Utang Harus Disesuaikan dengan Belanja dan Penerimaan Negara

advertisement
Utang Harus Disesuaikan dengan Belanja dan Penerimaan
Negara
Kamis, 12 Nopember 2009
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta tidak merealisasikan utang,
baik dari dalam maupun luar negeri, tanpa perencanaan yang mengusung
optimalisasi penggunaannya.
Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, program pembiayaan, baik
melalui pinjaman dalam negeri maupun luar negeri, selama ini terlihat
berjalan sendiri. Seharusnya rencana utang yang diusung pemerintah
ini mengikuti perkembangan belanja dan penerimaan negara.
"Artinya, manajemen likuiditas harus diperbaiki. Ke depan, profil
belanja negara harus seimbang dengan penerimaan sehingga tidak
perlu menggenjot pembiayaan terlalu tinggi," katanya di Jakarta, Rabu
(11/11).
Menurut dia, target belanja yang tidak tercapai, sementara
pembiayaan terus digenjot justru akan menimbulkan masalah baru.
Namun, hal ini sepertinya tidak dipedulikan pemerintah yang terus
menerima utang, meski penggunaannya tidak jelas dan terbukti dari
banyaknya sisa anggaran. "Pembiayaan selama ini dari pinjaman luar
negeri dan penjualan SUN (surat utang negara). Makanya, profil
pembiayaan juga harus seimbang dengan rencana belanja," tuturnya.
Dradjad menyebutkan, besarnya pembiayaan, termasuk dari pinjaman
luar negeri, kemungkinan besar karena sudah telanjur ada komitmen
dengan negara/lembaga kreditur atau investor SUN. Ini membuat
program pembiayaan berjalan sendiri serta tidak mengikuti
perkembangan belanja dan penerimaan negara.
"Jika belanja negara, termasuk stimulus fiskal dipaksakan dalam dua
bulan terakhir ini, maka hasilnya tidak akan efektif dan justru
menimbulkan dampak inflatoir (memicu inflasi). Di sisi lain,
penerimaan pajak kan rendah, tapi mengapa kok belanja digenjot?
Jadi, sebaiknya belanja tidak perlu dipaksakan karena bisa inflatoir,"
ucapnya.
Masalah
Dengan adanya defisit pada APBN yang rendah, meski tetap
mengusung pembiayaan yang sangat besar, maka akan timbul
masalah di masa mendatang. Misalnya, kalau pemerintah kembali
menarik pembiayaan besar pada tahun 2010, maka akan ada faktor
yang membebani, yaitu perkiraan suku bunga akan naik lagi.
"Jika belanja negara digenjot di akhir tahun, maka akan menimbulkan
inflatoir yang justru mempercepat kenaikan suku bunga. Padahal kita
sekarang lagi butuh suku bunga yang rendah. Kalau pemerintah
menggenjot di akhir tahun, suku bunga bisa naik di awal tahun nanti,"
ujar Dradjad.
Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan,
belanja kementerian/lembaga didorong untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi sesuai harapan. "Jangan selalu beranggapan bahwa defisit
bisa ditekan karena anggaran tak terbelanjakan, namun bisa juga
karena adanya penghematan," katanya.
Sebelumnya, Depkeu memperkirakan defisit 2009 akan mencapai
sekitar 2,2 persen-2,4 persen dari PDB atau sekitar Rp 116,9 triliun
hingga Rp 128,6 triliun. Pembiayaan atas defisit berasal dari
pembiayaan dalam negeri Rp 133,6 triliun-Rp 145,3 triliun dan
pembiayaan luar negeri Rp 16,7 triliun. Perkiraan defisit sebesar 2,22,4 persen berasal dari perhitungan perkiraan pendapatan negara dan
hibah sebesar Rp 838,4 triliun-Rp 832 triliun. Sementara belanja
negara mencapai Rp 955,2 triliun-Rp 960,6 triliun.
Selama sembilan bulan pertama (kuartal II) 2009, pemerintah sudah
mencairkan utang luar negeri sebesar Rp 25,89 triliun (2,67 miliar
dolar AS). Ini berarti baru 44,9 persen dari total utang luar negeri
yang direncanakan sebesar Rp 57,61 triliun (5,26 miliar dolar AS).
Pencairan utang periode Januari-September itu didasarkan pada data
dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan.
Terkait hal ini, Direktur Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan
Kementerian Negara PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Benny Setiawan mengatakan, realisasi pencairan utang
masih bisa meningkat karena akan berlanjut hingga akhir tahun ini.
"Biasanya realisasi meningkat bertahap mulai triwulan II, III, dan
berpuncak di kuartal IV," katanya.
Realisasi utang luar negeri terbesar pada pinjaman proyek sebesar Rp
14,24 triliun atau 1,47 miliar dolar AS. Untuk pinjaman proyek ini
pencairannya mencapai 55,4 persen dari rencana realisasi Rp 25,72
triliun (2,35 miliar dolar AS). Sedangkan untuk pinjaman program,
baru mencapai Rp 11,64 triliun (1,20 miliar dolar AS) atau 36,5 persen
dari total pinjaman program untuk tahun ini sebesar Rp 31,89 triliun
(2,91 miliar dolar AS).
Persentase penarikan tertinggi di pinjaman proyek adalah pinjaman
dari Jepang senilai 36,6 persen atau Rp 2,00 triliun dari rencana Rp
5,48 triliun. Sedangkan realisasi pencairan utang dari Bank Dunia
sekitar 23,1 persen atau Rp 3,83 triliun dari rencana Rp 16,55 triliun.
Untuk lainnya sekitar Rp 2,35 triliun yang sama sekali belum terserap.
Hingga September 2009, pemerintah juga mencatat adanya tambahan
pinjaman dari Prancis, di mana telah dicairkan sebesar Rp 2,90 triliun
dari rencana semula Rp 2,19 triliun. Selain itu, laporan juga mencatat
adanya realisasi pinjaman program dari Bank Pembangunan Islam
(IDB) senilai Rp 2,90 triliun.
Sebelumnya, Ketua Koalisi Anti-Utang (KAU) Dani Setiawan
mengatakan, pemerintah harus menetapkan agenda prioritas
penyelesaian masalah utang dalam program kerja lima tahun
mendatang, terutama fokus untuk menurunkan setengah dari total
utang pemerintah. "Sampai akhir tahun 2014, pengurangan jumlah
utang harus signifikan," katanya.
Menurut dia, untuk mempercepat penurunan porsi utang pemerintah,
maka harus dibentuk tim negosiasi penghapusan utang. Selain itu juga
dengan mendorong proses audit komprehensif terhadap utang-utang
di masa lalu. Dengan menurunkan utang, pemerintah melalui
anggarannya memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah
kemiskinan, terutama dengan mengedepankan peningkatan anggaran
pendidikan, kesehatan, dan subsidi di sektor strategis pertanian.
Hingga saat ini, total outstanding utang pemerintah, baik dari dalam
maupun luar negeri, telah mencapai Rp 1.616 triliun. Berdasarkan
laporan CADTM dalam Global Development Finance pada 2008,
Indonesia pada posisi ke-4 setelah Meksiko, Brasil, dan Turki sebagai
negara dengan jumlah utang jangka panjang terbesar dengan total
mencapai 67 miliar dolar AS. (Indra)
Download