Analisis Ekonomi Eksternalitas Kegiatan Produksi

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Eksternalitas Pemanfaatan Kawasan
Kawasan pesisir dan laut memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang
bernilai ekonomi dan berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Potensi
tersebut di antaranya adalah potensi sumber daya ikan dan sumber daya mineral
berupa minyak dan gas
bumi (migas).
Potensi sumber daya yang dimiliki
menjadikan kawasan pesisir dan laut berfungsi sebagai area penangkapan ikan
(fishing ground) nelayan. Potensi sumber daya mineral berupa minyak dan gas
bumi menjadikan kawasan pesisir dan laut dimanfaatkan sebagai area produksi
migas. Kedua potensi tersebut memiliki nilai dan peran yang sangat penting bagi
perekonomian rumah tangga dan negara. Pada kasus keberadaan sumber daya ikan
dan migas yang berada di kawasan yang berbeda maka pemanfaatan kawasan
untuk kegiatan berbeda dalam waktu bersamaan tidak akan menimbulkan
eksternalitas terhadap masing-masing pemanfaatan. Namun, kondisi yang terjadi
akan berbeda ketika sumber daya ikan dan migas berada di kawasan yang sama
dan dimanfaatkan pada waktu yang bersamaan.
Fauzi (2004) menjelaskan bahwa status kawasan pesisir dan laut sebagai
barang publik menyebabkan tidak adanya kepemilikan yang tegas terhadap
kawasan tersebut. Hal ini berdampak pada pola pemanfaatan kawasan oleh
berbagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya yang dikandung oleh
kawasan tersebut. Lebih lanjut kondisi ini disebut sebagai suatu bentuk
eksternalitas akibat pemanfaatan barang publik oleh lebih dari satu pihak yang
berkepentingan. Lebih spesifik lagi disebutkan bahwa eksternalitas terjadi jika
kegiatan produksi atau konsumsi dari suatu pihak dapat mempengaruhi utilitas
dari pihak lain secara tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak
menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak eksternalitas.
Kondisi ini berdampak pada pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam yang
tidak efisien, mengingat adanya pihak yang diuntungkan dari kerugian yang
diderita oleh pihak lain.
10
Friedman (1990) menyatakan bahwa eksternalitas yang positif melahirkan
barang publik, sementara eksternalitas negatif menghasilkan barang publik
“negatif”. Eksternalitas dapat terjadi dari konsumsi ke konsumsi, dari konsumsi ke
produksi dan dari produksi ke konsumsi.
Kula, 1992 diacu dalam Fauzi, 2004
menyebut tipe eksternalitas ini sebagai eksternalitas teknologi (technological
externalities) karena adanya perubahan konsumsi atau produksi oleh satu pihak
terhadap pihak lain yang lebih bersifat teknis. Tipe eksternalitas lainnya adalah
eksternalitas pecuniary (pecuniary externalities), yaitu ekstenalitas yang terjadi
akibat adanya perubahan harga dari beberapa input maupun output. Dengan kata
lain eksternalitas ini terjadi manakala aktivitas ekonomi suatu pihak dapat
mempengaruhi kondisi finansial pihak lain.
Hartwick dan Olewiler (1998) menggambarkan eksternalitas menjadi
eksternalitas privat dan eksternalitas pubik. Eksternalitas privat melibatkan hanya
beberapa individu bahkan bisa bersifat bilateral dan tidak menimbulkan spill over
(limpahan) kepada pihak lain, sementara eksternalitas publik terjadi manakala
barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Tipologi eksternalitas
secara rinci disampaikan pada Gambar 2.
Eksternalitas
Pecuniary
Teknologi
Eksternalitas
Produksi
Eksternalitas
Konsumsi
Timbul akibat
adanya
perubahan
harga input atau
output dalam
kegiatan
ekonomi
Publik
Barang
publik
dikonsumsi
tanpa
pembayaran
yang tepat
Privat
Eksternalitas
yang
bersifat
bilateral
Gambar 2. Tipologi eksternalitas (Fauzi, 2004).
Kawasan pesisir dan laut memiliki kompleksitas fungsi, meliputi fungsi
ekologi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi.
11
Semakin tinggi tingkat kompleksitas fungsi kawasan maka semakin tinggi pula
tekanan terhadap kawasan pesisir itu sendiri. Keberadaan sumber daya alam di
kawasan pesisir sangat menentukan kompleksitas persoalan terkait dengan
pemanfaatan kawasan. Kondisi ini sangat mudah dijumpai di kawasan pesisir
yang memiliki lebih dari satu jenis sumber daya alam, misalnya sumber daya
perikanan dan sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi. Kedua sumber
daya tersebut memiliki nilai ekonomi yang memegang peran penting baik bagi
perekonomian skala rumah tangga maupun skala nasional bahkan dunia. Secara
umum, kawasan pesisir secara otomatis akan menjadi arena sosial dan ekonomi
komunitas nelayan lokal, yang secara langsung menggantungkan kehidupan
ekonomi rumah tangganya pada kegiatan penangkapan ikan di laut. Kondisi ini
menyebabkan wilayah perairan di sekitar pesisir seolah “diklaim” menjadi fishing
ground nelayan lokal. Pada sisi lain, terdapat potensi sumber daya mineral yang
juga dieksploitasi di perairan yang diklaim sebagai fishing ground tersebut. Hal
ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi relatif lebih rentan terkait dengan
konflik pemanfaatan kawasan untuk sumber daya yang berbeda pada waktu yang
sama. Sifat kawasan yang merupakan barang publik, menyebabkan tidak adanya
hak kepemilikan yang sah atas kawasan pesisir.
Fauzi (2004) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan klaim yang
sah terhadap sumber daya atau pun jasa yang dihasilkan oleh sumber daya
tersebut. Dalam konteks ini adalah status sumber daya berupa hamparan perairan
laut sebagai barang publik, maka hak kepemilikan tidak dapat diklaim secara sah
oleh suatu pihak tertentu.
Sifat ini menyebabkan tidak adanya hak untuk
melarang pihak lain untuk menikmati sumber daya yang terkandung di laut. Pada
barang publik, pemanfaatan suatu pihak kerap akan menimbulkan eksternalitas
negatif pada pihak lain. Pada kasus ini adalah konflik kepentingan yang terjadi
antara perusahaan industri migas dengan nelayan yang melakukan kegiatan di area
dan pada waktu yang sama. Tidak adanya klaim yang sah terkait dengan hak
kepemilikan atas hamparan perairan laut, menyebabkan setiap pihak merasa
berhak atas wilayah tersebut dan tidak wajib bertanggung jawab ketika terjadi
kerusakan atas perairan laut.
