6 BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
6
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Pengertian Jasa
Jasa merupakan pemberian suatu kriteria atau tindakan tak kasat mata dari satu
pihak kepada pihak lain. (Rangkuti, 2006, p26). Sedangkan menurut pendapat Musanto
(2004), pada dasarnya jasa merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur
ketakberwujudan yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan
memberikan berbagai manfaat bagi pihak-pihak terkait.
Pada umumnya, jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana
interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut.
Pemasaran jasa tidak sama dengan pemasaran produk karena :
•
Pemasaran jasa lebih bersifat intangible dan immaterial karena produknya tidak
kasat mata dan tidak dapat diraba.
•
Produksi jasa dilakukan saat konsumen berhadapan dengan petugas sehingga
pengawasan kualitasnya dilakukan dengan segera. Hal ini lebih sulit daripada
pengawasan produk fisik.
•
Interaksi antara konsumen dan petugas adalah penting untuk dapat mewujudkan
produk yang dibentuk.
Tujuan manajemen jasa pelayanan adalah untuk mencapai tingkat kualitas
pelayanan tertentu yang dihubungkan dengan tingkat kepuasan pelanggan. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam konsep manajemen jasa pelayanan :
7
1) Merumuskan suatu strategi pelayanan
2) Mengkomunikasikan kualitas kepada pelanggan
3) Menetapkan suatu standar kualitas secara jelas
4) Menerapkan sistem pelayanan yang efektif
5) Karyawan yang berorientasi kepada kualitas pelayanan
6) Survey tentang kepuasan dan kebutuhan pelanggan.
Sukses suatu industri jasa tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu
mengelola tiga aspek yang dikenal sebagai Segitiga Jasa berikut :
1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan.
2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji
tersebut.
3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan.
Pelanggan
EXTERNAL MARKETING
INTERACTIVE MARKETING
Menetapkan janji mengenai
produk/jasa yang akan
disampaikan
Menyampaikan produk/jasa
sesuai dengan yang
telah dijanjikan
Karyawan
INTERNAL MARKETING
Manajemen
Membuat agar produk/jasa
yang disampaikan sesuai
dengan yang dijanjikan
Sumber : Rangkuti (2006, p27)
Gambar 2.1 Diagram Segitiga Pemasaran Jasa
8
Kegagalan di satu sisi dapat menyebabkan segitiga jasa roboh, yang artinya
industri jasa tersebut gagal. Pembahasan industri jasa harus meliputi perusahaan, karyawan,
serta pelanggan. Status dan peran perusahaan, karyawan, serta pelanggan seperti pada
Gambar 2.1.
Tabel 2.1 Peran dan Status Segitiga Pemasaran Jasa
STATUS
PERAN
Fasilitator terhadap
karyawan agar
mampu melayani
pelanggan.
• penyelidik keinginan pelanggan
• pembuat spesifikasi jasa yang akan
disampaikan
• pemberdaya karyawan agar mampu
menyampaikan jasa kepada pelanggan
sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditetapkan
KARYAWAN
Penyampai jasa
• jasa itu sendiri
• personifikasi atau gambaran dari perusahaan
• pemasar jasa secara tidak langsung
PELANGGAN
Penerima jasa
Penilai kualitas jasa
PERUSAHAAN
Sumber : Rangkuti (2006, p28)
2.1.2 Pengertian Kualitas Jasa
Kualitas jasa didefinisikan sebagai penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat
kepentingan pelanggan. (Rangkuti, 2006, p28).
Jenis kualitas jasa yang digunakan untuk menilai kualitas jasa adalah sebagai
berikut :
1) Kualitas teknik (outcome), yaitu kualitas hasil kerja penyampaian jasa itu sendiri.
2) Kualitas pelayanan (proses), yaitu kualitas cara penyampaian jasa tersebut.
9
Setiap perusahaan jasa perlu mengetahui, mengantisipasi, dan memenuhi
kebutuhan serta keinginan pelanggan dengan memperhatikan kriteria jasa. Berdasarkan
pendapat Rangkuti (2006, p29), ada sepuluh kriteria umum atau standar yang menentukan
kualitas suatu jasa, yaitu :
•
Reliability (keandalan)
•
Responsiveness (ketanggapan)
•
Competence (kemampuan)
•
Access (mudah diperoleh)
•
Courtesy (keramahan)
•
Communication (komunikasi)
•
Credibility (dapat dipercaya)
•
Security (keamanan)
•
Understanding (knowing the customer) (memahami pelanggan)
•
Tangibles (bukti nyata yang kasat mata)
Kesepuluh dimensi tersebut dapat disederhanakan menjadi lima dimensi, yaitu
sebagai berikut :
1) Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan untuk menolong pelanggan dan
ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik.
2) Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang
dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
3) Emphaty (empati), yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual
kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, serta kemudahan untuk
dihubungi.
4) Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan, kesopanan petugas, serta sifatnya yang
dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari risiko.
10
5) Tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan
sarana komunikasi.
2.1.3 Pengertian Konsumen dan Pelanggan
Berdasarkan Model Lima Kekuatan Kompetitif dari Porter, konsumen memiliki
kedudukan sebagai salah satu kekuatan melalui daya tawarnya (bargaining power). Daya
tawar konsumen ini menjadi sangat penting karena merekalah yang mempunyai kebutuhan
dan keinginan, sarana pembelian (waktu dan uang), dan menentukan keputusan pembelian.
(Prasetijo dan Ihalauw, 2005, p4)
Definisi pelanggan potensial menurut Harvey Thompson (2000, p42) yaitu :
•
Seorang pelanggan atau konsumen adalah orang atau organisasi yang berinteraksi
dengan produk, jasa, atau proses dan kemungkinan merupakan pengguna akhir.
•
Seorang pelanggan atau channel adalah orang atau organisasi yang membeli atau
menangani produk atau jasa, biasanya sebagai intermediary pengguna lain.
•
Pelanggan atau proses internal adalah bagian dari rantai proses perusahaan yang
menyediakan produk atau jasa kepada pelanggan eksternal.
Pelanggan (Customer) berbeda dengan konsumen (Consumer). Seseorang dapat
dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli
produk atau jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Kebiasaan tersebut dapat dibangun
melalui pembelian berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu, apabila dalam jangka waktu
tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai pelanggan tetapi sebagai seorang pembeli atau konsumen. (Trisno Musanto, 2004)
Seorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut
menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana
mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu.
11
Strategi, rencana, program, dan prioritas perusahaan mengenai hubungan dengan
pelanggannya biasanya dibuat berdasarkan perspektif sudut pandang dari dalam ke luar
(inside-out). Padahal seharusnya perusahaan melihat dari sudut pandang luar ke dalam
(outside-in), mengambil dari perspektif pelanggan seterusnya ketika berinteraksi dalam
bisnis.
Berdasarkan
pendapat
Harvey
Thompson
(2000,
p31)
perusahaan
perlu
mengidentifikasi target pelanggan dan mendapatkan visi mereka untuk berbisnis dengan
perusahaan dengan beberapa langkah berikut ini :
•
Bagaimana nilai atau keuntungan yang diperoleh pelanggan dari interaksi yang
terjadi dengan produk, pelayanan, dan proses perusahaan?
•
Apa level minimum dari nilai yang harus dimiliki untuk mempertahankan pelanggan?
•
Apa level optimum dari nilai yang dapat diharapkan pelanggan?
•
Atribut apa saja dari penjual ideal dan nilai pengiriman ideal yang dapat
mempengaruhi perilaku, loyalitas, dan pertumbuhan pembeli?
2.1.4 Perilaku Konsumen
Banyak definisi mengenai Perilaku konsumen yang telah dikemukakan para ahli
sebagai berikut :
Interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar kita
di mana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. J. Paul Peter dan Jerry
C. Oslo
Tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan
menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul
tindakan ini. James F. Engel
Sedangkan menurut Freddy Rangkuti, perilaku konsumen dapat didefinisikan
sebagai berikut :
12
1) Perilaku konsumen adalah dinamis, menekankan bahwa seorang konsumen,
kelompok konsumen serta masyarakat luas selalu berubah dan bergerak sepanjang
waktu.
2) Perilaku konsumen melibatkan interaksi, menekankan bahwa untuk mengembangkan
strategi pemasaran yang tepat, kita harus memahami yang dipikirkan (kognisi),
dirasakan (pengaruh), dan dilakukan (perilaku) oleh konsumen. Selain itu kita juga
harus memahami apa dan di mana peristiwa (kejadian sekitar) yang mempengaruhi
serta dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan konsumen.
3) Perilaku konsumen melibatkan pertukaran, menekankan bahwa konsumen tetap
konsisten dengan definisi pemasaran yang sejauh ini juga berkaitan dengan
pertukaran.
Antecendent
(misalnya
Expectations)
Performance
Outcomes
Black Box
(Processing
Psychology)
Satisfaction
Dissatisfaction
Sumber : Rangkuti (2006, p60)
Gambar 2.2 Diagram Model “Kotak Hitam” Pembeli
Model perilaku konsumen sebagian bersumber dari model rangsangan tanggapan.
