II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Eksternalitas Pemanfaatan Kawasan Kawasan pesisir dan laut memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomi dan berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut di antaranya adalah potensi sumber daya ikan dan sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi (migas). Potensi sumber daya yang dimiliki menjadikan kawasan pesisir dan laut berfungsi sebagai area penangkapan ikan (fishing ground) nelayan. Potensi sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi menjadikan kawasan pesisir dan laut dimanfaatkan sebagai area produksi migas. Kedua potensi tersebut memiliki nilai dan peran yang sangat penting bagi perekonomian rumah tangga dan negara. Pada kasus keberadaan sumber daya ikan dan migas yang berada di kawasan yang berbeda maka pemanfaatan kawasan untuk kegiatan berbeda dalam waktu bersamaan tidak akan menimbulkan eksternalitas terhadap masing-masing pemanfaatan. Namun, kondisi yang terjadi akan berbeda ketika sumber daya ikan dan migas berada di kawasan yang sama dan dimanfaatkan pada waktu yang bersamaan. Fauzi (2004) menjelaskan bahwa status kawasan pesisir dan laut sebagai barang publik menyebabkan tidak adanya kepemilikan yang tegas terhadap kawasan tersebut. Hal ini berdampak pada pola pemanfaatan kawasan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya yang dikandung oleh kawasan tersebut. Lebih lanjut kondisi ini disebut sebagai suatu bentuk eksternalitas akibat pemanfaatan barang publik oleh lebih dari satu pihak yang berkepentingan. Lebih spesifik lagi disebutkan bahwa eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari suatu pihak dapat mempengaruhi utilitas dari pihak lain secara tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak eksternalitas. Kondisi ini berdampak pada pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam yang tidak efisien, mengingat adanya pihak yang diuntungkan dari kerugian yang diderita oleh pihak lain. 10 Friedman (1990) menyatakan bahwa eksternalitas yang positif melahirkan barang publik, sementara eksternalitas negatif menghasilkan barang publik “negatif”. Eksternalitas dapat terjadi dari konsumsi ke konsumsi, dari konsumsi ke produksi dan dari produksi ke konsumsi. Kula, 1992 diacu dalam Fauzi, 2004 menyebut tipe eksternalitas ini sebagai eksternalitas teknologi (technological externalities) karena adanya perubahan konsumsi atau produksi oleh satu pihak terhadap pihak lain yang lebih bersifat teknis. Tipe eksternalitas lainnya adalah eksternalitas pecuniary (pecuniary externalities), yaitu ekstenalitas yang terjadi akibat adanya perubahan harga dari beberapa input maupun output. Dengan kata lain eksternalitas ini terjadi manakala aktivitas ekonomi suatu pihak dapat mempengaruhi kondisi finansial pihak lain. Hartwick dan Olewiler (1998) menggambarkan eksternalitas menjadi eksternalitas privat dan eksternalitas pubik. Eksternalitas privat melibatkan hanya beberapa individu bahkan bisa bersifat bilateral dan tidak menimbulkan spill over (limpahan) kepada pihak lain, sementara eksternalitas publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Tipologi eksternalitas secara rinci disampaikan pada Gambar 2. Eksternalitas Pecuniary Teknologi Eksternalitas Produksi Eksternalitas Konsumsi Timbul akibat adanya perubahan harga input atau output dalam kegiatan ekonomi Publik Barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat Privat Eksternalitas yang bersifat bilateral Gambar 2. Tipologi eksternalitas (Fauzi, 2004). Kawasan pesisir dan laut memiliki kompleksitas fungsi, meliputi fungsi ekologi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi. 11 Semakin tinggi tingkat kompleksitas fungsi kawasan maka semakin tinggi pula tekanan terhadap kawasan pesisir itu sendiri. Keberadaan sumber daya alam di kawasan pesisir sangat menentukan kompleksitas persoalan terkait dengan pemanfaatan kawasan. Kondisi ini sangat mudah dijumpai di kawasan pesisir yang memiliki lebih dari satu jenis sumber daya alam, misalnya sumber daya perikanan dan sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi. Kedua sumber daya tersebut memiliki nilai ekonomi yang memegang peran penting baik bagi perekonomian skala rumah tangga maupun skala nasional bahkan dunia. Secara umum, kawasan pesisir secara otomatis akan menjadi arena sosial dan ekonomi komunitas nelayan lokal, yang secara langsung menggantungkan kehidupan ekonomi rumah tangganya pada kegiatan penangkapan ikan di laut. Kondisi ini menyebabkan wilayah perairan di sekitar pesisir seolah “diklaim” menjadi fishing ground nelayan lokal. Pada sisi lain, terdapat potensi sumber daya mineral yang juga dieksploitasi di perairan yang diklaim sebagai fishing ground tersebut. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi relatif lebih rentan terkait dengan konflik pemanfaatan kawasan untuk sumber daya yang berbeda pada waktu yang sama. Sifat kawasan yang merupakan barang publik, menyebabkan tidak adanya hak kepemilikan yang sah atas kawasan pesisir. Fauzi (2004) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan klaim yang sah terhadap sumber daya atau pun jasa yang dihasilkan oleh sumber daya tersebut. Dalam konteks ini adalah status sumber daya berupa hamparan perairan laut sebagai barang publik, maka hak kepemilikan tidak dapat diklaim secara sah oleh suatu pihak tertentu. Sifat ini menyebabkan tidak adanya hak untuk melarang pihak lain untuk menikmati sumber daya yang terkandung di laut. Pada barang publik, pemanfaatan suatu pihak kerap akan menimbulkan eksternalitas negatif pada pihak lain. Pada kasus ini adalah konflik kepentingan yang terjadi antara perusahaan industri migas dengan nelayan yang melakukan kegiatan di area dan pada waktu yang sama. Tidak adanya klaim yang sah terkait dengan hak kepemilikan atas hamparan perairan laut, menyebabkan setiap pihak merasa berhak atas wilayah tersebut dan tidak wajib bertanggung jawab ketika terjadi kerusakan atas perairan laut. 12 Pemanfaatan laut sebagai kawasan industri migas akan menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kegiatan perikanan tangkap, demikian pula