PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH NIM: 1111048000012 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH NIM: 1111048000012 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M i PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM: 1111048000012 Pembimbing Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si NIP. 197412132003121002 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TIDAK PIDANA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelah Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum. Jakarta, 23 September 2015 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A NIP. 19691216 199603 1 001 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H NIP. 196911211994031001 (...........................) 2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. NIP. 196509081995031001 (...........................) 3. Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si NIP. 197412132003121002 (...........................) 4. Penguji I : Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H. NIP. 1954030319761110 (...........................) 5. Penguji II : Ismail Hasani, S.H., M.H. NIP. 1977121720071011002 (...........................) iii LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 23 September 2015 Muhamad Iqbal Hidayatullah iv ABSTRAK Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM 1111048000012. PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 82 halaman. Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPR menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Makhakah Kehormatan Dewan. Ayat (2) dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dilakukan. Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui posisi hukum pemberian persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan hukum dan independensi peradilan serta sinkronisasi dan harmonisasi pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan sejarah (history approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Sedangkan Pendekatan sejarah adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah latar belakang serta perdebatan dibentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pasal 245 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD mengenai pemberian persetujuan tertulis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak sesuai dengan asas persamaan didepan hukum dan independensi peradilan, serta adanya disharmonisasi norma hukum antara Pasal 245 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Kata Kunci : Izin Penyidikan, Anggota DPR, Mahkamah Kehormatan Dewan. v KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis secara baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 4. Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H., sebagai dosen penasihat akademik yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada penulis. 5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis. 6. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas cinta dan doa kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Achmad Mulyono dan Ibunda Masyitoh, yang telah memberikan segala dukungan baik materil maupun immateril sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1. 7. Adinda Tercinta, Diah Rahmatun Nazilah, Muhamad Habiburrahman dan Adib Fahri Syaeban yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S1. 8. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 khususnya, Angga Ariyana, Ilyas Aghnini, Andrio Muhadjir, Rifki Alpiandi, Juli vi Andreansyah, Lisanul Fikri, Waldan Mufathir, Muhammad Hambali, dan temanteman lainnya, terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta Raya (Hima-Cita), khususnya Muhammad As’ad, Nurkholis Mazied, Fauzi Nurkholis, Aminullah Asy’ari, Mala Himmatul Aulia, serta ang dan yayu lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini. 10. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), khususnya Ahmad Royani, Robi Cahyadi, Jordan Muhammad, Vickih Yahya Maulana, Dinata Firmansyah, Kang Zaki, Kang Lutfi Ghozali, Kang Sofi Mubarok serta sugawan dan sugawati lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin. Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesarbesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Jakarta, 23 September 2015 Penulis Muhamad Iqbal Hidayatullah vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... PESETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ABSTRAK .................................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................. i ii iii iv v vi viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................................... D. Metode Penelitian ........................................................................... E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 1 7 8 10 13 BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014.................................................................................................... B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang No 42 Tahun 2014..................................................................................................... 15 30 BAB III KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR A. Mahkamah Kehormatan Dewan......................................................... B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana .................................................................................... BAB 41 47 IV PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM A. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Persamaan Di Depan Hukum .................... B. Kdudukan Hukum Anggota DPR Yang Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Independensi Peradilan ......................................... C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya ........... viii 59 67 72 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................... B. Saran ..................................................................................................... 80 81 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 83 ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak Indonesia merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami beberapa peristiwa penting terkait bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan, hingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini. Hal ini merupakan bentuk dari dinamisasi masyarakat dan dinamisasi hukum di Indonesia. Salah satu hal yang menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tahun 1998. Selama melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh petinggi negeri ini pada waktu itu. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penyaklaran UUD 1945 tidak relevan dalam kehidupan bernegara. Selama empat tahun hingga 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) yang saat itu diketuai oleh Amien Rais dari Fraksi PAN melakukan empat kali perubahan yang amat mendasar terhadap UUD 1945. 1 2 Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).1 Di bidang legislasi, misalnya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-Undang. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang. Dengan demikian kedudukan DPR sangat penting dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan atau ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah negara demokrasi atau negara hukum.2 Pelbagai perubahan ke hal yang lebih baik antara lain DPR sudah mulai menjadi penyeimbang bagi pemerintah, dalam arti berfungsinya wewenang pengawasan yang diembanya dan bukan hanya sebagai “lembaga stempel” seperti di era sebelumnya. Bahwa tugas pelaksanaan pengawasan DPR adalah terhadap, pelaksanaan Undang-Undang, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945, terlebih penting sebagai legislator atau pembuat undang-undang. 1 Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Angggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat 2009), h. 21. 2 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:Kencana 2010), h. 1. 3 Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya DPR sebagai penentu dalam bentuk memberi persetujuan terhadap agenda kenegaraan yang meliputi: Menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian negara lain seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, Membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, Pasal 11 ayat 2 UUD 1945, Pengangkatan Hakim Agung, Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial yang tercantum dalam Pasal 24B ayat 3 UUD 1945. Perubahan lain pasca amandemen UUD 1945 ialah mengenai hak anggota DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.3 Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri dari anggota partai politik pemenang pemilu, dan anggota ABRI yang diangkat dengan keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangannya pada tahun 2003 Undang-Undang No 4 tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPRD diganti dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD karena dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2003 susunan keanggotan berubah, dalam Pasal 16 menyatakan 3 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006), h. 105-106. 4 bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara dalam Pasal 24 mengatakan bahwa Kedudukan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003 kemudian diganti dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, UU No 27 Tahun 2009 kemudian diganti dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian UU No 17 Tahun 2014 diganti dengan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Sisi yang lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat.4 Reformasi kelembagaan pada dasarnya merupakan harapan rakyat guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi dalam pelbagai kebijakan negara.5 Padahal UUD 1945 pasca amandemen ke-1 telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada DPR agar menjadi jembatan aspirasi dan kepentingan rakyat yang kokoh. Melalui fungsi strategisnya yakni legislasi, anggaran dan pengawasan yang merupakan bingkai dari peran representasi rakyat. 4 Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung:PT Alumni 2007), h. ix. 5 FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD NRI 1945, (Jakarta, FORMAPPI, 2005), h. 9. 5 Oleh karena itu untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya tersebut secara optimal, menurut Benny K Harman anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat memandang merasa perlu membentuk alat kelengkapan di DPR yang lebih kredibel yang bisa menjaga kehormatan dan martabat anggota dewan. Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (selanjutnya disebut MKD) sebagai pengganti Badan Kehormatan. Peran MKD ke depan diperkuat untuk menjaga integritas lembaga dan anggota DPR dalam melaksanakan fungsi, wewenang dan tugas DPR.6 Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang terhormat, oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.7 Pada sisi yang lain, menurut penulis kehadiran kewenangan MKD yang tertuang dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa 6 diakses Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel pada 18 Mei 2015 dari http://www.pikiran- rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamahkehormatan-dpr 7 Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada 10 November 2014 dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dprbentuk-mahkamah-kehormatan-dewan 6 pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR untuk penyidikan harus mendapatkan izin tertulis dari MKD tersebut dianggap dapat menghambat proses penegakan hukum dan membuat anggota dewan sulit tersentuh. Selain itu MKD sarat dengan konflik kepentingan. Dengan lahirnya MKD dianggap akan memperlambat proses peradilan karena adanya prosedur birokrasi perijinan, serta menambah biaya penegakan hukum yang secara otomatis terjadi karena rangkaian prosedur yang lebih lama serta tidak sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, serta bagaimana kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 245 tersebut jika ditinjau dari asas persamaan di depan hukum? Dalam konteks kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana institusi-institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi indikator demokrasi.8 Inti dari semua ini adalah pelembagaan nilai-nilai demokrasi dalam keseluruhan prosedur dan mekanisme kerja parlemen. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengorganisasian, tata tertib lembaga-lembaga perwakilan, dan regulasi-regulasi terkait dengan kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai institusi perwakilan rakyat yang kredibel, akuntabel, transparan, efektif, dan profesional. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judul penelitan mengenai “PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN 8 FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat… h. 9 7 TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA.” B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan studi pendahuluan maka pembatasan masalah terfokus pada Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana dan kedudukan hukum dari anggota DPR tersebut. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana Posisi Hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi peradilan? b. Bagaimana Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3 dengan Peraturan PerundangUndangan di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut; 8 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan penelitian adalah sebagai berikut ; a. Untuk mengetahui Posisi Hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi peradilan. b. Untuk mengetahui Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 UndangUndang No 42 Tahun 2014 dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis 1) Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan penulis baik dibidang hukum pada umumnya, maupun di bidang Hukum Tata Negara Khususnya. 2) Untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan Mahakamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta bagaimana kedudukan atau posisi hukum anggota DPR ditinjau dari asas persamaan didepan hukum. 9 3) Sebagai pedoman awal bagi penelitian yang ingin medalami masalah ini. b. Manfaat Praktis 1) Penulis berharap agar memberikan sumbangan pemikiran mengenai aspek Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. 2) Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun setiap pihak yang bekerja seharian di bidang hukum, khususnya Hukum Tata Negara. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, 9 yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, makalah-makalah dan hasil penelitian Kehormatan yang Dewan berkaitan dalam dengan memberikan kewenangan izin Mahkamah pemanggilan dan pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakata:PT. Raja Grafindo ,1994 ), h. 37. 10 serta kedudukan hukum anggota DPR tersebut jika ditinjau dari asas persamaan di depan hukum. 2. Pendekatan Masalah Sehubungan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan yaitu, pendekatan Pendekatan Perundang-undangan Sejarah, digunakan untuk dan Pendekatan mengungkap Sejarah. filosofis, kontekstualitas masa lahirnya Undang-Undang No 42 Tahun 2014. Pendekatan Perundang-undangan (Statute-Approach) adalah pendekatan dengan mengkaji lebih lanjut untuk menjawab rumusan masalah, dalam hal Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk menela’ah dan menganalisa bentuk pelaksanaan Mahkamah Kehormatan Dewan Memberikan Izin Penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta bagaimana kedudukan hukum dari anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014. 3. Sumber Data Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan Hukum Primer 11 Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang mencangkup ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai hukum10 yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3. 3) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3. 4) Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. b. Sumber Hukum Sekunder. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Lembaga Perwakilan Rakyat dan buku-buku hukum, Skripsi Hukum Tata Negara, Tesis Hukum Tata Negara ataupun materi-materi mengenai hukum yang berkaitan tentang Dewan Perwakilan Rakyat umumnya dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Khususnya. c. Bahan Hukum Tersier. Merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier 10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3 (Jakarta, UI Press, 1986), h. 52. 12 memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain-lain.11 4. Prosedur Pengumpulan Data Bahan hukum primer maupun sekunder serta tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan dijelaskan secara rinci berdasarkan sumber, sejarah, hirarki untuk dikaji secara komprehensif. 5. Pengelolahan dan Analisa Pengolahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD 1945, Peraturan Perundang-undangan, dan bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengelolaan bahan hukum dilakukan secara mendalam tentang Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Analisa sejarah berlakunya aturan tersebut melalui pelaksaan Undang-Undang 42 Tahun 2014. Lalu analisa yuridis perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan. 11 Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 32. 13 E. Sitematika Penelitian Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing masing bab terdiri atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut. BAB I : Pada bab ini berisi tentang pendahuluan mengenai latar belakang, pembatatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sitematika penulisan. BAB II : Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang terbentuknya Undang-Undang No 17 Tahun 2014, dan perdebatan dalam pembentukan Undang-Undang tersebut. BAB III :Menguraikan tentang Mahkamah Kehormatan Dewan dan mekanisme pemberian izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta Kedudukan hukum Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. BAB IV :Menganalisa kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi peradilan serta menganalisa bagaimana Harmonisasi dan Sinkronisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan anggota DPR dengan peraturan perundang-undangan lain. 14 BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran dan kritik yang perlu pada permasalahan penelitian. BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 14 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.12 Hal ini tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 Aline ke IV yang berbunyi sebagai berikut: “…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut maka pembentukan berbagai peraturan di Negara Indonesia menjadi sangat penting, oleh karena campur tangan negara dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, 12 Penjelasan mengenai negara hukum serta perbedaan rechtstaat dan rule of law akan dijelaskan kemudian. 15 16 lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan dengan proses legislasi.13 Ide negara berdasarkan hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, karya awalnya Politea (the Republic) berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.14 Gasasan yang dikemukakan Plato tersebut berasal dari bentuk keprihatinannya yang melihat kondisi kota Athena pada waktu itu. Pada zaman itu Raja yang berkuasa di kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Dalam gagasan negara ideal Plato, penguasa yang memerintah seharusnya memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan. Dalam karya Plato yang lain Politicos, Plato sudah memberikan perhatian yang cukup penting terhadap hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara. Namun, fungsi dan kedudukan hukum dalam gagasan Plato belum sama seperti dalam ide negara hukum di zaman modern.15 Kedudukan dan fungsi hukum sangat penting baru tampak dalam karya Plato yang berikutnya, Nomoi. Plato dalam karyanya itu, ia sudah memberikan perhatian dan arti penting terhadap hukum, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus diatur 13 Maria Farida Indrayanti, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 1. 14 Jimliy Ashhiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 129. 15 Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 14. 17 oleh hukum. Cita Plato dalam Nomoi kemudian ditegaskan oleh muridnya Aristoteles dalam karyanya Politica, menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang selayaknya.16 Aristoteles adalah filsuf terakhir yang membicarakan ide negara hukum sehingga ia dianggap sebagai penutup diskursus mengenai ide negara hukum klasik. Setelah zaman Aristoteles, ide negara hukum tidak lagi pernah diperbincangkan serta tidak mendapat perhatian dari filsuf selama beberapa abab setelahnya. Barulah pada abad ke-17 dan 18, ide negara hukum kembali diperbincangkan di Eropa Barat.17 Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechtstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Labant, Julius Stahl. Adapun dalam tradisi Anglo Saxon konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A. V Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah Nomokrasi yang berarti penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtstaat mencakup empat elemen penting yaitu, pembagian kekuasaan, perlindungan hak 16 asasi manusia, pemerintah Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang UnsurUnsurnya, (Jakarta:UI Press, 1995), h. 20. 17 Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum …h. 19. 18 berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara. Adapun A.V Dicey menyebutkan tiga ciri penting rule of law yaitu, supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan asas legalitas.18 Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Perkembangan negara hukum modern melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum. Prinsipprinsip terebut sebagai berikut:19 1. Supremasi Hukum. 2. Persamaan Di Depan Hukum. 3. Pembatasan Kekuasaan. 4. Organ-Organ Penunjang yang Independen. 5. Peradilan Tata Usaha Negara 6. Perlindungan Hak Asasi Manusia 7. Peradilan yang merdeka. 8. Bersifat Demokratis Delapan Ciri negara hukum modern yang penulis kemukakan di atas, terdapat salah satu prinsip penting sebagai salah satu ciri pokok negara hukum yaitu pembatasan kekuasaan.20 Dalam konsep ini kekuasaan dibagi 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 122. 19 Jimliy Ashhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 131. 20 Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan kekuasaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca 19 berdasarkan fungsinya. Pembagian tersebut menunjukan perbedaan antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konsep klasik yang diterapkan dibanyak negara ini dikenal sebagai trias politica, atau pemisahan kekuasaan. Konsep mengenai trias politica bermula dalam tulisan John Locke, Second Treaties of Civil Government yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke mambagi kekusaan negara dalam tiga fungsi yaitu, legislatif, eksekutif dan federatif. Oleh sarjana hukum Prancis, Baron de Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois yang merupakan karya utama Montesqueiu, karya tersebut merupakan salah satu karya yang paling tajam dan paling berpengaruh di antara karya-karya zaman pencerahan.21 Karya tersebut ditulis berdasarkan penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pandangan Montesquieu inilah kemudian dijadikan rujukan doktrin saparation of power. 22 Amandemen (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 34., sedangkan literatur lain menyebutkan dengan istilah pembagian kekuasaan, lihat, Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), h. 181. 21 Franz Magnis-Seseno, Demokrasi: Klasik dan Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 80. 22 h.283. Jimliy Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 20 Bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana ini tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif. John Locke lebih melihatnya dari hubungan dengan negara lain sebab kekuasaan yudikatif sudah termasuk dalam kekuasaan federatif. Sementara Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif, Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari hak asasi manusia setiap warga negara. Sebaliknya Montesquieu mengatakan bahwa fungsi hubungan luar negeri merupakan bagian dari fungsi eksekutif sementara kekuasaan yudikatif itu harus terpisah dari kekuasaan lain agar dapat berdiri sendiri tanpa memihak pihak manapun.23 Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum.24 Pembahasan yang berkembang selanjutnya cenderung berkaitan dengan penerapan konsep pemisahan kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquieu, dalam penyelenggraaan negara. Sir Ivor Jennings melalui teori dalam bukunya The Law and the Constitution menyanggah konsep pemisahan kekuasaan dalam trias politica dengan mendasarkan pada kenyataan di Inggris bahwa lembaga eksekutif turut serta dalam proses pembuatan undangundang.25 Jennings berpendapat, pelaksanaan trias politica secara konsekuen 23 Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis… h. 94. 24 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 88. 25 Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), h. 143. 21 seperti diungkapkan penyelenggaraan Montesquieu negara. amat Kenyataan sulit menunjukkan diwujudkan bahwa dalam pemisahan kekuasaan dilakukan hanya secara formil, artinya tidak dipertahankan secara tegas dalam konsep ini. Sehingga menurut Jenings konsep tersebut lebih tepat dinamakan pembagian kekuasaan (distribution of power).26 Jennings menggambarkan, apabila pembuatan undang-undang dalam suatu negara dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif maka konstitusi negara tersebut menganut asas pembagian kekuasaan.27 Sementara itu Artur Mass justru menggunakan istilah division of power untuk menyebut pembagian kekuasaan. Mass kemudian membagi lagi terminologi tersebut menjadi dua, yaitu: (1) capital divission of power untuk menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung pengertian pembagian kekuasaan yang bersifat horizontal; dan (2) territorial divisson of power yang bermakna pembagian kekuasaan secara vertikal serta menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat kewilayahan atau kedaerahan.28 Karena itu, doktrin pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin yang terbatas, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan. Kekuasaan legislatif bertugas membuat 26 undang-undang, Jennings mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (saparation of power) dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: (1) materiil, yaitu pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian legislatif, eksekutif dan yudikatif; (2) formil, yaitu apabila pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas sehingga lebih tepat disebut pembagian kekuasaan, ibid. 27 Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum.. h. 143. 