BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Kanker berawal dari sel

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker
Kanker berawal dari sel yang terdapat di dalam tubuh. Sel merupakan
bagian terkecil dari tubuh yang berkumpul menjadi jaringan pembentuk organ. Sel
menerima sinyal dari tubuh untuk membelah diri, tumbuh, atau berhenti bekerja.
Ketika sebuah sel tidak dibutuhkan lagi atau rusak, sel akan menerima sinyal
untuk berhenti bekerja dan mematikan dirinya sendiri. Kanker akan berkembang
apabila sel-sel tidak bekerja dengan benar sehingga menjadi abnormal. Sel
abnormal terus membelah dan membuat lebih banyak sel abnormal sehingga
terbentuk sebuah benjolan atau tumor (Savitri, 2015).
Kanker dapat berasal dari berbagai organ. Kemampuan kanker untuk
disembuhkan bervariasi dan tergantung pada jenis kanker dan luasnya penyebaran
penyakit pada saat diagnosis. Kanker adalah gangguan pertumbuhan sel dan
diferensiasi sel. Proses yang dihasilkan disebut neoplasia, pertumbuhan sel yang
baru disebut neoplasma. Sel yang mengalami neoplasia cenderung relatif tidak
terkoordinasi dan otonom, tidak terkontrol selama pertumbuhan dan pembelahan
sel. Pertumbuhan dan perbaikan sel normal terdiri dari dua komponen: proliferasi
dan diferensiasi sel. Proliferasi atau proses pembelahan sel ditentukan oleh tingkat
proliferasi sel dan kematian oleh apoptosis. Pada neoplasma maligna, akumulasi
sel neoplastik tidak hanya menyebabkan proliferasi berlebihan dan tidak
terkendali, tetapi juga menghambat proses apoptosis sel (Port, 2015).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kanker Payudara
2.2.1 Definisi
Kanker payudara adalah tumor ganas yang dimulai pada sel di payudara
dapat berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya. Kanker payudara dimulai
ketika sel-sel di payudara mulai tumbuh di luar kendali. Sel-sel ini biasanya
membentuk tumor yang sering terlihat pada x-ray atau benjolan dapat dirasakan.
Tumor ganas (kanker) dapat tumbuh menyerang jaringan sekitarnya atau
menyebar (bermetastasis) ke daerah yang jauh dari tubuh. Penyakit ini
kebanyakan menyerang wanita, namun laki-laki juga memiliki kemungkinan
menderita penyakit ini (American Cancer Society, 2017).
2.2.2 Epidemiologi
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak di Indonesia.
Berdasarkan Pathological Based Registration di Indonesia, Kanker payudara
menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif sebesar 18,6%. (Data Kanker
di Indonesia Tahun 2010, menurut data Histopatologik; Badan Registrasi Kanker
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia (IAPI) dan Yayasan Kanker
Indonesia (YKI). Diperkirakan angka kejadiannya di Indonesia adalah 12/100.000
wanita, sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000 wanita dengan mortalitas
yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18% dari kematian yang dijumpai pada
wanita. Penyakit ini juga dapat diderita pada laki-laki dengan frekuensi sekitar
1%. Di Indonesia, lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang
lanjut, dimana upaya pengobatan sulit dilakukan (Kemenkes RI, 2015).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Patofisiologi
Kanker payudara berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada
sistem duktal. Pertumbuhan sel ini dapat muncul pertama kali di duktus maupun
lobulus payudara yang kemudian menyebar ke jaringan sekitar melalui infiltrasi,
invasi, dan penetrasi progresif. Mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan
perkembangan sel-sel atipik. Sel-sel ini akan berlanjut menjadi karsinoma in situ
dan menginvasi stroma. Proliferasi sel yang berlebih ini dapat disebabkan oleh
mutasi gen, tidak aktifnya gen supresor tumor, gangguan apoptosis, dan gangguan
perbaikan DNA sehingga terjadi aktivasi onkogen yang pada akhirnya menjadi sel
kanker yang invasif. Selain itu, reseptor estrogen dan progesteron yang berada di
inti sel yang terdapat pada beberapa kanker payudara dapat mendorong replikasi
DNA, pembelahan sel dan pertumbuhan sel kanker ketika hormon yang sesuai
berikatan pada reseptor tersebut. Sel kanker dapat menyebar melalui aliran limfe
dan sirkulasi darah yang mengakibatkan metastasis ke organ tubuh lain.
Metastasis kanker payudara seringkali muncul beberapa tahun setelah diagnosis
dan terapi awal. Metastasis kanker payudara dapat menyebar ke berbagai organ
dalam tubuh, umumnya menyebar ke paru-paru, hati, otak dan kulit (Kosir, 2017).
2.2.4 Etiologi
Etiologi dan penyakit kanker payudara belum dapat dijelaskan. Namun,
banyak penelitian yang menunjukkan adanya beberapa faktor yang berhubungan
dengan peningkatan resiko atau kemungkinan untuk terjadinya kanker payudara.
Faktor-faktor resiko tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
a) Faktor Usia
Resiko kanker payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Sebagian besar kanker payudara didiagnosis setelah usia 50 tahun.
b) Mutasi genetik
Mewarisi perubahan (mutasi) gen tertentu, seperti BRCA1 dan BRCA2.