Rangsangan pemasaran dan lainnya masuk ke dalam “kotak hitam” pembeli dan
13
menghasilkan tanggapan pembeli. Rangsangan pemasaran yang terdiri dari produk, harga,
tempat, dan promosi yang disertai dengan rangsangan lainnya berupa kekuatan dan
peristiwa besar dalam lingkungan pembeli, ekonomi, politik, dan budaya akan masuk melalui
“kotak hitam” pembeli dan menghasilkan serangkaian tanggapan pembeli. Hal ini dapat
diamati seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Perilaku pembelian para konsumen sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor utama
berkut :
•
Faktor budaya
Faktor budaya yang memiliki pengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku
pembelian konsumen, terdiri dari komponen budaya, subbudaya, dan kelas sosial.
•
Faktor Sosial
Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kelompok
acuan, keluarga, serta peran dan status.
•
Faktor Pribadi
Keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang meliputi usia
dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, dan
konsep diri.
•
Faktor Psikologis
Pilihan seseorang untuk membeli dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama,
yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, serta keyakinan dan pendirian.
2.1.5 Sikap Konsumen
Lefton mendefinisikan sikap sebagai pola perasaan, keyakinan, dan kecenderungan
perilaku terhadap orang, ide, atau obyek yang tetap dalam jangka waktu yang lama.
Sedangkan Schiffman dan Kanuk mengatakan sikap adalah predisposisi yang dipelajari dalam
14
merespons secara konsisten sesuatu objek, dalam bentuk suka atau tidak suka. (Prasetijo
dan Ihalauw, 2005, p104). Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pola perasaan,
keyakinan, dan kecenderungan perilaku seseorang dalam bentuk suka atau tidak suka yang
konsisten terhadap suatu objek.
Sikap konsumen merupakan salah satu komponen penting dalam perilaku
pembelian. Dalam proses pengambilan keputusan, ada dua variabel pemikiran dalam sisi
psikologis seorang konsumen, yaitu sikap dan kebutuhan. Dalam terminologi pemasaran,
kebutuhan adalah tujuan yang menggerakkan konsumen melakukan pembelian. Sedangkan
sikap adalah evaluasi konsumen atas kemampuan atribut suatu produk atau merek alternatif
dalam memenuhi kebutuhan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebutuhan
mempengaruhi sikap dan sikap mempengaruhi pembelian. Sikap merupakan suatu
kecenderungan untuk berperilaku dan dapat dipengaruhi oleh situasi. Sikap konsumen
terhadap produk atau jasa tertentu bisa bersifat positif maupun negatif.
Dua fase pembentukan sikap :
1) Pada saat konsumen tidak mempunyai pengetahuan atau sikap terhadap merek,
pembentukan sikap terhadap merek sangat diperlukan.
2) Apabila sikap telah terbentuk, fase berikutnya adalah bagaimana mengubah sikap.
Konsumen mulai belajar tentang sikap terhadap merek produk atau jasa tertentu
sebelum ia melakukan tindakan pembelian.
Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal
perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya (aaipoel.wordpress.com). Model Tiga komponen
sikap (Three Component Attitude Model) merupakan model yang dikembangkan oleh para
ahli perilaku yang menentukan secara tepat komposisi sikap dengan maksud agar perilaku
15
dapat dijelaskan dan diprediksi. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut (Prasetijo
dan Ihalauw, 2005, p106-107) :
•
Komponen Kognitif
Merupakan pengetahuan (cognition) dan persepsi yang diperoleh melalui kombinasi
dari pengalaman langsung dengan obyek sikap (attitude object) dan informasi terkait
yang didapat dari berbagai sumber.
•
Komponen Afektif
Merupakan emosi atau perasaan terhadap suatu produk atau merek tertentu yang
mempunyai hakikat evaluatif.
•
Komponen Konatif
Kecenderungan seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan dan perilaku dengan
cara tertentu terhadap suatu obyek sikap. Komponen konatif lazimnya diperlakukan
sebagai ekspresi niat konsumen untuk membeli atau menolak suatu produk atau
jasa.
Cognitive
Component
SIKAP
Conative
Component
Affective
Component
Sumber : Prasetijo dan Ihalauw (2005, p108)
Gambar 2.3 Model Tiga Komponen Sikap
16
Empat fungsi utama sikap dalam mempengaruhi masing-masing individu adalah
sebagai berikut (Rangkuti, 2006, p67-68) :
1) Fungsi penyesuaian
•
Mengarahkan pada objek yang menyenangkan
•
Menghindari objek yang tidak menyenangkan
•
Memaksimalkan konsep reward and punishment
•
Sikap konsumen sebagian besar tergantung pada persepsi mereka tentang apa
yang memuaskan dan merugikan mereka
2) Fungsi mempertahankan ego
•
Sikap membantu pertahanan ego untuk melindungi citra diri dari ancaman
•
Sikap membantu menjaga citra diri kita, walaupun hal ini sering tidak kita sadari.