12
Pemanfaatan laut sebagai kawasan industri migas akan menimbulkan eksternalitas
negatif terhadap kegiatan perikanan tangkap, demikian pula sebaliknya. Tidak
adanya hak yang membatasi/melarang pemanfaatan akan menyebabkan
berlakunya sistem rimba dimana pihak dengan kekuatan lebih tinggi akan
mendominasi pemanfaatan atas perairan yang bersifat multi fungsi.
Pada
akumulasi tertentu, kondisi ini akan berdampak pada perubahan kesejahteraan
pihak posisi lemah, dalam hal ini yaitu pihak nelayan.
INRR (2008), mengemukakan bahwa kondisi perikanan di perairan Pantura
Jawa Barat menunjukkan tingkat persaingan yang cukup tinggi. Persaingan ini
melibatkan persaingan internal nelayan lokal meliputi perbedaan alat tangkap
antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang, dan persaingan dengan industri
migas yang dirasakan semakin hari semakin mempersempit daerah penangkapan
ikan yang biasa dituju. Tingginya persaingan ini menyebabkan tingginya tingkat
sensitivitas nelayan, sehingga cukup rentan terhadap timbulnya persepsi negatif
bahkan kerap memicu konflik.
Jones, 1998 menjelaskan konflik dapat diartikan sebagai suatu kondisi
dimana terdapat akumulasi persepsi negatif yang belum mendapat penyelesaian.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa konflik sering muncul berkaitan dengan perebutan
akses dan kontrol atas perebutan sumber daya alam, misalnya sumber daya
tambang dan mineral, sungai, danau, dan lembah yang subur. Jika ditinjau dari
segi kepemilikan, sebagian besar konflik terjadi pada pemanfaatan sumber daya
alam yang bersifat open akses atau barang publik. Fink (1998) mengemukakan
bahwa konflik lingkungan yang terjadi memiliki dimensi yang kompleks dan
melibatkan berbagai kepentingan antar sektor dan stakeholder pembangunan.
Kerap kali konflik lingkungan terjadi tidak semata karena permasalahan
lingkungan itu sendiri (objek), melainkan juga melibatkan dimensi kepentingan
subjek pelakunya. Terdapat 4 teori konflik sumber daya alam dan lingkungan,
yaitu teori ketamakan (the greedy theory); NIMBY syndrome; teori mengail di air
keruh (profit taking); serta teori kemerosotan dan kelangkaan (deprivation and
scarcity). Berdasarkan definisi teori tersebut, maka teori yang relevan dengan
penelitian ini yaitu teori kelangkaan sumber daya ikan akibat adanya overlapping
kegiatan ekonomi di kawasan yang sama.
13
Penurunan hasil tangkapan ikan perlahan akan mengubah persepsi positif
nelayan terhadap kegiatan migas di laut, dan demikian kondisi ini terjadi secara
terus-menerus hingga mencapai titik klimaks dimana kelangkaan ikan mulai
dirasakan oleh nelayan.
Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan
menyebabkan perselisihan ringan sehingga konflik antar sektor. Kompleksitas
hubungan aspek biofisikal menyebabkan konflik sumber daya alam dan
lingkungan menjadi semakin rumit. Adanya subjek dengan kepentingan tertentu
akan menjadi trigger dari suatu konflik. Keterkaitan hubungan ini, menyebabkan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan harus dilakukan secara berhati-hati
dan mempertimbangkan segala aspek terkait. Pengelolaan konflik yang tidak
tepat dapat berdampak pada inefisiensi pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan.
2.2. Sumber Daya Hayati Pesisir dan Laut: Ikan dan Mineral
Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan
laut. Zona peralihan didefinisikan sebagai area ke arah daratan sampai dengan
garis pantai yang masih terpengaruh oleh kondisi pasang surut perairan. Dahuri
et al (1996) menyatakan bahwa dalam cakupan horizontal maka wilayah pesisir
dibatasi oleh dua garis hipotetik, ke arah daratan dan ke arah lautan. Ghofar
(2004) menjelaskan bahwa kelebihan kawasan pesisir sebagai area peralihan yaitu
sebagai nutrient trap yang menyediakan unsur hara dari proses run off di daratan.
Pada sisi lain, area pesisir juga sangat rentan dengan kondisi pencemaran perairan
yang berasal dari daratan baik sebagai akibat buangan limbah atau tingginya
intervensi manusia di sekitarnya. Dari perspektif sosial ekonomi, kawasan pesisir
yang memiliki kompleksitas nilai fungsi, akan berdampak pula pada kompleksitas
tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan dari kawasan tersebut.
Clark (1996) memaparkan bahwa kondisi pesisir sebagai area peralihan
menyebabkan kawasan pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang relatif tinggi.
Potensi tersebut di antaranya adalah potensi
sumber daya ikan dan potensi sumber daya migas. Potensi sumber daya ikan yang
berlimpah akan menyebabkan area perairan berkembang menjadi area
penangkapan ikan (fishing ground) yang dituju oleh nelayan, terutama nelayan
lokal di pesisir tersebut.
14
Demikian hal nya dengan potensi sumber daya mineral yang dimiliki oleh
kawasan akan menyebabkan area perairan berkembang menjadi lokasi produksi
sumber daya mineral. Paparan tentang masing-masing sumber daya alam serta
fungsi pemanfaatan kawasan untuk sumber daya tersebut
diuraikan sebagai
berikut:
2.2.1. Sumber Daya Ikan
2.2.1.1. Karakteristik dan Bentuk Eksternalitas Sumber Daya Ikan
Sumber daya ikan dikategorikan sebagai sumber daya alam yang memiliki
mobilitas yang sangat tinggi, dengan fluktuasi keberadaan mengikuti musim
tertentu. Fauzi (2010) menjelaskan bahwa selain terkait dengan sifat mobilitas dan
proses eksploitasi, karakteristik spesifik dari sumber daya ikan dalah
ketidakjelasan kepemilikan sumber daya ikan di suatu perairan. Sebagai salah
satu public good, sumber daya ikan dapat diklaim secara sah oleh siapa pun, dan
sebaliknya dapat ditinggalkan ketika sumber daya telah mengalami kerusakan
(tidak menguntungkan secara ekonomi). Terkait dengan karakteristik ini maka
terdapat beberapa macam eksternalitas dalam pemanfaatan sumber daya ikan,
yaitu eksternalitas terkait dengan ruang (space interception), eksternalitas terkait
dengan waktu (time interception), eksternalitas terkait dengan mobilitas
(mobility interception), eksternalitas terkait dengan informasi (information
interception), eksternalitas terkait dengan keragaman spesies (interspecies
interception), dan eksternalitas terkait dengan stok (stok interception).
