Edisi November 2011 38 The WAHID Institute Monthly Report on Religious Issues D i penghujung tahun ini kita berharap kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan kita segera membaik. Sayangnya, hal ini serasa jauh panggang dari api mengingat kejadian akhir-akhir ini. Pemenggalan kepala Patung Maria di Goa Maria Tawangmangu adalah yang paling menyayat hati. Suasana kondusif yang sudah terbina sejak puluhan tahun dirusak oleh orang tak bertanggung jawab. Kejahatannya bukan saja merusak situs ziarah, tetapi juga “melukai rasa keagamaan umat Katolik” sebagaimana diungkapkan oleh Uskup Agung Semarang Mgr Johanes Pujisumarta Pr. Kelukaan ini tentunya akan bertambah dalam mengingat Hari Raya Natal segera datang. Peristiwa lainnya adalah soal aliran sesat. Di beberapa tempat, seperti di Lombok, aparat justru berkongsi dengan berbagai aparat membubarkan aliran yang dinilai sesat. Kongsi ini sungguh aneh mengingat aparat seharusnya netral memberikan perlindungan kepada semua warga, baik yang dicap penganut aliran sesat maupun bukan. Mereka mengamankan pengikut aliran ini, dengan dalil perlindungan, tetapi kenyataannya mereka kemudian dimintai keterangan sehubungan dengan aktivitas keagamannya. Di luar segala peristiwa tragis nan miris itu, kita masih memiliki kewajiban memelihara sikap optimis. Kita berharap putusan kasus perusakan dan penghasutan oleh FPI Sulsel merupakan pertimbangan yang memperhitungkan keadilan masyarakat. Selain itu, surat dari Amensty International soal Ahmadiyah kiranya dapat membawa ‘perubahan’ dalam arah kebijakan KBB kita. Setidaknya para pengambil kebijakan itu, termasuk Menag (Menteri Agama) dan Mendagri (Menteri Dalam Negeri), untuk lebih memiliki padangan yang ramah minoritas. Bukan favoritisme terhadap golongan mayoritas tertentu, apalagi “disemangati” oleh tekanan massa tertentu. 2 Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011 Patung Maria Dipenggal Oleh: Nurun Nisa’ S ekali lagi, kita patut prihatin dan turut berduka sedalamdalamnya atas yang menimpa saudara sebangsa kita. Maraknya perusakan dan penyegelan tempat ibadah akhir-akhir ini nampaknya belum berhenti. Sasaran terbarunya adalah Gua Maria Sendang Pawitra di Dusun Sendang Desa Sepanjan Kecamatan Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah pada Rabu malam (14/12). “Peristiwa perusakan patung tersebut melukai rasa keagamaan umat Katolik. Kita upayakan supaya pihak keamanan mengusut peristiwa tersebut dan menemukan pelaku perusakan, dan menindaknya selaras dengan hukum negara Pancasila,” terang Uskup Agung Semarang Mgr Johanes Pujisumarta Pr Pelaku yang tak dikenal merusak sejumlah properti ibadah yang terletak di dalam gua tempat ziarah itu. Mereka memenggal patung Bunda Maria. Potongan kepala ini tidak ditemukan dan kemungkinan dibawa pelaku. Selain itu, Salib Millenium setinggi satu setengah meter dan patung keluarga kudus kecil hilang. Selain itu, patung malaikat dan bejana air suci turut dihancurkan. ”Pelakunya memenggal kepala patung Bunda Maria, melepas dan merusak Salib dari kayu setinggi 1,5 meter yang ada di altar di dalam gua, patung keluarga kudus hilang, memecahkan meja kaca di bawah altar, serta menghancurkan dua patung malaikat, dan bejana air suci,” terang Louhgi Tri Amboro, Ketua Lingkungan Santa Maria Bunda Allah Paroki Karanganyar, yang juga Pengurus Gua Maria Sendang Pawitra sebagaimana ditulis Suara Pembaruan (16/12). Peristiwa ini baru diketahui esok harinya sementara kejadian diperkirakan pada malam hari sekitar pukul 23.30 WIB. Seperti ditulis Suara Pembaruan (16/12), Narto yang menjaga Goa Maria yang rumahnya tidak jauh dari tempat ziarah ini menengok Goa Maria. Pria yang menjadi Ketua RW itu tidak menyatakan tidak terjadi apapun. Satu setengah jam kemudian, seorang warga sempat melihat senter menyala di sekitar goa namun tidak dihiraukan karena dianggap sebagai peziarah yang sedang berdoa. Keesokan hari, sekitar jam sepuluh pagi, warga sekitar gempar menyaksikan Goa Maria, yang biasanya dilewati beberapa menuju ladang mereka, menjadi berantakan. Gempar karena menyaksikan patung Maria dan yang lain rusak serta sebagiannya hilang. Kejadian ini memantik kegelisahan tersendiri, sebab selama ini tidak ada masalah antara pengelola Goa Maria dan keberadaan goa itu dengan warga sekitar yang sebagiannya beragama Muslim. Bahkan Narto, sang penjaga, merupakan seorang Muslim. Di luar itu, warga senang dengan ramainya peziarah yang berarti membuat kegiatan ekonomi, seperti dikemukakan Tria Amboro, terus bergulir. Kejadian semacam ini hanya pernah terjadi pada 1986—itu pun hanya merusak hidung Patung Maria saja. Setelahnya, tidak ada masalah lagi. Kejadian ini betul-betul melukai. “Peristiwa perusakan patung tersebut melukai rasa keagamaan umat Katolik. Kita upayakan supaya pihak keamanan mengusut peristiwa tersebut dan menemukan pelaku perusakan, dan menindaknya selaras dengan hukum negara Pancasila,” terang Uskup Agung Semarang Mgr Johanes Pujisumarta Pr melalui surel (surat elektronik) kepada MRoRI the WAHID Institute (17/12). Romo Johanes turut prihatin dengan naiknya frekuensi tindak kekerasan tersebut sangat memprihatikan kita dan menciderai kehidupan beragama— perusakan di Goa Maria merupakan kejadian ketiga di Jawa Tengah setelah perusakan gereja ketika rusuh Temanggung dan pemboman di GBIS Kepunton. Polisi pun segera turun tangan menyelidiki kejadian di TKP. Kapolda menunjukkan perhatian terhadap kasus ini. “Jumat, 16 Desember 2011, sore hari sekitar jam 16.30, Bapak Kapolda Jateng, Bapak Didiek Sutomo menelpon saya, menyampaikan maaf atas peristiwa perusakan tempat doa di Tawangmangu tersebut, dan berjanji hendak menangani peristiwa tersebut,” terang Romo Pujisumarta. Pimpinan Gereja setempat, Paroki Karanganyar, Surakarta sendiri, kata Romo, bekerja sama dengan penanggungjawab masyarakat dan keamanan setempat menangani peristiwa perusakan tersebut. Di masa yang akan datang, Romo Pujisumarta berharap agar perilaku kekerasan tidak menjadi solusi dalam menghadapi masalah hidup bersama. “Saya himbau seluruh umat, agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Secara khusus menjelang Natal, hendaklah semua saja waspada terhadap upaya-upaya jahat yang merusak ketentraman masyarakat,” tandas Romo. Menurut Romo, sangat baik diupayakan agar masyarakat Indonesia memiliki habitus hidup bermasyarakat yang beradab. Dalam aras ini, tindak kekerasan, perusakan milik orang lain, vandalisme tidak digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahmasalah hidup bersama. selain itu, moral sosial menghargai milik orang lain perlu ditanamkan terus-menerus dalam kesadaran hidup bersama. Siapapun pelakunya, ia perlu diadili dan diganjar dengan hukuman setimpal. Dalam hal ini, mengetahui motif adalah salah satu hal terpenting. Romo Pujisumarta sendiri menyatakan hanya pelaku sendiri yang tahu