konsentrasi hukum kelembagaan negara program studi ilmu hukum

advertisement
PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH
NIM: 1111048000012
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH
NIM: 1111048000012
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
i
PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
Muhamad Iqbal Hidayatullah
NIM: 1111048000012
Pembimbing
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
NIP. 197412132003121002
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH
MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG
DIDUGA MELAKUKAN TIDAK PIDANA telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelah Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 September 2015
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A
NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H
NIP. 196911211994031001
(...........................)
2. Sekretaris
: Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
NIP. 196509081995031001
(...........................)
3. Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
NIP. 197412132003121002
(...........................)
4. Penguji I
: Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H.
NIP. 1954030319761110
(...........................)
5. Penguji II
: Ismail Hasani, S.H., M.H.
NIP. 1977121720071011002
(...........................)
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 September 2015
Muhamad Iqbal Hidayatullah
iv
ABSTRAK
Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM 1111048000012. PROBLEMATIKA
PEMBERIAN
IZIN
PENYIDIKAN
OLEH
MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG
DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA. Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 82 halaman.
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, DPR menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat
persetujuan tertulis dari Makhakah Kehormatan Dewan. Ayat (2) dalam hal
persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan
oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat
dilakukan. Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui posisi hukum
pemberian persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan hukum dan
independensi peradilan serta sinkronisasi dan harmonisasi pasal 245
Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif
dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan sejarah (history approach). Pendekatan
perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Sedangkan Pendekatan sejarah
adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah latar belakang
serta perdebatan dibentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, DPRD.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pasal 245 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD mengenai
pemberian persetujuan tertulis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak sesuai
dengan asas persamaan didepan hukum dan independensi peradilan, serta
adanya disharmonisasi norma hukum antara Pasal 245 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Pasal 24
ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 14 Undang-Undang
No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
Kata Kunci
: Izin Penyidikan, Anggota DPR, Mahkamah Kehormatan
Dewan.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha
Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
membantu penulis secara baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.,
Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3.
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan
saran untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H., sebagai dosen penasihat akademik
yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada penulis.
5.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu
pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.
6.
Ucapan
terimakasih yang tak terhingga atas cinta dan doa kedua orang tuaku
tercinta Ayahanda Achmad Mulyono dan Ibunda Masyitoh, yang telah memberikan
segala dukungan baik materil maupun immateril sehingga penulis dapat
menyelesaikan masa studi S1.
7.
Adinda Tercinta, Diah Rahmatun Nazilah, Muhamad Habiburrahman dan Adib Fahri
Syaeban yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan
studi S1.
8.
Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011
khususnya, Angga Ariyana, Ilyas Aghnini, Andrio Muhadjir, Rifki Alpiandi, Juli
vi
Andreansyah, Lisanul Fikri, Waldan Mufathir, Muhammad Hambali, dan temanteman lainnya, terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan
selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9.
Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta Raya (Hima-Cita), khususnya Muhammad
As’ad, Nurkholis Mazied, Fauzi Nurkholis, Aminullah Asy’ari, Mala Himmatul
Aulia, serta ang dan yayu lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan
yang diberikan selama ini.
10. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), khususnya Ahmad Royani,
Robi Cahyadi, Jordan Muhammad, Vickih Yahya Maulana, Dinata Firmansyah,
Kang Zaki, Kang Lutfi Ghozali, Kang Sofi Mubarok serta sugawan dan sugawati
lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada
penulis selama ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah
dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin.
Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesarbesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan
bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 23 September 2015
Penulis
Muhamad Iqbal Hidayatullah
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
PESETUJUAN PEMBIMBING .................................................................
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
ABSTRAK ....................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
B. Batasan dan Rumusan Masalah .........................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................................
D. Metode Penelitian ...........................................................................
E. Sistematika Penulisan ......................................................................
1
7
8
10
13
BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN
2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD
A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun
2014....................................................................................................
B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang No 42 Tahun
2014.....................................................................................................
15
30
BAB III KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR
A. Mahkamah Kehormatan Dewan.........................................................
B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan
Tindak Pidana ....................................................................................
BAB
41
47
IV PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR DALAM
KONTEKS NEGARA HUKUM
A. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana Ditinjau Dari Asas Persamaan Di Depan Hukum ....................
B. Kdudukan Hukum Anggota DPR Yang Melakukan Tindak Pidana
Ditinjau Dari Asas Independensi Peradilan .........................................
C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42
Tahun 2014 Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya ...........
viii
59
67
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................................
B. Saran .....................................................................................................
80
81
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
83
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak Indonesia merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu,
Indonesia telah mengalami beberapa peristiwa penting terkait bidang
kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan,
hingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini. Hal ini
merupakan bentuk dari dinamisasi masyarakat dan dinamisasi hukum di
Indonesia.
Salah satu hal yang menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali
ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan
tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tahun 1998.
Selama melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie
selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang
lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh petinggi negeri ini pada waktu
itu. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa
penyaklaran UUD 1945 tidak relevan dalam kehidupan bernegara. Selama
empat tahun hingga 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya
disebut MPR) yang saat itu diketuai oleh Amien Rais dari Fraksi PAN
melakukan empat kali perubahan yang amat mendasar terhadap UUD 1945.
1
2
Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan
ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia, khususnya
Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).1 Di bidang legislasi,
misalnya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-Undang.
Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa
DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang. Dengan
demikian kedudukan DPR sangat penting dalam susunan ketatanegaraan
Indonesia. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan
negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan
kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan
serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan atau
ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah
negara demokrasi atau negara hukum.2
Pelbagai perubahan ke hal yang lebih baik antara lain DPR sudah mulai
menjadi penyeimbang bagi pemerintah, dalam arti berfungsinya wewenang
pengawasan yang diembanya dan bukan hanya sebagai “lembaga stempel”
seperti di era sebelumnya. Bahwa tugas pelaksanaan pengawasan DPR adalah
terhadap, pelaksanaan Undang-Undang, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, serta kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945,
terlebih penting sebagai legislator atau pembuat undang-undang.
1
Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Angggota Dewan,
(Jakarta: Forum Sahabat 2009), h. 21.
2
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta:Kencana 2010), h. 1.
3
Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya DPR
sebagai penentu dalam bentuk memberi persetujuan terhadap agenda
kenegaraan yang meliputi: Menyatakan perang, membuat
perdamaian,
perjanjian negara lain seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUD
1945, Membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara, Pasal 11 ayat 2 UUD 1945, Pengangkatan Hakim Agung,
Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 serta pengangkatan dan pemberhentian anggota
Komisi Yudisial yang tercantum dalam Pasal 24B ayat 3 UUD 1945.
Perubahan lain pasca amandemen UUD 1945 ialah mengenai hak
anggota DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.3 Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur
berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri
dari anggota partai politik pemenang pemilu, dan anggota ABRI yang
diangkat dengan keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangannya
pada tahun 2003 Undang-Undang No 4 tahun 1999 tentang MPR, DPR,
DPRD diganti dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD karena dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat
dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No
22 Tahun 2003 susunan keanggotan berubah, dalam Pasal 16 menyatakan
3
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006),
h. 105-106.
4
bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara dalam Pasal 24 mengatakan
bahwa Kedudukan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003
kemudian diganti dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga
perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, UU No 27 Tahun 2009 kemudian
diganti dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian UU No 17 Tahun 2014 diganti
dengan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
Sisi yang lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan
legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya
peranan rakyat.4 Reformasi kelembagaan pada dasarnya merupakan harapan
rakyat guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi
dalam pelbagai kebijakan negara.5 Padahal UUD 1945 pasca amandemen ke-1
telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada DPR agar menjadi
jembatan aspirasi dan kepentingan rakyat yang kokoh. Melalui fungsi
strategisnya yakni legislasi, anggaran dan pengawasan yang merupakan
bingkai dari peran representasi rakyat.
4
Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung:PT Alumni 2007),
h. ix.
5
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan setelah
perubahan UUD NRI 1945, (Jakarta, FORMAPPI, 2005), h. 9.
5
Oleh karena itu untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya tersebut
secara optimal, menurut Benny K Harman anggota DPR dari Fraksi Partai
Demokrat memandang merasa perlu membentuk alat kelengkapan di DPR
yang lebih kredibel yang bisa menjaga kehormatan dan martabat anggota
dewan. Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan
(selanjutnya disebut MKD) sebagai pengganti Badan Kehormatan. Peran
MKD ke depan diperkuat untuk menjaga integritas lembaga dan anggota DPR
dalam melaksanakan fungsi, wewenang dan tugas DPR.6
Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang
terhormat, oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah
membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota
DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk
penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap
parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk
pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti
itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.7
Pada sisi yang lain, menurut penulis kehadiran kewenangan MKD yang
tertuang dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa
6
diakses
Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel
pada
18
Mei
2015
dari
http://www.pikiran-
rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamahkehormatan-dpr
7
Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada 10
November 2014 dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dprbentuk-mahkamah-kehormatan-dewan
6
pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR untuk penyidikan harus
mendapatkan izin tertulis dari MKD tersebut dianggap dapat menghambat
proses penegakan hukum dan membuat anggota dewan sulit tersentuh. Selain
itu MKD sarat dengan konflik kepentingan. Dengan lahirnya MKD dianggap
akan memperlambat proses peradilan karena adanya prosedur birokrasi
perijinan, serta menambah biaya penegakan hukum yang secara otomatis
terjadi karena rangkaian prosedur yang lebih lama serta tidak sesuai dengan
asas cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, serta
bagaimana kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana yang dimaksud dalam Pasal 245 tersebut jika ditinjau dari asas
persamaan di depan hukum?
Dalam konteks kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen
merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana
institusi-institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi
indikator demokrasi.8 Inti dari semua ini adalah pelembagaan nilai-nilai
demokrasi dalam keseluruhan prosedur dan mekanisme kerja parlemen.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengorganisasian, tata
tertib lembaga-lembaga perwakilan, dan regulasi-regulasi terkait dengan
kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai institusi perwakilan rakyat
yang kredibel, akuntabel, transparan, efektif, dan profesional. Oleh karena itu
penulis tertarik mengambil judul penelitan mengenai “PROBLEMATIKA
PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN
8
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat… h. 9
7
TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK
PIDANA.”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan studi pendahuluan maka pembatasan masalah terfokus
pada Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 mengenai kewenangan
Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana dan kedudukan hukum dari anggota DPR
tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pembatasan
masalah
yang
ada,
maka
penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana Posisi Hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi
peradilan?
b. Bagaimana Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang
No 42 Tahun 2014 tentang MD3 dengan Peraturan PerundangUndangan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas, penelitian
ini bertujuan sebagai berikut;
8
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan
penelitian adalah sebagai berikut ;
a. Untuk mengetahui Posisi
Hukum anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum
dan independensi peradilan.
b. Untuk mengetahui Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 UndangUndang No 42 Tahun 2014 dengan Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan penulis baik
dibidang hukum pada umumnya, maupun di bidang Hukum Tata
Negara Khususnya.
2) Untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara
teoritis,
khususnya
bagi
Hukum
Tata
Negara
mengenai
Kewenangan Mahakamah Kehormatan Dewan dalam memberikan
izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana serta bagaimana kedudukan atau posisi hukum
anggota DPR ditinjau dari asas persamaan didepan hukum.
9
3) Sebagai pedoman awal bagi penelitian yang ingin medalami
masalah ini.
b. Manfaat Praktis
1) Penulis
berharap
agar
memberikan
sumbangan
pemikiran
mengenai aspek Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan
Mahkamah
Kehormatan
Dewan
dalam
memberikan
izin
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana.
2) Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan
oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun
setiap pihak yang bekerja seharian di bidang hukum, khususnya
Hukum Tata Negara.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis
normatif, 9 yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang
ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, makalah-makalah dan
hasil
penelitian
Kehormatan
yang
Dewan
berkaitan
dalam
dengan
memberikan
kewenangan
izin
Mahkamah
pemanggilan
dan
pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakata:PT. Raja Grafindo ,1994 ), h. 37.
10
serta kedudukan hukum anggota DPR tersebut jika ditinjau dari asas
persamaan di depan hukum.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif,
maka penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan
yaitu,
pendekatan
Pendekatan
Perundang-undangan
Sejarah,
digunakan
untuk
dan
Pendekatan
mengungkap
Sejarah.
filosofis,
kontekstualitas masa lahirnya Undang-Undang No 42 Tahun 2014.