Perempuan yang telah diwarisi perubahan genetik beresiko tinggi kanker
payudara dan ovarium.
c) Awal periode menstruasi
Wanita yang periode menstruasi dimulai sebelum usia 12 tahun, terkena
paparan hormon estrogen lebih cepat. Hal ini akan meningkatkan risiko
untuk kanker payudara dengan jumlah yang kecil.
d) Kehamilan pertama >30 tahun atau belum pernah mengalami kehamilan
Mengalami kehamilan pertama setelah usia 30 tahun dan tidak pernah
mengalami kehamilan dapat meningkatkan risiko kanker payudara.
e) Menopause setelah usia 55 tahun
Wanita yang menopause setelah usia 55 tahun akan terpapar hormon
estrogen untuk waktu yang lama dan di kemudian hari juga meningkatkan
risiko kanker payudara.
f) Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause
Wanita lanjut usia yang kelebihan berat badan atau obesitas memiliki
risiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan mereka yang
memiliki berat badan normal.
Universitas Sumatera Utara
g) Memiliki payudara yang padat
Payudara padat memiliki lebih jaringan ikat dari jaringan lemak, yang
kadang-kadang
bisa
membuat
sulit
untuk
melihat
tumor
pada
mammogram.
h) Menggunakan terapi hormon kombinasi
Menggunakan hormon selama lebih dari lima tahun untuk menggantikan
estrogen dan progesteron yang hilang saat menopause dapat meningkatkan
risiko untuk kanker payudara. Hormon-hormon yang telah terbukti
meningkatkan risiko adalah estrogen dan progesteron ketika gunakan
bersama-sama.
i)
Riwayat kanker payudara
Wanita yang telah memiliki kanker payudara lebih mungkin untuk
mendapatkan kanker payudara untuk kedua kalinya.
j)
Riwayat non-kanker
Beberapa penyakit payudara non-kanker seperti hiperplasia atipikal atau
karsinoma lobular in situ yang dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena
kanker payudara.
k)
Riwayat keluarga
Risiko seorang wanita untuk mengalami kanker payudara lebih tinggi jika
memiliki keluarga yang pernah menderita kanker payudara.
l)
Pengobatan menggunakan terapi radiasi
Wanita yang memiliki terapi radiasi untuk dada atau payudara (untuk
pengobatan limfoma hodgkin) sebelum usia 30 tahun memiliki risiko lebih
tinggi terkena kanker payudara di kemudian hari (CDC, 2016 ).
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Tipe Kanker
National Comprehensive Cancer Network (NCNN) Guideliness (2017)
membagi tipe kanker payudara menjadi 2 tipe utama, yaitu:
a) Kanker payudara non-invasif, pada jenis kanker ini, sel kanker hanya
berada di dalam saluran susu, serta tidak menyerang lemak dan jaringan
konektif payudara di sekitarnya. Ductal carcinoma in situ termasuk salah
satu bentuk kanker payudara non-invasif yang paling sering terjadi (90%).
Sedangkan Lobular carcinoma in situ adalah bentuk kanker payudara noninvasif yang paling jarang terjadi (Savitri, 2015).
i)
Lobular Carcinoma in Situ (LCIS)
Lobular carcinoma in situ adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel
yang melapisi ujung saluran susu (lobulus). Lobular carcinoma in situ
bukanlah kanker, tetapi penderitanya memiliki peningkatan risiko
mengembangkan kanker payudara di masa depan (Savitri, 2015).
ii)
Ductal Carcinoma in Situ (DCIS)
Ductal carcinoma in situ dianggap sebagai kanker payudara non-invasif
(tidak menyebar) atau pre-invasif (belum menyebar). Ductal carcinoma
in situ berarti bahwa sel pembentuk saluran susu berubah bentuk seperti
sel kanker. Perbedaan antara DCIS dan kanker invasif adalah sel-selnya
belum menyebar melalui dinding saluran susu atau jaringan sekitar
payudara. Oleh karena itu, DCIS tidak bisa menyebar (metastasis) di
luar payudara (Savitri, 2015).
Universitas Sumatera Utara
b) Kanker payudara invasif, pada jenis kanker ini, sel kanker merusak saluran
dan dinding kelenjar susu, serta menyerang lemak dan jaringan konektif
payudara di sekitarnya (Savitri, 2015).
i)
Invasive (Infiltrating) Ductal Carcinoma (IDC)
Invasive ductal carcinoma adalah jenis kanker payudara yang paling
umum terjadi. Invasive ductal carcinoma berawal pada saluran susu,
lalu menembus dinding saluran dan tumbuh pada jaringan lemak
payudara. Pada tahap ini, IDC dapat menyebar (metastasis) ke bagian
lain dari tubuh melalui sistem getah bening dan aliran darah. Sekitar 8
dari 10 kanker payudara invasif adalah IDC (Savitri, 2015).
ii)
Invasive (Infiltratring) Lobular Carcinoma (ILC)
Invasive lobular carcinoma dimulai dari lobulus yaitu jaringan yang
memproduksi susu, dan menyebar ke bagian lain dari tubuh. Sekitar 1
dari 10 kanker payudara invasif adalah ILC. Invasive lobular
carcinoma mungkin jauh lebih sulit dideteksi melalui mammogram
dibandingkan IDC (Savitri, 2015).
2.2.6 Gejala Klinis
a) Timbul benjolan
Benjolan pada payudara dapat diraba dengan tangan. Semakin lama
benjolan ini akan semakin mengeras dan bentuknya tidak beraturan.
