3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Teh Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) merupakan tanaman perdu berdaun hijau (evergreen shrub) yang dapat tumbuh dengan tinggi 6 – 9 m. Tanaman teh dipertahankan dengan ketinggian hingga 1 m dengan pemangkasan secara berkala pada perkebunan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemetikan daun agar diperoleh tunas-tunas daun teh yang cukup banyak (Ghani, 2002). Klasifikasi tanaman teh adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophytae Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferae Famili : Theaceae Genus : Camellia Spesies : Camellia sinensis (L.) O. Kuntze Menurut Iskandar (1988) pada saat ini ada dua varietas teh yang terkenal yaitu Camellia sinensis var sinensis (jat China) dan Camellia sinensis var assamica (jat Assam). C. sinensis var sinensis memiliki ciri daun kecil, tegak, kaku, keras, hijau gelap, permukaan daun tidak mengkilap, dan panjangnya 0.03 – 0.06 m, sedangkan C. sinensis var assamica daunnya lebih lemas, hijau muda, agak terkulai, permukaan daun mengkilap, dan panjangnya 0.15 – 0.20 m. Teh memiliki bunga yang muncul di ketiak daun pada cabang-cabang dan ujung daun, bunganya tunggal dan ada yang tersusun dari rangkaian terkecil. Bunga teh memiliki kelopak yang terdiri dari 5 – 6 daun kelopak. Namun pada perkebunan teh jarang sekali terlihat bunga teh karena tanaman teh sering dipangkas. Buah teh berwarna hijau kecoklatan dengan biji berwarna cokelat. Tanaman teh mengalami pertumbuhan tunas yang silih berganti. Tunas tumbuh pada ketiak daun atau pada bekas ketiak daun. Tunas yang tumbuh kemudiaan diikuti dengan pembentukan daun (Adisewojo, 1982). 4 Pemetikan Tanaman Teh Pemetikan teh adalah pekerjaan memungut sebagian dari tunas-tunas teh beserta daunnya yang masih muda, untuk kemudian diolah menjadi produk teh kering yang merupakan komoditas perdagangan. Pemetikan harus dilaksanakan menurut syarat-syarat pengolahan dan ketentuan-ketentuan sistem petikan yang berlaku. Pemetikan juga berfungsi sebagai usaha untuk membentuk kondisi tanaman agar tanaman mampu berproduksi tinggi secara berkesinambungan Pemetikan teh dibagi menjadi tiga jenis yaitu pemetikan jendangan, pemetikan produksi, dan pemetikan gendesan (Setyamidjaja, 2000). Pemetikan jendangan merupakan pemetikan yang dilakukan pada tahap awal setelah tanaman dipangkas dan bertujuan untuk membentuk bidang petik yang lebar dan rata dengan ketebalan lapisan daun pemeliharaan yang cukup, agar tanaman mempunyai potensi produksi yang tinggi. Pemetikan jendangan dilaksanakan 2 – 3 bulan setelah pemangkasan produksi dan apabila 60 % area yang dipangkas memenuhi syarat untuk dijendang. Pemetikan jendangan dianggap cukup bila tunas sekunder telah dipetik dan bidang petik telah melebar dengan ketebalan daun pemeliharaan yang cukup. Pemetikan produksi atau disebut juga pemetikan biasa adalah pemetikan yang dilaksanakan setelah pemetikan jendangan selesai dilakukan dan terus berlangsung secara rutin hingga tiba giliran pemangkasan produksi berikutnya (Setyamidjaja, 2000). Nazaruddin dan Paimin (1993) menyatakan bahwa hasil yang dapat dipetik bukan hanya sembarang petik, tetapi perlu menggunakan rumusan petikan yang sudah ditentukan. Hal ini dilakukan agar produksi teh tetap bermutu tinggi dan tanaman tidak rusak karenanya. Sistem pemetikan tanaman teh dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu petikan halus, petikan medium, dan petikan kasar. Pemetikan gendesan adalah pemetikan yang dilakukan pada kebun yang akan dipangkas produksi dimana semua pucuk yang memenuhi syarat untuk diolah akan dipetik. Tujuan pemetikan gendesan adalah memanfaatkan tunastunas dan daun-daun muda yang ada pada perdu, karena apabila tidak dipetik akan terbuang dengan dilaksanakannya pemangkasan. Pelaksanaan pemetikan gendesan dimulai satu minggu sebelum pemangkasan dilaksanakan (Setyamidjaja, 2000). 