BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesulitan diagnosis dini pada karsinoma nasofaring (KNF) sampai saat ini masih menjadi masalah, hal ini disebabkan gejala dini penyakit yang tidak khas, letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Disamping itu pemeriksaan serologi dan histopatologi yang belum memadai seperti pewarnaan immunohistokimia serta hampir seluruh penderita datang pada stadium lanjut, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Selain itu KNF dikenal sebagai tumor yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh. Keadaan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan KNF belum memberikan hasil yang memuaskan (Soetjipto, 1993; Mulyarjo, 2002). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas di bidang THT di Indonesia yang dapat mengenai semua golongan umur (Sastrowijoto,1995). KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia dan menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan usia, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Hulu et al, 1999; Fachiroh et al, 2004). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al, 2004). Etiologi karsinoma nasofaring sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori telah dikemukakan sebagai dugaan faktor penyebab terjadinya kanker ini, seperti implikasi dari infeksi virus, faktor ras dan keturunan serta faktor lingkungan dan adat kebiasaan. Universitas Sumatera Utara Beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain yaitu non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring (Zachreni, 1999; Portis et al, 2004). Virus Epstein-barr (VEB/ EBV) terbukti dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Oleh karena pada virus Epstein-barr mempunyai dua siklus hidup yaitu siklus litik dan siklus laten, pada siklus laten inilah dihasilkan protein virus seperti Epstein-barr Nuclear Antigen (EBNA) dan dua protein laten membrane (LMP). Sehingga pada penderita karsinoma nasofaring sel yang terinfeksi oleh VEB akan menghasilkan protein tertentu yang dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A, dan LMP-2B. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan konsentrasi antibodi anti VEB jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma nasofaring. Chang dkk (2007) pada penelitian yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa dari 156 penderita karsinoma nasofaring terdapat 134 penderita (85,9 %) dengan VEB IgA yang meningkat. Hal ini dibuktikan juga oleh Mungerson et al (2003) dengan ditemukannya LMP-1 pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring, sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Krisna et al (2004) terhadap suku india asli bahwa VEB DNA di dalam serum penderita nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada penderita karsinoma nasofaring primer. Keterkaitan infeksi VEB dalam patogenesis KNF telah banyak dikemukakan, yang dikarakteristikkan dengan adanya respon antibodi terhadap VEB yang ditunjukkan adanya peningkatan titer IgG dan IgA pada pasien KNF terhadap VEB viral capsid antigen (VCA), dan antigen yang berhubungan dengan replikasi yang disebut early antigen (EA). Hal ini berhubungan dengan tumor primer, remisi dan rekurensi (Traub, 2002). Pemeriksaan terhadap karsinoma nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, Universitas Sumatera Utara immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi dengan menggunakan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Simanjuntak, 2002). Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi Epstein Barr virus dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini (Obernder et al, 1989). Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti Epstein-barr virus (EBNA-1) di dalam serum plasma dimana EBNA-1 merupakan suatu protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang (2003) dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan VEB DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring. Dengan adanya penelitian-penelitian dari berbagai sentra tersebut tentang peningkatan titer EBNA-1 pada penderita KNF, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kadar EBNA-1 pada penderita KNF di RSUP. H. Adam Malik Medan, melalui pemeriksaan immunoassay. 1.2. Perumusan Masalah Adapun masalah dalam penelitian ini yang ingin diketahui adalah bagaimana titer nilai EBNA-1 pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Mengetahui kadar titer nilai EBNA-1 dalam serum penderita karsinoma nasofaring. 1.3.2. Tujuan khusus Universitas Sumatera Utara a. Untuk mengetahui kadar antibodi anti Epstein-barr virus (EBNA-1) dari penderita karsinoma nasofaring. b. Untuk mengetahui karakteristik penderita karsinoma nasofaring dari segi umur, jenis kelamin dan suku. c. Untuk mengetahui distribusi histopatologi karsinoma nasofaring. d. Untuk mengetahui distribusi stadium karsinoma nasofaring. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui kadar antibodi terhadap antigen Epstein-barr virus (EBNA-1). 1.4.2. Dapat digunakan untuk mengetahui salah satu penyebab karsinoma nasofaring. Universitas Sumatera Utara