BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Kemenkes RI (2016) terdapat 34,2% balita di Indonesia memiliki asupan protein rendah pada tahun 2014. Rendahnya asupan protein ini berdampak pada gangguan pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, penumpukan cairan di dalam jaringan (edema), kekebalan tubuh menurun, gangguan absorbsi dan transportasi zat gizi (Almatsier, 2004). Masalah ini perlu segera diatasi dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh negara Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan konsumsi ikan sebagai sumber protein. Hal ini didukung oleh produksi ikan di Indonesia yang cukup tinggi pada tahun 2015, mencapai lebih dari 14,79 juta ton (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016), selain itu harga ikan lebih murah dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Salah satu ikan yang banyak ditemukan di Indonesia adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis C.), dimana produksinya pada tahun 2010 mencapai 117.941 ton dan termasuk peringkat ke sepuluh, lebih tinggi dari produksi perikanan tangkap ikan kakap merah, ikan tenggiri, ikan madidihang, ikan pepetek dan ikan kakap putih (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2011). Tingginya produksi ikan di Indonesia, tidak diikuti dengan tingkat konsumsinya. Rata-rata konsumsi ikan pada tahun 2015 masih tergolong rendah yaitu sebesar 41,11 kilogram per kapita per tahun, lebih rendah bila 1 dibandingkan dengan Malaysia dan Jepang, masing-masing sebanyak 70 kilogram per kapita per tahun dan 140 kilogram per kapita per tahun. Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah dengan tingkat konsumsi ikan paling rendah di Indonesia, diantaranya daerah Wonigiri, Sragen, Solo, Boyolali, Temanggung, Banjarnegara, dan Kebumen dengan tingkat konsumsi ikan kurang dari 20 kilogram per kapita per tahun (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016). Pengolahan tepung ikan merupakan salah satu bentuk penganekaragaman hasil olahan perikanan dan termasuk produk olahan setengah jadi yang dapat ditambahkan pada pembuatan suatu produk (Mervina dkk., 2012). Pemanfaatan tepung ikan ini dapat mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan konsumsi ikan pada masyarakat dengan membiasakan rasa ikan sejak usia dini. Tepung memiliki beberapa keunggulan antara lain, mempunyai masa simpan lebih lama, lebih praktis dalam proses distribusi dan lebih fleksibel pemanfaatannya untuk diolah menjadi berbagai produk pangan yang digemari masyarakat (Rauf dan Sarbini, 2015), seperti biskuit. Terdapat empat faktor yang menentukan kualitas biskuit, yaitu penampakan, flavor, tekstur dan nutrisi produk tersebut (Phadungath, 2007). Penambahan tepung ikan tongkol dalam pembuatan biskuit dapat meningkatkan nilai gizi, yaitu protein. Menurut Direktorat Hasil Ikan Olahan (2007) ikan tongkol mengandung protein yang tinggi sebesar 26 gram per 100 gram lebih tinggi dibandingkan ikan bandeng (20 gram), ikan lele (17,7 gram), ikan mas (16 gram), ikan gabus (20 gram), dan ikan kembung (22 gram). Sedangkan tepung ikan tongkol mengandung kadar protein 41,47 2 gram lebih tinggi dibandingkan dengan ikan tongkol, yaitu sebesar 67,47 gram per 100 gram (Ilza, 2013). Menurut Kemenkes RI (2011) biskuit yang memiliki kadar protein tinggi dapat dijadikan sebagai produk makanan tambahan untuk anak balita. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita merupakan salah satu upaya perbaikan pola konsumsi pada usia balita untuk mencegah kejadian Kekurangan Energi dan Protein di Indonesia (KEP). Biskuit yang disubstitusi tepung ikan tongkol berpotensi menjadi produk PMT. Karakteristik fisik seperti kekerasan (hardness) perlu dipelajari karena dapat mempengaruhi bentuk fisik, tekstur, penampakan dan kerenyahan secara organoleptik pada biskuit (Wenzhao dkk., 2013). Kekerasan biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Sedangkan komponen yang sangat berperan terhadap kekerasan biskuit adalah kandungan protein pembentuk gluten, lemak dan gula. Kadar protein pada tepung berpengaruh pada kekerasan biskuit, semakin tinggi kadar protein semakin keras tekstur biskuit karena sifat hidrofilik pada tepung dapat menyerap air yang mengakibatkan tingkat kekerasan biskuit tinggi (Dahrul dkk., 2008). Kualitas biskuit, selain dinilai dari nilai gizi dan sifat fisik juga bisa dinilai dengan penilaian organoleptik. Salah satu penilaian organoleptik adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Uji kesukaan biasanya dilakukan oleh panelis untuk menilai suka atau tidaknya produk yang dihasilkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh substitusi tepung ikan tongkol terhadap kadar protein, kekerasan dan daya terima pada biskuit. 3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah : “Apakah ada pengaruh substitusi tepung ikan tongkol terhadap kadar protein, kekerasan dan daya terima biskuit ?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh substitusi tepung ikan tongkol terhadap kadar protein, kekerasan dan daya terima biskuit. 2. Tujuan Khusus a. Mengukur kadar protein pada biskuit yang disubstitusi tepung ikan tongkol. b. Mengukur kekerasan pada biskuit yang disubstitusi tepung ikan tongkol. c. Mengukur daya terima pada biskuit yang disubstitusi tepung ikan tongkol. d. Menganalisis pengaruh substitusi tepung ikan tongkol terhadap kadar protein biskuit. e. Menganalisis pengaruh substitusi tepung ikan tongkol terhadap kekerasan biskuit. f. Menganalisis pengaruh substitusi penggunaan tepung ikan tongkol terhadap daya terima biskuit. g. Menginternalisasi nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan makanan. 4 D. Manfaat penelitian 1. Bagi Peneliti Untuk menambah wawasan pengetahuan dalam penelitian mengenai pengaruh substitusi tepung ikan tongkol terhadap kadar protein, kekerasan dan daya terima pada biskuit. 2. Bagi Masyarakat Menambah penganekaragaman pangan dan meningkatkan konsumsi sumber protein hewani. 3. Bagi Peneliti Lanjutan Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau referensi apabila mengadakan penelitian sejenis. 5