BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu “empatheia”, dapat diartikan sebagai “kekuatan untuk memahami hal di luar diri kita” atau juga memiliki makna tersirat yang berarti “perasaan batiniah” (Woodruff, 2007). Lebih dalam, empati juga di definiskan sebagai atribut dalam pikiran kita untuk memahami kondisi mental diri sendiri dan orang lain dengan cara menafsirkan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku yang mendalam seperti memahami niat, keyakinan, ataupun keinginan (Zahavi, 2014). Menurut Blair (2007), empati adalah reaksi emosional; antara reaksi pengamat kepada kondisi afeksi individu lain. Sedangkan menurut Hoffman dalam bukunya yang berjudul Empathy and Moral Development (2000), menjelaskan bahwa empati adalah respon afektif yang mewakilkan perasaan orang lain. Berdasarkan dua definisi yang dijelaskan oleh Blair dan Hoffman tadi, maka bisa dikatakan bahwa empati terdiri atas dua komponen, yaitu kognitif dan afektif. Baron-Cohen dan Wheelwright (2004) menjelaskan bahwa pendekatan afektif merupakan empati sebagai pengamatan emosional yang merespon afektif lain—dalam pandangan afektif, perbedaan definisi 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/ empati dilihat dari seberapa besar dan kecilnya respon emosional pengamat pada emosi yang terjadi pada orang lain (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004). Sedangkan pendekatan kognitif merupakan aspek yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain—artinya, adanya pemisahan antara perspektif sendiri, kemudian menghubungkan dengan keadaan mental orang lain, lalu menyimpulkan kemungkinan isi dari kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004). Memahami empati pada orang normal, mungkin bisa dikatakan mampu untuk memahaminya. Lantas, bagaimana dengan orang yang memiliki gangguan, seperti Orang Dengan Skizofrenia (ODS)? Lee (2007), menyebutkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia mengalami defisit empati, atau keterlambatan empati sehingga menyebabkan mereka sulit untuk berempati bahkan memiliki afek yang datar. Seperti yang sudah diketahui, bahwa skizofrenia adalah sindrom kompleks dan memiliki dampak buruk bagi orang yang terkena maupun keluarga orang dengan skizofrenia tersebut; dimana gangguan ini dapat mengganggu persepsi, cara berpikir, berbicara, dan gerakan (Durand & Barlow, 2014). Sedangkan, menurut Levine & Levine (2009), skizofrenia adalah gangguan otak yang ditandai dengan berbagai macam gejala, yang mempengaruhi cara suatu individu untuk berpikir dan bertindak. Gejalanya mulai terlihat saat Orang Dengan Skizofrenia mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang nyata dan tidak nyata; mereka 2 http://digilib.mercubuana.ac.id/ tidak dapat sepenuhnya mengontrol emosi dan sulit berpikir logis; dan mereka memiliki kesulitan untuk berhubungan sosial; mereka juga terkadang mendapatkan halusinasi—sehingga banyak perilaku aneh yang muncul dalam setiap tindakan mereka yang disebabkan oleh pikiranpikiran mereka (Levine & Levine, 2009). Skizofrenia ditandai dengan munculnya dua simptom, yaitu simptom positif dan negatif. Simptom positif adalah adanya distorsi dari fungsi normal yang melingkupi distorsi dalam pola pikir (delusi), distorsi dalam persepsi (halusinasi), disorganisasi dalam berbicara, dan self monitoring perilaku (disorganisasi secara keseluruhan atau katatonik). Sedangkan simptom negatif menunjukkan berkurang atau menghilangnya fungsi normal. Dimana simptom negatif adalah bagian substansial bagi keabnormalan penderita skizofrenia. Tiga simptom negatif antara lain munculnya afek datar, tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan, serta adanya avolisi (DSM-V, 2013). Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, Orang Dengan Skizofrenia yang memiliki gangguan pada fungsi otak seperti kesulitan berpikir, berbicara, dan mengambil persepsi, mungkin akan mengalami kesulitan bahkan tidak mampu dalam berempati—karena seperti yang dijelaskan oleh Zahavi (2014) diatas pun, bahwa empati merupakan kemampuan untuk memahami kondisi mental orang lain dengan menafsirkannya melalui pikiran. Ditambah lagi dengan pernyataan Lee 3 http://digilib.mercubuana.ac.id/ sebelumnya, yang menyatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia mungkin mengalami keterlambatan dalam berempati. Seperti yang pernah diteliti oleh Bora, dkk., (2008) yang memberikan penjelasan bahwa orang skizofrenia mengalami defisit empati yang bisa dikatakan „parah‟ dan memiliki kesenjangan yang serius antara diri dengan keterampilan empatik. Namun, penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Saat Lee, dkk., (2006) melakukan pemeriksaan menggunakan scan otak, fMRI, pada Orang Dengan Skizofrenia, Lee dan kolega menemukan bahwa saat Orang Dengan Skizofrenia dalam Episode Akut, malah mengalami perbaikan pada bagian otak tertentu seperti pada bagian korteks prefrontal. Korteks