Chapter II - USU-IR

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Inflasi
2.1.1 Definisi Inflasi
Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum
dan terus-menerus. Dari defenisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi
untuk menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi, yaitu :
1. Kenaikan Harga
2. Bersifat Umum
3. Berlangsung Terus-Menerus
1. Kenaikan Harga
Harga suatu komoditas dikatakan naik apabila menjadi lebih tinggi
daripada harga periode sebelumnya. Misalnya, harga beras satu kilogram pada
hari yang lalu adalah Rp. 6.000,00. Hari ini menjadi Rp. 7.000,00. Berarti harga
beras per kilogram hari ini Rp. 1.000,00 lebih mahal dibanding hari yang lalu.
Dapat dikatakan telah terjadi kenaikan harga beras. Perbandingan tingkat harga
juga bisa dilakukan dengan jarak waktu yang lebih panjang; satu minggu, satu
bulan, triwulan, atau satu tahun. Perbandingan harga juga bisa dilakukan
berdasarkan patokan musim. Misalnya di musim panceklik pada umumnya harga
beras akan mengalami kenaikan dan akan lebih mahal bila dibandingkan dengan
harga beras pada musim panen.
Universitas Sumatera Utara
2. Bersifat Umum
Kenaikan harga suatu komoditi belum dapat menggambarkan bahwa telah
terjadi inflasi apabila kenaikan harga tersebut tidak mengakibatkan harga-harga
secara umum naik. Misalnya, apabila pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan
Bakar Minyak), pada umumnya harga-harga komoditas lain akan ikut naik karena
BBM merupakan komoditi strategis, dimana sebagian besar kegiatan ekonomi
memerlukan BBM, sehingga kenaikan harga BBM akan merambat pada kenaikan
komoditas lainnya. Naiknya harga BBM ini dapat menimbulkan terjadinya inflasi.
3. Berlangsung Terus-Menerus
Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan mengakibatkan
inflasi apabila kenaikan harga tersebut terjadi hanya sesaat. Karena perhitungan
inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam jangka
waktu satu bulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan terusmenerus.
2.1.2. Indikator Inflasi
Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur
laju inflasi selama satu periode tahun tertentu, diantaranya adalah :
1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)
Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan
tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa
utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing
harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat
keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang
paling besar.
Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan
sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang
sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perekembangan
regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar,
terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia, seperti tampak dalam tabel
berikut ini.
Tabel 2.1
Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota Di Indonesia, 2004-2008
(2007=100)
Akhir Periode
IHK
Perubahan IHK (%)
2005
125,09
-
2006
142,48
13,90
2007
150,55
5,66
2008
132,72
-11,84
2009
124,78
-0,06
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Angka
inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh
dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Inflasi tahun t =
X 100%
Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung, IHK kurang mencerminkan tingkat
inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan
besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan
komoditas-komoditas
yang
relevan
(pokok)
yang
biasanya
dikonsumsi
masyarakat.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)
Jika IHK meluhat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu,
IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (production price index).
IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat
produksi.
Tabel 2.2
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
2004-2008
(2000=100)
Akhir Periode
IHPB
Perubahan IHPB (%)
2004
131
7,38
2005
152
16,03
2006
172
13,16
2007
195
13,37
2008
246
26,15
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Universitas Sumatera Utara
Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan
berdasarkan IHK :
Inflasi tahun t =
X 100%
3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)
Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju
inflasi yang sangat terbatas. Sebab, dilihat dari metode perhitungannya, kedua
indikator tersebut hanya melingkupi beberapa puluh atau mungkin ratus jenis
barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataan, jenis
barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam sebuah perekonomian
dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan
ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja, melainkan seluruh pelosok
wilayah. Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan
sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP Deflator),
disingkat IHI.
Angka deflator (IHI) ini dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagai
berikut :
IHI tahun t =
X 100%
Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan
angka indeks :
Inflasi tahun t =
X 100%
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Teori-Teori Inflasi
Ada beberapa teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang inflasi
(Boediono,2001 ) :
1. Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money)
Menurut Irving Fischer (transaction equation) adalah :
P.T = M.V
Dimana :
P
= Tingkat Harga
M
= Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)
V
= Kecepatan Perputaran Uang
T
= Volume Transaksi
Dalam persamaan ini dapat dikemukakan bahwa seluruh transaksi
penjualan sama dengan nilai seluruh pembelian. Nilai transaksi dikali dengan
harga, sedangkan nilai transaksi pembelian sama dengan jumlah uang beredar
dikali dengan kecepatan beredar rata-rata perputaran uang.
Dari rumus diatas, dapat diambil kesimpulan proses terjadinya inflasi
disebabkan oleh :
1. Volume Uang Beredar
Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang beredar dalam
masyarakat (uang kartal dan uang giral). Penambahan jumlah uang beredar ini
merupakan sumber utama penyebab inflasi karena volume uang beredar lebih
Universitas Sumatera Utara
besar dari kesanggupan output untuk menyerapnya (volume yang besar dari
pendapatan nasional). Bila jumlah uang yang beredar tidak ditambah, maka inflasi
akan beratambah secara otomatis.
2. Perkiraan Masyarakat Tentang Kenaikan Harga (expectation)
Kalau diperkirakan masyarakat akan ada perubahan harga walaupun ada
penambahan yang tidak akan menyebabakan inflasi, karena perubahan harga yang
terjadi masih kecil. Apabila akan ada perubahan harga yang cukup besar dan
penambahan uang beredar tidak ditambah maka inflasi akan berhenti secara
otomatis apapun penyebab kenaikan harga-harga dalam perekonomian tersebut.
2. Teori Keynes
Keynes menyoroti faktor inflasi melalui pendekatan teori ekonomi
makronya. Menurut teori yang dikeluarkan Keynes, inflasi akan terjadi karena
masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan pendapatannya. Terjadinya
inflasi melalui beberapa proses, ada sekelompok masyarakat yang ingin bersaing
untuk merebut pendapatan nasional yang lebih besar daripada kemampuan
kelompok tersebut untuk mendapatkan pendapatan nasional (kekuatan monopolis,
tuntutan kenaikan upah oleh para pekerja). Proses perebutan ini akhirnya
diwujudkan dalam permintaan efektif sehingga menyebabkan permintaan
masyarakat akan barang-barang lebih besar dari barang-barang yang sanggup
disediakan oleh kapasitas yang tersedia. Hal ini akan menimbulkan inflationary
gap, yang timbul akibat golongan masyarakat dalam permintaan di pasar barangbarang. Dengan demikian akan menimbulkan kenaikan harga-harga.
Golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka
menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Dengan kata lain, mereka
Universitas Sumatera Utara
berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana
pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat
seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian
yang lebih besar dari output masyarakat dengan menjalankan defisit dalam
anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan
tersebut mungkin juga pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk
melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari
kredit dari bank.
Bila jumlah dari oermintaan-permintaan efektif dari semua golongan
masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum
dari barang-barang yang bias dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap
muncul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka
harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari
rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bias
terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha
untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi.
Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh
bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana
akan mendapat bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang
“kalah” dalam proses perebutan ini adalah golongan yang berpenghasilan tetap
atau yang penghasilannya naik tidak secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus
berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat
melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila
Universitas Sumatera Utara
permintaan efektif total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah
output yang tersedia.
3. Teori Strukturalis
Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur
perekonomian negara-negara yang sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan
dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang menurut definisi, faktorfaktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka
teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Dengan kata lain, yang ingin
diketahui adalah faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan
inflasi (yang berlangsung lama).
