Monthly Report on Religious Issues

advertisement
Edisi
November 2011
38
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues
D
i penghujung tahun ini kita berharap kondisi kebebasan beragama
dan berkeyakinan kita segera membaik. Sayangnya, hal ini
serasa jauh panggang dari api mengingat kejadian akhir-akhir ini.
Pemenggalan kepala Patung Maria di Goa Maria Tawangmangu adalah yang
paling menyayat hati. Suasana kondusif yang sudah terbina sejak puluhan
tahun dirusak oleh orang tak bertanggung jawab. Kejahatannya bukan saja
merusak situs ziarah, tetapi juga “melukai rasa keagamaan umat Katolik”
sebagaimana diungkapkan oleh Uskup Agung Semarang Mgr Johanes
Pujisumarta Pr. Kelukaan ini tentunya akan bertambah dalam mengingat Hari
Raya Natal segera datang.
Peristiwa lainnya adalah soal aliran sesat. Di beberapa tempat, seperti di
Lombok, aparat justru berkongsi dengan berbagai aparat membubarkan
aliran yang dinilai sesat. Kongsi ini sungguh aneh mengingat aparat
seharusnya netral memberikan perlindungan kepada semua warga, baik
yang dicap penganut aliran sesat maupun bukan. Mereka mengamankan
pengikut aliran ini, dengan dalil perlindungan, tetapi kenyataannya mereka
kemudian dimintai keterangan sehubungan dengan aktivitas keagamannya.
Di luar segala peristiwa tragis nan miris itu, kita masih memiliki kewajiban
memelihara sikap optimis. Kita berharap putusan kasus perusakan
dan penghasutan oleh FPI Sulsel merupakan pertimbangan yang
memperhitungkan keadilan masyarakat. Selain itu, surat dari Amensty
International soal Ahmadiyah kiranya dapat membawa ‘perubahan’ dalam
arah kebijakan KBB kita. Setidaknya para pengambil kebijakan itu, termasuk
Menag (Menteri Agama) dan Mendagri (Menteri Dalam Negeri), untuk lebih
memiliki padangan yang ramah minoritas. Bukan favoritisme terhadap
golongan mayoritas tertentu, apalagi “disemangati” oleh tekanan massa
tertentu.
2
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011
Patung Maria Dipenggal
Oleh: Nurun Nisa’
S
ekali lagi, kita patut prihatin
dan turut berduka sedalamdalamnya atas yang menimpa
saudara
sebangsa
kita.
Maraknya perusakan dan
penyegelan tempat ibadah akhir-akhir
ini nampaknya belum berhenti. Sasaran
terbarunya adalah Gua Maria Sendang
Pawitra di Dusun Sendang Desa Sepanjan
Kecamatan Tawangmangu Karanganyar
Jawa Tengah pada Rabu malam (14/12).
“Peristiwa perusakan
patung tersebut melukai
rasa keagamaan umat
Katolik. Kita upayakan
supaya pihak keamanan
mengusut peristiwa
tersebut dan menemukan
pelaku perusakan, dan
menindaknya selaras dengan
hukum negara Pancasila,”
terang Uskup Agung
Semarang Mgr Johanes
Pujisumarta Pr
Pelaku yang tak dikenal merusak
sejumlah properti ibadah yang terletak
di dalam gua tempat ziarah itu. Mereka
memenggal patung Bunda Maria.
Potongan kepala ini tidak ditemukan dan
kemungkinan dibawa pelaku. Selain itu,
Salib Millenium setinggi satu setengah
meter dan patung keluarga kudus kecil
hilang. Selain itu, patung malaikat dan
bejana air suci turut dihancurkan. ”Pelakunya memenggal kepala
patung Bunda Maria, melepas dan
merusak Salib dari kayu setinggi 1,5
meter yang ada di altar di dalam
gua, patung keluarga kudus hilang,
memecahkan meja kaca di bawah altar,
serta menghancurkan dua patung
malaikat, dan bejana air suci,” terang
Louhgi Tri Amboro, Ketua Lingkungan
Santa Maria Bunda Allah Paroki
Karanganyar, yang juga Pengurus Gua
Maria Sendang Pawitra sebagaimana
ditulis Suara Pembaruan (16/12).
Peristiwa ini baru diketahui esok
harinya sementara kejadian diperkirakan
pada malam hari sekitar pukul 23.30 WIB.
Seperti ditulis Suara Pembaruan (16/12),
Narto yang menjaga Goa Maria yang
rumahnya tidak jauh dari tempat ziarah
ini menengok Goa Maria. Pria yang
menjadi Ketua RW itu tidak menyatakan
tidak terjadi apapun. Satu setengah
jam kemudian, seorang warga sempat
melihat senter menyala di sekitar goa
namun tidak dihiraukan karena dianggap
sebagai peziarah yang sedang berdoa.
Keesokan hari, sekitar jam sepuluh pagi,
warga sekitar gempar menyaksikan Goa
Maria, yang biasanya dilewati beberapa
menuju ladang mereka, menjadi
berantakan. Gempar karena menyaksikan
patung Maria dan yang lain rusak serta
sebagiannya hilang.
Kejadian
ini
memantik
kegelisahan tersendiri, sebab selama
ini tidak ada masalah antara pengelola
Goa Maria dan keberadaan goa itu
dengan warga sekitar yang sebagiannya
beragama Muslim. Bahkan Narto, sang
penjaga, merupakan seorang Muslim. Di
luar itu, warga senang dengan ramainya
peziarah yang berarti membuat kegiatan
ekonomi, seperti dikemukakan Tria
Amboro, terus bergulir.
Kejadian semacam ini hanya
pernah terjadi pada 1986—itu pun
hanya merusak hidung Patung Maria
saja. Setelahnya, tidak ada masalah
lagi. Kejadian ini betul-betul melukai.
“Peristiwa perusakan patung tersebut
melukai rasa keagamaan umat Katolik.
Kita upayakan supaya pihak keamanan
mengusut peristiwa tersebut dan
menemukan pelaku perusakan, dan
menindaknya selaras dengan hukum
negara Pancasila,” terang Uskup Agung
Semarang Mgr Johanes Pujisumarta Pr
melalui surel (surat elektronik) kepada
MRoRI the WAHID Institute (17/12).
Romo Johanes turut prihatin dengan
naiknya frekuensi tindak kekerasan
tersebut sangat memprihatikan kita
dan menciderai kehidupan beragama—
perusakan di Goa Maria merupakan
kejadian ketiga di Jawa Tengah
setelah perusakan gereja ketika rusuh
Temanggung dan pemboman di GBIS
Kepunton.
Polisi pun segera turun tangan
menyelidiki kejadian di TKP. Kapolda
menunjukkan perhatian terhadap kasus
ini. “Jumat, 16 Desember 2011, sore hari
sekitar jam 16.30, Bapak Kapolda Jateng,
Bapak Didiek Sutomo menelpon saya,
menyampaikan maaf atas peristiwa
perusakan tempat doa di Tawangmangu
tersebut,
dan
berjanji
hendak
menangani peristiwa tersebut,” terang
Romo Pujisumarta. Pimpinan Gereja
setempat, Paroki Karanganyar, Surakarta
sendiri, kata Romo, bekerja sama
dengan penanggungjawab masyarakat
dan keamanan setempat menangani
peristiwa perusakan tersebut.
Di masa yang akan datang,
Romo Pujisumarta berharap agar
perilaku kekerasan tidak menjadi solusi
dalam menghadapi masalah hidup
bersama. “Saya himbau seluruh umat,
agar tidak membalas kejahatan dengan
kejahatan. Secara khusus menjelang
Natal, hendaklah semua saja waspada
terhadap upaya-upaya jahat yang
merusak ketentraman masyarakat,”
tandas Romo. Menurut Romo, sangat baik
diupayakan agar masyarakat Indonesia
memiliki habitus hidup bermasyarakat
yang beradab. Dalam aras ini, tindak
kekerasan, perusakan milik orang lain,
vandalisme tidak digunakan sebagai
cara untuk menyelesaikan masalahmasalah hidup bersama. selain itu,
moral sosial menghargai milik orang lain
perlu ditanamkan terus-menerus dalam
kesadaran hidup bersama.
Siapapun pelakunya, ia perlu
diadili dan diganjar dengan hukuman
setimpal. Dalam hal ini, mengetahui
motif adalah salah satu hal terpenting.
Romo Pujisumarta sendiri menyatakan
hanya pelaku sendiri yang tahu motifnya.
“Itu pun kalau pelaku mau secara jujur
mengungkapkan motifnya,” tandasnya.
