2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Pisang merupakan komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat siap cerna (sekitar 30% dari bagian yang dapat dimakan). Pisang banyak mengandung komponen karbohidrat terutama pati, sehingga pisang sering ditepungkan atau terkadang diambil patinya. Pisang memiliki rasa yang sangat enak dan dapat mengenyangkan, sebagai sumber pro-vitamin A, mengandung vitamin C sekitar 20 mg/100g bobot segar, dan vitamin B. Nilai energi pisang sekitar 136 kalori yang secara keseluruhan berasal dari karbohidrat (Wikipedia 2007). Pisang tua mengandung 70-80% pati berdasarkan berat kering. Pati pisang alami bersifat resisten terhadap serangan α-amilase dan glukoamilase. Pisang juga mengandung serat pangan, terutama hemiselulosa dan pektik polisakarida (Zhang et al. 2005). Menurut Nunez-Santiago et al. (2004) pati pisang mempunyai ukuran diameter rata-rata 24.31 µm untuk pati yang tidak dimasak dan 59 – 66 µm untuk pati yang dimasak. Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi (Zhang et al. 2005). Pisang mengandung kalium tinggi, walaupun kandungan besi dan natriumnya rendah. Kandungan protein pisang sekitar 1% dan lemak 0.3% dari bagian yang dapat dimakan (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). 2.2. Pati Resisten Pati adalah homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat pati tergantung dari panjang rantai C-nya, serta rantai molekul (bercabang atau lurus). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa merupakan fraksi terlarut dan mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1.4)-Dglukosa. Amilopektin adalah fraksi tidak larut dan mempunyai struktur bercabang dengan ikatan α-(1.6)-D-glukosa (Winarno 2002). Amilosa dan amilopektin memiliki berat molekul yang tinggi (Lehninger 1993). 6 Amilosa memiliki derajat polimerisasi 6000 dengan berat molekul 105 sampai 106 g/mol. Rantainya dapat dengan mudah membentuk rantai heliks tunggal atau ganda. Amilopektin memiliki derajat polimerisasi rata-rata 2 juta dengan berat molekul 107 sampai 109 g/mol. Panjang rantai terdiri dari 20-25 unit glukosa antara setiap percabangan (Sajilata et al. 2006). Pati merupakan suatu bentuk utama karbohidrat yang dikonsumsi. Pati adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa yang berikatan bersama dan membentuk karbohidrat kompleks. Umumnya, pati dapat diurai oleh enzim pencernaan dalam usus halus menjadi molekul glukosa. Glukosa kemudian diserap ke dalam darah dan digunakan untuk menghasilkan energi untuk tubuh (British Nutrition Foundation 2005). Pati dihidrolisa di dalam saluran pencernaan oleh amilase yang disekresikan ke dalam saluran pencernaan. Cairan air liur dan pankreas mengandung α-amilase yang mampu menghidrolisa ikatan α-(1.4) amilopektin menghasilkan D-glukosa, sejumlah kecil maltosa dan suatu inti yang tahan hidrolisa (limit dekstrin). Limit dekstrin tidak dihidrolisa lebih jauh oleh α-amilase (tidak dapat memecahkan ikatan α-(1.6). Enzim yang berperan dalam pemecahan ikatan ini adalah α-(1.6)glukosidase. Aktivitas gabungan α-amilase dan α-(1.6)-glukosidase dapat menguraikan amilopektin secara sempurna menjadi glukosa dan sejumlah kecil maltosa (Lehninger 1993). Pati dapat dibedakan berdasarkan difraksi sinar X, berdasarkan aktivitas enzim, dan berdasarkan karakteristik nutrisi. Klasifikasi pati berdasarkan aktivitas enzim terbagi atas tiga yaitu pati yang dicerna dengan cepat (Rapidly digestible starch), pati yang dicerna dengan lambat (Slowly digestible starch), dan pati resisten. Klasifikasi berdasarkan karakteristik nutrisi, pati terbagi atas dua jenis yaitu pati yang dapat dicerna dan pati resisten (tidak dapat dicerna) (Sajilata et al. 2006). Pati resisten dianggap sebagai jumlah keseluruhan pati dan produk degradasi pati yang tidak dapat diserap dalam saluran pencernaan (usus halus) dan langsung menuju usus besar (kolon). Oleh