28 Ibid. 22 Kekuasaan eksekutif menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif menafsirkan atau mengadili pelanggar undang-undang. Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataannya menunjukan bahwa hubungan antar cabang itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.29 Perjalanan lahirnya peraturan perangkat kelembagaan politik dalam konteks demokratisasi, dalam rangka usaha menciptakan check and balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar kelembagaan negara. Misalnya, untuk legislasi, check and balances mempunyai lima fungsi.30 Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, dimana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggung jawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun disinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga negara yang dominan tanpa kontrol dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, dimana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti Presidensial di Indonesia, diharapkan terjadi kontrol secara internal. Ketiga, fungsi 29 30 Jimliy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga … h. v. Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat, (Jakarta: MIPI, 2012), h. 248. 23 hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi akuntabiltas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya. Pada dasarnya prinsip check and balances ini untuk membatasi kesewenang-wenangan dalam konsep pembagian kekuasaan. Dengan adanya prinsip check and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaikbaiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dengan sebaikbaiknya.31 Hal yang terpenting dalam ide negara hukum bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal ini berhubungan dengan adagium yang dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Oleh sebab itu pembentukan hukum sangat penting. Pembentukan hukum secara bersamaan merupakan penerapan hukum.32 Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. 33 Hukum itu tidak boleh statis, tetapi harus dinamis, harus selalu diadakan perubahan sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan bermasyarakat 31 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2002), h. 115. 32 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), h. 192. 33 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 19. 24 dan bernegara. Apabila hukum hendak diganti dengan hukum yang baru maka diperlukan beberapa syarat agar hukum baru dapat berlaku secara efektif, syarat tersebut antar lain, hukum yang dibuat itu harus bersifat tetap, tidak bersifat ad hoc. Kemudian hukum yang baru tidak saling bertentangan satu sama lain, dan hukum yang baru itu harus tertulis dan dibuat oleh instansi yang berwenang.34 Jika didengar secara sekilas penyataan “hukum sebagai produk politik,” dalam pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tatanan ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut supremasi hukum, politik harus diposisikan sebagai variable yang terpengaruh oleh hukum. Mana yang benar dari kedua pernyataan tersebut?35 Secara metedologi ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, semuanya benar tergantung pada asumsi yang dipergunakan. Asumsi bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut pandang das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun secara das sein bahwa hukum yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatar belakanginya.36 34 Ibid. h. 4. 35 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 4. 36 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum… h.64. 25 Dasar keberadaan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 MPR, DPR, DPD, DPRD, bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang di dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip dari kedaulatan rakyat tersebut, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena itu salah satu hal penting dari amandemen UUD 1945 adalah penataan kembali sistem perwakilan.37 Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, yang dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang No 22 Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada undang-undang sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang sifatnya lebih luas. Hal 37 Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 62. 26 ini dilakukan dalam upaya pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD, DPRD. Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa undang-undang terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya berdasarkan kepentingan kelompok dan kompromi politik.38 Keberagaman kepentingan yang mengikuti anggota DPR akan makin bertambah rumit dengan satu kenyataan lain berupa kepentingan pribadi dari anggota DPR. Tidak dinafikan sama sekali, seorang anggota DPR memburu kepentingan-kepentingan diri dari peran dan status politik yang tengah disandangnya itu. 39 Kesan atau penilaian lainnya adalah DPR periode 2009-2014 kurang maksimal dalam menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak tercapainya Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan perwakilan politik, di tengah desakan tuntutan politik demokratisasi, juga menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPD yang juga terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala seperti ini membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokan keanggotaannya agar dapat secara maksimal mendorong 38 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, h. 5. 39 Sebastian Salang, Menghindari…. h. 10. 27 peran kelembagaannya yang produktif bagi produktivitas peranannya dalam agenda nasional. Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan subtansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik menyangkut MPR, DPR, DPD, DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari kelembagaan perwakilan politik tersebut. Bahkan, dalam konteks DPRD, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, sejak awal ketentuan dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 diletakkan pada bagian birokrasi pemerintah daerah, dan bukan sebagai badan legislatif di daerah, serta sejalan dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Sehingga campur tangan pemerintah pusat secara berlebihan tehadap politik pelaksanaan hak-hak keanggotaan dan kelembagaan DPRD sukar dihindarkan. Dalam rangka penguatan fungsi legislasi, DPR sebagai pelaksanaan amandemen UUD 1945, perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan peran DPR dalam proses perancangan, pembentukan, sekaligus pembahasan rancangan undang-undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik bahwa DPR bekerja kurang maksimal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Harapannya adalah agar DPR dapat menghasilkan produk-produk legislasi yang berkualitas serta berorientasi pada kebutuhan rakyat dan bangsa. Berkaitan dengan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu ditempatkan secara tepat dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan anatara pusat dan 28 daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22 D ayat (2) Undang-Undang Dasar. Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem pendukung yang menunjang fungsi serta tugas wewenang MPR, DPR, DPD, DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada dukungan sarana, prasarana dan anggaran, tetapi ada dukungan keahlian. Dengan demikian perlu adanya penataan kelembagaan Sekertariat Jenderal di MPR, DPR, DPD dan sekertariat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Hal ini diwujudkan dalam pengadaan sumber daya manusia, alokasi anggaran, sekaligus pertanggungjawaban publik unit pendukung dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, beberapa masalah yang menjadi kendala baik secara teknis maupun subtantif dari dua tingkatan pembenahan kelembagaan politik perwakilan, merupakan muatan dari revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dibentuk Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD guna meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan 29 lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pada prosesnya perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 disahkan pada pada tanggal 8 juli 2014. Setelah Undang-Undang No 17 Tahun 2014 ini disahkan, kembali diubah menjadi Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3 pada 5 Desember 2014. Dalam sidang paripurna perubahan undang-undang tersebut dihadiri oleh 281 dari 555 anggota dewan dan dipimpin langsung oleh ketua DPR, Setya Novanto.40 Namun, perubahan tersebut sarat dengan kepentingan politik. Perubahan tersebut diantaranya menyepakati delapan poin pasal dalam Undang-Undang MD3 terkait dengan kewenangan DPR, Pemilihan Pimpinan Komisi, Tugas Komisi, Pemilihan Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Badan Anggaran, Pimpinan Mahakamah Kehormatan Dewan, Pemilihan Pimpinan BURT. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal tersebut yaitu Pasal 17 ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 97, Pasal 98 ayat (7), (8), (9), Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121 dan Pasal 152. Sementara, terdapat penambahan pasal sisipan antara pasal 425 dan 426 yaitu Pasal 425A. 40 Julkifli Marbun, “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3 Menjadi Undang-Undang”, artikel diakses pada 20 April 2015 dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/05/ng46tg-tanpa-interupsi-paripurnasahkan-revisi-uu-md3-undangundang 30 Mengutip dari pernyataannya Satjipto Rahardjo bahwa setiap produk hukum bukan sesuatu yang mutlak sempurna. 41 Revisi peraturan perundang- undangan seperti ini lazim dilakukan untuk dua tujuan utama, yaitu: untuk menyesuaikan tuntutan dan kebutuhan baru karena perkembangan masyarakat dan zaman; dan memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan dan kelemahan peraturan perundang-undangan terkait.42 B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Untuk mengetahui kualitas rasa dari roti, kita tidak bisa hanya merasakan ketika memakannya saja, melainkan harus melihat apa saja bahanbahan dan bagaimana proses pembuatannya. Oleh karena itu, untuk mengetahui maksud yang di cita-citakan dari Undang-Undang No 42 Tahun 2014 kita tidak cukup hanya melihat atau memahami dari produk hukum tersebut, melainkan harus mengetahui bagaimana proses pembahasan dan beberapa perdebatan pokok dan sampai pengesahan undang-undang tersebut. Fungsi legislasi adalah fungsi merancang, membahas, dan memutuskan regulasi (Undang-Undang bagi DPR, atau Peraturan Daerah bagi DPRD). Fungsi pokok DPR di bidang legislasi ini diberikan oleh Pasal 20 UUD 1945 hasil amandemen. Seperti yang sudah penulis kemukakan dimuka, bahwa Undang-Undang No 42 Tahun 2014 adalah perubahan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2014 41 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), h. 131. 42 Sebastian Salang…. h. 2. 31 yang hanya merubah beberapa Pasal dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2014. Oleh karena itu penulis lebih menekankan pada perdebatan yang terjadi pada proses pembentukan Undang-Undang No 17 Tahun 2014. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) di atas terjadi beberapa perdebatan yang krusial. Pertama, terkait pertimbangan yang disampaikan oleh Tim Musyawarah bahwa bentuk rancangan undangundang diusulkan sebaiknya dalam bentuk pergantian. Namun usulan tersebut ditolak oleh F-PDIP yang diwakili oleh Arif Wibowo, menurutnya sistematika dalam RUU ini tetap sama dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 karena materi perubahan yang terdapat dalam RUU ini hanya 27,45% yang dibuktikan dari 408 Pasal hanya mengalami perubahan 112 Pasal, esensinya tidak berubah mengingat secara subtansi RUU ini tetap membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan perwakilan yang demokratis, efektif dan akuntabel sebagaimana esensi dan yang ada dalam UndangUndang No 27 Tahun 2009.43 Kemudian dari F-Partai Demokrat yang diwakili oleh Mulyadi menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No 27 Tahun 2009 merupakan keinginan dari kita semua dalam menjaga hak dalam melakukan melaksanakan hak konstitusional yang diimbangi dengan aspek-aspek tranparansi dan akuntabilitas.44 Hal tersebut dimulai dari 43 Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014) h. 23. 44 Ibid, h. 17. 32 penguatan terhadap anggota dewan, penguatan kepada komisi tanpa mengurangi fungsi Alat Kelengkapan Dewan, dan membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota dewan. Oleh karena itu dalam pasal-pasal yang termaktub dalam rancangan undang-undang MD3 ini termasuk pergantian. Senada dengan Mulyadi Pemerintah yang diwakili oleh Wicipto Setiadi mengatakan banyaknya Pasal baru yang masuk dalam revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009 menjadi salah satu alasan menjadi penggantian. Hasilnya dari 9 Fraksi, 6 menyatakan sependapat dengan Pemerintah. Keenam fraksi yang menyatakan penggantian adalah Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan Gerindra. Intinya lantaran ada perubahan subtansial. Misalnya badan dan alat kelengkapan. Sementara 3 Fraksi yang menyetujui dalam bentuk perubahan yaitu PKB, PDIP, Hanura.45 Kedua, terkait dengan pemilihan Pimpinan DPR. Paripurna penetapan RUU MD3 berjalan panas dan alot. Tiga fraksi di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), memutuskan walk out setelah muncul perubahan pasal 82 terkait mekanisme pimpinan DPR yang dinilai sebagai pasal siluman.46 Pasal 84 RUU MD3, yang notabene sebagai perubahan pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, memunculkan 45 Ibid, h. 45. 