BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Perkembangan akhir dari kehidupan manusia disebut dengan usia lanjut. Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan yang menerangkan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008). Lanjut usia dikategorikan menjadi empat, antara lain usia pertengahan (middle age), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly), seseorang yang berusia antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), seseorang yang berusia antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old), seseorang yang berusia diatas 90 tahun (WHO, 2012). Proses menjadi lansia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu tahapan dari proses degeneratif yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga menyebabkan terjadinya stress fisiologis. Kondisi stress fisiologis dapat dipengaruhi oleh kegagalan seorang lansia untuk mengelola stress yang disebabkan oleh penurunan kemampuan tubuh (Efendi, 2009). Perubahan lansia baik fisik, mental, maupun emosional memerlukan dukungan keluarga untuk membantu masalah lansia. Dukungan dari keluarga terdekat dapat membantu lansia menjadi gembira dan merasa bahagia. Dukungan tersebut bertujuan agar lansia tetap dapat menjalankan kegiatan seharihari secara teratur dan tidak berlebihan (Rahayu, 2010). 8 9 2.1.2 Teori Penuaan Menjadi tua adalah proses alami yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu dan dapat berjalan terus menerus serta berkelanjutan. Akibat dari penuaan tersebut akan menimbulkan perubahan – perubahan seperti perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada tubuh sehingga dapat menyebabkan perubahan fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2008). Webster’s New World Dictionary mendefinisikan aging sebagai dua konsep yang berbeda yaitu usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis terjadi pada saat seseorang merayakan hari ulang tahun sedangkan usia biologis terjadi ketika ada perubahan penampilan sistem tubuh seseorang, dari fungsi mental hingga penampilan seksual sampai kekuatan fisik, lebih baik atau lebih buruk dari yang diperkirakan jika dibandingkan dengan orang yang seusianya (Goldman dan Klatz, 2007). Proses menua menyebabkan lansia tidak bisa mandiri dalam menjalani aktivitas karena jaringan tidak mampu untuk memperbaiki diri atau mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap kerusakan yang dialami (Bandiyah, 2009). Penuaan disebut juga suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan merivitalisasi diri serta menjaga dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan dari infeksi luar dan memperbaiki kerusakannya. Terdapat beberapa teori penuaan antara lain (Nugroho, 2008): 10 a. Teori biologi Pada teori ini menjelaskan adanya peerubahan-perubahan pada tingkat seluler yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi biologis pada tubuh. Teori penuaan secara biologis dapat dijelaskan dalam teori-teori berikut: 1) Teori genetic clock Teori ini menjelaskan bahwa penuaan merupakan suatu proses yang sudah terprogram secara genetik yang terjadi pada spesies tertentu. Pada inti sel setiap spesies memiliki satu jam genetik yang telah diputar menurut replikasi tertentu dan jika putaran jam genetik yang dimaksud sudah berhenti maka proses replikasi sel akan berganti (Nugroho, 2008). 2) Teori error castastrophe (Mutilasi somatik) Teori ini menyebutkan penuaan diakibatkan oleh terjadinya kesalahan-kesalahan yang terjadi terus menerus dalam proses transkripsi ataupun translasi sepanjang kehidupan yang terjadi dalam waktu yang cukup lama. Terjadinya kesalahan tersebut menyebabkan terjadinya kesalahan dalam reaksi metabolisme sehingga dapat menyebabkan pengurangan fungsional sel (Nugroho, 2008). 3) Rusaknya sistem imun tubuh Pada teori ini menjelaskan proses mutasi yang berulang atau terjadinya perubahan protein pada pasca translasi adalah penyebab berkurangnya kemampuan imun tubuh untuk mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel yang disebabkan oleh mutasi somatik, keadaan seperti ini dapat mengakibatkan sistem tubuh menganggap hal 11 tersebut sebagai sel asing karena menurunnya fungsi dari sel-sel tubuh untuk beradaptasi dengan hal baru (Nugroho, 2008). b. Teori penuaan akibat metabolisme Teori ini menjelaskan bahwa perpanjangan umur dapat dihubungkan dengan tertundanya proses degeneratif. Perpanjangan umur disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme tubuh (Nugroho, 2008). c. Kerusakan akibat radikal bebas Terpaparnya radikal bebas dalam setiap individu dapat bersifat merusak karena sangat reaktif dan dapat bereaksi bersamaan dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh. Meskipun tubuh mempunyai sistem imun yang dapat memblok radikal tersebut tetapi sebagian radikal bebas tetap lolos bahkan pada lansia semakin banyak terpapar radikal bebas maka terjadi proses penuaan dengan cepat (Nugroho, 2008). d. Teori psikologi Keadaan psikologis individu sangat berpengaruh terhadap fungsi, aktivitas neurohormonal, dan seluler. Teori Psikologis tersebut antara lain: 1) Teori kebutuhan maslow Pada setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapai kebutuhan tertingginya, akan tetapi tidak semua orang bisa untuk mencapai itu. Keadaan seperti itu menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat stres manusia karena keinginan untuk mencapai kebutuhan tertinggi tersebut dan dapat berakibat pada percepatan proses penuaan (Lueckenotte, 1996). 