Pendekatan Perundang-undangan (Statute-Approach) adalah pendekatan
dengan mengkaji lebih lanjut untuk menjawab rumusan masalah, dalam
hal Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan memberikan izin
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk menela’ah dan
menganalisa
bentuk
pelaksanaan
Mahkamah
Kehormatan
Dewan
Memberikan Izin Penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana serta bagaimana kedudukan hukum dari anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal
245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014.
3. Sumber Data
Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis,
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
11
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang mencangkup
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai hukum10 yang mengikat.
Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3.
3) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3.
4) Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik.
b. Sumber Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Lembaga
Perwakilan Rakyat dan buku-buku hukum, Skripsi Hukum Tata
Negara, Tesis Hukum Tata Negara ataupun materi-materi mengenai
hukum yang berkaitan tentang Dewan Perwakilan Rakyat umumnya
dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Khususnya.
c. Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3 (Jakarta, UI Press,
1986), h. 52.
12
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap hukum
primer dan sekunder, seperti kamus hukum, Ensiklopedia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia dan lain-lain.11
4. Prosedur Pengumpulan Data
Bahan hukum primer maupun sekunder serta tersier dikumpulkan
berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan dijelaskan
secara rinci berdasarkan sumber, sejarah, hirarki untuk dikaji secara
komprehensif.
5. Pengelolahan dan Analisa
Pengolahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
UUD 1945, Peraturan Perundang-undangan, dan bahan materi lainnya
penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Bahwa cara pengelolaan bahan hukum dilakukan secara
mendalam tentang Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam
memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana.
Selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan
yang digunakan. Analisa sejarah berlakunya aturan tersebut melalui
pelaksaan Undang-Undang 42 Tahun 2014. Lalu analisa yuridis
perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah
Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan.
11
Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 2012), h. 32.
13
E. Sitematika Penelitian
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing
masing bab terdiri atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata
letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
BAB I
: Pada bab ini berisi tentang pendahuluan mengenai latar belakang,
pembatatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sitematika penulisan.
BAB II
: Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang terbentuknya
Undang-Undang No 17 Tahun 2014, dan perdebatan dalam
pembentukan Undang-Undang tersebut.
BAB III
:Menguraikan tentang Mahkamah Kehormatan Dewan dan
mekanisme pemberian izin penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana serta Kedudukan hukum Anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
BAB IV
:Menganalisa kedudukan hukum anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan
hukum dan independensi peradilan serta menganalisa bagaimana
Harmonisasi dan Sinkronisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42
Tahun 2014 mengenai
kewenangan Mahkamah Kehormatan
Dewan dalam memberikan izin penyidikan anggota DPR dengan
peraturan perundang-undangan lain.
14
BAB V
: Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk
itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta
memberikan saran dan kritik yang perlu pada permasalahan
penelitian.
BAB II
SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 14
TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD
A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014
Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.12 Hal ini tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945 Aline ke IV yang berbunyi sebagai berikut:
“…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan
umum tersebut maka pembentukan berbagai peraturan di Negara Indonesia
menjadi sangat penting, oleh karena campur tangan negara dalam mengurusi
kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya,
12
Penjelasan mengenai negara hukum serta perbedaan rechtstaat dan rule of law akan
dijelaskan kemudian.
15
16
lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan
dengan proses legislasi.13
Ide negara berdasarkan hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan
oleh oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, karya awalnya Politea
(the Republic) berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal
untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.14 Gasasan yang
dikemukakan Plato tersebut berasal dari bentuk keprihatinannya yang melihat
kondisi kota Athena pada waktu itu. Pada zaman itu Raja yang berkuasa di
kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Dalam
gagasan negara ideal Plato, penguasa yang memerintah seharusnya memiliki
moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam
pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan. Dalam
karya Plato yang lain
Politicos, Plato sudah memberikan perhatian yang cukup penting terhadap
hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara. Namun, fungsi dan
kedudukan hukum dalam gagasan Plato belum sama seperti dalam ide negara
hukum di zaman modern.15 Kedudukan dan fungsi hukum sangat penting baru
tampak dalam karya Plato yang berikutnya, Nomoi. Plato dalam karyanya itu,
ia sudah memberikan perhatian dan arti penting terhadap hukum, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus diatur
13
Maria Farida Indrayanti, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
h. 1.
14
Jimliy Ashhiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika 2012), h. 129.
15
Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas umum
Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 14.
17
oleh hukum. Cita Plato dalam Nomoi kemudian ditegaskan oleh muridnya
Aristoteles dalam karyanya Politica, menurut Aristoteles, suatu negara yang
baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda
negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang
selayaknya.16
Aristoteles adalah filsuf terakhir yang membicarakan ide negara hukum
sehingga ia dianggap sebagai penutup diskursus mengenai ide negara hukum
klasik. Setelah zaman Aristoteles, ide negara hukum tidak lagi pernah
diperbincangkan serta tidak mendapat perhatian dari filsuf selama beberapa
abab setelahnya. Barulah pada abad ke-17 dan 18, ide negara hukum kembali
diperbincangkan di Eropa Barat.17
Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan
dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechtstaat antara lain oleh
Immanuel Kant, Paul Labant, Julius Stahl. Adapun dalam tradisi Anglo Saxon
konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang
dipelopori oleh A. V Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait
dengan istilah Nomokrasi yang berarti penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang
disebut dengan istilah rechtstaat mencakup empat elemen penting yaitu,
pembagian kekuasaan,
perlindungan
hak
16
asasi
manusia, pemerintah
Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang UnsurUnsurnya, (Jakarta:UI Press, 1995), h. 20.
17
Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum …h. 19.
18
berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara. Adapun A.V Dicey
menyebutkan tiga ciri penting rule of law yaitu, supremasi hukum, persamaan
di depan hukum, dan asas legalitas.18
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Perkembangan negara hukum modern
melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum. Prinsipprinsip terebut sebagai berikut:19
1.
Supremasi Hukum.
2.
Persamaan Di Depan Hukum.
3.
Pembatasan Kekuasaan.
4.
Organ-Organ Penunjang yang Independen.
5.
Peradilan Tata Usaha Negara
6.
Perlindungan Hak Asasi Manusia
7.
Peradilan yang merdeka.
8.
Bersifat Demokratis
Delapan Ciri negara hukum modern yang penulis kemukakan di atas,
terdapat salah satu prinsip penting
sebagai salah satu ciri pokok negara
hukum yaitu pembatasan kekuasaan.20 Dalam konsep ini kekuasaan dibagi
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004), h. 122.
19
Jimliy Ashhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Amandemen Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006) h. 131.
20
Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan
kekuasaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
19
berdasarkan fungsinya. Pembagian tersebut menunjukan perbedaan antara
fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konsep klasik yang diterapkan
dibanyak negara ini dikenal sebagai trias politica, atau pemisahan kekuasaan.
Konsep mengenai trias politica bermula dalam tulisan John Locke,
Second Treaties of Civil Government yang berpendapat bahwa kekuasaan
untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka
yang menerapkannya. John Locke mambagi kekusaan negara dalam tiga
fungsi yaitu, legislatif, eksekutif dan federatif. Oleh sarjana hukum Prancis,
Baron de Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois yang merupakan
karya utama Montesqueiu, karya tersebut merupakan salah satu karya yang
paling tajam dan paling berpengaruh di antara karya-karya zaman
pencerahan.21
Karya tersebut ditulis berdasarkan penelitiannya terhadap
sistem konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan
mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga
cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pandangan
Montesquieu inilah kemudian dijadikan rujukan doktrin saparation of power.
22
Amandemen (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006),
h. 34., sedangkan literatur lain menyebutkan dengan istilah pembagian kekuasaan, lihat, Moh
Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), h. 181.
21
Franz Magnis-Seseno, Demokrasi: Klasik dan Modern, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 80.
22
h.283.
Jimliy Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2009),
20
Bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana ini tampaknya
mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John
Locke mengutamakan fungsi federatif. John Locke lebih melihatnya dari
hubungan dengan negara lain sebab kekuasaan yudikatif sudah termasuk
dalam kekuasaan federatif. Sementara Montesquieu mengutamakan fungsi
yudikatif, Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan
itu dari hak asasi manusia setiap warga negara. Sebaliknya Montesquieu
mengatakan bahwa fungsi hubungan luar negeri merupakan bagian dari fungsi
eksekutif sementara kekuasaan yudikatif itu harus terpisah dari kekuasaan lain
agar dapat berdiri sendiri tanpa memihak pihak manapun.23 Sebab, gagasan
tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara
demokrasi dan negara hukum.24
Pembahasan yang berkembang selanjutnya cenderung berkaitan dengan
penerapan
konsep
pemisahan
kekuasaan
yang
dikembangkan
oleh
Montesquieu, dalam penyelenggraaan negara. Sir Ivor Jennings melalui teori
dalam bukunya The Law and the Constitution menyanggah konsep pemisahan
kekuasaan dalam trias politica dengan mendasarkan pada kenyataan di Inggris
bahwa lembaga eksekutif turut serta dalam proses pembuatan undangundang.25 Jennings berpendapat, pelaksanaan trias politica secara konsekuen
23
Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis… h. 94.
24
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Press, 2012), h. 88.
25
Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet
ke-6 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985),
h. 143.
21
seperti
diungkapkan
penyelenggaraan
Montesquieu
negara.
amat
Kenyataan
sulit
menunjukkan
diwujudkan
bahwa
dalam
pemisahan
kekuasaan dilakukan hanya secara formil, artinya tidak dipertahankan secara
tegas dalam konsep ini. Sehingga menurut Jenings konsep tersebut lebih tepat
dinamakan pembagian kekuasaan (distribution of power).26 Jennings
menggambarkan, apabila pembuatan undang-undang dalam suatu negara
dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif maka konstitusi negara
tersebut menganut asas pembagian kekuasaan.27
Sementara itu Artur Mass justru menggunakan istilah division of power
untuk menyebut pembagian kekuasaan. Mass kemudian membagi lagi
terminologi tersebut menjadi dua, yaitu: (1) capital divission of power untuk
menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung
pengertian pembagian kekuasaan yang bersifat horizontal; dan (2) territorial
divisson of power yang bermakna pembagian kekuasaan secara vertikal serta
menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat kewilayahan atau kedaerahan.28
Karena itu, doktrin pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin
yang terbatas, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang
kekuasaan.
Kekuasaan
legislatif
bertugas
membuat
26
undang-undang,
Jennings mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (saparation of power) dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: (1) materiil, yaitu pemisahan kekuasaan yang
dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik
memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian legislatif, eksekutif dan
yudikatif; (2) formil, yaitu apabila pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas
sehingga lebih tepat disebut pembagian kekuasaan, ibid.
27
Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum.. h. 143.
28
Ibid.
22
Kekuasaan eksekutif menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif
menafsirkan atau mengadili pelanggar undang-undang.
Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias
politica
dirasakan
tidak lagi
relevan
mengingat
tidak
mungkinnya
mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya
masing-masing secara terpisah. Kenyataannya menunjukan bahwa hubungan
antar cabang itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga
organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai
dengan prinsip check and balances.29
Perjalanan lahirnya peraturan perangkat kelembagaan politik dalam
konteks demokratisasi, dalam rangka usaha menciptakan check and balances.
Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar
kelembagaan negara. Misalnya, untuk legislasi, check and balances
mempunyai
lima
fungsi.30
Pertama,
sebagai
fungsi
penyelenggara
pemerintahan, dimana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga
terkadang tampak tumpang tindih. Namun disinilah fungsi check and balances
agar tidak ada satu lembaga negara yang dominan tanpa kontrol dari lembaga
lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam
lembaga legislatif
sendiri, dimana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti Presidensial
di Indonesia, diharapkan terjadi kontrol secara internal. Ketiga, fungsi
29
30
Jimliy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga … h. v.
Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat,
(Jakarta: MIPI, 2012), h. 248.
23
hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi
akuntabiltas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran
pemilih untuk menyuarakan aspirasinya. Pada dasarnya prinsip check and
balances ini untuk membatasi kesewenang-wenangan dalam konsep
pembagian kekuasaan. Dengan adanya prinsip check and balances ini maka
kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaikbaiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dengan sebaikbaiknya.31
Hal yang terpenting dalam ide negara hukum bahwa setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal ini berhubungan dengan adagium
yang dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja, hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Oleh
sebab itu pembentukan hukum sangat penting. Pembentukan hukum secara
bersamaan merupakan penerapan hukum.32 Eugen Ehrlich menganjurkan agar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara
keinginan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran
untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. 33 Hukum itu
tidak boleh statis, tetapi harus dinamis, harus selalu diadakan perubahan
sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan bermasyarakat
31
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2002), h.
115.
32
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory
of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), h. 192.
33
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 19.