3) Fungsi pengekspresian nilai
•
Sikap memungkinkan orang untuk mengekspresikan nilai-nilai sentranya
•
Dengan sikap, seseorang dapat lebih mudah menerjemahkan nilai-nilainya ke
dalam hal yang lebih nyata
4) Fungsi pengetahuan
Manusia memiliki kecenderungan mencari stabilitas, definisi, dan pemahaman yang
menimbulkan sikap untuk memproses pengetahuan. Apa yang ingin diketahui pun
cenderung spesifik, tertuju pada apa yang perlu atau tidak perlu dipahaminya.
Sikap positif tidak selalu mengarah pada pembelian. Menurut pendapat Rangkuti
(2006, p65), beberapa kondisi yang dapat menyebabkan renggangnya hubungan sikap dan
perilaku adalah :
•
Harga
•
Ketersediaan produk
•
Perubahan kondisi pasar
17
Terdapat dua teori perubahan sikap, yaitu (Rangkuti, 2006, p66) :
1) Cognitif Dissonance Theory
Ketidaksesuaian terjadi ketika konsumen memperoleh informasi penting tentang
kepercayaan atas satu produk atau jasa yang bertentangan dengan kepercayaan
sebelumnya.
2) Attribution Theory
Teori ini berusaha menjelaskan bagaimana seseorang merespon suatu kejadian
dengan menggunakan tolok ukur perilaku yang mereka miliki secara relatif
dibandingkan dengan perilaku orang lain.
Strategi pengubahan sikap yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap
konsumen mereka terdiri dari (Rangkuti, 2006, p66) :
1) Mengubah komponen afektif
Yaitu mempengaruhi rasa suka konsumen terhadap merek tertentu secara tidak
langsung dengan tujuan meningkatkan kepercayaan positif yang dapat mengarah ke
perilaku
pembelian.
Cara
yang
umum
digunakan
adalah
melalui
classical
conditioning.
2) Mengubah komponen perilaku
Personel pemasaran perlu mengetahui faktor-faktor pembentukan sikap untuk
mencoba-coba produk atau jasa tertentu yang dapat menuntun konsumen pada
peningkatan pengetahuan yang dapat mengubah komponen kognitif.
3) Mengubah komponen kognitif
Pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengubah sikap adalah berfokus
pada komponen kognitif. Dengan berubahnya kepercayaan, perasaan, dan perilaku,
sikap juga akan berubah.
18
Keyakinan
(kepercayaan)
dan
evaluasi
konsumen
terhadap
suatu
produk
membentuk sikap konsumen. Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku.
Karena dalam memutuskan produk dan jasa yang akan dibeli maka konsumen akan memilih
produk dan jasa yang dievaluasi secara paling menguntungkan. Sehingga adanya sikap yang
baik dan positif atas berbagai atribut produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan,
maka konsumen akan melakukan pembelian berulang terhadap produk atau tersebut. Sikap
positif ini akan memberikan dasar pada pembelian ulang dan membentuk rekomendasi dari
mulut ke mulut. (Sri Hartini, 2004)
2.1.6 Loyalitas Pelanggan
Menurut Olson (1993), loyalitas pelanggan merupakan dorongan perilaku untuk
melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan
terhadap suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan
waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang tersebut (Musanto,
2004). Seorang pelanggan yang loyal memiliki prasangka spesifik mengenai apa yang akan
dibeli dan dari siapa. Pembeliannya bukan merupakan peristiwa acak. Selain itu, loyalitas
menunjukkan kondisi dari durasi waktu tertentu dan mensyaratkan bahwa tindakan
pembelian terjadi tidak kurang dari dua kali.
Dua kondisi penting yang berhubungan dengan loyalitas adalah retensi pelanggan
(customer retention) dan total pangsa pelanggan (total share of customer). Tingkat retensi
pelanggan adalah persentase pelanggan yang telah memenuhi sejumlah pembelian ulang
selama periode waktu yang terbatas. Pangsa pelanggan suatu perusahaan menunjukkan
persentase dari anggaran pelanggan yang dibelanjakan ke perusahaan tersebut.
Setiap kali pelanggan membeli, pelanggan akan bergerak melalui siklus pembelian.
Pembeli pertama-kali akan bergerak melalui lima langkah :
19
1) Kesadaran
Langkah pertama menuju loyalitas dimulai dengan kesadaran pelanggan akan
produk. Pada tahap ini perusahaan mulai membentuk “pangsa pikiran” yang
dibutuhkan untuk memposisikan ke dalam pikiran calon pelanggan bahwa produk
atau jasa yang ditawarkan lebih unggul dari pesaing.
