Pokok Bahasan VI. KULTUR MIKROSPORA Pendahuluan Pada

advertisement
Pokok Bahasan VI.
KULTUR MIKROSPORA
Pendahuluan
Pada perkembangan normal gametofit tanaman berbunga, mikrospora
telah diprogram untuk berdiferensiasi menjadi pollen dan menghasilkan 2 sel
sperma. Dibawah kondisi yang khusus perkembangan gametofit ini dapat
dihambat dan dibelokkan kearah perkembangan sporofitik untuk menghasilkan
tanaman haploid melalui jalur embryogenesis. Jalur perkembangan alternatip ini,
yang menghasilkan embryo dan plantlet dengan jumlah kromosom haploid,
disebut androgenesis atau mikrospora embryogenesis. Mekanisme yang ikut
berperan dalain pembelokan program gametofitik kearah perkembangan
sporofitik telah menarik perhatian banyak peneliti. Embriogenesis mikrospora
dapat dilakukan dengan membuat kultur anther atau dengan cara mengisolasi
mikrospora dari anther dan mengkulturkannya secara in vitro.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
prinsip dasar teknik kultur mikrospora dan faktor-faktor yang mempengaruhi
embryogenesis mikrospora.
Subpokok bahasan 1:
EMBRIOGENESIS MIKROSPORA
Pendahuluan
Sejarah penelitian pada transformasi dari pollen menjadi embryoid dimulai
dengan suatu penemuan yang tidak disengaja oleh Guha dan Maheshwari
(1964). Peneliti ini mendapatkan bahwa jika anther dari Datura innoxia pada
stadium pollen dikulturkan pada medium yang mengandung garam-garam
mineral, casein hydrolysat, IAA dan kinetin dan diberi suplement air kelapa,
ekstrak anggur atau ekstrak plum. Setelah dikulturkan selama kira-kira enam
sampai tujuh minggu struktur seperti embryo akan muncul dari bagian anther.
Pengamatan lebih lanjut membuktikan bahwa embryo tersebut berasal dari
pollen, oleh karena itu bersifat haploid.
Materi Subpokok Bahasan 1
Salah
satu
masalah
pada
kultur
anther
dalam
menginduksi
perkembangan mikrospora yang embryogenik adalah, mikrospora berada
didalam locule yang tertutup oleh dinding anther selama periode yang kritis ketika
inisial pembelahan pada jalur embryogenik terjadi. Hal ini menyulitkan analisis
mengenai pengaruh dinding anther dan tapetum pada pembelahan embryogenik
mikrospora dibandingkan dengan effek yang lebih jelas dari komponen medium
kultur. Dinding anther jelas berperan sebagai penghalang aliran nutrisi dari
medium kultur ke mikrospora. Dinding anther juga mengeluarkan substansisubstansi (yang belum diketahui dengan jelas) yang bersifat memacu maupun
menghambat pollen embryogenesis (Heberle-Bors, 1989). Kultur mikrospora
dapat digunakan sebagai altematif untuk memproduksi tanaman dobel haploid
jika kultur anther gagal dikerjakan. Pada Brassica napus tanaman dobel haploid
tidak bisa diproduksi dengan kultur anther, jadi harus dikerjakan dengan kultur
mikrospora (Takahata dan Keller, 1991). Untuk analisis perkembangan sporofitik
pada pollen, dengan tidak adanya pengaruh dari jaringan somatik anther, kultur
mikrospora mempunyai kelebihan dibandingkan dengaii kultur anther. Secara
umum kelebihan kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur anther adalah:
1. Ketergantungan pada genotip dapat ditiadakan.
2. Kompetisi diantara mikrospora yang disebabkan karena keterbatasan
ruang dan nutrisi didalam anther (locule) dapat ditiadakan, semua
mikrospora mendapat akses yang sama terhadap nutrien yang tersedia.
