Menyoal Kebijakan Subsidi dan Kenaikan Harga Minyak

advertisement
TRIBUN TIMUR, SELASA, 13-05-2008 | 09:39 WITA
Menyoal Kebijakan Subsidi dan Kenaikan Harga Minyak
Oleh: Marsuki (Pengamat Ekonomi Unhas)
TRIBUN TIMUR
Dalam hitungan angka, pemerintah menempuh kebijakan pengurangan subsidi
didasarkan pada beberapa pertimbangan faktual yang mau tidak mau pasti dihadapi,
dengan menganggap bahwa dengan keijakan itu akan dapat menyelamatkan beberapa
persoalan perekonomian nasional jangka pendek. Seperti, akan dapat dihindari
bobolnya APBN karena subsidi untuk komoditas minyak yang sudah sangat besar.
SUATU hal yang paling dipersoalkan saat ini adalah trade off antara kebijakan subsidi
dengan kemungkinan kenaikan harga minyak. Hal ini dipicu oleh semakin tidak
terkendalinya perilaku harga minya mentah dunia yang mengalami volatilitas dan
peningkatan yang sulit diprediksi. Sehingga menyebabkan sulitnya pemerintah
menetapkan program-program pembiayaannya dalam APBN.
Seperti dicerminkan oleh telah dirubahnya rencanan APBN keempat kalinya, dan
kemungkinan akan dirubah lagi. Keadaan ini membuat pengambil kebijakan di tingkat
makro pemerintahan dan di tingkat mikro pelaku dunia usaha dan masyarakat sangat
tidak menentu. Sebagai akibatnya, banyak program-program kegiatan yang
direncanakan menjadi terkurangi dan bahkan gagal atau dibatalkan.
Bagi pemerintah, keadaan ini sangat dilematis, karena harus berhadapan dengan
kenyataan di satu sisi harus berusaha menjaga dan meningkatkan kapasitas kegiatan
ekonomi bangsa yang selama lima tahun terakhir berada dalam arah yang benar
sehingga telah memberikan hasil cukup baik dan signifikan, tapi tiba-tiba karena adanya
kenaikan harga komoditas primer minyak dan bahan pangan dipasar dunia, sehingga
mengharuskan pemerintah menempuh kebijakan pengurangan subsidi.
Oleh sebahagian kalangan menganggap bahwa dalam keadaan seperti itu justru
pemerintah harus tetap melaksanakan kebijakan subsidinya, karena jika tidak, maka
akan semakin memperburuk kualitas hidup ekonomi masyarakat kebanyakan.
Dalam hitungan angka, pemerintah menempuh kebijakan pengurangan subsidi
didasarkan pada beberapa pertimbangan faktual yang mau tidak mau pasti dihadapi,
dengan menganggap bahwa dengan keijakan itu akan dapat menyelamatkan beberapa
persoalan perekonomian nasional jangka pendek.
1
Seperti, akan dapat dihindari bobolnya APBN karena subsidi untuk komoditas minyak
yang sudah sangat besar, melebihi jumlah anggaran untuk kegiatan pembangunan
infrastruktur dan kegiatan produktif pemerintah lainnya. Termasuk dapat menekan
sumber pembiayaan dari utang luar negeri dan domestik, sehingga dapat dihindari
tingkat ketergantungan ekonomi nasional dengan lembaga-lembaga ekonomi asing.
Selain, itu akan dapat disalurkan beberapa pembiayaan yang dapat mempertahankan
atau meningkatkan daya beli masyarakat melalui subtitusi subsidi ke kelompok
masyarakat berpendapatan rendah, melalui kebijakan-kebijakan Bantuan Tunai
Langsung Plus (BTL Plus) misalnya.
Namun secara umum, kebijakan pengurangan subsidi ini ditempuh dengan anggapan
agar tercipta keadilan berekonomi antara masyarakat berpendapatan tinggi dan yang
berpendapatan rendah. Sebab sesuai penelitian yang ada, rupanya subsidi BBM selama
ini, ternyata justru dinikmati lebih banyak oleh kelompok masyarakat berpendapatan
menengah ke atas, yakni secara rata-rata hampir 80 persen dari jumlah subsidi yang
mencapai Rp 150 triliun, melalui penggunaan bahan bakar minyak yang banyak dari
kendaraan-kendaraan yang dimilikinya. Sehingga kelompok pengguna rakyat kecil atau
angkutan umum hanya sejumlah 20 persennya.
Meskipun demikian. oleh kelompok kritis, bagaimanapun juga dianggap bahwa keibjakan
pengurangan subsidi tersebut tetap perlu dipersoalkan, didasarkan pada beberapa
alasan yang masuk akal pula. Seperti, kenapa persoalan pengurangan subsidi ini selalu
dilakukan dengan meningkatkan harga BBM di pasar.