Prefrontal sangat berkorelasi dengan pemahaman individu dan fungsi sosialnya (Lee, dkk., 2006). Lalu, penelitian terbaru yang tidak kalah menarik, dilakukan oleh Michaels, dkk., (2014) yang ingin mengevaluasi empati kognitif dan afektif pada Orang Dengan Skizofrenia dengan cara mengerjakan Questionnaire Cognitive and Affective Empathy (QCAE). Penelitian dari Michaels, dkk., (2014) ini menunjukkan hasil bahwa walaupun Orang Dengan Skizofrenia memiliki keterampilan empati kognitif yang tidak tinggi, namun keterampilan empati afektif mereka menunjukkan hasil yang berbeda—yaitu lebih tinggi dari empati kognitifnya. Artinya, dari hasil penelitian Michaels dan koleganya, dapat ditarik kesimpulan walaupun Orang Dengan Skizofrenia mengalami kesulitan dalam 4 http://digilib.mercubuana.ac.id/ berempati dengan kognitifnya, namun Orang Dengan Skizofrenia memiliki empati afektif yang tinggi. Sebagai ilustrasi mengenai empati pada Orang Dengan Skizofrenia, kita dapat melihat kisah dari Prof. Ellyn R. Sacks. Beliau telah mengalami gangguan mental dan harus meminum obat psikotik sejak umur 8 tahun untuk menekan dan mengendalikan gejala sekizofrenia yang ada pada dirinya. Sacks hidup dengan skizofrenia dan telah menulis mengenai pengalamannya bersama penyakitnya dalam otobiografinya yang berjudul, The Center Cannot Hold: My Journey Through Madness, pada tahun 2007. Alasan kenapa dia ingin menulis buku tersebut lantaran dia merasakan adanya kebutuhan besar untuk menghancurkan mitos-mitos mengenai penyakit mental, dan untuk menunjukkan bahwa diagnosis tersebut tidak harus mengarah pada kehidupan yang menyakitkan dan tidak seimbang (www. Nytimes.com). Jika kita amati alasan mengapa Sacks ingin menulis hal tersebut, kita akan mendapatkan sebuah pemahaman baru, bahwa Sacks—yang mana sebagai Orang Dengan Skizofrenia—sebenarnya memiliki empati. Karena dia mencoba menghubungkan kisahnya di masa lalu, untuk menjadi contoh bagi para Penderita Skizofrenia di masa sekarang, sekaligus mengungkapkan perasaannya melalui bahasa. Jika dihubungkan dengan teori Hoffman (2000), yang dilakukan oleh Sacks ini merupakan empati dalam tingkatan Direct Association & Languange Mediated Association. Dimana Direct Association merupakan suatu proses yang 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/ berlaku apabila individu melihat situasi yang melibatkan emosi dan perasaan kemudian mengingatkan si individu tersebut mengenai masa lalu nya; sedangkan languange mediated association merupakan suatu cara individu dalam menyatakan perasaannya melalui komunikasi secara verbal (Hoffman, 2000). Dari beberapa uraian yang telah peneliti sampaikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ODS yang telah/atau setidaknya menunjukkan penurunan simptom, mampu menggunakan empati dalam tingkatantingkatan tertentu. Seperti yang pernah disebutkan oleh Hoffman (2000), bahwa empati memiliki dua bentuk, yaitu bentuk primitif (primitve modes) & bentuk maturiti (mature modes). Kemudian pada akhirnya, peneliti akan berusaha lebih untuk mengerucutkan empati ke dalam salah satu bentuk empati, yaitu primitive modes. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan kepada gambaran empati primitif yang ada pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang telah dinyatakan sembuh atau sudah mengalami pengurangan simptom. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode analisis kualitatif dan menggunakan penelitian studi kasus untuk mendapatkan gambaran empati primitif pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara dan observasi. Diharapkan, dengan pendekatan kualitatif ini, peneliti dapat mempelajari isu-isu terkait secara mendalam dan mendetail mengenai hal yang dirasakan individu terkait dengan topik penelitian. 6 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 1.2 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahan yang ingin peneliti jawab mengenai : “Bagaimana gambaran Empati pada Orang dalam Spektrum Skizofrenia?” 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah Melihat dan Mendeskripsikan bagaimana gambaran empati pada Orang dalam Spektrum Skizofrenia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat berdasarkan : 1.4.1 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi perkembangan dan tinjauan pustaka pada keilmuan psikologi dalam bidang Psikologi Klinis. Sehingga dapat memberikan tambahan informasi atau pengetahuan tentang kondisi psikologis Orang Dalam Spektrum Skizofrenia serta memberikan informasi tambahan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan kasus dalam penelitian ini. 1.4.2 Manfaat praktis Manfaat Praktis Pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi afeksi dan kognisi pada ODS, agar masyarakat yang memiliki 7 http://digilib.mercubuana.ac.id/ pengalaman bersama ODS, dapat memahami perasaan ODS saat melakukan kontak sosial kepada masyarakat setempat. 8 http://digilib.mercubuana.ac.id/