motifnya. “Itu pun kalau pelaku mau secara jujur mengungkapkan motifnya,” tandasnya. [M] 3 The WAHID Institute Disesatkan MUI Sukabumi, JIS Diusut Polisi Oleh: Dindin Abdullah Ghazali (INCReS Bandung) M UI Kabupaten Sukabumi mengeluarkan fatwa sesat bagi kelompok yang menamakan diri Jamaah Islam Suci (JIS). JIS dikabarkan telah menyebarkan ajarannya selama tiga tahun dan mempunyai basis utama di Kampung Ciburial, Kecamatan Gunung Guruh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. “Setelah mengkaji aliran yang mengatasnamakan Islam Suci dalam rapat MUI, kami memutuskan kelompok ini masuk ajaran sesat. Aliran ini mengingkari rukum Islam maupun Iman,” ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Sukabumi, KH Komarudin “Setelah mengkaji aliran yang mengatasnamakan Islam Suci dalam rapat MUI, kami memutuskan kelompok ini masuk ajaran sesat. Aliran ini mengingkari rukum Islam maupun Iman,” ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Sukabumi, KH Komarudin usai memimpin rapat pembahasan JIS di Sekretariat MUI, Kabupaten Sukabumi, sebagaimana ditulis Vivanews.com (12/11). Kajian, yang menurut MUI didasarkan pada laporan jemaah yang identitasnya dirahasiakan, menghasilkan kesimpulan bahwa Islam Suci memiliki cara ibadah yang berbeda dengan cara ibadah umat Islam pada umumnya. Jemaah kelompok pimpinan Cecep alias Mama bin Danu Wikarta ini hanya melakukan sholat tiga waktu yang disebut sebagai sholat empat penjuru. Kelompok ini sendiri diperkirakan telah memiliki penganut hingga 80 orang yang tersebar ke dalam berbagai wilayah dalam kurun waktu tiga tahun. Karenanya, MUI Sukabumi memutus Islam Suci sebagai sesat. Dalam fatwa ini disebutkan agar pengikut Islam Suci membubarkan diri dan menghentikan segala bentuk aktivitasnya. Selain itu, melalui fatwa ini, MUI meminta agar aparat berwenang ikut turun tangan menyikapi aliran ini. “Kami khawatir, warga di sekitar yang mulai resah dengan kegiatan ini bisa jadi bersikap brutal. Makanya, kami minta kepada aparat turun tangan untuk membubarkan aliran,” tutur KH Zaenal Falah, anggota Komisi Fatwa MUI Kabupaten Sukabumi. Menindaklanjuti fatwa ini, seperti dilaporkan Radar Sukabumi.com, jajaran Polres Sukabumi Kota melakukan penggeledahan terhadap markas aliran Islam Suci pada Jumat (18/11). Dipimpin langsung oleh Kasatreskrim Polres Sukabumi Kota, AKP Engkus Kuswaha, aparat mendatangi Kampung Ciburial, RT 63/12 Kecamatan Gunung Guruh, Kabupaten Sukabumi. Tujuan pertama adalah rumah adik Cecep, Dandan Marta alias Abi (41) yang diduga sebagai tempat ritual aliran Islam suci. Mereka menggeledah rumah berukuran 18 x 8 meter namun hanya menemukan tempat pengajian berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi dan sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter persegi. Di ruangan yang disebut terakhir ini, semua dinding berlapis kain hijau meriah sementara di kamar lainnya terdapat sebuah toilet, satu ranjang, satu unit televisi sebesar 14 inchi, miniatur bendera mini berwarna-warni, dan CD wayang golek. “Kamar ini hanya untuk tirakat saya, dan kamar ini juga suka ditempati untuk tidur. Mengapa warna hijau, karena saya suka terhadap warna hijau. Saya tutup dinding pakai kain hijau ini juga paling baru dua minggu,” terang Dandan seperti ditulis Radarsukabumi. com (18/11). Dandan membantah bahwa diri dan keluarganya telah menyebarkan ajaran sesat. Demi meyakinkan petugas, Dandan melafalkan dua kalimat syahadat dan menyebutkan Rukun Iman dan Rukun Islam secara rinci. Dandan bahkan menyebutkan salat lima waktu beserta jumlah rakaatnya. “Saya akui kalau kami tidak suka salat ke masjid. Tapi apa salah kalau beribadah di rumah. Ini benarbenar fitnah terhadap keluarga kami. Islam saya sama dengan umat muslim lainnya,” bantahnya. Dandan juga menerangkan keberadaan Cecep, pimpinan Islam Suci, yang sudah dua bulan terakhir ini berangkat ke Jakarta tapi tak diketahui alamatnya. “Saya sudah beberapa kali mengontak nomor HP-nya. Enggak tahu diganti, enggak tahu dijual HP-nya, soalnya nomor kakak saya tidak aktif-aktif. Padahal saya mau memberitahukan ada kabar kami disebutkan aliran sesat. Saya juga baru tahunya beberapa terakhir ini dari polisi yang ke sini dan pemberitaan,” tuturnya. Selesai menggeledah Dandan, polisi menuju rumah Cecep yang berjarak 300 meter dari rumah pertama. Polisi langsung meminta keterangan anak sulung Cecep, Dian Setiawan, soal bapaknya. Si anak menyatakan tak tahu. “Sepengetahuan saya, bapak saya tidak mengajarkan aliran sesat. Bapak saya juga tidak tahu di mana sekarang,”ungkapnya. Polisi sendiri masih belum bisa menemukan bukti tentang kesesatan JIS kecuali jumlah pengikutnya yang berjumlah 20 orang termasuk anak kecil. “Kami masih mendalami adanya indikasi aliran sesat di wilayah Gunung Guruh. Anggota sudah meneliti ke lokasi, namun dari hasil penyelidikan sementara belum ada indikasi tersebut. Saat ini kami terus memantau dan mengumpulkan alat-alat bukti,” ungkap Kapolres Sukabumi Kota, AKBP Witnu Urip Laksana seperti ditulis Vivanews.com (22/11). Adapun untuk menjaga keamanan dan ketertiban warga, Kapolresta sendiri memerintahkan agar Kapolsek turun langsung bersama Babinkamtibmas. Instruksinya, intensitas penjagaan ditambah dan setiap anggota Babinkamtibmas diperintahkan agar mendatangi warga minimal dua rumah dalam satu hari. Dengan pendekatan dari pintu ke pintu ini diharapkan dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Seminggu setelah penggeledahan ini, belasan warga yang diduga termasuk JIS turut melaksanakan salat berjamaah di Masjid Jami Nurul Huda yang tidak jauh dari kantor Desa Gunung Guruh. Kehadiran mereka tidak mengundang perhatian warga sekitar dan tidak mendapat gangguan apapun. 4 Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011 Pada sore harinya, Dandan Marta dan Dian Setiawan menyatakan bertaubat setelah berkirim surat kepada MUI setempat beberapa hari sebelumnya. Pihak MUI di tingkat kabupaten maupun kecamatan berencana melakukan kunjungan setiap pekan ke rumah dua jamaah ini. Semoga taubat Dandan dan Dian semata-mata keinginan sendiri belaka. [M] Panglima Laskar FPI Mulai Diproses Oleh: Mahmud Subarka, H (LAPAR Makassar) P roses peradilan atas perusakan terhadap warung cotto dan markas FPI Sulsel serta pengeroyokan anggota LBH Farid Wajdi akhirnya resmi dimulai pada Selasa (08/11). Sidang perdana kasus ini digelar di Ruang Utama Cakra PN Makassar dipimpin oleh Ketua PN Makassar, Hakim Andi Makkasau sebagai. Dua hakim anggota lainnya adalah Isjunaedi dan Makmur. “Saat itu saya tangkis dengan tangan saya, Pak, tapi lalu saya dilempari memakai kotak amal yang ada di warung tersebut,” terang Rusdi Kaharuddin, korban sweeping FPI Sulsel Sidang ini mengagendakan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Muhammad Adnan. Dalam dakwaan tersebut, ketiganya diduga telah melakukan penganiayaan