1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makhluk hidup di bumi ini terdiri dari bermacam-macam spesies yang membentuk populasi dan hidup bersama. Makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasi atau individu-individu dari populasi lain. Ada beberapa jenis hubungan yang dapat terjadi antar spesies. Salah satu interaksi tersebut adalah predasi, yaitu hubungan antara mangsa (prey) dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat kaitannya karena tanpa mangsa, predator tidak dapat bertahan hidup karena tidak ada sumber makanan yang akan dikonversi menjadi individu-individu baru yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya kepunahan. Sebaliknya predator berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Menurut Xiao (2005) salah satu cara kepunahan populasi disebabkan karena banyaknya populasi awal yang terlalu rendah. Oleh karena itu, tingkat predasi yang sangat tinggi terhadap mangsa akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi mangsa yang akan memungkinkan terjadinya kepunahan pada spesies mangsa. Hal ini akan berdampak sama pada populasi pemangsa secara tidak langsung, karena pemangsa tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya mangsa. Seiring dengan berjalannya waktu maka pemangsa akan mengalami kepunahan juga. Untuk mengontrol tingkat predasi agar tidak menyebabkan terjadinya kepunahan pada kedua spesies, maka diberikan perlakuan terhadap populasi mangsa, yaitu dengan memanen populasi mangsa secara teratur. Namun jika tingkat pemanenan terlalu tinggi maka dapat juga menyebabkan punahnya kedua spesies. Oleh karena itu tingkat pemanenan juga harus dibatasi. Dalam melakukan usaha pemanenan ini, hal yang harus diutamakan adalah usaha pemanenan dengan membuat sistem lingkungannya tidak mengalami kepunahan. Dalam karya ilmiah ini akan dibahas tentang model interaksi mangsa-pemangsa Michaelis-Menten yang diberikan perlakuan pemanenan terhadap populasi mangsa untuk mencegah kepunahan kedua spesies. Dalam tulisan ini juga akan ditentukan batas maksimal dari pemanenan, sehingga tidak terjadi eksploitasi terhadap populasi mangsa yang akan menyebabkan kepunahan. Untuk melihat dinamika populasi sistem, akan dipelajari beberapa faktor yang menjadi penentu, seperti tingkat kematian dan kelahiran, frekuensi pertemuan antara kedua spesies dan tingkat pemanenan yang dilakukan. 1.2 Tujuan 1. Melakukan analisis terhadap model mangsa-pemangsa Michaelis-Menten dengan pemanenan pada populasi mangsa. 2. Menentukan nilai maksimum pemanenan agar tidak terjadi kepunahan pada kedua spesies. II LANDASAN TEORI 2.1 Persamaan Diferensial Biasa (PDB) Persamaan diferensial biasa diartikan sebagai suatu persamaan yang melibatkan turunan pertama atau lebih dari fungsi sebarang terhadap peubah t . Contohnya adalah suatu persamaan diferensial biasa orde I yang dinyatakan sebagai : ’ (Farlow 1994) 2.2 Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL) Misalkan sebuah sistem persamaan diferensial (SPD) linear dinyatakan sebagai berikut: x = Ax + b , x (0) = x , x ∈ℜn (2.1) dengan A adalah matriks koefisien berukuran n × n dan vektor konstan b ∈ℜn , maka sistem tersebut dinamakan SPD linear orde 1 dengan kondisi awal x (0) = λ x . Sistem (2.1) dikatakan homogen jika b = 0 dan tak homogen jika b ≠ 0. 2 (Tu 1994) 2.3 Nilai Eigen dan Vektor Eigen Misalkan A adalah matriks n x n maka sebuah vektor taknol x di dalam Rn disebut vektor eigen dari A. Jika untuk skalar λ , yang disebut nilai eigen dari A, berlaku: (2.2) Ax = λ x vektor eigen yang Vektor x disebut bersesuaian dengan nilai eigen λ . Untuk mencari nilai eigen berukuran n × n maka persamaan (2.2) dapat ditulis sebagai berikut: (2.3) ( A − λ I )x = 0 dengan I matriks identitas. Persamaan (2.3) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika det( A − λ I ) x = 0 (2.4) Persamaan (2.4) disebut persamaan karakteristik dari A . (Anton 1995) 2.4 Titik Tetap Diberikan SPD n , x ∈ℜ (2.5) Titik disebut titik tetap jika 0 . Titik tetap disebut juga titik kritis atau titik kesetimbangan. (Tu 1994) 2.5 Titik Tetap Hiperbolik Titik disebut titik tetap hiperbolik jika pelinearan menghasilkan akar karakteristik dengan bagian real tak nol. (Tu 1994) x (0) = x0 dengan x0 ≠ x* . Titik x* titik tetap tak stabil jika terdapat ρ > 0 dengan ciri sebagai berikut: untuk sebarang r > 0 terdapat posisi awal x0 memenuhi | x0 − x * |< r , berakibat solusi x (t ) memenuhi | x (t ) − x * |≥ ρ , untuk paling sedikit satu t > 0. (Verhulst 1990) 2.9 Pelinearan Perhatikan sistem tak linear berikut: (2.6) dengan menggunakan perluasan Taylor pada suatu titik tetap x* , untuk penyederhanaan titik x* didefinisikan pada titik asal, maka diperoleh x = Ax + ϕ ( x ) (2.7) dengan A = Df ( x*) = Df ( x) |x = x* (2.8) ∂f1 ⎛ ∂f1 ⎞ ⎜ ∂x1 … ∂xn ⎟ ⎜ ⎟ A=⎜ ⎟ ⎜ ∂f n ⎟ ∂f n ⎜ ∂x ⎟ x ∂ 1 n⎠ ⎝ Dan ϕ ( x) mempunyai lim* ϕ ( x) = 0 . x→x Sistem x = Ax Disebut pelinearan dari (2.7). (2.9) (Verhulst 1990) 2.6 Titik Tetap Non-Hiperbolik disebut titik tetap non-hiperbolik Titik jika dari pelinearan ada akar karakteristik dengan bagian real sama dengan nol. (Tu 1994) 2.7 Titik Tetap Stabil Misalkan x* adalah titik tetap sebuah SPD dan x (t ) adalah solusi SPD dengan nilai awal x (0) = x0 dengan x0 ≠ x* . Titik x* dikatakan titik tetap stabiljika untuk sebarang radius ρ > 0 terdapat r > 0 sedemikian sehingga jika posisi awal x0 memenuhi | x0 − x * |< r maka solusi x (t ) memenuhi | x (t ) − x * |< ρ , untuk setiap t > 0 . (Verhulst 1990) 2.10 Analisis Kestabilan Titik Tetap Diberikan sistem persamaan differensial sembarang x = f ( x ) , x ∈ ℜn analisis kestabilan titik tetap dilakukan melalui matriks Jacobi, yaitu matriks A . Penentuan kestabilan titik tetap didapat dengan melihat nilai-nilai eigennya, yaitu λ i dengan i = 1, 2, 3, ..., n yang diperoleh dari det ( A − λ I ) = 0 Secara umum kestabilan titik tetap mempunyai tiga perilaku sebagai berikut: 1. Stabil, jika a. Setiap nilai eigen real adalah negatif ( λi < 0 untuk semua i) b. 2.8 Titik Tetap Tak Stabil Misalkan x* adalah titik tetap sebuah SPD dan x (t ) adalah solusi SPD dengan nilai awal 2. Setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih kecil atau sama dengan nol ( Re ( λi ) ≤ 0 untuk semua i). Takstabil, jika 3 a. 3. Setiap nilai eigen real adalah positif ( λi > 0 untuk semua i). b. Setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih besar atau sama dengan nol ( Re ( λi ) ≥ 0 untuk semua i). Sadel, jika perkalian dua buah nilai eigen real sembarang adalah negatif ( λi , λ j < 0 untuk i dan j sembarang). Titik tetap sadel ini bersifat takstabil (Tu 1994) 2.11 Diagram Fase Suatu persamaan diferensial x = f ( x) tidak semuanya dapat diselesaikan secara kuantitatif. Jika hal ini terjadi maka diperlukan solusi kualitatif dalam bentuk diagram fase. Diagram fase akan menggambarkan perubahan kecepatan x terhadap x (lihat gambar 1). Jika x > 0 , maka kurva berada di atas sumbu horizontal, yaitu x naik sepanjang waktu yang ditujukan oleh arah panah dari kiri ke kanan. Jika x < 0 , maka kurva berada di bawah sumbu horizontal, yaitu x menurun sepanjang waktu. Pada sumbu horizontal, x = 0 yaitu x tidak berubah, merupakan titik ekuilibrium atau titik tetap. Jika f '( x ) < 0 yaitu f ( x ) adalah fungsi turun, maka ekuilibrium stabil. Jika f '( x ) > 0 yaitu f ( x ) adalah fungsi naik, maka ekuilibrium tidak stabil. Gambar 2.1 Diagram fase. [Tu 1994] Penondimensionalan Penondimensionalan adalah suatu metode untuk menyederhanakan suatu persamaan banyak parameter menjadi persamaan dengan sedikit parameter. Biasanya penondimensionalan mengelompokkkan beberapa parameter dengan sebuah parameter tunggal. [Srogatz 1994] 2.12 III PEMODELAN 3.1 Model Mangsa-pemangsa Model mangsa-pemangsa yang banyak dikenal adalah model Lotka-Voltera. Model ini disusun berdasarkan asumsi-asumsi berikut: 1. Dalam keadaan tanpa pemangsa, lingkungan hidup populasi mangsa sangat ideal sehingga perkembangannya tak terbatas. 2. Pertumbuhan pemangsa juga ideal, kecuali terdapat kendala makanan. 3. Laju pemangsaan proporsional dengan laju pertemuan antara mangsa dan pemangsa. 4. Laju kematian pemangsa adalah konstan, tidak terpengaruh terhadap kepadatan dan umur pemangsa. 5. Efisiensi pemangsaan tidak tergantung umur pemangsa dan mangsa. 6. Efisiensi penggunaan mangsa sebagai makanan pemangsa untuk bereproduksi adalah konstan dan tidak tergantung umur dan kepadatan pemangsa. 7. Gerakan dan kontak mangsa dan pemangsa berlangsung secara acak. Setiap individu mangsa memiliki peluang yang sama untuk dimangsa. 8. Waktu yang digunakan pemangsa untuk memangsa diabaikan. 9. Kepadatan mangsa tidak mempengaruhi peluang pemangsaan. pemangsa tidak 10. Kepadatan mempengaruhi peluang pemangsa untuk memangsa. 11. Keadaan lingkungan adalah homogen. Pertumbuhan perkapita mangsa dan pemangsa model Lotka-Voltera adalah dX = rX − cX Y dt (3.1) dP = bX Y − d Y dt X Y r c b = kepadatan populasi mangsa = kepadatan populasi pemangsa = laju pertumbuhan intrinsik mangsa = koefisien tingkat pemangsaan = tingkat kelahiran pemangsa tiap satu mangsa yang dimakan d = tingkat kematian pemangsa