Ada dua faktor yang menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan
inflasi dalam negara berkembang berdasarkan teori strukturalis, yaitu :
a.
Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang berkembang
secara lamban dibanding sektor lain dalam perekonomian. Hal ini
disebabkan naiknya harga barang komoditi negara berkembang dalam
jangka panjang yang pada akhirnya mempengaruhi harga barang-barang
ekspor. Perkembangannya sangat lamban bila dibandingkan dengan harga
barang industri yang merupakan impor dari negara-negara berkembang.
Adanya perkembangan ekspor yang lamban juga merupakan penyebab
adanya kelambanan untuk mengimpor baramg-barang yang dibutuhkan
(terutama barang modal untuk mengubah struktur perekonomian).
Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan yang
menekan pemakaian barang produksi dalam negeri (yang sebelumnya
diimpor walaupun hasil produksi dalam negeri lebih mahal harganya
Universitas Sumatera Utara
karena kurang efisien). Ongkos produksi yang tinggi mengakibatkan harga
yang lebih tinggi. Ongkos produksi juga akan makin meluas, sehingga
makin banyak harga barang yang naik. Dengan demikian akan terjadi
inflasi dalam perekonomian yang berkepanjangan.
b.
Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri,
berakibat pada pertumbuhan produksi bahan makanan tidak secepat
pertumbuhan penduduk dan pendapatan, sehingga harga bahan makanan
ini
cenderung
meningkat.
Kenaikan
harga
bahan
makanan
ini
mengakibatkan tuntutan kenaikan ongkos produksi. Jika demikian,
otomatis harga hasil produksi (industri dan pertanian) akan naik lagi,
sehingga kenaikan harga barang menuntut tingkat upah kembali dinaikkan,
demikian seterusnya. Proses ini akan berhenti apabila harga bahan
makanan tidak ikut naik kembali (karena kebutuhan sudah dapat dicukupi
oleh produksi dalam negeri). Akan tetapi, faktor struktural perekonomian
tidak bisa menghentikan kenaikan harga bahan makanan, sehingga akan
terjadi dorong-mendorong antara upah dengan kenaikan harga dan tidak
akan berhenti sampai struktur perekonomian dapat diubah.
2.1.4 Jenis - Jenis Inflasi
Apabila ditinjau dari bobotnya atau besarnya laju inflasi, maka inflasi
diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu :
1. Inflasi ringan (inflasi merayap)
Disebut juga creeping inflation. Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju
pertumbuhan yang berlangsung secara perlahan dan berada pada posisi satu digit
Universitas Sumatera Utara
atau dibawah 10% pertahun. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan
persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.
2. Inflasi sedang (inflasi menengah)
Inflasi sedang atau menengah ini merupakan inflasi dengan tingkat laju
pertumbuhan berada diantara 10-30% per tahun dan sangat mengancam struktur
dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
3. Inflasi berat
Merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100%
pertahun. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total,
kecuali yang dikuasai negara. Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar
dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat
akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan
lalu dan seterusnya.
4. Inflasi sangat berat
Disebut juga hyperinflasi, adalah inflasi dengan laju pertumbuhan
melampaui 100% pertahun. Dalam kondisi ini, harga-harga barang naik menjadi
lima atau enam kali lipat. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan
uang. Nilai uang merosot tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang.
Perputaran uang makin cepat, harga naik secara pesat. Biasanya kondisi ini timbul
apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang dibiayai/ditutupi
dengan mencetak uang.
Apabila ditinjau berdasarkan faktor penyebabnya, inflasi diklasifikasikan
ke dalam dua golongan, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Demand pull inflation, inflasi ini biasanya terdapat pada masa perekonomian
sedang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat
pendapatan yang tinggi dan selanjutnya daya beli sangat tinggi. Daya beli yang
tinggi akan mendorong permintaan melebihi total produk yang tersedia.
Permintaan aggregate meningkat lebih cepat (misalnya karena bertambahnya
pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan
permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya
pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah) dibandingkan dengan
potensi produktif perekonomian , akibatnya terjadi inflasi.
Gambar 2.1
Inflasi Tekanan Permintaan
(Demand-Pull Inflation)
P
AS0
P1
P0
AD1
AD0
0
Y0
Y1
Y
Gambar 2.1 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat kenaikan
permintaan. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva permintaan agregat dari
ADo menjadi AD1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan harga
Universitas Sumatera Utara
ini menimbulkan terjadinya inflasi . Akibat kenaikan harga ini menyebabkan
produk nasional bertambah dari OY0 dan OY1.
2. Cost push inflation, inflasi ini terjadi bila ada biaya produksi mengalami
kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan biaya produksi dapat berawal dari
kenaikan harga input seperti kenaikan upah minimum, kenaikan bahan baku,
kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM, dan kenaikan-kenaikan input lainnya
yang mungkin semakin langka dan harus diimpor dari luar negeri.
Gambar 2.2
Inflasi Dorongan Biaya
(Cost-Push Inflation)
AS1
P
AS0
P1
P0
AD0
0
Y1
Y0
Y
Gambar 2.2 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat dari kenaikan
biaya produksi. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva penawaran agregat
dari ASo menjadi AS1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan
harga ini menyebabkan produk nasional berkurang dari OY0 menjadi OY1.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, apabila ditinjau berdasarkan asal inflasi, maka inflasi
digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), dimana inflasi ini
timbul bisa saja karena defisit anggaran belanja negara yang dibiayai dengan
pencetakan uang baru dan lain sebagainya sehingga menyebabkan terjadinya
kenaikan
harga
barang-barang
dalam
negeri
secara
umum
dan
berkesinambungan.
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), yaitu inflasi yang
bersumber dari kenaikan harga-harga barang yang diimpor, terutama barang
yang diimpor tersebut mempunyai peranan penting dalam setiap kegiatan
produksi. Kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan: (1) secara
langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang
yang tercakup di dalamnya berasal dari import, (2) secara tidak langsung
menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian harga
jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin
yang harus diimpor, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di
dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan
harga
barang-barang
impor
mengakibatkan
kenaikan
pengeluaran
pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga import
tersebut.
2.1.5 Dampak Inflasi
Tidak dapat dipungkiri, sampai pada tingkat tertentu inflasi dibutuhkan
untuk memicu pertumbuhan penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan
Universitas Sumatera Utara
mendorong produsen untuk meningkatkan outputnya. Namun apabila tingkat
inflasi sudah melampaui angka yang sewajarnya
≥ 10%
(
per tahun), maka ada
beberapa masalah sosial yang muncul, yaitu :
1. Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat
Tingkat kesejahteraan masyarakat, sederhananya dapat diukur melalui
tingkat daya beli pendapatan yang diperoleh. Inflasi menyebabkan daya beli
pendapatan
masyarakat
makin
rendah,
khususnya
masyarakat
yang
berpenghasilan kecil dan tetap (kecil). Misalnya, A adalah seorang pegawai negeri
sipil dengan penghasilan total sebesar Rp. 700.000, per bulan. Tahun lalu harga
beras per kilogram adalah sebesar Rp. 4.000,00. Karena itu gaji A setara dengan
175 kilogram beras setiap bulan. Apabila terjadi inflasi sebesar 20% pertahun
(cateris paribus), maka tahun ini gaji A per bulan setara dengan 145 kilogram
beras. Dengan demikian kesejahteraan A menurun dari kesejahteraan tahun lalu.