dan pengeroyokan terhadap pemilik Warung Coto dan Rumah Makan di AP Pettarani, Makassar, pada saat bulan Ramadan, Agustus yang lalu. “Dengan demikian, ketiga terdakwa tersebut dijerat dengan pasal 170 dan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara,” jelas Jaksa Muhammad Adnan di hadapan majelis hakim seperti ditulis VIVAnews (08/11). Ketiga terdakwa yang dimaksud adalah Panglima FPI Abdurrahman Assagaf dan dua orang anggota FPI lainnya yakni Riswandi dan Arifuddin. Dalam sidang yang dihadiri 50 anggota FPI itu, Faisal Silenang sebagai pengacara terdakwa meminta kepada majelis hakim untuk melakukan penangguhan terhadap ketiganya. Ia menjamin mereka bersikap pro aktif terhadap proses persidangan dan tidak akan melarikan diri. Faisal juga menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi terhadap dakwaan JPU serta memohon sidang dilanjutkan. Sidang perdana yang berlangsung selama 15 menit ini dilanjutkan dengan agenda menghadirkan saksi-saksi pada Selasa (15/11). Akan tetapi saksi Rahman, Sapri, Sani, dan Ikbal tidak hadir sehingga persidangan ditunda. Dalam kesempatan ini Hakim Ketua Andi Makassau memerintahkan Jaksa Penuntut Umu A Chandra untuk menjemput saksi pada persidangan berikutnya. Agenda menghadirkan saksi-saksi akhirnya terlaksana pada sidang ketiga yang digelar pada Selasa (23/11). Ahmad, saksi pertama, selaku pemilik warung cotto di Jl. Pettarani menyatakan bahwa ia tidak pernah mendapatkan surat pemberitahuan mengenai penutupan warung makan pada siang hari dari dinas apapun. Surat pemberitahuan inilah yang menjadi dasar pembenaran FPI ketika melakukan penyerangan terhadap warung. Karenanya, ia tetap membuka warung dengan pintu yang setengah terbuka. Namun kejadian penyerangan oleh FPI sangat cepat sehingga ia menyatakan tidak tahumenahu jika ketiga terdakwa adalah pelakunya. Namun Ahmad mengatakan sudah memaafkan mereka. ‘’Saya sudah memaafkan mereka, Pak,’’ ujar Ahmad di depan majelis hakim seperti ditulis Tribuntimur.com (23/11). Sementara itu, Rusdi Kaharuddin yang biasa berjualan minuman di warung menyatakan Riswandi telah melakukan perusakan dan sempat memukul dirinya. “Saat itu saya tangkis dengan tangan saya, Pak, tapi lalu saya dilempari memakai kotak amal yang ada di warung tersebut,” tambahnya. Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar sudah mempersiapkan pengamanan yang ketat sejak akan dimulainya sidang pidana kasus ini. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi terjadinya pergesekan atau benturan di pengadilan yang melibatkan anggota FPI dengan kubu Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Sulsel. “Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang dapat mengganggu proses jalannya persidangan di pengadilan. Maka kejaksaan bakal berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk memperketat pengamanan di dalam maupun di luar persidangan”, kata Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Makassar Andi Muldani Fajrin, seperti yang dilansir Tribuntimur.com (19/10). Garansi keamanan juga dikemukakan oleh Ketua PN Makassar Andi Makassau dan pengacara terdakwa. “Jika ada yang bertindak provokatif, kami tak segan-segan mengambil tindakan tegas,” tegasnya. Sementara itu Faisal Silenang mengaku sudah berkoordinasi jauh-jauh hari dengan terdakwa dan simpatisan FPI untuk tidak melakukan tindakan di luar ketentuan hukum. Jaminan keamanan ini amat penting mengingat pemimpin FPI Sulsel, Habib Muhsin, berencana mengerahkan 300 orang pada sidang perdana. Kepastian sidang perdana sendiri diperoleh ketika telah terjadi pelimpahan berkas tahap pertama pada Senin (08/11). Adapun tahap kedua diterima dari Polrestabes Makassar sepuluh hari setelahnya. Penerimaan berkas tahap kedua ini sekaligus menandai akan dimulainya sidang bagi Abdurrahman. Ia sendiri masih akan ditahan guna mengikuti persidangan meskipun masa penahanannya segera berakhir. “Penahanan terhadap para tersangka tetap dilakukan. Karena tahap dua, kejaksaan melakukan penahanan selama 20 hari pertama. Hingga saat ini, kami belum menerima pengajuan permohonan penangguhan penahanan dari para tersangka maupun penasihat hukumnya,” papar Muldani seperti ditulis Komhukum.com (30/11). [M] 5 The WAHID Institute Vonis Sesat Kelompok Adat Bedatuan Oleh: Yusuf Tantowi (Lensa NTB) M edia cetak dan online memberitakan munculnya aliran sesat di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Tepatnya di Dusun Semokan Desa Sukadana Kecamatan Bayan. Oleh pengurus desa dan sebagian masyarakat kelompok ini dianggap menyebarkan aliran sesat. Kelompok itu bernama Bedatuan. “Kita sudah tunjuk beberapa tokoh adat untuk menyampaikan hasil kesepakatan gundem, yang bila tidak diindahkan, akan diambil tindakan tegas dengan cara mengusir mereka keluar dari Desa Sukadana,” jelas beberapa tokoh adat yang hadir dalam gundem Bagi sebagian masyarakat, kelompok ini pernah mengaku mendapatkan perintah dari sahabat Nabi Muhammad, Sayyidina Ali. Ia juga mengaku memiliki garis keturunan dengan presiden RI pertama, Ir.Sukarno. melakukan pengobatan secara tradisional. Itulah yang dianggap aneh oleh aparat desa dan sebagian masyarakat setempat. Kepala Desa Sukadana, Sojati mengatakan masalah Bedatuan yang disebarkan oleh Inak Ramingen dan pengikutnya sudah terjadi sejak empat tahun silam. Oleh karena itu ia minta agar para tetua adat memberikan sanksi adat yang tegas bagi pengikut kelompok ini. Hal yang sama dikatakan oleh Ketua BPD Desa Sukadana R. Nyakradi, bahwa penyelesaian persoalan bedatuan tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan hukum adat, agama maupun oleh pemerintah, tapi harus diselesaikan secara musyawarah bersama. Menyikapi kelompok Bedatuan, masyarakat bersama tokoh adat, tokoh agama dan unsur pemerintah desa mengadakan gundem (pertemuan) pada tanggal 17 Oktober 2011 yang lalu. Pertemuan itu berlangsung Telaga Longkak, Desa Akar-Akar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. “Gundem itu bertujuan untuk mencari jalan keluar mengatasi isu yang berkembang seperti menyebarnya aliran sesat di wilayah adat Semokan. Selain itu gundem ini juga membahas, bahwa ke depannya para tetua-tetua adat tidak saling menyinggung dalam menjalankan acara ritual agar tidak terjadi penyimpangan dari awiq-awiq adat yang sudah disepakati” kata Amak Nurana, salah seorang tokoh adat kepada Mataramnews.com. Gundem bersama itu menyepakati, seperti yang dibacakan oleh Amak Lokak Tuak Turun bahwa penganut aliran sesat, Ramingen Cs akan diusir dari Desa Sukadana dan menghentikan segala bentuk kegiatannya. Untuk menyampaikan hasil gundem kepada Ramingen Cs ditunjuk beberapa tokoh adat dan masyarakat. “Kita sudah tunjuk beberapa tokoh adat untuk menyampaikan hasil kesepakatan gundem, yang bila tidak diindahkan, akan diambil tindakan tegas dengan cara mengusir mereka keluar dari desa Sukadana,” tambah beberapa