[M]
3
The WAHID Institute
Disesatkan MUI Sukabumi, JIS Diusut Polisi
Oleh: Dindin Abdullah Ghazali (INCReS Bandung)
M
UI
Kabupaten
Sukabumi
mengeluarkan fatwa sesat bagi
kelompok yang menamakan
diri Jamaah Islam Suci (JIS). JIS dikabarkan
telah menyebarkan ajarannya selama tiga
tahun dan mempunyai basis utama di
Kampung Ciburial, Kecamatan Gunung
Guruh, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat.
“Setelah mengkaji aliran
yang mengatasnamakan
Islam Suci dalam rapat
MUI, kami memutuskan
kelompok ini masuk ajaran
sesat. Aliran ini mengingkari
rukum Islam maupun Iman,”
ungkap Ketua Komisi Fatwa
MUI Kabupaten Sukabumi,
KH Komarudin
“Setelah
mengkaji
aliran
yang mengatasnamakan Islam Suci
dalam rapat MUI, kami memutuskan
kelompok ini masuk ajaran sesat. Aliran
ini mengingkari rukum Islam maupun
Iman,” ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI
Kabupaten Sukabumi, KH Komarudin
usai memimpin rapat pembahasan JIS
di Sekretariat MUI, Kabupaten Sukabumi,
sebagaimana
ditulis
Vivanews.com
(12/11).
Kajian, yang menurut MUI
didasarkan pada laporan jemaah yang
identitasnya dirahasiakan, menghasilkan
kesimpulan bahwa Islam Suci memiliki
cara ibadah yang berbeda dengan cara
ibadah umat Islam pada umumnya.
Jemaah kelompok pimpinan Cecep
alias Mama bin Danu Wikarta ini hanya
melakukan sholat tiga waktu yang
disebut sebagai sholat empat penjuru.
Kelompok ini sendiri diperkirakan telah
memiliki penganut hingga 80 orang
yang tersebar ke dalam berbagai wilayah
dalam kurun waktu tiga tahun.
Karenanya,
MUI
Sukabumi
memutus Islam Suci sebagai sesat.
Dalam fatwa ini disebutkan agar
pengikut Islam Suci membubarkan
diri dan menghentikan segala bentuk
aktivitasnya. Selain itu, melalui fatwa ini,
MUI meminta agar aparat berwenang
ikut turun tangan menyikapi aliran ini.
“Kami khawatir, warga di sekitar yang
mulai resah dengan kegiatan ini bisa
jadi bersikap brutal. Makanya, kami
minta kepada aparat turun tangan
untuk membubarkan aliran,” tutur KH
Zaenal Falah, anggota Komisi Fatwa MUI
Kabupaten Sukabumi.
Menindaklanjuti fatwa ini, seperti
dilaporkan Radar Sukabumi.com, jajaran
Polres Sukabumi Kota melakukan
penggeledahan terhadap markas aliran
Islam Suci pada Jumat (18/11). Dipimpin
langsung oleh Kasatreskrim Polres
Sukabumi Kota, AKP Engkus Kuswaha,
aparat mendatangi Kampung Ciburial,
RT 63/12 Kecamatan Gunung Guruh,
Kabupaten Sukabumi.
Tujuan pertama adalah rumah
adik Cecep, Dandan Marta alias Abi
(41) yang diduga sebagai tempat ritual
aliran Islam suci. Mereka menggeledah
rumah berukuran 18 x 8 meter namun
hanya menemukan tempat pengajian
berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi
dan sebuah kamar berukuran 3 x 3
meter persegi. Di ruangan yang disebut
terakhir ini, semua dinding berlapis kain
hijau meriah sementara di kamar lainnya
terdapat sebuah toilet, satu ranjang, satu
unit televisi sebesar 14 inchi, miniatur
bendera mini berwarna-warni, dan CD
wayang golek. “Kamar ini hanya untuk
tirakat saya, dan kamar ini juga suka
ditempati untuk tidur. Mengapa warna
hijau, karena saya suka terhadap warna
hijau. Saya tutup dinding pakai kain hijau
ini juga paling baru dua minggu,” terang
Dandan seperti ditulis Radarsukabumi.
com (18/11).
Dandan membantah bahwa diri
dan keluarganya telah menyebarkan
ajaran sesat. Demi meyakinkan petugas,
Dandan melafalkan dua kalimat syahadat
dan menyebutkan Rukun Iman dan
Rukun Islam secara rinci. Dandan bahkan
menyebutkan salat lima waktu beserta
jumlah rakaatnya. “Saya akui kalau kami
tidak suka salat ke masjid. Tapi apa salah
kalau beribadah di rumah. Ini benarbenar fitnah terhadap keluarga kami.
Islam saya sama dengan umat muslim
lainnya,” bantahnya.
Dandan juga menerangkan
keberadaan Cecep, pimpinan Islam
Suci, yang sudah dua bulan terakhir ini
berangkat ke Jakarta tapi tak diketahui
alamatnya. “Saya sudah beberapa kali
mengontak nomor HP-nya. Enggak
tahu diganti, enggak tahu dijual HP-nya,
soalnya nomor kakak saya tidak aktif-aktif.
Padahal saya mau memberitahukan ada
kabar kami disebutkan aliran sesat. Saya
juga baru tahunya beberapa terakhir ini
dari polisi yang ke sini dan pemberitaan,”
tuturnya.
Selesai menggeledah Dandan,
polisi menuju rumah Cecep yang
berjarak 300 meter dari rumah pertama.
Polisi langsung meminta keterangan
anak sulung Cecep, Dian Setiawan, soal
bapaknya. Si anak menyatakan tak tahu.
“Sepengetahuan saya, bapak saya tidak
mengajarkan aliran sesat. Bapak saya juga
tidak tahu di mana sekarang,”ungkapnya.
Polisi sendiri masih belum bisa
menemukan bukti tentang kesesatan
JIS kecuali jumlah pengikutnya yang
berjumlah 20 orang termasuk anak kecil.
“Kami masih mendalami adanya indikasi
aliran sesat di wilayah Gunung Guruh.
Anggota sudah meneliti ke lokasi, namun
dari hasil penyelidikan sementara belum
ada indikasi tersebut. Saat ini kami terus
memantau dan mengumpulkan alat-alat
bukti,” ungkap Kapolres Sukabumi Kota,
AKBP Witnu Urip Laksana seperti ditulis
Vivanews.com (22/11). Adapun untuk
menjaga keamanan dan ketertiban
warga, Kapolresta sendiri memerintahkan
agar Kapolsek turun langsung bersama
Babinkamtibmas. Instruksinya, intensitas
penjagaan ditambah dan setiap anggota
Babinkamtibmas diperintahkan agar
mendatangi warga minimal dua rumah
dalam satu hari. Dengan pendekatan
dari pintu ke pintu ini diharapkan dapat
mengantisipasi berbagai kemungkinan
yang akan terjadi.
Seminggu setelah penggeledahan
ini, belasan warga yang diduga termasuk
JIS turut melaksanakan salat berjamaah
di Masjid Jami Nurul Huda yang tidak
jauh dari kantor Desa Gunung Guruh.
Kehadiran mereka tidak mengundang
perhatian warga sekitar dan tidak
mendapat gangguan apapun.
4
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011
Pada sore harinya, Dandan
Marta dan Dian Setiawan menyatakan
bertaubat setelah berkirim surat kepada
MUI setempat beberapa hari sebelumnya.
Pihak MUI di tingkat kabupaten maupun
kecamatan
berencana
melakukan
kunjungan setiap pekan ke rumah dua
jamaah ini. Semoga taubat Dandan dan
Dian semata-mata keinginan sendiri
belaka.
[M]
Panglima Laskar FPI Mulai Diproses
Oleh: Mahmud Subarka, H (LAPAR Makassar)
P
roses peradilan atas perusakan
terhadap warung cotto dan markas
FPI Sulsel serta pengeroyokan
anggota LBH Farid Wajdi akhirnya resmi
dimulai pada Selasa (08/11). Sidang
perdana kasus ini digelar di Ruang Utama
Cakra PN Makassar dipimpin oleh Ketua
PN Makassar, Hakim Andi Makkasau
sebagai. Dua hakim anggota lainnya
adalah Isjunaedi dan Makmur.