Apabila tingkat inflasi tetap sebesar 20% per tahun, maka dalam jangka waktu 4
tahun (cateris paribus) kesejahteraan A hanya tinggal separuhnya. Semakin tinggi
tingkat inflasi, maka semakin cepat penurunan tingkat kesejateraan suatu
masyarakat.
2. Semakin Buruknya Distribusi Pendapatan
Dampak buruk inflasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dapat
dihindari jika pertumbuhan tingkat pendapatan dapat melebihi tingkat inflasi.
Apabila tingkat inflasi 20% per tahun, maka pertumbuhan tingkat pendapatan
harus lebih besar dari 20% per tahun. Permaslahannya adalah jika inflasi
mencapai angka 20% per tahun, maka hanya sedikit saja orang yang dapat
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan pendapatannya≥ 20% per tahun. Akibatnya, ada sekelompok
masyarakat yang mampu meningkatkan pendapatan riil (pertumbuhan pendapatan
nominal dikurangi laju inflasi > 0% per tahun). Akan tetapi sebagian besar
masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil. Menurunnya pendapatan riil
menggambarkan bahwa distribusi pendapatan semakin buruk.
3. Terganggunya Stabilitas Ekonomi.
Pengertian yang paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah sangat
kecilnya tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada
kapasitas penuh (optimal). Konsumen juga memakai barang dan jasa optimal
dengan kebutuhan. Kondisi nyaman ini akan mulai terganggu apabila inflasi
relatif tinggi telah menjadi kronis.
Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan tentang
masa depan (ekspektasi) para pelaku ekonomi. Inflasi yang kronis menumbuhkan
perkiraan bahwa harga akan terus-menerus naik. Bagi konsumen, perkiraan ini
mendorong
pembelian
barang
dan
jasa
lebih
banyak
dari
yang
seharusnya/biasanya dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran konsumsi.
Akibatnya, permintaan barang dan jasa justru dapat meningkat. Bagi para
produsen, perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa mendorong mereka
menunda penjualan, untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Penawaran
barang dan jasa berkurang. Akibatnya, kelebihan permintaan membesar dan
mempercepat laju inflasi yang pada akhirnya kondisi perekonomian menjadi
semakin buruk.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Kebijakan Pengendalian Inflasi
Upaya-upaya untuk menegndalikan inflasi dapat berupa penerapan
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter :
1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan
mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah melalui APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan maksud untuk
mengatasi masalah yang sering dihadapi. Bentuk kebijakan fiskal untuk
jangka pendek dapat berupa :
a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran
pemerintah
b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan system pajak dan jumlah
pajak yang ditetapkan
Untuk jangka panjang, kebijakan fiskal dapat berupa :
a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem pajak
yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional.
b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus
membuat perundang-undangan terhadap sistem yang ada. Misalnya
membuat
undang-undang,
peraturan-peraturan
baru
di
bidang
penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral
dalam mengatur dan mengendalikan jumlah uang beredar. Kebijakan bank
Universitas Sumatera Utara
sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif.
Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi :
a. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu
membeli dan menjual obligasi pemerintah misalnya sertifikat Bank
Indonesia (SBI).
b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam menetapkan tingkat
bunga.
c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requirement) yaitu kebijakan
dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga
keuangan lainnya.
Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara
selektif dan moral suasion yaitu, membujuk/menghimbau secara moral kepada
masyarakat pengguna jasa bank.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh dua lembaga
yang berbeda yaitu kebijakan fiskal oleh Departemen Ekonomi dan Keuangan,
sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral. Oleh sebab itu,
kedua lembaga ini haruslah saling menyesuaikan kebijakan ekonominya dalam
mengatasi inflasi atau masalah ekonomi lainnya, sehingga setiap kebijakan
tersebut dapat berjalan dengan baik, efisien, dan efektif. Misalnya, untuk menekan
laju inflasi langkah yang diambil adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah (kementrian
ekonomi dan keuangan) untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan
memperkecil pengeluaran (G) dan menaikkan pajak (T). Kebijkan ini akan
Universitas Sumatera Utara
menurunkan daya beli masyarakat, sehingga pembelian terhadap barang
konsumsi dan investasi turun.
2. Kebijakan Moneter, yaitu kebijakan yang dilakukan bank sentral dengan
sasaran dapat mengurangi penawaran uang (supply of money) atau jumlah
uang beredar. Kebijakan tersebut misalnya dengan menaikkan suku bunga
dan memperbesar cadangan wajib. Kebijakan ini akan menimbulkan
penurunan investasi dan menurunkan konsumsi dalam perekonomian
masyarakat.
Untuk mengatasi inflasi, disamping beberapa kebijakan di atas terdapat
juga pandangan Klasik dan Keynes yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah inflasi, yaitu :
1. Kelompok Ekonomi Klasik
Kelompok klasik ini memberikan formula dengan sebutan cold turkey.
Strategi mengatasi inflasi ini pada dasarnya adalah melakukan pengurangan
volume uang yang beredar secara drastis atau cepat. Karena dengan
pengurangan volume uang yang beredar ini, tingkat harga, upah akan
menyesuaikan diri secara otomatis sesuai dengan pandangan kaum Klasik
tentang mekanisme hume (Species Flow). Setiap ketidakseimbangan hanya
bersifat
sementara,
akhirnya
akan
menuju
keseimbangan.
Dengan
pengeluaran uang yang berbeda, tingkat harga, upah mau tidak mau akan
menyesuaikan diri terhadap perekonomian.
2. Kelompok Ekonomi Keynesian
Formula yang dikeluarkan oleh kelompok ini disebut dengan gradualism.
Pendapat mereka tentang pengurangan volume uang yang beredar secara
Universitas Sumatera Utara
drastis akan memberika dampak yang negatif terhadap tenaga kerja (akan
meningkatkan jumlah pengangguran), karena adanya pengurangan aktivitas
perusahaan akibat pengurangan jumlah uang yang beredar. Strategi
gradualism, yaitu pengurangan peredaran uang secara bertahap dalam jangka
waktu beberapa tahun akan meminimalkan dampak negatif terhadap
perekonomian.
2.2
Pengangguran
2.2.1 Definisi Pengangguran
Dalam definisi ekonomi, pengangguran tidak identik dengan tidak (mau)
bekerja. Seseorang dikatakan menganggur apabila orang tersebut ingin bekerja
dan telah berusaha mencari pekerjaan, namun tidak mendapatkannya
Dalam ilmu kependudukan (demografi), orang yang mencari pekerjaan
termasuk dalam kategori kelompok penduduk yang disebut angkatan kerja.
Berdasarkan kategori usia, usia angkatan kerja adalah 15-64 tahun. Tetapi tidak
semua orang yang berusia 15-64 tahun dihitung sebagai angkatan kerja. Penduduk
yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah penduduk usia 15-64 tahun dan
sedang mencari kerja, sedangkan yang tidak mencari kerja apakah karena
mengurus keluarga atau sekolah, tidak termasuk angkatan kerja. Tingkat
pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkan
pekerjaan. Lebih jelas dapat dilihat dalam diagram berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3
Struktur Penduduk Berdasarkan Usia
TOTAL PENDUDUK
USIA KERJA
BUKAN USIA KERJA
15-64 TAHUN
0-14 TAHUN = ≥ 65 TAHUN
BUKAN ANGKATAN KERJA
ANGKATAN KERJA
(BUKAN PENGANGGURAN)
Penduduk usia kerja, tetapi tidak mencari
kerja dengan berbagai alas an, misalnya
sekolah/kuliah, ibu-ibu mengurus rumah
tangga
BEKERJA
TIDAK BEKERJA
1. ≥ 35 jam/minggu
Pengangguran
2. < 35 jam/minggu (underemployed)
Pada gambar 2.3 tersebut, terlihat bahwa jumlah penduduk suatu negara
dapat dibedakan menjadi penduduk usia kerja (15-64 tahun) dan bukan usia kerja.
