PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan salah satu aspek kebutuhan dasar setiap individu. Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 dengan jelas menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Setiap konsumen pangan berhak untuk memperoleh pangan yang aman, utuh, sehat, dan bagi beberapa kalangan, halal. Kemurnian dan kejelasan label menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan hak tersebut. Salah satu pangan hasil olahan daging yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia ialah bakso. Komoditi ini dianggap menjanjikan pasar yang cukup besar, sehingga banyak individu masyarakat yang menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Hal ini tercermin dari banyaknya jumlah pedagang bakso di sentra-sentra daerah dan mudahnya konsumen untuk membeli produk tersebut hingga di pelosok desa. Namun demikian, kepopuleran ini tidak lepas dari fenomena pemalsuan. Tahun 2006, kasus pemalsuan bakso dengan daging tikus di salah satu daerah Jawa Barat diungkap dan disebarluaskan oleh media Trans TV. Terungkapnya kasus ini dengan segera berdampak pada turunnya omset penjualan para tukang bakso. Masyarakat menjadi takut dan enggan mengkonsumsi produk pangan tersebut. Hal ini juga berdampak pada menurunnya omset para penjual daging yang biasa menjual daging untuk bakso. Fenomena ini tentunya menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi berbagai kalangan terkait selain juga tidak sesuai dengan undangundang pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari terulangnya kasus seperti di atas. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menggunakan gas kromatografi untuk analisis asam lemak, serta metode sodium doudesil sulphate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan imunodifusi ganda untuk analisis protein daging sebagai alat uji pemalsuan makanan. Namun demikian, metode-metode ini kurang optimal untuk sampel yang telah dimasak atau mengalami proses pemasakan, sehingga sulit apabila diterapkan pada produk-produk pangan olahan daging yang telah diolah dengan pemanasan, seperti bakso. Teknik polymerase chain reaction (PCR) telah menjadi alat penting untuk mengidentifikasi daging dari berbagai spesies hewan dalam beberapa tahun ini. Teknik yang memanfaatkan informasi spesifik dari DNA ini memungkinkan identifikasi spesies daging dalam jumlah kecil dengan akurat, baik dalam keadaan mentah ataupun telah menerima proses pemanasan. Hasil penelitian Matsunaga et al. (1999) menunjukkan bahwa sejumlah daging (mentah ataupun telah dipanaskan pada suhu 100 oC dan 120 oC selama 30 menit) dapat diidentifikasi secara spesifik dengan menggunakan sebuah campuran primer yang dikembangkan dari gen sitokrom b mitokondria. Maryatni (2000) juga telah berhasil mendeteksi daging babi pada produk olahan daging yang mengalami proses pemanasan dalam pengolahannya, menggunakan teknik PCR. Primer yang digunakan yaitu P408 dan P131 yang keduanya dapat mengamplifikasi DNA pada lokus porcine repetitive element (PRE1) pada babi, tetapi tidak pada daging sapi. Prinsip yang sama akan diterapkan untuk mengetahui dapat tidaknya teknik ini mengidentifikasi campuran daging tikus dalam produk olahan daging yang umum dikonsumsi masyarakat dan telah mengalami proses pemanasan dalam pengolahannya seperti bakso, dengan menggunakan satu campuran primer. Salah satu primer yang akan digunakan ialah primer tikus yang telah disusun dari sequence gen sitokrom b (Cyt-b) mitokondria. Primer ini diharapkan dapat mengamplifikasi campuran daging tikus secara spesifik dalam produk bakso, seperti halnya kespesifikan P408 dan P131 pada produk olahan daging babi. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan identifikasi primer tikus yang dikembangkan dari gen sitokrom b sebagai pendeteksi campuran daging tikus dan tingkat sensitivitasnya pada produk bakso dengan teknik polymerase chain reaction (PCR), serta mendeteksi ada tidaknya campuran daging tikus pada beberapa bakso yang dijual di daerah Kota Bogor.