karena itu, pati resisten 7 digolongkan sebagai sumber serat pangan (British Nutrition Foundation 2005). Pati resisten memiliki tiga peranan yaitu sebagai serat pangan, serat pangan yang tidak larut, dan sebagian berperan sebagai serat pangan yang dapat larut (Wikipedia 2008). Pati resisten tidak dapat diserap dalam tubuh disebabkan oleh beberapa faktor. Pati secara fisik memiliki ketahanan terhadap enzim saluran pencernaan, granula pati memiliki struktur yang bersusun sehingga mencegah enzim pencernaan untuk mendegradasinya. Ketika pati dipanaskan, pati akan tergelatinisasi dan menjadi mudah untuk dicerna. Namun, jika gel pati didinginkan, kristal pati terbentuk dalam makanan dan bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Pati juga tidak dapat diserap diakibatkan diberi perlakuan kimia sehingga tidak dapat dipecah oleh enzim pencernaan (eterisasi, esterisasi, dan ikatan silang) (British Nutrition Foundation 2005). CSIRO Division of Human Nutrition Australia, merekomendasikan konsumsi RS sebanyak 20 gram setiap hari untuk memperoleh manfaat kesehatan. Negara berkembang mengonsumsi pati resisten berkisar 3-7 gram per hari. Masyarakat Australia mengonsumsi pati resisten berkisar 5-7 gram per hari, sedangkan di U.S rata-rata berkisar 4,9 gram per hari (Oldways 2007). Klasifikasi pati resisten berdasarkan mekanisme dan struktur yang berkontribusi terhadap ketahanannya dalam enzim pencernaan. Pati resisten tipe I, resisten dalam saluran pencernaan disebabkan pati ini dilindungi dari enzim pencernaan oleh komponen lain yang secara normal ada dalam matriks pati. Pati resisten tipe II, resisten terhadap saluran pencernaan diakibatkan struktur granula dan arsitektur molekulnya. Pati resisten tipe III, sifat resistennya diakibatkan bentuknya tidak bergranula (struktur kristal), pati ini terutama dihasilkan selama proses pemasakan dan pendinginan pati selama proses pengolahan makanan (pati terlepas dari struktur granulanya dan mungkin rantai glukosanya membentuk kristal atau retrogradasi sehingga sulit untuk dicerna). Pati resisten tipe IV, sifat resistennya diakibatkan ikatan kimia yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Englyst et al. 1992; Onyango et al. 2006; Okoniewska dan Witwer 2007). 8 2.3. Pembentukan Pati Resisten Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pati resisten adalah sifat alami pati (kristalinitas pati, struktur granula, rasio amilosa dan amilopektin, retrogradasi amilosa, pengaruh panjang rantai amilosa, linearisasi amilopektin), panas dan kelembaban, interaksi pati dengan komponen lain (protein, serat pangan, inhibitor enzim, ion, gula, lipid atau emulsifier), kondisi pengolahan dan proses panas (Sajilata et al. 2006). Kadar pati resisten dipengaruhi oleh rasio amilosa : amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar pati resisten yang dihasilkan. Makanan yang mengandung amilosa tinggi (tepung jagung dengan kadar amilosa 70%) memiliki kadar pati resisten lebih tinggi, yaitu 20 g/100 g berat kering dibandingkan tepung jagung yang mengandung amilosa 25%, yaitu 3 g/100 g berat kering (Sajilata et al. 2006). Pembentukan pati resisten tipe III dipertimbangkan sebagai proses kristalisasi amilosa (Eerlingan dan Delcour 1995; Thompson 2000). Sievert dan Pomeranz (1990) melaporkan peningkatan kadar amilosa pada pati dihubungkan dengan peningkatan entalpi gelatinisasi pati. Menurut Sajilata et al. (2006) panjang rantai amilosa tidak berpengaruh terhadap derajat polimerisasi (DPn) pati resisten yang dihasilkan. DPn RS berkisar 19-29 yang berasal dari panjang rantai amilosa yang berbeda (DPn amilosa berkisar 40-610). Hal ini menunjukkan pati resisten mungkin dibentuk oleh aggregasi rantai amilosa dengan residu 24 unit glukosa. Thompson (2000) melaporkan panjang rantai amilosa dengan DPn 260 meningkatkan kadar pati resisten, yaitu 28%. Panjang rantai amilosa dengan DPn di atas 260 menghasilkan