sebaliknya. Tidak adanya hak yang membatasi/melarang pemanfaatan akan menyebabkan berlakunya sistem rimba dimana pihak dengan kekuatan lebih tinggi akan mendominasi pemanfaatan atas perairan yang bersifat multi fungsi. Pada akumulasi tertentu, kondisi ini akan berdampak pada perubahan kesejahteraan pihak posisi lemah, dalam hal ini yaitu pihak nelayan. INRR (2008), mengemukakan bahwa kondisi perikanan di perairan Pantura Jawa Barat menunjukkan tingkat persaingan yang cukup tinggi. Persaingan ini melibatkan persaingan internal nelayan lokal meliputi perbedaan alat tangkap antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang, dan persaingan dengan industri migas yang dirasakan semakin hari semakin mempersempit daerah penangkapan ikan yang biasa dituju. Tingginya persaingan ini menyebabkan tingginya tingkat sensitivitas nelayan, sehingga cukup rentan terhadap timbulnya persepsi negatif bahkan kerap memicu konflik. Jones, 1998 menjelaskan konflik dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana terdapat akumulasi persepsi negatif yang belum mendapat penyelesaian. Lebih lanjut dipaparkan bahwa konflik sering muncul berkaitan dengan perebutan akses dan kontrol atas perebutan sumber daya alam, misalnya sumber daya tambang dan mineral, sungai, danau, dan lembah yang subur. Jika ditinjau dari segi kepemilikan, sebagian besar konflik terjadi pada pemanfaatan sumber daya alam yang bersifat open akses atau barang publik. Fink (1998) mengemukakan bahwa konflik lingkungan yang terjadi memiliki dimensi yang kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan antar sektor dan stakeholder pembangunan. Kerap kali konflik lingkungan terjadi tidak semata karena permasalahan lingkungan itu sendiri (objek), melainkan juga melibatkan dimensi kepentingan subjek pelakunya. Terdapat 4 teori konflik sumber daya alam dan lingkungan, yaitu teori ketamakan (the greedy theory); NIMBY syndrome; teori mengail di air keruh (profit taking); serta teori kemerosotan dan kelangkaan (deprivation and scarcity). Berdasarkan definisi teori tersebut, maka teori yang relevan dengan penelitian ini yaitu teori kelangkaan sumber daya ikan akibat adanya overlapping kegiatan ekonomi di kawasan yang sama. 13 Penurunan hasil tangkapan ikan perlahan akan mengubah persepsi positif nelayan terhadap kegiatan migas di laut, dan demikian kondisi ini terjadi secara terus-menerus hingga mencapai titik klimaks dimana kelangkaan ikan mulai dirasakan oleh nelayan. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan perselisihan ringan sehingga konflik antar sektor. Kompleksitas hubungan aspek biofisikal menyebabkan konflik sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin rumit. Adanya subjek dengan kepentingan tertentu akan menjadi trigger dari suatu konflik. Keterkaitan hubungan ini, menyebabkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan harus dilakukan secara berhati-hati dan mempertimbangkan segala aspek terkait. Pengelolaan konflik yang tidak tepat dapat berdampak pada inefisiensi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. 2.2. Sumber Daya Hayati Pesisir dan Laut: Ikan dan Mineral Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Zona peralihan didefinisikan sebagai area ke arah daratan sampai dengan garis pantai yang masih terpengaruh oleh kondisi pasang surut perairan. Dahuri et al (1996) menyatakan bahwa dalam cakupan horizontal maka wilayah pesisir dibatasi oleh dua garis hipotetik, ke arah daratan dan ke arah lautan. Ghofar (2004) menjelaskan bahwa kelebihan kawasan pesisir sebagai area peralihan yaitu sebagai nutrient trap yang menyediakan unsur hara dari proses run off di daratan. Pada sisi lain, area pesisir juga sangat rentan dengan kondisi pencemaran perairan yang berasal dari daratan baik sebagai akibat buangan limbah atau tingginya intervensi manusia di sekitarnya. Dari perspektif sosial ekonomi, kawasan pesisir yang memiliki kompleksitas nilai fungsi, akan berdampak pula pada kompleksitas tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan dari kawasan tersebut. Clark (1996) memaparkan bahwa kondisi pesisir sebagai area peralihan menyebabkan kawasan pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang relatif tinggi. Potensi tersebut di antaranya adalah potensi sumber daya ikan dan potensi sumber daya migas. Potensi sumber daya ikan yang berlimpah akan menyebabkan area perairan berkembang menjadi area penangkapan ikan (fishing ground) yang dituju oleh nelayan, terutama nelayan lokal di pesisir tersebut. 14 Demikian hal nya dengan potensi sumber daya mineral yang dimiliki oleh kawasan akan menyebabkan area perairan berkembang menjadi lokasi produksi sumber daya mineral. Paparan tentang masing-masing sumber daya alam serta fungsi pemanfaatan kawasan untuk sumber daya tersebut diuraikan sebagai berikut: 2.2.1. Sumber Daya Ikan 2.2.1.1. Karakteristik dan Bentuk Eksternalitas Sumber Daya Ikan Sumber daya ikan dikategorikan sebagai sumber daya alam yang memiliki mobilitas yang sangat tinggi, dengan fluktuasi keberadaan mengikuti musim tertentu. Fauzi (2010) menjelaskan bahwa selain terkait dengan sifat mobilitas dan proses eksploitasi, karakteristik spesifik dari sumber daya ikan dalah ketidakjelasan kepemilikan sumber daya ikan di suatu perairan. Sebagai salah satu public good, sumber daya ikan dapat diklaim secara sah oleh siapa pun, dan sebaliknya dapat ditinggalkan ketika sumber daya telah mengalami kerusakan (tidak menguntungkan secara ekonomi). Terkait dengan karakteristik ini maka terdapat beberapa macam eksternalitas dalam pemanfaatan sumber daya ikan, yaitu eksternalitas terkait dengan ruang (space interception), eksternalitas terkait dengan waktu (time interception), eksternalitas terkait dengan mobilitas (mobility interception), eksternalitas terkait dengan informasi (information interception), eksternalitas terkait dengan keragaman spesies (interspecies interception), dan eksternalitas terkait dengan stok (stok interception). Seijo dan Defeo (1997) mengkategorikan eksternalitas antar spesies dan eksternalitas stok sebagai eksternalitas yang melekat akibat karakteristik inheren dari sumber daya ikan. Dua jenis eksternalitas lainnya yang melekat akibat karakteristik inheren dari sumber daya ikan yaitu eksternalitas teknologi (technology externality) dan eksternalitas tekno-ekologis (techno-ecological externality). Dijelaskan bahwa eksternalitas tekno-ekologis terjadi manakala teknologi penangkapan suatu alat tangkap mengubah struktur dinamika populasi dari spesies target dan by catch kemudian menimbulkan dampak negatif bagi alat lain. Fauzi (2010) Lebih lanjut memaparkan bahwa eksternalitas tekno-ekologis ini dibagi menjadi 2 tipe, yaitu eksternalitas sekuential dan eksternalitas accidental. 