24
dan bernegara. Apabila hukum hendak diganti dengan hukum yang baru maka
diperlukan beberapa syarat agar hukum baru dapat berlaku secara efektif,
syarat tersebut antar lain, hukum yang dibuat itu harus bersifat tetap, tidak
bersifat ad hoc. Kemudian hukum yang baru tidak saling bertentangan satu
sama lain, dan hukum yang baru itu harus tertulis dan dibuat oleh instansi
yang berwenang.34
Jika didengar secara sekilas penyataan “hukum sebagai produk politik,”
dalam pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut
memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh
politik. Apalagi dalam tatanan ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang
menganut supremasi hukum, politik harus diposisikan sebagai variable yang
terpengaruh oleh hukum. Mana yang benar dari kedua pernyataan tersebut?35
Secara metedologi ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari
pernyataan tersebut, semuanya benar tergantung pada asumsi yang
dipergunakan. Asumsi bahwa setiap produk hukum merupakan produk
keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari
pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun
dari sudut pandang das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada
ketentuan hukum, namun secara das sein bahwa hukum yang dalam
kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatar belakanginya.36
34
Ibid. h. 4.
35
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 4.
36
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum… h.64.
25
Dasar keberadaan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 MPR, DPR,
DPD, DPRD, bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang di
dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan
perwakilan.
Untuk
melaksanakan prinsip dari kedaulatan rakyat tersebut, perlu diwujudkan
lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga
perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi
serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena itu salah
satu hal penting dari amandemen UUD 1945 adalah penataan kembali sistem
perwakilan.37
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik
bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang No 22 Tahun 2003
Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, yang
dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR, DPR,
DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang No 22 Tahun 2003
diubah dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR,
DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada undang-undang
sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak
membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan
kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang sifatnya lebih luas. Hal
37
Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2009), h. 62.
26
ini dilakukan dalam upaya pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD,
DPRD.
Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap
saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai kalangan.
Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan
dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa undang-undang
terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya berdasarkan
kepentingan kelompok dan kompromi politik.38 Keberagaman kepentingan
yang mengikuti anggota DPR akan makin bertambah rumit dengan satu
kenyataan lain berupa kepentingan pribadi dari anggota DPR. Tidak dinafikan
sama sekali, seorang anggota DPR memburu kepentingan-kepentingan diri
dari peran dan status politik yang tengah disandangnya itu. 39 Kesan atau
penilaian lainnya adalah DPR periode 2009-2014 kurang maksimal dalam
menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak tercapainya Program Legislasi
Nasional (Prolegnas).
Konstruksi
prosedural
politik
yang
menghambat
pelaksanaan
kewenangan perwakilan politik, di tengah desakan tuntutan politik
demokratisasi, juga menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPD yang juga
terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala
seperti ini membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi
atau pengelompokan keanggotaannya agar dapat secara maksimal mendorong
38
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No
27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, h. 5.
39
Sebastian Salang, Menghindari…. h. 10.
27
peran kelembagaannya yang produktif bagi produktivitas peranannya dalam
agenda nasional.
Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan
subtansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik
menyangkut MPR, DPR, DPD, DPRD, dianggap membuktikan titik lemah
dari kelembagaan perwakilan politik tersebut. Bahkan, dalam konteks DPRD,
baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, sejak awal ketentuan
dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 diletakkan pada bagian birokrasi
pemerintah daerah, dan bukan sebagai badan legislatif di daerah, serta sejalan
dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
Sehingga campur tangan pemerintah pusat secara berlebihan tehadap politik
pelaksanaan hak-hak keanggotaan dan kelembagaan DPRD sukar dihindarkan.
Dalam rangka penguatan fungsi legislasi, DPR sebagai pelaksanaan
amandemen UUD 1945, perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan
peran DPR dalam proses perancangan, pembentukan, sekaligus pembahasan
rancangan undang-undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik
bahwa DPR bekerja kurang maksimal dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Harapannya adalah agar DPR dapat menghasilkan
produk-produk legislasi yang berkualitas serta berorientasi pada kebutuhan
rakyat dan bangsa. Berkaitan dengan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu
ditempatkan secara tepat dalam pembahasan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, pemekaran, penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan anatara pusat dan
28
daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22 D ayat (2) Undang-Undang
Dasar.
Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem
pendukung yang menunjang fungsi serta tugas wewenang MPR, DPR, DPD,
DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada dukungan sarana,
prasarana dan anggaran, tetapi ada dukungan keahlian. Dengan demikian
perlu adanya penataan kelembagaan Sekertariat Jenderal di MPR, DPR, DPD
dan sekertariat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Hal ini
diwujudkan dalam pengadaan sumber daya manusia, alokasi anggaran,
sekaligus pertanggungjawaban publik unit pendukung dalam menjalankan
tugasnya.
Untuk itu, beberapa masalah yang menjadi kendala baik secara teknis
maupun subtantif dari dua tingkatan
pembenahan kelembagaan politik
perwakilan, merupakan muatan dari revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu
dibentuk
Undang-Undang tentang MPR,
DPR,
DPD,
DPRD
guna
meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat daerah untuk
mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan
daerah
dalam
melaksanakan
tugas
dan
wewenang
lembaga,
serta
mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan
kinerja anggota permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
29
lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Pada prosesnya perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009
menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 disahkan pada pada
tanggal 8 juli 2014. Setelah Undang-Undang No 17 Tahun 2014 ini disahkan,
kembali diubah menjadi Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3
pada 5 Desember 2014. Dalam sidang paripurna perubahan undang-undang
tersebut dihadiri oleh 281 dari 555 anggota dewan dan dipimpin langsung oleh
ketua DPR, Setya Novanto.40 Namun,
perubahan tersebut sarat dengan
kepentingan politik.
Perubahan tersebut diantaranya menyepakati delapan poin pasal dalam
Undang-Undang MD3 terkait dengan kewenangan DPR, Pemilihan Pimpinan
Komisi, Tugas Komisi, Pemilihan Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Badan
Anggaran, Pimpinan Mahakamah Kehormatan Dewan, Pemilihan Pimpinan
BURT. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal tersebut yaitu Pasal 17 ayat
(3), (4), (5), dan (6), Pasal 97, Pasal 98 ayat (7), (8), (9), Pasal 104, Pasal
109, Pasal 115, Pasal 121 dan Pasal 152. Sementara, terdapat penambahan
pasal sisipan antara pasal 425 dan 426 yaitu Pasal 425A.
40
Julkifli Marbun, “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3
Menjadi
Undang-Undang”,
artikel
diakses
pada
20
April
2015
dari
http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/05/ng46tg-tanpa-interupsi-paripurnasahkan-revisi-uu-md3-undangundang
30
Mengutip dari pernyataannya Satjipto Rahardjo bahwa setiap produk
hukum bukan sesuatu yang mutlak sempurna.
41
Revisi peraturan perundang-
undangan seperti ini lazim dilakukan untuk dua tujuan utama, yaitu: untuk
menyesuaikan tuntutan dan kebutuhan baru karena perkembangan masyarakat
dan zaman; dan memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan dan
kelemahan peraturan perundang-undangan terkait.42
B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014
Untuk mengetahui kualitas rasa dari roti, kita tidak bisa hanya
merasakan ketika memakannya saja, melainkan harus melihat apa saja bahanbahan dan bagaimana proses pembuatannya. Oleh karena itu, untuk
mengetahui maksud yang di cita-citakan dari Undang-Undang No 42 Tahun
2014 kita tidak cukup hanya melihat atau memahami dari produk hukum
tersebut, melainkan harus mengetahui bagaimana proses pembahasan dan
beberapa perdebatan pokok dan sampai pengesahan undang-undang tersebut.
Fungsi legislasi adalah fungsi merancang, membahas, dan memutuskan
regulasi (Undang-Undang bagi DPR, atau Peraturan Daerah bagi DPRD).
Fungsi pokok DPR di bidang legislasi ini diberikan oleh Pasal 20 UUD 1945
hasil amandemen.
Seperti yang sudah penulis kemukakan dimuka, bahwa Undang-Undang
No 42 Tahun 2014 adalah perubahan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2014
41
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Buku Kompas, 2003), h. 131.
42
Sebastian Salang…. h. 2.
31
yang hanya merubah beberapa Pasal dalam Undang-Undang No 17 Tahun
2014. Oleh karena itu penulis lebih menekankan pada perdebatan yang terjadi
pada proses pembentukan Undang-Undang No 17 Tahun 2014.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) di
atas terjadi beberapa perdebatan yang krusial. Pertama, terkait pertimbangan
yang disampaikan oleh Tim Musyawarah bahwa bentuk rancangan undangundang diusulkan sebaiknya dalam bentuk pergantian. Namun usulan tersebut
ditolak oleh F-PDIP yang diwakili oleh Arif Wibowo, menurutnya sistematika
dalam RUU ini tetap sama dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 karena
materi perubahan yang terdapat dalam RUU ini hanya 27,45% yang
dibuktikan dari 408 Pasal hanya mengalami perubahan 112 Pasal, esensinya
tidak berubah mengingat secara subtansi RUU ini tetap membuat pengaturan
menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan perwakilan yang demokratis,
efektif dan akuntabel sebagaimana esensi dan yang ada dalam UndangUndang No 27 Tahun 2009.43
Kemudian dari F-Partai Demokrat yang diwakili oleh Mulyadi
menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No
27 Tahun 2009 merupakan keinginan dari kita semua dalam menjaga hak
dalam melakukan melaksanakan hak konstitusional yang diimbangi dengan
aspek-aspek tranparansi dan akuntabilitas.44 Hal tersebut dimulai dari
43
Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas
UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat
ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014) h. 23.
44
Ibid, h. 17.
32
penguatan terhadap anggota dewan, penguatan kepada komisi tanpa
mengurangi fungsi Alat Kelengkapan Dewan, dan membentuk Mahkamah
Kehormatan Dewan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota
dewan. Oleh karena itu dalam pasal-pasal yang termaktub dalam rancangan
undang-undang MD3 ini termasuk pergantian.
Senada dengan Mulyadi Pemerintah yang diwakili oleh Wicipto Setiadi
mengatakan banyaknya Pasal baru yang masuk dalam revisi Undang-Undang
No 27 Tahun 2009 menjadi salah satu alasan menjadi penggantian. Hasilnya
dari 9 Fraksi, 6 menyatakan sependapat dengan Pemerintah. Keenam fraksi
yang menyatakan penggantian adalah Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan
Gerindra. Intinya lantaran ada perubahan subtansial. Misalnya badan dan alat
kelengkapan. Sementara 3 Fraksi yang menyetujui dalam bentuk perubahan
yaitu PKB, PDIP, Hanura.45
Kedua, terkait dengan pemilihan Pimpinan DPR. Paripurna penetapan
RUU MD3 berjalan panas dan alot. Tiga fraksi di DPR, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura), memutuskan walk out setelah muncul
perubahan pasal 82 terkait mekanisme pimpinan DPR yang dinilai sebagai
pasal siluman.46
Pasal 84 RUU MD3, yang notabene sebagai perubahan pasal 82
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, memunculkan
45
Ibid, h. 45.
46
“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 dari
www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr
33
perdebatan yang panjang. Ada tiga alternatif pilihan yang ditawarkan pasal 84
RUU MD3. Alternatif pertama berisi sama seperti aturan pasal 82 UU MD3.
Pasal
itu
menyatakan
pimpinan
DPR
ditentukan
berdasar
asas
proporsionalitas, yaitu parpol peraih kursi terbanyak mendapat jatah ketua
DPR, sementara jatah wakil ketua DPR menjadi milik empat parpol peraih
suara terbanyak kedua hingga kelima.47
Sementara itu, untuk alternatif kedua dan ketiga, penetapan kursi
pimpinan DPR ditentukan dengan mekanisme pemilihan. Bedanya, alternatif
kedua menetapkan pemilihan pimpinan DPR secara tunggal, sementara
alternatif ketiga dilakukan dengan mekanisme paket pimpinan DPR.
Dua kubu koalisi yang pernah bertarung di pilpres beradu pendapat pada
penetapan RUU MD3. Kubu koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang
berisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat berada dalam
satu kubu yang mendukung alternatif kedua dan ketiga pada pasal 84 RUU
MD3.48
Sementara itu, kubu koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berisi PDIP,
PKB, dan Hanura bersikukuh untuk tidak mengubah ketentuan pasal 82 UU
MD3 itu. Salah satu alasan utamanya, dalam pembahasan panitia khusus
47
Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas
UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat
ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 7.