46 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 dari www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr 33 perdebatan yang panjang. Ada tiga alternatif pilihan yang ditawarkan pasal 84 RUU MD3. Alternatif pertama berisi sama seperti aturan pasal 82 UU MD3. Pasal itu menyatakan pimpinan DPR ditentukan berdasar asas proporsionalitas, yaitu parpol peraih kursi terbanyak mendapat jatah ketua DPR, sementara jatah wakil ketua DPR menjadi milik empat parpol peraih suara terbanyak kedua hingga kelima.47 Sementara itu, untuk alternatif kedua dan ketiga, penetapan kursi pimpinan DPR ditentukan dengan mekanisme pemilihan. Bedanya, alternatif kedua menetapkan pemilihan pimpinan DPR secara tunggal, sementara alternatif ketiga dilakukan dengan mekanisme paket pimpinan DPR. Dua kubu koalisi yang pernah bertarung di pilpres beradu pendapat pada penetapan RUU MD3. Kubu koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang berisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat berada dalam satu kubu yang mendukung alternatif kedua dan ketiga pada pasal 84 RUU MD3.48 Sementara itu, kubu koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berisi PDIP, PKB, dan Hanura bersikukuh untuk tidak mengubah ketentuan pasal 82 UU MD3 itu. Salah satu alasan utamanya, dalam pembahasan panitia khusus 47 Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 7. 48 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 dari www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr 34 (pansus) RUU MD3, tidak pernah muncul pembahasan terkait perubahan pasal 82 atau munculnya alternatif-alternatif di pasal 84 RUU MD3 itu.49 Abidin Fikri, anggota Pansus RUU MD3 dari Fraksi PDIP, saat menyampaikan interupsi mengatakan Fraksi PDIP mengikuti setiap proses, jam, menit, detik. Menurutnya, mereka tahu akan adanya pasal penyelundupan, yaitu di pasal 82 itu (pasal 84 RUU MD3). Perwakilan Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menegaskan, tidak pernah ada pembahasan terkait rancangan pasal 84, baik antarfraksi di DPR maupun pemerintah. Dalam rekaman rapat, Malik menyatakan tidak pernah disebutkan bahwa pansus memperdebatkan mekanisme pemilihan ketua DPR. ”Kapan pasal itu ditentukan? Kita rapat di Hotel Sahid, Ritz Carlton, tidak ada pembahasan,”.50 Tiga fraksi itu meminta agar pimpinan DPR menunda penetapan RUU MD3 untuk kemudian dilakukan pendalaman dan pematangan kembali. Namun, sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tersebut menyatakan bahwa paripurna akan tetap dilanjutkan dengan pengambilan keputusan mengingat mayoritas fraksi meminta penetapan dilakukan saat itu juga. Sesaat sebelum memutuskan walk out, Menurut Arif wibowo proses penetapan RUU MD3 ini harus memperhatikan aspek kepastian hukum, seharusnya keinginan untuk merubah pasal 82 dilakukan sebelum pelaksanaan 49 50 Ibid. Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 40. 35 Pemilu Legislatif pada 9 April 2014. Masuknya unsur perubahan Pasal 82 secara tiba-tiba setelah ditetapkannya pemilu legislatif menunjukan bahwa usulan tersebut telah merusak itikad demokrasi dan syarat dengan kepentingan tertentu yang bertentangan dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.51 Fraksi PDIP menyatakan tidak ikut bertanggung jawab terkait penetapan RUU MD3. Setelah walk out, paripurna yang berlangsung hingga pukul 20.30 itu berjalan singkat. Hanya dalam lima menit, enam fraksi secara aklamasi menetapan pilihan alternatif ketiga sebagai isi pasal 84, menggantikan isi pasal 82 UU MD3 lama. Menurut Priyo Budi Santoso pengesahan pasal tersebut sudah melalui mekanisme baku, tidak perlu penjelasan lagi.52 Ketiga, terkait dengan Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam Pasal 119 UU No 42 Tahun 2014. MKD dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Tujuan pembentukan MKD tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) bahwa MKD bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ada satu hal yang banyak disoroti oleh banyak kalangan mengenai pembentukan MKD ini, terkait dengan kewenangan MKD yang tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) UU No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga 51 Ibid, h. 24. 52 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 Dari www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr 36 melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Benny K Harman, anggota DPR dari F-Demokrat mengatakan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan Dewan terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan.53 Menurutnya, pembentukan MKD dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas serta menjamin agar anggota DPR tidak menjadi obyek perlakuan tidak wajar berdasar pengaduan atau laporan masyarakat. Namun pada pihak lain MKD tetap berada pada posisi untuk tidak melindungi anggota DPR yang nyatanyata terbukti melakukan tindakan melanggar etika dan peraturan perundangundangan.54 Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang terhormat. Oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk 53 Randi Ferdi Firdaus, “UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakanganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.html 54 diakses Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel pada 18 Mei 2015 dari http://www.pikiran- rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamahkehormatan-dpr 37 pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.55 Sementara Menurut Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-Golkar mengatakan bahwa anggota DPR tidak mempunyai atasan, ketua DPR dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan hanyalah jurubicara dan kordinator kegiatan, tidak ada kewenangan memberikan punishment yang mereka lakukan terhadap anggotanya. Oleh karenanya, menurut Tantowi, diperlukan satu instrument dalam struktur kedewanan yang bertugas mengawasi disiplin anggota, termasuk memberikan sanksi sesuai tata tertib. Tantowi mengatakan, sesungguhnya kita layak menaruh harapan tinggi kepada mahkamah ini. Oleh karenanya, wajar pula apabila pemanggilan anggota dewan yang terindikasi pelanggaran hukum kecuali pelanggaran berat seperti korupsi, kriminal dan sebagainya, harus terlebih dahulu seizin MKD.56 Pada sisi yang lain, menurut mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas pembentukan MKD berpotensi menghambat proses penegakan hukum, karena penegakan hukum harus bersifat cepat. Kritik selanjutnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. Menurut dia sejumlah pasal dalam RUU MD3 sengaja dibuat untuk membentengi anggota. Padahal jika sekedar pemanggilan dan permintaan 55 Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada 10 November 2014 dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dprbentuk-mahkamah-kehormatan-dewan 56 Widya Victoria, “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar,”, Artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/Hindari-Bias,- Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar- 38 keterangan untuk penyidikan, semestinya penegak hukum tidak perlu meminta izin pada siapapun. Menurut Rafly, kalau tidak merasa bersalah tidak usah ada ketakutan dan kekhawatiran dengan membuat MKD.57 Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3. Sebab, pasal tersebut mengatur pemeriksaan anggota DPR harus atas izin MKD. Ketentuan pemanggilan dan permintaan pemeriksaan anggota DPR harus dengan seizin MKD khususnya berkaitan dengan tindak pidana bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.58 Bukan hanya menunjukan adanya sikap diskriminatif, ketentuan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan hukum yang berbelit bahkan memberi ruang untuk menghilangkan alat bukti mengingat sulitnya memeriksa anggota DPR. Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang meliputi keseluruhan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan hukuman. Lebih aneh lagi, aturan ini juga diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.59 Penulis sendiri sangat setuju dengan pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan tersebut, karena bertujuan untuk lebih mengoptimalkan 57 Majalah Detik 4-10 Agustus 2014 58 Erwin C Sihombing, “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.beritasatu.com/nasional/195457diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html 59 Ibid. 39 kinerja dari anggota DPR. Selain itu kehadiran MKD juga untuk menjaga martabat dan kehormatan dari anggota DPR sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, dengan adanya kewenangan yang tercantum dalam pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat izin tertulis dari MKD penulis tidak setuju, karena selain dapat menghambat penegakan hukum, kewenangan tersebut menempatkan anggota DPR menjadi seakan kebal hukum. Pada intinya, proses penyusunan Undang-Undang bisa dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu sosiologis dan yuridis. Dalam tahap sosiologis, berlangsung proses-proses untuk mematangkan suatu masalah, sehingga bisa masuk ke dalam agenda yuridis, sedangkan dalam tahap yuridis dilakukan suatu perkerjaan yang benar-benar menyangkut perumusan suatu UndangUndang. Dalam perdebatan tersebut yang termasuk dalam tahap sosiologis adalah pada perdebatan yang pertama, sedangkan yang termasuk tahap yuridis adalah pada perdebatan kedua dan ketiga. Terlihat jelas dalam perdebatan di atas bahwa komposisi anggota legislator sangat menentukan dalam mengesahkan suatu undang-undang. Mengutip pandangan Satjipto Raharjo bahwa komposisi keanggotaan legislator juga sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan. Akibatnya, objektifitas dari semoboyan bahwa, Undang-Undang berdiri di atas semua golongan hanya merupakan suatu cita- 40 cita yang tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus terus diperjuangkan.60 60 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum… h. 130. BAB III KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR A. Mahkamah Kehormatan Dewan Anggota DPR menempati posisi dan peran sebagai perwakilan politik yang bersifat “menyuarakan” kepentingan dan aspirasi mereka yang diwakili. Ini berbeda dengan perwakilan politik yang dimainkan oleh pemerintah terpilih (melalui pemilu) dalam suatu pemerintahan perwakilan yang demokratis. Pemerintahan terpilih ditentukan oleh suara rakyat dalam suatu proses pemilu menjalankan peran yang bersifat “memenuhi” kebutuhan dan kehendak rakyat. Tata pemerintahan demokratis meniscayakan hubungan fungsional yang harus terjalin antara DPR dengan pemerintah terpilih, yakni: DPR menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat, pemerintah memenuhi kehendak dan kebutuhan rakyat yang terpantulkan dari aspirasi dan kepentingan yang disuarakan perwakilan politik, serta anggota DPR mengawasi proses pemenuhan kehendak dan kebutuhan. Hubungan fungsional seperti itu berlangsung secara berputar terus menerus yang disertai dengan dinamika internal untuk koreksi, perbaikan dan penyempurnaan baik terhadap dimensi proses maupun dimensi hasil dari hubungan tersebut. Kerangka kerja seperti ini menempatkan anggota DPR dalam posisi primer yang memberikan 41 42 input berupa tuntutan terhadap proses pembuatan kebijakan publik, dan dalam posisi pengawasan pada tahap implementasi kebijakan publik.61 Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, yang memiliki fungsi antara lain: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan demikian DPR memiliki fungsi politik yang strategis, yaitu sebagai lembaga penentu kebijakan kenegaraan.62 Mengingat begitu pentingnya posisi dan peran dari anggota DPR sebagai representasi rakyat belum menjamin bahwa kinerja dari anggota DPR sudah optimal. Tak sedikit dari anggota DPR terjerat kasus hukum seperti, korupsi dan melakukan tindak pidana, ditambah lagi dengan terlalu mudahnya anggota DPR untuk menjadi saksi dalam kasus korupsi misalnya. Hal tersebut membuat opini terhadap anggota DPR buruk. Hal tersebut juga diakui oleh wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin, bahwa saat ini parlemen sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, DPR hasil pemilu 2014 harus lebih baik dari pada sebelumnya.63 Oleh karena itu perbaikan kompetensi wakil rakyat mutlak diperlukan perbaikan. Salah satu bentuk perbaikan tersebut dapat dilihat dari dibentuknya alat kelengkapan DPR yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan, dalam Pasal 119 UU 61 Sebastian Salang, dkk,. Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 195. 62 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Jakarta: Kencana, 2010), h.193. 63 Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi Indoneisa, (Jakarta:Buku Kompas, 2014), h. 131. 