Seijo dan Defeo (1997) mengkategorikan eksternalitas antar spesies dan
eksternalitas stok sebagai eksternalitas yang melekat akibat karakteristik inheren
dari sumber daya ikan. Dua jenis eksternalitas lainnya yang melekat akibat
karakteristik inheren dari sumber daya ikan yaitu eksternalitas teknologi
(technology externality) dan eksternalitas tekno-ekologis (techno-ecological
externality). Dijelaskan bahwa eksternalitas tekno-ekologis terjadi manakala
teknologi penangkapan suatu alat tangkap mengubah struktur dinamika populasi
dari spesies target dan by catch kemudian menimbulkan dampak negatif bagi alat
lain. Fauzi (2010) Lebih lanjut memaparkan bahwa eksternalitas tekno-ekologis
ini dibagi menjadi 2 tipe, yaitu eksternalitas sekuential dan eksternalitas
accidental.
15
Eskternalitas sekuential terjadi ketika nelayan skala kecil dan nelayan skala besar
mengeksploitasi stok ikan pada siklus hidup yang berbeda. Eksternalitas
accidental terjadi ketika secara teknologi terdapat ketergantungan dua alat
tangkap dalam menangkap ikan. Fauzi, 2010 lebih lanjut menjelaskan jenis
eksternalitas lainnya yang menjadi karakteristik unik dari sumber daya ikan
adalah eksternalitas terkait dengan umpan balik biologi (biological feed back).
Eksternalitas ini menggambarkan bahwa jumlah sumber daya ikan yang dapat
diekstraksi sangat ditentukan oleh kondisi alam dan daya dukung biologi dan stok
ikan itu sendiri.
2.2.1.2. Konsep Bioekonomi Perikanan
Analisis bioekonomi merupakan kombinasi simultan antara analisis
parameter biologi dengan analisis parameter ekonomi yang diaplikasikan dalam
konteks perikanan.
Fauzi (2010) menjelaskan analisis biologi secara umum
menyangkut aspek produksi alamiah (natural production), dan juga aspek kondisi
lingkungan perairan. Aspek ekonomi dalam analisis bioekonomi meliputi aspek
pasar serta non pasar, aspek preferensi, dan aspek aktivitas ekonomi.
Aspek Biologi
Fauzi (2004) menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya ikan pada
awalnya didasarkan hanya pada aspek biologi, yang didekati dengan metode
maximum sustainable yield (MSY) atau tangkapan maksimum lestari. Pendekatan
ini menekankan pada pemahaman bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan
untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila
surplus dipanen maka stok akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Pada
pendekatan surplus produksi, dinamika dari biomass digambarkan sebagai selisih
antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan
berikut:
Biomas pada t+1 = biomas pada t + produsi – mortalitas alami
(1)
Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi
mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami
lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun.
16
Hilborn dan Walters (1992) menyatakan bahwa surplus produksi menggambarkan
jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan,
atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomas dipertahankan
dalam tingkat tetap. Model surplus produksi yang biasa digunakan adalah model
yang dikembangkan oleh Scaefer (1954) berdasarkan model yang dikembangkan
sebelumnya oleh Graham (1935). Pada pendekatan ini, Scaefer 1954 menjelaskan
beberapa faktor biologi yang berpengaruh dalam fungsi produksi penangkapan
ikan. Faktor tersebut meliputi biomass dari stok yang diukur dalam berat (x), laju
pertumbuhan alami dari populasi (r), dan faktor daya dukung maksimum
lingkungan atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomass (K). Berdasarkan
batasan faktor-faktor tersebut, maka dalam kondisi tidak ada penangkapan ikan
laju perubahan biomass sepanjang waktu digambarkan dalam persamaan 2 dan 3.
dxt
= f ( xt )
dt
(2)
dxt
x
= rxt (1 − t )
dt
K
(3)
Dengan f(xt) adalah fungsi pertumbuhan. Fungsi pertumbuhan dalam model
surplus produksi terdiri atas model pertumbuhan logistik dan eksponensial atau
Gompertz. Fungsi pertumbuhan logistik merupakan basis fungsi yang digunakan
oleh Scaefer (1995) dan Walters dan Hilborn (1976). Fungsi Gompertz merupakan
fungsi yang digunakan oleh Fox (1970), Schnute (1977), dan Clark, Yoshimoto,
dan Pooley (1992). Fungsi persamaan Gompertz dituliskan dalam persamaan 4.
⎛K⎞
dxt
= rxt ln⎜⎜ ⎟⎟
dt
⎝ xt ⎠
(4)
Fungsi produksi yang sering digunakan dalam sumber daya ikan dituliskan dalam
persamaan 5.
ht = qxt Et
(5)
Dengan ht menggambarkan jumlah tangkapan dalam satuan berat, q digambarkan
sebagai koefisien penangkapan atau kemampuan daya tangkap dalam satuan per
standardized effort, Xt digambarkan sebagai biomass dalam satuan berat, dan Et
digambarkan sebagai upaya penangkapan ikan dalam satuan effort (trip).
17
Adanya aktivitas penangkapan ikan menyebabkan persamaan 4 berubah menjadi
persamaan 6.
dxt
⎛ x ⎞
= rxt ⎜1 − t ⎟ − qxt Et
dt
K⎠
⎝
(6)
Jika menggunakan persamaan Gompertz, maka persamaan 4 berubah menjadi
persamaan 7.
dxt
⎛ x ⎞
= rxt ln⎜1 − t ⎟ − qxt Et
dt
K⎠
⎝
(7)
(Fauzi, 2010) menyatakan bahwa dalam bentuk yang paling sederhana,
pertumbuhan suatu populasi digambarkan dalam bentuk percent growth rate atau
laju pertumbuhan persentase. Jika stok ikan pada periode t dinotasikan dengan xt
dan stok ikan pada peridoe berikutnya ditulis sebagai xt+1, maka percent growth
rate ditulis dalam persamaan 8:
Δx xt +1 − xt
=
x
xt
(8)
Jika persentasi pertumbuhan ini diasumsikan konstan sebesar r, maka persamaan 8
dapat ditulis menjadi persamaan 9:
xt +1 − xt
=r
xt
(9)
xt +1 = (1 + r )xt
(10)
Jika perbedaan waktu di atas ditulis dalam bentuk Δt (bukan sebagai suatu interval
periode waktu) maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi:
x(t + Δt ) − x(t )
= r.Δt
x(t )
(11)
Dengan penyederhanaan aljabar, persamaan 11 selanjutnya ditulis menjadi:
Δx
= rx(t )
Δt
(12)
Jika perubahan waktu Δt yang terjadi sangat kecil, maka persamaan 12
selanjutnya menjadi persamaan diferensial yaitu persamaan yang menggambarkan
perubahan waktu yang kontinyu.