3. Semua kemungkinan kontaminasi oleh jaringan somatik, sel-sel diploid
dari anther, dapat ditiadakan, oleh karena itu semua faktor in vitro dapat
langsung mempengaruhi mikrospora.
4. Perkembangan mikrospora dapat diamati secara langsung, ini penting
untuk mengetahui proses induksi dari mikrospora yang embryogenik
sampai permulaan dari pembelahan sel dan perkembangan embryo
selanjutnya.
5. Mikrospora dapat dikulturkan sebagai organisme sel tunggal, oleh karena
itu dapat diaplikasikan dengan teknik mikrobiologi.
6. Karena kultur mikrospora merupakan sistim sel tunggal, seleksi pada
tingkat sel lebih mudah dikerjakan selanjutnya memberikan prospek baru
pada manipulasi genetik (misalnya, mutagenesis, transformasi dsb).
7. Teknik kultur mikrospora memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri
dibandingkan kultur anther pada transformasi DNA dan seleksi in vitro
dari transforman.
8. Mikrospora dapat berkembang langsung menjadi embryo dan plantlet,
oleh karena itu mikrospora embryogenesis menjadi model yang bagus
sekali untuk memahami proses fisiologi dan biokimia pada androgenesis.
Jalur pembelahan sporofitik
Asal dari embryoid pada mikrospora embryogenesis telah diuraikan pada
berbagai varietas tanaman dengan menggunakan mikroskop elektron dan
cahaya. Tiga jalur utama ontogenik dari mikrospora embryogenesis (gambar 6.1)
telah diuraikan oleh Sunderland dkk (1979), pembelahan embryogenik pertama
dapat simmetrik atau asimmetrik.
Gambar 6.1. Tiga jalur utama ontogenik dari mikrospora embryogenesis
Pada mikrospora yang membelah secara asimmetris, disebut sebagai A
pathway menghasilkan struktur yang tampak seperti type pollen pada umumnya,
terdiri dari sel generativ yang lebih kecil didalam sel vegetativ yang lebih besar.
Pada tanaman seperti Nicoticma tabaccum, Datura, Zea mays dan gandurn sel
vegetativ membelah menghasilkan prekursor embryogenik sedangkan sel
generative mengalami degenerasi. Variasi dari A pathway ini terdapat pada
Hyocyamus niger, sel generative, ketika masih melekat pada dinding pollen
sebelah dalam (intine), membelah secara berulang-ulang dan menghasilkan
proembryo. Hal ini menunjukkan bahwa sel generativ juga mampu membelah
secara independen untuk mengliasilkan embryoid atau sel induk kalus. Fusi
antara inti sel generative dengan inti sel vegetativ , menghasilkan prekursor
embryo non-haploid, disebut C pathway. Mikrospora yang membelah simmetris
disebut B pathway, menghasilkan suatu struktur dengan dua sel atau nuklei
yang sepadan. Meskipun kedua nuklei/sel yang dihasilkan tampak sangat mirip
dan sepadan, pengamatan secara sitologis dan fisiologis menunjukan bahwa
pollen multiselular dihasilkan oleh pembelahan inti sel yang tampak mirip dengan
inti sel vegetativ dari hasil pembelahan asimmetris pada pollen.
Albinisme
Albinisme (defisiensi khlorofil) adalah phenomena yang umum dijumpai
diantara plantlet yang dihasilkan pada kultur anther dan mikrospora, terutama
pada tanaman serealia. Albinisme merupakan salah satu faktor penghambat
utama penggunaan teknik kultur mikrospora pada program pemuliaan tanaman
serealia. Beberapa faktor yang mempengaruhi derajat albinisme antara lain
genotip dan kondisi fisiologis anther dari tanaman donor, stadium perkembangan
mikrospora, cold pretreatment dan temperatur selama inkubasi dari kultur.