Yang termasuk kelompok bukan usia kerja (usia non produktif) adalah anak-anak
(0-14 tahun) dan manusia lanjut usia (manula) yang berusia
≥ 65 tahun. Dari
jumlah penduduk usia kerja, yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang
mencari kerja atau bekerja. Sebagian yang tidak bekerja (dengan berbagai alasan)
tidak termasuk dalam angkatan kerja (bukan angkatan kerja), dan setiap angkatan
kerja yang tidak memperoleh lapangan kerja disebut sebagai penganggur.
Dalam standard pengertian yang sudah ditentukan secara internasional,
yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah : seseorang yang sudah
digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan
pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang
Universitas Sumatera Utara
diinginkannya.
Berdasarkan
definisi
ini,
ibu-ibu
rumah
tangga,
para
mahasiswa/pelajar, anak-anak orang kaya yang sudah dewasa namun tidak
bekerja, tidak digolongkan sebagai penganggur seba mereka tidak secara aktif
mencari pekerjaan.
2.2.2 Cara Mengukur Tingkat Pengangguran
Dalam membicarakan mengenai pengangguran, yang selalu diperhatikan
bukan mengenai jumlah pengangguran, tetapi mengenai tingkat pengangguran –
yang dinyatakan sebagai persentase dari angkatan kerja. Membandingkan jumlah
pengangguran di antara berbagai negara tidak akan ada manfaatnya karena tidak
akan memberikan gambaran yang tepat tentang perbandingan masalah yang
berlaku.
Untuk dapat menentukan tingkat (persentase) pengangguran yang terdapat
dalam perekonomian, terlebih dahulu perlu untuk menentukan angkatan kerja
pada periode tersebut. Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja
adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu
rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii)
penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan
pelajarannya di sekolah atau di universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur
65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, dan (iv) pengangguran
sukarela – yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak
secara aktif mencari pekerjaan. Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
Universitas Sumatera Utara
L = PL – (IR + MP + PP + PS)
Di mana :
L
= jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)
PL
= penduduk dalam lingkungan umur 15 – 64 tahun
IR
= ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja
MP
= mahasiswa dan pelajar
PP
= pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin bekerja lagi
PS
= orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan juga tidak mencari
pekerjaan.
Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu PL, dapat dipandang
sebagai tenaga kerja potensial. mereka sudah dapat digolongkan sebagai tenaga
kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk bekerja atau mencari pekerjaan.
tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada pilihan mereka sendiri,
memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja
yang sebenarnya terdapat dalam perekonomian (L), yang digolongkan sebagai
angkatan kerja atau labour force, adalah jumlah tenaga kerja yang dihitung
dengan menggunakan persamaan diatas. Perbandingan di antara angkatan kerja
yang sebenarnya dengan penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun
dinamakan tingkat partisipasi tenaga kerja (labour participation rate), yang dapat
dihitung melalui formula sebagai berikut :
Tingkat partisipasi angkatan kerja (%)
%
Setelah sebuah negara mendapat informasi mengenai dua data yang
diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat
pengangguran dapat ditentukan dengan menggunakan formula berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tingkat pengangguran (%)
%
Dimana :
U
= jumlah pengangguran
L
= jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)
2.2.3 Jenis Pengangguran
Jenis pengangguran ditinjau dari teori ekonomi makro dapat dibedakan
menjadi
beberapa
bagian,
yaitu
pengangguran
sukarela
(vouluntary
unemployment) dan pengangguran terpaksa (invouluntary unemployment).
Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang bersifat sementara, karena
mereka tidak mau bekerja pada tingkat upah yang berlaku dan berusaha mencari
pekerjaan yang lebih baik atau lebih cocok. Pengangguran terpaksa adalah
pengangguran yang terpaksa diterima oleh pencari kerja, walaupun pada tingkat
upah yang berlaku sesungguhnya dia masih bersedia/ingin bekerja.
Jenis pengangguran ditinjau dari interpensi ekonomi, antara lain dapat
berupa hal-hal berikut :
1.
Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)
Pengangguran ini bersifat sementara, biasanya terjadi karena adanya
kesenjangan waktu, informasi maupun karena kondisi geografis antara pencari
kerja dan kesempatan (lowongan kerja). Mereka yang tergolong dalam kategori
pengangguran
sementara
pada
umumnya
rela
menganggur
(vouluttary
unemployment) untuk mendapat pekerjaan.
Terdapat tiga golongan penganggur yang dapat diklasifikasikan sebagai
pengangguran friksional, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Tenaga kerja yang baru pertama kali mencari kerja. Setiap tahun terdapat
golongan penduduk yang mencapai usia yang tergolong sebagai angkatan
kerja. Di samping itu, pelajar dan sarjana yang baru menyelesaikan
pelajarannya juga akan secara efektif mencari kerja.
b. Pekerja yang meninggalkan kerja dan mencari kerja baru. Ketika
perekonomian mencapai tingkat kegiatan yang sangat tinggi, terdapat
perusahaan yang mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerja. Ini
akan mendorong orang-orang yang sedang bekerja meninggalkan
pekerjaanya, untuk mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan pribadinya
atau untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi.
c. Pekerja yang memasuki lagi pasaran buruh. Terdapat golongan pekerja
yang dahulu telah bekerja tetapi meninggalkan angkatan kerja,
memutuskan untuk bekerja kembali. Golongan tenaga kerja ini dapat
dilihat dari contoh berikut: seorang anak muda berhenti bekerja karena
ingin meneruskan pelajarannya. Setelah tamat, ia mencari pekerjaan yang
baru.
2.
Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
Pengangguran ini sifatnya mendasar, dimana pengangguran ini disebabkan
adanya perubahan atau perkembangan teknologi dalam kegiatan ekonomi.
Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan yang
dibutuhkan lapangan kerja. Dilihat dari sifatnya, pengangguran struktural lebih
sulit diatasi dibandingkan pengangguran friksional. Selain membutuhkan
pendanaan yang besar untuk meningkatkan kualitas dan keterampulan tenaga
kerja, juga dibutuhkan waktu yang lama. Bahkan untuk Indonesia, pengangguran
Universitas Sumatera Utara
struktural merupakan masalah dimasa mendatang, jika tidak ada perbaikan
kualitas SDM.
Penyebab timbulnya pengangguran struktural adalah:
a. Adanya perkembangan teknologi yang
menyebabakan
munculnya
oengangguran teknologi.
b. Adanya kemunduran yang disebabkan persaingan dari luar negeri atau dari
luar daerah. Pengangguran struktural yang disebabkan persaingan dari luar
negeri banyak dialami oleh negara-negara maju. Untuk menghindari hal
tersebut, maka negara tersebut akan membatasi impor barang-barang ke
negara mereka.
c.
Terjadinya kemunduran perkembangan ekonomi suatu kawasan sebagai
akibat dari pertumbuhan yang pesat dari kawasan lain.
3.
Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment)
Pengangguran ini dipengaruhi oleh perubahan musim, biasanya bersifat
sementara dan terjadi dalam jangka pendek secara berulang-ulang. Contohnya di
sektor pertanian, di luar musim tanam atau musim panen akan terjadi
pengangguran.
4.