15 Eskternalitas sekuential terjadi ketika nelayan skala kecil dan nelayan skala besar mengeksploitasi stok ikan pada siklus hidup yang berbeda. Eksternalitas accidental terjadi ketika secara teknologi terdapat ketergantungan dua alat tangkap dalam menangkap ikan. Fauzi, 2010 lebih lanjut menjelaskan jenis eksternalitas lainnya yang menjadi karakteristik unik dari sumber daya ikan adalah eksternalitas terkait dengan umpan balik biologi (biological feed back). Eksternalitas ini menggambarkan bahwa jumlah sumber daya ikan yang dapat diekstraksi sangat ditentukan oleh kondisi alam dan daya dukung biologi dan stok ikan itu sendiri. 2.2.1.2. Konsep Bioekonomi Perikanan Analisis bioekonomi merupakan kombinasi simultan antara analisis parameter biologi dengan analisis parameter ekonomi yang diaplikasikan dalam konteks perikanan. Fauzi (2010) menjelaskan analisis biologi secara umum menyangkut aspek produksi alamiah (natural production), dan juga aspek kondisi lingkungan perairan. Aspek ekonomi dalam analisis bioekonomi meliputi aspek pasar serta non pasar, aspek preferensi, dan aspek aktivitas ekonomi. Aspek Biologi Fauzi (2004) menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya ikan pada awalnya didasarkan hanya pada aspek biologi, yang didekati dengan metode maximum sustainable yield (MSY) atau tangkapan maksimum lestari. Pendekatan ini menekankan pada pemahaman bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus dipanen maka stok akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Pada pendekatan surplus produksi, dinamika dari biomass digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan berikut: Biomas pada t+1 = biomas pada t + produsi – mortalitas alami (1) Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. 16 Hilborn dan Walters (1992) menyatakan bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan, atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomas dipertahankan dalam tingkat tetap. Model surplus produksi yang biasa digunakan adalah model yang dikembangkan oleh Scaefer (1954) berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Pada pendekatan ini, Scaefer 1954 menjelaskan beberapa faktor biologi yang berpengaruh dalam fungsi produksi penangkapan ikan. Faktor tersebut meliputi biomass dari stok yang diukur dalam berat (x), laju pertumbuhan alami dari populasi (r), dan faktor daya dukung maksimum lingkungan atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomass (K). Berdasarkan batasan faktor-faktor tersebut, maka dalam kondisi tidak ada penangkapan ikan laju perubahan biomass sepanjang waktu digambarkan dalam persamaan 2 dan 3. dxt = f ( xt ) dt (2) dxt x = rxt (1 − t ) dt K (3) Dengan f(xt) adalah fungsi pertumbuhan. Fungsi pertumbuhan dalam model surplus produksi terdiri atas model pertumbuhan logistik dan eksponensial atau Gompertz. Fungsi pertumbuhan logistik merupakan basis fungsi yang digunakan oleh Scaefer (1995) dan Walters dan Hilborn (1976). Fungsi Gompertz merupakan fungsi yang digunakan oleh Fox (1970), Schnute (1977), dan Clark, Yoshimoto, dan Pooley (1992). Fungsi persamaan Gompertz dituliskan dalam persamaan 4. ⎛K⎞ dxt = rxt ln⎜⎜ ⎟⎟ dt ⎝ xt ⎠ (4) Fungsi produksi yang sering digunakan dalam sumber daya ikan dituliskan dalam persamaan 5. ht = qxt Et (5) Dengan ht menggambarkan jumlah tangkapan dalam satuan berat, q digambarkan sebagai koefisien penangkapan atau kemampuan daya tangkap dalam satuan per standardized effort, Xt digambarkan sebagai biomass dalam satuan berat, dan Et digambarkan sebagai upaya penangkapan ikan dalam satuan effort (trip). 17 Adanya aktivitas penangkapan ikan menyebabkan persamaan 4 berubah menjadi persamaan 6. dxt ⎛ x ⎞ = rxt ⎜1 − t ⎟ − qxt Et dt K⎠ ⎝ (6) Jika menggunakan persamaan Gompertz, maka persamaan 4 berubah menjadi persamaan 7. dxt ⎛ x ⎞ = rxt ln⎜1 − t ⎟ − qxt Et dt K⎠ ⎝ (7) (Fauzi, 2010) menyatakan bahwa dalam bentuk yang paling sederhana, pertumbuhan suatu populasi digambarkan dalam bentuk percent growth rate atau laju pertumbuhan persentase. Jika stok ikan pada periode t dinotasikan dengan xt dan stok ikan pada peridoe berikutnya ditulis sebagai xt+1, maka percent growth rate ditulis dalam persamaan 8: Δx xt +1 − xt = x xt (8) Jika persentasi pertumbuhan ini diasumsikan konstan sebesar r, maka persamaan 8 dapat ditulis menjadi persamaan 9: xt +1 − xt =r xt (9) xt +1 = (1 + r )xt (10) Jika perbedaan waktu di atas ditulis dalam bentuk Δt (bukan sebagai suatu interval periode waktu) maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi: x(t + Δt ) − x(t ) = r.Δt x(t ) (11) Dengan penyederhanaan aljabar, persamaan 11 selanjutnya ditulis menjadi: Δx = rx(t ) Δt (12) Jika perubahan waktu Δt yang terjadi sangat kecil, maka persamaan 12 selanjutnya menjadi persamaan diferensial yaitu persamaan yang menggambarkan perubahan waktu yang kontinyu. 