43 No 42 Tahun 2014, menyatakan bahwa MKD dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pembentukan MKD bertujuan menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Terkait mengenai susunan dan keanggotaan MKD diatur dalam Pasal 120 UU 42 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa, DPR menetapkan susunan dan keanggotaan MKD yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota MKD berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna. Tata cara mengenai pemilihan susunan keanggotaan diatur dalam Pasal 79 Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yang menyatakan Pimpinan DPR mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi untuk menentukan komposisi keanggotaan MKD dengan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam hal untuk mufakat tidak tercapai dalam penentuan komposisi keputusan diambil berdasarkan keputusan terrbanyak dalam rapat paripurna. Kemudian Fraksi mengusulkan nama anggota MKD kepada pimpinan DPR sesuai dengan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Mengenai penggantian anggota MKD dapat dilakukan oleh fraksinya apabila anggota MKD yang bersangkutan berhalangan tetap atau ada pertimbangan lain dari fraksinya. 44 Terkait mengenai Pimpinan MKD diatur dalam Pasal 121 UU No 42 Tahun 2014 Pimpinan MKD merupakan satu kesatuan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Setiap Fraksi dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MKD. Sedangkan apabila pemilihan pimpinan MKD berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Pemilihan pimpinan MKD dilakukan dalam rapat MKD yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan MKD. Pimpinan MKD ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MKD diatur dalam Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yang tercantum dalam Pasal 80 yang menyatakan bahwa, Pimpinan MKD merupakan salah satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Paket yang bersifat tetap berlaku untuk fraksi. Setiap fraksi hanya boleh diwakili oleh 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MKD. Dalam mengusulkan paket bakal calon Pimpinan MKD dapat 45 memperhatikan keterwakilan perempuan. Paket calon pimpinan MKD yang bersifat tetap tersebut berlaku selama 5 (lima) tahun. Calon ketua dan wakil ketua diusulkan dalam rapat MKD yang dipimpin oleh pimpinan DPR secara tertulis oleh Fraksi dalam satu paket calon pimpinan MKD yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua dari fraksi yang berbeda untuk ditetapkan sebagai paket calon pimpinan MKD dalam rapat MKD. Pimpinan rapat MKD mengumumkan nama paket calon pimpinan MKD dalam rapat MKD. Paket calon pimpinan MKD dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat MKD. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, paket calon pimpinan MKD dipilih dengan pemungutan suara. Setiap anggota MKD memilih satu paket calon pimpinan MKD yang telah ditetapkan. Paket calon pimpinan MKD yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai ketua dan wakil ketua terpilih dalam rapat MKD. Dalam hal hanya terdapat satu paket calon pimpinan MKD, pimpinan rapat MKD langsung menetapkan menjadi pimpinan MKD. Pimpinan MKD ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR. Selanjutnya, mengenai fungsi, tugas dan wewenang MKD tercantum dalam Pasal 122 Undang-Undang 42 Tahun 2014 menyatakan bahwa, MKD bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena; tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah, tidak memenuhi syarat 46 sebagai anggota DPR, melanggar ketentuan larangan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini. Selain tugas MKD melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik. MKD berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang MKD diatur dalam Pasal 2 Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormartan Dewan, yang menyatakan bahwa MKD bertugas mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai, MPR, DPR, DPR, DPRD serta mengatur mengenai tata tertib dan kode etik. Selain itu, MKD bertugas menerima surat dari penegak hukum tentang pemberitahuan dan atau pemanggilan dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan pemanggilan dan pemeriksaan untuk penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Namun tugas yang MKD yang paling pokok dalam pembahasan ini adalah memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan keterangan dari pihak penegak hukum kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat anggota yang diduga melakukan tindak pidana. 47 Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, MKD berwenang untuk menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati tata tertib serta mencegah pelanggaran kode etik kepada seluruh anggota. Memantau perilaku dan kehadiran anggota dalam rapat. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, kredibilitas DPR. Melakukan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR. memanggil dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan atau melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib. B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Salah satu kewenangan MKD yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 yaitu; Pemangggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Pada ayat (2) dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh MKD paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. Selanjutya, pada ayat (3) menyatakan, ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku apabila, tertangkap 48 tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus. Ketentuan dalam Pasal 245 Undang-Undang No 14 Tahun 2014 tersebut tidak terlepas dari putusan Mahkamah konstitusi (MK) No 73/PUU-IX/2011, dalam putusan tersebut MK menghapus syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk memeriksa kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Keputusan tersebut dibacakan dalam sidang pembacaan uji materi (judicial review) Pasal 36 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.64 Putusan tersebut MK mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara.65 Namun pengkhususan tersebut tidak boleh sampai pada terhambatnya proses penegakan hukum. Terkait 64 Acha Muhamad Arsad, “Putusan MK No 73/PUU-IX/2011 Harapan Baruku,” artikel diakses pada 23 Mei 2015 dari, http://hukum.kompasiana.com/2013/05/11/putusan-mk- no-73puu-ix2011-harapan-baruku-558858.html 65 Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara sebagaimana dimaksudkan UUD 1945 dan pejabat negara yangb ditentukan oleh Undang-Undang. Pejabat Negara terdiri dari; Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota MPR, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Hakim Agung dan Hakim MK, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota. 49 pengkhususan tersebut menurut Bivitri Susanti ada dua pendekatan yang relevan digunakan yaitu, Forum Priveligiatum dan Parlimentery Priviliges.66 Forum Privilegiatum adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabatpejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus atau tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri.67 Hak khusus ini mulai ada pada sekitar abad ke-15 untuk bisa membawa pejabat-pejabat negara dan penguasa feodal pada masa itu yang tidak mau dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena merasa kedudukannya lebih tinggi dari pengadilan. Hak khusus ini diadakan untuk pejabat-pejabat tinggi negara agar bersedia masuk ke dalam ranah pengadilan dan di sisi lainnya berguna untuk publik karena bisa membuat penguasa bertanggung jawab di hadapan hukum. Di Belanda forum ini dilaksanakan oleh Hoog Raad (Mahkamah Agung) sejak 1893.68 Pada perkembangannya, wewenang Hoog Raad ini kemudian dibawa oleh pemerintahan kolonial ke Indonesia. Setelah kemerdekaan aturan ini terus diadopsi dan dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 (UUD RIS), maupun Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS). Pasal 106 UUDS 1950 menyatakan, Presiden, Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota 66 Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum, (Jakarta, Makalah, 9 Oktober 2014) 67 68 J. C. T. Simorangkir dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), h. 62-63. Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum, (Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014), h. 3. 50 Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan juga pegawaipegawai, Anggota-anggota Majelis-Majelis Tinggi, dan Pejabat-Pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili pada tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Agung, begitu pun sesudah mereka berhenti, berkaitan dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain oleh undang-undang.” Melihat Pasal 106 UUDS 1950 tersebut, Soepomo tidak menjelaskan dari mana asal muasal pasal ini. Ia hanya menyatakan bahwa pasal-pasal UUDS 1950 tersebut diambil dari Konstitusi RIS.69 Berdasarkan Pasal 106 UUDS 1950 mengenai Forum Privilegiatum ini, Menteri Negara Sultan Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo pernah diadili dengan mekanisme Forum Privilegiatum.70 Pada dasarnya, Forum Privilegiatum seharusnya dapat dijadikan sebagai penjaga gawang keadilan terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa atau para pejabat negara, tetapi mempunyai kesulitan jika diadili dengan pengadilan biasa.71 Namun pada perkembangan selanjutnya, Forum Privilegiatum kembali tidak diberlakukan seiring dengan diberlakukannya 69 R. Soepomo, Undang-Undang Sementara Republik Indonesia Serikat, (Jakarta: Noordhoff-koff, 1954) 70 Miftahul Huda, “Forum Privilegiatum,” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari http://www.miftakhulhuda.com/2010/01/forum-previlegiatum.html 71 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), h. 7. 51 kembali pada UUD 1945 pada tahun 1959 karena dianggap tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. 72 Pendekatan kedua dengan menggunakan konsep Parliamentary Privileges, dalam konsep Parliamentary Privileges yang biasa diterapkan parlemen Inggris dan Amerika Serikat mempunyai dua tujuan. Pertama, memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat dituntut secara perdata di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak imunitas, legislator dapat merasa tidak bebas dalam mengemukakan pendapat dan mendorong perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat secara hukum oleh lawan-lawan politiknya. Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator seakan-akan kebal hukum. Namun mereka tidak sepenuhnya kebal hukum. mereka hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya di dalam sidang. Namun di luar kapasitas semua sebagai wakil rakyat, legislator tetap sebagai warga negara biasa. Karena itulah, keistimewaan Parliamentary Privileges ataupun hak imunitas hanya berlaku gugatan perdata, khususnya untuk masalah pencemaran nama baik. Kemudian, untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut, dibuat pula perangkat peraturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat digunakan di dalam sidang parlemen. Kedua, efektifitas kerja mereka sebagai anggota dewan, bentuknya adalah perlindungan bagi anggota dewan untuk ditahan di dalam kasus perdata 72 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of institutional Collapse (Ithaca, Cornell University,Press 2005), mengutip S.Mertukosumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan Sejak 1942 dn Apa Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia,(Bandung:Kilatmaju,1971) 52 selama masa sidang. Hal yang terpenting dari konsep Parliamentary Privileges, tidak ada pengecualian sama sekali bagi mereka yang melanggar perkara-perkara pidana. Namun pada dasarnya pejabat negara memiliki hak istimewa yang melekat dalam jabatan yang dimilikinya yaitu hak kekebalan hukum, khususnya untuk kasus hukum yang masih memerlukan penyidikan pembuktian.73 Hak kekebalan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari atribut jabatan petinggi negara untuk menghindari diri dari konspirasi kejahatan terselubung. Oleh sebab itu, persoalan hak imunitas ini menjadi suatu perdebatan panjang yang patut untuk diperhatikan oleh pembuat undang-undang secara logis-rasional, untung-rugi serta baik buruknya karena ada niat pejabat negara memproteksi diri dari tindakan ancaman hukuman atau dengan kata lain, bersembunyi dibalik hukum untuk melepaskan diri dari perbuatan kejahatan. Hak kekebalan hukum merupakan sesuatu yang sangat sensitif karena jika hak itu hanya memproteksi kepentingan politik, akan menimbulkan berbagai macam preseden negatif publik bahwa DPR sengaja, menciptakan tipologi hukum yang subjektif individualistik hanya untuk menggerogoti dan membohongi rakyat, tetapi bertujuan untuk meluputkan diri mereka dari jerat hukum dan bertindak sewenang-wenang karena diberikan wewenang otoritas 73 Hendaramin Ranadireksa, Aristektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 283. 53 oleh hukum yang dibuatnya sendiri.74 Secara konstitusional hak imunitas DPR, telah diatur keberadaanya dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945, yang menyakan bahwa selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.75 Lalu bagaimana mekanisme yang harus dilakukan dalam menghadapi anggota DPR ketika ada anggota DPR yang terkena kasus pidana yang memerlukan klarifikasi dan penyelesaian hukum serta bagaimana kedudukan hukum anggota DPR tersebut? Dalam Peraturan DPR RI No 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menjelaskan mengenai mekanime pemberian persetujuan tertulis terhadap pemeriksaan dan pemanggilan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Terkait dengan mekanisme pemberian persetujuan ini terdapat 2 (dua) cara. Pertama, terkait dengan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR. Dalam Pasal 72 Peraturan DPR Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang berhubungan 74 H. F. Abraham Amos, Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Peradilan Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.178. 