Padahal ada mekanisme lain yang dapat digunakan pemerintah untuk mengatasi
masalah yang dihadapi. Seperti peningkatan pendapatan pajak dan retribusi yang relatif
sangat rendah dari potensinya. Atau dengan kata lain, mengapa pemerintah tidak
menyusun suatu strategi atau manajemen kebijakan subsidi yang lebih bersifat jangka
panjang, sehingga setiap pelaku ekonomi sudah dapat mengetahui jauh-jauh
sebelumnya supaya mereka dapat mempersiapkan sejak dini langkah-langkah strategis
jika persoalan BBM kembali lagi.
Prinsipnya, keberatan mereka didasarkan pada dua pertanyaan mendasar, yakni:
Mengapa pemerintah tidak berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengatasi
persoalan persediaan minyak untuk kebutuhan domestik khususnya, padahal bangsa ini
masih mempunyai sumber daya minyak yang dapat dihasilkan, meskipun dikaui semakin
berkurang kapasitasnya. Kemudian, mengapa pemerintah tidak membenahi persoalan
semakin besarnya jumlah pengguna BBM, padahal kapasitas produksi minyak bangsa
ini semakin berkurang?
Pertanyaan pertama mengacu pada persoalan, mengapa tidak diusahakan bahwa pada
setiap ada kenaikan harga BBM, ada sebahagian pendapatan pemerintah yang
diperoleh dimaksudkan untuk membiayai perbaikan dan pendirian kilang-kilang minyak
baru, sehingga kapasitas produksi BBM dalam negeri dapat meningkat. Memang
beralasan hal ini dipersoalkan, sebab memang tampaknya pemerintah kurang berupaya
secara sungguh-sungguh mengatasi persoalan ini secara mendasar.
Sehingga misalnya, pada tahun awal 90-an, Indonesia dapat memproduksi minyak
mentah mencapai 1,6 juta barel per hari, tapi saat ini, sisa hanya 912 ribu barel saja.
Yang jelas, ditengah beberapa kali bagsa ini terlilit oleh kesulitan minyak, ternyata ada
beberapa perusahaan kilang-kliang minyak asing justru beroperasi, dengan kapasitas
produksi yang cukup besar jumlahnya, seperti kasus industri eksploitasi minyak China di
daratan Riau.
2
Pertanyaan kedua mengacu pada anggapan tentang kurang terkoordinasinya beberapa
departemen atau lembaga yang bisa mengatasi semakin besarnya jumlah pengguna
BBM di saat kapasitas produksi BBM yang berkurang. Persoalannya dimulai dengan
tidak adanya perencanaan yang baik dari departemen atau lembaga yang
bertanggungjawab, misalnya departemen perhubungan mengenai sebenarnya berapa
banyak jumlah kendaraan yang dapat diadakan dalam kaitannya dengan kapasitas
jumlah jalan yang dapat digunakan.
Akibatnya, beberapa lembaga terkait yang seharusnya dapat merealisasikan
perencanaan berapa banyak jumlah kendaraan yang dapat diadakan tersebut, tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya, tidak adanya aturan atau regulasi dari
departemen perdagangan yang dapat membatasi masuknya mobil-mobil impor terutama
yang ber cc besar.
Masalahnya, menjadi lebih serius karena bank sentral tidak melakukan moral suassion
atau penekanan khusus kepada bank-bank komersial untuk membatasi kemudahan
pemberian kredit guna pembelian kendaraan-kendaraan bermotor dengan berbagai
variannya. Selajutnya, departemen keuangan tidak menetapkan aturan-aturan yang
dapat mebatasi pemilikan kendaraan bagi masyarakat, melalui pembebanan pajak
progressif bagi setiap pemilikan kendaraan. Seperti misalnya di Singapura, adanya
kebijakan pajak untuk pemilikan mobil kedua dengan tarif sebesar harga mobil yang
baru dibeli.
Ringkasnya, jika semuanya itu tetap demikian adanya, maka memang pantaslah jika
persoalan BBM ini akan berulang dan menjadi semakin serius dari waktu ke waktu.
Sehingga ada benarnya, pemerintah harus lebih serius mengurusi persoalan ini, karena
harus disadari bahwa persoalan minyak ini memang akan pasti selalu bermasalah,
sebagai akibat semakin besarnya kebutuhan dibanding ketersediaannya, sebagai akibat
semakin moderennya tatanan hidup masyarakat.
Artinya, pemerintah perlu melakukan sejak kini suatu kebijakan yang lebih komprehensif
dan bersifat jangka panjang dengan melibatkan beberapa departemen atau lembagalembaga ekonomi yang secara langsung atau tidak terlibat dalam proses menghasilkan
maupun dalam penggunaan BBM tersebut. Jadi bukan hanya kebijakan yang tiba masa
tiba akal, karena hal itu akan membuat persoalan yang semakin besar dan semakin sulit
diatasi, yang jelas dapat mengganggu stabilitas sosial, politik dan ekonomi bangsa.
3
Download