BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Sistematika tumbuhan alpukat sebagai berikut (Depkes RI, 2001): Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranuculales Suku : Lauraceae Marga : Persea Jenis : Persea americana Mill Sinonim : Persea gratissima Gaertn 2.1.2 Habitat Tumbuhan Alpukat (Persea americana Mill) berasal dari Amerika Tengah. Tumbuhan ini masuk ke Indonesia sekitar abad ke-18. Alpukat tumbuh liar di hutan-hutan, banyak juga ditanam di kebun dan pekarangan yang lapisan tanahnya gembur dan subur serta tidak tergenang air. Tumbuh di daerah tropik dan subtropik dengan curah hujan antara 1.800 mm sampai 4.500 mm tiap tahun. Pada umumnya tumbuhan ini cocok dengan iklim sejuk dan basah. Tumbuhan tidak tahan terhadap suhu rendah maupun tinggi. Di Indonesia tumbuh pada ketinggian tempat antara 1 m sampai 1000 m di atas permukaan laut (Depkes RI, 1978). 2.1.3 Nama daerah Di Indonesia, alpukat banyak dikenal dengan berbagai nama diantaranya, alpuket atau alpukat (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah), buah pokat/jamboo pokat (Batak), advokat/pookat (Lampung), dan apuket/jambu wolanda (Sunda) (Indriani dan Suminarsih, 1997). 2.1.4 Morfologi Tumbuhan Pohon alpukat tingginya 3 m sampai 10 m, berakar tunggang, batang berkayu, bulat, warnanya coklat, dan banyak bercabang. Daun tunggal letaknya berdesakan di ujung ranting, bentuknya memanjang, ujung dan pangkal runcing. Tepi rata kadangkadang agak menggulung ke atas. Bunganya majemuk, buahnya buah buni, bentuk bola atau bulat telur, warnanya hijau atau hijau kekuningan. Daging buah jika sudah masak lunak, warnanya hijau dan kekuningan (Yuniarti, 2008). Buah alpukat memiliki biji yang berkeping dua, sehingga termasuk dalam kelas Dicotyledoneae. Biji bulat seperti bola, keping biji putih kemerahan. Kepingan ini mudah terlihat apabila kulit bijinya dilepas atau dikuliti. Kulit biji umumnya mudah lepas dari bijinya. Pada saat buah masih muda, kulit biji itu menempel pada daging buahnya. Bila buah telah tua, biji akan terlepas dengan sendirinya. Umumnya sifat ini dijadikan sebagai salah satu tanda kematangan buah. Buah yang berbentuk panjang mempunyai biji yang lebih panjang dibanding biji yang terdapat di dalam buah yang bentuk bulat. Walaupun demikian, semua biji alpukat mempunyai kesamaan, yaitu bagian bawahnya agak rata dan kemudian membulat atau melonjong (Indriani dan Suminarsih, 1997). 2.1.5 Kandungan Kimia Buah dan daun buah alpukat mengandung saponin, alkaloida, dan flavonoida. Buah juga mengandung tanin dan daun alpukat mengandung polifenol, quersetin, dan gula alkohol persiit (Yuniarti, 2008). 2.1.6 Manfaat Tumbuhan Pemanfaatan daging buah untuk mengatasi sariawan dan melembabkan kulit kering. Daun alpukat berkhasiat untuk kencing batu, darah tinggi dan sakit kepala, nyeri saraf, nyeri lambung, saluran nafas membengkak dan menstrusasi tidak teratur. Biji alpukat barkhasiat untuk sakit gigi dan kencing manis (DM) (Yuniarti, 2008). 2.2 Ekstraksi 2.2.1 Pengertian Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung pada simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). 2.2.2 Metode Ekstraksi Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin i. Maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). ii. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. 2. Cara panas i. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. ii. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. iv. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). v. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). 2.3 Diabetes Melitus 2.3.1 Pengertian Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis (Dalimartha, 2004). 