Gejala awalnya dapat dirasakan berbeda dengan payudara sekitarnya
serta terkadang menimbulkan nyeri dan memiliki pinggiran yang tidak
teratur.
b) Bentuk dan ukuran atau berat salah satu payudara berubah.
Universitas Sumatera Utara
c) Tahapan benjolan per stadium
Pada awal stadium, benjolan jika didorong dengan menggunakan jari
maka benjolan bisa digerakkan dengan mudah oleh kulit, pada stadium
lanjut benjolan biasanya melekat pada dinding dada dan kulit sekitarnya.
d) Timbul benjolan kecil di bawah ketiak.
e) Keluar darah, nanah, atau cairan encer dari puting susu.
f) Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk (peau d’orange).
g) Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat badan,
mual, nafsu makan berkurang, sesak napas, batuk, sakit kepala dan
lemah otot (Canadian Cancer Society, 2017).
2.2.7 Stadium Kanker
Stadium kanker payudara terbagi menjadi:
a) Stadium 0
Kanker payudara pada stadium ini disebut juga dengan Carcinoma in situ
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Stadium 0 Kanker Payudara
(Sumber: http://www.nationalbreastcancer.org)
Universitas Sumatera Utara
b) Stadium I
Pada stadium I, kanker umumnya sudah mulai terbentuk. Stadium I
kanker payudara dibagi ke dalam dua bagian tergantung ukuran dan
beberapa faktor lainnya.
i)
Stadium IA: Tumor berukuran 2 cm atau lebih kecil dan belum
menyebar ke luar payudara seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.
ii)
Stadium IB: Tidak ada tumor ditemukan pada payudara atau tumor
berukuran sekitar 2 cm atau lebih kecil dengan kelompok kecil dari selsel kanker (lebih besar dari 0,2 mm tetapi tidak lebih besar dari 2 mm)
ditemukan pada kelenjar getah bening seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Stadium I Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov /publications/dictionaries)
c) Stadium II
Pada stadium II, kanker umumnya telah tumbuh menjadi besar. Stadium
II dibagi dalam dua bagian, yaitu:
i)
Stadium IIA: Tidak ada tumor ditemukan di payudara dan tumor
ditemukan pada 1-3 lajur kelenjar getah bening dan/atau terletak di
Universitas Sumatera Utara
dekat tulang dada; atau tumor berukuran sekitar 2 cm cm atau lebih
kecil ditemukan pada 1-3 lajur kelenjar getah bening dan/atau terletak
di dekat tulang dada; atau tumor berukuran 2 cm tetapi tidak lebih
besar dari 5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah bening seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Stadium IIA Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries)
ii)
Stadium IIB: Tumor berukuran lebih dari 2 cm tetapi tidak lebih
besar dari 5 cm dengan kelompok kecil dari sel-sel kanker (lebih besar
dari 0,2 mm tetapi tidak lebih besar dari 2 mm) ditemukan di kelenjar
getah bening; atau tumor berukuran lebih besar dari 2 cm tetapi tidak
lebih besar dari 5 cm ditemukan menyebar pada 1-3 lajur kelenjar
getah bening dan/atau terletak di dekat tulang dada; atau tumor
berukuran lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar ke kelenjar
getah bening seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Stadium IIB Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries)
d) Stadium III
i. Stadium IIIA: Tidak ada tumor ditemukan di payudara atau ukuran
tumor beragam dan tumor ditemukan pada 4-9 lajur kelenjar getah
bening dan/atau terletak di dekat tulang dada (di sebelah kiri); atau
tumor berukuran lebih dari 5 cm dengan kelompok kecil dari sel-sel
kanker (lebih besar dari 0,2 mm tetapi tidak lebih besar dari 2 mm)
ditemukan di kelenjar getah bening (di tengah); atau tumor berukuran
lebih besar dari 5 cm dan ditemukan pada 1-3 lajur kelenjar getah
bening dan/atau di area dekat tulang dada seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Stadium IIIA Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries)
ii. Stadium IIIB: Ukuran tumor sangat beragam dan umumnya telah
menyebar ke dinding dada hingga mencapai kulit sehingga
menimbulkan infeksi pada kulit payudara. Tumor mungkin telah
menyebar ke 9 lajur kelenjar getah bening seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Stadium IIIB Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries)
Universitas Sumatera Utara
iii. Stadium IIIC: Tidak ada tumor ditemukan di payudara atau ukuran
tumor sangat beragam dan umumnya telah menyebar ke dinding dada
dan/atau kulit payudara sehingga mengakibatkan pembengkakan atau
luka. Tumor juga mungkin sudah menyebar ke 10 lajur kelenjar getah
bening yang berada di bawah tulang selangka atau tulang dada seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Stadium IIIC Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries)
e) Stadium IV
Pada stadium ini tumor telah menyebar dari kelenjar getah bening
menuju aliran darah dan mencapai organ lain seperti otak, paru-paru, hati
atau tulang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Stadium IV Kanker Payudara
(Sumber: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries)
2.2.8 Klasifikasi Stadium Kanker Payudara
Sistem kanker payudara ditentukan berdasarkan sistem klasifikasi TNM
yang terdiri dari tumor primer (T), limfa nodi regional (N), dan metastasis (M)
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1 dan pengelompokkan stadium kanker payudara
ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Klasifikasi TNM pada Kanker Payudara (The American Cancer
Society, 2017
Tumor Primer (T)
Keterangan
TX
Tumor primer tidak bisa diperkirakan.
T0
Tidak ada tumor primer.