Pengangguran Siklikal (Cyclical Unemployment)
Pengangguran ini disebabkan adanya fluktuasi/siklus dalam perkembangn
bisnis atau dikarenakan oleh kemerosotan perekonomian suatu negarra.
Kemerosotan ekonomi bisa berasal dari dalam negeri dan bisa pula dari luar
negeri, seperti: konsumsi, investasi, dan ekspor. Semuanya mendorong
permintaan agregat lebih rendah dibandingkan penawaran agregat, dan ini
menimbulkan resesi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kondisi perekonomian, kesempatan kerja penuh atau full
employment sering disalahtafsirkan banyak orang. Banyak yang menganggap
bahwa hal it berarti dalam perekonomian tidak terdapat pengangguran –yaitu
tenaga kerja dalam perekonomian tersebut sepenuhnya bekerja. Dalam analisis
makroekonomi dan juga dalam praktek penggunaan istilah tersebut, kesempatan
kerja penuh adalah keadaan di mana sekitar 95 persen dari angkatan kerja dalam
suatu waktu tertentu semuanya bekerja. Pengangguran yang berlaku pada tingkat
kesempatan kerja penuh ini dinamakan tingkat pengangguran alamiah atau
natural rate of employment. Sebagian ahli ekonomi lebih suka menggunakan
istilah NAIRU atau Non-Accelerated Inflation Rate of Unemployment, yang
dalam bahasa Indonesia kurang lebih dapat diartikan sebagai tingkat
pengangguran yang tidak akan mempercepat tingkat inflasi untuk menggantikan
istilah natural rate of unemployment.
Maksud dari angka 95 persen merupakan suatu ukuran kasar saja dan pada
hakikatnya mengatakan bahwa pengangguran dalam suatu perekonomian
mencapai 5 persen, maka perekonomian tersebut sudah dapat dianggap mencapai
kesempatan kerja penuh. Pengangguran sebesar 5 persen inilah yang dinamakan
sebagai pengangguran alamiah atau NAIRU.
Pada parakteknya, tingkat pengangguran yang dinamakan tingkat
pengangguran alamiah ini (i) berbeda di antara satu negara dengan negara lain,
dan (ii) berbeda dalam satu negara pada periode yang berbeda. Ada negara yang
menganggap bahwa pengangguran sebanyak 5 persensebagai ukuran untuk
menentukan tingkat kesempatan kerja penuh atau terlalu tinggi dan mereka
menginginkan tingkat yang lebih rendah –misalnya 3 atau 4 persen-. Tetapi ada
Universitas Sumatera Utara
negara lain yang menganggap pengangguran 5 persen sebagai ukuran mencapai
kesempatan kerja penuh terlalu rendah dan menganggap sudah dicapai pada
tingkat pengangguran sebanyak 7 atau 8 persen.
Ahli-ahli ekonomi menganggap bahwa pengangguran friksional dan
pengangguran struktural merupakan pengangguran yang wajar (oleh sebab itu
kedua jenis pengangguran tersebut digolongkan sebagai natural unemployment,
dan istilah ini mula-mula dekemukakan oleh Milton Friedman pada tahun 1968 –
yang dianggap berlakunya tidak dapat dihindari. Inilah alasan para ahli ekonomi
menganggap kesempatan kerja penuh telah tercapai apabila pengangguran dalam
wujud pengangguran friksional dan struktural.
Ahli-ahli ekonomi klasik menganggap bahwa masalah pengangguran
merupakan masalah yang bersifat sementara. Apabila masalah tersebut terjadi,
menurut pendapat ahli-ahli ekonomi klasik, pasaran buruh akan membuat
penyesuaian-penyesuaian sehingga akhirnya tingkat kesempatan kerja penuh akan
tercapai kembali.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4
Pandangan Klasik Mengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja
Tingkat Upah
Ns
W0
A
E0
E1
ND0
W1
ND1
NA
N1
N0
Jumlah Tenaga Kerja
Kurva NDo menggambarkan kurva permintaan buruh asal, manakala kurva
NS adalah kurva penawaran buruh. Dengan demikian pada mulanya tingkat upah
riil adalah W0 dan jumlah buruh yang akan digunakan dalam kegiatan ekonomi
adalah N0. Misalkan, terjadi perubahan dalam kegiatan ekonomi yang
menyebabkan permintaan buruh berkurang menjadi ND1. Apabila upah tetap pada
tingkat W0, akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebanyak NAN0 akan
berlaku dalam perekonomian. Ahli-ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa
pengangguran dalam wujud ini akan menurunkan tingkat upah. Para penganggur
akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pekerjaan dan bersedia dibayar
pada tingkat upah yang lebih rendah. Persaingan di antara penganggur akan
menyebabkan penurunan upah riil dan pada akhirnya menciptakan keseimbangan
pasaran tenaga kerja yang baru, yaitu di titik E1. Tingkat upah riil menurun
menjadi W1 dan perekonomian sekarang menggunakan hanya sebanyak N1 tenaga
Universitas Sumatera Utara
kerja, berbanding dengan N0 sebelum berlaku pengurangan dalam permintaan
tenaga kerja.
Menurut
para ahli-ahli ekonomi klasik NAN0 bukanlah pengangguran
dalam pengertian yang digunaklan dalam masa kini. Kaum klasik menganggap
bahwa pengangguran sebanyak NAN0 sebagai pengangguran sukarela. Mereka
merupakan tenaga kerja yang tidak mau bekerja pada tingkat upah riil sebanyak
W1. Mereka hanya akan bekerja apabila upah sama dengan atau lebih tinggi dari
W0. Dengan demikian mereka tidak dapat digolongkan sebagai penganggur.
Dalam
analisa
modern,
terdapat
pengangguran
yang
melebihi
pengangguran alamiah yang dikenal dengan pengangguran konjungtor yang
terjadi sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Perubahan
permintaan agregat dengan kesempatan kerja ditunjukkan pada grafik berikut.
Gambar 2.5
Pengangguran Konjungktur dan Sebab Berlakunya
P
LRAS AS
E
W0
E1
Ns
W1
A
E0
AD
AD1
Y1
YF
Y
(a) Permintaan dan Penawaran Agregat
N1
N0
N
(b) Pasaran Tenaga Kerja
Grafik (a) menggambarkan permintaan dan penawaran agregat dalam
perekonomian dan dimisalkan keseimbangan permulaan adalah di titik E dan
Universitas Sumatera Utara
perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Grafik (b) menggambarkann
keadaan di pasar tenaga kerja, di mana pada mulanya kesempatan kerja penuh
tercapai pada keseimbangan di titik E0 –yang berarti jumlah tenaga kerja yang
digunakan adalah N0 dan tingkat upah nominal adalah W0.
Seterusnya, misalkan perbelanjaan masyarakat mengalami kemunduran,
yang menyebabkan perubahan kurva permintaan agregat dari AD menjadi AD1.
Sebagai akibat dari perubahan ini keseimbangan di pasaran barang bergerak dari
titik E menjadi E1 –yang berarti pendapatan nasional turun dari YF menjadi Y1 dan
tingkat harga turun dari P0 menjadi P1. Perubahan di pasar barang ini akan
mempengarugi pasar tenaga kerja. Kemerosotan permintaan agregat, yang
menyebabkan penurunan harga dan pendapatan nasional akan mengurangi
permintaan ke atas tenaga kerja. Perubahan ke atas tenaga kerja ini digambarkan
oleh perpindahan permintaan tenaga kerja dan NDo menjadi ND1. Sebagai akibat
dari perubahan ini, pada tingkat upah W0, penawaran tenaga kerja melebihi
permintaan sebanyak AE0. Berarti pada tingkat upah W0 sebanyak N1N0 tenaga
kerja akan menganggur.
