Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kentang
Kentang berasal dari dataran tinggi Andean, Amerika Selatan. Pada tahun
1794 kentang telah dibudidayakan di sekitar Cisarua, Bandung. Baru pada tahun
1811, kentang
tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah
pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Padang, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Minahasa, Bali dan Flores.
Di Jawa, kentang banyak terdapat di daerah
Pengalengan, Lembang dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu
(Jawa Tengah), Batu, Dieng dan Tengger (Jawa Timur). Kentang yang
dibudidayakan terdiri dari beberapa spesies yang meliputi kurang lebih 150
spesies yang berumbi. Tanaman tersebut termasuk famili Solanaceae, genus
Solanum,
subgenus
Pachystemonum,
seksi
Tuberarium,
subseksi
Hyperbasarthrum (Hooker, 1990; Permadi, 1989).
Kentang merupakan tanaman herba semusim dengan tipe biji berkeping
dua.
Tinggi tanaman dapat mencapai 0.3 - 1 meter, batangnya agak lunak,
berbulu dan bercabang, akarnya merupakan akar adventif.
Pada awal
pertumbuhannya batang tanaman kentang tegak, kemudian menyebar dan rebah
di atas tanah. Bentuk batang bulat sampai persegi tiga atau empat dengan warna
hijau kemerah-merahan atau keungu-unguan. Sedangkan daun berwarna hijau,
berbentuk delta sampai lonjong, berpasangan di sebelah kiri dan kanan tangkai
membentuk rangkaian yang berakhir dengan daun tunggal pada ujungnya
(Ashari, 1995).
Bunga kentang
mempunyai dua jenis kelamin (bunga sempurna).
Mahkotanya berwarna putih, merah, ungu atau biru tergantung varietasnya dan
berbentuk terompet yang ujungnya seperti bintang (Smith, 1977). Terdapat lima
benang sari yang berwarna kuning melingkari tangkai putiknya, bersifat protogeni
yakni putiknya lebih cepat masak daripada tepung sarinya, hal ini menyebabkan
terjadinya penyerbukan silang dan tidak memiliki kelenjar madu.
Buah kentang berwarna hijau tua sampai keunguan, berbentuk bulat dan
berongga dua, dengan biji berwarna krem dan berukuran kecil (0.5 mm). Pada
bagian batang yang terletak di bawah permukaan tanah terdapat daun-daun kecil
seperti sisik. Pada ketiak daun ini terdapat tunas ketiak yang tumbuh menjulur
secara diageotropik. Tunas ketiak ini disebut stolon. Umbi kentang terbentuk
sebagai pembesaran bagian ujung stolon dan berfungsi sebagai tempat
cadangan makanan. Umbi tersebut memiliki banyak mata tunas. Bentuk umbi
bulat, lonjong dan berkulit tipis. Warna umbi putih, merah agak ungu dan kuning
sesuai varietasnya dan umumnya umbi dipakai sebagai bahan perbanyakan
tanaman (Soewito, 1991).
Penyakit Layu Bakteri
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum,
dilaporkan pertama kali oleh E.F. Smith pada tahun 1896 (Kelman et al., 1994).
Bakteri ini sebelumnya dikenal dengan nama Bacillus solanacearum E.F. Smith,
Bacterium solanacearum Chester, Bacillus nicotianae Uyeda, Bacillus musae
Rorer, Bacillus musarum Zeman, Phytomonas solanacearum E.F. Smith, Erwinia
nicotiana Uyeda atau Xanthomonas solanacearum E.F. Smith dan Pseudomonas
solanacearum E.F. Smith (Kelman, 1953; Mehan et al., 1994). Yabuuchi et al.,
(1995)
kemudian
merevisi
nama
bakteri
tersebut
menjadi
Ralstonia
solanacearum.
Layu bakteri merupakan penyakit penting pada famili Solanaceae terutama
pada tanaman kentang, tomat, terung, lada, jahe, cabai, kacang tanah, pisang
dan tembakau.
Bakteri ini merupakan penyebab penyakit yang mempunyai
sebaran yang luas di daerah tropis dan sub-tropis (Asandhi, 1996).
Ciri-ciri R. solanacearum
Bakteri R. solanacearum mempunyai ciri-ciri berbentuk batang, bersifat
gram negatif, dan tidak
membentuk spora. Ukuran sel bakteri ini bervariasi
sekitar (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0)
m, tergantung pada kondisi pertumbuhan.
Bentuk koloni bakteri bervariasi dari tidak tembus cahaya sampai bintik-bintik
kecil. Dalam media padat, koloni bakteri berwarna coklat keruh, tidak beraturan,
halus, bercahaya, kebasah-basahan dan berdiameter 3 - 5
m (Kelman, 1953).