18
dx
= rx(t )
dt
(13)
Solusi dari persamaan 13 akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode
t atau x(t)=x0ert dimana x0 adalah stok pada periode awal. Aspek biologi stok ikan
didekati dengan model pertumbuhan yang bersifat density dependent, yaitu
pertumbuhan populasi dalam setiap periode bervariasi terhadap ukuran populasi
pada periode awal. Dengan demikian, stok ikan pada periode t+1 diasumsikan
ditentukan oleh pertumbuhan pada periode t atau ditulis F(xt) dan stok ikan pada
periode t yakni xt. Secara matematis ditulis dalam persamaan 14:
x(t +1) = F ( xt ) + xt
(14)
Dengan demikian, laju pertumbuhan ikan pada periode t+1 dan t dapat ditulis
dengan persamaan 15:
F (xt ) = xt +1 − xt
(15)
atau jika ditulis dalam bentuk persamaan kontinyu, persamaan menjadi:
dx
= F (x )
dt
(16)
Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan proporsial alamiah maka persamaan
16 dapat ditulis menjadi:
dx
= rx = F ( x)
dt
(17)
Solusi dari persamaan di atas akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t
atau x(t)=x0ert dimana x0 adalah stok pada periode awal. Pada kondisi r>0 maka
stok pada periode t akan tumbuh secara eksponensial, dan akan turun secara
eksponensial pada r<0.
Kondisi ini sangat ditentukan oleh daya dukung
lingkungan meliputi ruang, makanan, penyakit, dan predator.
Dengan
pertimbangan faktor daya dukung lingkungan tersebut, maka persamaan di atas
berubah menjadi:
dx
= r ( x )x
dt
(18)
19
Jika r merupakan fungsi yang menurun terhadap x, maka persamaan dapat ditulis
menjadi:
r ( x) = r −
rx
K
(19)
Dimana K adalah kapasitas daya dukung lingkungan atau titik kejenuhan. Dengan
mensubstitusikan persamaan ini ke dalam persamaan 19, maka persamaan
selanjutnya ditulis menjadi:
dx
x⎞
⎛
= rx⎜1 − ⎟
dt
⎝ K⎠
(20)
Pada aspek ini, perhitungan sumber daya ikan didasarkan pada parameter biologi,
meliputi pertumbuhan (r), biomas (x), dan daya dukung lingkungan (K). Adanya
asumsi keseimbangan jangka panjang, menyebabkan sisi kiri persamaan kemudian
menjadi 0 sehingga diperoleh persamaan untuk menghitung stok ikan (x), yaitu:
⎡ qE ⎤
x = K ⎢1 −
r ⎥⎦
⎣
(21)
Persamaan 2.17 menggambarkan variabel stok (x) sebagai fungsi dari faktor
biofisik (r, q, K) dan variabel input E. Susbtitusi variabel x ke dalam persamaan
19 selanjutnya menghasilkan persamaan:
⎛ qE ⎞
h = qKE ⎜1 −
⎟
r ⎠
⎝
(22)
Persamaan ini menggambarkan hubungan antara input (E) dan ouput (h) dalam
bentuk persamaan kuadrat yang selanjutnya dikenal sebagai persamaan yieldeffort lestari. Dalam perspektif Scaefer, pengelolaan sumber daya ikan yang
terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield
effort yang selanjutnya dikenal sebagai maximum sustainable yield (MSY). Pada
kondisi ini, persamaan effort menjadi:
E msy =
r
2q
(23)
Persamaan Emsy tersebut selanjutnya disubstitusikan pada persamaan output (hmsy)
menjadi persamaan 24.
20
hmsy =
rK
4
(24)
Dari persamaan 23 dan 24 maka persamaan biomas (x) dapat dihitung dengan
persamaan berikut ini:
x msy =
hmsy
qE msy
=
(rK / 4) = K
q (r / 2q ) 2
(25)
Pengaruh penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan
diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh penangkapan terhadap stok (Seijo et al., 1998).
Gambar tersebut menunjukkan dampak yang terjadi pada stok akibat adanya
kegiatan penangkapan ikan. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1
diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal).
Kemudian, jika upaya dinaikkan sebesar E2, di mana E2>E1, hasil tangkapan akan
meningkat sebesar h2 (h2>h1). Jika upaya terus ditingkatkan, misalnya sebesar E3
(E3>E2>E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E3>E2 ternyata
tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (dalam hal ini h3< h2).
Berdasarkan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa eksploitasi dalam kondisi
tersebut tidak efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit
harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar.
Tingkat produksi pada titik K/2 disebut sebagai titik produksi maksimum
lestari (MSY). Bentuk kuadratik kurva MSY menyebabkan peningkatan effort
secara terus-menerus setelah melewati titik K/2 tidak akan diikuti oleh
peningkatan produksi.
21
Produksi akan menurun secara terus-menerus bahkan mencapai titik 0 pada
tingkat upaya maksimum (K). Hal ini membuktikan bahwa dalam sumber daya
ikan, peningkatan input tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan output yang
disebabkan oleh adanya faktor daya dukung alam yang membatasi. Fungsi
tersebut baru hanya menggambarkan kondisi secara biologi, sehingga aspek
ekonomi terkait dengan biaya produksi (upaya penangkapan) belum dapat
digambarkan. Menyikapi hal ini, Conrad dan Clark, (1987) diacu dalam Fauzi
(2010), menjelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan MSY memiliki beberapa
kelemahan, yaitu:
-
Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok meleset sedikit saja dapat
berpengaruh pada kondisi pengurasan stok (stok depletion).
-
Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak
berlaku pada kondisi non steady state.
-
Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen
(imputed value).
-
Mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya.
-
Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki cirri ragam jenis
(multi species).
Aspek Ekonomi
Kelemahan-kelemahan tersebut selanjutnya memunculkan pertimbangan
pentingnya penghitungan aspek ekonomi dalam pendugaan fungsi produksi
sumber daya ikan yang dikembangkan oleh Gordon (1954). Gordon
mengembangkan fungsi kuadratik Velhust (1983) yang digunakan oleh Scaefer
dalam pendugaan produksi sumber daya ikan. Model ini selanjutnya dikenal
dengan model Gordon-Scaefer, yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
-
Harga per satuan output diasumsikan konstan.
-
Biaya per satuan upaya diasumsikan konstan.
-
Spesies sumber daya ikan diasumsikan bersifat tunggal (single species).
-
Struktur pasar bersifat kompetitif.
-
Nelayan berposisi sebagai price taker (tidak bisa menentukan harga).
-
Faktor yang dihitung hanya faktor penangkapan, tanpa mengakomodir faktor
pasca penangkapan.
22
Dalam perspektif ekonomi, effort diartikan sebagai nominal fishing effort
yang sering dilambangkan dengan notasi E. (Clark, 1985 diacu dalam Fauzi,
2010) menjelaskan effort sebagai jumlah unit alat tangkap ikan yang
distandardisasi dan secara aktif digunakan pada suatu periode tertentu.