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, pengangguran ini akan
menyebabkan penurunan tingkat upah. Golongan Keynesian berpendapat tingkat
upah tidak akan mengalami perubahan, yaitu akan tetap sebesar W0 dan
menyebabkan
perekonomian menghadapi pengangguran konjungtor sebanyak
N1N0. Pengangguran seperti ini dinamakan juga sebagai pengangguran tidak
sukarela (Invouluntary unemployment).
Golongan Keynesian (dan Keyneseian baru) mengemukakan beberapa
alasan yang menyebabkan mereka berkeyakinan bahwa pengangguran yang
Universitas Sumatera Utara
berlaku tersebut tidak akan menurunkan tingkat upah dan mengembalikan
keseimbangan di antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Adanya
persatuan tenaga kerja merupakan salah satu alasan penting yang menyebabkan
tingkat upah tidak akan turun walaupun pengangguran berlaku. Biasanya
persatuan pekerja akan menolak permintaan majiikan untuk menurunkan tingkat
upah. Kedua, kebanyakan negara-negara industry terdapat peraturan-peraturan
mengenai upah minimum, yang membatasi kemungkinan penurunan upah untuk
menjamin agar operasi mereka tetap efisien. Demi meningkatkan efisiensi, banyak
perusahaan yang bersedia membayar gaji yang lebih tinggi kepada para pekerja
yang baik dan efisien. Oleh sebab itu, walaupun terdapat pengangguran yang
cukup besar, perusahaan-perusahaan tidaklah bergairah untuk menurunkan tingkat
upah.
Selain beberapa jenis pengangguran yang telah dikemukakan di atas, jenisjenis pengangguran di negara-negara sedang berkembang dapat juga dibedakan ke
dalam beberapa bentuk sebagai berikut :
a.
Pengangguran Terselubung
Apabila dalam suatu kegiatan perekonomian jumlah tenaga kerja sangat
berlebihan,
maka
akan
terjadi
pengangguran
terselubung
atau
pengangguran tidak kentara (disguished unemployment).
b.
Pengangguran Terbuka
Pengangguran terbuka adalah mereka yang benar-benar sedang tidak
bekerja, baik secara sukarela maupun karena terpaksa.
Universitas Sumatera Utara
c.
Setengah pengangguran
Setengah pengangguran adalah para pekerja yang jumlah jam kerjanya
lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan. Dapat juga diartikan
sebagai orang yang ingin bekerja, namun belum dimanfaatkan secara
penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam.
d.
Mereka yang nampak aktif bekerja, tetapi sebenarnya kurang produktif,
yaitu mereka yang tidak digolongkan dalam pengangguran terbuka atau
terselubung, namun bekerja di bawah standar produktivitas optimal.
e.
Mereka yang tidak mampu bekerja secara penuh, misalnya penyandang
cacat, sebenarnya ingin bekerja penuh, akan tetapi hasratnya terbentur
pada kondisi fidik yang lemmah dan tidak memungkinkan.
f.
Mereka yang tidak produktif, yaitu mereka yang sesungguhnya memiliki
kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif, akan tetapi
mereka tidak memiliki sumberdaya komplemen yang memadai untuk
menghasilkan output; yang mereka miliki hanya tenaga, sehingga
meskipun mereka sudah bekerja keras hasilnya tetap saja tidak memadai.
2.2.4 Dampak Pengangguran
a.
Dampak Pengangguran Terhadap Perekonomian
Setiap negara selalu berusaha agar tingkat kemakmuran masyarakatnya
dapat dimaksimumkan dan perekonomian selalu mencapai pertumbuhan ekonomi
yang mantap. Tingkat pengangguran yang relatif tinggi tidak memungkinkan
masyarakat mencapai tujuan tersebut. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan berbagai akibat
buruk
yang
ditimbulkan oleh masalah
pengangguran terhadap perekonomian, yaitu:
1. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimumkan
kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Pengangguran menyebabkan
penadapatan nasional yang sebenarnya adalah lebih rendah dari
pendapatan nasional potensial. Keadaan ini berarti tingkat kemakmuran
masyarakat yang dicapai adalah lebih rendah dari tingkat yang mungkin
akan dicapainya.
2. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak pemerintah berkurang.
Pengangguran yang diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi yang
rendah, pada gilirannya akan menyebabkan pendapatan yang diperoleh
pemerintah akan menjadi semakin sedikit.
3. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran
menimbulkan dua akibat buruk kepada sektor swasta. Pertama,
pengangguran tenaga kerja biasanya akan diikuti pula dengan kelebihan
kapasitas mesin-mesin perusahaan. Keadaan ini jelas tidak akan
mendorong perusahaan untuk melakukan investasi di masa yang akan
datang. Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan
perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang. Keuntungan yang rendah
mengurangi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi. Kedua hal
tersebut jelas tidak akan menggalakkan pertumbuhan ekonomi di masa
yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
b.
Dampak Pengangguran Terhadap Mayarakat
Pengangguran akan membawa beberapa akibat buruk terhadap individu
dan masyarakat, sebagai berikut:
1. Pengangguran
menyebabkan
kehilangan
mata
pencaharian
dan
pendapatan. Di negara-negara maju, para penganggur memperoleh
tunjangan dari badan asuransi pengangguran, dan oleh sebab itu, mereka
masih punya pendapatan untuk membiayai kehidupannya dan keluarganya.
Mereka tidak perlu bergantung kepada tabungan mereka atau bantuan
orang lain. Di negara-negara sedang berkembang belum terdapat program
asuransi pengguran, dan karenanya kehidupan pengangguran harus
dibiayai oleh tabungan masa lalu atau pinjaman keluarga dan temanteman. Keadaan ini potensial bias mengakibatkan pertengkaran dan
kehidupan keluarga menjadi tidak harmonis.
2. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Keterampilan
dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan hanya dapat dipertahankan apabila
keterampilan tersebut digunakan dalam praktek. Pengangguran dalam
kurun waktu yang lama akan menyebabkan tingkat keterampilan pekerja
menjadi semakin merosot.
3. Pengangguran dapat pula menimbulkan ketidakstabilan sosial dan
politik. Kegiatan ekonomi yang lesu dan pengangguran yang tinggi
dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat kepada pemerintah yang
berkuasa. Golongan yang berkuasa akan semakin tidak populer di mata
masyarakat, dan adakalanya hal itu disertai pula dengan tindakan
Universitas Sumatera Utara
demonstrasi dan huru hara. Kegiatan-kegiatan criminal seperti pencurian
dan perampokan dan lain sebagainya akan semakin meningkat.
2.3
Hubungan Inflasi dengan Pengangguran
2.3.1 Kuva Phillips
a.
A.W. Phillips (1958)
Pembahasan
mengenai
adanya
hubungan
antara
inflasi
dengan
pengangguran mulai banyak diperbincangkan kira-kira pada akhir tahun 1950-an.
Pada saat depresi ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 1929, terjadi inflasi
yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Didasarkan pada
fakta tersebut, A.W. Phillips melakukan penelitian untuk mengamati hubungan
antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran.