2) Pembelian Awal
Pembelian pertama kali merupakan pembelian percobaan, perusahaaan dapat
menanamkan kesan positif atau negatif kepada pelanggan dengan produk atau jasa
yang diberikan.
3) Evaluasi pasca-pembelian
Setelah pembelian dilakukan, pelanggan secara sadar atau tidak sadar akan
mengevaluasi transaksi. Bila pembeli merasa puas, atau ketidakpuasannya tidak
terlalu mengecewakan sampai dapat dijadikan dasar pertimbangan beralih ke
pesaing.
4) Keputusan membeli kembali
Keputusan membeli kembali sering kali merupakan langkah selanjutnya yang terjadi
secara ilmiah bila pelanggan telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan
produk tertentu. Cara lain untuk memotivasi pelanggan supaya membeli kembali
adalah dengan menanamkan gagasan ke dalam pikiran pelanggan bahwa beralih ke
pesaing lain akan membuang waktu, uang, atau menghambat kinerja pelanggan.
5) Pembelian kembali
Langkah akhir dalam silkus pembelian adalah pembelian kembali yang aktual. Untuk
dapat dianggap benar-benar loyal, pelanggan harus terus membeli kembali dari
perusahaan yang sama, mengulangi langkah ketiga sampai kelima (lingkaran
pembelian kembali) berkali-kali. Hambatan terhadap peralihan dapat mendukung
20
pelanggan untuk membeli kembali. Pelanggan yang benar-benar loyal menolak
pesaing dan membeli kembali dari perusahaan yang sama kapan saja item itu
dibutuhkan. Itu adalah jenis pelanggan yang harus didekati, dilayani, dan
dipertahankan.
Keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap produk atau jasa dibentuk oleh dua
dimensi, yaitu :
1) Tingkat Preferensi
Seberapa besar keyakinan pelanggan terhadap produk atau jasa tertentu.
2) Tingkat diferensiasi produk yang dipersepsikan
Seberapa signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari
alternatif-alternatif lain.
Pelanggan yang membeli barang atau jasa tertentu secara berulang kali belum
tentu merupakan pelanggan yang setia. Pelanggan ini bisa saja melakukan pembelian secara
berulang karena tidak ada pilihan lain. Kesetiaan pelanggan yang sebenarnya mencerminkan
komitmen psikologis pelanggan terhadap merek tertentu. Kesetiaan sebagai suatu komitmen
untuk membeli kembali secara konsisten barang atau jasa dimasa yang akan datang.
Pelanggan menjadi setia biasanya bukan disebabkan salah satu aspek dalam
perusahaan saja, tetapi biasanya pelanggan menjadi setia karena “paket” yang ditawarkan
seperti produk, pelayanan, dan harga. Kriteria untuk mengidentifikasi pelanggan setia, yaitu :
1. Keinginan untuk membeli produk atau jasa dari perusahaan dan memberi perhatian
yang lebih sedikit kepada produk atau jasa yang ditawarkan oleh pesaing.
2. Merekomendasikan perusahaan, produk, pelayanan perusahaan dari mulut ke mulut
kepada orang lain.
3. Membeli lebih banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan
memperbaharui produk-produk yang ada.
21
4. Membicarakan hal-hal yang baik tentang perusahaan dan produk-produknya.
5. Kurang peka terhadap harga dan tindakan proaktif untuk memberikan saran produk
atau jasa kepada perusahaan.
2.1.7 Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling)
2.1.7.1 Definisi Model Persamaan Struktural
Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling) atau yang dikenal
sebagai SEM adalah generasi kedua teknik analisis multivariate yang memungkinkan peneliti
untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun non-
recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model. (Ghozali
dan Fuad, 2005, p3)
Fungsi dari Structural Equation Modeling adalah untuk menganalisis hubungan yang
kompleks antarvariabel laten baik yang langsung maupun tidak langsung, dan total dari
variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat, serta mengetahui kontribusi dan signifikansi
masing-masing variabel indikator terhadap variabel-variabel latennya.
Dalam Structural Equation Modeling dikenal beberapa istilah variabel sebagai
berikut :
•
Variabel Laten, yaitu variabel yang tidak bisa diukur secara langsung dan
memerlukan beberapa indikator sebagai proksi.
•
Variabel Manifest (variabel observed atau indikator), yaitu variabel yang dapat diukur
yang membentuk variabel laten.
•
Variabel Eksogen, yaitu suatu variabel yang tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya
dalam model penelitian.
•
Variabel Endogen, yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain dalam suatu
model penelitian
22
•
Variabel Perantara (variabel intervening), yaitu variabel endogen yang juga dapat
menjadi variabel independen yang mempengaruhi variabel endogen lain dalam suatu
model.