Dengan asumsi-asumsi tersebut maka rente ekonomi dari pemanfaatan sumber
daya ikan dihitung dari selisih antara penerimaan total lestari (total sustainable
revenue/TSR) dengan biaya yang dikeluarkan, yang dituliskan dengan persamaan
berikut:
⎡ qE ⎤
TSR = ph( E ) = pqKE ⎢1 −
r ⎥⎦
⎣
(26)
Dengan persamaan biaya total penangkapan dihitung melalui persamaan 26,
dimana konstanta c selain menggambarkan biaya per unit input yang digunakan
juga menggambarkan biaya korbanan dari input yang digunakan.
TC = cE
(27)
Manfaat ekonomi dari penangkapan ikan selanjutnya dapat dihitung dari selisih
TSR dengan TC, seperti ditulis pada persamaan 28 dan 29:
π = TSR − TC
⎡ qE ⎤
− cE
= pqKE ⎢1 −
r ⎥⎦
⎣
(28)
(29)
Dari aplikasi model Gordon-Scaefer tersebut, maka diperoleh dugaan kondisi
kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan yang telah mengakomodir aspek biologi
dan aspek ekonomi. Secara grafis, kondisi pengelolaan sumber daya ikan pada
titik optimum secara ekonomi diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kondisi maximum economic yield dan open access dalam pemanfaatan
sumber daya ikan (Scaefer, 1957).
23
Dari Gambar 4 diketahui bahwa keuntungan optimum baik secara biologi
mau pun ekonomi diperoleh pada saat kegiatan penangkapan ikan berada pada
area economic optimum. Pada area ini total revenue menunjukkan nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan total cost. Pada kondisi open access, total cost yang
dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan total revenue, sehingga manfaat
ekonomi yang diperoleh menjadi turun mencapai 0.
2.2.1.3. Kawasan Perairan sebagai Area Penangkapan Ikan
Di Indonesia, potensi sumber daya ikan merupakan potensi utama dari suatu
kawasan pesisir dan laut yang lazim dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan
utama rumah tangga nelayan di sekitarnya. Suatu kawasan pesisir yang memiliki
potensi sumber daya ikan berlimpah secara praktis akan menjadi fishing ground
utama bagi nelayan lokal (sekitarnya).
Pada kondisi jenis mata pencaharian
alternatif yang terbatas, maka potensi sumber daya ikan akan menjadi tumpuan
utama penduduk nelayan. Kondisi ini menyebabkan tingkat ketergantungan
komunitas nelayan terhadap produktivitas pesisir dan laut menjadi relatif tinggi.
Tingginya tingkat ketergantungan tersebut disebabkan oleh ketergantungan
ekonomi rumah tangga yang sebagian besar dipenuhi dari kegiatan penangkapan
ikan.
INRR (2011) menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan di area pesisir
Karawang relatif padat. Jenis alat tangkap yang digunakan relatif beragam, dari
berbagai jenis kelompok alat tangkap (alat tangkap statis, pasif, dan aktif).
Rutinitas kegiatan penangkapan ikan bersifat harian (one day fishing). Nelayan
yang memanfaatkan kawasan pesisir sebagai fishing ground adalah nelayan lokal.
Jenis sumber daya ikan yang menjadi hasil tangkapan di wilayah ini adalah jenis
ikan pelagis dan demersal konsumsi. Bagi penduduk di pesisir ini, kegiatan
penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi utama yang dijadikan
sebagai sumber pendapatan harian rumah tangga. Alternatif mata pencaharian
lainnya masih merupakan derivasi dari kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan,
yang meliputi usaha pengolahan ikan (ikan kering dan terasi), usaha penyewaan
kimpling (keranjang ikan), usaha penyedia es balok, dan warung makanan di
sekitar tempat pendaratan ikan (TPI).
24
Hal ini menggambarkan bahwa potensi sumber daya ikan dalam bentuk kegiatan
penangkapan ikan di pesisir Karawang telah menjadi sumber mata pencaharian
nelayan lokal. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk pesisir terhadap
kawasan menyebabkan sensitivitas penduduk pesisir menjadi relatif tinggi.
Kondisi ini cukup rentan dengan timbulnya konflik pemanfaatan perairan yang
menjadi area penangkapan ikan yang dituju selama ini.
2.2.2. Sumber Daya Mineral (Migas)
2.2.2.1. Kegiatan Produksi Migas di Laut
Kegiatan produksi migas di laut secara umum adalah sama, yaitu terdiri atas
4 tahapan kegiatan, yaitu pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi.
Dari empat tahapan tersebut, tahap operasi merupakan tahapan kegiatan dengan
durasi waktu terlama. Pada tahap ini berlangsung kegiatan produksi yang dapat
berumur sampai dengan puluhan tahun. Operasional kegiatan produksi migas di
laut melibatkan sejumlah fasilitas utama dan pendukung yang dipasang di dasar
laut maupun yang dimobilisasikan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Salah satu
fasilitas tersebut adalah anjungan produksi migas di laut.
Soedjono (1998) memaparkan bahwa konstruksi anjungan lepas pantai dapat
dibedakan menjadi 3 golongan utama, yaitu :
-
Anjungan terapung (Mobile Offshore Drilling Unit/MODU atau Floating
Production Platform/FPU). Contoh dari anjungan ini yaitu: semi submersible,
drilling ship, tension leg platform, jack-up, FPSO.
-
Anjungan terpancang (Fixed Offshore Platform). Contoh dari anjungan ini
adalah jacket platform, concrete gravity, tripod.
-
Anjungan struktur lentur (Compliant Platform). Contoh dari anjungan ini
adalah Articulated Tower, Guyed tower.
Arifin (2000) menjelaskan beberap hal yang perlu diperhatikan dalam
merancang bangunan lepas pantai adalah biaya investasi, perilaku hidrodinamis,
kemampuan mobilitas, serta reliability dalam pengoperasiannya.
Caledonian Offshore Ltd (1995) memaparkan beberapa jenis anjungan
produksi migas yang dibedakan berdasarkan sifat mobilitasnya, yaitu fixed
platform dan mobile platform.
25
Fixed platform yang umum digunakan yaitu steel leg platform, concrete gravity
production platform, tension leg production platform, dan light weight production
platform. Mobile platform yang umum digunakan yaitu jack up, semi-submersible
production platform, semi-submersible production unit, dan floating production
unit. Peralatan yang terdapat di anjungan produksi meliputi wellhead, separation,
main oil line pumping, electrical switch gear dan transformer, water injection,
workshop/controlling room, drilling derrick, gas compression, power generation,
living accommodation, utilities dan cooling water, flare boom, dan helideck.