Penelitian pada barley menunjukkan bahwa plantlet yang berasal dari kultur
anther bervariasi dapat hijau, putih, atau kuning. Perkembangan kliloroplast
dihambat pada berbagai stadia. Khloroplast pada sel-sel mesofil dari plantlet
yang berwarna hijau berkembang secara normal sedangkan pada mesofil sel dari
tanaman yang berwarna kuning, khloroplast mempunyai tylakoid yang kurang
berkembang. Plastid pada plantlet albino mempunyai sedikit struktur internal.
Pengaraatan secara biokimiawi menunjukkan baliwa plantlet albino pada padi
kehilangan produk utama gen plastid seperti 23S dan 16 S rRNA (Sun et al.,
1979). Berbagai usaha telah dilakukan untiik meneliti plantlet albino produk dari
kultur anther dan mikrospora pada tingkatan molekuler. Sebagian terbesar
penelitian difokuskan pada struktur dari plastid genom. Hasil study menunjukan
adanya bentuk-bentuk delesi yang ekstensif dari plastid genom pada plantlet
albino dari pollen gandum dan barley (Day dan Ellis, 1984). Hal serupa juga
dilaporkan terjadi pada padi, plantlet albino yang berasal dari kultur mikrospora
mengandung delesi pada skala yang sangat besar dari plastid genom sirkuler
(Harada et al., 1991). Permasalahan mendasar apakah delesi merupakan hasil
dari perkembangan pollen in vivo atau kalus atau embryo yang berkembang
secara in vitro belum dapat dipecahkan, penelitian mengenai hal ini telah dan
sedang dilakukan oleh grup riset yang dipimpin oleh Heberle-Bors di Vienna
Biocenter-Austria.
Tingkatan ploidy plantlet yang berasal dari kultur mikrospora
Plantlet yang berasal dari mikrospora tidak selalu mempunyai jumlah
kromosom haploid. Diploid, triploid dan tetraploid sering kali dijumpai dengan
frekuensi yang sangat bervariasi. Variasi genetik yang ada diantara tanaman
regenerasi yang berasal dari sel-sel garnet yang dikulturkan secara in vitro
dikenal sebagai variasi gametoklonal (Morrison dan Evans, 1988). Pada Datura
innoxia, proporsi dari plantlet non-haploid yang berasal dari kultur anther sangat
bervariasi, tergantung dari umur anther pada saat dikulturkan. Tanaman haploid
terutama diperoleh dari anther yang mengandung pollen pada stadium awal
(early stage), produksi tanaman haploid menjadi berkurang seiring dengan
peningkatan jumlah plantlet non-haploid dengan tingkatan ploidy yang lebih tinggi
pada anther yang mengandung pollen pada stadium akhir (later stage).
Frekuensi plantlet non-haploid pada kultur anther dan mikrospora sangat
bervariasi pada jenis tanaman yang berbeda. Pada kultur anther gandum dari
beberapa genotip, plantlet yang dobel haploid bervariasi antva 20 sampai kirakira 51% (Indrianto et al., 1999). Sedangkan pada barley plantlet yang spontan
dobel haploid mencapai 87% dan pada padi mencapai 72%. Pada jagung
frekuensi plantlet yang spontan dobel haploid sangat rendah. Nitsch et al.(1986)
pada penelitiannya masing-masing mendapatkan hanya 6.3% dan 4.5% saja
yang spontan dobel haploid diantara populasi plantlet pada kultur anther jagung.
Bukti-bukti dari analisis sitologi dan ultrastruktur menunjukan bahwa timbulnya
embryoid dan plantlet non-haploid adalah dari fusi inti sel (Indrianto, et al., 1999).
Fusi dapat terjadi antara dua inti sel yang secara morfologis serupa atau antara
inti generativ dan vegetativ setelah mikrospora menyelesaikan pembelalian
mitosis yang pertama. Fusi antara inti sel generativ dan vegetativ telah diamati
pada kultur mikrospora barley, wheat dan tembakau hal ini menunjukan bahwa
peningkatan jumlah ploidy pada plantlet terjadi pada awal dari kultur.