75 Ahmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan Pelaksanaan di Beberapa Negara, ( Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional) 54 dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya harus mendapatkan persetujuan tertulis MKD. Kemudian MKD menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada angggota atas dugaan melakukan tindak pidana, yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Setiap anggota yang mendapat surat pemanggilan dapat memberitahukan kepada MKD tentang isi pemanggilan dari pihak penegak hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan pemanggilan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan tersebut. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, MKD dapat meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana, yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Kemudian dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut MKD dapat meminta keterangan dari anggota yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila MKD tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota, surat pemanggilan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau batal demi hukum. Sedangkan apabila MKD memutuskan memberikan persetujuan tertulis atas pemanggilan anggota, MKD menerima surat pemberitahuan penggeledahan dan penyitaan dari penegak hukum. Dalam melakukan 55 penggeledahan dan penyitaan ditempat anggota diduga melakukan tindak pidana, penegak hukum didampingi oleh MKD. Kedua, mekanime pemberian persetujuan tertulis terhadap pemeriksaan dan pemanggilan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 73 menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Kemudian MKD menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Setiap anggota yang mendapat surat pemanggilan dapat memberitahukan kepada MKD tentang isi pemanggilan tersebut. Selanjutnya, dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh MKD paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari MKD dapat meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Dalam jangka waktu tersebut MKD dapat meminta keterangan dari anggota yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya. 56 Dalam hal MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan tertulis atas pemanggilan anggota, surat pemanggilan tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau batal demi hukum. Sedangkan apabila MKD memutuskan untuk memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota, MKD menerima surat pemberitahuan penggeledahan dan penyitaan dari penegak hukum. Selanjutnya, MKD mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat anggota diduga melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai persetujuan tertulis mengenai permintaan keterangan untuk penyidikan tidak berlaku jika anggota tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus. Pada proses selanjutnya adalah bagaimana kedudukan hukum anggota DPR tersebut? Ada prosedur tertentu yang harus dilalui. Tindakan yang harus dilakukan ketika anggota DPR dicurigai atau diduga melakukan sesuatu yang tidak terpuji yang tidak sesuai dengan martabat jabatan, adalah yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya terlebih dahulu. Tujuan pelepasan jabatan adalah untuk menempatkan Anggota DPR tersebut sebagai warga negara biasa. Dalam kedudukannya sebagai warga negara itulah proses bisa dilakukan.76 76 Hendaramin Ranadireksa, Aristektur Konstitus… h. 284. 57 Namun di dalam UU No 42 Tahun 2014 tidak mengatur mengenai kedudukan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 245. Dalam arti bahwa kedudukan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana masih aktif menjadi anggota. Akan tetapi dalam UU No 42 Tahun 2014 mengatur mengenai pelepasan jabatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 244, anggota DPR diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, atau menjadi terdakwa dalam perkara pidana khusus. Kemudian dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. Sedangkan apabila dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan. Mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam Pasal 68 Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan, bahwa, Pimpinan MKD memberitahukan kepada Pimpinan DPR tentang adanya Anggota yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Kemudian Pimpinan DPR mengirimkan surat untuk meminta status seorang anggota 58 yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana dari pejabat yang berwenang, baik dengan adanya pemberitahuan maupun tanpa adanya pemberitahuan dari pimpinan MKD. Selanjutnya, Pimpinan DPR setelah menerima surat keterangan mengenai status seorang anggota tersebut kemudian diteruskan kepada MKD. Setelah Pimpinan DPR menyerahkan kepada MKD, kemudian melakukan pemeriksaan mengenai status anggota tersebut dan diambil putusan. Dalam hal terkait Putusan status anggota oleh MKD tersebut selanjutnya dilaporkan kepada rapat paripurna untuk mendapat penetapan pemberhentian sementara dan disampaikan kepada partai politik anggota yang bersangkutan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak ditetapkan dalam rapat paripurna. Meskipun anggota diberhentikan sementara, anggota tersebut tetap mendapat hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Menurut pandangan penulis seharusnya anggota DPR yang diberhentikan sementara dicabut hak keuangannya sebagai konsekuensi dari pemberhentian sementara tersebut. BAB IV PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR DITINJAU DARI KONTEKS NEGARA HUKUM A. Kedudukan Hukum Anggota DPR yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Persamaan Di Depan Hukum Sebagai negara hukum yang telah menentukan Pancasila sebagai falsafah dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka semua aturan kenegaraan harus bersumber atau dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Dasar keberadaan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, bahwa UUD 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip tersebut perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat yang mampu mengaplikasikan nilainilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat agar sesuai dengan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Perubahan terhadap 59 60 UUD 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) dimaksudkan untuk memperkuat DPR sebagai lembaga legislatif. Pergeseran kekuasaan membentuk undangundang dari Presiden kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk memosisikkan fungsi lembaga negara secara tepat serta sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Pergeseran kekuasan untuk membentuk undang-undang tersebut pada hakekatnya merepresentasikan pendekatan pemisahan kekuasaan (saparation of power). Namun pada sisi yang lain, peliknya hubungan hukum dengan kekuasaan terletak pada relasi dilematis. Di satu pihak, hukum harus mendasari kekuasaan sementara di pihak lain, kekuasaan itu pula yang menciptakan hukum.77 Filsafat hukum memang mengajarkan adanya rechtside yaitu cita hukum yang harus membimbing arah perumusan norma-norma hukum. Cita hukum Indonesia ialah Pancasila sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Salah satu norma paling mendasar di dalam cita hukum itu ialah cita tentang keadilan. Artinya, hukum yang diciptakan haruslah hukum yang adil bagi semua pihak. Celakanya, di bidang hukum tata negara, unsur ketidakadilan dengan mudah akan menyelinap, entah sengaja atau tidak. Kekuasaan yang menciptakan hukum justru tidak sepenuhnya dapat menghindar dari upaya mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan status quo atau kepentingan legitimasi kekuasaan. 77 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Komplikasi Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h. 91. 61 Masalahnya, terdapat berbagai unsur dalam peraturan perundangundangan itu yang kurang mencerminkan asas-asas keadilan yang terkandung oleh rechtside dan kurang mampu mengimplementasikan jiwa dan semangat demokratis yang diamanatkan oleh pasal-pasal UUD 1945. Menurut R.W.M. Dias dalam bukunya “Jurisprudence” secara umum keadilan itu didasarkan pada pengertian equality (persamaan).78 Dalam konteks inilah, ditemukan berbagai sorotan tajam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan, seperti Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3. Dalam konteks kekinian pada Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 terdapat satu hal pokok mengenai pemangggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Berkaitan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, lalu bagaimana persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tersebut ditinjau dari asas persamaan di depan hukum. Asas persamaaan di depan hukum atau equality before the law adalah salah satu unsur dari negara hukum atau rule of law. Unsur ini juga merupakan salah satu upaya perlindungan hak asasi, karena itu warga negara diberi 78 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 102. 62 kedudukan yang sama di depan hukum.79 Jadi subyek hukum warga negara mendapat tempat yang sama sebagai pendukung hak dan kewajiban. Secara limitatif bahwa asas ini menghendaki adanya perlakuan yang sama antara orang yang satu dengan seorang lainnya (yang sama-sama sedang berada dalam proses peradilan pidana) dengan mengenyampingkan berbagai faktor yang ada pada orang-orang tersebut, sehingga proses hukum tersebut dapat berlangsung secara adil. Equality berasal dari bahasa Inggris dengan dasar kata equal. Kata Equal sendiri menurut Consice Oxford Dictionary diartikan sebagai “being the same in quantity, size, degree, value or status, terjemahan bebasnya “sama dalam jumlah, ukuran, derajat nilai, atau status (kedudukan).80 Istilah equality before the law ini merupakan istilah yang lazim digunakan dalam hukum tata negara, sebab hampir setiap negara mencantumkan ini dalam konstitusinya. Alasan mencantumkan equality before the law dalam suatu konstitusi karena hal ini merupakan norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia merupakan cita hukum dalam mewujudkan keadilan satu pihak dan dilain pihak sebagai sistem norma hukum. Dalam Pasal-Pasal yang tercantum di UUD 1945, baik yang mengenai warga negara maupun mengenai seluruh penduduk, memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang 79 Azhari, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya, ( Jakarta:UI-Press 1995), h. 131. 80 Concise Oxford Dictionary-Tenth Edition, OXFORD UNIVERSITY PRESS, Software Aplication. 63 bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesetaraan kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara saat berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada di atas maupun di bawah hukum. No man above the law dapat diartikan tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada orang-orang tertentu sebagai subjek hukum. Persamaan di depan hukum menjadi jaminan untuk mencapai keadilan (baca, hukum.-pen), tanpa pihak yang bisa lepas dari hukum ketika melakukan terlibat dalam proses penegakan hukum. Jaminan perlindungan hukum tersirat dalam prinsip equality before the law, yaitu ada jaminan mendapat perlakuan yang sama tetapi juga jaminan bahwa hukum tidak akan memberikan keistimewaan subjek hukum lain. Karena kalau terjadi demikian maka dapat melanggar prinsip persamaan di depan hukum dan mendorong terciptanya diskriminasi di depan hukum. Namun demikian, hak persamaan di depan hukum ini tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi berdasar atas pembatasan yang sah misalnya, pembatasan dalam periode waktu tertentu, peraturan terkait anak, orang dengan keterbatasan mental ataupun imunitas parlemen. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa imunitas parlemen dapat masih diperkenankan dan bukan 64 merupakan penyimpangan dari prinsip kesetaraan didepan hukum asalkan berdasarkan pada hukum. Pertanyaannya adalah apakah Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 dibentuk untuk menjaga hak imunitas DPR? Pada dasarnya secara hukum, hak imunitas DPR diatur dalam Pasal 224 Undang-Undang No 42Tahun 2014. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa Pasal 245 bukan hak imunitas anggota DPR. Menjadi rancu dan patut dipertanyakan apabila ada konsep perlindungan lain terhadap anggota DPR agar tidak diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang, padahal perlindungan tersebut sudah diatur dalam bentuk hak imunitas untuk anggota DPR yang secara khusus telah dijamin dalam Pasal 224 UU MD3. Dengan melihat ketentuan Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum. Maka dari itu anggota DPR dalam hal penegakkan hukum mestinya diperlakukan sama seperti warga lainnya. Tidak ada alasan yang rasional yang memberikan landasan argumentasi bahwa harus ada tahapan khusus berupa persetujuan tertulis oleh MKD tersebut bagi suatu pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan bagi anggota dewan. Kehormatan anggota dewan sebagai wakil rakyat tidak diukur dengan memberikan keistimewaan dalam proses penegakkan hukum. Justru 65 semestinya sebagai wakil rakyat anggota dewan harus memberikan contoh bagi rakyat dalam menjungjung tinggi hukum, berkomitmen dalam penegakkan hukum yang adil tanpa diskriminatif. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan harus adil, namun nyatanya seringkali tidak. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkannya merupakan proses dinamis yang memakan waktu, upaya ini didominasi oleh kekuatankekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Ketidaksetaraan dalam proses penegakan hukum merupakan ketidakadilan. Jika kita memulai dari premis bahwa secara umum orang seharusnya satu sama lain, bahwa mereka harus setara di muka hukum, maka pertanyaan kesetaraan itu sendiri otomatis teralihkan ke ranah politik. Karena jelas bahwa yang tidak kalah pentingnya adalah siapa yang membuat hukum. Problematika keadilan yang memutuskan apa yang setara dan apa yang tidak setara baru dapat diselesaikan jika dinyatakan bahwa penyelenggara negara terdapat sejumlah orang yang bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh berupaya menemukan kompromi antara kepentingan yang bertentangan. Maka tak ayal lagi jika tipologi hukum seperti itu akan membahayakan eksistensi kehidupan sosial karena tampak jelas hukum dibuat secara berat sebelah dan memberikan peluang seluas-luasnya pada anggota DPR untuk 66 melakukan hal apapun yang dikehendakinya. Jika ini terus dipertahankan sebagai legitimasi konstitusi yang berpihak pada anggota DPR dan mengabaikan hak asasi rakyat dapat menimbulkan berbagai kompleksitas konflik kepentingan sosial. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, apapun alasannya tentang tindakan pembenaran diri sendiri dengan alasan jabatan publik, hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mendidik karena demokratisasi dan persamaan didepan hukum merupakan suatu rumusan hukum universal yang tidak membeda-bedakan harkat martabat manusia. Siapa pun yang melakukan pelanggaran wajib dijatuhi hukuman setimpal dengan apa yang dilakukannya. Dengan demikian, sebaiknya kita tidak perlu menciptakan kamuflase hukum serupa itu untuk mencari perlindungan dari hukum. Dengan begitu, ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 bukan keistimewaan untuk melindungi hak imunitas anggota DPR dalam berpendapat dan berbicara, melainkan bentuk perlindungan terhadap kejahatan dengan memanfaatkan jabatan publik yang bersifat diskriminatif karena tidak didasari alasan hukum yang jelas. Hukum tidak boleh hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan bagi semua warga negara. 67 B. Kedudukan Hukum Anggota DPR yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Independensi Peradilan Sehubungan dengan upaya menegakkan persamaan di depan hukum diperlukan pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan di bidang peradilan harus merupakan kekuasaan yang mandiri, kekuasaan yang bebas dan tidak memihak. Kemandirian peradilan merupakan syarat mutlak tegaknya negara hukum. Independensi lembaga peradilan merupakan salah satu pilar penting dalam negara hukum karena bagaimanapun faktor eksternal kemadirian aparatur dan lemabaga peradilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penilaian masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya, kekuasaan peradilan tidak bisa dicampuri dan atau diintervensi oleh lembaga apapun. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia telah memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan lembaga peradilan yang bebas dan merdeka. Hal ini terlihat dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Karenanya bagi Indonesia, keberadaan lembaga peradilan yang bebas adalah mutlak penting. Melihat pada ketentuan konstitusi tersebut, kita sudah sepantasnya menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para pendiri bangsa ini yang memiliki pandangan yang jauh ke depan melebihi zamannya, yang meletakkan dasar-dasar negara hukum dalam konstitusi Republik Indonesia. Sebagai 68 negara berdasarkan hukum maka menjadi syarat fundamental bahwa peradilan harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri atau mandiri, lepas dan terpisah dari kekuasaan pemerintah. Peradilan yang mandiri merupakan salah satu sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi. Bahwa dengan melihat ketentuan Pasal 245 UU MD3 yang telah mengisyaratkan adanya permintaan izin tertulis bagi aparat penegak hukum yang hendak melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana kepada MKD. Apabila dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh MKD paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan baru dapat dilakukan. Dalam Pasal 245 tersebut terdapat beberapa unsur yang mengandung nilai yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu adanya ketentuan permintaan izin tertulis kepada MKD, posisi MKD itu sediri, dan ketentuan waktu 30 hari untuk menungggu apabila tidak ada izin tertulis yang dikeluarkan oleh MKD. Adanya persyaratan izin dari MKD, terlepas dari soal batas waktu dan pengecualian, sesungguhnya merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Sebab proses penyelidikan dan penyidikan berupa pemanggilan dan permintaan keterangan dari tersangka merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman. Selain itu Mahkamah Konstitusi memutuskan 69 dalam putusan No 73/PUU-IX/2011 bahwa, dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan. Jika kita melihat latar belakang diberlakukannya prosedur izin penyidikan sebelum memeriksa pejabat negara ialah dalam rangka melindungi harkat, martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan secara hati-hati, cermat dan tidak sembrono serta tidak sewenang-wenang. Rasionalisasinya karena pejabat negara dan lembaga negara itu merupakan personifikasi dari sebuah negara. Bahkan dalam masa lalu dikenal forum privilegiatum yaitu hak khusus yang diberikan untuk pejabat-pejabat negara tertentu agar dapat menjalani proses hukum secara cepat dan tepat sehingga prosesnya hanya ada di satu tingkatan dan langsung bersifat final dan mengikat. Dari segi prosesnya, persis dengan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin integritas proses cepat tersebut, hak khusus ini biasanya dilakukan di pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) dan proses penyidikan dan penuntutannya pun dilakukan secara khusus. Dalam catatan sejarah forum previlegiatum yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya, mengapa forum previlegiatum ditinggalkan karena tidak sesuai dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana yang terus berkembang seperti; (i) asas persamaan di depan hukum, karena di dalam prosedur izin terkandung perlindungan hukum bagi 70 pejabat negara yang tidak dimiliki oleh warga negara biasa, (ii) asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan, sehingga secara tidak langsung membutuhkan waktu yang lama dan melalui birokraasi yang panjang, sehingga secara tidak langsung membutuhkan waktu dan biaya operasional untuk mengurusnya, (iii) asas independensi peradilan, karena prosedur izin secara tidak langsung dapat dijadikan alat intervensi terhadap penanganan perkara pidana yang dilakukan penegak hukum atau bahkan sebagai perlindungan terhadap perbuatan pidana. Dengan demikian, yang harus menjadi catatan penting adalah bahwa forum privilegiatum yang ideal adalah justru memberikan kekhususan bagi pejabat negara dengan prosedur peradilan pidana yang dipercepat, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya degan baik tanpa melanggar prinsip persamaan di depan hukum dan tidak mengintervensi pengadilan dengan menghambat prosedur peradilan. Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga etik merupakan instrument lembaga di DPR untuk mengatur dan mengawasi disiplin dan etika anggota DPR dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Oleh karena anggota DPR merupakan pelaksana kedaulatan rakyat yang menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan terhadap eksekutif, maka agar tidak disalahgunakan kewenangannya, kedudukan memerlukan pengawasan oleh lembaga etik. sebagai anggota DPR 71 Apabila menelaah UU No 42 Tahun 2014 dapat dilihat bahwa MKD merupakan alat kelengkapan DPR. Dari segi struktur MKD juga bukan merupakan struktur yang lebih tinggi dari alat kelengkapan DPR lainnya. Selain itu MKD diisi pula oleh anggota DPR sendiri yang sejajar secara struktur dengan anggota DPR lainnya. Dengan melihat dari kelembagaan MKD maka dapat dipastikan bahwa MKD bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Dengan alasan bahwa MKD adalah lembaga etik, yang mana anggotanya memiliki kedudukan yang sejajar dengan anggota DPR lainnya untuk melakukan penyelidikan dan verivikasi atas pengaduan terhadap anggota DPR, maka bisa dipastikan akan ada perbenturan kepentingan dan pemeriksaan yang tidak independen dan bebas, sebab didasarkan atas petimbangan subjektif, etis politis, bukan atas dasar penegakan hukum. Prosedur pemberian izin oleh MKD dalam melakukan pemeriksaan anggota DPR justru merupakan salah satu hambatan dalam proses penegakan hukum karena proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan, izin tertulis yang diminta dapat tidak diberikan jawaban, yaitu apakah disetujui atau ditolak, sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak jelas dan terkatung-katung setidaknya selama 30 hari sebagaimana dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3. Seharusnya, setiap tindakan yang melampaui wewenang harus dapat dikendalikan dan dipulihkan. Hanya peradilan yang mandiri yang menegakkan 72 aturan dan keadilan dalam rangka mengendalikan tindakan negara atau pemerintah yang melampaui wewenang atau tidak sesuai dengan tertib hukum yang berlaku. Kebutuhan akan peradilan yang mandiri ini merupakan suatu kebutuhan yang penting, sebab peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan dan sebagai tiang teras landasan negara hukum harus tegak dan kokohnya ditengah-tengah masyarakat. C. Harmonisasi dan Sinkronisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dalam sistem hukum di Indonesia, terdapat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Konstitusi atau UUD 1945 berada pada urutan paling atas. Selain konstitusi, berturut-turut secara hierarki adalah UndangUndang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan perundangundangan tersebut tersusun dalam bertingkat, dimana peraturan yang lebih tinggi lebih kuat dibandingkan dengan peraturan yang lebih rendah. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Peraturan yang lebih tinggi merupakan sumber dari peraturan yang lebih rendah. Apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang lebih rendah dan yang lebih tinggi maka peraturan yang lebih rendah tidak dapat berlaku lagi. Prinsip ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi 73 sehingga tercapai harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal. Disamping harmonisasi dan sinkronisasi secara vertikal, diperlukan pula harmonisasi secara horizontal, yaitu harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan yang berada pada tinggkat yang sama. Harmonisasi dan Sinkronisasi ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan atau kekosongan hukum yang berdampak pada efektifitas pelaksanaan suatu undang-undang. Peraturan perundang-undangan terkait dengan Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD pada saat ini tersebar dalam beberapa peraturan perundangundangan, yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2. Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 1. Undang-Undang Dasar 1945 Perkembangan suatu lembaga negara tidak dapat dipisahkan dari alur sejarah kehidupan ketatanegaraan itu sendiri. Demikian pula perkembangan suatu lembaga politik jelas tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan politik yang bersangkutan. Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR, bukan di tangan rakyat. Tujuan amandemen UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan 74 dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Dalam UUD 1945 unsur persamaan didepan hukum ini ditetapkan dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Unsur ini dimuat dalam UUD 1945, bukan karena banyak negara juga memuat dalam UUD negaranya. Akan tetapi bagi bangsa Indonesia, hal ini mempunyai latar belakang-sejarah yang pahit dibawah pemerintah jajahan Belanda. Waktu itu bangsa Indonesia yang disebut sebagai inlander adalah warga negara kelas tiga, karena kedudukan hukumnya tidak sama dengan golongan Eropa dan Timur Asing. Pengalaman pahit tersebut telah memberikan motivasi bagi bangsa Indonesia untuk menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu dalam rumusan Pasal 27 ayat (1) disamping kedudukan yang sama didepan hukum juga kedudukan yang sama dalam pemerintahan. Dengan demikian UUD 1945 menjamin kedudukan setiap warga negara di depan hukum tanpa adanya diskriminasi ras, golongan, status atau pun agama. Sisi yang lain Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014, bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk pemanggilan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan 75 tertulis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Dengan adanya persetujuan tertulis tersebut adanya pengistimewaan terhadap anggota DPR dalam proses peradilan pidana. Padahal dalam UUD 1945 tidak mengenal akan pembedaan kedudukan dalam hukum atau pengistimewaan, yang ada hanya hak imunitas DPR yang dalam UU No 42 Tahun 2014 tercantum dalam Pasal 224. Dengan demikian Pasal 245 bukan merupakan hak imunitas. Berkaitan dengan Indonesia sebagai negara hukum, salah satu prinsip pokok yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam negara hukum yang demokratis mensyaratkan adanya penghormatan dan penegakkan prinsip independensi peradilan. Dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lebih lanjut, berdasarkan Putusan