kadar pati resisten kurang dari 28%. Eerlingan dan Delcour (1995) melaporkan fraksi amilosa dengan DPn kurang dari 100 memiliki konsentrasi rantai relatif tinggi dan tidak memiliki dimensi untuk membentuk struktur kristal. Hal ini mengakibatkan kadar pati resisten rendah. Menurut Thompson (2000) amilosa dengan DPn lebih tinggi dari 300 tidak mudah untuk mengkristal sehingga membutuhkan rantai polimer lurus untuk membentuk kritalitas resisten. Kandungan protein dan lemak pada pati berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi pati dan kadar pati resisten yang dihasilkan. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi adalah 0.02 g/100 g berat kering dan 0.009 g/100 g berat 9 kering. Setelah dilakukan hidrolisis protein dan lemak, kadar pati resisten meningkat secara signifikan. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah hidrolisis protein meningkat menjadi 0.14 g/100 g berat kering dan 0.04 g/100 g berat kering. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah hidrolisis lemak menggunakan berbagai solven berkisar 0.14-0.22 g/100 g berat kering dan 0.050.07 g/100 g berat kering (Mangala et al. 1999). Kandungan air dari pati berpengaruh terhadap pati resisten yang dihasilkan. Kadar pati resisten maksimal diperoleh ketika rasio pati : air (1 : 3.5) (Eerlingan dan Delcour 1995; Sajilata et al. 2006). Kadar air pati 18 % meningkatkan level derajat kristalinitas pati, sedangkan kadar air pati 27 % menyebabkan pati lebih mudah didegradasi oleh enzim (Sajilata et al. 2006). Menurut Mangala et al. (1999) suhu juga berpengaruh terhadap kadar pati resisten yang dihasilkan. Suhu autoklaf meningkatkan kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah diberi perlakuan hidrolisis protein dan lemak. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah hidrolisis protein dan diotoklaf adalah 0.15 g/100 g berat kering dan 0.10 g/100 g berat kering. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah hidrolisis lemak menggunakan berbagai solven dan diotoklaf berkisar 0.39-0.89 g/100 g berat kering dan 0.12-0.15 g/100 g berat kering. Menurut Onyango et al. (2006) waktu pemanasan pada suhu autoklaf berpengaruh terhadap pati resisten tipe III yang dihasilkan dari pati singkong setelah disuspensi dengan 10 mmol/L asam laktat. Kadar pati resisten tipe III tertinggi diperoleh pada suhu autoklaf selama 45 menit. Hal ini mengindikasikan efek hidrolisis panas dan asam berlanjut pada menit ke 45. Menurut Onyango et al. (2006) suhu dan waktu retrogradasi secara signifikan berpengaruh terhadap kadar pati resisten tipe III yang dihasilkan, tetapi interaksi antara suhu dan waktu retrogradasi tidak berpengaruh terhadap kadar pati resisten tipe III. Kadar pati resisten tipe III tertinggi dihasilkan dari pati singkong yang telah disuspensi 10 mmol/L asam laktat dengan suhu dan waktu retrogradasi 60⁰C selama 48 jam, yaitu 9.97 g/100 g berat kering. Menurut Schmiedl et al. (2000) waktu retrogradasi berpengaruh terhadap entalpi (∆H) retrogradasi dan kadar pati resisten tipe III yang dihasilkan. Pati yang diretrogradasi selama 2 jam memiliki nilai ∆H dan kadar pati resisten tipe III yang 10 lebih tinggi dibandingkan pati yang diretrogradasi selama 24 jam. ∆H pati yang diretrogradasi selama 2 jam adalah 28.7 mJ/mg dengan pati resisten tipe III 93%, sedangkan ∆H pati yang diretrogradasi selama 24 jam adalah 10.3 mJ/mg dengan pati resisten tipe III 56%. Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pullulanase secara signifikan meningkatkan pembentukan pati resisten selama pemanasan pada suhu otoklaf (Sajilata et al. 2006). Menurut Onyango et al. (2006) pati resisten tipe III tertinggi dihasilkan dari konsentrasi 10 mmol/L asam laktat dibandingkan konsentrasi 1 mmol/L asam laktat dan 100 mmol/L asam laktat. Bakteri penghasil asam laktat (BAL) dapat tumbuh pada pati sagu yang difermentasi secara spontan. BAL mampu menghasilkan beberapa jenis asam organik. Asam organik yang dihasilkan terutama asam asetat, asam laktat, dan asam n-butirat. Asam laktat meningkat secara signifikan pada hari ke-23 fermentasi, yaitu 37 mM (Greenhill et al. 2008). Lactobacillus plantarum mampu menghasilkan asam laktat dari metabolisme glukosa (Axelsson 2004). L. plantarum A6 yang diisolasi dari singkong mampu menghasilkan enzim amilolitik, dan secara efisien memiliki kemampuan untuk menghidrolisis pati secara parsial (Nguyen et al. 2007; Ouattara et al. 2009). L. plantarum L137 yang diisolasi dari makanan fermentasi tradisional (ikan dan nasi) menghasilkan enzim amilolitik dan pullulanase (amilopullulanase) yang mampu menghidrolisis ikatan amilosa dan amilopektin (Kim et al. 2008; Kim et al. 2009). Sobowale et al. (2007) melaporkan tepung fufu yang diperoleh melalui proses fermentasi tepung singkong, baik fermentasi tradisional maupun menggunakan kultur L. plantarum SL 14 dan L. plantarum SL 19 meningkatkan kadar amilosa tepung fufu dibandingkan kontrol (tanpa fermentasi). Kadar amilosa tepung yang difermentasi berkisar 21,10-21,30 % sedangkan kontrol 19,80%. 2.4. Manfaat Pati Resisten Pati resisten dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, penderita hiperinsulemik, dan penderita disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Langkilde et al. (2002) melaporkan 11 penambahan tepung pisang mentah yang mengandung pati resisten tipe II dalam makanan tidak mempengaruhi penyerapan usus halus terhadap komponen nutrisi atau jumlah sterol. Pati resisten dapat mencapai usus besar (kolon) tanpa mengalami perubahan dan berkontribusi sebagai serat pangan. Pati resisten dapat difermentasi oleh mikroflora yang secara alami terdapat dalam kolon untuk menghasilkan sejumlah kecil karbon dioksida, metana, dan hidrogen. Fermentasi pati resisten dalam usus besar oleh mikroorganisme mampu meningkatkan massa kotoran. Peningkatan massa kotoran mempengaruhi berbagai agen genotoksik dalam usus besar, sehingga mereduksi kerusakan DNA dalam sel kolon (British Nutrition Foundation 2005). Pati resisten secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas bakteri menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus (Okoniewska dan Witwer 2007). Pati resisten secara cepat difermentasi dalam sekum (bagian usus besar) dan kolon proksimal. Pati resisten dapat secara efektif menghasilkan asam lemak rantai pendek (butirat) dan menurunkan amoniak yang bersifat toksik melalui fermentasi dalam kolon proksimal (Govers et al. 1999), menurunkan jumlah asam empedu sekunder, memperbaiki saluran pencernaan, dan meningkatkan penyerapan mikronutrien (magnesium dan kalsium) dalam kolon (British Nutrition Foundation 2005). Asam lemak ini menurunkan pH kolon, menghambat pertumbuhan bakteri patogen, mencegah kerusakan DNA akibat mengkonsumsi protein dalam jumlah tinggi, dan memulihkan keseimbangan usus dari ketidakseimbangan yang disebabkan oleh bakteri patogen (Okoniewska dan Witwer 2007). Suplemen serat pangan pati resisten berpotensi memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson et al. 2005). So et al. (2007) melaporkan pemberian pati resisten pada tikus secara signifikan memberi dampak pada jaringan adiposa, morfologi dan metabolisme adiposa, metabolisme glukosa dan insulin, mempengaruhi regulasi nafsu makan yang disebabkan oleh perubahan aktivitas neuronal dalam pusat pengatur nafsu makan hipotalamik yang memberikan sugesti kenyang. Menurut Okoniewska dan Witwer (2007) pati 12 resisten meningkatkan rasa kenyang karena mampu meningkatkan ekspresi genetik penstimulasi rasa kenyang yang dihubungkan pada hormon GLP-1 dan PYY dalam usus besar. Pati resisten tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi insulin postprandial, glukosa, triasilgliserol, dan asam lemak bebas dalam darah (Higgins et al. 2004), dan tidak mengubah serum lipid, urea, H2, dan CH4 dalam