Kemungkinan lain timbulnya plantlet non-haploid adalah endomitosis hal
ini diperlihatkan dengan morfologi dan kenampakan dari kromosom pada waktu
mikrospora membelah. Duplikasi kromosom terjadi secara normal, tetapi
pergerakan kromosom terhambat karena kegagalan dalam mensintesis dan
menyusun kembali aparatus mitosis, akibatnya jumlah kromosom menjadi dua
kali lipat. Plantlet non-haploid juga dapat terjadi karena adanya endoreduplikasi,
endoreduplikasi melibatkan satu atau beberapa kali sintesis DNA tanpa
pembelahan kromosom dan sel dan menyebabkan terjadinya polyploidy. Namun
demikian bukti langsung mengenai kejadian-kejadian tersebut diatas belum dapat
dikonfirmasikan
dan
kontrol
dari
endocycle
pada
tanaman
belum
diketahuidengan jelas.
Agensia pengganda kromosom yang umum dipergunakan adalah
colchicine. Colchicine mengganggu mitosis dengan mengikat pada tubulin protein
subunit dari mikrotubul, oleh karena itu menghambat pembentukan mikrotubul
dan migrasi polar dari kromosom sebagai hasilnya adalah jumlah kromosom
menjadi dua kali lipat didalam sel. Pada umumnya perlakuan colchicine dilakukan
dengan mencelupkan seluruh tanaman selama beberapa jam didalam larutan
encer colchicine. Perlakuan colchicine pada tanaman agak rumit dan tingkat
mortalitasnya tinggi karena efek toksik dari agensia tersebut. Pada kultur anther
gandum colchicine ditambahJkan langsung pada medium kultur pada konsentrasi
sekitar 0.2 g/l. Setelah 24 jam anther kemudian ditransfer pada medium bebas
colchicine, hasilnya frekuensi tanaman yang fertil mencapai 70%. Penggandaan
kromosom dengan colchicine pada mikrospora sebelum mitosis yang pertama
tampaknya
lebih
effisien
dibandingkan
dengan
teknik konvensional yang
biasa digunakan.
Dibandingkan dengan colchicine, beberapa herbisida antimikrotubul
mengikat secara lebih spesifik pada tubulin tanaman. Empat herbisida
antimikrotubul yaitu amiprophosmethyl, pronamide, oryzalin dan triflurolin telah
dievaluasi melalui study yang mendalam tentang kemampuannya untuk
menginduksi penggandaan kromosom pada kalus haploid dari anther jagung,
tetapi hanya amiprosphomethyl dan pronamide yang secara efektif mampu
menginduksi penggandaan kromosom. Herbisida ini mempunyai effek yang mirip
dengan colchicine tetapi hanya memedukan konsentrasi yang sangat kecil.
Sebagai altematif selain perlakuan konvensional dengan colchicine, gas nitrous
oxide (N2O) juga telah dicobakan. Plantlet dari anther gandum diinkubasi didalam
lingkungan dengan gas N2O. Metoda ini telah terbukti sama effisienya dengan
colchicine tetapi tidak toksik.
Aplikasi embryogenesis mikrospora
Aplikasi embryogenesis mikrospora telah tercatat pada lebih dari 170
spesies Angiospermae yang tersebar pada 68 genera dan 28 familia. Asal embyo
adalah dari singgel sel haploid, ini berarti embryo yang muncul adalah haploid.
Penggandaan kromosom, yang dapat terjadi secara spontan atau dengan
agensia pengganda menyebabkan tanaman menjadi homozygot. Embryo haploid
dan dobel haploid yang dihasilkan dalam jumlah besar, mempunyai nilai yang
sangat berharga bagi pemulia tanaman. Pada beberapa tanaman sereal,
penggandaan kromosom terjadi secara spontan, sehingga dapat langsung
digunakan pada program pemuliaan tanaman. Varietas-varietas komersial telah
diproduksi pada pemuliaan dengan menggunakan tanaman dobel haploid,
misalnya gandum varietas "Florin" di Perancis (Henry dan De Buyser, 1990).