48
“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 dari
www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr
34
(pansus) RUU MD3, tidak pernah muncul pembahasan terkait perubahan pasal
82 atau munculnya alternatif-alternatif di pasal 84 RUU MD3 itu.49
Abidin Fikri, anggota Pansus RUU MD3 dari Fraksi PDIP, saat
menyampaikan interupsi mengatakan Fraksi PDIP mengikuti setiap proses,
jam, menit, detik. Menurutnya,
mereka tahu akan adanya pasal
penyelundupan, yaitu di pasal 82 itu (pasal 84 RUU MD3).
Perwakilan Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menegaskan, tidak
pernah ada pembahasan terkait rancangan pasal 84, baik antarfraksi di DPR
maupun pemerintah. Dalam rekaman rapat, Malik menyatakan tidak pernah
disebutkan bahwa pansus memperdebatkan mekanisme pemilihan ketua DPR.
”Kapan pasal itu ditentukan? Kita rapat di Hotel Sahid, Ritz Carlton, tidak ada
pembahasan,”.50
Tiga fraksi itu meminta agar pimpinan DPR menunda penetapan RUU
MD3 untuk kemudian dilakukan pendalaman dan pematangan kembali.
Namun, sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tersebut
menyatakan bahwa paripurna akan tetap dilanjutkan dengan pengambilan
keputusan mengingat mayoritas fraksi meminta penetapan dilakukan saat itu
juga.
Sesaat sebelum memutuskan walk out, Menurut Arif wibowo proses
penetapan RUU MD3 ini harus memperhatikan aspek kepastian hukum,
seharusnya keinginan untuk merubah pasal 82 dilakukan sebelum pelaksanaan
49
50
Ibid.
Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas
UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat
ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 40.
35
Pemilu Legislatif pada 9 April 2014. Masuknya unsur perubahan Pasal 82
secara tiba-tiba setelah ditetapkannya pemilu legislatif menunjukan bahwa
usulan tersebut telah merusak itikad demokrasi dan syarat dengan kepentingan
tertentu yang bertentangan dengan asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.51 Fraksi PDIP menyatakan tidak ikut bertanggung jawab
terkait penetapan RUU MD3.
Setelah walk out, paripurna yang berlangsung hingga pukul 20.30 itu
berjalan singkat. Hanya dalam lima menit, enam fraksi secara aklamasi
menetapan pilihan alternatif ketiga sebagai isi pasal 84, menggantikan isi pasal
82 UU MD3 lama. Menurut Priyo Budi Santoso pengesahan pasal tersebut
sudah melalui mekanisme baku, tidak perlu penjelasan lagi.52
Ketiga, terkait dengan Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan
yang tercantum dalam Pasal 119 UU No 42 Tahun 2014. MKD dibentuk oleh
DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Tujuan
pembentukan MKD tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) bahwa MKD
bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Ada satu hal yang banyak disoroti oleh banyak kalangan mengenai
pembentukan MKD ini, terkait dengan kewenangan MKD yang tercantum
dalam Pasal 245 ayat (1) UU No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
51
Ibid, h. 24.
52
“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 Dari
www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr
36
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan. Benny K Harman, anggota DPR dari F-Demokrat
mengatakan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan
Dewan terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan.53
Menurutnya, pembentukan MKD dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas
serta menjamin agar anggota DPR tidak menjadi obyek perlakuan tidak wajar
berdasar pengaduan atau laporan masyarakat. Namun pada pihak lain MKD
tetap berada pada posisi untuk tidak melindungi anggota DPR yang nyatanyata terbukti melakukan tindakan melanggar etika dan peraturan perundangundangan.54
Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang
terhormat. Oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah
membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota
DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk
penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap
parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk
53
Randi Ferdi Firdaus, “UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel
diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakanganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.html
54
diakses
Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel
pada
18
Mei
2015
dari
http://www.pikiran-
rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamahkehormatan-dpr
37
pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti
itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.55
Sementara Menurut Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-Golkar
mengatakan bahwa anggota DPR tidak mempunyai atasan, ketua DPR dan
Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan hanyalah jurubicara dan kordinator
kegiatan, tidak ada kewenangan memberikan punishment yang mereka
lakukan terhadap anggotanya. Oleh karenanya, menurut Tantowi, diperlukan
satu instrument dalam struktur kedewanan yang bertugas mengawasi disiplin
anggota, termasuk memberikan sanksi sesuai tata tertib. Tantowi mengatakan,
sesungguhnya kita layak menaruh harapan tinggi kepada mahkamah ini. Oleh
karenanya, wajar pula apabila pemanggilan anggota dewan yang terindikasi
pelanggaran hukum kecuali pelanggaran berat seperti korupsi, kriminal dan
sebagainya, harus terlebih dahulu seizin MKD.56
Pada sisi yang lain, menurut mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi, Busyro Muqoddas pembentukan MKD berpotensi menghambat
proses penegakan hukum, karena penegakan hukum harus bersifat cepat.
Kritik selanjutnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Menurut dia sejumlah pasal dalam RUU MD3 sengaja dibuat untuk
membentengi anggota. Padahal jika sekedar pemanggilan dan permintaan
55
Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada
10 November 2014 dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dprbentuk-mahkamah-kehormatan-dewan
56
Widya Victoria, “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar,”, Artikel diakses
pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/Hindari-Bias,-
Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar-
38
keterangan untuk penyidikan, semestinya penegak hukum tidak perlu meminta
izin pada siapapun. Menurut Rafly, kalau tidak merasa bersalah tidak usah ada
ketakutan dan kekhawatiran dengan membuat MKD.57
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa birokratisasi
izin pemeriksaan anggota DPR yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3.
Sebab, pasal tersebut mengatur pemeriksaan anggota DPR harus atas izin
MKD. Ketentuan pemanggilan dan permintaan pemeriksaan anggota DPR
harus dengan seizin MKD khususnya berkaitan dengan tindak pidana
bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara
memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.58
Bukan hanya menunjukan adanya sikap diskriminatif, ketentuan tersebut
berimplikasi pada pelaksanaan hukum yang berbelit bahkan memberi ruang
untuk menghilangkan alat bukti mengingat sulitnya memeriksa anggota DPR.
Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang
meliputi
keseluruhan
proses
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan,
persidangan dan pelaksanaan hukuman. Lebih aneh lagi, aturan ini juga
diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin
menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.59
Penulis sendiri sangat
setuju dengan pembentukan Mahkamah
Kehormatan Dewan tersebut, karena bertujuan untuk lebih mengoptimalkan
57
Majalah Detik 4-10 Agustus 2014
58
Erwin C Sihombing, “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan,”
artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.beritasatu.com/nasional/195457diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html
59
Ibid.
39
kinerja dari anggota DPR. Selain itu kehadiran MKD juga untuk menjaga
martabat dan kehormatan dari anggota DPR sebagai wakil rakyat. Akan tetapi,
dengan adanya kewenangan yang tercantum dalam pasal 245 Undang-Undang
No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat izin tertulis dari MKD penulis tidak setuju, karena selain
dapat menghambat penegakan hukum, kewenangan tersebut menempatkan
anggota DPR menjadi seakan kebal hukum.
Pada intinya, proses penyusunan Undang-Undang bisa dibagi ke dalam
dua golongan besar, yaitu sosiologis dan yuridis. Dalam tahap sosiologis,
berlangsung proses-proses untuk mematangkan suatu masalah, sehingga bisa
masuk ke dalam agenda yuridis, sedangkan dalam tahap yuridis dilakukan
suatu perkerjaan yang benar-benar menyangkut perumusan suatu UndangUndang. Dalam perdebatan tersebut yang termasuk dalam tahap sosiologis
adalah pada perdebatan yang pertama, sedangkan yang termasuk tahap yuridis
adalah pada perdebatan kedua dan ketiga. Terlihat jelas dalam perdebatan di
atas bahwa komposisi anggota legislator sangat menentukan dalam
mengesahkan suatu undang-undang. Mengutip pandangan Satjipto Raharjo
bahwa komposisi keanggotaan legislator juga sangat mempengaruhi produk
hukum yang dihasilkan. Akibatnya, objektifitas dari semoboyan bahwa,
Undang-Undang berdiri di atas semua golongan hanya merupakan suatu cita-
40
cita yang tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus terus
diperjuangkan.60
60
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum… h. 130.
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR
A. Mahkamah Kehormatan Dewan
Anggota DPR menempati posisi dan peran sebagai perwakilan politik
yang bersifat “menyuarakan” kepentingan dan aspirasi mereka yang diwakili.
Ini berbeda dengan perwakilan politik yang dimainkan oleh pemerintah
terpilih (melalui pemilu) dalam suatu pemerintahan perwakilan yang
demokratis. Pemerintahan terpilih ditentukan oleh suara rakyat dalam suatu
proses pemilu menjalankan peran yang bersifat “memenuhi” kebutuhan dan
kehendak rakyat.
Tata pemerintahan demokratis meniscayakan hubungan fungsional yang
harus terjalin antara DPR dengan pemerintah terpilih, yakni: DPR
menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat, pemerintah memenuhi
kehendak dan kebutuhan rakyat yang terpantulkan dari aspirasi dan
kepentingan yang disuarakan perwakilan politik, serta anggota DPR
mengawasi proses pemenuhan kehendak dan kebutuhan. Hubungan fungsional
seperti itu berlangsung secara berputar terus menerus yang disertai dengan
dinamika internal untuk koreksi, perbaikan dan penyempurnaan baik terhadap
dimensi proses maupun dimensi hasil dari hubungan tersebut. Kerangka kerja
seperti ini menempatkan anggota DPR dalam posisi primer yang memberikan
41
42
input berupa tuntutan terhadap proses pembuatan kebijakan publik, dan dalam
posisi pengawasan pada tahap implementasi kebijakan publik.61
Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR
merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga
negara, yang memiliki fungsi antara lain: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Dengan demikian DPR memiliki fungsi politik yang strategis, yaitu sebagai
lembaga penentu kebijakan kenegaraan.62
Mengingat begitu pentingnya posisi dan peran dari anggota DPR sebagai
representasi rakyat belum menjamin bahwa kinerja dari anggota DPR sudah
optimal. Tak sedikit dari anggota DPR terjerat kasus hukum seperti, korupsi
dan melakukan tindak pidana, ditambah lagi dengan terlalu mudahnya anggota
DPR untuk menjadi saksi dalam kasus korupsi misalnya. Hal tersebut
membuat opini terhadap anggota DPR buruk. Hal tersebut juga diakui oleh
wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin, bahwa saat ini parlemen
sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, DPR hasil pemilu 2014
harus lebih baik dari pada sebelumnya.63 Oleh karena itu perbaikan
kompetensi wakil rakyat mutlak diperlukan perbaikan.
Salah satu bentuk perbaikan tersebut dapat dilihat dari dibentuknya alat
kelengkapan DPR yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan, dalam Pasal 119 UU
61
Sebastian Salang, dkk,. Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2009), h. 195.
62
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, ( Jakarta: Kencana, 2010), h.193.
63
Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan
Ekonomi Indoneisa, (Jakarta:Buku Kompas, 2014), h. 131.
43
No 42 Tahun 2014, menyatakan bahwa MKD dibentuk oleh DPR dan
merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pembentukan MKD
bertujuan menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Terkait mengenai susunan dan keanggotaan MKD diatur dalam Pasal
120 UU 42 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa, DPR menetapkan susunan
dan keanggotaan MKD yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota MKD berjumlah 17
(tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna. Tata cara mengenai
pemilihan susunan keanggotaan diatur dalam Pasal 79 Peraturan DPR No 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib yang menyatakan Pimpinan DPR mengadakan
konsultasi dengan pimpinan Fraksi untuk menentukan komposisi keanggotaan
MKD dengan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam
hal untuk mufakat tidak tercapai dalam penentuan komposisi keputusan
diambil berdasarkan keputusan terrbanyak dalam rapat paripurna. Kemudian
Fraksi mengusulkan nama anggota MKD kepada pimpinan DPR sesuai
dengan perimbangan dan pemerataan
jumlah anggota setiap Fraksi pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Mengenai
penggantian anggota MKD dapat dilakukan oleh fraksinya apabila anggota
MKD yang bersangkutan berhalangan tetap atau ada pertimbangan lain dari
fraksinya.
44
Terkait mengenai Pimpinan MKD diatur dalam Pasal 121 UU No 42
Tahun 2014 Pimpinan MKD merupakan satu kesatuan yang bersifat kolektif
dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling
banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD
dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan
prinsip musyawarah untuk mufakat. Setiap Fraksi dapat mengajukan 1 (satu)
orang bakal calon pimpinan MKD. Sedangkan apabila pemilihan pimpinan
MKD berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak. Pemilihan pimpinan MKD dilakukan
dalam rapat MKD yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan
susunan dan keanggotaan MKD. Pimpinan MKD ditetapkan dengan
keputusan pimpinan DPR
Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
pimpinan MKD diatur dalam Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib yang tercantum dalam Pasal 80 yang menyatakan bahwa, Pimpinan
MKD merupakan salah satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak
(dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu
paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat. Paket yang bersifat tetap berlaku untuk fraksi.