tokoh adat yang hadir dalam pertemuan tersebut. Fathul Rahman, salah seorang warga Tanjung, KLU yang sudah lama mengamati kelompok ini mengatakan bahwa kelompok Bedatuan sebenarnya bukan aliran sesat karena tidak mengajarkan ajaran baru yang berbeda dengan ajaran penganut Islam mayoritas. Ia malah menganggap Bedatuan adalah kelompok adat yang dibangun oleh para datu-datu Tanjung untuk mempertahankan status sosial di tengah masyarakat. Mereka ingin menghidupkan sejarah adat istiadat atau kepercayaan leluhur. Pengikutnya banyak berasal dari Dusun Lendang Jeliti, Rowah Bangket, Desa Sukadan, Kec. Bayan. “Itulah mengapa mereka sering mengadakan pesta adat. Untuk itu mereka meminta ayam, kambing atau sapi kepada pengikutnya. Cuman mereka kadang mengadakan pesta pada waktu-waktu yang tidak dibolehkan oleh komunitas masyarakat adat utara. Bisa jadi ini yang menyebabkan tokoh adat lain tersinggung” katanya. Dijelaskan Fathul, masyarakat adat Lombok Utara memiliki kalender atau jadual tertentu dalam mengadakan pesta adat. Mereka misalnya pantang mengadakan pesta di bulan puasa atau maulid. Bila melanggar, mereka bisa dikenai sanksi adat–sanksinya mereka bisa dikeluarkan dari kampung. “Itu yang dilanggar oleh kelompok Bedatuan, makanya dulu diadakan gundem untuk membahas itu. Jadi saya kurang setuju kalau Bedatuan dianggap sebagai kelompok sesat” jelasnya. Kapolres Lombok Barat melalui Kapolsek Bayan, IPDA Kadek Metria, ketika dikonfirmasi terkait masalah tersebut mengaku belum menerima laporan. “Kami belum menerima laporan, namun tetap kita akan pantau demi keamanan masyarakat”, katanya singkat seperti ditulis MataramNews.com (10/10). [M] 6 Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011 Dianggap Sesat, Gubuk Dibakar Oleh: Nurun Nisa’ S ebuah gubuk di Gunung Mekodek, Kampung Pecatu, Dusun Kampung Sasak, Desa Seruni Mumbul, Kecamatan Priggabaya, Lombok Timur digerebek puluhan warga yang diduga sebagai praktek aliran sesat. Menurut keterangan beberapa pihak, mereka berzikir sambil membunyikan alat musik. “Mereka berzikir sambil meminum khamr (minuman keras, Red.), sambil membunyikan alat musik. Bahkan mereka memperbolehkan antara perempuan dan laki-laki bercampur,” terang Abu Adnan, warga Desa Seruni seperti ditulis Vivanews.com (05/12). Kepala Bakesbangpoldagri Lotim H. Syarif Waliyulloh meminta partisipasi masyarakat untuk mengawasi aliran semacam ini. Mereka diminta melapor aparat jika menjumpai kumpulan lebih dari orang yang melakukan aktivitas selama 24 jam atau lebih. Mereka ini, kata Syarif, patut dicurigai Mereka mendatangi tempat itu bersama dengan 18 aparat dari Polsek Pringgabaya pada Sabtu (04/12). Di gubuk ini didapati ritual melibatkan sekitar 50 orang. Salah satunya, diduga sebagai pimpinan aliran ini, tidak berpakaian sebagaimana ditulis Lompokpost.com (05/12). Massa ingin membubarkan ritual ini namun terjadi ketegangan. Aparat kemudian membawa tujuh orang untuk diamankan di Mapolsek Pringgabaya. Termasuk yang ditahan adalah Khairuddin Ahmad yang merupakan pimpinan aliran ini. Rupanya penggerebekan ini bukan akhir segalanya. Dua puluh empat jam kemudian warga kembali mendatangi tempat ini. Gubuk yang dimaksud ternyata sedang kosong. Sepasang suami-istri yang ada di gubuk tak bisa berbuat banyak menghadapi massa. Mereka pasrah ketika massa mengambil beberapa barang yang dianggap sebagai media ritual semisal suling bambu. Selain itu, ditemukan beberapa jerigen tuak yang tersisa dalam lima botol air mineral dan senjata tajam. Barang-barang ini kemudian dikeluarkan dan selanjutnya gubuk dibakar. Tindakan ini dilakukan dengan dalih menyelamatkan ummat. Mereka khawatir jika aliran ini tidak segera diberantas, maka akhlak ummat bisa rusak. Baru beberapa bulan saja aliran ini sudah memiliki penganut sekitar 50 orang. Pihak kepolisian membenarkan adanya pembakaran ini. “Bukan rumah, hanya gubuk. Kasusnya ditangani Polsek Pringgabaya,” terang Kasatreskrim Polres Lotim AKP Yuyan Priatmaja seperti ditulis Lombokpost.com (05/12). Sementara itu Kapolsek Pringgabaya AKP Eko Mulyadi menyatakan pihaknya bersama dengan masyarakat mendatangi gubuk di Gunung Mekodek pada Sabtu malam. Seusai pembakaran gubuk dilakukan pertemuan di kantor Desa Seruni. Rapat ini dihadiri oleh perwakilan Pemkab Lotim yaitu Bakesbangpoldagri, Kantor Kemenag, Dandim 1615, Wakapolres, Kapolsek Pringgabaya, tokoh masyarakat, dan perwakilan aliran Khairuddin Ahmad. Kepala Bakesbangpoldagri Lotim H. Syarif Waliyulloh menyatakan pertemuan ini dilakukan sebagai silaturahmi dengan masyarakat Kampung Pecatu, di samping pihak Kemenag memberikan pemahaman. “Saat itu pihak Kemenag Lotim memberikan pemahaman bahwa ajaran kelompok tersebut sesat,” tandas Syarif seperti ditulis Lombokpost.com (06/12). Hasilnya, aliran ini dibubarkan. Selain itu, pengikut aliran ini diminta membuat surat pernyataan untuk menghentikan aktivitasnya. “Kami menilai kegiatan yang dilakukan kelompok itu bertujuan untuk senangsenang saja dan melanggar nilai budaya dan agama Islam,” tambahnya. Syarif bahkan meminta partisipasi masyarakat untuk mengawasi aliran semacam ini. Mereka diminta melapor aparat jika menjumpai kumpulan lebih dari lima orang yang melakukan aktivitas selama 24 jam atau lebih. Mereka ini, kata Syarif, patut dicurigai. Pemeriksaan sementara menyatakan bahwa ini aliran ini lebih dekat kepada perdukunan ketimbang sebuah aliran keagamaan. Namun penggunaan miras menyebabkan aliran ini, menurut kepolisian, menimbulkan keresahan. “Pengakuan sementara tokoh yang diduga sesat itu adalah pengobatan,” terang Wakapolres Lotim Kompol Darsono SA. [M] Kebaktian GBI Pekiringan Ditolak Warga Oleh: Nurun Nisa’ R atusan warga RW 01 Pekalipan dan RW 02 Karangmoncol Pekalipan Kota Cirebon berkumpul di samping GBI (Gereja Bethel Indonesia) Pekiringan sejak Minggu pagi (16/10). Mereka membawa spanduk berisi penolakan kebaktian dan pembangunan gereja ini. Ardiansyah, koordinator warga, menyatakan GBI sudah berdiri sepuluh tahun lalu namun tidak mendapatkan izin dari warga namun warga memilih 7 The WAHID Institute “Tolong carikan dulu tempat pengganti,” kata Dedi Suwandi dari GBI Pekiringan sabar. “Sudah sepuluh tahun ini kami bersabar dengan adanya kegiatan itu,” terang Ardiansyah seperti ditulis Republika Online (16/10). Pihak gereja, kata Ardiansyah, malah berencana membangun gereja permanen di samping ruko. Alasan lainnya adalah karena terbitnya SK No 452.2/1478-Adm. Kesra yang berisi penghentian kegiatan dan pembangunan Gereja Bethel Indonesia Pekiringan. Surat Keputusan oleh Walikota Cirebon Subardi ini dikeluarkan pada 26 September 2011. Dengan terbitnya SK ini sesungguhnya kebaktian dilarang semenjak dua bulan lalu. Tetapi pihak GBI tidak mengindahkannya karena belum memiliki tempat alternatif untuk jemaat sebanyak 600 orang. “Tolong carikan dulu tempat pengganti,” kata Dedi