Pada media biakan, R. solanacearum cenderung membentuk koloni tidak
virulen atau tingkat virulensinya rendah. Koloni yang virulen dan tidak virulen
dapat
dideteksi
dengan
menumbuhkan
Triphenyltetrazolium Chloride (TZC).
dengan
isolat
bakteri
pada
medium
Koloni bakteri virulen berwarna putih
pusat berwarna merah muda, dan bentuknya bulat tidak beraturan,
sedangkan yang tidak virulen koloni bakterinya berbentuk bulat kecil dengan
pusat berwarna merah tua.
Pada media cair, bakteri virulen biasanya tidak
bergerak, sedangkan bakteri yang tidak virulen aktif bergerak (Hooker, 1983;
1990).
Klasifikasi R. solanacearum dibagi dalam dua sistem, yaitu sistem Ras dan
sistem Biovar. Sistem pengelompokan Ras didasarkan pada perbedaan kisaran
tanaman inang dari patogen pada kondisi di lapangan (Hayward, 1964 dan 1986;
He et al., 1983; Martin dan French, 1996).
Berdasarkan sistem Ras, R.
solanacearum dikelompokkan menjadi lima Ras, yaitu: Ras 1, mempunyai
kisaran tanaman inang yang sangat luas, menyerang kentang, tomat, cabai,
tembakau, kacang tanah dan gulma, terjadi terutama di daerah dataran rendah
tropis dan sub tropis dan termasuk Biovar 1, 3 dan 4;
Ras 2, menyerang
tanaman famili Musaceae, contoh pisang dan Heliconia spp., yang pada awalnya
terbatas ditemukan di daerah tropis Amerika, namun saat ini telah menyebar ke
Asia, dan termasuk Biovar 1 dan 3;
Ras 3, terutama menyerang tanaman
kentang dan tomat di daerah dataran tinggi, dan termasuk Biovar 2; Ras 4,
menyerang tanaman jahe, ditemukan terutama di Filipina dan termasuk Biovar 3
dan 4; dan Ras 5, menyerang murbei di Cina dan termasuk Biovar 5.
Sistem Biovar didasarkan pada karakteristik biokimia, yaitu kemampuan
bakteri menggunakan atau menghidrolisis tiga disakarida (selobiosa, laktosa dan
maltosa) dan tiga alkohol heksosa (dulsitol, mannitol dan sorbitol). Sistem ini
membedakan isolat R. Solanacearum menjadi lima Biovar (Hayward, 1964 dan
1986; He et al., 1983) (Tabel 1). Isolat Biovar 1 tidak menggunakan semua
senyawa karbohidrat. Isolat Biovar 2 menghidrolisis tiga disakarida, tetapi tidak
menghidrolisis alkhol heksosa.
senyawa karbohidrat.
Isolat Biovar 3 dapat menghidrolisis semua
Isolat Biovar 4 hanya menggunakan alkohol heksosa,
tetapi tidak menghidrolisis disakarida.
semua
Isolat Biovar 5 dapat menghidrolisis
senyawa disakarida dan alkohol heksosa
manitol, tetapi tidak
menggunakan sorbitol dan dulsitol.
Hayward (1991) menyatakan bahwa biovar 1 dominan ditemukan di
Amerika Serikat, sedangkan Biovar 3 ditemukan di Asia.
Biovar 2, 3 dan 4
ditemukan di Australia, Cina (bersama-sama ras 5), India, Indonesia, Papua New
Guinea dan Srilanka. Sedangkan di Filipina ditemukan Biovar 1 sampai 4.
Hubungan antara Ras dan Biovar belum banyak diketahui, namun
demikian Hayward (1991) menyatakan bahwa Ras 3 identik dengan Biovar 2.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Machmud (1986) diketahui bahwa R.
solanacearum yang ditemukan di Indonesia adalah Ras 1 dan Ras 3, atau
berdasarkan sistem biotipe tergolong Biovar 2, 3 dan 4.
Tabel 1. Ciri-ciri Biovar R. Solanacearum yang dikelompokan berdasarkan
kemampuannya menggunakan senyawa karbohidrat (Hayward, 1964
dan 1986; He et al., 1983 ; Martin dan French, 1996).