Anjungan produksi mampu menampung sebanyak 500-800 orang tenaga kerja,
craneage dengan kapasitas tinggi (100 ton), helideck yang luas, dan beberapa
fasilitas akomodasi yang cukup lengkap dengan standard internasional. Anjungan
produksi biasanya menjadi induk dari beberapa unit sumur yang dihubungkan
dengan remote well head.
a.
Steel Leg Platform
Jenis ini biasanya digunakan di area perairan dangkal dan pemasangannya
dilakukan dengan cara menanam tiang kaki anjungan di dasar perairan. Jumlah
kaki disesuaikan dengan kompleksitas fungsi berbagai peralatan yang terdapat di
anjungan serta beban yang disangga. Anjungan ini membutuhkan area yang cukup
luas, dan secara umum digunakan di lapangan produksi yang luas. Ilustrasi steel
leg anjungan disampaikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Ilustrasi steel leg platform (Caladonian Offshore Ltd., 1995).
26
b.
Concrete Gravity Production Platform
Jenis anjungan ini digunakan di perairan kedalaman 200-300 m yang
biasanya dihubungkan ke fasilitas penerima di darat (Gambar 6).
Gambar 6. Ilustrasi concrete gravity production platform.
(Caladonian Offshore Ltd., 1995).
c.
Tension Leg Production Platform
Anjungan jenis ini dikembangkan dari jenis sub-mersible anjungan yang
ditujukan untuk efisiensi biaya dalam kegiatan produksi migas di perairan laut
dalam. Ilustrasi tension leg production anjungan disampaikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Ilustrasi tension leg production platform.
(Caladonian Offshore Ltd., 1995).
27
d.
Light Weight Production Platform
Anjungan jenis ini digunakan untuk memudahkan transmisi hasil produksi
yang diperoleh ke kapal penerima. Anjungan ini biasanya menerima minyak atau
gas bumi dari sejumlah sumur, yang selanjutnya diproses dan ditransfer ke
fasilitas penerima (kapal), dan biasanya dioperasikan di perairan laut dalam.
Ilustrasi light weight production anjungan disampaikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Light weight production platform.
(Caladonian Offshore Ltd., 1995).
e.
Jack Up, Semi-Submersible Production Platform, Semi-Submersible
Production Unit, dan Floating Production Unit
Anjungan jenis jack up, semi-submersible production platform, semisubmersible production unit, dan floating production unit merupakan jenis
anjungan yang bersifat mobile dengan desain yang dapat dipindah-pindah dan di
pasang di perairan dalam atau dangkal.
Jack up rig memiliki fleksibilitas
pengaturan tinggi dan rendah posisi yang dapat disesuaikan dengan permukaan
perairan. Jenis anjungan semi-submersible production platform (SSPP), semisubmersible production unit (SSPU), dan floating production unit (FPU) biasanya
digunakan untuk kegiatan di perairan dalam dan diapungkan di perairan. Ilustrasi
masing-masing anjungan tersebut disampaikan pada Gambar 9, 10, 11, 12, 13.
28
Gambar 9. Jack Up
Gambar 11. SSPU
Gambar 10. SSPP
Gambar 12. FPU
Sumber: Caladonian Offshore Ltd., 1995.
Seluruh jenis anjungan tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai
fasilitas produksi, namun posisi peletakan anjungan berbeda. Posisi peletakan
masing-masing jenis anjungan diilustrasikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Ilustrasi keberadaan anjungan berdasarkan jenis
(http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_platform
29
Pada kegiatan produksi, juga dilakukan kegiatan flaring yang ditujukan
untuk pembakaran gas buang dan pengatur keseimbangan proses produksi.
Flaring dilakukan di menara flare stack, yang secara visual ditunjukan oleh
ilustrasi api menyerupai obor pada Gambar 14.
Gambar 14. Ilustrasi kegiatan flaring di anjungan
(http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_platform).
Jumlah flare stack berbeda-beda disesuaikan dengan kompleksitas kegiatan
di anjungan tersebut. Jarak antara menara flare stack dengan permukaan air
umumnya mencapai 30-60 meter. Kondisi ini menyebabkan efek terang dari
pendar cahaya dapat mencapai permukaan air dengan baik, demikian juga dengan
perbedaan suhu udara di bawah flare stack tersebut. Kegiatan yang berlangsung di
anjungan secara umum relatif sama, yaitu kegiatan produksi, dan kegiatan
akomodasi tenaga kerja.
Pada pelaksanaannya, seluruh kegiatan mengacu pada prosedur baku untuk
menjaga keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan. Kegiatan pembuangan
limbah mengacu pada ketentuan internasional dan peraturan negara yang relevan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak terdapat pembuangan limbah
anorganik dan limbah berbahaya ke perairan laut yang dilakukan dari fasilitas
anjungan produksi migas di laut. Keselamatan kegiatan dilindungi dengan baik,
mengingat tingginya resiko dan bahaya yang dapat terjadi di fasilitas anjungan
tersebut. Pengamanan dilakukan dari segi peralatan dan prosedur kerja, serta
diberlakukannya zona larangan mendekati instalansi anjungan sejauh radius 500
meter, dan zona terbatas sejauh 750 meter dari zona larangan.
30
Pemberlakuan zona larangan dan zona terbatas di sekitar lokasi instalansi
anjungan ditujukan untuk melindungi kegiatan dari jangkauan kegiatan lain yang
dapat berakibat fatal pada sistem peralatan di anjungan. Ketentutuan yang belaku
di zona larangan yaitu tidak diperkenankannya kegiatan lain dalam bentuk apa
pun memasuki area radius 500 meter dari instalansi, dan zona ini dijaga dengan
sistem patroli yang sangat ketat. Pada zona terbatas diberlakukan ketentuan tidak
diperkenankannya kegiatan lain melakukan pemasangan jangkar atau kegiatan
lain yang dapat menyentuh dasar perairan. Ketentuan ini didasarkan pada UU No.
1 tahun 1973 tentang landas kontinen yang didukung pula oleh PP No. 5 tahun
2010 tentang kenavigasian.
Dari telaah pustaka tersebut, maka jenis anjungan yang terdapat di lokasi
penelitian adalah jenis steel leg platform yang dipasang di kedalaman perairan
<200 meter.
Kegiatan yang berlangsung di anjungan yang diteliti meliputi
kegiatan produksi, kegiatan akomodasi tenaga kerja, dan kegiatan flaring. Tidak
terdapat pembuangan limbah anorganik dan limbah berupa bahan berbahaya dan
beracun (B3) yang dibuang ke perairan laut, sehingga kemungkinan terjadinya
pencemaran perairan relatif sangat kecil.
2.3. Respon Ikan terhadap Anjungan Produksi Migas di Laut
Penelitian tentang respon sumber daya ikan dan biota laut lainnya terhadap
keberadaan anjungan produksi migas di laut telah dilakukan, diantaranya oleh
Schroeder et al. (1999); Love et al. (2003); Jablonski (2002). Sebagian besar
penelitian tersebut berlokasi di Pesisir California tepatnya di area anjungan
produksi migas yang berada di perairan dangkal (kedalaman <1000 meter).