Dalam artikel yang berjudul “The Relationship Between Unemployment
and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom, 1861-1957”, A.W
Phillips memperlihatkan hubungan negatif antara tingkat kenaikan upah dengan
tingkat pengangguran di Inggris. Pada tahun-tahun yang memiliki tingkat
pengangguran yang rendah cenderung memiliki tingkat inflasi yang tinggi, dan
pada tahun-tahun yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi cenderung
memiliki tingkat inflasi yang rendah. Hasil pengamatan ini dituangkan dalam
bentuk grafik yang kemudian dikenal sebagai Kurva Phillips.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6
Kuva Phillips
Tingkat perubahan upah (%)
∆W0
∆W1
UEo
UE1
Tingkat Pengangguran(%)
Kurva Phillips menggambarkan sifat hubungan sebagai berikut:
1. Apabila tingkat pengangguran semakin rendah, tingkat upah semakin cepat
kenaikannya. Rendahnya tingkat pengangguran menunjukkan penurunan
penawaran tenaga kerja. Tenaga kerja mempunyai posisi kuat dalam
bargaining upah karena perusahaan tidak mau kehilangan faktor produksi
yang dimiliki, maka balas jasa tenaga kerja akan meningkat.
2. Apabila tingkat pengangguran relatif tinggi, kenaikan upah relatif lambat
berlakunya. Dalam kondisi tingkat pengangguran yang relatif tinggi, posisi
tenaga kerja lemah karena tingkat penawaran tenaga kerja yang melimpah.
Perusahaan dengan mudah mendapatkan tenaga kerja pengganti apabila
pekerja menuntut kenaikan upah. Namun perusahaan juga tidak mau
kehilangan tenaga kerja berpengalaman sehingga tidak bisa serta merta
memecat tenaga kerjanya. Dengan demikian tetap terjadi kenaikan upah
tetapi relatif lambat.
Universitas Sumatera Utara
Kurva Phillips modern mensubstitusi inflasi harga untuk inflasi upah
karean inflasi upah dengan inflasi harga terkait erat. Dalam periode ketika upah
meningkat pesat, harga-harga juga meningkat pesat. Namun pada suatu tingkat
pengangguran tertentu inflasi upah lebih cepat dari inflasi harga. Perbedaan ini
disebabkan karena kenaikan upah dibarengi dengan kenaikan produktivitas.
b.
Lipsey (1960)
Lipsey mencoba mengkaji mengenai hubungan antara tingkat inflasi
dengan tingkat pengangguran setelah Phillips. Lipsey mengemukakan postulat
bahwa:
1. Suatu hubungan terjadi antara tingkat upah minimal dan kelebihan
permintaan akan tenaga kerja.
2. Suatu hubungan yang negatif antara kelebihan permintaan akan tenaga
kerja dan tingkat pengangguran.
Secara matematis, postulat tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
Wt = f (Ut)
U ↓→ ∆W ↑
Yang menunjukkan bahwa tingkat perubahan upah uang dalam periode t
atau Wt adalah merupakan fungsi negatif dari tingkat pengangguran pada periode
t, atau Ut dimana Ut merupakan suatu proksi untuk kelebihan permintaan akan
tenaga kerja.
c.
Samuelson dan Solow (1966)
Kedua ahli ini mencoba memodifikasi model Lipsey mengenai Kurva
Phillips, dengan mengaitkan harga dengan upah-uang atau upah-nominal melalui
suatu mark-up atas unit labor cost. Kenaikan upah-uang akan menyebabkan unit
Universitas Sumatera Utara
labor cost mengalami kenaikan, dan dengan peresentase mark-up atas biaya yang
tertentu, maka harga-harga akan naik. Untuk upah-uang yang tertentu, maka
kenaikan di dalam produktivitas tenaga kerja, yang diukur dengan perubahan di
dalam output per tenaga kerja akan menyebabkan unit labor cost turun, dan
dengan suatu mark-up yang tertentu, maka hal ini akan menyebabkan penurunan
di dalam tingkat harga. Oleh karna itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antar
pertumbuhan upah-uang dan inflasi, dengan mark-up yang tertentu, sangat
tergantung pada laju pertumbuhan produktivitas tenaga kerja.
Secara sistematis, bentuk dari Kurva Phillips yang diusulkan oleh
Samuelson dan Solow dapat dinyatakan sebagai berikut:
∆ Pt = f (Ut)
Ut ↓ → Pt ↑ (cateris paribus)
Dimana Pt adalah laju inflasi pada waktu t, dan Ut adalah tingkat
pengangguran dalam periode yang sama. Persamaan di atas menggambarkan
Kurva Phillips sebagai berikut:
∆P
Gambar 2.7
Simple Phillips Curve
PC
P1
P0
UE1
UE0
Pengangguran
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Pandangan
Mengenai
Hubungan
Antara
Inflasi
dengan
Pengangguran
a.
Adopsi Kaum Keynesian: Kurva Phillips Jangka Pendek (Short Run
Phillips Curve)
Hasil temuan A.W. Phillips diadopsi oleh ekonom Keynesian untuk
menjelaskan adanya trade off antara tingkat inflasi dan pengangguran. Apabila
ingin mengurangi tingkat pengangguran, maka harga yang harus dibayar adalah
meningkatnya inflasi. Kaum Keynesian tidak percaya adanya suatu trade off
antara inflasi dengan pengangguran dalam jangka panjang, namun mereka percaya
bahwa hal itu terjadi dalam jangka pendek.
Hubungan inflasi dengan pengangguran seperti yang diungkapkan Phillips
dan diadopsi kaum Keynesian, dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis
kurva AD-AS seperti ditunjukkan pada diagram berikut:
Gambar 2.8
Kurva Phillips Berdasarkan Analisis Kurva AD-AS
P
Inflasi (%/tahun)
AS0 AS1 AS2
P2
C
P1
P0
B
I2
A
AD2 I1
AD1
AD0
0
Y0
(a)
Kurva Phillips
Y1
Y2
Io
Y
Pengangguran
0
U2
U1
U0
(b)
Universitas Sumatera Utara
Asumsi dari analisis kurva AD-AS dalam gambar 2.8
di atas adalah
analisis jangka pendek. Faktor produksi umumnya bersifat tetap (fixed input).
Karena itu, pertumbuhan penawaran agregat (kurva AS) tidak bisa secepat
pertumbuhan permintaan agregat (kurva AD). Tenaga kerja merupakan input
tetap, dalam jangka pendek, jumlahnya tidak mudah ditambah.
Diagram 2.8.a menunjukkan apa yang terjadi jika perekonomian terus
bertumbuh. Karena penawaran agregat (kurva AS) tidak bisa bertumbuh lebih
cepat dari permintaan agregat (kurva AD), maka pertumbuhan ekonomi jangka
pendek diikuti oleh inflasi. Dalam diagram 2.8.a titik-titik keseimbangan A, B, C
menunjukkan bahwa output menjadi lebih besar (Y2 > Y1 > Y0), tetapi hargaharga umum juga menjadi lebih tinggi (P2 > P1 > P0).
Jika dianggap ada hubungan yang tetap antara kesempatan kerja (N)
dengan tingkat output (Y), misalnya N = αY, di mana α > 0, maka bertambahnya
output akan menambah kesempatan kerja (N2 > N1 > N0). Karena jumlah tenaga
kerja juga dianggap tetap, maka penambahan kesempatan kerja akan mengurangi
pengangguran (U), sehingga U2 < U1 < U0. Untuk menderivasi Kurva Phillips,
yang perlu dilihat adalah hubungan antara P dan U. Jika
↑ maka
P
U↓. Hasilya
adalah seperti pada gambar 2.8 (b)
Kurva Phillips dalam gambar 2.8 (b)
diturunkan berdasarkan analisis jangka pendek, sehingga disebut kuva Phillips
Jangka Pendek (Short Run Phillips Curve,disingkat SPC).
