2007, p1) Dapat disimpulkan bahwa Analisis Jalur (Path Analysis) merupakan teknik untuk menganalisis pola hubungan sebab akibat antarvariabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen). Manfaat lain model Path Analysis adalah : 1) Penjelasan (explanation) terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti 2) Prediksi nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X), dan prediksi dengan path analysis ini bersifat kualitatif 3) Faktor determinan yaitu penentuan variabel bebas (X) mana yang berpengaruh dominan terhadap variabel terikat (Y), juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) 4) Pengujian model, menggunakan theory triming, baik untuk uji reliabilitas (uji keajegan) konsep yang sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru. Asumsi yang mendasari Path Analysis sebagai berikut : 1) Pada model path analysis, hubungan antarvariabel adalah bersifat linear, adaptif dan bersifat normal. 2) Hanya sistem aliran kausal ke satu arah artinya tidak ada arah kausalitas yang berbalik. 25 3) Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio. 4) Menggunakan sampel probability sampling. 5) Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran valid dan reliable) artinya variabel yang diteliti dapat diobservasi secara langsung. 6) Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasi) dengan benar berdasarkan teori-teori dan konsep-konsep yang relevan. 2.1.7.3 Model Pengukuran (Measurement Model) Model Pengukuran (Measurement Model) adalah model yang menganalisis hubungan antara variabel laten dengan variabel-variabel manifest atau observed (Abbas Ghozali, 2001). Model Pengukuran yang dikembangkan berdasarkan teori ini memiliki tujuan untuk menggambarkan sebaik apa variabel-variabel manifest dapat digunakan sebagai instrumen pengukuran variabel laten. Dalam hal ini, konsep utama yang digunakan adalah pengukuran, validitas, dan reliabilitas. Salah satu metode analisisnya disebut Confirmatory Factor Analysis (CFA). Confirmatory Factor Analysis mengkonfirmasikan apakah model pengukuran yang dibangun berdasarkan teori tersebut handal (reliable) dan absah (valid). Dalam Confirmatory Factor Analysis dianggap bahwa variabel laten sebagai variabel penyebab atau variabel yang mendasari variabel-variabel manifest (observed). Pada umumnya variabel laten tidak dapat merefleksikan variabel manifest secara sempurna, dengan demikian penambahan kesalahan pengukuran dalam model sangat diperlukan agar model pengukuran menjadi lengkap. Variabel manifest dari variabel laten eksogen dilambangkan dengan X, sedangkan variabel manifest dari variabel laten endogen dilambangkan dengan Y. Muatan-muatan faktor (factor loadings) yang menghubungkan variabel laten dan variabel manifest diberi notasi λ (lambda), sedangkan kesalahan pengukuran diberi notasi δ (delta). (Sitinjak dan Sugiarto, 2006, p52) 26 2.1.7.4 Tahap-tahap Dalam Structural Equation Modeling Menurut Ghozali dan Fuad (2005, p8-10), proses Structural Equation Modeling mencakup beberapa langkah yang harus dilakukan seperti yang terlihat pada gambar berikut. 1. Konseptualisasi Model 2. Penyusunan Diagram Alur 3. Spesifikasi Model 4. Identifikasi Model 5. Estimasi Parameter 6. Penilaian Model Fit 7. Modifikasi Model 8. Validasi Silang Model Sumber : Ghozali dan Fuad (2005, p9) Gambar 2.5 Tahap-tahap dalam Structural Equation Modeling 1. Konseptualisasi Model Konseptualisasi model berhubungan dengan pengembangan hipotesis (berdasarkan teori) sebagai dasar dalam menghubungkan variabel laten dengan variabel laten lainnya, dan juga dengan indikator-indikatornya. Tahap ini juga memutuskan arah (positif atau negatif) dan jumlah hubungan antara variabel-variabel eksogen dan antara variabel eksogen dan endogen. 2. Penyusunan Diagram Alur (Path Diagram) Penyusunan diagram alur mempermudah dalam visualisasi hipotesis yang telah diajukan dalam tahap konseptualisasi model. 3. Spesifikasi Model Spesifikasi model menggambarkan sifat dan jumlah parameter yang diesimasii. 4. Identifikasi Model 27 Dalam tahap ini informasi yang diperoleh dari data diuji untuk menentukan apakah cukup untuk mengestimasi parameter dalam model. Jika tidak, maka perlu dilakukan modifikasi model untuk dapat diidentifikasi sebelum melakukan estimasi parameter. 5. Estimasi Parameter Estimasi parameter suatu model diperoleh dari data untuk menghasilkan matriks kovarians berdasarkan model (model-based covariance matrix) yang sesuai dengan kovarians matriks sesungguhnya (observed covariance matrix). Uji signifikansi dilakukan dengan menentukan apakah parameter yang dihasilkan secara signifikan berbeda dari nol. 6. Penilaian Model Fit Model penelitian dinilai fit atau tidaknya dengan membandingkan antara kovarians matriks suatu model dengan kovarians matriks data. Dalam Structural Equation Modeling, belum ada tes signifikansi statistik tunggal dalam mengidentifikasi model yang benar dalam mewakili data sampel. Oleh karena itu diperlukan beberapa kriteria untuk penilaian model fit. 7. Modifikasi Model Modifikasi model perlu dilakukan apabila model penelitian yang diuji dinilai tidak fit. 8. Validasi Silang Model Validasi silang model menguji fit-tidaknya model penelitian terhadap suatu data baru (atau validasi sub-sampel yang diperoleh melalui prosedur pemecahan sampel). 