Tis
Karsinoma in situ, karsinoma intraduktal,
karsinoma in situ lobular atau Paget disease pada
puting susu tanpa adanya massa tumor.
T1
Paling besar ukuran tumor ≤ 2 cm (3/4 inchi).
T2
Paling besar ukuran tumor lebih dari 2 cm tetapi
tidak lebih dari 5 cm (2 inchi).
T3
Paling besar ukuran tumor lebih dari 5 cm.
T4
Tumor dengan ukuran berapapun yang berkembang
pada dinding payudara atau kulit.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Limfa Nodi Regional (N)
NX
N0
N1
N2
N3
Metastasis (M)
MX
M0
M1
Limfa nodi regional tidak dapat diperkirakan
(misalnya telah dibuang sebelumnya).
Kanker belum menyebar ke limfa nodi regional.
Kanker telah menyebar ke 1 sampai 3 limfa nodi
aksila di bawah lengan.
Kanker telah menyebar ke 4 sampai 9 limfa nodi di
bawah lengan.
Kanker telah menyebar ke 10 atau lebih limfa nodi
di bawah lengan atau juga meliputi limfa nodi di
daerah lain sekitar payudara.
Metastasis jauh tidak bisa diperkirakan.
Tidak ada penyebaran jauh.
Ada metastasis jauh.
(American Cancer Society, 2017)
Tabel 2.2 Pengelompokkan Stadium Kanker Payudara
Stadium 0
Tis
N0
Stadium I
Stadium IIA
T1
T0-1
T2
T2
T3
T0-2
T3
T4
Setiap T
Setiap T
N0
N1
N0
N1
N0
N2
N1-2
N0-2
N3
Setiap N
Stadium IIB
Stadium IIIA
Stadium IIIB
Stadium IIIC
Stadium IV
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1
(Kemenkes RI, 2015)
2.2.9 Diagnosis
Terdapat berbagai macam cara untuk mendiagnosis kanker payudara dan
untuk menentukan ada atau tidaknya metastasis ke organ lain. Beberapa tes juga
Universitas Sumatera Utara
berguna untuk menentukan pengobatan yang paling efektif untuk pasien.
Beberapa tes yang dilakukan yakni:
a) Clinical Breast Examination (CBE) yaitu pemeriksaan klinis payudara
meliputi:
i)
Pemeriksaan visual pada kulit dan jaringan
Pada pemeriksaan klinis, dokter akan memeriksa tampilan payudara.
Dokter akan melihat perbedaan pada ukuran atau bentuk dari kedua
payudara (Savitri, 2015).
ii)
Pemeriksaan manual tekstur dan benjolan
Dokter akan memeriksa keseluruhan payudara, ketiak dan tulang
selangka secara manual dengan menggunakan jari. Pemeriksaan manual
dilakukan pada kedua payudara satu per satu. Jika ditemukan benjolan,
dokter akan mencatat ukuran, bentuk dan konsistensinya. Dokter juga
akan memeriksa apakah benjolan tersebut menetap atau mudah
berpindah tempat. Benjolan yang ditemukan akan diperiksa untuk
membuat diagnosa lebih lanjut (Savitri, 2015).
b) Mammografi
Pemeriksaan radiologi yang dapat mendeteksi kanker payudara walaupun
belum teraba (masih dalam gambaran mikroklsifikasi). Hasil dari
mammografi adalah film (mammogram) yang dapat diinterpretasi oleh
dokter bedah atau dokter ahli radiologi (Savitri, 2015).
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan
menggunakan
magnet
dan
gelombang
radio
untuk
memproduksi gambar irisan tubuh. Untuk wanita dengan resiko tinggi
Universitas Sumatera Utara
kanker payudara, pemeriksaan MRI direkomendasikan bersama dengan
mammografi tahunan (Savitri, 2015).
d) Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan payudara menggunakan gelombang suara. Ultrasonografi
dapat membedakan benjolan berupa tumor padat atau kista. Ultrasonografi
biasa digunakan untuk mengevaluasi masalah payudara yang tampak pada
mammogram dan lebih direkomendasikan pada wanita usia muda (di
bawah 30 tahun) (Savitri, 2015).
e) Biopsi
Pengambilan sampel jaringan untuk mengetahui apakah sel-sel tersebut
bersifat kanker.
i)
Biopsi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy)
Biopsi ini menggunakan jarum sebesar jarum suntik biasa dan tidak
memerlukan persiapan khusus. Jaringan diambil menggunakan jarum
halus di area tumor. Bila tumor tidak mudah teraba, maka biopsi jarum
halus dapat dilakukan dengan tuntunan USG dan mammografi.
j)
Core Biopsy
Pemeriksaan core biopsy sangat mirip dengan biopsi jarum halus tetapi
menggunakan jarum yang lebih besar. Dengan bius lokal, dibuat irisan
kecil di kulit payudara dan sedikit jaringan payudara diambil.
iii)
Biopsi Bedah
Apabila seluruh pemeriksaan tidak menghasilkan diagnosis pasti
kanker, maka akan dirujuk ke dokter bedah untuk menjalani biopsi
Universitas Sumatera Utara
bedah. Untuk tumor berukuran kecil, biopsi bedah dapat sekaligus
mengangkat tumor seluruhnya (Savitri, 2015).