5 Gilir dan Hanca Petikan Pusat Penelitian Teh dan Kina (1997) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gilir petik adalah jangka waktu antara satu pemetikan dengan pemetikan berikutnya yang pada area yang sama, dihitung dengan hari. Panjang pendeknya gilir petik bergantung pada kecepatan pertumbuhan pucuk. Kecepatan pertumbuhan pucuk sangat dipengaruhi oleh umur pangkas tanaman, ketinggian tempat, iklim, dan kesehatan tanaman. Semakin tua umur pangkas maka pertumbuhan akan semakin lambat, sehingga mengakibatkan semakin panjang gilir petik. Menurut Iskandar (1988) letak perkebunan yang semakin tinggi dari permukaan laut, maka tanaman akan semakin lambat pertumbuhannya. Tanaman teh akan mengalami pertumbuhan yang semakin melambat pada saat musim kemarau jika dibandingkan dengan musim hujan. Tanaman teh yang semakin sehat, maka semakin cepat pertumbuhan pucuk, sehingga semakin pendek gilir petik bila dibandingkan dengan tanaman yang kurang sehat. Gilir petik di daerah dataran tinggi lebih panjang daripada di dataran rendah, demikian pula semakin halus sistem petikan maka semakin pendek interval petik, apalagi bila jumlah daun yang ditinggalkan lebih sedikit. Hanca petikan adalah luas area yang harus selesai dipetik pada satu hari. Hanca petik diatur berdasarkan gilir petik, kapasitas rata-rata pemetik, dan blok kebun. Semakin pendek gilir petik, maka luas hanca petikan akan semakin besar, demikian pula sebaliknya. Pengaturan hanca petik harus mempertimbangkan keseragaman pucuk yang dihasilkan setiap hari dengan komposisi pucuk dari umur pangkas yang seimbang, baik umur pangkas tahun pertama, kedua, ketiga, maupun keempat. Kestabilan komposisi pucuk sangat diharapkan dalam pengolahan agar mutu teh menjadi stabil setiap harinya (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 1997). Gustiya (2005) menyatakan bahwa pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di Pekalongan rata-rata hanca petik sebesar 2.26 patok/hari orang kerja (HOK) dengan gilir petik yang ditetapkan yaitu 7 hari. Menurut Martlin (2005) pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal, besarnya hanca petikan masingmasing jenis petikan berbeda-beda. Rata-rata hanca petikan jendangan sebesar 6 2.80 patok/HOK, rata-rata hanca petikan produksi sebesar 1.51 patok/HOK, dan rata-rata hanca petikan gendesan sebesar 1.78 patok/HOK dengan gilir petik yang dilaksanakan berkisar antara 10 – 14 hari. Menurut Anggorowati (2008) pada Perkebunan Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar rata-rata hanca petikan untuk petikan jendangan dan petikan produksi berbeda. Rata-rata hanca petikan jendangan sebesar 1.50 patok/HOK, sedangkan rata-rata hanca petikan produksi sebesar 0.75 patok/HOK. Perbedaan ini disebabkan oleh pucuk yang dipanen jumlahnya lebih sedikit pada blok yang dilakukan pemetikan jendangan dibandingkan blok yang dilakukan pemetikan produksi, sedangkan gilir petik yang diterapkan sudah sesuai dengan standar yaitu 10 – 12 hari. Kapasitas dan Kebutuhan Tenaga Pemetik Menurut Nazaruddin dan Paimin (1993) kapasitas pemetik adalah jumlah pucuk yang dipetik seorang pemetik dalam satu hari kerja. Kapasitas pemetik antar pemetik bervariasi bergantung pada cara pemetikannya. Setiap pemetik kapasitas petiknya juga dapat berubah-ubah setiap harinya karena dipengaruhi oleh populasi tanaman, cuaca, dan banyaknya pucuk yang dapat dipetik. Gustiya (2005) menyatakan bahwa pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di Pekalongan rata-rata kapasitas pemetik mencapai 16.62 kg/hari. Menurut Martlin (2005) pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal rata-rata kapasitas pemetik sebesar 26.87 kg/hari, sedangkan menurut Anggorowati (2008) pada Perkebunan Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar rata-rata kapasitas pemetik sebesar 22 kg/hari. Pusat Penelitian Teh dan Kina (1997) mengemukakan bahwa agar diperoleh hasil petikan yang maksimal maka salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah pengaturan tenaga pemetik. Selanjutnya (Setyamidjaja, 2000) menambahkan bahwa tenaga pemetik memegang peranan penting dalam mencapai hasil petikan secara optimal. Jumlah tenaga pemetik yang tersedia serta keterampilan dari tenaga pemetik dalam melaksanakan pemetikan perlu diperhitungkan dalam melaksanakan pemetikan. Kebutuhan tenaga pemetik dapat dihitung dengan mengetahui terlebih dahulu rata-rata produksi pucuk/ha/tahun, 7 persentase absensi pemetik dalam satu tahun (A), rata-rata kapasitas petik setiap hari kerja (HK), serta jumlah hari kerja efektif (HKE) dalam satu tahun. Gustiya (2005) menyatakan bahwa rasio tenaga kerja pemetik pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di Pekalongan sudah ditetapkan yaitu 1.00, sehingga kebutuhan tenaga pemetik yang dibutuhkan untuk luas area produktif sebesar 174.9 ha adalah 175 orang/hari. Menurut Martlin (2005) rasio tenaga kerja pemetik pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal sebesar 1.25. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga pemetik di Perkebunan Rumpun Sari Medini dengan luas area produktif sebesar 284.71 ha adalah 356 orang/hari. Jumlah tenaga pemetik di Perkebunan Rumpun Sari Medini adalah 318 orang/hari untuk luasan tersebut, dengan demikian berarti kebutuhan tenaga pemetik yang diperlukan masih kurang mencukupi. Menurut Putri (2008) rasio tenaga kerja pemetik pada Perkebunan Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar sebesar 1.34. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga pemetik teh di Perkebunan Rumpun Sari Kemuning dengan luas area produktif sebesar 391.97 ha adalah 525 orang/hari. Jumlah tenaga pemetik di Perkebunan Rumpun Sari Kemuning adalah 520 orang/hari dan telah sesuai dengan kebutuhan tenaga pemetik. Produksi dan Mutu Teh Nazaruddin dan Paimin (1993) mengemukakan bahwa kerapatan tanaman teh dapat berpengaruh terhadap produksi pada saat tajuk-tajuk perdu belum saling menutupi. Hal ini juga berarti bahwa area tanaman dengan jarak tanam yang lebih rapat pada awal produksi akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan area tanaman yang jarang, akan tetapi setelah tajuknya saling menutup maka produksinya akan sama. Usaha memperoleh hasil pucuk yang sebanyak-banyaknya dengan kualitas pucuk yang dikehendaki perlu memperhatikan banyak faktor, salah satunya pemetikan. Segala tindakan teknis terhadap tanaman hanya akan memberikan hasil yang maksimal apabila pemetikan dilaksanakan dengan baik dan tepat. Menurut Adisewojo (1982) produksi yang tinggi akan dicapai dengan pemetikan kasar dan gilir petik yang pendek (6 – 7 hari), sedangkan produksi 8 yang rendah terjadi pada pemetikan halus dengan gilir petik panjang (14 – 15 hari). Semakin kasar pemetikan maka semakin tinggi pula produksinya, sedangkan semakin halus pemetikan maka produksinya akan semakin rendah. Petikan kasar akan memberikan produksi lebih tinggi dengan mutu pucuk rendah, sedangkan petikan halus memberikan produksi lebih rendah dengan mutu pucuk yang tinggi. Oleh karena itu, petikan halus, medium, maupun kasar akan memberikan pengaruh terhadap mutu pucuk. Analisis Mutu Pucuk Teh Menurut Nazaruddin dan Paimin (1993) analisis mutu pucuk teh merupakan alat kontrol yang efektif bagi kesehatan tanaman, pekerjaan pemetikan dan penanganan pucuk teh jadi, sejak di kebun, sampai datang ke pabrik. Selain itu juga dapat menjadi dasar kontrol mutu hasil olahan. Pemeriksaan pucuk yang dihasilkan pada suatu waktu tertentu perlu dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pemetikan, baik cara maupun hasilnya melalui analisis hasil petikan yang dilakukan setiap hari. Analisis hasil petikan ada dua jenis, yaitu analisis petik dan analisis pucuk. Analisis petik adalah pemisahan pucuk yang didasarkan pada jenis pucuk atau rumus petik yang dihasilkan dari pemetikan yang telah dilakukan dan dinyatakan dalam persen. Analisis petik ditujukan untuk mengetahui sistem pemetikan yang dilakukan serta mengetahui kondisi pucuk di lapang. Analisis pucuk adalah pemisahan pucuk yang didasarkan pada pucuk memenuhi syarat olah (MS) dan pucuk yang tidak memenuhi syarat olah (TMS) yang dinyatakan dalam persen untuk mengetahui mutu pucuk yang dihasilkan apakah sudah sesuai dengan syarat-syarat yang dibutukan untuk tujuan pengolahan (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 1997). Menurut Gustiya (2005) pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di Pekalongan tidak dilakukan analisis petik karena kurangnya tenaga ahli dan hanya dilakukan analisis pucuk. Berdasarkan analisis pucuk yang dilakukan menghasilkan 56.47 % pucuk memenuhi syarat olah (MS). Martlin (2005) menyatakan bahwa pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal setelah dilakukan analisis petik dapat diketahui bahwa petikan yang dilakukan rata-rata menghasilkan 67.8 % petikan kasar sedangkan untuk analisis pucuk dihasilkan 9 rata-rata 34 % pucuk memenuhi syarat olah (MS). Menurut Anggorowati (2008) pada Perkebunan Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar setelah dilakukan analisis petik dapat diketahui bahwa petikan yang dilakukan rata-rata menghasilkan 52 % petikan medium dan untuk analisis pucuk dihasilkan rata-rata 66.66 % pucuk memenuhi syarat olah (MS).