•
Variabel referens, yaitu salah satu dari indikator variabel laten yang dianggap paling
baik merepresentasikan variabel laten.
Tujuan dari Structural Equation Modeling dalam analisisnya adalah untuk
menentukan apakah model plausible (masuk akal) atau fit, dalam arti lain apakah model
“benar” berdasarkan suatu data yang dimiliki. Sedangkan tujuan lainnya adalah untuk
menguji berbagai hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Dalam konteks penentuan
model fit, model fit dapat ditentukan dengan meminimalkan perbedaan antara sample
covariance matrix (matriks kovarians yang diperoleh melalui observasi atau data) dengan
implied/fitted covariance matrix (matriks kovarians yang diperoleh berdasarkan model).
Structural Equation Modeling dapat menganalisis hubungan kausal yang bersifat struktural
dengan memperhitungkan sifat-sifat hubungan antarvariabel karena Structural Equation
Modeling mencakup Model Jalur (Path Model) dan Model Pengukuran (Measurement Model).
Ilustrasi pada Gambar 2.4 menunjukkan contoh bentuk Structural Equation
Modeling. Dalam Structural Equation Modeling variabel manifest dinyatakan dengan bentuk
persegi empat (misalnya Dep 1, Imm 2, Illns 3) dan variabel laten dinyatakan dengan bentuk
lingkaran atau elips (misalnya Depression, Immune Function, dan Illness). Kesalahan
pengukuran dinyatakan dengan ‘e’. Kesalahan pengukuran merupakan varians residual yang
tidak terukur dalam variabel yang dihipotesiskan pada model.
23
Sumber : www.ssicentral.com
Gambar 2.4 Ilustrasi Model dalam Structural Equation Modeling
2.1.7.2 Model Jalur (Path Model)
Model Jalur (Path Model) adalah model yang mengakomodasi pengaruh langsung,
tidak langsung, dan total dari peubah-peubah bebas terhadap peubah-peubah terikat, dan
analisisnya disebut Analisis Jalur (Path Analysis). (Ghozali, 2001)
Analisis Jalur merupakan teknik statistika yang digunakan untuk menguji hubungan
kausal antara dua atau lebih variabel. Analisis Jalur didasarkan pada sistem persamaan linear
yang pertama kali dikembangkan oleh Sewall Wright pada tahun 1930-an dan diadopsi oleh
bidang-bidang ilmu sosial sejak tahun 1960-an. Terdapat beberapa definisi mengenai Analisis
Jalur (atau disebut Path Analysis), diantaranya :
•
Analisis Jalur menurut BohrnStedt (1974) yaitu “a technique for estimating the
effect’s a set of independent variables has on a dependent variable from a set of
24
observed correlations, given a set of hypothesized causal asymetric relation among
the variables.” (Riduwan dan Kuncoro, 2007, p1)
•
Analisis Jalur menurut Robert D. Rutherford (1993) yaitu suatu teknik untuk
menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi pada regresi berganda jika variabel
bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung, tetapi
juga secara tidak langsung. (Sarwono, 2007, p1)
Dapat disimpulkan bahwa Analisis Jalur (Path Analysis) merupakan teknik untuk
menganalisis pola hubungan sebab akibat antarvariabel dengan tujuan untuk mengetahui
pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap
variabel terikat (endogen).
Manfaat lain model Path Analysis adalah :
1) Penjelasan (explanation) terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan
yang diteliti
2) Prediksi nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X), dan prediksi
dengan path analysis ini bersifat kualitatif
3) Faktor determinan yaitu penentuan variabel bebas (X) mana yang berpengaruh
dominan terhadap variabel terikat (Y), juga dapat digunakan untuk menelusuri
mekanisme (jalur-jalur) pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y)
4) Pengujian model, menggunakan theory triming, baik untuk uji reliabilitas (uji
keajegan) konsep yang sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru.
Asumsi yang mendasari Path Analysis sebagai berikut :
1) Pada model path analysis, hubungan antarvariabel adalah bersifat linear, adaptif dan
bersifat normal.
2) Hanya sistem aliran kausal ke satu arah artinya tidak ada arah kausalitas yang
berbalik.
25
3) Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio.
4) Menggunakan sampel probability sampling.
5) Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran valid dan
reliable) artinya variabel yang diteliti dapat diobservasi secara langsung.
6) Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasi) dengan benar berdasarkan
teori-teori dan konsep-konsep yang relevan.
2.1.7.3 Model Pengukuran (Measurement Model)
Model Pengukuran (Measurement Model) adalah model yang menganalisis
hubungan antara variabel laten dengan variabel-variabel manifest atau observed (Abbas
Ghozali, 2001). Model Pengukuran yang dikembangkan berdasarkan teori ini memiliki tujuan
untuk menggambarkan sebaik apa variabel-variabel manifest dapat digunakan sebagai
instrumen pengukuran variabel laten. Dalam hal ini, konsep utama yang digunakan adalah
pengukuran, validitas, dan reliabilitas.