Senyawa Karbohidrat
Biovar
1
2
3
4
5
-
+
+
-
+
Laktosa
-
+
+
-
+
Maltosa
-
+
+
-
+
Alkohol
Manitol
-
-
+
+
+
heksosa
Sorbitol
-
-
+
+
-
Dulsitol
-
-
+
+
-
disakarida Selubiosa
Keterangan : + (reaksi positif/tumbuh); - (reaksi negatif/tidak tumbuh)
Gejala Serangan
Gejala serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R.
solanacearum dapat terlihat pada semua fase pertumbuhan tanaman kentang
(Martin dan French, 1996). Pada kebanyakan tanaman, biasanya gejala yang
ditimbulkan penyakit layu pertama kali terlihat pada tanaman yang berumur 30
hari, daun-daun menjadi layu pada salah satu atau beberapa daun saja atau
kelayuan mendadak pada seluruh tanaman.
biasanya layu semua.
Dalam satu rumpun batang
Daun-daun layu berwarna suram sampai pucat, dan
akhirnya berubah menjadi coklat tanpa diikuti oleh penggulungan daun.
Kelayuan yang hebat disertai robohnya batang lebih sering terjadi pada tanaman
muda dan dari varietas-varietas yang rentan.
Penyebaran Patogen
Sumber utama penyebaran bakteri R. solanacearum di lapangan adalah
umbi bibit yang terinfeksi secara laten, dan melalui tanah yang terinfestasi
(Semangun, 1989). Penyebaran bakteri jarak dekat dapat melalui kontak antara
akar yang satu dengan akar lainnya, alat-alat yang digunakan saat penanaman,
dan air irigasi ataupun percikan air hujan. Sedangkan penyebaran jarak jauh
dapat melalui umbi, serangga dan bahan perbanyakan vegetatif yang terinfeksi
secara laten. Hal ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama, bahkan
sampai beberapa tahun (Semangun, 1989).
Bakteri R. solanacearum umumnya masuk ke dalam tanaman melalui luka
yang terjadi pada waktu bercocok tanam atau melalui pertumbuhan akar
sekunder.
Akar-akar tanaman yang luka, oleh nematoda atau luka mekanik
selama bercocok tanam atau lubang-lubang alamiah merupakan tempat
masuknya patogen ke jaringan tanaman sehingga cocok untuk kolonisasi bakteri
(Kelman, 1953).
Perkembangan penyakit layu bakteri dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, diantaranya faktor lingkungan, tanaman, dan mikroorganisme tanah.
Faktor yang sangat penting peranannya dalam perkembangan bakteri adalah
suhu. Kelman (1953) mengemukakan bahwa suhu memegang peranan penting
dalam distribusi patogen.
Suhu optimum untuk perkembangan bakteri layu
adalah 27 - 37oC, sedangkan pada suhu 15oC penyakit ini tidak berkembang dan
kondisi tanah yang kering sangat tidak sesuai untuk perkembangan penyakit.
French (1986) melaporkan bahwa strain R. solanacearum Ras 3 Biovar 2
menyebabkan kerusakan yang berat pada tanaman kentang yang ditanam di
daerah yang suhunya lebih rendah.
Kelembaban dan suhu tanah juga dapat mempengaruhi kemampuan
bertahannya hidup bakteri.
Penelitian yang dilakukan oleh Akiew (1985)
menunjukkan bahwa populasi R. solanacearum menurun tajam pada suhu tanah
yang tinggi serta kelembaban tanah yang rendah. Sebaliknya pada kelembaban
tanah yang tinggi dan suhu tanah yang rendah, bakteri tersebut menunjukkan
kemampuan bertahan hidup untuk waktu yang relatif lama di dalam tanah.
Ketahanan Tanaman Kentang Terhadap R. solanacearum
Pemuliaan ketahanan kentang terhadap layu bakteri baru dimulai sekitar
tahun 1967 di Wisconsin, USA (Schmiediche, 1984). Tahun 1972, Rowe dan
Sequeira mulai mengadakan persilangan antara beberapa klon
tahan yang
berasal dari spesies diploid S. phureja dengan S. tuberosum. Pada tahun 1976
telah diperoleh 369 klon yang menunjukkan ketahanan yang tinggi. Klon-klon ini
kemudian dikirimkan ke beberapa negara, diantaranya ke Peru, Fiji dan
Indonesia.
Di Peru, dua klon telah menjadi varietas unggul, yaitu Caxmarca
(BR.63.74) dan Molinera (Br. 63.69), sedangkan di Fiji adalah Amapola yaitu klon
BR 69.84 (Herrera, 1977).