18 dx = rx(t ) dt (13) Solusi dari persamaan 13 akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t atau x(t)=x0ert dimana x0 adalah stok pada periode awal. Aspek biologi stok ikan didekati dengan model pertumbuhan yang bersifat density dependent, yaitu pertumbuhan populasi dalam setiap periode bervariasi terhadap ukuran populasi pada periode awal. Dengan demikian, stok ikan pada periode t+1 diasumsikan ditentukan oleh pertumbuhan pada periode t atau ditulis F(xt) dan stok ikan pada periode t yakni xt. Secara matematis ditulis dalam persamaan 14: x(t +1) = F ( xt ) + xt (14) Dengan demikian, laju pertumbuhan ikan pada periode t+1 dan t dapat ditulis dengan persamaan 15: F (xt ) = xt +1 − xt (15) atau jika ditulis dalam bentuk persamaan kontinyu, persamaan menjadi: dx = F (x ) dt (16) Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan proporsial alamiah maka persamaan 16 dapat ditulis menjadi: dx = rx = F ( x) dt (17) Solusi dari persamaan di atas akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t atau x(t)=x0ert dimana x0 adalah stok pada periode awal. Pada kondisi r>0 maka stok pada periode t akan tumbuh secara eksponensial, dan akan turun secara eksponensial pada r<0. Kondisi ini sangat ditentukan oleh daya dukung lingkungan meliputi ruang, makanan, penyakit, dan predator. Dengan pertimbangan faktor daya dukung lingkungan tersebut, maka persamaan di atas berubah menjadi: dx = r ( x )x dt (18) 19 Jika r merupakan fungsi yang menurun terhadap x, maka persamaan dapat ditulis menjadi: r ( x) = r − rx K (19) Dimana K adalah kapasitas daya dukung lingkungan atau titik kejenuhan. Dengan mensubstitusikan persamaan ini ke dalam persamaan 19, maka persamaan selanjutnya ditulis menjadi: dx x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ dt ⎝ K⎠ (20) Pada aspek ini, perhitungan sumber daya ikan didasarkan pada parameter biologi, meliputi pertumbuhan (r), biomas (x), dan daya dukung lingkungan (K). Adanya asumsi keseimbangan jangka panjang, menyebabkan sisi kiri persamaan kemudian menjadi 0 sehingga diperoleh persamaan untuk menghitung stok ikan (x), yaitu: ⎡ qE ⎤ x = K ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣ (21) Persamaan 2.17 menggambarkan variabel stok (x) sebagai fungsi dari faktor biofisik (r, q, K) dan variabel input E. Susbtitusi variabel x ke dalam persamaan 19 selanjutnya menghasilkan persamaan: ⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝ (22) Persamaan ini menggambarkan hubungan antara input (E) dan ouput (h) dalam bentuk persamaan kuadrat yang selanjutnya dikenal sebagai persamaan yieldeffort lestari. Dalam perspektif Scaefer, pengelolaan sumber daya ikan yang terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield effort yang selanjutnya dikenal sebagai maximum sustainable yield (MSY). Pada kondisi ini, persamaan effort menjadi: E msy = r 2q (23) Persamaan Emsy tersebut selanjutnya disubstitusikan pada persamaan output (hmsy) menjadi persamaan 24. 20 hmsy = rK 4 (24) Dari persamaan 23 dan 24 maka persamaan biomas (x) dapat dihitung dengan persamaan berikut ini: x msy = hmsy qE msy = (rK / 4) = K q (r / 2q ) 2 (25) Pengaruh penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan diilustrasikan pada Gambar 3. Gambar 3. Pengaruh penangkapan terhadap stok (Seijo et al., 1998). Gambar tersebut menunjukkan dampak yang terjadi pada stok akibat adanya kegiatan penangkapan ikan. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal). Kemudian, jika upaya dinaikkan sebesar E2, di mana E2>E1, hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2>h1). Jika upaya terus ditingkatkan, misalnya sebesar E3 (E3>E2>E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E3>E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (dalam hal ini h3< h2). Berdasarkan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa eksploitasi dalam kondisi tersebut tidak efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. Tingkat produksi pada titik K/2 disebut sebagai titik produksi maksimum lestari (MSY). Bentuk kuadratik kurva MSY menyebabkan peningkatan effort secara terus-menerus setelah melewati titik K/2 tidak akan diikuti oleh peningkatan produksi. 21 Produksi akan menurun secara terus-menerus bahkan mencapai titik 0 pada tingkat upaya maksimum (K). Hal ini membuktikan bahwa dalam sumber daya ikan, peningkatan input tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan output yang disebabkan oleh adanya faktor daya dukung alam yang membatasi. Fungsi tersebut baru hanya menggambarkan kondisi secara biologi, sehingga aspek ekonomi terkait dengan biaya produksi (upaya penangkapan) belum dapat digambarkan. Menyikapi hal ini, Conrad dan Clark, (1987) diacu dalam Fauzi (2010), menjelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan MSY memiliki beberapa kelemahan, yaitu: - Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok meleset sedikit saja dapat berpengaruh pada kondisi pengurasan stok (stok depletion). - Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non steady state. - Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value). - Mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya. - Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki cirri ragam jenis (multi species). Aspek Ekonomi Kelemahan-kelemahan tersebut selanjutnya memunculkan pertimbangan pentingnya penghitungan aspek ekonomi dalam pendugaan fungsi produksi sumber daya ikan yang dikembangkan oleh Gordon (1954). Gordon mengembangkan fungsi kuadratik Velhust (1983) yang digunakan oleh Scaefer dalam pendugaan produksi sumber daya ikan. Model ini selanjutnya dikenal dengan model Gordon-Scaefer, yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu: - Harga per satuan output diasumsikan konstan. - Biaya per satuan upaya diasumsikan konstan. - Spesies sumber daya ikan diasumsikan bersifat tunggal (single species). - Struktur pasar bersifat kompetitif. - Nelayan berposisi sebagai price taker (tidak bisa menentukan harga). - Faktor yang dihitung hanya faktor penangkapan, tanpa mengakomodir faktor pasca penangkapan. 22 Dalam perspektif ekonomi, effort diartikan sebagai nominal fishing effort yang sering dilambangkan dengan notasi E. (Clark, 1985 diacu dalam Fauzi, 2010) menjelaskan effort sebagai jumlah unit alat tangkap ikan yang distandardisasi dan secara aktif digunakan pada suatu periode tertentu. Dengan asumsi-asumsi tersebut maka rente ekonomi dari pemanfaatan sumber daya ikan dihitung dari selisih antara penerimaan total lestari (total sustainable revenue/TSR) dengan biaya yang dikeluarkan, yang dituliskan dengan persamaan berikut: ⎡ qE ⎤ TSR = ph( E ) = pqKE ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣ (26) Dengan persamaan biaya total penangkapan dihitung melalui persamaan 26, dimana konstanta c selain menggambarkan biaya per unit input yang digunakan juga menggambarkan biaya korbanan dari input yang digunakan. TC = cE (27) Manfaat ekonomi dari penangkapan ikan selanjutnya dapat dihitung dari selisih TSR dengan TC, seperti ditulis pada persamaan 28 dan 29: π = TSR − TC ⎡ qE ⎤ − cE = pqKE ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣ (28) (29) Dari aplikasi model Gordon-Scaefer tersebut, maka diperoleh dugaan kondisi kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan yang telah mengakomodir aspek biologi dan aspek ekonomi. Secara grafis, kondisi pengelolaan sumber daya ikan pada titik optimum secara ekonomi diilustrasikan pada Gambar 4. Gambar 4. Kondisi maximum economic yield dan open access dalam pemanfaatan sumber daya ikan (Scaefer, 1957). 