Selain itu, kaum Keynesian juga percaya bahwa penggunaan kebijakan
moneter ekspansif merupakan upaya mempertahankan tingkat pengangguran di
bawah tingkat alamiah akan membutuhkan waktu beberapa tahun. Demikian juga
apabila kebijakan moneter yang kontraktif digunakan untuk mengurangi inflasi,
Universitas Sumatera Utara
maka tingkat pengangguran juga tidak akan segera turun, tetapi akan tetap berada
di atas tingkat alamiah jangka waktu yang panjang.
Jadi, kesimpulannya pada pendukung Keynesian percaya bahwa adalah
mahal biaya dalam konteks output dan employment untuk mengurangi tingkat
inflasi melalui kebijakan moneter kontraktif. Oleh karena itu, mengingat adanya
biaya atau pengorbanan yang sangat besar dalam upaya pengurangan tingkat
inflasi melalui kebijakan moneter kontraktif, maka sebagian besar dari pengikut
aliran Keynesian ini menyarankan untuk menggunakan instrument lainnya sebagai
pelengkap seperti pengawasan upah dan harga, disamping kebijakan moneter itu
sendiri.
b.
Adopsi Kaum Klasik: Kurva Phillips Jangka Panjang (Long Run
Phillips Curve)
Analisis kaum Keynesian seperti diuraikan di atas mengundang keberatan
kaum Klasik. Menurut mereka, kelemahan analisis di atas adalah dimensi waktu
yang berjangka pendek. Hasil analisis jangka pendek akan berbeda bila dengan
menggunakan analisis jangka panjang. Menurut kaum Klasik, dalam jangka
panjang perekonomian berada pada keadaan kesempatan kerja penuh (full
employment). Bentuk kurva AS menjadi tegak lurus, sehingga seperti ditunjukkan
oleh diagram di bawah, peningkatan permintaan agregat hanya akan menyebabkan
inflasi (P2 > P1 > P0), sementara output tidak bertambah. Karena itu pula Kurva
Phillips jangka panjang berbentuk tegak lurus. Jadi, menurut kaum Klasik, dalam
jangka panjang tidak ada trade off antara inflasi dan pengangguran.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9
Kurva Phillips Jangka Panjang (LPC)
P
AS
P2
LPC
AD2
P1
AD1
P0
AD0
0
c.
YF
Y
Kaum Monetaris
Kaum monetaris juga percaya bahwa antara inflasi dengan pengangguran
terdapat trade off dalam jangka pendek, dan bahwa periode penyesuaian adalah
panjang, meskipun tidak selama yang dibayangkan oleh Kaum Keynesian. Selain
itu, Monetaris tidak mendukung penggunaan kebijakan moneter yang ekspansif
untuk mengurangi tingkat pengangguran agar berada di bawah tingkat alamiah.
Dengan perkataan lain, para pendukung aliran Monetaris tidak menyarankan
penggunaan pengawasan upah atau harga sebagai cara untuk menurunkan tingkat
inflasi. Untuk mengurangi biaya berkenaan dengan upaya pengurangan tingkat
inflasi, maka kaum Monetaris mengusulkan adanya pengurangan secara gradual di
dalam laju pertumbuhan jumlah uang beredar, karena pengurangan yang bersifat
drastis menurut mereka akan memiliki efek negatif yang sangat serius bagi
perekonomian.
Universitas Sumatera Utara
2.4
Penelitian Terdahulu
Grubb (1986) dalam laporan penelitiannya bahwa rata-rata di negara-
negara OECD selama masa periode pasca perang, peningkatan pengangguran 1
persen per tahun berhubungan dengan penurunan inflasi upah 2 persen selama 1
atau 2 tahun pertama, berikutnya penurunan 1 persen atau lebih selama beberapa
tahun ke depan. Suatu perubahan pengangguran dalam satu-satu negara secara
tersendiri koefisiennya adalah 1/2 atau 2/3, tetapi untuk perubahan-perubahan
pengangguran pada keseluruhan negara secara serentak, koefisiennya malah lebih
besar. Perdebatan ini terutama dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas dunia
yang menciptakan hubungan negatif antara inflasi dengan pengangguran.
Gruen et.al (1997) telah meguji sejarah Kurva Phillips di Australia dalam
40 tahun sejak A.W. Phillips menafsirkannya pertama kali. Dengan menggunakan
berbagai pendekatannya, mereka menafsirkan Kurva Phillips untuk harga dan
biaya tenaga kerja di Australia pada tiga dekade terakhir ini. Kurva Phillips ini
menunjukkan suatu peranan untuk tingkat pengangguran dan angka perubahannya
dalam menentukan tingkat inflasi. Mereka menambahkan bahwa rata-rata NAIRU
di Australia mengalami kenaikan dari kurang lebih 2 persen pada akhir 1960
menjadi 6 persen pada tahun 1970. Kemudian turun pada tahun 1980 selanjutnya
naik sedikit antara 5,2 persen sampai dengan 7 persen.
Solikin
(2004)
melakukan
penelitian
tentang
keberadaan,
pola
pembentukan ekspektasi, dan linearitas kurva Phillips di Indonesia selama periode
1974-2002. Keberadan Kurva Phillips diteliti dengan menggunakan data PDB dan
IHK. Dari hasil penaksiran dan pengujian model empiris yang dilakukan,
diperoleh beberapa temuan penting, antara lain dapat disimpulkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
fenomena Kurva Phillips eksis dalam perekonomian Indonesia, dimana
keberadaan dan perilaku kurva tersebut mengalami perubahan dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan struktur fundamental perekonomian (regime
dependent), khususnya sebagai akibat dari krisis ekonomi 1997. Secara khusus,
pola pembentukan ekspektasi dan linieritas dalam Kurva Phillips mengalami
perbedaan (perubahan) yang signifikan antara periode pre dan pasca krisis.
Habibi (2006), dalam penelitiannya tentang persamaan kurva penawaran
agregat sebagai pendekatan Kurva Phillips di Indonesia menyimpulkan bahwa
kesenjangan PDB berpengaruh positif terhadap inflasi. Rasio trade-off yang
terjadi sebesar 0,69 persen. Artinya, usaha untuk menurunkan inflasi sebesar satu
persen berdampak pada penurunan PDB riil sebesar 0,69 persen. Apabila
diasumsikan setian pekerja menghasilkan nilai tambah yang sama, maka
penurunan satu persen inflasi berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran
sebesar 0,69 persen.
Amir (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh inflasi dan
pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia. Dari hasil penelitian
yang dilakukannya diperoleh kesimpulan bahwa di Indonesia, adanya kenaikan
harga-harga atau inflasi pada umumnya disebabkan karena adanya kenaikan biaya
produksi misalnya naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan karena kenaikan
permintaan. Dengan alasan inilah, maka tidak tepat bila perubahan tingkat
pengangguran di Indonesia dihubungkan dengan inflasi. Karena itu, perubahan
tingkat pengangguran lebih tepat bila dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi merupakan akibat dari adanya peningkatan kapasitas produksi yang merupakan turunan dari peningkatan investasi.
Universitas Sumatera Utara
Jadi jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi berhubungan erat dengan peningkatan
penggunaan tenaga kerja
2.5
Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah dalam
penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis adalah sebuah
taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang
dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondis-kondisi yang
diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah penelitian
selanjutnya.
Berdasarkan perumusan masalah dari beberapa hasil kajian yang telah
dilakukan dalam penelitian-penelitian terdahulu, maka hipotesis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia terdapat
hubungan timbal balik (kausalitas).
2. Antara tingkat inflasi dan pengangguran di Indonesia memiliki pengaruh
keseimbangan dalam jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
Download