serum (Jenkins et al. 1998). Menurut Higgins et al. (2006) pati resisten secara signifikan mencegah berat badan dalam jangka waktu yang lama. Konsumsi pati resisten tipe III mencegah pertumbuhan sel tumor, menurunkan sejumlah proliferasi sel, meningkatkan apoptosis, menginduksi protein kinase C-δ (PKC-δ), menginduksi ekspresi protein heat shock (HSP 25), tetapi menghambat glutation peroksidase gastrointestinal (GI-GPx), dan mencegah karsinogenesis kolon (Marinovic et al. 2006). Reduksi respon glikemik ditingkatkan oleh kombinasi pati resisten dan serat pangan yang larut. Konsumsi makanan yang mengandung serat pangan ini memperbaiki metabolisme glukosa (Behall et al. 2006). Korelasi respon akut apoptosis terhadap karsinogen genotoksik tidak bergantung pada kelompok serat pangan tetapi dipengaruhi oleh pati resisten. Perubahan jumlah asupan pati resisten mampu mengubah aktivitas fermentasi dalam kolon (Le leu et al. 2003). Pati resisten memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan kolon pada manusia dan memudahkan defekasi (Phillips et al. 1995). Pati resisten mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek durasi diare pada anak remaja dan orang dewasa yang menderita kolera (Ramakrishna et al. 2000). Menurut Ramakrishna et al. (2008) pati resisten mampu mempercepat pemulihan diare, mereduksi pertumbuhan Vibrio cholerae penyebab kolera. 2.5. Sifat Prebiotik Menurut Wells et al. (2008) prebiotik didefenisikan sebagai ingridien makanan yang tidak dapat diserap dalam usus halus dan bermanfaat bagi inang melalui stimulasi secara selektif pertumbuhan dan aktivitas sejumlah bakteri dalam kolon yang dapat memperbaiki kesehatan inang. Menurut Griffin 13 dan Abrams (2008) prebiotik adalah komponen ingridien makanan yang tidak dapat diserap dalam usus halus, tetapi dapat difermentasi oleh mikroflora dalam usus besar menjadi asam lemak berantai pendek (SCFA) yang bersifat volatil. Kandidat prebiotik diharapkan tidak dihidrolisis atau diserap pada bagian atas saluran gastrointestinal dan secara selektif difermentasi oleh satu atau sejumlah bakteri komensial yang menguntungkan pada kolon misalnya Bifidobacteria dan Lactobacilli (Wells et al. 2008). Menurut Roberfroid (2008) klasifikasi ingridien makanan sebagai prebiotik antara lain : tahan terhadap asam lambung, tidak dihidrolisis oleh enzim mamalia, tidak diserap pada bagian atas saluran gastrointestinal, difermentasi oleh mikroflora usus, secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas bakteri intestinal yang berpotensial dan dihubungkan dengan kesehatan. Menurut ISAPP (2008) suatu “prebiotik” dinyatakan bukan prebiotik jika dapat didegradasi oleh asam lambung hewan atau manusia, tidak bersifat selektif (hanya menumbuhkan sejumlah bakteri yang menguntungkan bagi kesehatan bukan sejumlah besar bakteri yang merugikan bagi kesehatan), hanya diuji dalam laboratorium dan hewan belum pada manusia, mungkin mengandung senyawa yang mempengaruhi sifat prebiotiknya, dan belum diatur penggunaannya dalam jumlah yang rendah untuk memberikan manfaat bagi kesehatan. Manning et al. (2004) melaporkan banyak komponen serat yang memiliki potensi sebagai prebiotik, tetapi sumber prebiotik yang paling banyak dikembangkan berasal dari oligosakarida yang tidak dapat dihidrolisis dalam saluran pencernaan seperti fruktooligosakarida (FOS), transgalaktooligosakarida (TOS), isomaltooligosakarida (IMO), xylooligosakarida (XOS), soyoligosakarida (SOS), glukooligosakarida (GOS), dan laktosukrosa. Menurut Grajek et al. (2005) lactulosa, galaktoligosakarida, fruktooligosakarida, inulin dan hidrolisatnya, maltooligosakarida, dan pati resisten merupakan prebiotik yang umumnya digunakan dalam nutrisi manusia. Oligosakarida merupakan gula yang terdiri antara 2 dan 20 unit sakarida. Oligosakarida adalah rantai pendek polisakarida. Beberapa terdapat secara alami pada buah-buahan dan sayuran kemudian