Setiap fraksi hanya boleh diwakili oleh 1 (satu) orang bakal calon
pimpinan MKD. Dalam mengusulkan paket bakal calon Pimpinan MKD dapat
45
memperhatikan keterwakilan perempuan. Paket calon pimpinan MKD yang
bersifat tetap tersebut berlaku selama 5 (lima) tahun. Calon ketua dan wakil
ketua diusulkan dalam rapat MKD yang dipimpin oleh pimpinan DPR secara
tertulis oleh Fraksi dalam satu paket calon pimpinan MKD yang terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua dari fraksi yang berbeda
untuk ditetapkan sebagai paket calon pimpinan MKD dalam rapat MKD.
Pimpinan rapat MKD mengumumkan nama paket calon pimpinan MKD
dalam rapat MKD. Paket calon pimpinan MKD dipilih secara musyawarah
untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat MKD. Dalam hal musyawarah
untuk mufakat tidak tercapai, paket calon pimpinan MKD dipilih dengan
pemungutan suara. Setiap anggota MKD memilih satu paket calon pimpinan
MKD yang telah ditetapkan. Paket calon pimpinan MKD yang memperoleh
suara terbanyak ditetapkan sebagai ketua dan wakil ketua terpilih dalam rapat
MKD. Dalam hal hanya terdapat satu paket calon pimpinan MKD, pimpinan
rapat MKD langsung menetapkan menjadi pimpinan MKD. Pimpinan MKD
ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
Selanjutnya, mengenai fungsi, tugas dan wewenang MKD tercantum
dalam Pasal 122 Undang-Undang 42 Tahun 2014 menyatakan bahwa, MKD
bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap
anggota karena; tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR, tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama
3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah, tidak memenuhi syarat
46
sebagai anggota DPR, melanggar ketentuan larangan sebagaimana yang diatur
dalam undang-undang ini. Selain tugas MKD melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik. MKD berwenang
memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga
lain.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang MKD diatur
dalam Pasal 2 Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Beracara
Mahkamah Kehormartan Dewan, yang menyatakan bahwa MKD bertugas
mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan atau peristiwa yang patut
diduga dilakukan oleh anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang
yang mengatur mengenai, MPR, DPR, DPR, DPRD serta mengatur mengenai
tata tertib dan kode etik. Selain itu, MKD bertugas menerima surat dari
penegak hukum tentang pemberitahuan dan atau pemanggilan dan atau
penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Meminta
keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan pemanggilan
dan pemeriksaan untuk penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan
tindak pidana. Namun tugas yang MKD yang paling pokok dalam
pembahasan ini adalah memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan keterangan dari pihak
penegak hukum kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
serta mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan
penyitaan di tempat anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
47
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, MKD berwenang untuk
menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati tata tertib serta
mencegah pelanggaran kode etik kepada seluruh anggota. Memantau perilaku
dan kehadiran anggota dalam rapat. Memberikan rekomendasi kepada pihak
terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dan menjaga
martabat, kehormatan, citra, kredibilitas DPR. Melakukan tindak lanjut atas
dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR. memanggil
dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan atau peristiwa yang
patut diduga dilakukan oleh anggota yang tidak melaksanakan salah satu
kewajiban atau lebih dan atau melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud
dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib.
B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana
Salah satu kewenangan MKD yang menjadi pokok pembahasan dalam
penulisan ini tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No 42
Tahun 2014 yaitu; Pemangggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Pada ayat (2) dalam hal
persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh
MKD paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya
permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. Selanjutya, pada ayat
(3) menyatakan, ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku apabila, tertangkap
48
tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak
pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Ketentuan dalam Pasal 245 Undang-Undang No 14 Tahun 2014 tersebut
tidak terlepas dari putusan Mahkamah konstitusi (MK) No 73/PUU-IX/2011,
dalam putusan tersebut MK menghapus syarat persetujuan tertulis dari
Presiden untuk memeriksa kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam
tahap penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum. Keputusan tersebut dibacakan dalam sidang pembacaan uji materi
(judicial review) Pasal 36 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.64
Putusan tersebut MK mengakui pentingnya menjaga wibawa dan
kehormatan seorang pejabat negara.65 Namun pengkhususan tersebut tidak
boleh sampai pada terhambatnya proses penegakan hukum. Terkait
64
Acha Muhamad Arsad, “Putusan MK No 73/PUU-IX/2011 Harapan Baruku,” artikel
diakses pada 23 Mei 2015 dari, http://hukum.kompasiana.com/2013/05/11/putusan-mk-
no-73puu-ix2011-harapan-baruku-558858.html
65
Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara sebagaimana
dimaksudkan UUD 1945 dan pejabat negara yangb ditentukan oleh Undang-Undang. Pejabat
Negara terdiri dari; Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota MPR,
Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK, Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota Hakim Agung dan Hakim MK, Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati/Walikota.
49
pengkhususan tersebut menurut Bivitri Susanti ada dua pendekatan yang
relevan digunakan yaitu, Forum Priveligiatum dan Parlimentery Priviliges.66
Forum Privilegiatum adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabatpejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus atau tinggi dan
bukan oleh pengadilan negeri.67 Hak khusus ini mulai ada pada sekitar abad
ke-15 untuk bisa membawa pejabat-pejabat negara dan penguasa feodal pada
masa itu yang tidak mau dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena
merasa kedudukannya lebih tinggi dari pengadilan. Hak khusus ini diadakan
untuk pejabat-pejabat tinggi negara agar bersedia masuk ke dalam ranah
pengadilan dan di sisi lainnya berguna untuk publik karena bisa membuat
penguasa bertanggung jawab di hadapan hukum. Di Belanda forum ini
dilaksanakan oleh Hoog Raad (Mahkamah Agung) sejak 1893.68
Pada perkembangannya, wewenang Hoog Raad ini kemudian dibawa
oleh pemerintahan kolonial ke Indonesia. Setelah kemerdekaan aturan ini
terus diadopsi dan dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat 1949 (UUD RIS), maupun Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS). Pasal 106 UUDS 1950 menyatakan, Presiden,
Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung,
Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
66
Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum,
(Jakarta, Makalah, 9 Oktober 2014)
67
68
J. C. T. Simorangkir dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), h. 62-63.
Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum,
(Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014), h. 3.
50
Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan juga pegawaipegawai, Anggota-anggota Majelis-Majelis Tinggi, dan Pejabat-Pejabat lain
yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili pada tingkat pertama dan
terakhir oleh Mahkamah Agung, begitu pun sesudah mereka berhenti,
berkaitan dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan
undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika
ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Melihat Pasal 106 UUDS 1950 tersebut, Soepomo tidak menjelaskan
dari mana asal muasal pasal ini. Ia hanya menyatakan bahwa pasal-pasal
UUDS 1950 tersebut diambil dari Konstitusi RIS.69 Berdasarkan Pasal 106
UUDS 1950
mengenai Forum Privilegiatum ini, Menteri Negara Sultan
Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kehakiman Djodi
Gondokusumo pernah diadili dengan mekanisme Forum Privilegiatum.70 Pada
dasarnya, Forum Privilegiatum seharusnya dapat dijadikan sebagai penjaga
gawang keadilan terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh
penguasa atau para pejabat negara, tetapi mempunyai kesulitan jika diadili
dengan pengadilan biasa.71 Namun pada perkembangan selanjutnya, Forum
Privilegiatum kembali tidak diberlakukan seiring dengan diberlakukannya
69
R. Soepomo, Undang-Undang Sementara Republik Indonesia Serikat, (Jakarta:
Noordhoff-koff, 1954)
70
Miftahul Huda, “Forum Privilegiatum,” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari
http://www.miftakhulhuda.com/2010/01/forum-previlegiatum.html
71
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), h. 7.
51
kembali pada UUD 1945 pada tahun 1959 karena dianggap tidak sesuai
dengan semangat UUD 1945. 72
Pendekatan kedua dengan
menggunakan konsep Parliamentary
Privileges, dalam konsep Parliamentary Privileges yang biasa diterapkan
parlemen Inggris dan Amerika Serikat mempunyai dua tujuan. Pertama,
memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat
dituntut secara perdata di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam
sidang. Tanpa hak imunitas, legislator dapat merasa tidak bebas dalam
mengemukakan pendapat dan mendorong perbaikan bagi konstituennya
karena selalu terancam digugat secara hukum oleh lawan-lawan politiknya.
Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat
legislator seakan-akan kebal hukum. Namun mereka tidak sepenuhnya kebal
hukum. mereka hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya di
dalam sidang. Namun di luar kapasitas semua sebagai wakil rakyat, legislator
tetap sebagai warga negara biasa. Karena itulah, keistimewaan Parliamentary
Privileges ataupun hak imunitas hanya berlaku gugatan perdata, khususnya
untuk masalah pencemaran nama baik. Kemudian, untuk membatasi
kebebasan berbicara tersebut, dibuat pula perangkat peraturan sidang
mengenai bahasa yang tidak dapat digunakan di dalam sidang parlemen.
Kedua, efektifitas kerja mereka sebagai anggota dewan, bentuknya adalah
perlindungan bagi anggota dewan untuk ditahan di dalam kasus perdata
72
Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of institutional Collapse
(Ithaca, Cornell University,Press 2005), mengutip S.Mertukosumo, Sejarah Peradilan dan
Perundang-undangan Sejak 1942 dn Apa Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa
Indonesia,(Bandung:Kilatmaju,1971)
52
selama masa sidang. Hal yang terpenting dari konsep Parliamentary
Privileges, tidak ada pengecualian sama sekali bagi mereka yang melanggar
perkara-perkara pidana.
Namun pada dasarnya pejabat negara memiliki hak istimewa yang
melekat dalam jabatan yang dimilikinya yaitu hak kekebalan hukum,
khususnya untuk kasus hukum yang masih memerlukan penyidikan
pembuktian.73 Hak kekebalan hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari atribut jabatan petinggi negara untuk menghindari diri dari
konspirasi kejahatan terselubung. Oleh sebab itu, persoalan hak imunitas ini
menjadi suatu perdebatan panjang yang patut untuk diperhatikan oleh pembuat
undang-undang secara logis-rasional, untung-rugi serta baik buruknya karena
ada niat pejabat negara memproteksi diri dari tindakan ancaman hukuman atau
dengan kata lain, bersembunyi dibalik hukum untuk melepaskan diri dari
perbuatan kejahatan.
Hak kekebalan hukum merupakan sesuatu yang sangat sensitif karena
jika hak itu hanya memproteksi kepentingan politik, akan menimbulkan
berbagai macam preseden negatif publik bahwa DPR sengaja, menciptakan
tipologi hukum yang subjektif individualistik hanya untuk menggerogoti dan
membohongi rakyat, tetapi bertujuan untuk meluputkan diri mereka dari jerat
hukum dan bertindak sewenang-wenang karena diberikan wewenang otoritas
73
Hendaramin Ranadireksa, Aristektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus
Media, 2007), h. 283.
53
oleh hukum yang dibuatnya sendiri.74 Secara konstitusional hak imunitas
DPR, telah diatur keberadaanya dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945, yang
menyakan bahwa selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas.75
Lalu bagaimana mekanisme yang harus dilakukan dalam menghadapi
anggota DPR ketika ada anggota DPR yang terkena kasus pidana yang
memerlukan klarifikasi dan penyelesaian hukum serta bagaimana kedudukan
hukum anggota DPR tersebut? Dalam Peraturan DPR RI No 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menjelaskan
mengenai mekanime pemberian persetujuan tertulis terhadap pemeriksaan dan
pemanggilan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana. Terkait dengan mekanisme pemberian persetujuan ini terdapat
2 (dua) cara.
Pertama, terkait dengan pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana yang
berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR. Dalam
Pasal 72 Peraturan DPR Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan
Dewan menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang berhubungan
74
H. F. Abraham Amos, Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Peradilan Indonesia.
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.178.
75
Ahmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan
Pelaksanaan di Beberapa Negara, ( Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum
Nasional)
54
dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya harus mendapatkan
persetujuan tertulis MKD.
Kemudian MKD menerima surat dari pihak penegak hukum tentang
pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada angggota atas
dugaan melakukan tindak pidana, yang berhubungan dengan pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenangnya. Setiap anggota yang mendapat surat
pemanggilan dapat memberitahukan kepada MKD tentang isi pemanggilan
dari pihak penegak hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, MKD harus
memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan pemanggilan
tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan tersebut.
Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, MKD dapat meminta
keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan,
dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana,
yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
Kemudian dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut MKD dapat
meminta keterangan dari anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
Apabila MKD tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota, surat
pemanggilan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau batal demi
hukum. Sedangkan apabila MKD memutuskan memberikan persetujuan
tertulis atas pemanggilan anggota, MKD menerima surat pemberitahuan
penggeledahan dan penyitaan dari penegak hukum. Dalam melakukan
55
penggeledahan dan penyitaan ditempat anggota diduga melakukan tindak
pidana, penegak hukum didampingi oleh MKD.
Kedua,
mekanime
pemberian
persetujuan
tertulis
terhadap
pemeriksaan dan pemanggilan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 73 menyatakan
pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota yang diduga
melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas
dan wewenangnya harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Kemudian
MKD menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan,
pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan
tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya.
Setiap anggota yang mendapat surat pemanggilan dapat memberitahukan
kepada MKD tentang isi pemanggilan tersebut. Selanjutnya, dalam hal
persetujuan tertulis tidak diberikan oleh MKD paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari MKD dapat meminta keterangan dari pihak penegak hukum
tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota
atas dugaan melakukan tindak pidana. Dalam jangka waktu tersebut MKD
dapat meminta keterangan dari anggota yang diduga melakukan tindak pidana
yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
56
Dalam hal MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan tertulis atas
pemanggilan anggota, surat pemanggilan tidak memiliki kekuatan hukum
tetap atau batal demi hukum. Sedangkan apabila MKD memutuskan untuk
memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota, MKD menerima surat
pemberitahuan
penggeledahan
dan
penyitaan
dari
penegak
hukum.
Selanjutnya, MKD mendampingi penegak hukum dalam melakukan
penggeledahan dan penyitaan di tempat anggota diduga melakukan tindak
pidana.
Ketentuan
mengenai
persetujuan
tertulis
mengenai
permintaan
keterangan untuk penyidikan tidak berlaku jika anggota tertangkap tangan
melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak
pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Pada proses selanjutnya adalah bagaimana kedudukan hukum anggota
DPR tersebut? Ada prosedur tertentu yang harus dilalui. Tindakan yang harus
dilakukan ketika anggota DPR dicurigai atau diduga melakukan sesuatu yang
tidak terpuji yang tidak sesuai dengan martabat jabatan, adalah yang
bersangkutan harus melepaskan jabatannya terlebih dahulu. Tujuan pelepasan
jabatan adalah untuk menempatkan Anggota DPR tersebut sebagai warga
negara biasa. Dalam kedudukannya sebagai warga negara itulah proses bisa
dilakukan.76
76
Hendaramin Ranadireksa, Aristektur Konstitus… h. 284.
57
Namun di dalam UU No 42 Tahun 2014 tidak mengatur mengenai
kedudukan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana
yang dimaksud di dalam Pasal 245. Dalam arti bahwa kedudukan anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana masih aktif menjadi anggota.
Akan tetapi dalam UU No 42 Tahun 2014 mengatur mengenai pelepasan
jabatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 244,
anggota DPR
diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak
pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun, atau menjadi terdakwa dalam perkara pidana khusus. Kemudian dalam
hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak
pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, anggota DPR bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.
Sedangkan apabila dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan
diaktifkan.
Mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam Pasal 68
Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah
Kehormatan Dewan, bahwa, Pimpinan MKD memberitahukan kepada
Pimpinan DPR tentang adanya Anggota yang menjadi terdakwa dalam perkara
pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Kemudian
Pimpinan DPR mengirimkan surat untuk meminta status seorang anggota
58
yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana dari pejabat yang berwenang,
baik dengan adanya pemberitahuan maupun tanpa adanya pemberitahuan dari
pimpinan MKD. Selanjutnya, Pimpinan DPR setelah menerima surat
keterangan mengenai status seorang anggota tersebut kemudian diteruskan
kepada MKD.
Setelah Pimpinan DPR menyerahkan kepada MKD, kemudian
melakukan pemeriksaan mengenai status anggota tersebut dan diambil
putusan. Dalam hal terkait Putusan status anggota oleh MKD tersebut
selanjutnya dilaporkan kepada rapat paripurna untuk mendapat penetapan
pemberhentian sementara dan disampaikan kepada partai politik anggota yang
bersangkutan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak ditetapkan dalam rapat
paripurna. Meskipun anggota diberhentikan sementara, anggota tersebut tetap
mendapat hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Menurut pandangan penulis seharusnya anggota DPR yang
diberhentikan sementara dicabut hak keuangannya sebagai konsekuensi dari
pemberhentian sementara tersebut.
BAB IV
PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR DITINJAU
DARI KONTEKS NEGARA HUKUM
A.
Kedudukan Hukum Anggota DPR yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana Ditinjau Dari Asas Persamaan Di Depan Hukum
Sebagai negara hukum yang telah menentukan Pancasila sebagai falsafah
dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka semua aturan kenegaraan harus
bersumber atau dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Dasar keberadaan
Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, bahwa
UUD 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut
prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip tersebut perlu
diwujudkan lembaga perwakilan rakyat yang mampu mengaplikasikan nilainilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat
agar sesuai dengan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat
dan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Perubahan terhadap
59
60
UUD 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) dimaksudkan untuk memperkuat
DPR sebagai lembaga legislatif. Pergeseran kekuasaan membentuk undangundang dari Presiden kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk
memosisikkan fungsi lembaga negara secara tepat serta sesuai dengan bidang
tugas masing-masing. Pergeseran kekuasan untuk membentuk undang-undang
tersebut pada hakekatnya merepresentasikan pendekatan pemisahan kekuasaan
(saparation of power).
Namun pada sisi yang lain, peliknya hubungan hukum dengan
kekuasaan terletak pada relasi dilematis. Di satu pihak, hukum harus
mendasari kekuasaan sementara di pihak lain, kekuasaan itu pula yang
menciptakan hukum.77 Filsafat hukum memang mengajarkan adanya rechtside
yaitu cita hukum yang harus membimbing arah perumusan norma-norma
hukum. Cita hukum Indonesia ialah Pancasila sebagaimana terkandung dalam
UUD 1945. Salah satu norma paling mendasar di dalam cita hukum itu ialah
cita tentang keadilan. Artinya, hukum yang diciptakan haruslah hukum yang
adil bagi semua pihak.
Celakanya, di bidang hukum tata negara, unsur ketidakadilan dengan
mudah akan menyelinap, entah sengaja atau tidak. Kekuasaan yang
menciptakan hukum justru tidak sepenuhnya dapat menghindar dari upaya
mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan status quo atau
kepentingan legitimasi kekuasaan.
77
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Komplikasi Masalah
Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h.
91.
61
Masalahnya, terdapat berbagai unsur dalam peraturan perundangundangan itu yang kurang mencerminkan asas-asas keadilan yang terkandung
oleh rechtside dan kurang mampu mengimplementasikan jiwa dan semangat
demokratis yang diamanatkan oleh pasal-pasal UUD 1945. Menurut R.W.M.
Dias dalam bukunya “Jurisprudence” secara umum keadilan itu didasarkan
pada pengertian equality (persamaan).78 Dalam konteks inilah, ditemukan
berbagai sorotan tajam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang ketatanegaraan, seperti Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang
MD3.
Dalam konteks kekinian pada Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang
MD3 terdapat satu hal pokok mengenai
pemangggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Berkaitan
bahwa Indonesia sebagai negara hukum, lalu bagaimana persetujuan tertulis
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tersebut ditinjau
dari asas persamaan di depan hukum.
Asas persamaaan di depan hukum atau equality before the law adalah
salah satu unsur dari negara hukum atau rule of law. Unsur ini juga merupakan
salah satu upaya perlindungan hak asasi, karena itu warga negara diberi
78
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 102.
62
kedudukan yang sama di depan hukum.79 Jadi subyek hukum warga negara
mendapat tempat yang sama sebagai pendukung hak dan kewajiban. Secara
limitatif bahwa asas ini menghendaki adanya perlakuan yang sama antara
orang yang satu dengan seorang lainnya (yang sama-sama sedang berada
dalam proses peradilan pidana) dengan mengenyampingkan berbagai faktor
yang ada pada orang-orang tersebut, sehingga proses hukum tersebut dapat
berlangsung secara adil.
Equality berasal dari bahasa Inggris dengan dasar kata equal. Kata Equal
sendiri menurut Consice Oxford Dictionary diartikan sebagai “being the same
in quantity, size, degree, value or status, terjemahan bebasnya “sama dalam
jumlah, ukuran, derajat nilai, atau status (kedudukan).80 Istilah equality before
the law ini merupakan istilah yang lazim digunakan dalam hukum tata negara,
sebab hampir setiap negara mencantumkan ini dalam konstitusinya. Alasan
mencantumkan equality before the law dalam suatu konstitusi karena hal ini
merupakan norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara.
Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia
merupakan cita hukum dalam mewujudkan keadilan satu pihak dan dilain
pihak sebagai sistem norma hukum. Dalam Pasal-Pasal yang tercantum di
UUD 1945, baik yang mengenai warga negara maupun mengenai seluruh
penduduk, memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang
79
Azhari, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya, ( Jakarta:UI-Press 1995), h. 131.
80
Concise Oxford Dictionary-Tenth Edition, OXFORD UNIVERSITY PRESS,
Software Aplication.
63
bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kesetaraan kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan
perlakuan yang sama di depan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang
setara, maka warga negara saat berhadapan dengan hukum tidak ada yang
berada di atas maupun di bawah hukum. No man above the law dapat diartikan
tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada orang-orang tertentu
sebagai subjek hukum.
Persamaan di depan hukum menjadi jaminan untuk mencapai keadilan
(baca, hukum.-pen), tanpa pihak yang bisa lepas dari hukum ketika melakukan
terlibat dalam proses penegakan hukum. Jaminan perlindungan hukum tersirat
dalam prinsip equality before the law, yaitu ada jaminan mendapat perlakuan
yang sama tetapi juga jaminan bahwa hukum tidak akan memberikan
keistimewaan subjek hukum lain. Karena kalau terjadi demikian maka dapat
melanggar prinsip persamaan di depan hukum dan mendorong terciptanya
diskriminasi di depan hukum.
Namun demikian, hak persamaan di depan hukum ini tidak bersifat
absolut dan dapat dibatasi berdasar atas pembatasan yang sah misalnya,
pembatasan dalam periode waktu tertentu, peraturan terkait anak, orang
dengan keterbatasan mental ataupun imunitas parlemen. Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa imunitas parlemen dapat masih diperkenankan dan bukan
64
merupakan penyimpangan dari prinsip kesetaraan didepan hukum asalkan
berdasarkan pada hukum.
Pertanyaannya adalah apakah Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun
2014 dibentuk untuk menjaga hak imunitas DPR? Pada dasarnya secara
hukum, hak imunitas DPR diatur dalam Pasal 224 Undang-Undang No
42Tahun 2014. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa Pasal 245 bukan hak
imunitas anggota DPR. Menjadi rancu dan patut dipertanyakan apabila ada
konsep perlindungan lain terhadap anggota DPR agar tidak diperlakukan
secara sembrono dan sewenang-wenang, padahal perlindungan tersebut sudah
diatur dalam bentuk hak imunitas untuk anggota DPR yang secara khusus
telah dijamin dalam Pasal 224 UU MD3.
Dengan melihat ketentuan Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014
bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari MKD sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip
persamaan di depan hukum. Maka dari itu anggota DPR dalam hal
penegakkan hukum mestinya diperlakukan sama seperti warga lainnya. Tidak
ada alasan yang rasional yang memberikan landasan argumentasi bahwa harus
ada tahapan khusus berupa persetujuan tertulis oleh MKD tersebut bagi suatu
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan bagi anggota
dewan. Kehormatan anggota dewan sebagai wakil rakyat tidak diukur dengan
memberikan keistimewaan dalam proses penegakkan hukum. Justru
65
semestinya sebagai wakil rakyat anggota dewan harus memberikan contoh
bagi rakyat dalam menjungjung tinggi hukum, berkomitmen dalam
penegakkan hukum yang adil tanpa diskriminatif.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bahwa hukum
atau peraturan perundang-undangan harus adil, namun nyatanya seringkali
tidak. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkannya merupakan
proses dinamis yang memakan waktu, upaya ini didominasi oleh kekuatankekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya. Ketidaksetaraan dalam proses penegakan hukum
merupakan ketidakadilan. Jika kita memulai dari premis bahwa secara umum
orang seharusnya satu sama lain, bahwa mereka harus setara di muka hukum,
maka pertanyaan kesetaraan itu sendiri otomatis teralihkan ke ranah politik.