Salah satu metode analisisnya disebut Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Confirmatory Factor Analysis mengkonfirmasikan apakah model pengukuran yang dibangun
berdasarkan teori tersebut handal (reliable) dan absah (valid). Dalam Confirmatory Factor
Analysis dianggap bahwa variabel laten sebagai variabel penyebab atau variabel yang
mendasari variabel-variabel manifest (observed). Pada umumnya variabel laten tidak dapat
merefleksikan variabel manifest secara sempurna, dengan demikian penambahan kesalahan
pengukuran dalam model sangat diperlukan agar model pengukuran menjadi lengkap.
Variabel manifest dari variabel laten eksogen dilambangkan dengan X, sedangkan variabel
manifest dari variabel laten endogen dilambangkan dengan Y. Muatan-muatan faktor (factor
loadings) yang menghubungkan variabel laten dan variabel manifest diberi notasi λ (lambda),
sedangkan kesalahan pengukuran diberi notasi δ (delta). (Sitinjak dan Sugiarto, 2006, p52)
26
2.1.7.4 Tahap-tahap Dalam Structural Equation Modeling
Menurut Ghozali dan Fuad (2005, p8-10), proses Structural Equation Modeling
mencakup beberapa langkah yang harus dilakukan seperti yang terlihat pada gambar berikut.
1. Konseptualisasi Model
2. Penyusunan Diagram Alur
3. Spesifikasi Model
4. Identifikasi Model
5. Estimasi Parameter
6. Penilaian Model Fit
7. Modifikasi Model
8. Validasi Silang Model
Sumber : Ghozali dan Fuad (2005, p9)
Gambar 2.5 Tahap-tahap dalam Structural Equation Modeling
1. Konseptualisasi Model
Konseptualisasi model berhubungan dengan pengembangan hipotesis (berdasarkan
teori) sebagai dasar dalam menghubungkan variabel laten dengan variabel laten
lainnya, dan juga dengan indikator-indikatornya. Tahap ini juga memutuskan arah
(positif atau negatif) dan jumlah hubungan antara variabel-variabel eksogen dan
antara variabel eksogen dan endogen.
2. Penyusunan Diagram Alur (Path Diagram)
Penyusunan diagram alur mempermudah dalam visualisasi hipotesis yang telah
diajukan dalam tahap konseptualisasi model.
3. Spesifikasi Model
Spesifikasi model menggambarkan sifat dan jumlah parameter yang diesimasii.
4. Identifikasi Model
27
Dalam tahap ini informasi yang diperoleh dari data diuji untuk menentukan apakah
cukup untuk mengestimasi parameter dalam model. Jika tidak, maka perlu dilakukan
modifikasi model untuk dapat diidentifikasi sebelum melakukan estimasi parameter.
5. Estimasi Parameter
Estimasi parameter suatu model diperoleh dari data untuk menghasilkan matriks
kovarians berdasarkan model (model-based covariance matrix) yang sesuai dengan
kovarians matriks sesungguhnya (observed covariance matrix). Uji signifikansi
dilakukan dengan menentukan apakah parameter yang dihasilkan secara signifikan
berbeda dari nol.
6. Penilaian Model Fit
Model penelitian dinilai fit atau tidaknya dengan membandingkan antara kovarians
matriks suatu model dengan kovarians matriks data. Dalam Structural Equation
Modeling, belum ada tes signifikansi statistik tunggal dalam mengidentifikasi model
yang benar dalam mewakili data sampel. Oleh karena itu diperlukan beberapa
kriteria untuk penilaian model fit.
7. Modifikasi Model
Modifikasi model perlu dilakukan apabila model penelitian yang diuji dinilai tidak fit.
8. Validasi Silang Model
Validasi silang model menguji fit-tidaknya model penelitian terhadap suatu data baru
(atau validasi sub-sampel yang diperoleh melalui prosedur pemecahan sampel).
2.1.7.5 Linear Structural Relationship (LISREL)
Dari sekian banyak software yang menawarkan Structural Equation Modeling
seperti AMOS, EQS, ROMANO, SEPATH, dan LISCOMP, satu-satunya program Structural
28
Equation Modeling yang paling banyak digunakan dan yang dapat mengestimasi berbagai
masalah Structural Equation Modeling adalah LISREL (Linear Structural Relationships).