diekstrak dan sebagian dihasilkan dari polisakarida (serat pangan dan pati) atau melalui proses 14 enzimatik. Sifat prebiotik dari karbohidrat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1) Komposisi monosakarida, prebiotik terutama dibentuk dari glukosa, galaktosa, xylosa, fruktosa, arabinosa, rhamnosa, dan glukosamin; (2) Ikatan glikosidik, ikatan antara residu monosakarida merupakan faktor penting untuk menentukan selektifitas fermentasi dan daya cerna dalam usus halus; (3) berat molekul, polisakarida bukan prebiotik, prebiotik memiliki berat molekul yang rendah (Manning et al. 2004). Menurut ISAPP (2008) serat pangan dan prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna, dan keduanya dapat difermentasi oleh mikroflora usus. Walaupun demikian, prebiotik berbeda dengan serat pangan. Prebiotik bersifat selektif, hanya membantu pertumbuhan bakteri yang bersifat menguntungkan bagi kesehatan. Prebiotik lebih dihubungkan dengan konsep probiotik dibandingkan serat pangan. Saluran gastrointestinal manusia terdiri dari komunitas mikroorganisme. Konsentrasi bakteri dan aktivitas metabolik tertinggi ditemukan dalam usus besar. Kelompok bakteri predominan dalam usus besar manusia dewasa adalah bakteri fakultatif dan obligat anaerob terutama genera Bacteroides, Eubacterium, Clostridium, Ruminococcus, Bifidobacterium, dan Fusobacterium (Vanhoutte et al. 2006). Menurut Wells et al. (2008) bakteri dominan pada usus manusia adalah Cytophaga, Flavobacterium, Bacteroides (termasuk genus Bacteroides) dan Firmicutes (termasuk genera Eubacterium dan Clostridium). Keduanya kira-kira meliputi 30% dari total bakteri dalam mucus dan feses. Dalam usus, organisme anaerob lebih mendominasi dibandingkan organisme aerob. Genera anaerob yang mendominasi antara lain Peptococci, Peptostreptococci, Bifidobacteria, dan Ruminococci. Genera subdominant aerob (fakultatif anaerob) termasuk Escherichia, Enterobacter, Enterococci, Klebsiella, Lactobacilli, dan Proteus. Anatomi saluran pencernaan dapat dilihat pada Gambar 1. Vanhoutte et al. (2006) melaporkan bakteri kolon berperan untuk memfermentasi berbagai substrat yang lolos atau komponen serat pangan yang tidak terserap pada bagian atas saluran gastrointestinal. Produk fermentasi antara lain asam lemak berantai pendek (SCFA) yang menyediakan tambahan energi bagi inang, senyawa proteolitik termasuk substansi toksik seperti senyawa fenol, amin, 15 dan amoniak. Wells et al. (2008) melaporkan sumber energi dari fermentasi di kolon adalah karbohidrat termasuk polisakarida (pektin, hemiselulosa, selulosa, gum, dan pati resisten), oligosakarida, alkohol yang tidak dapat diserap, dan gula. Usus halus : Jumlah bakteri 104-106/ml Contoh : Lactobacilli, Gram positif cocci Perut : Jumlah bakteri 103/ml Contoh : Helicobacter pylori Kolon : Jumlah bakteri 1012/g Contoh : Bacteroides, Bifidobacteria, Clostridia, Peptostreptococci, Fusobacteria, Lactobacilli, Enterobacteria, Enterococci, Eubacteria, methanogens, reducer sulphat, dll Gambar 1 Perbedaan komunitas bakteri pada saluran pencernaan. Wells et al. (2008) Menurut Lichtenstein dan Goldin (2004) usus halus yang lebih rendah merupakan zona transisi antara populasi bakteri pada bagian atas saluran gastrointestinal dan populasi bakteri di kolon. Pada ileum yang lebih rendah sejumlah bakteri meningkat antara 106 dan 107 cfu/ml. Pada kolon, konsentrasi meningkat antara 1011 sampai 1012 cfu/ml dari material fekal. Bakteri kolon diklasifikasikan berdasarkan potensi efeknya bagi kesehatan. Peningkatan bakteri proteolitik seperti Clostridia dan Bacteriodes dapat menyebabkan gangguan bagi kesehatan. Bifidobacteria dan Lactobacilli memberikan efek positif antara lain menstimulasi sistem imun, menghasilkan vitamin, menghambat patogen di intestinal, mereduksi amoniak dalam darah dan sejumlah kolesterol, dan mereduksi konstipasi (Vanhoutte et al. 2006). Cummings dan