Penelitian yang dilakukan lebih difokuskan pada kajian biologi, yaitu analisis
tentang kemampuan anjungan produksi migas di laut untuk menjadi habitat baru
bagi sejumlah ikan. Parameter yang dikaji yaitu tingkat densitas dan kelimpahan
ikan, serta keragaman jenis ikan yang terdapat di area anjungan, dengan
menggunakan ekosistem karang alami sebagai pembanding (tolok ukur).
Schroeder, et al. (1999) telah melakukan penelitian tentang nilai relatif
habitat di perairan dangkal lokasi anjungan produksi migas bumi di Santa Maria
Basin dan Santa Barbara Channel, California.
31
Nilai relatif habitat tersebut dikomparasikan dengan nilai relatif habitat ekosistem
karang alami yang berada tidak jauh dari lokasi anjungan. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai relatif habitat di kedua
lokasi studi, yaitu nilai relatif habitat yang lebih rendah mencapai 42% di area
anjungan dibandingkan dengan area terumbu karang alami. Namun demikian, area
anjungan terbukti mampu mendukung keberadaan juvenil ikan rock fish (Sebastes
spp.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien variation dari habitat di
area anjungan lebih tinggi (42%) dibandingkan dengan area terumbu karang alami
(19%). Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan di perairan dengan variasi
kedalaman lokasi anjungan yang dibandingkan dengan area terumbu karang alami
dengan variasi kedalaman yang relevan. Kedalaman lokasi anjungan berbanding
negatif dengan tingkat densitas dan keragaman jenis sumber daya ikan yang ada.
Dari penelitian itu diketahui bahwa anjungan dengan kedalaman maksimal
>46 meter memiliki nilai habitat dan koefiseien variasi tertinggi bahkan lebih
tinggi dibandingkan dengan area terumbu karang alami. Kondisi ini dikaitkan
dengan kuat arus dan gelombang yang terjadi di lokasi tersebut. Diyakini struktur
anjungan mampu menjadi faktor penahan arus, yang berpengaruh pada pertahanan
larva dan juvenile ikan di sekitar anjungan. Hal ini dapat menguatkan bagaimana
kelimpahan juvenil ikan rock fish (Sebastes spp.) dapat berada dalam nilai yang
cukup tinggi dibandingkan dengan area lainnya. Sebagian besar jenis ikan yang
ditemukan di area anjungan merupakan ikan pelagis yang dalam pergerakannya
cenderung membentuk kawanan atau schooling (Gambar 15 dan Gambar 16).
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 15. Bocaccio dewasa (Sebastes paucispinis) dan Gambar 16.
Cowcod (S. levis) di bawah Anjungan Gail, Eastern Santa Barbara Channel
(Schroeder, et al., 1999).
32
Jablonski (2002) melakukan penelitian serupa pada tahun 2001-2002
bertempat di Campos-Santos Basin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek
anjungan produksi migas di laut terhadap produksi perikanan tangkap, terkait
dengan zona larangan (radius 500 meter) yang diberlakukan di sekitar anjungan.
Penelitian dilakukan melalui pengamatan visual terhadap hasil tangkapan dengan
unit penangkapan berupa hand long line. Target tangkapan pada penelitian ini
adalah jenis ikan tuna, sardine, dan mackerel. Penelitian dilakukan dengan
pembedan titik pengamatan menjadi 3 titik, yaitu di dalam radius 500 meter, di
luar radius 500 meter, dan di area perbatasan dalam-luar radius 500 meter. Selain
membedakan titik pengamatan, tata waktu pelaksanaan penelitian dilakukan
secara bertahap, dengan melibatkan nelayan dan pengamat (pencatat hasil). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah tangkapan terbanyak diperoleh dari area
perbatasan (6.700 kg), sedangkan jumlah tangkapan di dalam dan luar radius 500
meter menunjukkan hasil yang relatif sama yaitu masing-masing 1.300 kg dan
1.400 kg. Banyaknya jumlah tangkapan di area perbatasan diduga sebagai akibat
dari letak anjungan yang tepat di area penangkapan ikan terbaik.
Love et al. (2003), menyatakan bahwa anjungan produksi migas di laut
memiliki 2 fungsi utama terkait dengan fungsi ekologi habitat ikan.
Fungsi
tersebut yaitu fungsi kolom perairan sebagai nursery ground untuk jenis rock
fishes (Sebastes spp.) dan jenis spesies lainnya, dimana kolom perairan memiliki
kuat arus yang mendukung pertahanan keberadaan juvenil ikan; serta fungsi dasar
perairan (pertemuan pipa dan dasar laut) yang dapat menjaga dan meningkatkan
kelimpahan ikan remaja dan ikan dewasa. Konstruksi tiang-tiang anjungan
mampu mengundang alga dan dapat menjadi tempat menempel biota laut.
Demikian seterusnya kondisi tersebut dalam jangka waktu yang lama mampu
membentuk habitat baru bagi ikan. Jenis ikan yang banyak ditemukan di area ini
adalah ikan rockfishes, lingcod (Ophiodon elongatus), painted greenling
(Oxylebius pictus), dan jenis ikan karang.
disampaikan pada Gambar 17.
Ilustrasi hasil pengamatan ini
33
Gambar 17. Kondisi ekosistem di area anjungan produksi migas di laut.
(Love et al., 2003).
Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bagaimana kondisi ekologi
biota laut yang berada di area anjungan. Penelitian ini sekaligus menggambarkan
bagaimana anjungan produksi migas di laut dapat menjadi daya tarik bagi ikan
dan menjadikannya sebagai habitat baru. Love et al. (2003) menyatakan bahwa
adanya alga yang bersimbiosis dengan pipa dan peralatan bawah laut menciptakan
kehidupan baru di sekitar anjungan. Alga dan plankton selanjutnya menarik
kehadiran biota laut lainnya sehingga menciptakan rantai makanan. Demikian
kondisi ini berlangsung secara terus-menerus dalam durasi waktu yang cukup
lama sehingga terbentuk ekosistem baru yang dapat menuju stabil.
Pada studi tersebut, kajian ditekankan pada keberadaan anjungan yang sudah
tidak berproduksi, yang dikatakan dapat berperan sebagai articial reef. Layaknya
artificial reef lainnya, anjungan produksi migas di laut terbukti mampu
membentuk ekosistem baru yang dapat menjadi habitat bagi ikan jenis tertentu.
Pengkajian aspek ekonomi terkait dengan manfaat anjungan masih minim,
sehingga dari studi yang dirujuk, belum diketahui besaran nilai ekonomi yang
dapat disimpan oleh habitat yang terbentuk di sekitar area anjungan.