Suwandi. Pernyataan Dedi ini menanggapi permintaan pihak Kemenag (Kementerian Agama) setempat untuk menghentikan kebaktikan seperti halnya keputusan FKUB dengan walikota. Suasana setempat ricuh tetapi berhasil dikendalikan oleh polisi. Wakapolres Cirebon Kota, Kompol Didit Eko datang ke lokasi dan meminta semua pihak mematuhi peraturan yang berlaku. Masyarakat diminta tidak berbuat anarkhi sementara pengurus gereja diminta menaati semua aturan. Dalam tempat dan hari yang sama juga terjadi kesepakatan. Misa bakti diizinkan pada hari itu sampai pukul 18.00 WIB namun tidak diizinkan untuk pekan berikutnya. GP Anshor Cirebon turut mendukung kegiatan jemaat namun aparat yang tunduk pada massa membuatnya tak berdaya apa-apa. [M] Amnesty International Desak Mendagri Cabut Larangan Kegiatan Ahmadiyah Oleh: Alamsyah M. Dja’far dan Nurun Nisa’ L embaga pemantau HAM internasional Amnesty International mendesak Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mencabut Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12/2011 dan semua peraturan daerah serta nasional lainnya yang membatasi kegiatan komunitas Ahmadiyah di “Peraturan Gubernur Jawa Barat No.12/2011 dan penutupan atau pengambilalihan tempat-tempat ibadah jemaah Ahmadiyah mengingkari hak-hak komunitas Ahmadiyah untuk mendapatkan kebebasan beragama atau berkeyakinan,” kata Donna Guest Wakil Direktur untuk Asia-Pasifik Indonesia. “Peraturan Gubernur Jawa Barat No.12/2011 dan penutupan atau pengambilalihan tempat-tempat ibadah jemaah Ahmadiyah mengingkari hak-hak komunitas Ahmadiyah untuk mendapatkan kebebasan beragama atau berkeyakinan,” kata Donna Guest Wakil Direktur untuk Asia-Pasifik lewat surat terbukanya, Jum’at (14/10). Dalam pemantauan lembaga yang berbasis di London ini, ditemukan bukti Peraturan Gubernur Jawa Barat berisi Larangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat yang diteken 3 Maret 2011 itu dipakai sejumlah kelompok untuk membenarkan tindakan intimidasi dan kekerasan pengikut Ahmadiyah di Jawa Barat. Pada pasal 3 peraturan ini dinyatakan, antara lain, melarang para pengikut Jemaah Ahmadiyah “melakukan aktifitas... [yang] berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktifitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam”. Aktivitas-aktivitas yang disebut termasuk penyebaran ajaran Ahmadiyah, pemasangan papan nama Jemaah Ahmadiyah Indonesia di tempat umum serta di rumah peribadatan dan lembaga pendidikan mereka serta penggunaan atribut Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apa pun. Amensty menilai larangan ini jelas bertentangan dengan sejumlah aturan. Salah satunya Pasal 2(1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Isinya hak asasi manusia harus dilindungi “tanpa pembedaan apa pun, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik ataupun lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan, kelahiran dan status lainnya”. Selain itu, dalam surat yang ditembuskan ke Kepala Kepolisian Republik Indonesia Timur Pradopo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Agama Suryadharma Ali, Gubernur Provinsi Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, Amnesty juga menyinggung kronologi kasus intimidasi dan kekerasan terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat. Pertama, serangan terhadap properti milik Ahmadiyah dan intimidasi. Pukul 11 malam tanggal 29 Maret 2011, di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, kira-kira 100 orang dilaporkan menyerang sebuah rumah milik anggota Ahmadiyah. Para penyerang menghancurkan jendela rumah itu dengan pot tanaman, batu, dan batu bata sambil meneriakkan katakata kotor dan slogan-slogan keagamaan. Beberapa hari setelah serangan terjadi, dua spanduk terpampang di depan rumah utama dan di ujung jalan menuju ke arah rumah ini disertai tanda tangan koalisi kelompok termasuk FPI dan (Gerakan Reformasi Islam). Bunyinya, antara lain, “Terima Kasih kepada Bapak Gubernor Jawa Barat yang telah mengeluarkan Pergub 12/2011 tentang 8 pelarangan kegiatan Ahmadiyah dan penyebaran ajaran Ahmadiyah” Dua spanduk ditandatangani koalisi kelompok termasuk Kedua, sepuluh hari setelah Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Pergub-nya, petugas Babinsa dan kepolisian Kecamatan Bojongpicung mendekati para tetua komunitas Ahmadiyah di Desa Cipeuyem, Kecamatan Haruwangi dan meminta mereka untuk mengizinkan pengkhotbah yang bukan anggota Ahmadiyah untuk menggunakan tempat ibadah mereka pada saat sembahyang. Para tetua Ahmadiyah menolak permintaan ini. Ketiga, peristiwa pada 1 April 2011 di mana seorang kepala desa Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011 dilaporkan mendekati sebuah keluarga di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka dan menyuruh keluarga ini membuat keputusan melepaskan keyakinan Ahmadiyah mereka atau harus meninggalkan rumah mereka. Kepala desa juga menawarkan uang sebesar Rp 300 ribu jika mereka menandatangani pernyataan bahwa mereka keluar dari Ahmadiyah namun keluarga itu memutuskan meninggalkan daerah ini tak lama sesudahnya. Kini keluarga ini berusaha mengumpulkan uang untuk membangun rumah lain di tempat yang lebih dekat dengan komunitas inti Ahmadiyah di Desa Sukadana. Dalam rekomendasinya, Amnesty mendesak kepolisian pusat untuk menginvestigasi secara teliti, independen dan imparsial mengenai intimidasi, ancaman, dan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat. Selain itu, pihak kepolisian diminta untuk memastikan hasil temuannya diumumkan dan diserahkan, bilamana relevan, kepada Jaksa Penuntut supaya semua yang diduga terlibat dalam pelanggaran yang berkaitan dengan HAM dihadapkan ke proses pengadilan. Proses pengadilan yang dimaksud adalah yang memenuhi standar internasional tentang keadilan serta tanpa penerapan hukuman mati serta para korban juga mendapatkan hak reparasi. [M] Dianggap Sesat, Markas AKI Ditutup Aparat dan Masyarakat Oleh: Nurun Nisa’ B ersama dengan masyarakat, Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Klaten Utara menutup rumah kontrakan Guntur yang diduga sebagai penganut AKI pada Jumat malam (14/10). Penutupan ini ditengarai karena Guntur menyebarkan aliran yang dinilai menyimpang berkedok pengobatan. Aliran yang dimaksud juga dianggap meresahkan warga karena aktivitasaktivitas malamnya yang menimbulkan kegaduhan. “Aktivitas mereka bahkan seringkali dilakukan hingga pukul 03.00 WIB dini hari, dengan kegiatan yang dirasa aneh,” terang Drs Sofan, Camat Klaten Utara sebagaimana dikutip Mediaindonesia.com (16/10). Dianggap aneh karena seringkali terdengar tangisan histeris dari para anggotanya saat melakukan ritual. Dari keanehan ini terbit anggapan bahwa kelompok ini telah terjerumus dalam aliran sesat. Aparat kepolisian setempat menyatakan mengupayakan langkah preventif untuk berdialog. Tetapi ikhtiar inisiatif ini gagal terlaksana karena