Karena jelas bahwa yang tidak kalah pentingnya adalah siapa yang membuat
hukum. Problematika keadilan yang memutuskan apa yang setara dan apa
yang tidak setara baru dapat
diselesaikan
jika dinyatakan bahwa
penyelenggara negara terdapat sejumlah orang yang bertanggung jawab dan
bersungguh-sungguh berupaya menemukan kompromi antara kepentingan
yang bertentangan.
Maka tak ayal lagi jika tipologi hukum seperti itu akan membahayakan
eksistensi kehidupan sosial karena tampak jelas hukum dibuat secara berat
sebelah dan memberikan peluang seluas-luasnya pada anggota DPR untuk
66
melakukan hal apapun yang dikehendakinya. Jika ini terus dipertahankan
sebagai legitimasi konstitusi yang berpihak pada anggota DPR dan
mengabaikan hak asasi rakyat dapat menimbulkan berbagai kompleksitas
konflik kepentingan sosial.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, apapun alasannya tentang
tindakan pembenaran diri sendiri dengan alasan jabatan publik, hal tersebut
merupakan suatu hal yang tidak mendidik karena demokratisasi dan
persamaan didepan hukum merupakan suatu rumusan hukum universal yang
tidak membeda-bedakan harkat martabat manusia. Siapa pun yang melakukan
pelanggaran wajib dijatuhi hukuman setimpal dengan apa yang dilakukannya.
Dengan demikian, sebaiknya kita tidak perlu menciptakan kamuflase hukum
serupa itu untuk mencari perlindungan dari hukum.
Dengan begitu, ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 bukan
keistimewaan untuk melindungi hak imunitas anggota DPR dalam
berpendapat dan berbicara, melainkan bentuk perlindungan terhadap kejahatan
dengan memanfaatkan jabatan publik yang bersifat diskriminatif karena tidak
didasari alasan hukum yang jelas. Hukum tidak boleh hanya menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin
kepentingan keadilan bagi semua warga negara.
67
B.
Kedudukan Hukum Anggota DPR yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana Ditinjau Dari Asas Independensi Peradilan
Sehubungan dengan upaya menegakkan persamaan di depan hukum
diperlukan pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kekuasaan di bidang peradilan harus merupakan kekuasaan yang mandiri,
kekuasaan yang bebas dan tidak memihak. Kemandirian peradilan merupakan
syarat mutlak tegaknya negara hukum. Independensi lembaga peradilan
merupakan salah satu pilar penting dalam negara hukum karena bagaimanapun
faktor eksternal kemadirian aparatur dan lemabaga peradilan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari penilaian masyarakat. Dalam melaksanakan
fungsinya, kekuasaan peradilan tidak bisa dicampuri dan atau diintervensi oleh
lembaga apapun.
Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara kesatuan Republik
Indonesia telah memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan lembaga
peradilan yang bebas dan merdeka. Hal ini terlihat dalam penjelasan Pasal 24
UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Karenanya bagi
Indonesia, keberadaan lembaga peradilan yang bebas adalah mutlak penting.
Melihat pada ketentuan konstitusi tersebut, kita sudah sepantasnya
menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para pendiri bangsa ini yang
memiliki pandangan yang jauh ke depan melebihi zamannya, yang meletakkan
dasar-dasar negara hukum dalam konstitusi Republik Indonesia. Sebagai
68
negara berdasarkan hukum maka menjadi syarat fundamental bahwa peradilan
harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri atau mandiri, lepas dan
terpisah dari kekuasaan pemerintah. Peradilan yang mandiri merupakan salah
satu sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki
agar kekuasaan negara dibatasi.
Bahwa dengan melihat ketentuan Pasal 245 UU MD3 yang telah
mengisyaratkan adanya permintaan izin tertulis bagi aparat penegak hukum
yang hendak melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
kepada MKD. Apabila dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh
MKD paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya
permohonan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan baru
dapat dilakukan. Dalam Pasal 245 tersebut terdapat beberapa unsur yang
mengandung nilai yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu adanya ketentuan permintaan izin
tertulis kepada MKD, posisi MKD itu sediri, dan ketentuan waktu 30 hari
untuk menungggu apabila tidak ada izin tertulis yang dikeluarkan oleh MKD.
Adanya persyaratan izin dari MKD, terlepas dari soal batas waktu dan
pengecualian,
sesungguhnya
merupakan
bentuk
intervensi
kekuasaan
kehakiman. Sebab proses penyelidikan dan penyidikan berupa pemanggilan
dan permintaan keterangan dari tersangka merupakan bagian tidak terpisahkan
dari kekuasaan kehakiman. Selain itu Mahkamah Konstitusi memutuskan
69
dalam putusan No 73/PUU-IX/2011 bahwa, dengan adanya syarat persetujuan
tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan
menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung
mengintervensi sistem penegakan keadilan.
Jika kita melihat latar belakang diberlakukannya prosedur izin
penyidikan sebelum memeriksa pejabat negara ialah dalam rangka melindungi
harkat, martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar
diperlakukan secara hati-hati, cermat dan tidak sembrono serta tidak
sewenang-wenang. Rasionalisasinya karena pejabat negara dan lembaga
negara itu merupakan personifikasi dari sebuah negara.
Bahkan dalam masa lalu dikenal forum privilegiatum yaitu hak khusus
yang diberikan untuk pejabat-pejabat negara tertentu agar dapat menjalani
proses hukum secara cepat dan tepat sehingga prosesnya hanya ada di satu
tingkatan dan langsung bersifat final dan mengikat. Dari segi prosesnya, persis
dengan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin
integritas proses cepat tersebut, hak khusus ini biasanya dilakukan di
pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) dan proses penyidikan dan
penuntutannya pun dilakukan secara khusus. Dalam catatan sejarah forum
previlegiatum yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya, mengapa forum
previlegiatum ditinggalkan karena tidak sesuai dengan asas-asas dalam sistem
peradilan pidana yang terus berkembang seperti; (i) asas persamaan di depan
hukum, karena di dalam prosedur izin terkandung perlindungan hukum bagi
70
pejabat negara yang tidak dimiliki oleh warga negara biasa, (ii) asas peradilan
cepat sederhana dan biaya ringan, sehingga secara tidak langsung
membutuhkan waktu yang lama dan melalui birokraasi yang panjang,
sehingga secara tidak langsung membutuhkan waktu dan biaya operasional
untuk mengurusnya, (iii) asas independensi peradilan, karena prosedur izin
secara tidak langsung dapat dijadikan alat intervensi terhadap penanganan
perkara pidana yang dilakukan penegak hukum atau bahkan sebagai
perlindungan terhadap perbuatan pidana.
Dengan demikian, yang harus menjadi catatan penting adalah bahwa
forum privilegiatum yang ideal adalah justru memberikan kekhususan bagi
pejabat negara dengan prosedur peradilan pidana yang dipercepat, terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, pejabat negara tetap dapat
menjalankan tugasnya degan baik tanpa melanggar prinsip persamaan di
depan hukum dan tidak mengintervensi pengadilan dengan menghambat
prosedur peradilan.
Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga etik merupakan
instrument lembaga di DPR untuk mengatur dan mengawasi disiplin dan etika
anggota DPR dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Oleh karena
anggota DPR merupakan pelaksana kedaulatan rakyat yang menjalankan
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan terhadap eksekutif, maka agar tidak
disalahgunakan
kewenangannya,
kedudukan
memerlukan pengawasan oleh lembaga etik.
sebagai
anggota
DPR
71
Apabila menelaah UU No 42 Tahun 2014 dapat dilihat bahwa MKD
merupakan alat kelengkapan DPR. Dari segi struktur MKD juga bukan
merupakan struktur yang lebih tinggi dari alat kelengkapan DPR lainnya.
Selain itu MKD diisi pula oleh anggota DPR sendiri yang sejajar secara
struktur dengan anggota DPR lainnya.
Dengan melihat dari kelembagaan MKD maka dapat dipastikan bahwa
MKD bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Dengan alasan
bahwa MKD adalah lembaga etik, yang mana anggotanya memiliki
kedudukan yang sejajar dengan anggota DPR lainnya untuk melakukan
penyelidikan dan verivikasi atas pengaduan terhadap anggota DPR, maka bisa
dipastikan akan ada perbenturan kepentingan dan pemeriksaan yang tidak
independen dan bebas, sebab didasarkan atas petimbangan subjektif, etis
politis, bukan atas dasar penegakan hukum.
Prosedur pemberian izin oleh MKD dalam melakukan pemeriksaan
anggota DPR justru merupakan salah satu hambatan dalam proses penegakan
hukum karena proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu
keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan, izin tertulis yang diminta dapat tidak
diberikan jawaban, yaitu apakah disetujui atau ditolak, sehingga penanganan
perkaranya menjadi tidak jelas dan terkatung-katung setidaknya selama 30
hari sebagaimana dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3.
Seharusnya, setiap tindakan yang melampaui wewenang harus dapat
dikendalikan dan dipulihkan. Hanya peradilan yang mandiri yang menegakkan
72
aturan dan keadilan dalam rangka mengendalikan tindakan negara atau
pemerintah yang melampaui wewenang atau tidak sesuai dengan tertib hukum
yang berlaku. Kebutuhan akan peradilan yang mandiri ini merupakan suatu
kebutuhan yang penting, sebab peradilan sebagai benteng terakhir bagi para
pencari keadilan dan sebagai tiang teras landasan negara hukum harus tegak
dan kokohnya ditengah-tengah masyarakat.
C.
Harmonisasi dan Sinkronisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun
2014 Dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dalam sistem hukum di Indonesia, terdapat jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan, yaitu Konstitusi atau UUD 1945 berada pada urutan
paling atas. Selain konstitusi, berturut-turut secara hierarki adalah UndangUndang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan perundangundangan tersebut tersusun dalam bertingkat, dimana peraturan yang lebih
tinggi lebih kuat dibandingkan dengan peraturan yang lebih rendah. Peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi.
Peraturan yang lebih tinggi merupakan sumber dari peraturan yang lebih
rendah. Apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang lebih rendah dan
yang lebih tinggi maka peraturan yang lebih rendah tidak dapat berlaku lagi.
Prinsip ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi
73
sehingga tercapai harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan
secara vertikal.
Disamping harmonisasi dan sinkronisasi secara vertikal, diperlukan pula
harmonisasi secara horizontal, yaitu harmonisasi dan sinkronisasi antara
peraturan perundang-undangan yang berada pada tinggkat yang sama.
Harmonisasi dan Sinkronisasi ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang
tindih pengaturan atau kekosongan hukum yang berdampak pada efektifitas
pelaksanaan suatu undang-undang. Peraturan perundang-undangan terkait
dengan Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, DPRD pada saat ini tersebar dalam beberapa peraturan perundangundangan, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2. Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
1. Undang-Undang Dasar 1945
Perkembangan suatu lembaga negara tidak dapat dipisahkan dari alur
sejarah
kehidupan
ketatanegaraan
itu
sendiri.
Demikian
pula
perkembangan suatu lembaga politik jelas tidak dapat dipisahkan dari
sejarah perkembangan politik yang bersangkutan. Salah satu tuntutan
reformasi 1998 adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945.
Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena masa
Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR, bukan di tangan rakyat.
Tujuan amandemen UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan
74
dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, perlindungan hak asasi
manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Dalam UUD 1945 unsur persamaan didepan hukum ini ditetapkan
dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara
sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Unsur ini dimuat dalam UUD 1945, bukan karena banyak negara juga
memuat dalam UUD negaranya. Akan tetapi bagi bangsa Indonesia, hal ini
mempunyai latar belakang-sejarah yang pahit dibawah pemerintah jajahan
Belanda. Waktu itu bangsa Indonesia yang disebut sebagai inlander adalah
warga negara kelas tiga, karena kedudukan hukumnya tidak sama dengan
golongan Eropa dan Timur Asing.
Pengalaman pahit tersebut telah memberikan motivasi bagi bangsa
Indonesia untuk menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia. Oleh
karena itu dalam rumusan Pasal 27 ayat (1) disamping kedudukan yang
sama didepan hukum juga kedudukan yang sama dalam pemerintahan.
Dengan demikian UUD 1945 menjamin kedudukan setiap warga negara di
depan hukum tanpa adanya diskriminasi ras, golongan, status atau pun
agama.