LISREL diperkenalkan oleh Karl Joreskog pada tahun 1970 dan sejauh ini telah
dikembangkan serta digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sosial. LISREL
dapat digunakan untuk menganalisis struktur kovarians yang rumit, variabel laten, saling
ketergantungan antarvariabel, dan sebab akibat yang timbal balik dengan menggunakan
model pengukuran dan persamaan yang terstruktur.
Umumnya program LISREL sendiri dibagi kedalam beberapa sub-program utama,
yaitu (Ghozali dan Fuad, 2005, p75-77) :
•
LISREL, digagas pertama kali berdasarkan suatu pendekatan sistem persamaan
struktural yang dikembangkan oleh Joreskog-Keesling dan Wiley. Bahasa perintah
yang digunakan berdasarkan pada bentuk matriks model persamaan struktural
ataupun Confirmatory Factor Analysis.
•
PRELIS, merupakan analisis awal yang dapat digunakan secara efektif untuk
memanipulasi dan menyimpan data dan juga dapat memberikan deskripsi awal
mengenai data. Alasan utama adanya PRELIS adalah untuk membantu peneliti
melakukan screening data dengan menyediakan program yang mampu mengatasi
berbagai permasalahan yang timbul dalam pengumpulan data.
•
SIMPLIS, bahasa perintah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan generasi
kedua dari LISREL. Berbeda dengan LISREL yang menggunakan notasi-notasi
matriks serta simbol dan kode-kode yang kadang membingungkan, SIMPLIS sangat
mudah digunakan dan dioperasionalisasikan karena format bahasa yang digunakan
adalah bahasa Inggris sederhana.
Dalam menggambarkan hubungan antara masing-masing variabel laten maupun
antara variabel laten dengan variabel manifestnya, LISREL menggunakan notasi-notasi
29
konvensional yang dapat memberi kemudahan dalam merefleksikan model sekompleks
apapun dengan menggunakan terminologi standar dan bahasa Structural Equation Modeling.
Tabel 2.2 berikut ini adalah ringkasan notasi-notasi LISREL yang biasa digunakan sebagai
komunikasi LISREL.
Tabel 2.2 Notasi LISREL
Notasi
Keterangan
ξ (ksi)
Variabel laten eksogen (variabel independen), digambarkan sebagai
lingkaran pada model struktural dalam Structural Equation Modeling
η (eta)
Variabel laten endogen (variabel dependen, dan juga dapat menjadi
veriabel independen pada persamaan lain), juga digambarkan sebagai
lingkaran
γ (gamma)
Hubungan langsung variabel eksogen terhadap variabel endogen
β (beta)
Hubungan langsung variabel endogen terhadap variabel endogen
Y
Indikator variabel endogen
X
Indikator variabel eksogen
λ (lambda)
Hubungan antara variabel laten eksogen ataupun endogen terhadap
indikator-indikatornya
Φ (PHI)
Kovarians/korelasi antara variabel eksogen
δ (DELTA)
Kesalahan pengukuran (measurement error) dari indikator variabel
eksogen
ε (EPSILON)
Kesalahan pengukuran (measurement error) dari indikator variabel
endogen
ζ (ZETA)
Kesalahan dalam persamaan yaitu antara variabel eksogen dan/atau
endogen terhadap variabel endogen
ψ (PSI)
Matriks kovarians antara residual struktural (ζ)
30
Λ
Matriks kovarians antara loading indikator dari variabel suatu variabel
laten
Θδ (THETA-
Matriks kovarians symetris antara kesalahan pengukuran pada indikatorindikator dari variabel laten eksogen (δ)
Θε (THETA-
Matriks kovarians symetris antara kesalahan pengukuran pada indikatorindikator dari variabel laten eksogen(ε)
DELTA)
EPSILON)
Sumber : Ghozali dan Fuad (2005, p22)
2.2
Kerangka Pemikiran
Manajemen
Manajemen
Jasa
Perilaku
Konsumen
Kualitas
Pelayanan Jasa
Sikap
Konsumen
Structural Equation Modeling
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran
Loyalitas
Pelanggan
31
2.3
Hipotesis
Dari penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah apakah ada pengaruh antara
kualitas pelayanan jasa, sikap konsumen, dan loyalitas pelanggan. Oleh karena itu dapat
dibuat hipotesisnya sebagai berikut :
H0
:
Tidak ada pengaruh antara Kualitas Pelayanan Jasa, Sikap Konsumen, dan
Loyalitas Pelanggan.
H1
:
Kualitas Pelayanan Jasa berpengaruh positif terhadap Sikap Konsumen.
H2
:
Kualitas Pelayanan Jasa berpengaruh positif terhadap Loyalitas Pelanggan.
H3
:
Kualitas Pelayanan Jasa berpengaruh positif terhadap Loyalitas Pelanggan melalui
Sikap Konsumen.
Download