12 2) Aktivitas atau kegiatan (activity theory) Teori aktivitas ini menjelaskan bahwa manusia yang aktif dimasa muda harus tetap aktif dimasa tuanya. Sense of Integrity yang dibangun dimasa mudanya akan tetap dibawa dan tertanam pada masa tua (Azizah, 2011). 3) Teori pembebasan (pisengagement theory) Teori ini menjelaskan dengan bertambahnya usia seseorang, menyebabkan secara pelan-pelan seseorang melepaskan diri dari pergaulan sekitar dan lingkungan sosialnya (Azizah, 2011). 2.1.3 Perubahan yang Terjadi pada Lansia Proses menua akan diikuti oleh perubahan yang terjadi baik fisik, psikologis, perubahan mental dan spiritual (Ismayadi, 2004). a. Perubahan mental Masalah kesehatan lansia berasal dari empat aspek yaitu fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Gangguan dan penurunan fungsi tersebut dapat menyebabkan berbagai perubahan seperti emosi yang labil, mudah tersinggung, mudah merasa dilecehkan, kecewa, perasaan tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Pada keadaan lansia yang mengalami hal tersebut rentan mengalami gangguan psikiatrik seperti, depresi, ansietas, dan psikosis atau kecanduan obat (Ismayadi, 2004). b. Perubahan psikososial Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia meliputi lansia pada masa pensiun, isolasi sosial, perubahan pada tempat tinggal dan perubahan pada lingkungan, dapat merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality), serta terjadi beberapa perubahan lainnya (Ismayadi, 2004). 13 Masa pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan peran yang dapat menyebabkan stress psikososial. Seseorang yang mengalami masa pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan seperti kehilangan aspek finansial, kehilangan pada aspek status (dari dulu yang mempunyai jabatan tinggi dan dengan segala fasilitasnya), selain itu pensiun dapat menyebabkan orang kehilangan teman atau relasinya dan pekerjaannya (Ismayadi, 2004). c. Perubahan biologis Menurut Nugroho (2008) terjadi beberapa perubahan secara biologis pada usia lanjut, seperti perubahan kulit menjadi tipis, kering, keriput dan penurunan elastisitas. Kulit merupakan penjaga suhu tubuh dari lingkungan dan sebagai proteksi terhadap kuman-kuman dan penyakit supaya tidak masuk ke bagian dalam tubuh. Selain terjadinya perubahan pada kulit, terjadi perubahan seperti rambut rontok, putih, kering terlihat tidak mengkilap, gigi mulai habis, terganggunya indra penglihatan dan pendengaran, terjadi kelelahan pada tubuh, gerakan menjadi lambat, keterampilan tubuh berkurang, terjadi penimbunan lemak terutama bagian perut, berkurangnya jumlah sel otot, bertambahnya jaringan ikat, fungsi tubuh menurun, serta kekuatannya berkurang. Pembuluh darah khususnya dibagian jantung dan otak mengalami kekakuan. Menurut Martono & Darmojo (2006), lansia akan rentan mengalami distorsi metabolik dan stuktural seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes militus dan kanker. 14 2.2 Konsep Hipertensi 2.2.1 Definisi Hipertensi Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Hipertensi primer adalah hipertensi yang terjadi tanpa penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008). Hipertensi merupakan keadaan tekanan darah seseorang yang abnormal yaitu tekanan darahnya lebih tinggi dari tekanan darah normal. Joint National Committtee (JNC) On Prevention, Detection, Evaluasi, And Treatment Of High Blood Pressure yang ke-tujuh mempublikasikan revisi panduan nilai tekanan darah sistolik yang optimal yaitu kurang dari 120 MmHg dan tekanan darah diastolik yang optimal yaitu 80 MmHg. Tekanan darah dikatakan sebagai hipertensi adalah ≥140 MmHg untuk sistolik dan ≥90 MmHg untuk yang diastolik (Corwin, 2009). The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO dengan International Society of Hipertention mendefinisikan hipertensi terjadi apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih dari 95 15 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur sekurangkurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008). 2.2.2 Klasifikasi Hipertensi Keadaan tekanan darah pada seseorang sangat bervariasi tergantung dari kondisi fisik dan emosional yang sedang dialami. Tekanan darah seseorang cenderung naik ketika sedang beraktivitas, emosi dan mengalami stress dan sebaliknya ketika tidur dan relaksasi tekanan darah seseorang menjadi menurun. Keadaan seperti ini berpotensi terjadi hipertensi dan risiko penyakit jantung jika dari hasil pemeriksaan awal berulang kembali keadaan seperti itu (Huwon, 2002). Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Grade Klasifikasi umur ≥ 18 tahun Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg) Normal < 120 <80 Pre hipertensi 120 – 139 80 – 89 Stadium I 140 – 159 90 – 99 Stadium II ≥160 ≥100 Sumber: (The seventh committee on detection, evaluation and treatment of high blood pressure) dalam Rosalina, 2008. Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan umur Kelompok usia Bayi Anak Remaja Dewasa 7-11 tahun 12-17 tahun 20-45 tahun 45-65 tahun >65 tahun Sumber: Potter & Perry 2005. Normal (mmHg) Hipertensi (mmHg) 80/40 100/60 115/70 120-125/75-80 135-140/85 150/85 90/60 120/80 130/80 135/90 140/90-160/95 160/95 16 2.2.3 Mekanisme Terjadinya Hipertensi pada Lansia Mekanisme peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan peningkatan usia seiring dengan terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan meregang pada arteri. Tekanan meningkat sangat tinggi pada aorta dengan terjadinya pembuluh darah kaku dikarenakan penambahan volume intravaskuler yang sedikit pada pasien lanjut usia. Secara hemodinamik hipertensi sistolik ditandai dengan penurunan kelenturan pembuluh arteri besar, resistensi perifer yang tinggi, pengisian diastolik abnormal, dan bertambah masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Perubahan aktivitas sistem saraf simpatik dengan bertambahnya norepinephrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergik sehingga berakibat penurunan fungsi relaksasi otot pembuluh darah (Ferdinand, 2008). Lanjut usia akan mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada arteri besar yang membawa darah dari jantung dan menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh darah dan tingginya tekanan darah. Seseorang yang terjangkit penyakit ini biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke, dan penyakit jantung (Rusdi dan Nurlaela, 2009). 2.2.4 Penegakan Diagnosis Hipertensi Penegakan diagnosis hipertensi berdasarkan kepada hasil pengkuran sedikitnya dua kali melakukan kunjungan. Pada kunjungan tersebut tekanan darah diukur selama dua kali atau sampai dengan empat kali sehingga hasil yang didapat menjadi kongkrit. Hasil pengukuran yang menunjukkan tekanan darah sebesar 140/90 17 mmHg atau lebih dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami hipertensi (Rosalina, 2007). a. Metode auskultasi Metode auskultasi merupakan metode yang menggunakan indra pendengaran seseorang dengan dan dibantu oleh alat yang disebut stetoskop. Pengukuran tekanan darah bisa dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung. Pengukuran tekanan darah dengan metode langsung yaitu dengan memasukan kateter arteri dimasukan langsung ke arteri dengan prosedur tertentu. Pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan auskultasi menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop dan spygnomanometer. Sphygnomanometer tersusun yang berhubungan dalam rongga pada manset (Smeltzer, 2002). Manset dibalut dengan kencang tetapi diusahakan supaya lembut pada tangan lengan atas dan dikembangkan dengan cara dipompa. Tekanan dalam manset dinaikkan sampai denyut radial dan brankial menghilang menyebabkan tekanan sistolik darah telah dilewati dan arteri brankialis tetap tertutup. Manset dikembangakan lagi dengan interval 20 – 30 mmHg diatas titik dimana denyutan radial menghilang. Manset dikempiskan kemudian dilakukan pembacaan secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop. Pada ujung diafragma stetoskop diletakkan di arteri brankialis pada rongga antekubital. Rongga antekubital merupakan titik arteri brankialis muncul diantara kedua kaput otot bisep. Manset dikempiskan dua sampai tiga mmHg/detik, dengarkan denyutan sistolik dengan menggunakan stetoskop yang berbunyi karotkoff dan terjadi bersamaan dengan detak jantung terus akan berbunyi sampai tekanan 18 manset turun dibawah tekanan diastolik pada titik tersebut bunyi akan hilang (Potter & Perry, 2006). b. Metode palpasi Tekanan sistolik dapat ditentukan dengan memompa manset lengan dan membiarkan tekanan turun kemudian tentukan tekanan pada saat denyut radialis pertama kali teraba. Oleh karena kesukaran dalam menentukan secara pasti kapan denyut pertama teraba, tekanan yang diperoleh dengan metode palpasi biasanya 2-5 mmHg lebih rendah dibandingkan dengan yang diukur menggunakan metode auskultasi. Melakukan kebiasaan meraba denyut nadi radialis sangat dianjurkan ketika memompa manset selama pengukuran tekanan darah dengan metode auskultasi. Bila tekanan manset diturunkan, bunyi Korotkoff kadang-kadang menghilang pada tekanan diatas tekanan diastolik, kemudian muncul lagi pada tekanan yang lebih rendah. Pada saat manset dimulai untuk dipompa sampai denyut radialis menghilang, memeriksa dapat yakin bahwa tekanan manset diatas tekanan sistolik dan nilai tekanan rendah palsu dapat dihindari. c. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter digital Menurut Rikesdas (2013) pengukuran tekanan darah juga dapat menggunakan tensimeter digital. Penggunaan tensimeter digital diperuntukkan untuk responden yang berusia diatas 15 tahun. Berikut merupakan ketentuan cara menggunakan tensimeter digital : 1. Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah, responden sebaiknya menghindar kegiatan aktivitas fisik seperti olah raga, merokok, dan makan, 19 minimal 30 menit sebelum pengukuran. Dan juga duduk beristirahat setidaknya 5-15 menit sebelum pengukuran. 2. Hindari melakukan pengukuran dalam kondisi stres. Pengukuran sebaiknya dilakukan dalam ruangan yang tenang dan dalam kondisi tenang dan posisi duduk. 3. Pastikan responden duduk dengan posisi kaki tidak menyilang tetapi kedua telapak kaki datar menyentuh lantai. Letakkan lengan kanan responden di atas meja sehinga manset yang sudah terpasang sejajar dengan jantung responden. 4. Singsingkan lengan baju pada lengan bagian kanan responden dan memintanya untuk tetap duduk tanpa banyak gerak, dan tidak berbicara pada saat pengukuran. Apabila responden menggunakan baju berlengan panjang, singsingkan lengan baju ke atas tetapi pastikan lipatan baju tidak terlalu ketat sehingga tidak menghambat aliran darah di lengan. 5. Biarkan lengan dalam posisi tidak tegang dengan telapak tangan terbuka ke atas. Pastikan tidak ada lekukan pada pipa manset. 