Muspika dan masyarakat ternyata telah bersepakat. “Ternyata ada kesepakatan antara warga dan musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika) untuk menutup markas aliran AKI. Yang mengontrak rumah miliki warga Desa Girimulyo tersebut,” terang Kapolres Klaten AKBP Kalingga Rendra Raharja seperti ditulis Harianjoglosemar.com (17/10). Yang dimaksud markas AKI adalah rumah Widodo yang dikontrak Guntur di Desa Girimulyo Kec. Klaten Utara. “Ternyata ada kesepakatan antara warga dan musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika) untuk menutup markas aliran AKI,” terang Kapolres Klaten AKBP Kalingga Rendra Raharja Camat Klaten Utara memiliki dalih sendiri. Menurutnya, penutupan ini merupakan aspirasi masyarakat setempat. Guntur dan para pengikutnya sudah diberikan peringatan namun tidak dihiraukan. “Sudah lama mereka kami peringatkan namun tetap nekat, sehingga ditindak,” ungkap sang camat seperti ditulis Cyber Media (16/10). Setelah menerima laporan ini, sang camat memimpin rombongan mendatangi lokasi. Selain Camat, terlihat Kapolsek, Danramil, perangkat desa, Laskar MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan kelompok masyarakat lainnya. Pak Camat menyebutnya aksi ini sebagai “mendapat pengawalan dari jajaran Polres Klaten dan Muspika Klaten Utara”. Jumadi, Ketua Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) Klaten, menyatakan bahwa warga sejak lama resah seiring semakin meningkatnya jumlah pengikut AKI. Sesampai di lokasi, Guntur dan 23 orang di dalamnya sedang melakukan ritual keagamaan tertentu. Aparat kemudian“mengamankan”mereka tetapi akhirnya hanya Guntur yang diamankan. Tetapi mereka didata terlebih dahulu. Bersamaan dengan proses ini, disita sejumlah atribut AKI seperti papan nama, buku, kitab, gambar logo, dan peralatan lainnya. Guntur sendiri menyatakan bahwa dirinya melakukan praktek pengobatan. Dalam praktek ini, ia menyatakan menolong orang kesusahan dengan memberikan jalan penerang.”Ada orang gila dan stroke yang saya tangani,” ungkapnya seperti ditulis Cyber News (10/17). Para pasien ini selain diberikan rapalan zikir juga dimintakan iuran sukarela untuk syukuran menyembelih kambing. Kambing ini dibagikan kepada warga sekitar. Meski demikian ia mengakui pernah belajar AKI saat di 9 The WAHID Institute Jakarta. Warga Kampung Kanjengan Kec. Klaten Tengah ini membantah dirinya sebagai Ketua AKI sebab AKI tidak memiliki struktur organisasi tetapi hanya sesepuh jamaah. Hingga hari Senin (17/10) telah diperiksa tujuh orang. Selain itu dua saksi pelapor juga dimintai keterangan, yakni anggota Laskar MMI Abu Faaaza dan Jumadi. Pelapor lainnya adalah Ketua Lajnah Perwakilan Daerah Majelis Mujahidin Indonesia (LPD-MMI) Kabupaten Klaten, Bony Azwar, juga turut diperiksa. Jumadi tinggal di dekat polisi dan ikut penggrebekan. Mereka melaporkan Guntur telah melakukan penistaan agama. Polisi juga masih menjaga ketat rumah kontrakan ini demi mencegah aksi anarkis dari kelompok masyarakat tertentu. Sampai berita ini diturunkan, polisi belum dapat memastikan ajaran Guntur sama dengan AKI yang telah dilarang di Jawa Barat setahun lalu. Di Jawa Tengah sendiri, AKI telah diawasi sejak 2005-2007. Bersama dengan Al-Alif (Inkar Sunnah), al-Qiyadah al-Islamiyah, dan Islam Sejati, AKI digolongkan sebagai aliran sesat karena tidak mewajibkan salat dan mencampurkan minyak wangi ketika berwudhu. AKI, seperti ditulis Suara Merdeka (23/11/07), juga berkembang di Purworejo. [M] Petilasan Hindu Dibakar Massa Oleh: Dindin Abdullah Ghazali (INCReS Bandung) S ekitar 600 massa menghancurkan dan membakar sebuah petilasan di kaki Gunung Wayang Kampung Ciraksamala RT 30/04 Desa Pulosari Kecamatan Kalapanunggal Kabupaten Sukabumi Jawa Barat hingga rata dengan tanah pada Senin siang (14/11). Tidak ada korban jiwa karena bangunan sedang ditinggal penghuni ke Jakarta. Namun tujuh bangunan di dalamnya luluh lantak dengan taksiran kerugian senilai Rp 1 milyar. ‘’Tentunya saya sangat menyesalkan atas kejadian itu, bahkan warga kami tidak banyak yang terlibat karena sebagian besar sudah mengetahui latar belakang bangunan itu. Kalau pun ada mungkin hanya terbawabawa,’’ kata Uci Marshal, Kepala Desa Pulosari Massa yang berasal dari gabungan Forum Komunikasi Jamaah Muslim (FKJM) Kalapanunggal, Gerakan Reformis Islam (Garis), Forum Umat Islam (FUI), serta masyarakat sekitar menuding bangunan tersebut sebagai tempat ritual yang digunakan secara ilegal. Mereka menganggap ritual yang biasa dilakukan setiap Sabtu dan Minggu itu meresahkan warga. Sebelum terjadi perusakan, massa telah mengultimatum kepada pengelola untuk segera membongkar bangunan pada tanggal 13 November 2011. Lalu mereka marah sebab pemiliknya urung membongkar bangunan hingga batas waktu yang ditentukan. “Batas waktu itu sudah disampaikan pada pertemuan tokoh masyarakat, ulama dan pemuda dengan Muspika sebulan yang lalu. Juga IMB-nya bukan untuk tempat ritual melainkan rumah tinggal,” kata ketua FKJM Deden Saepudin seperti dikutip Inilah.com (14/11). Kapolres Sukabumi, AKBP Bagus Srigustian, sendiri menyatakan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan para tokoh di daerah tersebut untuk mengantisipasi tindak anarkis susulan. Melalui para tokoh inilah, diharapkan warga dapat tenang sehingga tidak terjadi lagi tindakan anarkis. Sementara itu, Komandan Kodim 0607 Sukabumi Letkol (Inf ) Endro Satoto melakukan koordinasi dengan aparat keamanan lainnya untuk memediasi kasus perusakan ini. Tapi sang pendiri sekaligus pembina petilasan, Anak Agung Gde Asmara, nampaknya akan menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus ini ke Polres Sukabumi. ‘’Kami hanya ingin keadilan dan kebenaran ini ditegakkan, karena negara kita adalah negara hukum,’’ katanya seperti ditulis Inilah.com (23/11). Petilasan tersebut diberi nama Patilasan Yoganing Dipantara di bawah naungan Yayasan Parama Yuga. Petilasan ini, menurut Anak Agung dalam keterangan persnya, menyatakan bahwa petilasan ini bukan termasuk tempat peribadatan sesuai yang diatur Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang perizinan pendirian tempat ibadah. ‘’Bangunan tersebut merupakan tempat tinggal pribadi saya yang sudah ada sejak 1996. Konsep bangunan terinspirasi tempat di Desa Urug Bogor yang dilengkapi dengan tempat ibadat keluarga,’’ jelasnya. Konsep yang dimaksud adalah model rumah petilasan milik Sunda Wiwitan. Penjelasan juga datang dari pihak PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Jawa Barat. Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jawa Barat, DR I Made Widiada Gunakarsa SH MH kepada INCReS pada Kamis (25/11), menyatakan bahwa di dalam petilasan memang terlihat ada bangunan kecil menyerupai candi yang merupakan situs peninggalan umat Hindu. Situs serupa cukup banyak di Jawa Barat seperti halnya Candi Cangkuang di Kabupaten Garut. Namun, candi belum tentu merupakan tempat ibadah. Sebab alasan candi dibangun antara lain untuk menghormati raja yang meninggal di tempat itu. Di candi-candi itu umat Hindu biasa berdoa. Widiada menyayangkan perusakan itu terjadi. Anak Agung sendiri menyinggung soal nilai kebudayaan, bukan materil bangunan, dan program di masa depan sebagai salah satu pertimbangan untuk mengajukan tuntutan hukum. Adapun IMB sudah diurus ketika merenovasi sebagaimana diatur oleh Undang-Undang yang berlaku. Ia pun mengantongi IMB No. 648.II/03/2008 10 tanggal 9 Mei 2008 dengan luas bangunan 250 m2 di atas tanah 1.700 m2. Ia juga berkoordinasi dengan kepala desa dan aparat desa lainnya di Kampung Ciraksamala. Sebab, selain merenovasi, ia juga ingin mengembangkan kampung ini sebagai desa wisata dan sebagai sentra ekonomi kreatif bagi masyarakat sekitar. Keterangan ini diamini oleh Kepala Desa Pulosari, Uci Marshal. Uci menyatakan bahwa bukan hanya ada koordinasi tetapi terdapat Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011 delapan kesepakatan antara Yayasan dan pihak aparat desa. Antara lain, pembangunan tidak membawa misi agama, tidak membawa simbolsimbol agama, dan didahului dengan perizinan lingkungan secara legal formal. Karenanya, Uci menyesalkan terjadinya kasus perusakan ini. ‘’Tentunya saya sangat menyesalkan atas kejadian itu, bahkan warga kami tidak banyak yang terlibat karena sebagian besar sudah mengetahui latar belakang bangunan itu. Kalau pun ada mungkin hanya terbawa-bawa,’’ kata Uci. Aksi perusakan ini bukan yang pertama kalinya. Perusakan pertama pada 2002 dan lima tahun kemudian pihak pengelola membangun kembali tempat ini sebagai vila. Pada 16 Agustus 2011, menurut pihak FKJM, villa ini diresmikan dan dijadikan tempat ritual. Karena dinilai menyalahi izin inilah beberapa pihak membenarkan tindakan perusakan terhadapnya. [M] Dianggap Sesat, Aliran Pimpinan AMN Digrebek Oleh: Nurun Nisa’’ P olsek Sibulue Kabupaten Bone Sulawesi Selatan menggrebek sebuah aliran yang dianggap sesat di Desa Pattiro Riolo Bone pada Senin (31/10). Dianggap sesat karena, menurut keterangan sebagian masyarakat, karena dengan membayar Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu dan mengikuti ritual khusus, pengikutnya dapat memperoleh gelar haji kecil dari seseorang yang disebut khalifah sebagaimana ditulis Metrotvnews. com (01/11). Dengan demikian, memiliki gelar haji tidak harus pergi ke tanah suci. Khalifah yang dimaksud adalah pimpinan aliran ini bernama AMN (Andi Muhammad Nur). Di lokasi, polisi tidak menjumpai AMN. Mereka hanya menemukan foto AMN di rumah salah satu pengikutnya serta salah satu anggota keluarga yang juga mengikuti aliran AMN. Kepada mereka, seperti ditulis Okezone.com (02/11) polisi menghimbau untuk tidak begitu saja percaya kepada orang yang baru dikenal yang ingin menyesatkan dan meraup keuntungan semata. Namun Ramli, salah seorang pengikutnya, Kepala Desa Pattiro Riolo, Muhammad Yusuf Mappanyompa, menyatakan telah mengusir AMN dan menghimbau warga untuk tidak menjadi pengikutnya menolak aliran AMN sebagai ajaran sesat. Ia mengikuti ajaran AMN, yang dikenalnya sebulan lalu, hanya untuk mendapat berkah. Esok harinya polisi kembali mendatangi tempat ini untuk memastikan bahwa aliran AMN sudah dihentikan dari tempat ini. Sementara itu, Kepala Desa setempat, Muhammad Yusuf Mappanyompa, membenarkan jika pengikut aliran ini sudah mencapai puluhan orang. Pihaknya sendiri bahkan menyatakan telah mengusir AMN dan menghimbau warga untuk tidak menjadi pengikutnya. Lain lagi sikap polisi. Pihak kepolisian membenarkan soal iuran untuk menjadi haji ini tetapi belum dapat memastikan kesesatan aliran ini. “Lagi-lagi dibutuhkan kehati-hatian untuk tidak langsung percaya pada ajakan orang yang baru di kenal, apalagi mengajak untuk berhaji hanya dengan membayar ratusan ribu rupiah sudah dapat gelar haji tanpa ke tanah suci. Karena boleh jadi ajakan tersebut hanyalah menyesatkan,” terang Kapolsek Sibulue, AKP Makmur. [M] Rumah Ibadah Disegel, Jemaat Ahmadiyah Duren Sawit Tetap Beribadah Oleh: Nurun Nisa’ R umah ibadah Ahmadiyah di bilangan Duren Sawit disegel oleh Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (Sudin P2B) DKI Jakarta pada Kamis siang (17/11). Dinas P2B menganggap rumah di Jl Madrasah 1, Duren Sawit, Jakarta Timur.menyalahi penggunaan izin seperti termaktub Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung. ”Izinnya rumah tinggal tapi dijadikan rumah ibadah,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Sudin P2B Jaktim Bambang Sudjimanto sebagaimana ditulis Jurnas. com (17/11). Bambang menyatakan 11 The WAHID Institute sudah melayangkan surat peringatan tiga kali namun tidak dihiraukan oleh pihak Ahmadiyah. Surat yang dimaksud adalah surat peringatan No. 69/1.785, No. 70/1.785, dan No. 71/1.785, yang masingmasing pada 28 Maret, 01 April, dan 04 April 2011. Dalam hal ini, kata Bambang, warga Ahmadiyah masih menggunakan tempat tersebut untuk sholat Idul Adha berjamaah pada pertengahan November lalu. “Dari sekian banyak rumah ibadah yang ada, saya yakin sebagian besar rumah ibadah banyak yang tidak memiliki (surat izin),” kata peneliti the WAHID Institute, M. Subhi Azhari Penyegelan rumah ibadah ini melibatkan 60 petugas yang berasal dari Satpol PP, Sudin P2B, Polsek, dan Koramil setempat. Tak sekedar disegel, rumah ini akan diawasi selama sehari semalam penuh. ”Setelah disegel, petugas kami akan patroli mengawasinya selama 24 jam. Kalau masih berkegiatan bakal ada tindakan yang lebih tegas lagi,” tegas Kepala Satpol PP Jakarta Timur Sarpu. Camat Duren Sawit Wahyu Supriatna juga hadir dalam penyegelan ini. Selain penggunaan izin, penyegelan dilatarbelakangi oleh adanya penolakan warga terhadap rumah ini. Mereka, menurut Bambang, membuat surat kepada kecamatan dan kelurahan. “Warga meminta bangunan segera dialihfungsikan,” tuturnya. Ajis, seperti ditulis Jurnas.com, yang menjaga rumah menyatakan kegiatan ibadah di rumah yang tak tampak seperti layaknya masjid ini sudah dihentikan pasca tragedi Ciukesik pada Februari 2011 lalu. Seperti diketahui, pasca tragedi yang menewaskan tiga jemaat Ahmadiyah ini, terbit larangan aktivitas Ahmadiyah di mana-mana. Kegiatan terakhir, kata Ajis, adalah sholat Idul Adha dan penyembelihan hewan korban. Hafiz, jemaat Ahmadiyah yang berada di lokasi, menyayangkan penyegelan yang dipaksakan ini. Pihak Ahmadiyah sendiri sudah membalas surat peringatan yang dikirimkan Sudin tapi tak mendapat respons. Ia mengakui jika rumah tinggal ini dijadikan rumah ibadah. “Sejak 19 tahun lalu sudah digunakan untuk ibadah. Memang izinnya rumah, tapi hukum kan tidak berlaku surut,” sambungnya seperti dikutip Detik.com (17/11). Memang PBM No. 8 Th. 2006 dan No. 9 Th. 2006 ini menganut asas berlaku surut. Hafiz menolak jika rumah ibadah yang diberi nama Masjid at-Taqwa ini diprotes warga. “Saya