BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis keuangan tahun 1997 yang melanda Indonesia telah menghancurkan perekonomian Indonesia yang salah satunya adalah industri perbankan yang mengakibatkan penurunan kinerja perbankan yang terparah dalam sejarah perbankan Indonesia. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah menjalankan kebijakan reformasi perbankan pada Maret 1999 dengan melakukan penutupan bank, pengambilalihan 7 bank, rekapitulasi 9 bank, dan menginstruksikan 73 bank untuk mempertahankan operasinya tanpa melakukan rekapitulasi sehingga pada tahun 2001 jumlah bank yang tersisa sebanyak 151 bank (Dewayanto, 2010). Setelah dilakukan reformasi dan melewati krisis global 2008, perbankan Indonesia menunjukkan perbaikan kinerja. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia (2010), selama tahun 2009, pertumbuhan aset perbankan mencapai Rp 223 T atau bertumbuh hampir sebesar 10%, yang didorong oleh pertumbuhan kredit yang mencapai 10% atau sebesar Rp 130 T. Namun pertumbuhan kredit tersebut belum menunjukkan fungsi intermediasi perbankan meningkat secara optimal. Rendahnya pertumbuhan kredit di satu sisi disebabkan persepsi perbankan terhadap tingginya risiko sektor riil yang masih terimbas krisis keuangan global, aktivitas ekonomi yang melambat serta tingginya suku bunga yang terjadi pada saat krisis itu. Loan to Deposit Ratio (LDR) yang merupakan salah satu indikator intermediasi perbankan, pada 2009 menunjukkan 1 peningkatan rasio yang melambat setelah pada tiga tahun sebelumnya menunjukkan peningkatan yang relatif baik. LDR sepanjang 2005-2008 terus mengalami peningkatan, namun pada 2009 LDR mengalami penurunan dari 74,6% pada 2008 menjadi 72,9% pada 2009. Namun demikian LDR pada Mei 2010 mengalami peningkatan secara signifikan menjadi 84,63%. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan mengalami peningkatan sehingga fungsi perbankan dalam pembangunan sektor riil mengalami peningkatan. Sedangkan untuk rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio= CAR) perbankan secara umum juga menunjukkan perbaikan yang mencapai 33,15% pada Mei 2010. Pengukuran kinerja bank bila dilihat dari kemampuan laba (profitabilitas) yang diindikasikan oleh ROA terlihat bahwa sejak 2005 2010 menunjukkan perkembangan yang relatif stabil, sementara pada periode terjadinya krisis global 2008 mengalami pencapaian ROA yang terendah yaitu 2,33% dengan pencapaian tertinggi pada tahun 2010 yang mencapai 2,98 %. Kondisi aplikasi corporate governance di era sebelum krisis ekonomi berlangsung adalah buruk. Hal ini juga dapat diukur dari keberadaan elemenelemen utamanya yang sekurang-kurangnya terdiri dari: ketersediaan pedoman resmi (national code) praktik good corporate governance, eksistensi komisaris independen (independent directors) dan eksistensi komite audit dalam perusahaan di sejumlah negara Asia (termasuk Indonesia) (Maksum, 2005). Hal ini menimbulkan kesadaran akan pentingnya governance dengan didirikannya Komite pelaksanaan good corporate Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG atau NCCG) pada tahun 1999. Namun baru pada tahun 2 2001 dapat tersusunnya sebuah pedoman good corporate governance (Indonesian Code) oleh NCCG bersama para pelaku bisnis. Selain di lingkungan birokrat, di swasta pun juga muncul berbagai inisiatif untuk membantu upaya sosialiasi corporate governance. Hal ini ditandai dengan terbentuknya beberapa organisasi nonpemerintah (NGO), seperti Forum for Corporate Governance for Indonesia (FCGI), The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), Corporate Leadership Development in Indonesia (CLDI), Indonesian Institute of Independent Commissioners (IIIC) dan Kadin (CG task force). Selain buruknya kondisi praktik corporate governance yang jelas memberikan kontribusi terbesar bagi berlarut-larutnya krisis ekonomi tahun 1997, berbagai kondisi dan faktor lainnya juga ikut memberikan kontribusi yang cukup berarti. Faktor-faktor tersebut antara lain: bank-bank yang dibebani dengan utang luar negeri yang tidak di-hedge dalam jumlah yang cukup besar, pengalokasian kredit oleh bank-bank kepada perusahaan-perusahaan yang hanya memberikan perhatian yang kecil kepada penyelesaian utang di masa depan, tingkat keberlabaan usaha yang rendah, dan sebagainya. Setelah melakukan reformasi perbankan, pemerintah juga mengeluarkan peraturan bagi bank umum berupa Peraturan Perbankan Indonesia (PBI) Nomor 8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 Januari 2006. Paket kebijakan perbankan tersebut yang lebih dikenal dengan istilah Pakjan 2006, yang isinya mengenai peraturan baru tentang pelaksanaan good corporate governance yang kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/ PBI/2006. Penerapan good corporate governance ini dinilai dapat memperbaiki citra perbankan yang sempat 3 buruk, melindungi kepentingan stakeholders serta meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan etika-etika umum pada industri perbankan dalam rangka mencitrakan sistem perbankan yang sehat. Selain itu, penerapan good corporate governance di dalam perbankan diharapkan dapat berpengaruh terhadap kinerja perbankan, dikarenakan penerapan corporate governance dapat meningkatkan kinerja keuangan, dan mengurangi risiko akibat tindakan pengelolaan