Macfarlane (2002) melaporkan efek prebiotik antara lain : (1) Melalui fermentasi dalam usus besar, menghasilkan asam lemak berantai pendek dan laktat, gas terutama CO2 dan H2, meningkatkan biomassa, meningkatkan energi fekal dan nitrogen, meningkatkan sifat laksatif; (2) Bagi mikroflora, secara selektif meningkatkan Bifidobacteria dan Lactobacilli dalam 16 planktonik dan komunitas biomassa, reduksi Clostridia, meningkatkan ketahanan kolonisasi terhadap patogen, memiliki manfaat yang berpotensial mencegah invasi patogen; (3) Usus halus, efek osmotik prebiotik yang memiliki berat molekul rendah, memperbaiki penyerapan kalsium, magnesium, dan besi, berinteraksi dengan mucus mengubah daerah ikatan bakteri, lektin, dan lain-lain; (4) Mulut, melindungi kerusakan gigi; (5) Efek lain, metabolisme asam empedu (perubahan yang dihasilkan tidak konsisten), efek bervariasi pada enzim mikroba yang berpotensi berpengaruh terhadap karsinogenesis, menstimulasi apoptosis. Penelitian pada tikus uji, memperlihatkan prebiotik meningkatkan penyerapan kalsium, mereduksi terjadinya osteoporosis post gastrektonin, dan memperbaiki mineral pada tulang. Efek ini dihubungkan dengan peningkatan berat kandungan fekal, meningkatkan jumlah asam lemak rantai pendek fekal, dan menurunkan pH fekal (Griffin dan Abrams 2008). Menurut Manning et al. (2004), prebiotik mampu mencegah terjadinya kanker kolon, memiliki efek bagi bakteri patogen, memperbaiki penyerapan kalsium, memiliki efek terhadap lemak darah, dan memiliki efek imunologi. Prebiotik mungkin secara langsung memodifikasi aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang terlibat dalam karsinogenesis seperti azoreduktase, nitroreduktase, dan β-glucuronidase. Pati resisten dianggap memiliki efek prebiotik. Hasil penelitian pada hewan model (tikus dan babi) secara signifikan meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan Lactobacillus setelah mengkonsumsi pati resisten tipe III. Intervensi diet pati resisten tinggi pada manusia secara signifikan meningkatkan produksi asam lemak berantai pendek (SCFA) yang menandakan pengaruh pati resisten pada mikroflora (Klinder et al. 2008). Menurut Manning et al. (2004) pati resisten ditemukan mereduksi sterol, asam empedu sekunder, dan enzim genotoksik. Pati resisten memiliki kelebihan dibandingkan prebiotik jenis lain (FOS dan inulin). Pati resisten mudah mengikat dan memerangkap air, sehingga dapat mempertahankan kadar air dalam feses. Hal ini mengakibatkan pati resisten tidak menyebabkan sembelit jika dikonsumsi dalam jumlah relatif tinggi (Taggart 2005). 17 Le Leu et al. (2007) melaporkan hasil penelitian pada tikus uji memperlihatkan pati resisten mengganggu kolonik luminal melalui peningkatan konsentrasi asam lemak berantai pendek (butirat) dan menurunkan produksi toksik hasil fermentasi protein akibat mengkonsumsi protein dalam jumlah yang tinggi. Pati resisten tidak hanya bersifat sebagai pelindung melawan penyebab tumor usus tetapi juga memperbaiki efek tumor yang disebabkan oleh protein yang tidak dapat dicerna. Hylla et al. (1998) melaporkan pati resisten memiliki potensi penting bagi metabolisme mikroorganisme yang terdapat dalam kolon manusia dan berperan penting sebagai pencegah kanker. Menurut Jenkins et al. (1998) pati resisten memiliki manfaat fisiologi yang dihubungkan dengan kesehatan kolonik dalam fekal dan metabolisme SCFA. Asam lemak berantai pendek (SCFA) dibentuk ketika polisakarida difermentasi oleh bakteri anaerobik yang terdapat dalam usus besar. Terdapat banyak bentuk polisakarida dalam usus besar, salah satunya pati resisten. SCFA utama yang dihasilkan dalam usus manusia adalah butirat, propionat, dan asetat. Konsentrasi SCFA dalam usus besar bergantung pada jenis polisakarida. Umumnya, asetat adalah asam lemak berantai pendek yang paling banyak dihasilkan sedangkan butirat yang paling rendah. Selain itu, konsentrasi juga dipengaruhi oleh daerah di usus besar. Konsentrasi tertinggi dideteksi pada daerah yang paling dekat dengan usus halus (70-140 mM) (British Nutrition Foundation 2005). 