“Saat itu saya tangkis
dengan tangan saya, Pak,
tapi lalu saya dilempari
memakai kotak amal yang
ada di warung tersebut,”
terang Rusdi Kaharuddin,
korban sweeping FPI Sulsel
Sidang ini mengagendakan
pembacaan dakwaan oleh Jaksa
Muhammad Adnan. Dalam dakwaan
tersebut, ketiganya diduga telah
melakukan
penganiayaan
dan
pengeroyokan
terhadap
pemilik
Warung Coto dan Rumah Makan di AP
Pettarani, Makassar, pada saat bulan
Ramadan, Agustus yang lalu. “Dengan
demikian, ketiga terdakwa tersebut
dijerat dengan pasal 170 dan pasal 351
KUHP dengan ancaman hukuman lima
tahun penjara,” jelas Jaksa Muhammad
Adnan di hadapan majelis hakim seperti
ditulis VIVAnews (08/11). Ketiga terdakwa
yang dimaksud adalah Panglima FPI
Abdurrahman Assagaf dan dua orang
anggota FPI lainnya yakni Riswandi dan
Arifuddin.
Dalam sidang yang dihadiri
50 anggota FPI itu, Faisal Silenang
sebagai pengacara terdakwa meminta
kepada majelis hakim untuk melakukan
penangguhan terhadap ketiganya. Ia
menjamin mereka bersikap pro aktif
terhadap proses persidangan dan
tidak akan melarikan diri. Faisal juga
menyatakan tidak akan mengajukan
eksepsi terhadap dakwaan JPU serta
memohon sidang dilanjutkan.
Sidang perdana yang berlangsung
selama 15 menit ini dilanjutkan dengan
agenda menghadirkan saksi-saksi pada
Selasa (15/11). Akan tetapi saksi Rahman,
Sapri, Sani, dan Ikbal tidak hadir sehingga
persidangan ditunda. Dalam kesempatan
ini Hakim Ketua Andi Makassau
memerintahkan Jaksa Penuntut Umu A
Chandra untuk menjemput saksi pada
persidangan berikutnya.
Agenda menghadirkan saksi-saksi
akhirnya terlaksana pada sidang ketiga
yang digelar pada Selasa (23/11). Ahmad,
saksi pertama, selaku pemilik warung
cotto di Jl. Pettarani menyatakan bahwa
ia tidak pernah mendapatkan surat
pemberitahuan mengenai penutupan
warung makan pada siang hari dari
dinas apapun. Surat pemberitahuan
inilah yang menjadi dasar pembenaran
FPI ketika melakukan penyerangan
terhadap warung. Karenanya, ia tetap
membuka warung dengan pintu yang
setengah terbuka. Namun kejadian
penyerangan oleh FPI sangat cepat
sehingga ia menyatakan tidak tahumenahu jika ketiga terdakwa adalah
pelakunya. Namun Ahmad mengatakan
sudah memaafkan mereka. ‘’Saya sudah
memaafkan mereka, Pak,’’ ujar Ahmad
di depan majelis hakim seperti ditulis
Tribuntimur.com (23/11).
Sementara itu, Rusdi Kaharuddin
yang biasa berjualan minuman di
warung menyatakan Riswandi telah
melakukan perusakan dan sempat
memukul dirinya. “Saat itu saya tangkis
dengan tangan saya, Pak, tapi lalu saya
dilempari memakai kotak amal yang ada
di warung tersebut,” tambahnya.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar
sudah mempersiapkan pengamanan
yang ketat sejak akan dimulainya sidang
pidana kasus ini. Tujuannya adalah untuk
mengantisipasi terjadinya pergesekan
atau benturan di pengadilan yang
melibatkan anggota FPI dengan kubu
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Sulsel.
“Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi
hal-hal yang dapat mengganggu proses
jalannya persidangan di pengadilan. Maka
kejaksaan bakal berkoordinasi dengan
pihak kepolisian untuk memperketat
pengamanan di dalam maupun di luar
persidangan”, kata Kepala Seksi Pidana
Umum (Kasi Pidum) Kejari Makassar
Andi Muldani Fajrin, seperti yang dilansir
Tribuntimur.com (19/10).
Garansi
keamanan
juga
dikemukakan oleh Ketua PN Makassar
Andi Makassau dan pengacara terdakwa.
“Jika ada yang bertindak provokatif, kami
tak segan-segan mengambil tindakan
tegas,” tegasnya. Sementara itu Faisal
Silenang mengaku sudah berkoordinasi
jauh-jauh hari dengan terdakwa dan
simpatisan FPI untuk tidak melakukan
tindakan di luar ketentuan hukum.
Jaminan keamanan ini amat penting
mengingat pemimpin FPI Sulsel, Habib
Muhsin, berencana mengerahkan 300
orang pada sidang perdana.
Kepastian
sidang
perdana
sendiri diperoleh ketika telah terjadi
pelimpahan berkas tahap pertama pada
Senin (08/11). Adapun tahap kedua
diterima dari Polrestabes Makassar
sepuluh hari setelahnya. Penerimaan
berkas tahap kedua ini sekaligus
menandai akan dimulainya sidang bagi
Abdurrahman. Ia sendiri masih akan
ditahan guna mengikuti persidangan
meskipun masa penahanannya segera
berakhir. “Penahanan terhadap para
tersangka tetap dilakukan. Karena tahap
dua, kejaksaan melakukan penahanan
selama 20 hari pertama. Hingga saat
ini, kami belum menerima pengajuan
permohonan penangguhan penahanan
dari para tersangka maupun penasihat
hukumnya,” papar Muldani seperti ditulis
Komhukum.com (30/11). [M]
5
The WAHID Institute
Vonis Sesat Kelompok Adat Bedatuan
Oleh: Yusuf Tantowi (Lensa NTB)
M
edia
cetak
dan
online
memberitakan
munculnya
aliran sesat di Kabupaten
Lombok Utara (KLU). Tepatnya di Dusun
Semokan Desa Sukadana Kecamatan
Bayan. Oleh pengurus desa dan sebagian
masyarakat kelompok ini dianggap
menyebarkan aliran sesat. Kelompok itu
bernama Bedatuan.
“Kita sudah tunjuk
beberapa tokoh adat untuk
menyampaikan hasil
kesepakatan gundem, yang
bila tidak diindahkan, akan
diambil tindakan tegas
dengan cara mengusir
mereka keluar dari Desa
Sukadana,” jelas beberapa
tokoh adat yang hadir dalam
gundem
Bagi
sebagian
masyarakat,
kelompok
ini
pernah
mengaku
mendapatkan perintah dari sahabat
Nabi Muhammad, Sayyidina Ali. Ia juga
mengaku memiliki garis keturunan
dengan presiden RI pertama, Ir.Sukarno.
melakukan
pengobatan
secara
tradisional. Itulah yang dianggap
aneh oleh aparat desa dan sebagian
masyarakat setempat.
Kepala Desa Sukadana, Sojati
mengatakan masalah Bedatuan yang
disebarkan oleh Inak Ramingen dan
pengikutnya sudah terjadi sejak empat
tahun silam. Oleh karena itu ia minta agar
para tetua adat memberikan sanksi adat
yang tegas bagi pengikut kelompok ini.
Hal yang sama dikatakan oleh
Ketua BPD Desa Sukadana R. Nyakradi,
bahwa
penyelesaian
persoalan
bedatuan tidak bisa diselesaikan melalui
pendekatan hukum adat, agama maupun
oleh pemerintah, tapi harus diselesaikan
secara musyawarah bersama.
Menyikapi kelompok Bedatuan,
masyarakat bersama tokoh adat, tokoh
agama dan unsur pemerintah desa
mengadakan gundem (pertemuan)
pada tanggal 17 Oktober 2011 yang
lalu. Pertemuan itu berlangsung Telaga
Longkak, Desa Akar-Akar Kecamatan
Bayan Kabupaten Lombok Utara.
“Gundem itu bertujuan untuk
mencari jalan keluar mengatasi isu yang
berkembang seperti menyebarnya
aliran sesat di wilayah adat Semokan.
Selain itu gundem ini juga membahas,
bahwa ke depannya para tetua-tetua
adat tidak saling menyinggung dalam
menjalankan acara ritual agar tidak
terjadi penyimpangan dari awiq-awiq
adat yang sudah disepakati” kata Amak
Nurana, salah seorang tokoh adat kepada
Mataramnews.com.
Gundem bersama itu menyepakati,
seperti yang dibacakan oleh Amak
Lokak Tuak Turun bahwa penganut
aliran sesat, Ramingen Cs akan diusir
dari Desa Sukadana dan menghentikan
segala bentuk kegiatannya. Untuk
menyampaikan hasil gundem kepada
Ramingen Cs ditunjuk beberapa tokoh
adat dan masyarakat.
“Kita sudah tunjuk beberapa
tokoh adat untuk menyampaikan hasil
kesepakatan gundem, yang bila tidak
diindahkan, akan diambil tindakan tegas
dengan cara mengusir mereka keluar
dari desa Sukadana,” tambah beberapa
tokoh adat yang hadir dalam pertemuan
tersebut.