2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi dari jenis-jenis diabetes adalah sangat penting untuk penentuan pengobatan dan prognosisnya. Diabetes melitus dapat dibagi dalam 3 tipe, yaitu: 1. Tipe-1, jenis remaja (juvenile, DM1) Pada tipe ini terdapat destruksi dari sel beta pankreas, sehingga tidak memproduksi insulin lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah. Karena itu kadar glukosa darah meningkat, sehingga glukosa berlebihan dikeluarkan lewat urin bersama banyak air (glycosuria). Tipe ini terjadi di bawah usia 30 tahun dan paling sering dimulai pada usia 10-13 tahun. Tipe ini disebut juga IDDM (Insulint Dependent Diabetes Melitus) karena penderita senantiasa membutuhkan insulin. Tipe ini disebabkan oleh suatu infeksi virus yang menimbulkan reaksi autoimun berlebihan untuk menanggulangi virus. Akibatnya sel-sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus, melainkan juga turut merusak atau memusnahkan sel-sel Langerhans (Tjay dan Rahardja, 2007). 2. Tipe-2, jenis dewasa (maturity onset, DM2) Lazimnya mulai di atas 40 tahun dengan insidensi lebih besar pada orang gemuk (overweight) dan pada usia lebih lanjut. Disebabkan oleh proses menua, banyak penderita jenis ini mengalami penyusutan sel-sel beta yang progresif. Selain itu, kepekaan reseptornya juga menurun. Hipofungsi sel beta ini bersama resistensi insulin yang meningkat mengakibatkan kadar gula darah meningkat (hiperglikemia). Tipe ini pada hakekatnya tidak bergantung dari insulin, maka disebut juga NIDDM (Non Insulint Dependent Diabetes Melitus). Bila tindakan umum (diet, gerak badan, penurunan berat badan) tidak atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan antidiabetika oral (Tjay dan Rahardja, 2007). 3. Diabetes kehamilan Diabetes kehamilan (Diabetes melitus gestasional) diartikan sebagai intoleransi glukosa yang ditemukan pada saat hamil dan diperkirakan insidens 1-3%. Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trisemester kedua atau ketiga, pada saat itu terjadi keadaan resistensi insulin. Oleh karena risiko kesakitan dan kematian perinatal tinggi maka dianjurkan skrining diabetes melitus gestasi yang dilakukan pada semua wanita hamil pada minggu gestasi ke 24-28 (Adam, 2000). 2.3.3 Gejala Diabetes Melitus Penyakit diabetes melitus ditandai gejala 3P, yaitu poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan). Di samping naiknya kadar gula darah, diabetes bercirikan adanya “gula” dalam kemih (glycosuria) dan banyak berkemih karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul rasa sangat haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, yang disertai pembentukan zatzat perombakan, antara lain aseton, asam hidoksibutirat dan diasetat, yang membuat darah menjadi asam (ketoacidosis). Keadaan ini amat berbahaya karena akhirnya dapat menyebabkan pingsan (coma diabeticum) (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.4 Tes Toleransi Glukosa Umumnya untuk keperluan tes toleransi terhadap glukosa dilakukan secara oral. Pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan dengan menggunakan cara enzimatik. Sesuai dengan kesepakatan WHO maka TTGO harus dilakukan dengan jumlah glukosa yang diberikan adalah sebesar 75 g untuk orang dewasa setelah berpuasa minimal 10 jam. Untuk anak-anak yang dilakukan pemeriksaan TTGO, dosis glukosa yang diberikan hanyalah 1,75 g/kg bb (Dalimartha, 2004). 2.5 Pengaturan Kadar Glukosa dalam Darah Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ tertentu, diantaranya adalah hati dan pankreas. a. Hati Glukosa yang berasal dari absorpsi makanan di intestin dialirkan ke hati di mana sebagian glukosa akan disimpan sebagai glikogen. Pada keadaan normal glikogen di hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa, tetapi bila fungsi hati terganggu akan mudah terjadi hipoglikemia atau hiperglikemia (Suherman, 2007). b. Pankreas Peran insulin dan glukagon berperan dalam metabolisme karbohidrat. Fungsi utama insulin adalah merendahkan kadar glukosa dalam darah dan mengubah glukosa menjadi glikogen sedangkan glukagon bekerja meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa (Suherman, 2007). 2.6 Terapi Farmakologi Penatalaksanaan awal DM yang bisa dipertimbangkan diantaranya pengaturan diet dan latihan fisik. Bila kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol secara optimal maka perlu terapi insulin atau antidiabetika oral (Price dan Wilson, 1995). 