23 Dari Gambar 4 diketahui bahwa keuntungan optimum baik secara biologi mau pun ekonomi diperoleh pada saat kegiatan penangkapan ikan berada pada area economic optimum. Pada area ini total revenue menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan total cost. Pada kondisi open access, total cost yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan total revenue, sehingga manfaat ekonomi yang diperoleh menjadi turun mencapai 0. 2.2.1.3. Kawasan Perairan sebagai Area Penangkapan Ikan Di Indonesia, potensi sumber daya ikan merupakan potensi utama dari suatu kawasan pesisir dan laut yang lazim dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga nelayan di sekitarnya. Suatu kawasan pesisir yang memiliki potensi sumber daya ikan berlimpah secara praktis akan menjadi fishing ground utama bagi nelayan lokal (sekitarnya). Pada kondisi jenis mata pencaharian alternatif yang terbatas, maka potensi sumber daya ikan akan menjadi tumpuan utama penduduk nelayan. Kondisi ini menyebabkan tingkat ketergantungan komunitas nelayan terhadap produktivitas pesisir dan laut menjadi relatif tinggi. Tingginya tingkat ketergantungan tersebut disebabkan oleh ketergantungan ekonomi rumah tangga yang sebagian besar dipenuhi dari kegiatan penangkapan ikan. INRR (2011) menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan di area pesisir Karawang relatif padat. Jenis alat tangkap yang digunakan relatif beragam, dari berbagai jenis kelompok alat tangkap (alat tangkap statis, pasif, dan aktif). Rutinitas kegiatan penangkapan ikan bersifat harian (one day fishing). Nelayan yang memanfaatkan kawasan pesisir sebagai fishing ground adalah nelayan lokal. Jenis sumber daya ikan yang menjadi hasil tangkapan di wilayah ini adalah jenis ikan pelagis dan demersal konsumsi. Bagi penduduk di pesisir ini, kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi utama yang dijadikan sebagai sumber pendapatan harian rumah tangga. Alternatif mata pencaharian lainnya masih merupakan derivasi dari kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan, yang meliputi usaha pengolahan ikan (ikan kering dan terasi), usaha penyewaan kimpling (keranjang ikan), usaha penyedia es balok, dan warung makanan di sekitar tempat pendaratan ikan (TPI). 24 Hal ini menggambarkan bahwa potensi sumber daya ikan dalam bentuk kegiatan penangkapan ikan di pesisir Karawang telah menjadi sumber mata pencaharian nelayan lokal. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk pesisir terhadap kawasan menyebabkan sensitivitas penduduk pesisir menjadi relatif tinggi. Kondisi ini cukup rentan dengan timbulnya konflik pemanfaatan perairan yang menjadi area penangkapan ikan yang dituju selama ini. 2.2.2. Sumber Daya Mineral (Migas) 2.2.2.1. Kegiatan Produksi Migas di Laut Kegiatan produksi migas di laut secara umum adalah sama, yaitu terdiri atas 4 tahapan kegiatan, yaitu pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi. Dari empat tahapan tersebut, tahap operasi merupakan tahapan kegiatan dengan durasi waktu terlama. Pada tahap ini berlangsung kegiatan produksi yang dapat berumur sampai dengan puluhan tahun. Operasional kegiatan produksi migas di laut melibatkan sejumlah fasilitas utama dan pendukung yang dipasang di dasar laut maupun yang dimobilisasikan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Salah satu fasilitas tersebut adalah anjungan produksi migas di laut. Soedjono (1998) memaparkan bahwa konstruksi anjungan lepas pantai dapat dibedakan menjadi 3 golongan utama, yaitu : - Anjungan terapung (Mobile Offshore Drilling Unit/MODU atau Floating Production Platform/FPU). Contoh dari anjungan ini yaitu: semi submersible, drilling ship, tension leg platform, jack-up, FPSO. - Anjungan terpancang (Fixed Offshore Platform). Contoh dari anjungan ini adalah jacket platform, concrete gravity, tripod. - Anjungan struktur lentur (Compliant Platform). Contoh dari anjungan ini adalah Articulated Tower, Guyed tower. Arifin (2000) menjelaskan beberap hal yang perlu diperhatikan dalam merancang bangunan lepas pantai adalah biaya investasi, perilaku hidrodinamis, kemampuan mobilitas, serta reliability dalam pengoperasiannya. Caledonian Offshore Ltd (1995) memaparkan beberapa jenis anjungan produksi migas yang dibedakan berdasarkan sifat mobilitasnya, yaitu fixed platform dan mobile platform. 25 Fixed platform yang umum digunakan yaitu steel leg platform, concrete gravity production platform, tension leg production platform, dan light weight production platform. Mobile platform yang umum digunakan yaitu jack up, semi-submersible production platform, semi-submersible production unit, dan floating production unit. Peralatan yang terdapat di anjungan produksi meliputi wellhead, separation, main oil line pumping, electrical switch gear dan transformer, water injection, workshop/controlling room, drilling derrick, gas compression, power generation, living accommodation, utilities dan cooling water, flare boom, dan helideck. Anjungan produksi mampu menampung sebanyak 500-800 orang tenaga kerja, craneage dengan kapasitas tinggi (100 ton), helideck yang luas, dan beberapa fasilitas akomodasi yang cukup lengkap dengan standard internasional. Anjungan produksi biasanya menjadi induk dari beberapa unit sumur yang dihubungkan dengan remote well head. a. Steel Leg Platform Jenis ini biasanya digunakan di area perairan dangkal dan pemasangannya dilakukan dengan cara menanam tiang kaki anjungan di dasar perairan. Jumlah kaki disesuaikan dengan kompleksitas fungsi berbagai peralatan yang terdapat di anjungan serta beban yang disangga. Anjungan ini membutuhkan area yang cukup luas, dan secara umum digunakan di lapangan produksi yang luas. Ilustrasi steel leg anjungan disampaikan pada Gambar 5. Gambar 5. Ilustrasi steel leg platform (Caladonian Offshore Ltd., 1995). 