bisa membuktikan kalau saya bisa memasyarakat, hubungan kami dengan warga di sini cukup baik. Idul Adha kami kurban dan infaq jadi nggak ada masalah,” terangnya. Jemaat Ahmadiyah mengaku pasrah. Mereka, dengan jumlah sekitar 300 orang, menyatakan tidak akan menghentikan ibadahnya. “Untuk jemaah di Jakarta Timur masih kondusif dan aman-aman saja. Masyarakat setempat juga tidak ada masalah. Beribadah di mana saja itu bisa. Jadi tidak harus di masjid, di rumah bisa, di lapangan bisa,” terang anggota Komisi Hukum Ahmadiyah Hafiz Qudratullah seperti dituli KBR68H (17/11). Mereka misalnya, kata Hafiz, bisa bergabung dengan masjid Ahmadiyah terdekat di Jati Bening. Muhammad Subhi menyatakan agar pemerintah tidak diskriminatif dalam melakukan penyegelan rumah ibadah kepada minoritas. Penyegelan seharusnya didasari dengan keputusan bersama sehingga dapat diberlakukan kepada semua kelompok. “Dari sekian banyak rumah ibadah yang ada, saya yakin sebagian besar rumah ibadah banyak yang tidak memiliki (surat izin),” kata peneliti the WAHID Institute ini seperti ditulis Okezone.com (18/11). Penyegelan ini seharusnya melalui mekanisme pengadilan—ia menyebut peristiwa di Duren Sawit sebagai eksekusi. Subhi juga mengkritik sikap pemerintah yang nampak latah dengan mengikuti selera masyarakat yang mayoritas. “Bila adem ayem pemerintah tidak bertindak apa-apa,” tambahnya. Jemaat Ahmadiyah sendiri belum memastikan untuk menempuh jalur hukum atas kasus penyegelan ini. Mereka akan terlebih dahulu bertemu dengan kuasa hukum dari LBH Jakarta untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. [M] 12 Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVIII, November 2011 Analisa dan Rekomendasi Analisa 1. Perusakan terhadap rumah ibadah dan sejenisnya belum berhenti. Setelah Masjid al-Dzikro di Ciebon dan GBIS di Solo, giliran Goa Maria di Tawangmangu. Situs ziarah ini dirusak oleh orang tak bertanggung jawab yang membuat kepala Patung Maria terpenggal dan barang-barang lainnya dirusak bahkan di-hilang-kan. Ulah ini bukan hanya merusak tempat tetapi juga merusak kerukunan yang selama ini terjalin secara harmonis. Menjadi pertanyaan besar tentang motif dan asal pelaku sebab selama ini terjalin kerukunan antara umat Katolik dan umat Muslim di daerah itu berlangsung baik—bahkan situs ziarah ini dijaga dengan baik oleh seorang Muslim. Kejadian ini mungkin memberikan kesan yang sama dengan peristiwa perusakan petilasan Hindu di Desa Pulosari, Sukabumi. Massa yang membakar petilasan, seperti dikemukakan oleh kepala desa setempat, bukanlah warganya. Warga tempat petilasan ini berada tidak mempermasalahkan tempat ini dan pihak desa telah memberikan izin pembangunan vila di mana petilasan berada. Kasus kedua ini menunjukkan bahwa kerukunan justru terancam oleh kekuatan luar yang agresif 2. Kasus aliran JIS (Jamaah Aliran Suci) di Sukabumi, aliran pimpinan Khaeruddin Ahmad di Lombok Timur, aliran ANM (Andi Muhammad Nur) di Bone, AKI (Amanat Keagungan Ilahi) di Klaten Utara semakin memperkuat adanya kongsi aparat dan masyarakat ‘menghadapi’ aliran yang dicap sesat. Pola umum kongsi ini adalah masyarakat menggerebek markas atau tempat ritual dan aparat mengamankan pemimpin aliran beserta pengikutnya. Mereka memang diamakan dari serbuan massa tetapi kemudian dimintai keterangan tentang aliran yang diikutinya. Situasi ini pada akhirnya bukan melindungi korban penyerbuan tetapi justru menuju kepada kriminalisasi keyakinan: jika terbukti menyimpang maka akan dimejahijaukan 3. ‘Penanganan’ aliran sesat di masyarakat juga semakin parah. Jika dulu mulanya ‘difatwa’ sebagai sesat—dengan pemahaman keagamaan aliran sesat sebagai parameternya—dan diminta untuk kembali ke jalan yang benar, kini mereka juga diusir bahkan diminta untuk membuat surat pernyataan penghentian aktivitas. Mereka yang diusir dari desanya adalah aliran Bedatuan Ramingen di. Mereka akan diusir dari Dukun Semokan Desa Sukadana apabila tidak menghentikan aktivitasnya sebagaimana aliran pimpinan Khoiruddin Ahmad yang diminta untuk menghentikan aktivitasnya oleh tokoh agama dan pemerintah setempat. Begitupun dengan AMN, pimpinan aliran AMN, yang diusir oleh sang kepala desa. JIS sendiri disesatkan oleh MUI Sukabumi sekaligus diminta untuk membubarkan diri dan menghentikan aktivitasnya 4. Tempat ibadah masih menjadi problem tersendiri. Hanya saja permasalahan ini kini bukan semata menjadi penderitaan kelompok minoritas, tetapi juga minoritas dalam kelompok. GBI Pekiringan di Cirebon ditolak oleh warga dan diminta pindah oleh pemerintah setempat tanpa mencarikan tempat alternatif. Kini, rumah ibadah milik Ahmadiyah di Duren Sawit juga disegel karena tidak memiliki IMB. Penyegelan ini aneh karena sifatnya yang diskriminatif—tempat ibadah ini sudah digunakan belasan tahun dan kini baru digugat izinnya seiring makin maraknya opini sebagian kelompok untuk melarang aktivitas Ahmadiyah, bahkan membubarkannya 5. Setelah didesak berbagai kalangan, terutama oleh LBH Makassar, panglima FPI dan anak buahnya akhirnya mulai diadili. Pengadilan ini penting untuk memberikan ‘pelajaran’ bahwa tidak ada toleransi terhadap kekerasan oleh suatu kelompok atau seseorang terhadap suatu kelompok atau orang yang lain. Selain itu, pengadilan ini penting untuk menegakkan prinsip bahwa semua orang sama di mata hukum, baik ia bernama Abdurrahman Assagaf yang panglima FPI sebagai pelaku atau Rusdi Kaharudin (pedagang minuman) dan Farid Wajid (pengacara dari LBH Jakarta) yang menjadi korban FPI Rekomendasi 1. Aparat hendaknya melindungi semua warganya, tanpa memandang pilihan keagamaan seseorang, baik dari kelompok arus utama (mainstream) maupun arus pinggiran. Adapun silang sengkarut persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada otoritas keagaamaan setempat. Sebab, perbedaan kehakiman tidak selayaknya dikriminalkan 2. Pengadilan atas panglim FPI dan anak buahnya berjalan dengan adil dan netral. Dalam hal ini, para penegak hukum hendaknya bersikap dan tidak tunduk pada kekuatan massa tertentu sebagaimana pengadilan lain yang melibatkan elemen FPI sebagai terdakwa 3. Masyarakat hendaknya merapatkan barisan agar kerukunan dalam masyarakat tidak terganggu oleh kekuatan luar yang agresif, tidak ramah pada perbedaan, dan memilih otot ketimbang otak dalam menyelesaikan persoalan Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa’ | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari | Staf Redaksi: Alamsyah M. Dja’far, Badrus Samsul Fata | ­Desain & Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Akhol Firdaus (Jawa Timur), Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), A. Mabrur (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantowi (NTB) Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email: [email protected] Website: www.wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation.