bab ii tinjauan pustaka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lignin
Lignin merupakan senyawa amorf yang terdapat dalam lamela tengah
majemuk maupun dalam dinding sekunder sel kayu (Fengel dan Wegener 1995).
Achmadi (1990) menyatakan bahwa lignin adalah polimer yang terdiri dari unit
fenilpropana. Lebih dari 2/3 unit fenilpropana dalam lignin dihubungkan melalui
ikatan eter, sedangkan sisanya (1/3) melalui ikatan karbon. Polimer lignin tidak
linear, melainkan cenderung bercabang dan membentuk struktur tiga dimensi.
Konsentrasi lignin tinggi dalam lamela tengah dan rendah dalam dinding
sekunder.
Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), lignin adalah suatu polimer yang
kompleks dengan berat molekul tinggi, tersusun atas unit-unit fenilpropana.
Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Dalam dinding sel,
lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk memberikan
ketegaran pada sel dan juga berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi
sehubungan dengan perubahan kandungan air kayu.
Kandungan lignin berbeda dalam populasi tanaman dari jenis yang sama.
Pada jenis kayu yang berbeda, kandungan lignin dapat bervariasi diantara 15-36%
dari berat kering kayu (Campbell dan Sederoff 1996). Kayu daun jarum normal
mengandung 26-32% lignin. Kayu daun lebar normal mengandung 20-25% lignin,
meskipun kayu daun lebar tropika dapat mempunyai kandungan lignin lebih dari
30% (Sjostrom 1998).
Achmadi (1990) menyebutkan bahwa lignin dapat dibagi ke dalam
beberapa kelompok menurut unsur strukturalnya, yaitu lignin guaiasil, terdapat
pada kayu jarum (26-32%) dengan prazat koniferil alkohol; lignin guaiasilsiringil, merupakan ciri kayu daun lebar (20-28%, pada kayu tropis > 30%)
dengan prazat koniferil alkohol : sinapil alkohol nisbah 4:1 sampai 1:2.
Lignin dapat diisolasi dari kayu bebas ekstraktif sebagai sisa yang tidak
larut setelah pelarutan polisakarida dengan reaksi hidrolisis. Secara kuantitatif,
lignin dapat dihidrolisis dan diekstraksi dari kayu atau diubah menjadi turunan
yang larut (Sjostrom 1998). Menurut Fengel dan Wegener (1995), metoda isolasi
lignin pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu:
1. metoda yang menghasilkan lignin sebagai sisa
2. metoda yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi atau dengan pembentukan turunan yang larut.
Lignin mengandung gugus metoksil, gugus hidroksil fenol dan beberapa
gugus aldehida ujung dalam rantai samping, seperti prekursor-prekursor
polimernya. Gugus-gugus hidroksil fenol ini hanya sedikit dalam kondisi bebas,
kebanyakan terikat melalui ikatan-ikatan dengan unit-unit fenil propana yang
berdekatan. Gugus-gugus fungsi lignin tersebut sangat mempengaruhi reaktifitas
lignin (Sjostrom 1998).
2.2
Lignin Terlarut Asam
Dalam menentukan jumlah lignin dalam kayu, khususnya pada jenis
hardwood, dengan metode Klason dihasilkan lignin terlarut asam (Acid-Soluble
Lignin) beberapa persen (Matsushita et al. 2004). Metode Klason merupakan
prosedur penentuan lignin yang paling umum digunakan. Prosedur ini
memisahkan lignin sebagai material yang tidak larut dengan depolimerisasi
selulosa dan hemiselulosa dalam asam sulfat 72% diikuti dengan hidrolisis
polisakarida terlarut dalam pemanasan asam sulfat 3%. Lignin terlarut asam
merupakan bagian lignin yang terlarut dalam filtrat. Lignin memiliki gugus fungsi
yang mengandung oksigen pada posisi benzylic, yang sensitif terhadap media
asam dan memiliki kecenderungan berubah bentuk selama prosedur penentuan
lignin. Lignin terlarut asam mungkin disusun dari dua komponen yaitu hasil
degradasi lignin dan pembentukan material hidrofilik sekunder seperti senyawa
lignin-karbohidrat (Yasuda et al. 2001).
Prosedur umum untuk menentukan lignin terlarut asam adalah
menggunakan TAPPI UM-250. Inti dari metode ini adalah penentuan absorpsi
sinar UV pada larutan asam yang diencerkan dari prosedur lignin Klason.
Hidrolisasi dari tahap kedua pada prosedur lignin Klason dibaca pada standar
cuvette UV (1 cm panjang alur) pada panjang gelombang 200-205 nm. Ada dua
masalah dalam penggunaan metode ini, yaitu pertama koefisien yang digunakan
dapat bervariasi dengan tipe lignin dan harus ditentukan untuk setiap tipe lignin
yang dipelajari. Karena hal ini tidak mudah dilaksanakan, nilai yang terdapat
dalam literatur (110 L g-1 cm-1) dapat digunakan untuk memperkirakan nilai
lignin. Masalah yang kedua yaitu penentuan nilai absorpsi maksimum yang
digunakan (Hatfield dan Fukushima 2005).
Sekitar 1% lignin larut asam terdapat dalam softwood sedangkan yang
terdapat dalam hardwood sampai 4% (Fengel dan Wegener 1995). Proporsi lignin
terlarut asam dalam hardwood lebih besar dengan kandungan lignin Klason yang
lebih rendah dan kandungan metoksil yang lebih tinggi (Musha dan Goring 1974).
2.3.
Tipe Monomer Penyusun Lignin
Lignin softwood, hardwood dan rerumputan berbeda dalam hal kandungan
unit-unit guaiasil (G), siringil (S) dan p-hidroksifenil (H). Hal ini dapat dibuktikan
dengan metode oksidasi nitrobenzena yang menghasilkan jumlah yang berbeda
dari aldehida yang sesuai (vanilin, siringaldehida, p-hidroksibenzaldehida).
Metoda kimia lain yang digunakan untuk menentukan komposisi lignin adalah
asidolisis, oksidasi permanganat dan penentuan metoksil (Fengel dan Wegener
1995).
Kebanyakan lignin softwood adalah jenis lignin guaiasil dengan sejumlah
kecil unit siringil dan p-hidroksifenil propana. Tidak ada nisbah umum G:S:H
untuk jenis kayu daun jarum (softwood). Kandungan siringil guaiasil lignin jenis
hardwood berkisar antara 20-60% (Fengel dan Wegener 1995). Rasio siringil
guaiasil pada lignin hardwood yang diisolasi dapat bervariasi bergantung pada
proses ekstraksi. Sjostrom (1998) menyatakan bahwa lignin yang terdapat dalam
dinding sekunder serabut-serabut hardwood mempunyai kandungan unit-unit
siringil yang tinggi sedangkan lamela tengah memiliki kandungan unit-unit
guaiasil yang lebih besar. Pada softwood, lignin dalam dinding sekunder
mengandung metoksil yang lebih banyak dibandingkan lamela tengah, yaitu 1.7
kali per unit monomer penyusun lignin (Fukushima 2001).
2.4
Karakteristik Kayu Eukaliptus
Diantara jenis Eukaliptus terdapat variasi kandungan komponen kimia.
Kandungan komponen kimia pada kayu Eukaliptus secara umum yaitu 40-62%
selulosa, 12-22% hemiselulosa dan 15-22% lignin. Kandungan abu pada kayu
Eukaliptus berkisar 0.1%, meningkat sampai 0.6% sampai 1.9% (Turnbull dan
Pryor 1978). Kayu Eukaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah
atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus, korek api, bubur
kayu (pulp), kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi. Daun
dan cabang dari beberapa jenis Eukaliptus menghasilkan minyak yang merupakan
produk penting untuk farmasi, misalnya untuk obat gosok atau obat batuk,
parfum, sabun, ditergen, disinfektan dan pestisida. Beberapa jenis menghasilkan
gom (kino). Bunga beberapa jenis lainnya menghasilkan serbuk sari dan nektar
yang baik untuk madu (Sutisna dkk 1998 dalam Latifah 2004).