MK No 6-13-2-/PUU-VII/2012, bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam menyelenggaraan sistem peradilan pidana, sehingga sifat independensi peradilan meliputi keseluruhan proses sistem peradilan pidana yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan putusan dan pelaksanaan putusan. Maka, proses penyelidikan dan penyidikan, yang salah satunya adalah pemeriksaan tersangka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman dalam konteks penegakan hukum. Oleh karena itu, 76 peradilan yang independen mensyaratkan kondisi-kondisi dimana aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh memihak, bekerja sesuai fakta-fakta dan sesuai dengan hukum, tanpa ada pembatasan, ancaman, gangguan secara langsung atau tidak langsung dari semua pihak manapun untuk alasan apapun. Bahwa dengan melihat ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Pada ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh MKD dalam waktu 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan untuk penyidikan baru dapat dilakukan. Ketentuan tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan sebagai bentuk restrictions (pembatasan-pembatasan) yang dilakukan oleh DPR dan berpotensi menimbulkan pengaruh yang buruk dan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum dalam upaya menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu. Sebab proses penyelidikan dan penyidikan berupa pemanggilan dan permintaan keterangan dari tersangka merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tersebut dapat berimlikasi proses penyidikan menjadi terhampat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan dari MKD. Bahkan, izin 77 dari MKD bisa saja tidak pernah ada jawaban apakah disetujui atau ditolak sehingga penanganan perkaranya menjadi terkatung-katung penyelesainnya. Dengan adanya rentang waktu 30 (tiga puluh) hari sampai keluarnya izin penyidikan oleh MKD, tersangka masih bebas menghirup udara bebas, sehingga dikhawatirkan tersangka melarikan diri, menghilangkan dan merusak barang bukti atau dapat mengulangi tindak pidana. Dengan adanya keharusan yang menghendaki pemanggilan dan pemeriksaan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis oleh MKD akan memperlambat dan menghambat penegkkan hukum. Namun yang perlu dicermati adalah bahwa dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hierarkis dan tidak boleh saling bertentangan diantara norma-norma hukumnya. Sehingga jika terjadi konflik antara norma-norma hukum maka akan tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. Dalam asas peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa lex superior derogat legi inferiori, artinya hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang lebih rendah. Dalam sitem hukum Indonesia bahwa UUD 1945 merupakan lex superior dan UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 sebagai legi inferiori. Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tidak harmonis dan tidak singkorn dengan Pasal 24 ayat (1), 27 ayat (1) UUD 1945. Dengan begitu, seharunya dalam pembentukan peraturan perundang- 78 undangan harus memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. 2. Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila unsur supremasi hukum dijadikan sebagai landasan penyelenggaraan negara termasuk memelihara dan melindungi hak-hak warga negara. Salah satu bentuk perlindungan hak-hak warga negara tersebut tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 2005 menyatakan semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajiban dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum. Ketentuan dalam Pasal 14 UU No 12 Tahun 2015 tersebut menghendaki bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Artinya, tidak ada yang diberikan keistimewaan bagi siapa pun ketika berhadapan dengan hukum. Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 menyatakan bahwa, pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR yang diduga 79 melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Dalam ketentuan Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 memberikan keistimewaan terhadap anggota DPR ketika akan dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan untuk penyidikan. Padahal dalam Pasal 14 UU No 12 Tahun 2005 menghendaki bahwa setiap orang mempunyai kedukan yang sama di hadapan hukum, tanpa membeda-bedakan status dan kedudukan. Keadaan demikian diperlukan sistem peraturan perundang-undangan yang harmonis, konsisten dan terintegrasi yang dijiwai oleh Pancasila dan bersumber pada UUD 1945. Dengan menelaah ketentuan tersebut, yang perlu dicermati bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengenal adanya asas lex spesialis derogate lex generalis atau hukum yang khusus mengenyampingkan hukum yang umum. Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 merupakan lex spesialis dan Pasal 14 UU No 12 Tahun 2005 sebagai lex generalis. Namun, meskipun berlaku khusus, tetap harus harus memperhatikan asas-asas hukum yang umum dan tidak boleh melanggar hak-hak dasar seseorang secara berlebihan. Sehingga, tidak ada disharmonisasi dan tumpang tindih antara norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang menyebabkan kerancuan hukum, dalam sistem hukum di Indonesia. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis jelaskan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPR yang menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD tidak sesuai dengan asas persamaan di depan hukum, karena menempatkan anggota DPR diatas hukum, padahal asas persamaan di depan hukum menjamin kedudukan yang setara dalam hukum dan tidak ada seseorang yang berdiri diatas hukum. 2. Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPR yang menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD tidak sesuai dengan asas independensi peradilan. Karena, Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan lembaga etik DPR dan mempunyai kedudukan yang sama 80 81 dengan anggota DPR lainnya serta bukan merupakan bagian dari lembaga peradilan. 3. Dalam sistem hukum di Indonesia UUD 1945 merupakan norma hukum yang tertinggi (lex Superior) sementara Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 merupakan norma hukum yang lebih rendah (lex inferiori). Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. 4. Meskipun, Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 merupakan lex spesialis akan tetapi kekhususan tersebut tidak merugikan hak asasi orang lain dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum lain. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 bertentangan dengan norma hukum pada Pasal 14 Undang-Undang N0 12 Tahun 2015 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. B. Saran 1. Berdasarkan hal-hal yang sudah dijelaskan diatas, bahwa begitu pentingnya peranan DPR dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia nampaknya masih belum lepas dari sorotan dari berbagai kalangan. Sehingga, untuk seharusnya dalam membentuk peraturan perundangundangan DPR dapat mencerminkan rasa keadilan dan sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa dan negara. 82 2. Selain itu, yang harus menjadi catatan penting untuk DPR sebagai lembaga legislatif kedepannya adalah dalam membuat peraturan perundang-undangan harus lebih memperhatikan asas-asas yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan secara optimal. Sehingga tidak ada norma hukum yang saling bertentangan dan tumpang tindih dalam sistem hukum di Indonesia. 3. Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPD yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini telah dibatalkan sebagian oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 76/PUUXII/2014 sehari sebelum skripsi ini disidangkan (Selasa, 22 September 2015). 4. Penulis menyarankan untuk penulisan selanjutnya terkait proses penyidikan anggota DPR lebih terfokus pada putusan Mahkamah Konstitusi No 76/PUU-XII/2014 karena terjadi kontradiksi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 73/PUU-IX/2011. 83 Daftar Pustaka Buku : Amos, H. F. Abraham. Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Peradilan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Ashhiddiqie, Jimliy. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:Sinar Grafika 2012 ______, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. ______, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. _______, Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta:Rajawali Press, 2009. Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang UnsurUnsurnya. Jakarta:UI Press, 1995. FORMAPPI. Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD NRI 1945. Jakarta: FORMAPPI, 2005. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara. Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006. Indrayanti, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta:Kanisius, 2007. Kelsen, Hans. Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari Theory of Law and State. New York: Russel and Russel, 1971. General Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaili. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cet ke-6 , Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985. 84 Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia, Komplikasi Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta:Gema Insani Press, 1996. Manan,Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2003. MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta:Rajawali Press, 2012. _______, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2011 Napitupulu, Paiman. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Bandung: PT Alumni, 2007. Nurdin, Nurliah. Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat. Jakarta: MIPI, 2012. Pompe, Sebastian. The Indonesian Supreme Court: A Study of institutional Collapse. (Ithaca, Mertukosumo, Cornell University, Press 2005), mengutip S. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan sejak 1942 dan Apa Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, Bandung: Kilat Madju, 1971. Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2003. Ranadireksa, Hendaramin. Aristektur Konstitusi Demokratik. Bandung: Fokus Media, 2007. Salang, Sebastian. Dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum Sahabat, 2009. Sibuea,Hotma P. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik. Jakarta:Erlangga, 2010. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3, Jakarta:UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono, dan Mamuji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakata:PT. Raja Grafindo ,1994 . 85 Suseno, Franz Magnis. Demokrasi: Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta: Kencana, 2011. Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi Indoneisa. Jakarta:Buku Kompas, 2014. Tutik, Titik Triwulan. Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD. 1945,Jakarta: Kencana , 2010. Zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika, 2011. Undang-Undang: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia 1950 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD Undang-Undangb No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib DPR Peraturan DPR No 2 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan 86 Bahan Hukum Lain: Aulawi, Ahmad. Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan Pelaksanaan di Beberapa Negara. Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional Concise Oxford Dictionary-Tenth Edition, OXFORD UNIVERSITY PRESS, Software Aplication. Simorangkir, J. C. T. dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Majalah Detik 4-10 Agustus 2014 Susanti, Bivitri. Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum. Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPR Website: Ali, Sjafri. “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR.” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.pikiranrakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panelmahkamah-kehormatan-dpr Arsad, Acha Muhamad. “Putusan MK No 73/PUU-IX/2011 Harapan Baruku.” artikel diakses pada 23 Mei 2015 dari,http://hukum.kompasiana.com/2013/05/11/putusan-mk-no-73puu-ix2011harapan-baruku-558858.html Firdaus, Randi Ferdi.“UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.merdeka.com/politik/uu-md3baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.htmlPikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakatmasuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr diakses pada 18 Mei 2015 87 Huda, Miftahul. “Forum Privilegiatum.” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari http://www.miftakhulhuda.com/2010/01/forum-previlegiatum.html Marbun, Julkifli. “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3 Menjadi Undang-Undang. Artikel diakses Pada 20 April 2015 Dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/05/ng46tg-tanpa-interupsiparipurna-sahkan-revisi-uu-md3-undangundang Nasrul, Erdy. “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan.” Artikel diakses Sihombing, Erwin C. “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan.” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3dianggap-layak-dihentikan.html “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR.” diakses pada 18 Mei 2015 Dari www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr Victoria, Widya. “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar.” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/HindariBias,-Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar-