BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lingkungan pemasaran semakin kompetitif sehingga mendesak pemasar
untuk selalu mengikuti dinamika lingkungan pemasaran agar dapat bertahan di
pasar. Hal tersebut sejalan dengan konsep pemasaran dari Kotler dan Keller
(2012:40) yang menegaskan bahwa kunci untuk mencapai sasaran organisasi
adalah perusahaan harus menjadi lebih efektif dibandingkan para pesaing dalam
menciptakan, menyerahkan, dan mengkonsumsi nilai pelanggan kepada pasar
sasaran yang terpilih.
Saat ini, perusahaan tidak hanya berorientasi penuh terhadap produk saja
melainkan juga berorientasi pada pelanggan. Perusahaan harus terus melakukan
inovasi sebagai elemen penting dalam keseluruhan penawaran pasar agar dapat
memenuhi perubahan selera dan preferensi pelanggan mengingat pelanggan
merupakan titik awal dari aktifitas pemasaran. Sebagaimana dikatakan oleh
Dharmmesta (2012:7) bahwa perusahaan dikatakan berorientasi pada pelanggan
apabila kulturnya secara sistematis diarahkan pada nilai pelanggan superior
secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, pemasar dituntut untuk lebih jeli melihat
kondisi pasar dan memahami perubahan perilaku konsumen agar perusahaan
dapat bertahan, meningkatkan nilai perusahaan, dan memenangkan persaingan
pasar.
1
Perusahaan dapat mengambil peluang dan menciptakan inovasi tidak
terkecuali untuk produk kopi. Inovasi terbaru dari kategori produk kopi adalah
munculnya merek kopi putih dalam kemasan instan. Merek dalam persaingan
yang semakin kompetitif dan strategis saat ini tidak hanya sekedar nama ataupun
simbol, bahkan tidak hanya sekedar pembeda produk akan tetapi merek juga
dapat meningkatkan preferensi konsumen, membentuk loyalitas pelanggan dan
dapat menjadi keunggulan bersaing bagi perusahaan (Aaker, 1997). Merek lebih
dari sekedar nama dan simbol, karena merek merupakan elemen kunci dalam
hubungan perusahaan dengan konsumen. Merek merepresentasikan persepsi dan
perasaan konsumen tentang produk dan kinerja perusahaan (Kotler dan
Armstrong, 2013: 267). Dengan demikian, merek juga diyakini sebagai salah satu
aset untuk menguasai pasar.
Kopi putih instan pertama kali diperkenalkan oleh PT Javaprima Abadi
Semarang dengan merek Luwak White Koffie. Berdasarkan urutan memasuki
pasar (order of market entry), perusahaan ini dapat disebut sebagai pendatang
awal (early entrants) untuk jenis kopi putih instan sebagaimana definisi PIMS
(Profit Impact of Market Strategies) dalam Golder dan Tellis (1993) yang
menyatakan bahwa pendatang awal adalah salah satu pelopor pertama yang
mengembangkan produk atau jasa.
Kopi putih menggunakan jenis biji kopi yang sama dengan kopi hitam
biasanya dimulai sebagai Robusta atau biji kopi Arabika, yang membedakan
adalah proses dan teknologinya (okefood.com, 2012). Hal serupa juga dijelaskan
dalam blog resmi merek Luwak White Koffie yang menyatakan bahwa kopi putih
2
diproduksi dengan mesin berteknologi cold drying dari Jepang yaitu melalui
proses pembekuan atau pendinginan hingga -40 derajat Celcius yang mampu
menghilangkan asam gastrik penyebab nyeri lambung hingga 80% namun kafein
masih tetap bisa dipertahankan 100% (blog.kopiluwak.org, 2010). Terkait dengan
konsep pemasaran, penulis melihat bahwa perusahaan berusaha memenuhi nilai
konsumen dengan menawarkan kopi yang aman untuk dikonsumsi melalui
inovasi kopi putih dalam kemasan instan.
Munculnya merek kopi putih instan yakni Luwak White Koffie cukup
menyita perhatian pemasar lain yang menyebabkan munculnya beberapa merek
baru dengan kategori produk serupa antara lain Kopiko White Coffee oleh PT.
Mayora Indah; ABC White Coffee dan Kapal Api Grande White Coffee oleh PT.
Santos Jaya Abadi. Hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam bisnis sebab
segala sesuatu yang terkait dengan produk yang populer akan menimbulkan
munculnya pesaing baru dalam produk sejenis. Berdasarkan urutan masuk pasar,
merek pendatang-pendatang baru tersebut disebut sebagai later entrants atau
pendatang kemudian. Sebutan ini sejalan dengan pendapat dari Tjiptono,
Chandra, dan Adriana (2008:402) yang menyatakan bahwa pendatang kemudian
merupakan perusahaan yang masuk ke pasar setelah pendatang awal pasar.
Kondisi tersebut sejalan dengan salah satu artikel SWA yang menyatakan
bahwa tingginya minat orang Indonesia untuk minum kopi ternyata menarik
sejumlah perusahaan untuk menciptakan produk inovatif berbahan dasar kopi
(swa.co.id, 2012). Studi terakhir yang dilakukan Kantar Worldpanel Indonesia
juga menunjukkan bahwa sebagian besar keranjang belanja konsumen di
3
Indonesia pasti berisi mi instan, kopi instan, dan biskuit (metrotvnews.com).
Hasil studi tersebut semakin menguatkan tingginya minat orang Indonesia untuk
mengkonsumsi kopi terutama kopi instan. Jessica Kartika, tim pemasaran dari
Wings Food menyatakan bahwa saat ini kopi merupakan industri global raksasa
dan mampu menempati urutan kedua setelah minyak bumi dengan lebih dari 400
miliar cangkir yang dikonsumsi setiap tahun. Alhasil kopi menjadi minuman
populer di dunia setelah air putih (swa.co.id, 2012).
Semakin ketatnya persaingan di pasar minuman kopi khususnya kopi putih
instan (dalam kemasan), ditunjukkan dengan gencarnya masing-masing
perusahaan untuk menarik perhatian calon konsumen melalui komunikasi
pemasaran di berbagai media. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kapferer
(2004) dalam (Tjiptono et al, 2008:352) yang mengingatkan bahwa merek itu
ibaratnya peta. Dengan kata lain, penciptaan nilai bagi pelanggan bukan sematasemata dihasilkan dari nama merek, melainkan hasil aktifitas pemasaran dan
komunikasi yang dilakukan perusahaan. Komunikasi pemasaran merupakan
sarana yang digunakan perusahaan dalam upaya untuk menginformasikan,
membujuk, dan mengingatkan konsumen, baik langsung maupun tidak langsung
tentang produk dan merek yang mereka jual (Kotler dan Keller, 2012:498).
Ada delapan bentuk komunikasi dari bauran pemasaran antara lain
periklanan; promosi penjualan; acara; humas dan publisitas; pemasaran langsung;
pemasaran interaktif; pemasaran mulut ke mulut; dan penjualan personal (Kotler
dan Keller, 2012: 500). Nielsen mengungkap bahwa secara keseluruhan belanja
iklan nasional untuk produk komersial periode Januari-September 2012 telah
4
mencapai Rp 63,9 Triliun atau naik sekitar 21% jika dibandingkan tahun
sebelumnya (Burhanudin, Darmawan, dan Mahribi, 2013:62). Dengan kata lain,
periklanan masih menjadi salah satu bauran komunikasi pemasaran yang paling
umum digunakan pemasar untuk menginformasikan merek, membangun
kesadaran merek, dan mengarahkan komunikasi persuasif calon konsumen.
Tujuan-tujuan tersebut dimaksudkan untuk tahap-tahap yang berbeda dalam
model respon konsumen terhadap komunikasi pemasaran yakni model hierarchy
of effect, yang dimulai dari tahap kesadaran, pengetahuan, kesukaan, preferensi,
keyakinan, dan pembelian (Kotler dan Keller, 2012: 503). Berikut klasifikasi
tujuan iklan untuk tahapan-tahapan yang berbeda dalam model hierarchy of effect.
a. Iklan informatif dimaksudkan untuk menciptakan kesadaran dan
pengetahuan tentang produk baru atau ciri produk baru yang sudah ada.
Terkadang orang mengingat nama tetapi kurang menyukai iklan.
Kesadaran merek tidak bisa didapatkan dengan mengorbankan sikap
terhadap merek.
b. Iklan persuasif dimaksudkan untuk menciptakan kesukaan, preferensi,
keyakinan, dan pembelian suatu produk atau jasa. Sebagian iklan persuasif
menggunakan
iklan perbandingan (comparative advertising)
yang
melakukan perbandingan eksplisit antara ciri-ciri dua merek atau lebih.
Iklan perbandingan sangat menguntungkan apabila iklan tersebut
serempak menghasilkan motivasi kognitif dan afektif.
c. Iklan pengingat dimaksudkan untuk merangsang pembelian kembali
produk atau jasa.
5
d. Iklan penguatan dimaksudkan untuk meyakinkan pembeli sekarang bahwa
mereka telah melakukan pilihan yang tepat
(Kotler dan Keller, 2012: 526-527).
Pemain pasar kopi putih instan saat ini gencar melakukan periklanan
setidaknya lebih dari sekali di stasiun televisi swasta. Tren penggunaan iklan
sebagai media komunikasi pemasaran di Indonesia terus mengalami peningkatan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Nielsen bahwa periklanan Indonesia naik
21% pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Burhanudin et al,
2013:62). Kondisi tersebut sejalan dengan Keller (2008: 236) yang menyatakan
bahwa televisi merupakan periklanan yang ampuh karena memungkinkan
konsumen untuk dapat melihat gambar, suara, dan gerak serta mencapai spektrum
yang luas.
Terkait dengan persaingan kopi instan di Indonesia, salah satu hal menarik
adalah waktu memasuki pasar (timing entry). Sebagaimana disebutkan dalam
buku-buku pemasaran bahwa urutan memasuki pasar (order of market entry)
merupakan salah satu isu menarik dalam pemasaran strategik. Carpenter dan
Nakamoto (1989) menyatakan bahwa evolusi persaingan pasar dan nasib dari
suatu merek sangat bergantung pada waktu (timing of entry) dan tindakan yang
diambil perusahaan pada saat masuk pasar yang mempengaruhi konsumen untuk
mempelajari suatu produk. Banyak manajer, konsultan, wirausahawan maupun
pakar pemasaran yang meyakini bahwa pendatang awal pasar sangat krusial dan
menentukan kesuksesan sebuah perusahaan atau suatu merek dalam bisnis yang
digeluti.
6
Status sebagai pendatang awal banyak diyakini sebagai senjata pemasaran
yang ampuh untuk memenangkan persaingan sebagaimana banyak disebutkan
dalam penelitian-penelitian terdahulu bahwa dalam berbagai macam pasar, baik
pasar barang konsumen (consumer goods) maupun barang industri (industrial
goods), merek pendatang awal mampu bertahan di tempat tertinggi selama
bertahun-tahun. Hasil penelitian dari Robinson (1988) terhadap sejumlah bisnis
barang industri menyimpulkan bahwa pendatang awal cenderung memiliki pangsa
pasar yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang kemudian sehingga
banyak pendatang awal yang mengembangkan keunggulan kompetitif dan
keuntungan yang berkelanjutan. Dua penelitian sebelumnya terhadap industri
barang konsumen (Urban et al, 1986; Robinson dan Fornell, 1985) dalam
Robinson (1988) juga menunjukkan bukti empiris yang kuat bahwa merek
pendatang awal mendapatkan keuntungan pangsa pasar dalam jangka panjang.
Merek pendatang awal juga memiliki keunggulan dalam hal sikap konsumen
yang dibuktikan dari penelitian Alpert dan Kamins (1995) tentang memori, sikap,
dan preferensi konsumen terhadap merek pendatang awal dan pendatang
kemudian, secara umum menunjukkan bahwa konsumen mempunyai sikap yang
lebih baik terhadap merek pendatang awal dibandingkan merek pendatang
kemudian. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, hasil temuan penelitian
Wardayanti (2006) juga menunjukkan bahwa konsumen memiliki sikap yang
lebih baik terhadap merek pendatang awal daripada merek pendatang kemudian.
Kendati demikian, tidak sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa temuan
penelitian semacam itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam banyak kasus justru
7
pendatang kemudian lebih sukses dan bahkan berhasil mendepak posisi pendatang
awal pasar (Tjiptono et al, 2008:398). Hasil penelitian Golder dan Tellis (1995)
menunjukkan bahwa pangsa pasar rata-rata dari pendatang awal hanya 10%, jauh
lebih rendah dari data PIMS (Profit Impact of Market Strategies) yang
menunjukkan 30%; sejumlah 47% pendatang awal gagal, tidak sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tak satupun pendatang awal
gagal; dan hanya 11% dari pendatang awal yang menjadi pemimpin pasar, kontras
dengan data PIMS yang mengindikasikan bahwa hampir seluruh pendatang awal
menjadi pemimpin pasar. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian
dari Shankar, Carpenter, dan Krishnamurthi (1998) terhadap produk farmasi yang
menunjukkan bahwa pendatang kemudian yang lebih inovatif menghasilkan
beberapa merek yang lebih sukses dengan penjualan yang lebih besar dan
membuat keuntungan yang berkelanjutan melalui potensi pasar dan tingkat
pembelian ulang yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang awal.