26 b. Concrete Gravity Production Platform Jenis anjungan ini digunakan di perairan kedalaman 200-300 m yang biasanya dihubungkan ke fasilitas penerima di darat (Gambar 6). Gambar 6. Ilustrasi concrete gravity production platform. (Caladonian Offshore Ltd., 1995). c. Tension Leg Production Platform Anjungan jenis ini dikembangkan dari jenis sub-mersible anjungan yang ditujukan untuk efisiensi biaya dalam kegiatan produksi migas di perairan laut dalam. Ilustrasi tension leg production anjungan disampaikan pada Gambar 7. Gambar 7. Ilustrasi tension leg production platform. (Caladonian Offshore Ltd., 1995). 27 d. Light Weight Production Platform Anjungan jenis ini digunakan untuk memudahkan transmisi hasil produksi yang diperoleh ke kapal penerima. Anjungan ini biasanya menerima minyak atau gas bumi dari sejumlah sumur, yang selanjutnya diproses dan ditransfer ke fasilitas penerima (kapal), dan biasanya dioperasikan di perairan laut dalam. Ilustrasi light weight production anjungan disampaikan pada Gambar 8. Gambar 8. Light weight production platform. (Caladonian Offshore Ltd., 1995). e. Jack Up, Semi-Submersible Production Platform, Semi-Submersible Production Unit, dan Floating Production Unit Anjungan jenis jack up, semi-submersible production platform, semisubmersible production unit, dan floating production unit merupakan jenis anjungan yang bersifat mobile dengan desain yang dapat dipindah-pindah dan di pasang di perairan dalam atau dangkal. Jack up rig memiliki fleksibilitas pengaturan tinggi dan rendah posisi yang dapat disesuaikan dengan permukaan perairan. Jenis anjungan semi-submersible production platform (SSPP), semisubmersible production unit (SSPU), dan floating production unit (FPU) biasanya digunakan untuk kegiatan di perairan dalam dan diapungkan di perairan. Ilustrasi masing-masing anjungan tersebut disampaikan pada Gambar 9, 10, 11, 12, 13. 28 Gambar 9. Jack Up Gambar 11. SSPU Gambar 10. SSPP Gambar 12. FPU Sumber: Caladonian Offshore Ltd., 1995. Seluruh jenis anjungan tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai fasilitas produksi, namun posisi peletakan anjungan berbeda. Posisi peletakan masing-masing jenis anjungan diilustrasikan pada Gambar 13. Gambar 13. Ilustrasi keberadaan anjungan berdasarkan jenis (http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_platform 29 Pada kegiatan produksi, juga dilakukan kegiatan flaring yang ditujukan untuk pembakaran gas buang dan pengatur keseimbangan proses produksi. Flaring dilakukan di menara flare stack, yang secara visual ditunjukan oleh ilustrasi api menyerupai obor pada Gambar 14. Gambar 14. Ilustrasi kegiatan flaring di anjungan (http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_platform). Jumlah flare stack berbeda-beda disesuaikan dengan kompleksitas kegiatan di anjungan tersebut. Jarak antara menara flare stack dengan permukaan air umumnya mencapai 30-60 meter. Kondisi ini menyebabkan efek terang dari pendar cahaya dapat mencapai permukaan air dengan baik, demikian juga dengan perbedaan suhu udara di bawah flare stack tersebut. Kegiatan yang berlangsung di anjungan secara umum relatif sama, yaitu kegiatan produksi, dan kegiatan akomodasi tenaga kerja. Pada pelaksanaannya, seluruh kegiatan mengacu pada prosedur baku untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah mengacu pada ketentuan internasional dan peraturan negara yang relevan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak terdapat pembuangan limbah anorganik dan limbah berbahaya ke perairan laut yang dilakukan dari fasilitas anjungan produksi migas di laut. Keselamatan kegiatan dilindungi dengan baik, mengingat tingginya resiko dan bahaya yang dapat terjadi di fasilitas anjungan tersebut. Pengamanan dilakukan dari segi peralatan dan prosedur kerja, serta diberlakukannya zona larangan mendekati instalansi anjungan sejauh radius 500 meter, dan zona terbatas sejauh 750 meter dari zona larangan. 30 Pemberlakuan zona larangan dan zona terbatas di sekitar lokasi instalansi anjungan ditujukan untuk melindungi kegiatan dari jangkauan kegiatan lain yang dapat berakibat fatal pada sistem peralatan di anjungan. Ketentutuan yang belaku di zona larangan yaitu tidak diperkenankannya kegiatan lain dalam bentuk apa pun memasuki area radius 500 meter dari instalansi, dan zona ini dijaga dengan sistem patroli yang sangat ketat. Pada zona terbatas diberlakukan ketentuan tidak diperkenankannya kegiatan lain melakukan pemasangan jangkar atau kegiatan lain yang dapat menyentuh dasar perairan. Ketentuan ini didasarkan pada UU No. 1 tahun 1973 tentang landas kontinen yang didukung pula oleh PP No. 5 tahun 2010 tentang kenavigasian. Dari telaah pustaka tersebut, maka jenis anjungan yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis steel leg platform yang dipasang di kedalaman perairan <200 meter. Kegiatan yang berlangsung di anjungan yang diteliti meliputi kegiatan produksi, kegiatan akomodasi tenaga kerja, dan kegiatan flaring. Tidak terdapat pembuangan limbah anorganik dan limbah berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dibuang ke perairan laut, sehingga kemungkinan terjadinya pencemaran perairan relatif sangat kecil. 2.3. Respon Ikan terhadap Anjungan Produksi Migas di Laut Penelitian tentang respon sumber daya ikan dan biota laut lainnya terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut telah dilakukan, diantaranya oleh Schroeder et al. (1999); Love et al. (2003); Jablonski (2002). Sebagian besar penelitian tersebut berlokasi di Pesisir California tepatnya di area anjungan produksi migas yang berada di perairan dangkal (kedalaman <1000 meter). Penelitian yang dilakukan lebih difokuskan pada kajian biologi, yaitu analisis tentang kemampuan anjungan produksi migas di laut untuk menjadi habitat baru bagi sejumlah ikan. Parameter yang dikaji yaitu tingkat densitas dan kelimpahan ikan, serta keragaman jenis ikan yang terdapat di area anjungan, dengan menggunakan ekosistem karang alami sebagai pembanding (tolok ukur). Schroeder, et al. (1999) telah melakukan penelitian tentang nilai relatif habitat di perairan dangkal lokasi anjungan produksi migas bumi di Santa Maria Basin dan Santa Barbara Channel, California. 