yang cenderung menguntungkan diri sendiri. Corporate governance juga membantu menciptakan lingkungan kondusif demi terciptanya pertumbuhan yang efisien dan sustainable di sektor korporat. Corporate governance dapat didefinisikan sebagai susunan aturan yang menentukan hubungan antara pemegang saham, kreditor, pemerintah, organisasional, dan stakeholder internal dan eksternal yang lain sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya (FCGI, 2003) yang dapat meminimalisir potensi terjadinya fraud. Dampak dari krisis moneter pada tahun 1997 terhadap industri perbankan Indonesia adalah adanya pemindahan kepemilikan bank oleh pihak asing. Hal ini dikarenakan banyak bank yang tidak sehat yang memerlukan penambahan modal yang dananya dari asing. Penurunan harga saham di sektor perbankan juga menambah minat pihak asing untuk mengambil alih kepemilikan sahamnya, sehingga dominasi pihak asing di perbankan Indonesia sangat tampak jelas. Menurut Daeng (2013), faktanya sudah 10 bank swasta nasional dikuasai bank raksasa asing. Misalnya, Bank UOB Buana, sahamnya sebanyak 98.9% dikuasai United Overseas Bank Singapura. Lalu Bank Ekonomi yang 98,94% 4 sahamnya dikuasai HSBC. CIMB Niaga 97,90% sahamnya dikuasai CIMB Group Malaysia. Bank lainnya seperti BII, 97,50% sahamnya dikuasai Maybank Malaysia, OCBC NISP, sahamnya 85,6% dikuasai Bank OCBC. Bank Swadesi yang 76% sahamnya dikuasai Bank Of India, Hana Bank 75,10% dikuasai Korea, Bank QNB Kesawan 69,9% sahamnya dikuasai QNB Timur Tengah dan Permata Bank, 44,50% sahamnya dikuasai Standart Chartered. Sementara data return saham setelah akuisisi oleh asing menunjukkan kecenderungan penurunan return saham. Bank Ekonomi return sahamnya mengalami penurunan dari 68,6% menjadi 21,3%, Bank Swadesi dari 40% menjadi 28,6%, dan Bank Kesawan dari 40,5% menjadi -31,7%. Kehadiran bank-bank asing menimbulkan sejumlah kerawanan dan potensi dampak negatif yang harus diwaspadai. Salah satunya adalah terdapat kecenderungan bank-bank swasta milik asing kian gencar berebut lahan kredit konsumer. Sementara, penyaluran kredit pada sektor infrastruktur dan sektor produktif lainnya yang sangat dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional kurang diminati. Dengan kondisi itu, maka beban pembiayaan infrastruktur masih bertumpu pada bank-bank milik negara yang memiliki keterbatasan modal. Selain peningkatan kinerja perbankan dengan pelaksanaan good corporate governance juga dilakukan dengan penggabungan maupun penambahan modal. Dengan penggabungan bank maupun penambahan modal akan menambah ukuran perusahaan. Pada perusahaan besar dengan total aktiva yang besar akan lebih berani untuk menggunakan modal dari pinjaman (debt financing) dalam membelanjai seluruh aktiva, baik aktiva tetap maupun aktiva lancar, yang 5 digunakan untuk perluasan usaha, dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil ukurannya. Pada perusahaan besar juga cenderung bertindak hati-hati dalam melakukan pengelolaan perusahaan dan cenderung melakukan pengelolaan laba secara efisien. Penggabungan bank, baik melalui merger maupun akuisisi, diharapkan dapat meningkatkan skala ekonomi, efisiensi dan mengurangi tingkat persaingan bank. Persaingan antar bank yang semakin ketat dalam melayani nasabah maupun dalam penyaluran kredit memerlukan efisiensi dalam operasional bank. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam penulisan tesis ini mengambil judul: Pengaruh Penerapan Corporate Governance, Struktur Kepemilikan dan Efisiensi Bank terhadap Kinerja Bank di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah penerapan corporate governance yang diproksikan dengan proporsi komisaris independen dan komite audit berpengaruh signifikan terhadap kinerja perbankan di Indonesia? 2. Apakah struktur kepemilikan yang diproksikan dengan kepemilikan asing dan institusional berpengaruh signifikan terhadap kinerja perbankan di Indonesia? 3. Apakah efisiensi bank yang diproksikan dengan rasio BOPO berpengaruh signifikan terhadap kinerja perbankan di Indonesia? 6 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh penerapan corporate governance yang diproksikan dengan proporsi komisaris independen dan komite audit terhadap kinerja perbankan di Indonesia. 2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh struktur kepemilikan yang diproksikan dengan kepemilikan asing dan institusional terhadap kinerja perbankan di Indonesia. 3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh efisiensi bank terhadap kinerja perbankan di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Perbankan di Indonesia, dapat menjadi masukan dalam rangka meningkatkan kinerjanya, khususnya yang terkait dengan faktor corporate governance, struktur kepemilikan dan efisiensi bank. 2. Bagi investor, dapat memberikan masukan dan tambahan informasi untuk pengambilan keputusan dalam investasi yang akan ditanamkan dalam industri perbankan. 3. Bagi pemerintah dan Bank Indonesia, dapat memberikan informasi dan masukan yang berguna dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut perbaikan kinerja perbankan di Indonesia. 7 4. Bagi peneliti, dapat menjadi referensi bagi yang berminat mengkaji masalah kinerja perbankan, khususnya dalam kaitannya dengan faktor corporate governance, struktur kepemilikan dan efisiensi bank. 8