Hasil-hasil
penelitian
tersebut
mengungkapkan
adanya
kesenjangan
keberhasilan antara pendatang awal dan pendatang kemudian. Akan tetapi jarang
sekali penulis melihat penelitian untuk menganalisis respon konsumen terhadap
merek pendatang awal dan pendatang kemudian menggunakan model respon
konsumen. Salah satu model respon konsumen adalah model hierarchy of effect
yang dimulai dari tahap kesadaran, pengetahuan, kesukaan, preferensi, keyakinan,
dan pembelian (Kotler dan Keller, 2012: 503). Penting bagi perusahaan selaku
pemasar untuk mengetahui di mana respon konsumen berada dalam tahapan
respon.
8
1.2 Rumusan Masalah
Munculnya beberapa pemain baru merek kopi putih menjadi persaingan
tersendiri terutama bagi merek Luwak White Koffie sebagai pendatang awal
untuk produsen kopi putih. Sebagaimana kesenjangan yang telah penulis
kemukakan dalam latar belakang, penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi
perbedaan respon konsumen merek pendatang awal yakni Luwak White Koffie
dan pendatang kemudian (Kopiko White Coffee, ABC White Coffee, dan Kapal
Api Grande White Coffee). Penulis menggunakan salah satu model respon
konsumen yakni model Hierarchy of Effect oleh Lavidge dan Steiner (1961) yang
dimulai dari tahap paling rendah yakni kesadaran merek, dilanjutkan dengan tahap
pengetahuan, kesukaan, preferensi, keyakinan dan pembelian. Ketertarikan
penulis pada permasalahan ini tidak terlepas dari fenomena semakin banyaknya
merek kopi putih yang bermunculan di Indonesia.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis
kemukakan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
Apakah terdapat perbedaan respon konsumen terhadap merek kopi putih
pendatang awal yakni Luwak White Koffie dan pendatang kemudian (Kopiko
White Coffee, ABC White Coffee, dan Kapal Api Grande White Coffee)
berdasarkan model hierarchy of effect?
9
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan respon konsumen
terhadap merek kopi putih pendatang awal yakni Luwak White Koffie dan
pendatang kemudian (Kopiko White Coffee, ABC White Coffee, dan Kapal Api
Grande White Coffee) berdasarkan model hierarchy of effect.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan, yakni:
a. Menjadi masukan bagi perusahaan-perusahaan kopi putih dalam
mengidentifikasi respon konsumen berdasarkan model hierarchy of effect,
sehingga dapat membantu perusahaan untuk mengetahui di mana respon
konsumen berada dalam tingkatan hirarki berdasarkan model hierarchy of
effect dan membantu perusahaan untuk menentukan tujuan komunikasi
pemasaran tertentu untuk meningkatkan respon pada setiap tahapan.
b. Menjadi masukan bagi perusahaan-perusahaan kopi putih dalam
menentukan strategi masuk pasar ketika memperkenalkan produk baru.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup penelitian yang dibuat oleh penulis agar penelitian
lebih terfokus dan tidak keluar dari masalah yang hendak diteliti yakni:
a. Penelitian ini fokus pada identifikasi perbedaan respon konsumen untuk
merek kopi putih pendatang awal yakni Luwak White Koffie dan
pendatang kemudian (Kopiko White Coffee, ABC White Coffee, dan
Kapal Api Grande White Coffee).
10
b. Objek penelitian ini fokus pada merek kopi putih instan (dalam kemasan)
yakni merek Luwak White Koffie, Kopiko White Coffee, ABC White
Coffee, dan Kapal Api Grande White Coffee.
c. Model tahapan respon konsumen yang digunakan sebagai acuan analisis
respon konsumen adalah model hierarchy of effect oleh Lavidge dan
Steiner (1961), yang terdiri dari tahap kesadaran, pengetahuan, kesukaan,
preferensi, keyakinan, dan pembelian.
d. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum
mengenai isi penelitian ini agar jelas dan terstruktur. Adapun susunan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup masalah, dan
sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang terdiri atas merek, pendatang awal dan
pendatang kemudian, komunikasi pemasaran, respon konsumen, serta
landasan teori yang mendasari penulisan ini yakni model hierarchy of effect.
11
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi desain atau rancangan penulisan, definisi operasional, populasi
dan sampel, instrumen penulisan, metode pengumpulan data, serta metode
analisis data.
BAB IV PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan mengenai deskripsi data dan pembahasan identifikasi
perbandingan respon konsumen dengan menggunakan alat analisis yang telah
diutarakan dalam metode penelitian.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini berisi simpulan penelitian, keterbatasan, implikasi, dan saransaran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian.
12
Download