31 Nilai relatif habitat tersebut dikomparasikan dengan nilai relatif habitat ekosistem karang alami yang berada tidak jauh dari lokasi anjungan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai relatif habitat di kedua lokasi studi, yaitu nilai relatif habitat yang lebih rendah mencapai 42% di area anjungan dibandingkan dengan area terumbu karang alami. Namun demikian, area anjungan terbukti mampu mendukung keberadaan juvenil ikan rock fish (Sebastes spp.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien variation dari habitat di area anjungan lebih tinggi (42%) dibandingkan dengan area terumbu karang alami (19%). Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan di perairan dengan variasi kedalaman lokasi anjungan yang dibandingkan dengan area terumbu karang alami dengan variasi kedalaman yang relevan. Kedalaman lokasi anjungan berbanding negatif dengan tingkat densitas dan keragaman jenis sumber daya ikan yang ada. Dari penelitian itu diketahui bahwa anjungan dengan kedalaman maksimal >46 meter memiliki nilai habitat dan koefiseien variasi tertinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan area terumbu karang alami. Kondisi ini dikaitkan dengan kuat arus dan gelombang yang terjadi di lokasi tersebut. Diyakini struktur anjungan mampu menjadi faktor penahan arus, yang berpengaruh pada pertahanan larva dan juvenile ikan di sekitar anjungan. Hal ini dapat menguatkan bagaimana kelimpahan juvenil ikan rock fish (Sebastes spp.) dapat berada dalam nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan area lainnya. Sebagian besar jenis ikan yang ditemukan di area anjungan merupakan ikan pelagis yang dalam pergerakannya cenderung membentuk kawanan atau schooling (Gambar 15 dan Gambar 16). Gambar 15. Gambar 16. Gambar 15. Bocaccio dewasa (Sebastes paucispinis) dan Gambar 16. Cowcod (S. levis) di bawah Anjungan Gail, Eastern Santa Barbara Channel (Schroeder, et al., 1999). 32 Jablonski (2002) melakukan penelitian serupa pada tahun 2001-2002 bertempat di Campos-Santos Basin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek anjungan produksi migas di laut terhadap produksi perikanan tangkap, terkait dengan zona larangan (radius 500 meter) yang diberlakukan di sekitar anjungan. Penelitian dilakukan melalui pengamatan visual terhadap hasil tangkapan dengan unit penangkapan berupa hand long line. Target tangkapan pada penelitian ini adalah jenis ikan tuna, sardine, dan mackerel. Penelitian dilakukan dengan pembedan titik pengamatan menjadi 3 titik, yaitu di dalam radius 500 meter, di luar radius 500 meter, dan di area perbatasan dalam-luar radius 500 meter. Selain membedakan titik pengamatan, tata waktu pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap, dengan melibatkan nelayan dan pengamat (pencatat hasil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tangkapan terbanyak diperoleh dari area perbatasan (6.700 kg), sedangkan jumlah tangkapan di dalam dan luar radius 500 meter menunjukkan hasil yang relatif sama yaitu masing-masing 1.300 kg dan 1.400 kg. Banyaknya jumlah tangkapan di area perbatasan diduga sebagai akibat dari letak anjungan yang tepat di area penangkapan ikan terbaik. Love et al. (2003), menyatakan bahwa anjungan produksi migas di laut memiliki 2 fungsi utama terkait dengan fungsi ekologi habitat ikan. Fungsi tersebut yaitu fungsi kolom perairan sebagai nursery ground untuk jenis rock fishes (Sebastes spp.) dan jenis spesies lainnya, dimana kolom perairan memiliki kuat arus yang mendukung pertahanan keberadaan juvenil ikan; serta fungsi dasar perairan (pertemuan pipa dan dasar laut) yang dapat menjaga dan meningkatkan kelimpahan ikan remaja dan ikan dewasa. Konstruksi tiang-tiang anjungan mampu mengundang alga dan dapat menjadi tempat menempel biota laut. Demikian seterusnya kondisi tersebut dalam jangka waktu yang lama mampu membentuk habitat baru bagi ikan. Jenis ikan yang banyak ditemukan di area ini adalah ikan rockfishes, lingcod (Ophiodon elongatus), painted greenling (Oxylebius pictus), dan jenis ikan karang. disampaikan pada Gambar 17. Ilustrasi hasil pengamatan ini 33 Gambar 17. Kondisi ekosistem di area anjungan produksi migas di laut. (Love et al., 2003). Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bagaimana kondisi ekologi biota laut yang berada di area anjungan. Penelitian ini sekaligus menggambarkan bagaimana anjungan produksi migas di laut dapat menjadi daya tarik bagi ikan dan menjadikannya sebagai habitat baru. Love et al. (2003) menyatakan bahwa adanya alga yang bersimbiosis dengan pipa dan peralatan bawah laut menciptakan kehidupan baru di sekitar anjungan. Alga dan plankton selanjutnya menarik kehadiran biota laut lainnya sehingga menciptakan rantai makanan. Demikian kondisi ini berlangsung secara terus-menerus dalam durasi waktu yang cukup lama sehingga terbentuk ekosistem baru yang dapat menuju stabil. Pada studi tersebut, kajian ditekankan pada keberadaan anjungan yang sudah tidak berproduksi, yang dikatakan dapat berperan sebagai articial reef. Layaknya artificial reef lainnya, anjungan produksi migas di laut terbukti mampu membentuk ekosistem baru yang dapat menjadi habitat bagi ikan jenis tertentu. Pengkajian aspek ekonomi terkait dengan manfaat anjungan masih minim, sehingga dari studi yang dirujuk, belum diketahui besaran nilai ekonomi yang dapat disimpan oleh habitat yang terbentuk di sekitar area anjungan. 