2.6.1 Terapi Insulin Insulin merupakan obat utama untuk DM tipe-1 untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan dengan normal sebab selsel beta Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak. Insulin diberikan juga pada DM tipe-2 yang tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan atau antidiabetika oral (Suherman, 2007). 2.6.2 Terapi Obat Antidiabetika Oral Berdasarkan cara kerjanya obat antidiabetika oral dapat dibagi dalam enam kelompok besar, yaitu : 1. Sulfonilurea Obat generasi pertama golongan ini mencakup tolbutamida dan klorpropamida sedangkan obat generasi kedua golongan ini mencakup glibenklamida, gliklazida, glipizida, glikidon, dan glimepirida. Sulfonilurea menstimulasi sel-sel beta dari pulau Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu, kepekaan se-sel beta bagi kadar glukosa darah diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Obat ini hanya efektif pada penderita tipe-2 yang tidak begitu berat yang selsel betanya masih bekerja cukup baik. Ada indikasi bahwa obat-obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan terhadap insulin dan menurunkan absorpsi insulin oleh hati (Tjay dan Rahardja, 2007). 2. Kalium Channel Blokers Repaglinida dan nateglinida adalah obat antidiabetes dari golongan ini. Senyawa ini sama mekanisme kerjanya dengan sulfonilurea (Tjay dan Rahardja, 2007). 3. Biguanida Metformin merupakan obat dari golongan ini, berbeda dengan sulfonylurea. Zat ini menekan nafsu makan hingga berat tidak meningkat, maka layak diberikan pada penderita yang kegemukan (Tjay dan Rahardja, 2007). Metformin bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan menghambat glukogenesis (Mycek, et al, 2001). 4. Glukosidase Inhibitors Akarbose dan miglitol merupakan obat dari golongan ini. Zat-zat ini bekerja atas dasar persaingan merintangi enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorbsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar darah dihindarkan (Tjay dan Rahardja, 2007). 5. Thiazolidindion Rosiglitazon dan pioglitazon merupakan obat dari golongan ini. Disebut juga dengan insulin sensitizer yang berdaya mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin. Oleh karena itu penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat, juga kapasitas penimbunannya di jaringan ini. Efeknya kadar insulin, glukosa, dan asam lemak dalam darah menurun, begitu pula glukoneogenesis dalam hati (Tjay dan Rahardja, 2007). 6. Penghambat DPP-4 (DPP-4blockers) Sitagliptin dan vildagliptin merupakan obat dari golongan ini. Obat-obat kelompok terbaru ini bekerja berdasarkan efek penurunan kadar hormon incretin. Incretin berperan utama terhadap produksi insulin di pankreas. Incretin ini diuraikan oleh suatu enzim khas DPP-4 (dipeptidylpeptide). Dengan penghambatan enzim ini, senyawa gliptin mengurangi penguraian dan inaktifasi incretin, sehingga kadar insulin akan meningkat (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.7 LD50 Hampir semua obat pada dosis yang cukup besar dapat menimbulkan efek toksik/dosis toksik (TD) dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (dosis letal/LD). Dosis terapeutis adalah takaran pada mana obat menghasilkan efek yang diinginkan. Untuk menilai keamanan dan efek suatu obat, di laboratorium farmakologi dilakukan penelitian dengan hewan percobaan. Yang ditentukan adalah khusus ED50 dan LD50, yaitu dosis yang masing-masing memberikan efek atau dosis yang mematikan pada 50% dari jumlah binatang (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.8 Luas Daerah di Bawah Kurva atau Area Under the Curve (AUC) AUC adalah total jumlah obat yang ada dalam tubuh dalam satuan waktu tertentu atau kadar obat dalam sirkulasi sistemik versus waktu (AUC). Nilai AUC menggambarkan derajat absorpsi, yakni berapa banyak obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Dengan membandingkan nilai AUC pemberian ekstravaskuler terhadap AUC intravena suatu obat dengan dosis yang sama, akan didapatkan nilai ketersediaan hayati absolut, yakni fraksi obat yang dapat diabsorpsi dari pemberian ekstravaskuler (Setiawati, 2007).