Fathul Rahman, salah seorang
warga Tanjung, KLU yang sudah lama
mengamati kelompok ini mengatakan
bahwa kelompok Bedatuan sebenarnya
bukan aliran sesat karena tidak
mengajarkan ajaran baru yang berbeda
dengan ajaran penganut Islam mayoritas.
Ia malah menganggap Bedatuan
adalah kelompok adat yang dibangun
oleh para datu-datu Tanjung untuk
mempertahankan status sosial di tengah
masyarakat. Mereka ingin menghidupkan
sejarah adat istiadat atau kepercayaan
leluhur. Pengikutnya banyak berasal dari
Dusun Lendang Jeliti, Rowah Bangket,
Desa Sukadan, Kec. Bayan.
“Itulah mengapa mereka sering
mengadakan pesta adat. Untuk itu
mereka meminta ayam, kambing atau
sapi kepada pengikutnya. Cuman
mereka kadang mengadakan pesta pada
waktu-waktu yang tidak dibolehkan oleh
komunitas masyarakat adat utara. Bisa
jadi ini yang menyebabkan tokoh adat
lain tersinggung” katanya.
Dijelaskan Fathul, masyarakat
adat Lombok Utara memiliki kalender
atau jadual tertentu dalam mengadakan
pesta adat. Mereka misalnya pantang
mengadakan pesta di bulan puasa atau
maulid. Bila melanggar, mereka bisa
dikenai sanksi adat–sanksinya mereka
bisa dikeluarkan dari kampung. “Itu yang
dilanggar oleh kelompok Bedatuan,
makanya dulu diadakan gundem untuk
membahas itu. Jadi saya kurang setuju
kalau Bedatuan dianggap sebagai
kelompok sesat” jelasnya.
Kapolres Lombok Barat melalui
Kapolsek Bayan, IPDA Kadek Metria, ketika
dikonfirmasi terkait masalah tersebut
mengaku belum menerima laporan.
“Kami belum menerima laporan, namun
tetap kita akan pantau demi keamanan
masyarakat”, katanya singkat seperti
ditulis MataramNews.com (10/10).
[M]
6
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011
Dianggap Sesat, Gubuk Dibakar
Oleh: Nurun Nisa’
S
ebuah gubuk di Gunung Mekodek,
Kampung Pecatu, Dusun Kampung
Sasak, Desa Seruni Mumbul,
Kecamatan Priggabaya, Lombok Timur
digerebek puluhan warga yang diduga
sebagai praktek aliran sesat. Menurut
keterangan beberapa pihak, mereka
berzikir sambil membunyikan alat musik.
“Mereka berzikir sambil meminum
khamr (minuman keras, Red.), sambil
membunyikan alat musik. Bahkan mereka
memperbolehkan antara perempuan
dan laki-laki bercampur,” terang Abu
Adnan, warga Desa Seruni seperti ditulis
Vivanews.com (05/12).
Kepala
Bakesbangpoldagri Lotim
H. Syarif Waliyulloh
meminta partisipasi
masyarakat untuk
mengawasi aliran semacam
ini. Mereka diminta melapor
aparat jika menjumpai
kumpulan lebih dari orang
yang melakukan aktivitas
selama 24 jam atau lebih.
Mereka ini, kata Syarif,
patut dicurigai
Mereka mendatangi tempat
itu bersama dengan 18 aparat dari
Polsek Pringgabaya pada Sabtu
(04/12). Di gubuk ini didapati ritual
melibatkan sekitar 50 orang. Salah
satunya, diduga sebagai pimpinan
aliran ini, tidak berpakaian sebagaimana
ditulis Lompokpost.com (05/12). Massa
ingin membubarkan ritual ini namun
terjadi ketegangan. Aparat kemudian
membawa tujuh orang untuk diamankan
di Mapolsek Pringgabaya. Termasuk yang
ditahan adalah Khairuddin Ahmad yang
merupakan pimpinan aliran ini.
Rupanya penggerebekan ini
bukan akhir segalanya. Dua puluh
empat jam kemudian warga kembali
mendatangi tempat ini. Gubuk yang
dimaksud ternyata sedang kosong.
Sepasang suami-istri yang ada di gubuk
tak bisa berbuat banyak menghadapi
massa. Mereka pasrah ketika massa
mengambil beberapa barang yang
dianggap sebagai media ritual semisal
suling bambu. Selain itu, ditemukan
beberapa jerigen tuak yang tersisa dalam
lima botol air mineral dan senjata tajam.
Barang-barang ini kemudian dikeluarkan
dan selanjutnya gubuk dibakar.
Tindakan ini dilakukan dengan
dalih menyelamatkan ummat. Mereka
khawatir jika aliran ini tidak segera
diberantas, maka akhlak ummat bisa
rusak. Baru beberapa bulan saja aliran
ini sudah memiliki penganut sekitar 50
orang.
Pihak kepolisian membenarkan
adanya pembakaran ini. “Bukan rumah,
hanya gubuk. Kasusnya ditangani Polsek
Pringgabaya,” terang Kasatreskrim Polres
Lotim AKP Yuyan Priatmaja seperti ditulis
Lombokpost.com (05/12). Sementara itu
Kapolsek Pringgabaya AKP Eko Mulyadi
menyatakan pihaknya bersama dengan
masyarakat mendatangi gubuk di
Gunung Mekodek pada Sabtu malam.
Seusai
pembakaran
gubuk
dilakukan pertemuan di kantor Desa
Seruni. Rapat ini dihadiri oleh perwakilan
Pemkab Lotim yaitu Bakesbangpoldagri,
Kantor Kemenag, Dandim 1615,
Wakapolres, Kapolsek Pringgabaya,
tokoh masyarakat, dan perwakilan
aliran Khairuddin Ahmad. Kepala
Bakesbangpoldagri Lotim H. Syarif
Waliyulloh menyatakan pertemuan ini
dilakukan sebagai silaturahmi dengan
masyarakat Kampung Pecatu, di
samping pihak Kemenag memberikan
pemahaman. “Saat itu pihak Kemenag
Lotim memberikan pemahaman bahwa
ajaran kelompok tersebut sesat,” tandas
Syarif seperti ditulis Lombokpost.com
(06/12). Hasilnya, aliran ini dibubarkan.
Selain itu, pengikut aliran ini
diminta membuat surat pernyataan
untuk
menghentikan
aktivitasnya.
“Kami menilai kegiatan yang dilakukan
kelompok itu bertujuan untuk senangsenang saja dan melanggar nilai budaya
dan agama Islam,” tambahnya. Syarif
bahkan meminta partisipasi masyarakat
untuk mengawasi aliran semacam ini.
Mereka diminta melapor aparat jika
menjumpai kumpulan lebih dari lima
orang yang melakukan aktivitas selama
24 jam atau lebih. Mereka ini, kata Syarif,
patut dicurigai.
Pemeriksaan
sementara
menyatakan bahwa ini aliran ini lebih
dekat kepada perdukunan ketimbang
sebuah aliran keagamaan. Namun
penggunaan miras menyebabkan aliran
ini, menurut kepolisian, menimbulkan
keresahan. “Pengakuan sementara
tokoh yang diduga sesat itu adalah
pengobatan,” terang Wakapolres Lotim
Kompol Darsono SA.
[M]
Kebaktian GBI Pekiringan Ditolak Warga
Oleh: Nurun Nisa’
R
atusan warga RW 01 Pekalipan dan
RW 02 Karangmoncol Pekalipan
Kota Cirebon berkumpul di
samping GBI (Gereja Bethel Indonesia)
Pekiringan sejak Minggu pagi (16/10).
Mereka membawa spanduk berisi
penolakan kebaktian dan pembangunan
gereja ini.
Ardiansyah, koordinator warga,
menyatakan GBI sudah berdiri sepuluh
tahun lalu namun tidak mendapatkan
izin dari warga namun warga memilih
7
The WAHID Institute
“Tolong carikan dulu
tempat pengganti,” kata
Dedi Suwandi dari GBI
Pekiringan
sabar. “Sudah sepuluh tahun ini kami
bersabar dengan adanya kegiatan
itu,” terang Ardiansyah seperti ditulis
Republika Online (16/10). Pihak gereja,
kata Ardiansyah, malah berencana
membangun gereja permanen di
samping ruko. Alasan lainnya adalah
karena terbitnya SK No 452.2/1478-Adm.
Kesra yang berisi penghentian kegiatan
dan pembangunan Gereja Bethel
Indonesia Pekiringan. Surat Keputusan
oleh Walikota Cirebon Subardi ini
dikeluarkan pada 26 September 2011.