2.6. Serat Pangan Serat pangan menurut American Association of Cereal Chemists (2001) dalam Champ et al. (2003) adalah bagian edibel atau analog karbohidrat yang memiliki sifat resisten terhadap enzim pencernaan dan penyerapan dalam usus halus dan dapat difermentasi secara parsial atau keseluruhan di dalam usus besar. Serat pangan terdiri dari polisakarida, oligosakarida, lignin, dan substansi pada tanaman. Serat pangan memberikan efek kesehatan termasuk menurunkan kolesterol dan glukosa darah. Hernot dan Fahey (2007) menyatakan serat pangan terdiri dari karbohidrat tanaman dan lignin yang terdapat dalam jumlah yang besar pada matriks tanaman dan tidak dapat dicerna atau diserap dalam usus halus manusia. Oligosakarida dan 18 pati resisten juga digolongkan dalam serat pangan. Serat pangan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Sajilata et al. (2006) melaporkan pati resisten walaupun bukan komponen dinding sel, akan tetapi secara nutrisi memiliki fungsi yang sama dengan polisakarida bukan pati, pati resisten digolongkan sebagai serat pangan yang tidak larut tetapi fungsinya sama dengan serat pangan larut. Menurut McIntyre et al. (1993) serat pangan menghasilkan konsentrasi butirat yang lebih tinggi dibandingkan asetat. Hal ini menunjukkan serat pangan dihubungkan dengan konsentrasi butirat yang tinggi dalam usus besar distal yang berfungsi sebagai pelindung atau melawan kanker usus besar sedangkan serat pangan yang bersifat larut tidak menghasilkan peningkatan konsentrasi butirat dalam distal kolon. Pengujian in vivo pada tikus produksi butirat secara signifikan dihubungkan dengan penghambatan pembentukan sel tumor. Pati resisten menghasilkan butirat sedangkan pektin berperan untuk membentuk asetat dalam jumlah besar. Butirat dihubungkan dengan banyak sifat biologi dalam kolon. Butirat memiliki efek pada tingkat metilase DNA yang dihubungkan dengan ekspresi gen. Butirat juga meningkatkan proliferasi sel normal dan menekan proliferasi sel yang telah mengalami perubahan. Apoptosis mungkin meningkat pada sel yang telah mengalami perubahan tetapi menghambat sel normal ketika terdapat butirat (Wollowski et al. 2001). 2.7. Indeks Glikemik Indeks glikemik adalah pengukuran kecepatan penyerapan karbohidrat serta kemampuan karbohidrat untuk menaikkan konsentrasi glukosa darah dalam waktu tertentu. Definisi lain indeks glikemik adalah sebagai respon glukosa darah terhadap makanan yang mengandung karbohidrat dalam takaran dan waktu tertentu (Prijatmoko 2007). Menurut Patterson (2006) faktor yang mempengaruhi IG adalah struktur matriks makanan, dinding sel dan struktur pati, struktur granula pati, kandungan amilosa dan amilopektin, kadar serat pangan, asam organik, penghambat amilase, komposisi monosakarida, komposisi karbohidrat, kadar pati resisten, dan gula alkohol. Kadar IG dari suatu makanan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu rendah (nilai IG di bawah 55), sedang (nilai IG 56-69), dan tinggi (nilai IG 70 ke atas). 19 Kadar amilosa yang tinggi menunjukkan derajat hidrolisis yang lebih rendah, amilosa adalah faktor utama yang mempengaruhi indeks hidrolisis pati (HI), estimasi nilai indeks glikemik (IG) secara signifikan lebih rendah pada kadar amilosa yang tinggi dibandingkan kadar amilosa rendah (Frei et al. 2003; Hu et al. 2004; Margareta Leeman et al. 2006). Xue et al. (1996) menyatakan pati jagung yang kaya amilosa berkorelasi positif terhadap penurunan glukosa darah dan level insulin. Selanjutnya, Akerberg et al. (1998) menyatakan IG yang rendah tidak hanya ditentukan oleh pati resisten, tetapi rendahnya IG mungkin juga dipengaruhi oleh fraksi selain pati resisten, produk dengan kadar amilosa tinggi menghasilkan respon metabolik yang lebih rendah.