6. Persiapkan manset. Perlu diperhatikan bahwa manset hendaknya diambil dari kotaknya secara benar dengan mengangkat secara keseluruhan (tidak ditarik salah satu bagiannya). 7. Pasang manset pada lengan kanan responden dengan posisi kain halus/ lembut ada di bagian dalam dan D-ring (besi) tidak menyentuh lengan, masukkan ujung manset melalui D-ring dengan posisi kain perekat di bagian luar. Ujung bawah manset terletak kira-kira 1–2 cm di atas siku. Posisi pipa 20 manset harus terletak sejajar dengan lengan kanan responden dalam posisi lurus dan relaks. 8. Tarik manset dan kencangkan melingkari lengan kanan responden. Tekan kain perekat secara benar pada kain bagian luar manset. Pastikan manset terpasang secara nyaman pada lengan kanan responden. 9. Tekan tombol ’start’, pada layar akan muncul angka 888 dan semua simbol. 10. Selanjutnya semua simbol gambar hati “♥” akan berkedip-kedip. sampai denyut tidak terdeteksi dan tekanan udara dalam manset berkurang, angka sistolik, diastolik dan penyut nadi akan muncul. 11. Catat angka sistolik, diastolik dan denyut nadi hasil pengukuran tersebut pada formulir hasil pengukuran dan pemeriksaan. 12. Pengukuran dilakukan dua kali, jarak antara dua pengukuran sebaiknya antara 2 menit dengan melepaskan manset pada lengan. 13. Apabila hasil pengukuran satu dan kedua terdapat selisih > 10 mmHg, ulangi pengukuran ketiga setelah istirahat selama 10 menit dengan melepaskan manset pada lengan. 14. Apabila responden tidak bisa duduk, pengukuran dapat dilakukan dengan posisi berbaring, dan catat kondisi tersebut di lembar catatan. 2.2.5 Manifestasi Klinis Hipertensi Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pederita hipertensi menurut Corwin (2009), antara lain: a. Sakit kepala saat terjaga kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium. 21 b. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina. c. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. d. Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan pada penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008). 2.2.6 Faktor Risiko Hipertensi Menurut Potter & Perry (2006) menyebutkan bahwa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah sampai terjadinya hipertensi antara lain (1) Usia, tekanan darah cenderung meningkat ketika usia terus bertambah. Pada usia lanjut akan mengalami penurunan elastisitas pembuluh darah yang dapat mengakibatkan tekanan sistolik meningkat. Hal ini sering disebabkan oleh perubahan alami tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon-hormon (Sigarlaki, 2006). (2) Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi. Jika dilihat dari segi klinis, tidak ada perbedaan tekanan 22 darah yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Tekanan darah laik-laki cenderung lebih tinggi pada masa pubertas dan perempuan lebih tinggi ketika sudah memasuki masa manopouse dikarenakan produksi hormon tubuh yang menurun (Potter & Perry, 2006). Menurut Dalimartha, dkk(2008) terdapat dua faktor penyebab hipertensi, yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol yaitu sebagai berikut: a. Faktor yang tidak dapat dikontrol 1. Faktor genetik/keturunan Sekitar 70-80% penderita hipertensi ditemukan memang memiliki riwayat hipertensi dalam keluarganya. Riwayat hipertensi yang ditemukan pada kedua orang tuanya memiliki risiko besar akan dialami oleh anaknya. Hipertensi juga banyak terjadi pada anak kembar apabila salah satu mengalami hipertensi. Dugaan tersebut menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran dalam terjadinya hipertensi. 2. Usia Penambahan usia dapat meningkatkan risiko terjangkitnya penyakit hipertensi. Walaupun penyakit hipertensi bisa terjadi pada segala usia, tetapi sering menyerang orang dewasa yang berusia 35 tahun atau lebih. Meningkatnya tekanan darah seiring dengan bertambahnya usia memang sangat umum. Hal ini disebabkan adanya perubahan alami pada jantung, pembuluh darah, dan hormon. Jika perubahan ini disertai dengan faktor yang lain bisa memicu terjadinya penyakit hipertensi (Corwin,2007). 23 3. Jenis kelamin Orang yang memasuki usia dewasa dan setengah baya ternyata kaum lakilaki lebih banyak yang menderita hipertensi. Namun hal ini akan terjadi sebaliknya setelah berumur 55 tahun ketika sebagian wanita mengalami menopause, hipertensi lebih banyak dijumpai pada wanita (Corwin, 2007). b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi 1. Intake garam Garam terdapat dua komponen mineral, natrium, dan klorida yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, transmisi syaraf, serta kontraksi otot. Natrium klorida yang tinggi di dalam tubuh akan mengikat komponen – komponen cairan yang harus dicairkan, dan proses ini dapat meningkatkan tekanan darah. Garam adalah zat tambahan makanan sesudah gula, yang digunakan atau disalahgunakan. Kebutuhan garam dalam tubuh membutuhkan 500 mg atau 1/10 sendok teh setiap hari untuk tetap sehat. Pada saat dewasa, kebanyakan orang mengkonsumsi 15 sampai 20 gram garam setiap hari, 30 sampai 40 kali lebih banyak dari kebutuhkan tubuh. Jumlah ini kira-kira sepuluh kali lebih banyak dari kemampuan pengolahan oleh ginjal. Konsumsi garam lebih banyak dari yang dapat diolah oleh ginjal, maka kelebihan garam akan ditimbun dan harus dicairkan sebelum tubuh dapat menanganinya. Jadi tubuh harus menahan berkilogram air hanya untuk menjaga agar kelebihan garam tetap cair. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah, karena ginjal harus 24 mendorong cairan garam itu melalui penyaring - penyaring yang terdapat pada ginjal (Diehl, 2004). 2. Indeks masa tubuh (IMT) Kelebihan berat badan meningkatkan risiko seseorang terserang penyakit hipertensi. Semakin besar masa tubuh maka semakin banyak pula darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Volume darah yang beredar melalui pembuluh darah meningkat sehingga akan memberi tekanan lebih besar ke dinding arteri. Obesitas juga dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah (Martuti, 2009). 3. Merokok Zat yang terdapat dalam rokok dapat merusak lapisan dinding arteri berupa plak. Plak tersebut menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri yang dapat meningkatkan tekanan darah. Kandungan nikotinnya bisa meningkatkan hormon epinefrin yang bisa menyempitkan pembuluh darah arteri. Karbon monoksida dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk menggantikan pasokan oksigen ke jaringan tubuh sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Marliani, 2007). Tar dalam asap rokok mengandung ratusan zat kimiawi yang kebanyakan bersifat karsinogenik. Nikotin dapat menyebabkan kecanduan dan gangguan irama jantung (Bustan, 2007). 25 4. Alkohol Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor risiko hipertensi, meski belum diketahui secara pasti mekanisme terjadinya peningkatan tekanan darah terkadang alkohol bisa meningkatkan tekanan darah (Puddey & Beilin, 2006). 5. Aktivitas fisik Beraktivitas dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran tenaga dan energi dengan beraktivitas seperti olahraga. Olahraga dapat menyebabkan kontraksi pada otot-otot tubuh sehingga terjadi pelepasan energi tubuh. Akibat dari pengeluaran energi yang banyak, tubuh akan mengkompensasi energi melalui pernafasan sehingga pernafasan semakin cepat, peningkatan heart rate dan aliran darah (Fatmah & Ruhayati, 2011). 6. Stres Stres dari tingkat ringan sampai berat dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung, insomnia, dan sulit tidur. Jika tidak memilik koping stres yang bagus, efek dari stres yang terus-menerus menyebabkan peningkatan tekanan darah (Mumpuni & Wulandari, 2010). 7. Kafein Kafein merupakan kandungan yang terdapat dalam kopi. Keberadaan kafein dalam kopi dapat mempengaruhi tekanan darah karena kafein memiliki efek yang antagonis kompetitif terhadap reseptor adenosin. Adenosin merupakan neuromodulator yang mempengaruhi sejumlah fungsi pada susunan saraf dan 26 berdampak pada vasokontriksi dan meningkatkan total resistensi perifer. Hal tersebut dapat memicu naiknya tekanan darah (Martiani, 2012). 2.2.6 Komplikasi Hipertensi Menurut Corwin (2009) komplikasi dari hipertensi yang bisa terjadi antara lain sebagai berikut: a. Stroke merupakan salah satu komplikasi dari hipertensi. Stroke disebabkan oleh tekanan hemoragik tinggi pada otak atau akibat dari embolus yang terlepas dari pembuluh otak. Selain itu stroke juga disebabkan oleh hipertrofi dan penebalan pembuluh darah pada otak sehingga aliran darah ke otak berkurang. b. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami aterosklerosis dan tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau terbentuknya trombus yang menghambat aliran darah. c. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Glomerulus yang rusak mengakibatkan aliran darah ke unit fungsional ginjal (nefron) akan terganggu dan terjadi hipoksik. Rusaknya glomerulus menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema, edema sering dijumpai pada penderita hipertensi kronis. d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan sangat tinggi mengakibatkan kelainan ini dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang intertisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron menjadi kolaps dan terjadi koma atau kematian. 27 2.2.7 Penatalaksanaan Hipertensi a. Terapi farmakologi Menurut Rahardojo (2009) terapi hipertensi umumnya merupakan terapi obat seumur hidup sehingga harus hati-hati dalam menentukan diagnosa hipertensi. Hal ini melibatkan pengukuruan tekanan darah dan obat berikutnya yang dapat ditambahkan selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok tergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut: 1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi. 2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi. 3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan cara menggunakan obat antihipertensi. 4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang bahkan pengobatan seumur hidup. Terdapat 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker) dan antagonis kalsium. Pada menyebutkan penyekat reseptor Joint National Commite (JNC) ke-VII, alfa adrenergik (α-blocker) tidak 28 dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan vasodilator (Nafrialdi, 2009). b. Terapi nonfarmakologi Menurut Corwin (2009), pengobatan hipertensi dapat dilakukan dengan menurunkan kecepatan denyut jantung, volume sekuncup. Intervensi nonfarmakologis yang dapat membantu individu untuk mengurangi tekanan darah sebagai berikut: 1. Pada sebagian orang, penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan mengurangi beban kerja jantung sehingga kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup juga berkurang. 2. Olahraga ringan setiap hari dapat membantu meningkatkan kadar HDL yang dapat mengurangi terbentuknya aterosklerosis akibat hipertensi. 3. Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dengan cara menghambat respons stres saraf parasimpatis. 4. Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung. Lynch (2012) menulis salah satu terapi nonfarmakolgis untuk pasien hipertensi yaitu dengan cara rutin melakukan teknik deep breathing. Pernyataan ini didukung oleh Sharma (2011) dalam artikelnya disebutkan bahwa teknik pernafasan dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. 29 2.3 Konsep Deep Breathing 2.3.1 Pengertian Deep Breathing Deep breathing merupakan latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Smeltzer, et al, 2008). 2.3.2 Teknik Deep Breathing Menurut Priyanto (2010) deep breathing merupakan salah satu latihan pernafasan dengan menggunakan pernafasan diafragma dan kontraksi otot abdomen. Deep breathing banyak dikembangkan dalam kajian keperawatan sebagai terapi penunjang. Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan otot-otot pernafasan yang berguna untuk meningkatkan compliance paru, meningkatkan fungsi ventilasi, dan memperbaiki oksigenasi. Teknik deep breathing diantaranya: a. Mengatur posisi klien dengan posisi duduk, semi fowler/fowler di tempat tidur/kursi b. Meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah iga) dan tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas c. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi, tahan nafas selama 2 detik d. Menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil mengencangkan (kontraksi) otot-otot abdomen dalam 4 detik 30 e. Melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit f. Melakukan latihan dalam lima siklus selama 15 menit. 2.3.3 Frekuensi Pemberian Deep Breathing Pemberian teknik deep breathing dituliskan dalam penelitian Suwardianto pada tahun 2011 yang memberikan deep breathing kepada responden lansia selama 15 menit dalam satu kali intervensi. Setelah intervensi tersebut didapatkan penurunan tekanan sistolik sebanyak 9.00 mmHg dan diastolik 10.00 mmHg. Pada penelitian yang ditulis oleh Santoso tahun 2012, pemberian latihan deep breathing adalah sebanyak 1 kali/hari. Hasil dari penelitian ini yaitu latihan deep breathing dapat menurukan tekanan darah secara signifikan sebanyak 10 mmHg. Penelitian yang dilakukan oleh Pinto pada tahun 2013 menyatakan pemberian deep breathing kepada wanita dewasa lanjut yang mengalami hipertensi dengan frekuensi 2-3 kali/hari dalam 14 hari intervensi. Pengukuran tekanan darah dilakukan pada hari ke-4, ke-8 dan hari ke-14. Hasil yang didapat adalah terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan pada hari ke empat intervensi dan mencapai hasil maksimal pada hari ke 14. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Silva pada tahun 2014 yang meneliti tentang efektivitas deep breathing terhadap pasien penderta CAD (Crhonic Artery Disease). Frekuensi pemberian deep breathing pada penelitian ini yaitu 2-3 kali/hari dalam 2 minggu intervensi yang diberikan setiap satu kali intervensi dan memerlukan waktu 10 menit. Hasil dari penelitian ini adalah terjadi penurunan yang signifikan pada tekanan darah responden selama 14 hari intervensi. 31 Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa frekuensi pemberian deep breathing pada pasien yang mengalami hipertensi bisa dilakukan sebanyak 1-3 kali/hari selama 2 minggu dengan memerlukan waktu satu kali intervensi yaitu 10-15 menit. 2.3.4 Pengaruh Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah Mekanisme relaksasi nafas dalam (deep breathing) pada sistem pernafasan berupa suatu keadaan inspirasi dan ekspirasi pernafasan dengan frekuensi pernafasan menjadi 6-10 kali permenit sehingga terjadi peningkatan regangan kardiopulmonari (Izzo, 2008). Stimulasi peregangan di arkus aorta dan sinus karotis diterima dan diteruskan oleh saraf vagus ke medula oblongata (pusat regulasi kardiovaskuler), selanjutnya merespon terjadinya peningkatan refleks baroreseptor (Gohde, 2010). Impuls aferen dari baroreseptor mencapai pusat jantung yang akan merangsang aktivitas saraf parasimpatis dan menghambat pusat simpatis (kardioakselerator) sehingga menyebabkan vasodilatasi sistemik, penurunan denyut dan daya kontraksi jantung. Sistem saraf parasimpatis yang berjalan ke SA node melalui saraf vagus melepaskan neurotransmiter asetilkolin yang menghambat kecepatan depolarisasi SA node sehingga terjadi penurunan kecepatan denyut jantung (kronotropik negatif). Perangsangan sistem saraf parasimpatis ke bagian-bagian miokardium lainnya mengakibatkan penurunan kontraktilitas, volume sekuncup, curah jantung yang menghasilkan suatu efek inotropik negatif. Keadaan tersebut mengakibatkan penurunan volume sekuncup dan curah jantung. Pada otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Penurunan tekanan darah terjadi akibat dari penurunan curah jantung, kontraksi serat-serat otot jantung, dan volume darah (Muttaqin, 2009). 32 Deep breathing mengubah energi dari tegangan menjadi relaksasi dengan cara menghambat sistem saraf simpatis dan meningkatkan kerja sistem saraf parasimpatis, yang dapat menghambat hormon stres serta menurunkan tekanan darah, penurunan denyut jantung dan nadi (Lynch, 2012). 2.4 Konsep Aromaterapi 2.4.1 Pengertian Aromaterapi Aromaterapi berasal dari dua kata yaitu aroma dan terapi. Aroma memiliki pengertian harum atau wangi dan terapi memiliki pengertian penyembuhan atau pengobatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aromaterapi merupakan salah satu perawatan tubuh atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial (Jaelani, 2009). Menurut Maifrisco (2008) aromaterapi merupakan suatu teknik terapi yang menggunakan minyak esensial atau sari minyak murni sebagai media untuk mengatasi masalah kesehatan, sebagai penjaga mood dan perasaan, menjaga gairah, menyegarkan serta menenangkan jiwa dan membantu dalam proses penyembuhan. Seiring dengan banyaknya manfaat aromaterapi untuk kesehatan, semakin banyak juga produsen-produsen mengolahnya dengan dijadikan sebagai bermacam-macam barang seperti pengharum ruangan, dupa, cologne/parfum, minyak esensial yang dibakar bersama air di atas tungku kecil, atau bentuk-bentuk lainnya. Penggunaan aromaterapi selalu dihubungkan dengan berbagai hal yang berkaitan dengan hal-hal menyenangkan sehingga membuat jiwa, tubuh dan pikiran merasa rileks dan bebas. Istilah aromaterapi dipopulerkan oleh Rene Maurice Gattefosse di Prancis pada tahun 1928 (Keville, 2004). Berbagai cara bisa diterapkan untuk pemakaian 33 aromaterapi salah satunya yaitu dengan cara inhalasi. Dosis yang dianjurkan yaitu melarutkan 10-15 tetes minyak esensial murni kedalam 1 liter air untuk sekali pemakaian. Konsentrasinya dapat memakai pengenceran 1% sampai 2,5%. Campuran ini dapat digunakan dalam terapi pengobatan yang dibantu dengan menggunakan peralatan aromaterapi (Jaelani, 2009). Penggunaan dosis aromaterapi lainnya yang dapat dilakukan dengan melarutkan 3-5 tetes ke dalam 20 cc air (Wilkinson et al, 2007). 2.4.2 Jenis-Jenis Aromaterapi Berbagai jenis minyak esensial yang berpotensi digunakan untuk ruangan yang dapat mempengaruhi emosi dan pikiran manusia adalah sebagai berikut. Tabel 3. Jenis Minyak Esensial dan Manfaatnya Jenis Cendana/Sandal wood Manfaat Membantu mengurangi depresi, mengatasi sulit tidur, stress atau perasaan sedih dan sangat bermanfaat untuk meditasi. Jasmine Mengatasi stress, gelisah, perasaan berdebar-debar, serta menciptakan suasana yang tenang dan rileks. Greentea Merangsang semangat, menenangkan serta menyegarkan pikiran. Lemon Menenangkan suasana, aromanya dapat menimbulkan rasa percaya diri, merasa lebih santai dan menenangkan saraf tanpa menghilangkan kesadaran. Lavender Membantu terciptanya keseimbangan tubuh serta pikiran dan membantu menghilangkan insomnia. Lotus Menyejukkan, memberi rasa nyaman, membantu penyembuhan, mengurangi depresi dan sangat disarankan untuk relaksasi. Rose Mengurangi rasa marah, stress dan cemas. Papermint Aroma yang begitu menyegarkan, membangkitkan suasana dan mengurangi ketegangan. Frangipani Semangat kerja, gembira, percaya diri, mengatasi depresi dan relaksasi. Cempaka Menambah semangat, suasana gembira, kehangatan dan relaksasi. Kenanga Menghilangkan ketegangan, menciptakan suasana tenang atau rileks Sumber: Jaelani, 2009. 34 2.4.3 Aromaterapi Kenanga Indonesia merupakan negara beriklim tropis kaya akan beraneka ragam flora, berbagai jenis tanaman yang memiliki banyak manfaat dapat tumbuh dengan mudah, salah satu diantaranya adalah tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Tanaman kenanga (Cananga odorata) merupakan salah satu jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Bunga kenanga merupakan bunga yang berasal dari beberapa negara di Asia Tenggara khususnya Filipina, Thailand dan Indonesia. Bunga kenanga yang berasal dari Indonesia khususnya Jawa adalah bunga kenanga spesies Cananga odorata forma macrophylla yang dapat menghasilkan minyak kenanga. Sementara itu bunga kenanga yang berasal dari Filipina dan Thailand adalah bunga kenanga spesies Cananga odorata forma genuine dan Cananga odorata forma fruticosa yang dapat menghasilkan minyak ylangylang. Bunga kenanga yang berwarna kuning kehijauan dan kuning dapat menghasilkan minyak dengan kualitas yang baik (Rachmawati et al. 2013). Kandungan dari aromaterapi kenanga yaitu terdiri atas Methyl benzoate 34.00% 4methylanisole 19.82 Benzyl benzoate 18.97%, Iso-caryophyllene 9.28%, Germacrene D 8.15%, Alpha-farnescene 2.73%, Linalyl acetate 2.11%, Alphacaryophyllene 2.04%, Copaene 1.65%, Cadinene 1.25%. Kandungan tersebut mempunyai efek relaksasi, meningkatkan kenyamanan, menurunkan kecemasan, dan mempunyai kemampuan untuk menurukan tekanan darah (Hallnet, 2015). 35 2.4.4 Cara Penggunaan Aromaterapi a. Penyerapan melalui kulit Minyak esensial merupakan senyawa yang diapakai dalam banyak pengobatan penunjang karena kerutannya dalam lipid yang ditemukan di dalam stratum korneum sehingga minyak essensial dianggap mudah diserap. Penyerapan senyawa ini terjadi saat senyawa ini melewati lapisan epidermis kulit dan masuk ke dalam saluran limfe, kelenjar keringat, saraf, serta masuk ke dalam aliran darah dan menuju ke setiap sel tubuh untuk bereaksi (Djilani & Dicko, 2012). b. Melalui inhalasi Proses inhalasi aromaterapi akan menyebabkan molekul-molekul yang ada pada minyak esensial yang terhirup akan terbawa oleh arus turbulen ke langit-langit hidung. Pada langit-langit hidung terdapat bulu-bulu halus yang menjulur dari sel-sel reseptor ke dalam saluran hidung. Molekul minyak yang tertahan pada bulu-bulu ini suatu impuls akan ditransmisikan lewat bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius ke dalam sistem limbik. Proses ini akan memacu memori dan emosional lewat hipotalamus bekerja sebagai regulator yang menyebabkan pesan tersebut dikirim ke bagian otak