34 2.4. Respon Ikan terhadap Cahaya Selain faktor makanan yang cukup, kondisi ekologi dan kualitas perairan yang mendukung, keberadaan cahaya juga menjadi faktor penting bagi kehadiran jenis ikan tertentu. Belum ditemukan penelitian yang secara khusus mengkaji efek cahaya di anjungan terhadap daya tarik ikan. Namun demikian, telah terdapat banyak studi tentang respon ikan terhadap cahaya yang dapat dianalogikan dengan efek cahaya dari anjungan produksi migas di laut. Kegiatan pencahayaan di anjungan berasal dari cahaya lampu penerangan anjungan, lampu signal, dan cahaya flaring. Ikan memiliki respon positif dan negatif terhadap rangsangan cahaya, yang sering dikenal dengan istilah fototaksis positif (mendekati cahaya) dan fototaksis negatif (menjauhi cahaya). Pada jenis ikan fototaksis positif, pendaran cahaya di perairan akan merangsang ikan untuk mendekat dan berkumpul di area terang dan sebaliknya pada jenis ikan yang bersifat fototaksis negatif akan cenderung menjauhi cahaya. Laevastu dan Hayes (1991), menjelaskan bahwa cahaya dengan segala aspek yang dikandung seperti intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektral, arah dan panjang gelombang, serta lama penyinaran akan mempengaruhi tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Dikatakan bahwa ikan memiliki respon yang cukup baik terhadap rangsangan cahaya, meskipun besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara 0,01-0,001 lux yang ditentukan oleh kemampuan suatu jenis ikan untuk beradaptasi. Warna cahaya sangat berpengaruh pada daya tarik ikan, cahaya akan efisien jika sinar warna lampu dapat menembus kedalaman tertinggi. Warna lampu tersebut adalah warna lampu yang sejenis dengan warna perairan. Sudirman et al. (2000) mengemukakan bahwa warna cahaya yang baik digunakan untuk menarik dan mengumpulkan ikan adalah warna cahaya biru, kuning dan merah. Gunarso (1985) menyatakan bahwa ketertarikan ikan terhadap cahaya juga disebabkan oleh indikasi keberadaan makanan. Dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ikan yang berada dalam kondisi lapar akan lebih mudah terpikat oleh adanya cahaya dibandingkan dengan ikan yang dalam keadaan tidak lapar. 35 Dikatakan pula bahwa respon ikan muda terhadap rangsangan cahaya adalah lebih besar dibandingkan dengan respon ikan dewasa dan setiap jenis ikan memiliki intensitas cahaya optimum terkait dengan ketertarikannya. Ayodhya (1981) menyebutkan bahwa peristiwa tertariknya ikan di bawah cahaya dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu; peristiwa langsung, dimana ketertarikan ikan menuju cahaya sangat berhubungan langsung dengan peristiwa fototaksis, misalnya jenis ikan sardinella, kembung dan layang; peristiwa tidak langsung, dimana ketertarikan disebabkan oleh adanya konsentrasi plankton yang menjadi sumber makanan ikan kecil dan ikan lainnya berkumpul, lalu ikan dengan ukuran lebih besar datang dengan tujuan mencari makan (feeding). Beberapa jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tenggiri, selar dan jenis ikan pelagis dan demersal lainnya. Selain dua kelompok di atas terdapat ikan yang tertarik pada cahaya sebagai hasil dari reflex defensive ikan terhadap predator. Hal ini terjadi berkaitan dengan pembentukan schoolling dan kemampuan penglihatan pada ikan. Ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan menyebar pada saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan lebih mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh cahaya buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi, sehingga memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dari incãran predator. Temuan ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Schroeder, et al., (1999) terkait dengan tingginya kelimpahan ikan yang berada dalam fase juvenil di area anjungan. Selain faktor kuat arus yang diperlemah oleh bangunan anjungan, maka kehadiran ikan dalam fase juvenil bisa jadi disebabkan oleh faktor cahaya anjungan yang dipantulkan ke perairan. Hasil penelitian tersebut memberikan analogi terkait dengan kemampuan anjungan dalam mengumpulkan ikan melalui efek cahaya lampu dan flaring. 2.5. Analogi Efek Kawasan Konservasi Laut di Area Anjungan Migas Haryadi (2004) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut merupakan salah satu upaya yang dikembangkan untuk mengembalikan fungsi sosial, ekologis, dan ekonomi suatu kawasan perairan agar dapat memberikan manfaat optimal yang berkesinambungan. 36 Dibentuknya kawasan konservasi laut (KKL) ditujukan untuk mereduksi kondisi over fishing, sehingga manfaat ekonomi dari kegiatan penangkapan ikan dapat dinikmati untuk jangka waktu yang lebih panjang. Pada pelaksanaannya, penetapan KKL kerap memperoleh respon negatif dari masyarakat nelayan yang berkepentingan. Respon tersebut terkait dengan penyempitan area penangkapan ikan, yang bedampak pada peningkatan persaingan dan memicu peningkatan biaya operasional penangkapan ikan. Nababan & Sari (2004) melakukan kajian terhadap manfaat KKL Kepulauan Seribu dengan melakukan penghitungan manfaat berbasis data produksi periode 1990-2001. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan produktivitas nelayan pada periode sebelum dan setelah penetapan KKL di Kepulauan Seribu. Perbedaan produktivitas menunjukkan angka yang cukup signifikan untuk menyatakan bahwa keberadaan KKL dapat memberi manfaat positif terhadap pertumbuhan biomass ikan pada kedua segmen waktu kajian. (Fauzi dan Buchary, 2002 diacu dalam Nababan & Sari, 2004) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan produksi yang sangat signifikan pasca dibentuknya Taman Nasional Kepulauan Seribu sampai dengan tahun 1999. Pendekatan yang digunakan dalam penghitungan manfaat KKL terhadap perikanan tangkap terdiri atas analisis produktivitas dan analisis bioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana KKL dapat berperan secara efektif untuk mempertahankan keberlangsungan stok ikan, sehingga yang ditangkap oleh nelayan hanyalah limpahan (spill over) dari area konservasi. Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran analogi kondisi yang terjadi di area sekitar anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan zona aman kegiatan sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen. Kondisi ini secara langsung menciptakan suatu area perlindungan/konservasi sementara selama anjungan produksi masih beroperasi di area tersebut.