Dengan
terbitnya
SK
ini
sesungguhnya
kebaktian
dilarang
semenjak dua bulan lalu. Tetapi pihak
GBI tidak mengindahkannya karena
belum memiliki tempat alternatif untuk
jemaat sebanyak 600 orang. “Tolong
carikan dulu tempat pengganti,” kata
Dedi Suwandi. Pernyataan Dedi ini
menanggapi permintaan pihak Kemenag
(Kementerian Agama) setempat untuk
menghentikan kebaktikan seperti halnya
keputusan FKUB dengan walikota.
Suasana setempat ricuh tetapi
berhasil dikendalikan oleh polisi.
Wakapolres Cirebon Kota, Kompol Didit
Eko datang ke lokasi dan meminta semua
pihak mematuhi peraturan yang berlaku.
Masyarakat diminta tidak berbuat anarkhi
sementara pengurus gereja diminta
menaati semua aturan.
Dalam tempat dan hari yang
sama juga terjadi kesepakatan. Misa bakti
diizinkan pada hari itu sampai pukul
18.00 WIB namun tidak diizinkan untuk
pekan berikutnya. GP Anshor Cirebon
turut mendukung kegiatan jemaat
namun aparat yang tunduk pada massa
membuatnya tak berdaya apa-apa. [M]
Amnesty International Desak Mendagri Cabut Larangan Kegiatan
Ahmadiyah
Oleh: Alamsyah M. Dja’far dan Nurun Nisa’
L
embaga
pemantau
HAM
internasional Amnesty International
mendesak Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi mencabut Peraturan
Gubernur Jawa Barat No. 12/2011
dan semua peraturan daerah serta
nasional lainnya yang membatasi
kegiatan komunitas Ahmadiyah di
“Peraturan Gubernur
Jawa Barat No.12/2011
dan penutupan atau
pengambilalihan
tempat-tempat ibadah
jemaah Ahmadiyah
mengingkari hak-hak
komunitas Ahmadiyah
untuk mendapatkan
kebebasan beragama atau
berkeyakinan,” kata Donna
Guest Wakil Direktur untuk
Asia-Pasifik
Indonesia. “Peraturan Gubernur Jawa
Barat No.12/2011 dan penutupan
atau pengambilalihan tempat-tempat
ibadah jemaah Ahmadiyah mengingkari
hak-hak komunitas Ahmadiyah untuk
mendapatkan kebebasan beragama
atau berkeyakinan,” kata Donna Guest
Wakil Direktur untuk Asia-Pasifik lewat
surat terbukanya, Jum’at (14/10).
Dalam pemantauan lembaga
yang berbasis di London ini, ditemukan
bukti Peraturan Gubernur Jawa Barat
berisi Larangan Kegiatan Jemaah
Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat yang
diteken 3 Maret 2011 itu dipakai sejumlah
kelompok untuk membenarkan tindakan
intimidasi dan kekerasan pengikut
Ahmadiyah di Jawa Barat.
Pada pasal 3 peraturan ini
dinyatakan, antara lain, melarang
para pengikut Jemaah Ahmadiyah
“melakukan aktifitas... [yang] berkaitan
dengan kegiatan penyebaran penafsiran
dan aktifitas yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama Islam”.
Aktivitas-aktivitas yang disebut termasuk
penyebaran
ajaran
Ahmadiyah,
pemasangan papan nama Jemaah
Ahmadiyah Indonesia di tempat umum
serta di rumah peribadatan dan lembaga
pendidikan mereka serta penggunaan
atribut Jemaah Ahmadiyah Indonesia
dalam bentuk apa pun.
Amensty menilai larangan ini
jelas bertentangan dengan sejumlah
aturan. Salah satunya Pasal 2(1) Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik (ICCPR). Isinya hak asasi manusia
harus dilindungi “tanpa pembedaan apa
pun, seperti misalnya ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik
ataupun lainnya, asal-usul kebangsaan
atau sosial, kepemilikan, kelahiran dan
status lainnya”.
Selain itu, dalam surat yang
ditembuskan ke Kepala Kepolisian
Republik Indonesia Timur Pradopo,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Patrialis
Akbar,
Menteri
Agama
Suryadharma Ali, Gubernur Provinsi
Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Ketua
Komnas HAM Ifdhal Kasim, Amnesty juga
menyinggung kronologi kasus intimidasi
dan kekerasan terhadap Ahmadiyah di
Jawa Barat. Pertama, serangan terhadap
properti milik Ahmadiyah dan intimidasi.
Pukul 11 malam tanggal 29 Maret 2011,
di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu,
Kabupaten Tasikmalaya, kira-kira 100
orang dilaporkan menyerang sebuah
rumah milik anggota Ahmadiyah. Para
penyerang menghancurkan jendela
rumah itu dengan pot tanaman, batu,
dan batu bata sambil meneriakkan katakata kotor dan slogan-slogan keagamaan.
Beberapa hari setelah serangan terjadi,
dua spanduk terpampang di depan
rumah utama dan di ujung jalan menuju
ke arah rumah ini disertai tanda tangan
koalisi kelompok termasuk FPI dan
(Gerakan Reformasi Islam). Bunyinya,
antara lain, “Terima Kasih kepada
Bapak Gubernor Jawa Barat yang telah
mengeluarkan Pergub 12/2011 tentang
8
pelarangan
kegiatan
Ahmadiyah
dan penyebaran ajaran Ahmadiyah”
Dua spanduk ditandatangani koalisi
kelompok termasuk
Kedua, sepuluh hari setelah
Gubernur Jawa Barat mengeluarkan
Pergub-nya, petugas Babinsa dan
kepolisian Kecamatan Bojongpicung
mendekati para tetua komunitas
Ahmadiyah
di
Desa
Cipeuyem,
Kecamatan Haruwangi dan meminta
mereka untuk mengizinkan pengkhotbah
yang bukan anggota Ahmadiyah untuk
menggunakan tempat ibadah mereka
pada saat sembahyang. Para tetua
Ahmadiyah menolak permintaan ini.
Ketiga, peristiwa pada 1 April
2011 di mana seorang kepala desa
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011
dilaporkan mendekati sebuah keluarga
di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka
dan menyuruh keluarga ini membuat
keputusan
melepaskan
keyakinan
Ahmadiyah
mereka
atau
harus
meninggalkan rumah mereka. Kepala
desa juga menawarkan uang sebesar Rp
300 ribu jika mereka menandatangani
pernyataan bahwa mereka keluar
dari Ahmadiyah namun keluarga itu
memutuskan meninggalkan daerah ini
tak lama sesudahnya. Kini keluarga ini
berusaha mengumpulkan uang untuk
membangun rumah lain di tempat
yang lebih dekat dengan komunitas inti
Ahmadiyah di Desa Sukadana.
Dalam
rekomendasinya,
Amnesty mendesak kepolisian pusat
untuk menginvestigasi secara teliti,
independen dan imparsial mengenai
intimidasi, ancaman, dan kekerasan
terhadap komunitas Ahmadiyah di Jawa
Barat. Selain itu, pihak kepolisian diminta
untuk memastikan hasil temuannya
diumumkan dan diserahkan, bilamana
relevan, kepada Jaksa Penuntut supaya
semua yang diduga terlibat dalam
pelanggaran yang berkaitan dengan
HAM dihadapkan ke proses pengadilan.
Proses pengadilan yang dimaksud adalah
yang memenuhi standar internasional
tentang keadilan serta tanpa penerapan
hukuman mati serta para korban juga
mendapatkan hak reparasi.
[M]
Dianggap Sesat, Markas AKI Ditutup Aparat dan Masyarakat
Oleh: Nurun Nisa’
B
ersama
dengan
masyarakat,
Muspika (Musyawarah Pimpinan
Kecamatan) Klaten Utara menutup
rumah kontrakan Guntur yang diduga
sebagai penganut AKI pada Jumat malam
(14/10). Penutupan ini ditengarai karena
Guntur menyebarkan aliran yang dinilai
menyimpang berkedok pengobatan.
Aliran yang dimaksud juga dianggap
meresahkan warga karena aktivitasaktivitas malamnya yang menimbulkan
kegaduhan. “Aktivitas mereka bahkan
seringkali dilakukan hingga pukul 03.00
WIB dini hari, dengan kegiatan yang
dirasa aneh,” terang Drs Sofan, Camat
Klaten Utara sebagaimana dikutip
Mediaindonesia.com (16/10). Dianggap
aneh karena seringkali terdengar
tangisan histeris dari para anggotanya
saat melakukan ritual. Dari keanehan ini
terbit anggapan bahwa kelompok ini
telah terjerumus dalam aliran sesat.