2.2.10 Terapi Kanker
Pengobatan payudara tergantung dari ukuran dan letak tumor, apakah
kanker sudah menyebar, dan kondisi kesehatan pasien secara umum. Tujuan
utama pengobatan kanker stadium awal adalah mengangkat tumor dan
membersihkan jaringan di sekitar tumor. Tindakan yang akan direkomendasikan
adalah operasi untuk mengangkat tumor. Berikut adalah tipe-tipe operasi:
a) Breast conserving surgery: pengangkatan tumor disertai jaringan di
sekitarnya dan kelenjar getah bening di ketiak.
b) Total mastectomy: pengangkatan seluruh payudara, tetapi tidak termasuk
kelenjar getah bening di bawah ketiak.
c) Skin sparing mastectomy: pengangkatan payudara dan kelenjar getah
bening di bawah ketiak dengan mempertahankan kulit payudara sebanyak
mungkin. Umumnya langsung dibentuk payudara baru.
d) Modified radical mastectomy: pengangkatan payudara dan kelenjar getah
bening di bawah ketiak.
e) Sentinel lymp node biopsy: prosedur pengangkatan kelenjar getah bening
utama pada ketiak yang mengandung tumor. Bila ternyata hasilnya sentinel
node bebas dari penyebaran kanker, maka tidak ada operasi lanjutan untuk
kelenjar getah bening (Savitri, 2015).
Tahapan berikut dalam menangani kanker stadium awal adalah
mengurangi resiko kanker akan kambuh dan membuang sel kanker yang masih
Universitas Sumatera Utara
ada. Bila ukuran tumor lebar atau saluran kelenjar getah bening telah terserang
kanker, maka akan direkomendasikan terapi tambahan, antara lain:
a) Kemoterapi
Kemoterapi adalah terapi menggunakan suatu obat yang fungsinya
untuk membunuh sel kanker. Obat kemoterapi tersebut dialirkan lewat
pembuluh darah, targetnya adalah seluruh sel kanker yang ada di tubuh
(Suyanto, 2010).
Kemoterapi
biasanya
menggunakan
obat-obatan
antikanker.
Beberapa jenis obat bisa diaplikasikan secara bersamaan. Jenis kanker dan
tingkat penyebarannya akan menentukan jenis obat yang dipilih serta
kombinasinya. Kemoterapi umunya ada dua jenis, yaitu kemoterapi yang
biasanya diterapkan setelah operasi untuk menghancurkan sel-sel kanker
dan kemoterapi sebelum operasi yang digunakan untuk mengecilkan tumor
(Savitri, 2015).
Efek samping kemoterapi akan mempengaruhi sel-sel sehat,
misalnya sel kekebalan tubuh. Beberapa efek samping kemoterapi, antara
lain:
i. hilangnya nafsu makan,
ii. mual dan muntah,
iii. sariawan atau sensasi perih dalam mulut,
iv. rentan terhadap infeksi,
v. kelelahan,
vi. rambut rontok (Savitri, 2015).
Universitas Sumatera Utara
b) Radioterapi
Radioterapi adalah proses terapi untuk memusnahkan sisa-sisa selsel kanker dengan dosis radiasi yang terkendali. Radioterapi biasanya
diberikan sekitar satu bulan setelah operasi dan kemoterapi agar kondisi
tubuh dapat pulih terlebih dahulu. Tetapi tidak semua penderita kanker
payudara membutuhkannya. Efek samping radioterapi, yaitu iritasi
sehingga kulit payudara perih, merah, dan berair, warna kulit payudara
menjadi lebih gelap, kelelahan berlebih serta limfedema (kelebihan cairan
yang muncul di lengan akibat tersumbatnya kelenjar getah bening di
ketiak) (Savitri, 2015).
c) Terapi Hormon
Terapi hormon berguna bagi pasien yang
hasil biopsinya
menunjukkan hasil positif untuk Estrogen Receptor (ER+) dan
Progesterone Receptor (PR+). Tipe kanker ini tumbuhnya dipengaruhi
oleh hormon-hormon tersebut sehingga diperlukan obat-obatan untuk
memblok hormon agar memperlambat pertumbuhan tumor. Pemakaiannya
bisa tunggal atau bersamaan dengan obat kemoterapi. Contoh terapi
hormon adalah tamoxifen, anastrozol (arimidex), letrozole (femara) dan
exemestane (aromasin) (Savitri, 2015).
d) Terapi Biologis
Pertumbuhan sebagian jenis kanker payudara yang dipicu oleh
protein Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 (HER2) disebut
positif HER2. Selain menghentikan efek HER2, terapi biologis juga
membantu sistem imun untuk melawan sel-sel kanker. Jika tingkat protein
Universitas Sumatera Utara
HER2 tinggi maka akan digunakan terapi biologis. Transtuzumab
dianjurkan setelah kemoterapi (Savitri, 2015).
Antibodi berfungsi memusnahkan sel-sel berbahaya seperti virus dan
bakteri. Protein ini diproduksi secara alami oleh sistem kekebalan tubuh.