Sisi yang lain Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014, bahwa pemanggilan
dan permintaan keterangan untuk pemanggilan terhadap anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan
75
tertulis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Dengan adanya persetujuan
tertulis tersebut adanya pengistimewaan terhadap anggota DPR dalam
proses peradilan pidana. Padahal dalam UUD 1945 tidak mengenal akan
pembedaan kedudukan dalam hukum atau pengistimewaan, yang ada
hanya hak imunitas DPR yang dalam UU No 42 Tahun 2014 tercantum
dalam Pasal 224. Dengan demikian Pasal 245 bukan merupakan hak
imunitas.
Berkaitan dengan Indonesia sebagai negara hukum, salah satu prinsip
pokok yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam negara hukum yang
demokratis mensyaratkan adanya penghormatan dan penegakkan prinsip
independensi peradilan. Dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Lebih lanjut, berdasarkan Putusan MK No 6-13-2-/PUU-VII/2012,
bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal yang berkaitan dengan
penegakan hukum dan keadilan dalam menyelenggaraan sistem peradilan
pidana, sehingga sifat independensi peradilan meliputi keseluruhan proses
sistem peradilan pidana yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan putusan dan
pelaksanaan putusan.
Maka, proses penyelidikan dan penyidikan, yang salah satunya
adalah pemeriksaan tersangka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
kekuasaan kehakiman dalam konteks penegakan hukum. Oleh karena itu,
76
peradilan yang independen mensyaratkan kondisi-kondisi dimana aparat
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh memihak,
bekerja sesuai fakta-fakta dan sesuai dengan hukum, tanpa ada
pembatasan, ancaman, gangguan secara langsung atau tidak langsung dari
semua pihak manapun untuk alasan apapun.
Bahwa dengan melihat ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU No 42
Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Pada ayat (2) menyatakan
bahwa dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh MKD dalam
waktu 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan
permintaan untuk penyidikan baru dapat dilakukan. Ketentuan tersebut
sesungguhnya
dapat
diklasifikasikan
sebagai
bentuk
restrictions
(pembatasan-pembatasan) yang dilakukan oleh DPR dan berpotensi
menimbulkan pengaruh yang buruk dan gangguan secara langsung atau
tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum dalam upaya
menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu.
Sebab proses penyelidikan dan penyidikan berupa pemanggilan dan
permintaan keterangan dari tersangka merupakan bagian tidak terpisahkan
dari
kekuasaan
kehakiman
sebagaimana
yang
telah
disebutkan
sebelumnya. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun
2014 tersebut dapat berimlikasi proses penyidikan menjadi terhampat
karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan dari MKD. Bahkan, izin
77
dari MKD bisa saja tidak pernah ada jawaban apakah disetujui atau ditolak
sehingga
penanganan
perkaranya
menjadi
terkatung-katung
penyelesainnya.
Dengan adanya rentang waktu 30 (tiga puluh) hari sampai keluarnya
izin penyidikan oleh MKD, tersangka masih bebas menghirup udara
bebas, sehingga dikhawatirkan tersangka melarikan diri, menghilangkan
dan merusak barang bukti atau dapat mengulangi tindak pidana. Dengan
adanya keharusan yang menghendaki pemanggilan dan pemeriksaan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis
oleh MKD akan memperlambat dan menghambat penegkkan hukum.
Namun yang perlu dicermati adalah bahwa dalam negara hukum,
sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hierarkis
dan tidak boleh saling bertentangan diantara norma-norma hukumnya.
Sehingga jika terjadi konflik antara norma-norma hukum maka akan
tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada
dalam konstitusi. Dalam asas peraturan perundang-undangan menyebutkan
bahwa lex superior derogat legi inferiori, artinya hukum yang lebih tinggi
mengenyampingkan hukum yang lebih rendah.
Dalam sitem hukum Indonesia bahwa UUD 1945 merupakan lex
superior dan UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 sebagai legi inferiori.
Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tidak
harmonis dan tidak singkorn dengan Pasal 24 ayat (1), 27 ayat (1) UUD
1945. Dengan begitu, seharunya dalam pembentukan peraturan perundang-
78
undangan harus memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga peraturan yang
dibuat tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lain.
2. Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik
Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila unsur
supremasi hukum dijadikan sebagai landasan penyelenggaraan negara
termasuk memelihara dan melindungi hak-hak warga negara. Salah satu
bentuk perlindungan hak-hak warga negara tersebut tercantum dalam Pasal
14 Undang-Undang No 12 Tahun 2005 menyatakan semua orang
mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan
peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam
menentukan segala hak dan kewajiban dalam suatu gugatan, setiap orang
berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum.
Ketentuan dalam Pasal 14 UU No 12 Tahun 2015 tersebut
menghendaki bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum. Artinya, tidak ada yang diberikan keistimewaan bagi
siapa pun ketika berhadapan dengan hukum. Sementara itu, berdasarkan
ketentuan Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 menyatakan
bahwa, pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR yang diduga
79
melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
MKD. Dalam ketentuan Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 memberikan
keistimewaan terhadap anggota DPR ketika akan dilakukan pemanggilan
dan pemeriksaan untuk penyidikan. Padahal dalam Pasal 14 UU No 12
Tahun 2005 menghendaki bahwa setiap orang mempunyai kedukan yang
sama di hadapan hukum, tanpa membeda-bedakan status dan kedudukan.
Keadaan demikian diperlukan sistem peraturan perundang-undangan
yang harmonis, konsisten dan terintegrasi yang dijiwai oleh Pancasila dan
bersumber pada UUD 1945. Dengan menelaah ketentuan tersebut, yang
perlu dicermati bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
mengenal adanya asas lex spesialis derogate lex generalis atau hukum
yang khusus mengenyampingkan hukum yang umum. Pasal 245 UU No
42 Tahun 2014 merupakan lex spesialis dan Pasal 14 UU No 12 Tahun
2005 sebagai lex generalis.
Namun, meskipun berlaku khusus, tetap harus harus memperhatikan
asas-asas hukum yang umum dan tidak boleh melanggar hak-hak dasar
seseorang secara berlebihan. Sehingga, tidak ada disharmonisasi dan
tumpang tindih antara norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang menyebabkan kerancuan hukum, dalam sistem hukum di Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah penulis jelaskan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam
Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
DPR yang menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan
untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD tidak sesuai dengan
asas persamaan di depan hukum, karena menempatkan anggota DPR
diatas hukum, padahal asas persamaan di depan hukum menjamin
kedudukan yang setara dalam hukum dan tidak ada seseorang yang
berdiri diatas hukum.
2.
Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam
Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
DPR yang menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan
untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD tidak sesuai dengan
asas independensi peradilan. Karena, Mahkamah Kehormatan Dewan
merupakan lembaga etik DPR dan mempunyai kedudukan yang sama
80
81
dengan anggota DPR lainnya serta bukan merupakan bagian dari lembaga
peradilan.
3.
Dalam sistem hukum di Indonesia UUD 1945 merupakan norma hukum
yang tertinggi (lex Superior) sementara Pasal 245 Undang-Undang No
42 Tahun 2014 merupakan norma hukum yang lebih rendah (lex
inferiori). Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 245 Undang-Undang No
42 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945.
4.
Meskipun, Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 merupakan lex
spesialis akan tetapi kekhususan tersebut tidak merugikan hak asasi orang
lain dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum lain. Berkaitan
dengan hal tersebut, Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014
bertentangan dengan norma hukum pada Pasal 14 Undang-Undang N0 12
Tahun 2015 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
B. Saran
1. Berdasarkan hal-hal yang sudah dijelaskan diatas, bahwa begitu
pentingnya peranan DPR dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia
nampaknya masih belum lepas dari sorotan dari berbagai kalangan.
Sehingga, untuk seharusnya dalam membentuk peraturan perundangundangan DPR dapat mencerminkan rasa keadilan dan sebesar-besarnya
untuk kepentingan bangsa dan negara.
82
2. Selain itu, yang harus menjadi catatan penting untuk DPR sebagai
lembaga legislatif kedepannya adalah dalam membuat peraturan
perundang-undangan harus lebih memperhatikan asas-asas yang ada dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan secara optimal. Sehingga
tidak ada norma hukum yang saling bertentangan dan tumpang tindih
dalam sistem hukum di Indonesia.
3. Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, DPD yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini
telah dibatalkan sebagian oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 76/PUUXII/2014 sehari sebelum skripsi ini disidangkan (Selasa, 22 September
2015).
4. Penulis
menyarankan
untuk
penulisan selanjutnya terkait
proses
penyidikan anggota DPR lebih terfokus pada putusan Mahkamah
Konstitusi No 76/PUU-XII/2014 karena terjadi kontradiksi dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi No 73/PUU-IX/2011.
83
Daftar Pustaka
Buku :
Amos, H. F. Abraham. Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Peradilan
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ashhiddiqie, Jimliy. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
Jakarta:Sinar Grafika 2012
______, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi
dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004.
______, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen
Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
_______, Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta:Rajawali Press, 2009.
Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang UnsurUnsurnya. Jakarta:UI Press, 1995.
FORMAPPI. Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan
setelah perubahan UUD NRI 1945. Jakarta: FORMAPPI, 2005.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara. Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006.
Indrayanti, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta:Kanisius,
2007.
Kelsen, Hans. Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari
Theory of Law and State. New York: Russel and Russel, 1971.
General
Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaili. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Cet ke-6 , Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1985.
84
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia, Komplikasi Masalah
Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta:Gema
Insani Press, 1996.
Manan,Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2003.
MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.
Jakarta:Rajawali Press, 2012.
_______, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2011
Napitupulu, Paiman. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Bandung: PT Alumni,
2007.
Nurdin, Nurliah. Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat.
Jakarta: MIPI, 2012.
Pompe, Sebastian. The Indonesian Supreme Court: A Study of institutional
Collapse.
(Ithaca,
Mertukosumo,
Cornell
University,
Press
2005),
mengutip
S. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan sejak
1942 dan Apa Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, Bandung: Kilat
Madju, 1971.
Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Buku
Kompas, 2003.
Ranadireksa, Hendaramin. Aristektur Konstitusi Demokratik. Bandung: Fokus
Media, 2007.
Salang, Sebastian. Dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan.
Jakarta: Forum Sahabat, 2009.
Sibuea,Hotma P. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas
umum Pemerintahan Yang Baik. Jakarta:Erlangga, 2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3, Jakarta:UI Press, 1986.
Soekanto, Soerjono, dan Mamuji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakata:PT. Raja Grafindo ,1994 .
85
Suseno, Franz Magnis. Demokrasi: Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta:
Kencana, 2011.
Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan
Ekonomi Indoneisa. Jakarta:Buku Kompas, 2014.
Tutik, Titik Triwulan. Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD.
1945,Jakarta: Kencana , 2010.
Zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika, 2011.
Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia 1950
Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,
dan DPRD
Undang-Undangb No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib DPR
Peraturan DPR No 2 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan
86
Bahan Hukum Lain:
Aulawi, Ahmad. Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan
Pelaksanaan di Beberapa Negara. Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan
Hukum Nasional
Concise Oxford Dictionary-Tenth Edition, OXFORD UNIVERSITY PRESS,
Software Aplication.
Simorangkir, J. C. T. dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Majalah Detik 4-10 Agustus 2014
Susanti, Bivitri. Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum.
Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang
No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPR
Website:
Ali, Sjafri. “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR.”
artikel
diakses
pada
18
Mei
2015
dari
http://www.pikiranrakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panelmahkamah-kehormatan-dpr
Arsad, Acha Muhamad. “Putusan MK No 73/PUU-IX/2011 Harapan Baruku.”
artikel
diakses
pada
23
Mei
2015
dari,http://hukum.kompasiana.com/2013/05/11/putusan-mk-no-73puu-ix2011harapan-baruku-558858.html
Firdaus, Randi Ferdi.“UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,”
artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.merdeka.com/politik/uu-md3baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.htmlPikiran
Rakyat,
http://www.pikiran-rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakatmasuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr diakses pada 18 Mei 2015
87
Huda, Miftahul. “Forum Privilegiatum.” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari
http://www.miftakhulhuda.com/2010/01/forum-previlegiatum.html
Marbun, Julkifli. “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3
Menjadi Undang-Undang. Artikel diakses Pada 20 April 2015 Dari
http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/05/ng46tg-tanpa-interupsiparipurna-sahkan-revisi-uu-md3-undangundang
Nasrul, Erdy. “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan.” Artikel diakses
Sihombing, Erwin C. “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan.”
artikel
diakses
pada
18
Mei
2015
dari
http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3dianggap-layak-dihentikan.html
“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR.” diakses pada 18 Mei 2015 Dari
www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr
Victoria, Widya. “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar.” artikel diakses
pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/HindariBias,-Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar-
Download