2.4.1 Eucalyptus urophylla S. T. Blake (Ampupu)
Eucalyptus urophylla sangat mirip dengan E. alba. Eucalyptus urophylla
termasuk pohon cepat tumbuh yang tingginya dapat mencapai 15 - 20 m dan
diameter 40 cm. Batangnya mudah dibentuk, kulitnya lembut, dan permukaannya
dilapisi zat serbuk. Daun muda petiolata, oval memanjang dan alternate. Pada
pohon dewasa, daun lebih lanset. Walaupun jenis ini toleran terhadap tanah yang
miskin hara, jenis ini harus ditanam pada tanah yang mempunyai tekstur kasar.
Pohon ini tumbuh baik pada tanah yang tetap basah selama musim kering (Lama
1986 dalam Nieto dan Rodriguez 2003).
Pohon ini mempunyai kayu yang keras dan tidak mudah retak. Kayu ini
biasanya digunakan terutama untuk pulp dan papan. Kayunya juga digunakan
untuk tiang-tiang transmisi elektrik, pembuatan cabinet dan paralatan kayu, dan
untuk kayu lapis.
2.4.2 Eucalyptus camaldulensis Dehnh
Eucalyptus camaldulensis Dehnh atau sering disebut juga River red gum,
Murray red gum, red gum tingginya dapat mencapai 20 m dan terkadang 50 m,
kulit batang halus, berwarna putih, abu, hijau kekuningan, hijau keabuan. Daun
tunggal berselingan, menjuntai, bertangkai, berbentuk lanset, memiliki panjang 8 30 cm dan lebar 0.7 - 2.0 cm, ujung daun meruncing, tangkai daun bundar,
panjang tangkai daun 12 - 15 mm. Perbungaan aksiler, berbentuk payung, terdiri
dari 7 - 11 bunga, tangkai bunga ramping, bundar atau bersegi empat, panjang
tangkai bunga 6 - 15 mm, panjang tangkai anak bunga 5 - 12 mm, buah kering
berbentuk kapsul yang berdinding tipis. Biji sangat kecil, sekitar 15 biji per buah
(Doran 2008).
2.3.4 Eucalyptus grandis Hill ex Maiden
Eucalyptus grandis adalah nama lain dari Eucalyptus saligna var.
pallidivalvis Baker et Smith. Di dunia perdagangan sering disebut Flooded gum,
rose gum. Tanaman Eukaliptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar,
tingginya 60 - 87 m. Batang utamanya berbentuk lurus, dengan diameter hingga
200 cm. Permukaan kulit licin, berserat dewasa umumnya berseling kadangkadang berhadapan, tunggal, tulang tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip
atau sejajar, berbau harum bila diremas. Perbungaan berbentuk payung yang rapat
kadang-kadang berupa malai rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering
dan berdinding tipis. Biji berwarna coklat atau hitam. Marga Eukaliptus termasuk
kelompok yang berbuah kapsul dalam suku Myrtaceae dan dibagi menjadi 7 - 10
anak marga, setiap anak dibagi lagi menjadi beberapa seksi dan seri (Sutisna dkk
1998 dalam Latifah 2004).
2.3.5 Eucalyptus deglupta Blume (Leda)
Eucalyptus deglupta biasa dikenal sebagai Eukaliptus Pelangi atau
Mindanao Gum atau Rainbow Gum. Hanya Eukaliptus jenis ini yang ditemukan
secara alami di Northern Hemisphere. Penyebaran alaminya menjangkau New
Britain, New Guinea, Ceram, Sulawesi dan Mindanao. Sekarang pohon ini
ditanam hampir di seluruh dunia, terutama untuk pulp dalam pembuatan kertas
(Anonim 2009).
2.3.6 Eucalyptus nitens H.Deane & Maiden
Eucalyptus nitens yang dikenal sebagai Shining Gum, adalah jenis asli di
Victoria dan sebelah barat New South Wales, Australia. Jenis ini tumbuh di
pinggiran hutan basah dan hutan hujan. Pohon ini bisa tumbuh tinggi mencapai 60
m, di Victoria mencapai 90 m. Daun yang muda oposite, oval sampai elips,
berwarna hijau atau abu-abu, sedangkan daun dewasa hampir lanset atau lanset,
panjang 15 - 25 cm, lebar 1.5 - 2.5 cm, berwarna hijau, berkilau (Anonim 2009).
Download