Transtuzumab adalah jenis terapi biologis yang dikenal sebagai antibodi
monoklonal. Antibodi transtuzumab mengincar dan memusnahkan sel-sel
kanker positif HER2. Transtuzumab dapat menyebabkan efek samping
pada jantung. Terapi ini tidak cocok digunakan untuk penderita dengan
penyakit jantung. Efek samping lain dari transtuzumab adalah alergi pada
pemakaian awal yang menimbulkan gejala mual, sesak napas, menggigil,
demam serta rasa nyeri dan sakit (Savitri, 2015).
e) Terapi Paliatif
Terapi paliatif adalah pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi masalah yang terkait
dengan penyakit yang mengancam jiwa melalui pencegahan dan
meringankan penderitaan dengan cara identifikasi awal, penilaian dan
pengobatan nyeri dan masalah lainnya. Terapi paliatif akan meningkatkan
kualitas hidup dan positif mempengaruhi perjalanan penyakit. Terapi ini
diberikan bersamaan dengan terapi lain seperti kemoterapi atau terapi
radiasi yang dimaksudkan untuk memperpanjang hidup (WHO, 2017).
Tujuan dari terapi paliatif adalah untuk mencegah atau mengobati
sedini mungkin gejala dan efek samping dari penyakit dan pengobatannya,
selain itu masalah psikologis, sosial, dan spiritual yang terkait. Tujuannya
bukan untuk menyembuhkan. Terapi paliatif juga disebut terapi
Universitas Sumatera Utara
kenyamanan, terapi suportif, dan manajemen gejala. Terapi ini harus
dimulai dengan diagnosis dan diteruskan melalui pengobatan serta
perawatan tindak lanjut (National Cancer Institute, 2017).
Terapi paliatif juga disebut perawatan suportif. Terapi paliatif
diberikan pada seluruh pasien kanker, setiap kali orang tersebut
mengalami gejala yang perlu dikendalikan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa pasien yang mendapatkan terapi paliatif di rumah sakit
menghabiskan lebih sedikit waktu di unit perawatan intensif dan mungkin
akan mengurangi perawatan kembali di rumah sakit setelah mereka pulang
(American Cancer Society, 2017).
2.2.11 Prognosis
Tingkat kelangsungan hidup sering digunakan sebagai cara standar untuk
peramalan ke depan hidup seseorang (prognosis). Tingkat kelangsungan hidup 5
tahun adalah persentase pasien yang hidup setidaknya 5 tahun setelah didiagnosis
kanker seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Hubungan Stadium Kanker Payudara dan Tingkat Kesembuhan Dalam
Periode 5 Tahun
Stadium
Tingkat Kesembuhan Dalam Periode 5 Tahun
Stadium I
(100%)
Stadium II
(92%)
Stadium III
(72%)
Stadium IV
(22%)
(Kemenkes RI, 2015)
Universitas Sumatera Utara
2.3 Drug Related Problems
2.3.1 Definisi
Drug related problems adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dialami
oleh pasien terkait oleh terapi obat dan mengganggu pencapaian tujuan terapi
yang diinginkan (Cipolle, et al., 2004).
2.3.2 Klasifikasi DRPs
a) Klasifikasi Cipolle
Kategori
DRPs
pertama
kali
didefinisikan,
dijelaskan
dan
dikembangkan pada tahun 1990 oleh kelompok riset di Peters Institute of
Pharmaceutical Care University Minnesota. Kategori DRPs mendefinisikan
serangkaian masalah yang mungkin disebabkan oleh obat atau yang dapat
diselesaikan dengan terapi obat. Oleh karena itu, DRPs menggambarkan
ruang lingkup tanggung jawab dari pelayanan asuhan kefarmasian. Klasifikasi
dari DRPs menurut Cipolle, et al. (2004) terbagi menjadi 7 kategori seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 2.4.
i)
Terapi obat tidak diperlukan karena pasien tidak memiliki indikasi
klinis pada saat itu.
ii)
Tambahan terapi obat dibutuhkan untuk mengobati atau mencegah
kondisi medis pada pasien.
iii)
Produk obat tidak efektif untuk menghasilkan respon yang
diinginkan pada pasien.
iv)
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan
pada pasien.
v)
Terapi obat menyebabkan reaksi yang merugikan pada pasien.
Universitas Sumatera Utara
vi)
Dosis terlalu tinggi, menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada
pasien.
vii)
Pasien tidak patuh menggunakan terapi obat yang diterima.
Tabel 2.4 Kategori dan Penyebab Umum dari DRPs Klasifikasi Cipolle
Jenis DRPs
Obat tanpa indikasi
a.
b.
c.
d.
e.
Perlu tambahan obat
a.
b.
c.
Obat tidak efektif
a.
b.
c.
d.
Dosis terlalu rendah
a.
b.
c.
d.
Penyebab DRPs
Tidak ada indikasi medis yang valid untuk
terapi obat yang digunakan saat itu.
Banyak produk obat yang digunakan untuk
kondisi medis yang hanya memerlukan terapi
obat tunggal.
Kondisi medis lebih tepat diobati tanpa terapi
obat.
Terapi obat digunakan untuk mencegah
adverse drug reaction yang berkaitan dengan
pengobatan lain.
Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol,
merokok.
Kondisi medis yang membutuhkan terapi
inisiasi obat.
Terapi obat pencegahan diperlukan untuk
mengurangi resiko berkembangnya penyakit
baru.
Kondisi
medis
yang
memerlukan
farmakoterapi lanjutan untuk memperoleh
sinergisme atau efek tambahan.
Obat yang digunakan bukan obat yang paling
efektif untuk masalah medis yang dialami.
Kondisi medis yang sulit disembuhkan dengan
produk obat.
Bentuk sediaan produk obat yang tidak tepat.
Produk obat tidak efektif terhadap indikasi
medis yang dialami.
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan
respon yang diinginkan.
Interval dosis yang terlalu jarang untuk
menghasilkan respon yang diinginkan.
Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif
yang tersedia.
Durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan
respon yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 (Lanjutan)
Jenis DRPs
Adverse drug reaction
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Dosis terlalu tinggi
Kepatuhan pasien
a.
b.
c.
d.
e.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Penyebab DRPs
Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak berhubungan dengan
dosis.
Produk obat yang aman diperlukan terkait
dengan faktor resiko.
Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak berhubungan dengan
dosis.
Regimen dosis yang diberikan atau diganti
dengan sangat cepat.
Produk obat yang menyebabkan reaksi alergi.
Produk obat yang kontraindikasi terhadap
faktor resiko.
Dosis terlalu tinggi.
Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat.
Durasi obat terlalu lama.
Interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik
obat.
Dosis obat yang diberikan terlalu cepat.
Pasien tidak mengerti dengan instruksi
pemakaian.
Pasien memilih untuk tidak memakai obat.
Pasien lupa untuk memakai obat.
Harga obat yang terlalu mahal bagi pasien.
Pasien tidak dapat menelan atau memakai
sendiri obat secara tepat.
Obat tidak tersedia bagi pasien.
(Cipolle, et al., 2004)
b) Klasifikasi Strand
Dalam publikasi mereka pada pelayanan farmasi, Hepler dan Strand
juga memperkenalkan beberapa kategori DRPs. Dalam pendekatan ini,
masalah dan penyebab tidak dipisahkan. Definisi DRPs menurut Helper dan
Strand adalah sebuah peristiwa atau keadaan yang melibatkan pengobatan
pasien yang benar-benar atau berpotensi mengganggu pencapaian hasil
pengobatan yang optimal. Strand, et al. (1990) mengklasifikasikan DRPs
menjadi 8 kategori besar:
Universitas Sumatera Utara
i)
Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat
tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.
ii)
Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak
mempunyai indikasi medis valid.
iii) Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obat yang
tidak aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien
tersebut.
iv) Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang
benar tetapi dosis obat tersebut kurang.
v)
Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang
benar tetapi dosis obat tersebut berlebih.
vi) Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang
merugikan.
vii) Pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat-obat, obatmakanan, obat-hasil laboratorium.
viii) Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat
yang diresepkan.
c)
Klasifikasi Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) Versi 7.0
Klasifikasi asli diciptakan pada tahun 1999 oleh praktik farmasi peneliti
selama konferensi kerja PCNE dalam upaya untuk mengembangkan sistem
klasifikasi standar yang cocok dan sebanding untuk studi internasional.
Sebuah skema klasifikasi dibangun untuk masalah terkait obat (DRPs). Versi
7.0 telah dikembangkan ahli pada bulan Februari 2016. Versi ini tidak lagi
kompatibel dengan versi sebelumnya karena hampir semua bagian telah
Universitas Sumatera Utara
direvisi. Klasifikasi dasar PCNE versi 7.0 terdiri dari 3 domain utama untuk
masalah, 8 domain utama untuk penyebab dan 5 domain utama untuk
intervensi seperti ditunjukkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Dasar Klasifikasi PCNE V7.0
Masalah
(Problems)
v7.0
P1
P1.1
P1.2
P1.3
P1.4
P2
P2.1
P3
P3.1
P3.2
Penyebab (Causes)
C1
C1.1
C1.2
C1.3
C1.4
C1.5
C1.6
C1.7
C1.8
C1.9
C2
C2.1
Domain Primer
Efektivitas pengobatan
Ada (potensial) masalah dengan berkurangnya
efek dari pengobatan.
Tidak ada efek terapi obat/kegagalan terapi.
Efek pengobatan tidak optimal.
Efek yang tidak diinginkan dari terapi.
Indikasi tidak tertangani.
Reaksi obat merugikan
Pasien mendapatkan efek samping, atau
kemungkinan mendapatkan efek samping, dari
kejadian obat merugikan.
Kejadian yang tidak diinginkan terjadi.
Lain-lain.
Pasien tidak puas dengan terapi akibat hasil terapi
dan biaya pengobatan.
Masalah yang tidak jelas. Dibutuhkan klasifikasi
lain.
Pemilihan obat
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
pemilihan obat.
Obat yang tidak tepat, tidak sesuai dengan
pedoman atau formularium.
Obat yang tidak tepat (sesuai dengan pedoman
tetapi menunjukkan kontraindikasi)
Penggunaan obat tanpa indikasi.
Penggunaan obat tanpa indikasi.
Kombinasi obat-obat atau makanan-obat yang
tidak tepat.
Kombinasi obat-obat yang tidak tepat dari
kelompok terapi obat atau bahan aktif obat.
Indikasi bagi penggunaan obat tidak ditemukan.
Terlalu banyak obat diresepkan pada indikasi.
Dibutuhkan obat yang sinergistik/pencegahan
namun tidak diberikan.
Indikasi baru bagi terapi obat muncul.
Bentuk sediaan obat
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
pemilihan bentuk sediaan obat.
Pemilihan bentuk sediaan yang tidak tepat.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 (Lanjutan)
v7.0
C3
C3.1
C3.2
C3.3
C3.4
C4
C4.1
C4.2
C5
C5.1
C5.2
C5.3
C5.4
C6
C6.1
C6.2
C6.3
C6.4
C6.5
C7
C7.1
C7.2
C7.3
C7.4
C7.5
C7.6
C7.7
Domain Primer
Pemilihan dosis
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
pemilihan dosis.
Dosis terlalu rendah.