Aparat kepolisian setempat
menyatakan mengupayakan langkah
preventif untuk berdialog. Tetapi ikhtiar
inisiatif ini gagal terlaksana karena
Muspika dan masyarakat ternyata telah
bersepakat. “Ternyata ada kesepakatan
antara warga dan musyawarah pimpinan
kecamatan (Muspika) untuk menutup
markas aliran AKI. Yang mengontrak
rumah miliki warga Desa Girimulyo
tersebut,” terang Kapolres Klaten AKBP
Kalingga Rendra Raharja seperti ditulis
Harianjoglosemar.com (17/10). Yang
dimaksud markas AKI adalah rumah
Widodo yang dikontrak Guntur di Desa
Girimulyo Kec. Klaten Utara.
“Ternyata ada kesepakatan
antara warga dan
musyawarah pimpinan
kecamatan (Muspika) untuk
menutup markas aliran
AKI,” terang Kapolres
Klaten AKBP Kalingga
Rendra Raharja
Camat Klaten Utara memiliki
dalih sendiri. Menurutnya, penutupan
ini merupakan aspirasi masyarakat
setempat. Guntur dan para pengikutnya
sudah diberikan peringatan namun
tidak dihiraukan. “Sudah lama mereka
kami peringatkan namun tetap nekat,
sehingga ditindak,” ungkap sang camat
seperti ditulis Cyber Media (16/10).
Setelah menerima laporan ini, sang camat
memimpin rombongan mendatangi
lokasi. Selain Camat, terlihat Kapolsek,
Danramil, perangkat desa, Laskar MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia), dan
kelompok masyarakat lainnya. Pak Camat
menyebutnya aksi ini sebagai “mendapat
pengawalan dari jajaran Polres Klaten
dan Muspika Klaten Utara”. Jumadi,
Ketua Forum Komunikasi Aktivis Masjid
(FKAM) Klaten, menyatakan bahwa
warga sejak lama resah seiring semakin
meningkatnya jumlah pengikut AKI.
Sesampai di lokasi, Guntur dan 23
orang di dalamnya sedang melakukan
ritual keagamaan tertentu. Aparat
kemudian“mengamankan”mereka tetapi
akhirnya hanya Guntur yang diamankan.
Tetapi mereka didata terlebih dahulu.
Bersamaan dengan proses ini, disita
sejumlah atribut AKI seperti papan nama,
buku, kitab, gambar logo, dan peralatan
lainnya.
Guntur sendiri menyatakan
bahwa dirinya melakukan praktek
pengobatan. Dalam praktek ini, ia
menyatakan menolong orang kesusahan
dengan memberikan jalan penerang.”Ada
orang gila dan stroke yang saya tangani,”
ungkapnya seperti ditulis Cyber News
(10/17). Para pasien ini selain diberikan
rapalan zikir juga dimintakan iuran
sukarela untuk syukuran menyembelih
kambing. Kambing ini dibagikan
kepada warga sekitar. Meski demikian
ia mengakui pernah belajar AKI saat di
9
The WAHID Institute
Jakarta. Warga Kampung Kanjengan
Kec. Klaten Tengah ini membantah
dirinya sebagai Ketua AKI sebab AKI tidak
memiliki struktur organisasi tetapi hanya
sesepuh jamaah.
Hingga hari Senin (17/10) telah
diperiksa tujuh orang. Selain itu dua
saksi pelapor juga dimintai keterangan,
yakni anggota Laskar MMI Abu Faaaza
dan Jumadi. Pelapor lainnya adalah
Ketua Lajnah Perwakilan Daerah
Majelis Mujahidin Indonesia (LPD-MMI)
Kabupaten Klaten, Bony Azwar, juga
turut diperiksa. Jumadi tinggal di dekat
polisi dan ikut penggrebekan. Mereka
melaporkan Guntur telah melakukan
penistaan agama. Polisi juga masih
menjaga ketat rumah kontrakan ini demi
mencegah aksi anarkis dari kelompok
masyarakat tertentu.
Sampai berita ini diturunkan,
polisi belum dapat memastikan ajaran
Guntur sama dengan AKI yang telah
dilarang di Jawa Barat setahun lalu. Di
Jawa Tengah sendiri, AKI telah diawasi
sejak 2005-2007. Bersama dengan Al-Alif
(Inkar Sunnah), al-Qiyadah al-Islamiyah,
dan Islam Sejati, AKI digolongkan sebagai
aliran sesat karena tidak mewajibkan
salat dan mencampurkan minyak wangi
ketika berwudhu. AKI, seperti ditulis Suara
Merdeka (23/11/07), juga berkembang di
Purworejo. [M]
Petilasan Hindu Dibakar Massa
Oleh: Dindin Abdullah Ghazali (INCReS Bandung)
S
ekitar 600 massa menghancurkan
dan membakar sebuah petilasan
di kaki Gunung Wayang Kampung
Ciraksamala RT 30/04 Desa Pulosari
Kecamatan Kalapanunggal Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat hingga rata
dengan tanah pada Senin siang (14/11).
Tidak ada korban jiwa karena bangunan
sedang ditinggal penghuni ke Jakarta.
Namun tujuh bangunan di dalamnya
luluh lantak dengan taksiran kerugian
senilai Rp 1 milyar.
‘’Tentunya saya sangat
menyesalkan atas kejadian
itu, bahkan warga kami
tidak banyak yang terlibat
karena sebagian besar sudah
mengetahui latar belakang
bangunan itu. Kalau pun ada
mungkin hanya terbawabawa,’’ kata Uci Marshal,
Kepala Desa Pulosari
Massa yang berasal dari gabungan
Forum Komunikasi Jamaah Muslim
(FKJM) Kalapanunggal, Gerakan Reformis
Islam (Garis), Forum Umat Islam (FUI),
serta masyarakat sekitar menuding
bangunan tersebut sebagai tempat ritual
yang digunakan secara ilegal. Mereka
menganggap ritual yang biasa dilakukan
setiap Sabtu dan Minggu itu meresahkan
warga.
Sebelum terjadi perusakan, massa
telah mengultimatum kepada pengelola
untuk segera membongkar bangunan
pada tanggal 13 November 2011. Lalu
mereka marah sebab pemiliknya urung
membongkar bangunan hingga batas
waktu yang ditentukan. “Batas waktu itu
sudah disampaikan pada pertemuan
tokoh masyarakat, ulama dan pemuda
dengan Muspika sebulan yang lalu.
Juga IMB-nya bukan untuk tempat ritual
melainkan rumah tinggal,” kata ketua
FKJM Deden Saepudin seperti dikutip
Inilah.com (14/11).
Kapolres Sukabumi, AKBP Bagus
Srigustian, sendiri menyatakan bahwa
pihaknya akan berkoordinasi dengan
para tokoh di daerah tersebut untuk
mengantisipasi tindak anarkis susulan.
Melalui para tokoh inilah, diharapkan
warga dapat tenang sehingga tidak
terjadi lagi tindakan anarkis. Sementara
itu, Komandan Kodim 0607 Sukabumi
Letkol (Inf ) Endro Satoto melakukan
koordinasi dengan aparat keamanan
lainnya untuk memediasi kasus
perusakan ini. Tapi sang pendiri sekaligus
pembina petilasan, Anak Agung Gde
Asmara, nampaknya akan menempuh
jalur hukum dengan melaporkan kasus
ini ke Polres Sukabumi. ‘’Kami hanya ingin
keadilan dan kebenaran ini ditegakkan,
karena negara kita adalah negara hukum,’’
katanya seperti ditulis Inilah.com (23/11).
Petilasan tersebut diberi nama
Patilasan Yoganing Dipantara di bawah
naungan Yayasan Parama Yuga. Petilasan
ini, menurut Anak Agung dalam
keterangan persnya, menyatakan bahwa
petilasan ini bukan termasuk tempat
peribadatan sesuai yang diatur Peraturan
Bersama (Perber) Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri tentang perizinan
pendirian tempat ibadah. ‘’Bangunan
tersebut merupakan tempat tinggal
pribadi saya yang sudah ada sejak 1996.
Konsep bangunan terinspirasi tempat
di Desa Urug Bogor yang dilengkapi
dengan tempat ibadat keluarga,’’ jelasnya.
Konsep yang dimaksud adalah model
rumah petilasan milik Sunda Wiwitan.