dan bagian tubuh lainnya. Pesan yang diterima akan diubah sehingga terjadi pelepasan zat-zat neurokimia yang bersifat euforik, relaksan, sedatif, atau stimulan menurut keperluan tubuh (Djilani & Dicko, 2012). Terdapat beberapa cara dalam penggunaan aromaterapi secara inhalasi yaitu dengan dituangkan ke kertas tissue, pengusapan langsung ditangan, penggunaan 36 alat penguap/steamer, rendaman, botol penyemprot dan vaporizer/diffuser (Siahaan, 2013). Beberapa cara pemberian yang disebutkan diatas, pemberian aromaterapi secara inhalasi dengan cara Vaporizer atau diffuser merupakan cara paling disukai. Cara kerja Vaporizer yaitu dengan membebaskan molekul – molekul pada aromaterapi yang paling ringan selanjutnya dihirup oleh hidung mesuk ke pusat penciuman (Siahaan, 2013). Terdapat banyak jenis alat vaporizer, akan tetapi jenis vaporizer elektrik paling aman ditinjau dari sudut pasien. Penggunaan vaporizer yang terlalu panas dapat menimbulkan bau hangus dan tidak nyaman untuk indra penciuman. Alat diffuser dikatakan lebih efisien dikarenakan dapat menyemprotkan semua molekul yang berbeda-beda pada waktu relatif bersamaan. Pemakaian diffuser tidak akan membakar residu aromaterapi seperti pada vaporizer. Sehingga inhalasi menggunakan diffuser sangat ideal untuk efek relaksasi (Rice, 2000). Penggunaan aromaterapi dengan diffuser yaitu digunakan dalam konsentrasi tertentu. Price merekomendasikan penggunaan aromaterapi 20 tetes dalam 50 mL air dengan konsentrasi 2% (Price, 2007). Penggunaan aromaterapi kenanga secara inhalasi yang direkomendasikan dengan konsetrasi paling tinggi 3% (Betharani et al, 2007). Dari pendapat diatas dapat disimpulkan rekomendasi penggunaan aromaterapi kenanga secara inhalasi yang paling baik yaitu memiliki konsetrasi 1-3%. 37 c. Pijat Aromaterapi apabila digunakan melalui pijat dilakukan dengan langsung mengoleskan minyak essensial yang telah dipilih di atas kulit. Minyak esensial baru bisa digunakan setelah dilarutkan dengan minyak dasar seperti minyak zaitun, minyak kedelai, dan minyak tertentu lainnya (Departement of Health, 2007). 2.4.5 Pengaruh Pemberian Aromaterapi Kenanga terhadap Tekanan Darah Aromaterapi kenanga merupakan salah satu teknik penyembuhan alternatif yang sebenarnya berasal dari sistem pengetahuan kuno. Aromaterapi kenanga merupakan metode pengobatan yang menggunakan minyak esensial dalam penyembuhan holistik untuk memperbaiki kesehatan dan kenyamanan emosional serta mengembalikan keseimbangan badan serta tidak memberikan efek samping yang bahaya terhadap tubuh. Minyak esensial kenanga mengandung zat flavonoid yang berperan sebagai sebagai anti depresan, anti-inflamasi, analgesik dan anti-oksidan. Menghirup aromaterapi kenanga akan meningkatkan gelombang alfa di dalam otak dan gelombang inilah yang membantu kita untuk rileks, hal tersebut dapat menurunkan aktivitas vasokonstriksi pembuluh darah, aliran darah menjadi lancar sehingga menurunkan tekanan darah (Sharma, 2009). 2.5 Pengaruh deep breathing menggunakan aromaterapi kenanga terhadap tekanan darah Aromaterapi kenanga memilik zat neurokimia yang bersifat eurofonik, relaksan dan dapat meningkatkan gelombang alfa otak yang dapat menimbulkan efek relaksasi pada tubuh. Pada proses pernafasan terdapat proses inhalasi dan ekshalasi. Pada 38 saat proses inhalasi dan ekshalasi deep breathing molekul-molekul yang terdapat pada aromaterapi akan menempel di dinding – dinding hidung dan merangsang reseptor yang ditransmisikan ke bulbus ofalktorius dan traktur olfaktorius. Proses ini akan memicu memori dan emosional lewat hipotalamus selanjutnya disebarkan ke seluruh tubuh. Adanya zat neurokimia yang bersifat eurofonik akan mengakibatkan tubuh menjadi rileks, vasokontriksi pembuluh darah, dan tekanan darah menjadi turun (Djilani & Dicko, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Vikian & Keramat pada tahun 2013 dengan judul penelitian “ The Effect of the Breathing Technique With and Without Aromatherapy on the Length of the Active Phase and Second Stage of Labor”. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan teknik relaksasi napas dan aromaterapi lavender dapat mengurangi durasi pada fase aktif dan labor derajat dua. Hasil penelitian ini juga menunjukkan penurunan intensitas nyeri pada responden. Mekanisme penurunan nyeri sama dengan mekanisme penurunan tekanan darah, yaitu vasodilatasi pembuluh darah dan relaksasi pada tubuh. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tarwoto (2011) menyebutkan bahwa relaksasi dapat menurunkan nyeri dan mengontrol tekanan darah. Pengendalian pengaturan pernapasan secara sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan pernapasan yang spontan atau automatik dilakukan oleh medulla oblongata. Napas dalam lambat dapat menstimulasi respons saraf otonom melalui pengeluaran neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respons saraf simpatis dan peningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan ativitas tubuh atau 39 relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas metabolik. Stimulasi saraf parasimpatis dan penghambatan stimulasi saraf simpatis pada slow deep breathing juga berdampak pada vasodilatasi pembuluh darah otak. Pemberian deep breathing menggunakan aromaterapi secara teratur dapat membantu seseorang untuk mengurangi kecemasannya. Selain itu latihan teratur juga dapat membantu untuk mengurangi tingkat hipertensi (Brown, 2010).