Dosis terlalu tinggi.
Frekuensi regimen dosis kurang.
Frekuensi regimen dosis berlebih.
Durasi pengobatan
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan durasi
pengobatan.
Durasi terapi terlalu singkat.
Durasi terapi terlalu lama.
Penggunaan obat/proses administrasi
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan cara
pasien menggunakan obat atau mendapatkan obat
yang diberikan, terlepas dari instruksi yang tepat
(pada label, kemasan, atau leaflet).
Obat yang diminta tidak tersedia.
Kesalahan peresepan (hilangnya informasi
penting).
Kesalahan peresepan (terkait software).
Kesalahan dispensing (salah obat atau salah
dosis).
Logistik
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan logistik
dari peresepan dan proses pemberian obat.
Waktu penggunaan dan/atau interval dosis yang
tidak tepat.
Obat yang dikonsumsi kurang.
Obat yang dikonsumsi berlebih.
Obat sama sekali tidak dikonsumsi.
Obat yang digunakan salah.
Pasien
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
kepribadian dan perilaku pasien.
Pasien lupa minum obat.
Pasien menggunakan obat yang tidak diperlukan.
Pasien mengkonsumsi makanan yang berinteraksi
dengan obat.
Pasien tidak benar menyimpan obat.
Pasien menggunakan obat dengan cara yang salah
Pasien tidak mampu membeli obat.
Penyalahgunaan obat.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 (Lanjutan)
Intervensi yang
direncanakan
(Planned
Interventions)
Penerimaan
Intervensi
(Intervention
Acceptance)
Status dari DRP
(Status of the DRP)
v7.0 Domain Primer
C7.8 Pasien tidak dapat menggunakan obat sesuai
petunjuk penggunaan obat.
C8
Lain-lain.
C8.1 Tidak ada penyebab atau hasil pemantatun tidak
tepat (termasuk TDM).
C8.2 Penyebab lain.
C8.3 Tidak ada penyebab yang jelas.
I0
Tidak ada intervensi.
I1
Pada tingkat peresepan.
I1.1 Menginformasikan kepada dokter.
I1.2 Dokter meminta informasi.
I1.3 Mengajukan intervensi kepada dokter.
I2
Pada tingkat pasien.
I2.1 Melakukan konseling obat pasien.
I2.2 Hanya memberikan informasi tertulis.
I2.3 Mempertemukan pasien dengan dokter.
I2.4 Berbicara dengan anggota keluarga pasien.
I3
Pada tingkat pengobatan.
I3.1 Mengganti obat.
I3.2 Mengganti dosis.
I3.3 Mengganti formulasi/bentuk sediaan.
I3.4 Mengganti instruksi penggunaan.
I3.5 Menghentikan pengobatan.
I3.6 Memulai pengobatan baru.
I4
Lain-lain.
I4.1 Intervensi lain.
I4.2 Melaporkan efek samping kepada otoritas.
A1
Intervensi diterima.
A1.1 Intervensi diterima, dan dilaksanakan penuh
A1.2 Intervensi diterima, dan dilaksanakan sebagian
A1.3 Intervensi diterima tetapi tidak dilaksanakan
A1.4 Intervensi diterima, pelaksanaan tidak diketahui
A2
Intervensi tidak diterima.
A2.1 Intervensi tidak diterima: tidak layak.
A2.2 Intervensi tidak diterima: tidak ada kesepakatan.
A2.3 Intervensi tidak diterima: alasan lain.
A2.4 Intervensi tidak diterima: tidak ada alasan.
A3
Lain-lain.
A3.1 Intervensi diajukan, diterima.
A3.2 Intervensi tidak diketahui, tidak diusulkan.
O0
Hasil intervensi tidak diketahui.
O1
Masalah benar-benar terpecahkan.
O2
Masalah sebagian terpecahkan.
O3
Masalah tidak terpecahkan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 (Lanjutan)
v7.0 Domain Primer
O3.1 Masalah tidak terselesaikan, pasien kurang
kooperatif.
O3.2 Masalah tidak terselesaikan, dokter kurang
kooperatif.
O3.3 Masalah tidak terselesaikan, intervensi tidak
efektif.
O3.4 Masalah tidak perlu atau tidak mungkin
terselesaikan.
(Pharmaceutical Care Network Europe, 2016)
d) Klasifikasi Granada
Pada tahun 1998, sekelompok ahli Spanyol mencapai konsensus pada
definisi dan analisis DRPs. Edisi kedua selanjutnya direvisi pada tahun 2002,
dalam sistem terakhir potensi masalah dikeluarkan, dan definisi berfokus
pada hasil klinis negatif bukan pada masalah kesehatan dari pasien pada
umumnya. Dalam kata, klasifikasi ini tampaknya fokus akhirnya pada
perilaku pasien. Dalam klasifikasi ini DRPs menurut Granada (2002)
dikategorikan sebagai berikut:
i)
Indikasi: Pasien tidak menggunakan obat-obatan yang diperlukan,
pasien menggunakan obat-obatan yang tidak diperlukan.
ii)
Efektivitas: Pasien menggunakan obat yang salah.
iii)
Obat: Pasien menggunakan dosis, selang, atau durasi lebih rendah
dari yang diperlukan.
iv)
Keamanan: Pasien menggunakan dosis, selang, atau durasi lebih
besar dari yang diperlukan, pasien menggunakan agen yang
menyebabkan reaksi yang merugikan (Granada, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Download