Penjelasan juga datang dari pihak
PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)
Jawa Barat. Sekretaris Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) Jawa Barat, DR I
Made Widiada Gunakarsa SH MH kepada
INCReS pada Kamis (25/11), menyatakan
bahwa di dalam petilasan memang
terlihat ada bangunan kecil menyerupai
candi yang merupakan situs peninggalan
umat Hindu. Situs serupa cukup banyak
di Jawa Barat seperti halnya Candi
Cangkuang di Kabupaten Garut. Namun,
candi belum tentu merupakan tempat
ibadah. Sebab alasan candi dibangun
antara lain untuk menghormati raja yang
meninggal di tempat itu. Di candi-candi
itu umat Hindu biasa berdoa. Widiada
menyayangkan perusakan itu terjadi.
Anak Agung sendiri menyinggung
soal nilai kebudayaan, bukan materil
bangunan, dan program di masa depan
sebagai salah satu pertimbangan untuk
mengajukan tuntutan hukum.
Adapun IMB sudah diurus ketika
merenovasi sebagaimana diatur oleh
Undang-Undang yang berlaku. Ia pun
mengantongi IMB No. 648.II/03/2008
10
tanggal 9 Mei 2008 dengan luas
bangunan 250 m2 di atas tanah 1.700
m2. Ia juga berkoordinasi dengan kepala
desa dan aparat desa lainnya di Kampung
Ciraksamala. Sebab, selain merenovasi, ia
juga ingin mengembangkan kampung
ini sebagai desa wisata dan sebagai
sentra ekonomi kreatif bagi masyarakat
sekitar. Keterangan ini diamini oleh
Kepala Desa Pulosari, Uci Marshal.
Uci menyatakan bahwa bukan
hanya ada koordinasi tetapi terdapat
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011
delapan kesepakatan antara Yayasan
dan pihak aparat desa. Antara lain,
pembangunan tidak membawa misi
agama, tidak membawa simbolsimbol agama, dan didahului dengan
perizinan lingkungan secara legal formal.
Karenanya, Uci menyesalkan terjadinya
kasus perusakan ini. ‘’Tentunya saya
sangat menyesalkan atas kejadian itu,
bahkan warga kami tidak banyak yang
terlibat karena sebagian besar sudah
mengetahui latar belakang bangunan
itu. Kalau pun ada mungkin hanya
terbawa-bawa,’’ kata Uci.
Aksi perusakan ini bukan yang
pertama kalinya. Perusakan pertama
pada 2002 dan lima tahun kemudian
pihak pengelola membangun kembali
tempat ini sebagai vila. Pada 16 Agustus
2011, menurut pihak FKJM, villa ini
diresmikan dan dijadikan tempat ritual.
Karena dinilai menyalahi izin inilah
beberapa pihak membenarkan tindakan
perusakan terhadapnya. [M]
Dianggap Sesat, Aliran Pimpinan AMN Digrebek
Oleh: Nurun Nisa’’
P
olsek Sibulue Kabupaten Bone
Sulawesi Selatan menggrebek
sebuah aliran yang dianggap sesat
di Desa Pattiro Riolo Bone pada Senin
(31/10). Dianggap sesat karena, menurut
keterangan sebagian masyarakat, karena
dengan membayar Rp 100 ribu hingga
Rp 500 ribu dan mengikuti ritual khusus,
pengikutnya dapat memperoleh gelar
haji kecil dari seseorang yang disebut
khalifah sebagaimana ditulis Metrotvnews.
com (01/11). Dengan demikian, memiliki
gelar haji tidak harus pergi ke tanah
suci. Khalifah yang dimaksud adalah
pimpinan aliran ini bernama AMN (Andi
Muhammad Nur).
Di lokasi, polisi tidak menjumpai
AMN. Mereka hanya menemukan foto
AMN di rumah salah satu pengikutnya
serta salah satu anggota keluarga yang
juga mengikuti aliran AMN. Kepada
mereka, seperti ditulis Okezone.com
(02/11) polisi menghimbau untuk tidak
begitu saja percaya kepada orang yang
baru dikenal yang ingin menyesatkan
dan meraup keuntungan semata. Namun
Ramli, salah seorang pengikutnya,
Kepala Desa Pattiro
Riolo, Muhammad Yusuf
Mappanyompa, menyatakan
telah mengusir AMN dan
menghimbau warga untuk
tidak menjadi pengikutnya
menolak aliran AMN sebagai ajaran
sesat. Ia mengikuti ajaran AMN, yang
dikenalnya sebulan lalu, hanya untuk
mendapat berkah.
Esok harinya polisi kembali
mendatangi
tempat
ini
untuk
memastikan bahwa aliran AMN sudah
dihentikan dari tempat ini. Sementara
itu, Kepala Desa setempat, Muhammad
Yusuf Mappanyompa, membenarkan
jika pengikut aliran ini sudah mencapai
puluhan orang. Pihaknya sendiri bahkan
menyatakan telah mengusir AMN dan
menghimbau warga untuk tidak menjadi
pengikutnya.
Lain lagi sikap polisi. Pihak
kepolisian membenarkan soal iuran
untuk menjadi haji ini tetapi belum
dapat memastikan kesesatan aliran ini.
“Lagi-lagi dibutuhkan kehati-hatian
untuk tidak langsung percaya pada
ajakan orang yang baru di kenal,
apalagi mengajak untuk berhaji hanya
dengan membayar ratusan ribu rupiah
sudah dapat gelar haji tanpa ke tanah
suci. Karena boleh jadi ajakan tersebut
hanyalah menyesatkan,” terang Kapolsek
Sibulue, AKP Makmur.
[M]
Rumah Ibadah Disegel, Jemaat Ahmadiyah Duren Sawit Tetap
Beribadah
Oleh: Nurun Nisa’
R
umah ibadah Ahmadiyah di
bilangan Duren Sawit disegel
oleh Suku Dinas Penataan dan
Pengawasan Bangunan (Sudin P2B) DKI
Jakarta pada Kamis siang (17/11). Dinas
P2B menganggap rumah di Jl Madrasah
1, Duren Sawit, Jakarta Timur.menyalahi
penggunaan izin seperti termaktub
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7
Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung.
”Izinnya rumah tinggal tapi dijadikan
rumah ibadah,” ujar Pelaksana Tugas
Kepala Sudin P2B Jaktim Bambang
Sudjimanto sebagaimana ditulis Jurnas.
com (17/11). Bambang menyatakan
11
The WAHID Institute
sudah melayangkan surat peringatan
tiga kali namun tidak dihiraukan oleh
pihak Ahmadiyah. Surat yang dimaksud
adalah surat peringatan No. 69/1.785, No.
70/1.785, dan No. 71/1.785, yang masingmasing pada 28 Maret, 01 April, dan 04
April 2011. Dalam hal ini, kata Bambang,
warga Ahmadiyah masih menggunakan
tempat tersebut untuk sholat Idul Adha
berjamaah pada pertengahan November
lalu.
“Dari sekian banyak rumah
ibadah yang ada, saya yakin
sebagian besar rumah ibadah
banyak yang tidak memiliki
(surat izin),” kata peneliti
the WAHID Institute, M.
Subhi Azhari
Penyegelan rumah ibadah ini
melibatkan 60 petugas yang berasal dari
Satpol PP, Sudin P2B, Polsek, dan Koramil
setempat. Tak sekedar disegel, rumah
ini akan diawasi selama sehari semalam
penuh. ”Setelah disegel, petugas kami
akan patroli mengawasinya selama 24
jam. Kalau masih berkegiatan bakal ada
tindakan yang lebih tegas lagi,” tegas
Kepala Satpol PP Jakarta Timur Sarpu.
Camat Duren Sawit Wahyu Supriatna
juga hadir dalam penyegelan ini.
Selain
penggunaan
izin,
penyegelan dilatarbelakangi oleh adanya
penolakan warga terhadap rumah ini.
Mereka, menurut Bambang, membuat
surat kepada kecamatan dan kelurahan.
“Warga meminta bangunan segera
dialihfungsikan,” tuturnya.
Ajis, seperti ditulis Jurnas.com,
yang menjaga rumah menyatakan
kegiatan ibadah di rumah yang tak
tampak seperti layaknya masjid ini sudah
dihentikan pasca tragedi Ciukesik pada
Februari 2011 lalu. Seperti diketahui,
pasca tragedi yang menewaskan tiga
jemaat Ahmadiyah ini, terbit larangan
aktivitas Ahmadiyah di mana-mana.
Kegiatan terakhir, kata Ajis, adalah sholat
Idul Adha dan penyembelihan hewan
korban.