Pemuliaan tanaman kentang dapat dilakukan dengan cara persilangan baik
persilangan antar varietas (Atlantic X Granola) maupun persilangan antar
spesies (S. tuberosum X S. phureja). Persilangan-persilangan tersebut terutama
ditujukan untuk mencari turunan yang berproduksi dan berkualitas, serta tahan
terhadap hama dan penyakit. Juga dengan cara mendatangkan bahan-bahan
pemuliaan dari luar negeri (introduksi) berupa varietas-varietas unggul, klon-klon
hasil silangan atau berupa biji-biji hasil silangan.
Pemuliaan tanaman kentang bertujuan untuk mendapatkan varietas
unggul, yang berproduksi dan tahan terhadap penyakit. Menurut Sahat (1984),
varietas dikatakan unggul jika mempunyai daya hasil tinggi, tahan terhadap
penyakit, kualitas hasil baik, berpenampilan baik (warna, bentuk, kedalaman dan
jumlah mata) serta mempunyai daya adaptasi lingkungan yang luas.
Tanaman pada dasarnya akan memberikan reaksi tertentu terhadap setiap
faktor luar, termasuk infeksi oleh patogen.
Ketahanan tanaman terhadap
patogen dapat dibedakan sebagai ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal.
Ketahanan horizontal adalah ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen atau
disebut ketahanan poligenik, bersifat lemah tetapi efektif mengatasi semua ras
dari satu spesies patogen. Gen-gen yang tercakup dalam ketahanan horizontal
ini
memberi
pengaruh
terhadap
patogen
dengan
cara
memperlambat
perkembangan infeksi patogen dan menurunkan penyebaran penyakit dan
perkembangan epidemik di lapangan.
Ketahanan vertikal adalah ketahanan yang dikendalikan oleh satu atau
beberapa gen saja atau disebut ketahanan monogenik, bersifat kuat tetapi hanya
terbatas pada ras tertentu saja. Gen-gen yang terlibat pada ketahanan vertikal
dapat menyebabkan interaksi inang dan patogen tidak cocok, sehingga patogen
tidak dapat bertahan dan memperbanyak diri dalam tanaman inang. Dapat
menghambat penyerangan awal patogen dan menghambat perkembangan
epidemik dengan membatasi jumlah inokulum awal.
Diantara klon kentang liar, S. chacoense dilaporkan tahan terhadap
beberapa penyakit, antara lain layu bakteri (Ralstonia solanacearum), blackleg
(Erwinia carotovora), Potato Virus X (PVX), dan Potato Virus Y (PVY) (Hawkes,
1994). Menurut Bamberg et al. (1994), saat ini telah diketahui beberapa
kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon
kentang S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 (Tabel 2).
Tabel 2.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit
antara klon S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415
(Bamberg et al. 1994)
Kesamaan
Perbedaan
Klon S. chacoense
Klon S. chacoense
Pi230580
Pi175415
Bacterial Wilt / Layu Potato Virus A
Potato Leaf Roll
Bakteri
(Ralstonia
Virus (PLRV)
solanacearum)
Blackleg / Busuk Lunak Potato Virus F
Potato Virus Y
(Erwinia caratovora)
Northern
Root-Knot Potato Virus M
Nematode
(Meloidogyne hapla)
Colorado Potato Beetle Potato Virus X
(Leptinotarsa
decemlineata)
Tarnish Plant Bug
Potato Leaf Hopper Verticillium
Wilt
(Empoasca fabae)
(Jamur
Verticillium
ssp.)
Ringrot
(Corynebacterium
sepedonicum)
Green Peach Aphid
(Myzus persicae)
Pengujian Ketahanan secara In vitro
Pengujian ketahananan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri
secara in vitro merupakan metode pengujian yang mudah dilakukan. Kelebihan
dari cara pengujian ini antara lain tidak memerlukan lahan yang luas, waktu
yang diperlukan lebih singkat dan hasil seleksi dapat diulangi di rumah kaca atau
di rumah plastik sementara patogen yang digunakan menyebar terbatas di
laboratorium. Metode ini mudah dikerjakan dan telah dipelajari pada beberapa
tanaman dalam program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan sifat
ketahanan terhadap penyakit.
Fock et al. (2000) melakukan seleksi secara in vitro terhadap klon-klon
kentang hasil fusi protoplas antara BF15 (2x) dengan S. Phureja (2x) untuk
mendapatkan klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Metode inokulasi
yang digunakan yaitu dengan memasukkan akar tanaman ke dalam inokulum.
Hasil penelitian menunjukan metode inokulasi yang digunakan belum efektif dan
periode inkubasinya relatif lama.
Oleh karena itu, melakukan pengujian
ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro masih
perlu dicoba dengan metode-metode inokulasi yang lain, sehingga didapatkan
suatu metode seleksi secara in vitro yang efektif dan efisien.
Download