2.1.7.5 Linear Structural Relationship (LISREL) Dari sekian banyak software yang menawarkan Structural Equation Modeling seperti AMOS, EQS, ROMANO, SEPATH, dan LISCOMP, satu-satunya program Structural 28 Equation Modeling yang paling banyak digunakan dan yang dapat mengestimasi berbagai masalah Structural Equation Modeling adalah LISREL (Linear Structural Relationships). LISREL diperkenalkan oleh Karl Joreskog pada tahun 1970 dan sejauh ini telah dikembangkan serta digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sosial. LISREL dapat digunakan untuk menganalisis struktur kovarians yang rumit, variabel laten, saling ketergantungan antarvariabel, dan sebab akibat yang timbal balik dengan menggunakan model pengukuran dan persamaan yang terstruktur. Umumnya program LISREL sendiri dibagi kedalam beberapa sub-program utama, yaitu (Ghozali dan Fuad, 2005, p75-77) : • LISREL, digagas pertama kali berdasarkan suatu pendekatan sistem persamaan struktural yang dikembangkan oleh Joreskog-Keesling dan Wiley. Bahasa perintah yang digunakan berdasarkan pada bentuk matriks model persamaan struktural ataupun Confirmatory Factor Analysis. • PRELIS, merupakan analisis awal yang dapat digunakan secara efektif untuk memanipulasi dan menyimpan data dan juga dapat memberikan deskripsi awal mengenai data. Alasan utama adanya PRELIS adalah untuk membantu peneliti melakukan screening data dengan menyediakan program yang mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam pengumpulan data. • SIMPLIS, bahasa perintah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan generasi kedua dari LISREL. Berbeda dengan LISREL yang menggunakan notasi-notasi matriks serta simbol dan kode-kode yang kadang membingungkan, SIMPLIS sangat mudah digunakan dan dioperasionalisasikan karena format bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris sederhana. Dalam menggambarkan hubungan antara masing-masing variabel laten maupun antara variabel laten dengan variabel manifestnya, LISREL menggunakan notasi-notasi 29 konvensional yang dapat memberi kemudahan dalam merefleksikan model sekompleks apapun dengan menggunakan terminologi standar dan bahasa Structural Equation Modeling. Tabel 2.2 berikut ini adalah ringkasan notasi-notasi LISREL yang biasa digunakan sebagai komunikasi LISREL. Tabel 2.2 Notasi LISREL Notasi Keterangan ξ (ksi) Variabel laten eksogen (variabel independen), digambarkan sebagai lingkaran pada model struktural dalam Structural Equation Modeling η (eta) Variabel laten endogen (variabel dependen, dan juga dapat menjadi veriabel independen pada persamaan lain), juga digambarkan sebagai lingkaran γ (gamma) Hubungan langsung variabel eksogen terhadap variabel endogen β (beta) Hubungan langsung variabel endogen terhadap variabel endogen Y Indikator variabel endogen X Indikator variabel eksogen λ (lambda) Hubungan antara variabel laten eksogen ataupun endogen terhadap indikator-indikatornya Φ (PHI) Kovarians/korelasi antara variabel eksogen δ (DELTA) Kesalahan pengukuran (measurement error) dari indikator variabel eksogen ε (EPSILON) Kesalahan pengukuran (measurement error) dari indikator variabel endogen ζ (ZETA) Kesalahan dalam persamaan yaitu antara variabel eksogen dan/atau endogen terhadap variabel endogen ψ (PSI) Matriks kovarians antara residual struktural (ζ) 30 Λ Matriks kovarians antara loading indikator dari variabel suatu variabel laten Θδ (THETA- Matriks kovarians symetris antara kesalahan pengukuran pada indikatorindikator dari variabel laten eksogen (δ) Θε (THETA- Matriks kovarians symetris antara kesalahan pengukuran pada indikatorindikator dari variabel laten eksogen(ε) DELTA) EPSILON) Sumber : Ghozali dan Fuad (2005, p22) 2.2 Kerangka Pemikiran Manajemen Manajemen Jasa Perilaku Konsumen Kualitas Pelayanan Jasa Sikap Konsumen Structural Equation Modeling Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Loyalitas Pelanggan 31 2.3 Hipotesis Dari penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah apakah ada pengaruh antara kualitas pelayanan jasa, sikap konsumen, dan loyalitas pelanggan. Oleh karena itu dapat dibuat hipotesisnya sebagai berikut : H0 : Tidak ada pengaruh antara Kualitas Pelayanan Jasa, Sikap Konsumen, dan Loyalitas Pelanggan. H1 : Kualitas Pelayanan Jasa berpengaruh positif terhadap Sikap Konsumen. H2 : Kualitas Pelayanan Jasa berpengaruh positif terhadap Loyalitas Pelanggan. H3 : Kualitas Pelayanan Jasa berpengaruh positif terhadap Loyalitas Pelanggan melalui Sikap Konsumen.