Hafiz,
jemaat
Ahmadiyah
yang berada di lokasi, menyayangkan
penyegelan yang dipaksakan ini. Pihak
Ahmadiyah sendiri sudah membalas surat
peringatan yang dikirimkan Sudin tapi
tak mendapat respons. Ia mengakui jika
rumah tinggal ini dijadikan rumah ibadah.
“Sejak 19 tahun lalu sudah digunakan
untuk ibadah. Memang izinnya rumah,
tapi hukum kan tidak berlaku surut,”
sambungnya seperti dikutip Detik.com
(17/11). Memang PBM No. 8 Th. 2006 dan
No. 9 Th. 2006 ini menganut asas berlaku
surut.
Hafiz menolak jika rumah ibadah
yang diberi nama Masjid at-Taqwa ini
diprotes warga. “Saya bisa membuktikan
kalau saya bisa memasyarakat, hubungan
kami dengan warga di sini cukup baik.
Idul Adha kami kurban dan infaq jadi
nggak ada masalah,” terangnya.
Jemaat Ahmadiyah mengaku
pasrah. Mereka, dengan jumlah sekitar
300 orang, menyatakan tidak akan
menghentikan ibadahnya.
“Untuk
jemaah di Jakarta Timur masih kondusif
dan aman-aman saja. Masyarakat
setempat juga tidak ada masalah.
Beribadah di mana saja itu bisa. Jadi
tidak harus di masjid, di rumah bisa, di
lapangan bisa,” terang anggota Komisi
Hukum Ahmadiyah Hafiz Qudratullah
seperti dituli KBR68H (17/11). Mereka
misalnya, kata Hafiz, bisa bergabung
dengan masjid Ahmadiyah terdekat di
Jati Bening.
Muhammad Subhi menyatakan
agar pemerintah tidak diskriminatif
dalam melakukan penyegelan rumah
ibadah kepada minoritas. Penyegelan
seharusnya didasari dengan keputusan
bersama sehingga dapat diberlakukan
kepada semua kelompok. “Dari sekian
banyak rumah ibadah yang ada, saya yakin
sebagian besar rumah ibadah banyak
yang tidak memiliki (surat izin),” kata
peneliti the WAHID Institute ini seperti
ditulis Okezone.com (18/11). Penyegelan
ini seharusnya melalui mekanisme
pengadilan—ia menyebut peristiwa di
Duren Sawit sebagai eksekusi.
Subhi juga mengkritik sikap
pemerintah yang nampak latah dengan
mengikuti selera masyarakat yang
mayoritas. “Bila adem ayem pemerintah
tidak bertindak apa-apa,” tambahnya.
Jemaat
Ahmadiyah
sendiri
belum memastikan untuk menempuh
jalur hukum atas kasus penyegelan ini.
Mereka akan terlebih dahulu bertemu
dengan kuasa hukum dari LBH Jakarta
untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya.
[M]
12
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011
Analisa dan Rekomendasi
Analisa
1. Perusakan terhadap rumah ibadah dan sejenisnya belum berhenti. Setelah Masjid al-Dzikro di Ciebon dan GBIS di Solo,
giliran Goa Maria di Tawangmangu. Situs ziarah ini dirusak oleh orang tak bertanggung jawab yang membuat kepala
Patung Maria terpenggal dan barang-barang lainnya dirusak bahkan di-hilang-kan. Ulah ini bukan hanya merusak tempat
tetapi juga merusak kerukunan yang selama ini terjalin secara harmonis. Menjadi pertanyaan besar tentang motif dan asal
pelaku sebab selama ini terjalin kerukunan antara umat Katolik dan umat Muslim di daerah itu berlangsung baik—bahkan
situs ziarah ini dijaga dengan baik oleh seorang Muslim. Kejadian ini mungkin memberikan kesan yang sama dengan
peristiwa perusakan petilasan Hindu di Desa Pulosari, Sukabumi. Massa yang membakar petilasan, seperti dikemukakan
oleh kepala desa setempat, bukanlah warganya. Warga tempat petilasan ini berada tidak mempermasalahkan tempat ini
dan pihak desa telah memberikan izin pembangunan vila di mana petilasan berada. Kasus kedua ini menunjukkan bahwa
kerukunan justru terancam oleh kekuatan luar yang agresif
2. Kasus aliran JIS (Jamaah Aliran Suci) di Sukabumi, aliran pimpinan Khaeruddin Ahmad di Lombok Timur, aliran ANM (Andi
Muhammad Nur) di Bone, AKI (Amanat Keagungan Ilahi) di Klaten Utara semakin memperkuat adanya kongsi aparat
dan masyarakat ‘menghadapi’ aliran yang dicap sesat. Pola umum kongsi ini adalah masyarakat menggerebek markas
atau tempat ritual dan aparat mengamankan pemimpin aliran beserta pengikutnya. Mereka memang diamakan dari
serbuan massa tetapi kemudian dimintai keterangan tentang aliran yang diikutinya. Situasi ini pada akhirnya bukan
melindungi korban penyerbuan tetapi justru menuju kepada kriminalisasi keyakinan: jika terbukti menyimpang maka
akan dimejahijaukan
3. ‘Penanganan’ aliran sesat di masyarakat juga semakin parah. Jika dulu mulanya ‘difatwa’ sebagai sesat—dengan pemahaman
keagamaan aliran sesat sebagai parameternya—dan diminta untuk kembali ke jalan yang benar, kini mereka juga diusir
bahkan diminta untuk membuat surat pernyataan penghentian aktivitas. Mereka yang diusir dari desanya adalah aliran
Bedatuan Ramingen di. Mereka akan diusir dari Dukun Semokan Desa Sukadana apabila tidak menghentikan aktivitasnya
sebagaimana aliran pimpinan Khoiruddin Ahmad yang diminta untuk menghentikan aktivitasnya oleh tokoh agama
dan pemerintah setempat. Begitupun dengan AMN, pimpinan aliran AMN, yang diusir oleh sang kepala desa. JIS sendiri
disesatkan oleh MUI Sukabumi sekaligus diminta untuk membubarkan diri dan menghentikan aktivitasnya
4. Tempat ibadah masih menjadi problem tersendiri. Hanya saja permasalahan ini kini bukan semata menjadi penderitaan
kelompok minoritas, tetapi juga minoritas dalam kelompok. GBI Pekiringan di Cirebon ditolak oleh warga dan diminta
pindah oleh pemerintah setempat tanpa mencarikan tempat alternatif. Kini, rumah ibadah milik Ahmadiyah di Duren
Sawit juga disegel karena tidak memiliki IMB. Penyegelan ini aneh karena sifatnya yang diskriminatif—tempat ibadah ini
sudah digunakan belasan tahun dan kini baru digugat izinnya seiring makin maraknya opini sebagian kelompok untuk
melarang aktivitas Ahmadiyah, bahkan membubarkannya
5. Setelah didesak berbagai kalangan, terutama oleh LBH Makassar, panglima FPI dan anak buahnya akhirnya mulai diadili.
Pengadilan ini penting untuk memberikan ‘pelajaran’ bahwa tidak ada toleransi terhadap kekerasan oleh suatu kelompok
atau seseorang terhadap suatu kelompok atau orang yang lain. Selain itu, pengadilan ini penting untuk menegakkan
prinsip bahwa semua orang sama di mata hukum, baik ia bernama Abdurrahman Assagaf yang panglima FPI sebagai
pelaku atau Rusdi Kaharudin (pedagang minuman) dan Farid Wajid (pengacara dari LBH Jakarta) yang menjadi korban
FPI
Rekomendasi
1. Aparat hendaknya melindungi semua warganya, tanpa memandang pilihan keagamaan seseorang, baik dari kelompok
arus utama (mainstream) maupun arus pinggiran. Adapun silang sengkarut persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada
otoritas keagaamaan setempat. Sebab, perbedaan kehakiman tidak selayaknya dikriminalkan
2. Pengadilan atas panglim FPI dan anak buahnya berjalan dengan adil dan netral. Dalam hal ini, para penegak hukum
hendaknya bersikap dan tidak tunduk pada kekuatan massa tertentu sebagaimana pengadilan lain yang melibatkan
elemen FPI sebagai terdakwa
3. Masyarakat hendaknya merapatkan barisan agar kerukunan dalam masyarakat tidak terganggu oleh kekuatan luar yang
agresif, tidak ramah pada perbedaan, dan memilih otot ketimbang otak dalam menyelesaikan persoalan
Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa’ | Sidang Redaksi:
Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari | Staf Redaksi: Alamsyah M. Dja’far, Badrus Samsul Fata | ­Desain & Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Akhol Firdaus (Jawa
Timur), Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), A.
Mabrur (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantowi (NTB)
Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250
Email: [email protected] Website: www.wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation.
Download