34
2.4. Respon Ikan terhadap Cahaya
Selain faktor makanan yang cukup, kondisi ekologi dan kualitas perairan
yang mendukung, keberadaan cahaya juga menjadi faktor penting bagi kehadiran
jenis ikan tertentu. Belum ditemukan penelitian yang secara khusus mengkaji efek
cahaya di anjungan terhadap daya tarik ikan. Namun demikian, telah terdapat
banyak studi tentang respon ikan terhadap cahaya yang dapat dianalogikan dengan
efek cahaya dari anjungan produksi migas di laut. Kegiatan pencahayaan di
anjungan berasal dari cahaya lampu penerangan anjungan, lampu signal, dan
cahaya flaring.
Ikan memiliki respon positif dan negatif terhadap rangsangan cahaya, yang
sering dikenal dengan istilah fototaksis positif (mendekati cahaya) dan fototaksis
negatif (menjauhi cahaya). Pada jenis ikan fototaksis positif, pendaran cahaya di
perairan akan merangsang ikan untuk mendekat dan berkumpul di area terang dan
sebaliknya pada jenis ikan yang bersifat fototaksis negatif akan cenderung
menjauhi cahaya. Laevastu dan Hayes (1991), menjelaskan bahwa cahaya dengan
segala aspek yang dikandung seperti intensitas, sudut penyebaran, polarisasi,
komposisi spektral, arah dan panjang gelombang, serta lama penyinaran akan
mempengaruhi tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Dikatakan bahwa ikan
memiliki respon yang cukup baik terhadap rangsangan cahaya, meskipun
besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara 0,01-0,001 lux yang ditentukan
oleh kemampuan suatu jenis ikan untuk beradaptasi. Warna cahaya sangat
berpengaruh pada daya tarik ikan, cahaya akan efisien jika sinar warna lampu
dapat menembus kedalaman tertinggi.
Warna lampu tersebut adalah
warna
lampu yang sejenis dengan warna perairan.
Sudirman et al. (2000) mengemukakan bahwa warna cahaya yang baik
digunakan untuk menarik dan mengumpulkan ikan adalah warna cahaya biru,
kuning dan merah. Gunarso (1985) menyatakan bahwa ketertarikan ikan terhadap
cahaya juga disebabkan oleh indikasi keberadaan makanan. Dari penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa ikan yang berada dalam kondisi lapar akan lebih
mudah terpikat oleh adanya cahaya dibandingkan dengan ikan yang dalam
keadaan tidak lapar.
35
Dikatakan pula bahwa respon ikan muda terhadap rangsangan cahaya adalah lebih
besar dibandingkan dengan respon ikan dewasa dan setiap jenis ikan memiliki
intensitas cahaya optimum terkait dengan ketertarikannya.
Ayodhya (1981) menyebutkan bahwa peristiwa tertariknya ikan di bawah
cahaya dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu; peristiwa langsung, dimana
ketertarikan ikan menuju cahaya sangat berhubungan langsung dengan peristiwa
fototaksis, misalnya jenis ikan sardinella, kembung dan layang; peristiwa tidak
langsung, dimana ketertarikan disebabkan oleh adanya konsentrasi plankton yang
menjadi sumber makanan ikan kecil dan ikan lainnya berkumpul, lalu ikan dengan
ukuran lebih besar datang dengan tujuan mencari makan (feeding). Beberapa jenis
ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tenggiri, selar dan jenis ikan
pelagis dan demersal lainnya. Selain dua kelompok di atas terdapat ikan yang
tertarik pada cahaya sebagai hasil dari reflex defensive ikan terhadap predator. Hal
ini terjadi berkaitan dengan pembentukan schoolling dan kemampuan penglihatan
pada ikan. Ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan
menyebar pada saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan lebih mudah
dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh cahaya
buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi, sehingga
memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dari incãran
predator.
Temuan ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Schroeder, et
al., (1999) terkait dengan tingginya kelimpahan ikan yang berada dalam fase
juvenil di area anjungan. Selain faktor kuat arus yang diperlemah oleh bangunan
anjungan, maka kehadiran ikan dalam fase juvenil bisa jadi disebabkan oleh faktor
cahaya anjungan yang dipantulkan ke perairan. Hasil penelitian tersebut
memberikan analogi terkait dengan kemampuan anjungan dalam mengumpulkan
ikan melalui efek cahaya lampu dan flaring.
2.5. Analogi Efek Kawasan Konservasi Laut di Area Anjungan Migas
Haryadi (2004) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut merupakan
salah satu upaya yang dikembangkan untuk mengembalikan fungsi sosial,
ekologis, dan ekonomi suatu kawasan perairan agar dapat memberikan manfaat
optimal yang berkesinambungan.
36
Dibentuknya kawasan konservasi laut (KKL) ditujukan untuk mereduksi kondisi
over fishing, sehingga manfaat ekonomi dari kegiatan penangkapan ikan dapat
dinikmati untuk jangka waktu yang lebih panjang. Pada pelaksanaannya,
penetapan KKL kerap memperoleh respon negatif dari masyarakat nelayan yang
berkepentingan. Respon tersebut terkait dengan penyempitan area penangkapan
ikan, yang bedampak pada peningkatan persaingan dan memicu peningkatan
biaya operasional penangkapan ikan.
Nababan & Sari (2004) melakukan kajian terhadap manfaat KKL Kepulauan
Seribu dengan melakukan penghitungan manfaat berbasis data produksi periode
1990-2001. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
produktivitas nelayan pada periode sebelum dan setelah penetapan KKL di
Kepulauan Seribu. Perbedaan produktivitas menunjukkan angka yang cukup
signifikan untuk menyatakan bahwa keberadaan KKL dapat memberi manfaat
positif terhadap pertumbuhan biomass ikan pada kedua segmen waktu kajian.
(Fauzi dan Buchary, 2002 diacu dalam Nababan & Sari, 2004) menjelaskan
bahwa terjadi peningkatan produksi yang sangat signifikan pasca dibentuknya
Taman Nasional Kepulauan Seribu sampai dengan tahun 1999. Pendekatan yang
digunakan dalam penghitungan manfaat KKL terhadap perikanan tangkap terdiri
atas analisis produktivitas dan analisis bioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan
bagaimana KKL dapat berperan secara efektif untuk mempertahankan
keberlangsungan stok ikan, sehingga yang ditangkap oleh nelayan hanyalah
limpahan (spill over) dari area konservasi.
Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran analogi kondisi yang terjadi
di area sekitar anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan zona aman
kegiatan sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen.
Kondisi
ini
secara
langsung
menciptakan
suatu
area
perlindungan/konservasi sementara selama anjungan produksi masih beroperasi di
area tersebut.
Download