Keunggulan utama dari tanaman dobel haploid tampak pada cepatnya
homozygosity diperoleh yang menunjukan sampel acak dari rekombinasi gamet
secara meiosis dan ekspresi dari gen-gen resesif. Untuk pengembangan varietas
pada kebanyakan tanaman, tahapan kritis adalah penetapan galur murni.
Tanaman homozygot yang stabil adalah galur murni, tanaman seperti itu
digunakan sebagai varietas akhir atau sebagai induk untuk memproduksi biji
hibrida. Secara tradisional, para pemulia mendapat tanaman homozygot dengan
cara "self-fertilization" atau "back cross", proses yang memakan banyak waktu
(Morrison dan Evans, 1988). Effisiensi seleksi juga dapat ditingkatkan dengan
produksi tanaman haploid, karena fenotip dari tanaman tidak tertutupi oleh efek
dominan, sifat resesif dan dominan sama-sama terekspresi dan karenanya lebih
mudah diseleksi.
Untuk penelitian dasar, embryogenesis mikrospora memungkinkan study
mekanisme biologis pada tingkatan seluler dan molekuler berkaitan dengan
induksi embryogenesis atau totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan dari
setiap sel tanaman untuk berkembang menjadi tanaman lengkap. Faktor kunci
yang umum untuk induksi embryogenesis mikrospora adalah stress. Tanpa
stress mikrospora berkembang menjadi pollen normal yang masak. Mikrospora
yang diberi perlakuan stres akan berkembang menjadi embryo (Heberle-Bors,
1999). Kultur mikrospora memungkinkan suplai sel-sel embryogenik dan embyo
dalam jumlah yang tak terbatas, oleh karena itu memungkinkan dilakukannya
penelitian mengenai proses-proses perkembangan yang relevan dengan
embryogenesis zygotik. Hal yang tidak mungkin atau secara teknis sangat sulit
untuk mendapatkan cukup bahan dari embryo zygotik, karena sulitnya
mengambil embryo zygotik didalam nucelus yang terbenam cukup dalam di
dalam jaringan induknya.
Mikrospora adalah singgel haploid sel, totipoten dan tersedia dalam
jumlah yang hampir tak terbatas, sehingga merupakan target ideal untuk
percobaan-percobaan manipulasi genetik seperti transformasi. Ada dua metode
yang berbeda untuk transformasi via mikrospora. Yang pertama, male germ line
transformation (MAGELITR) adalah dengan memanfaatkan kemampuanya untuk
berkembang menjadi pollen yang normal pada kultur in vitro (Heberle-Bors, 1991,
Touraev et al, 1997). Mikrospora diisolasi dan DNA ditransfer, mikrospora yang
sudah ditransfer dengan DNA dimasakkan in vitro dan pollen masak yang
dihasilkan digunakan untuk polinasi in vivo. Metoda ini mempunyai banyak
keunggulan : tidak perlu dilakukan kultur sel yang berkepanjangan karena biji
transgenik langsung diperoleh dari tanaman. Karena tanaman langsung
dihasilkan dari biji, vigor dan vertilitasnya dapat dijamin dibandingkan tanaman
transgenik yang dihasilkan melalui regenerasi in vitro. Resiko terjadinya variasi
dan transformasi chimeric juga dapat diminimalkan. Teknik ini dapat diaplikasikan
pada semua tanaman jika pemasakan in vitro mikrospora sudah berhasil dicapai.
Metode
yang
kedua,
transformasi
pada
mikrospora
yang
embryogenik
selanjutnya, setelah mengalami diploidisasi, tanaman transgenik homozygot
dapat diperoleh dalam satu tahap saja, oleh karena itu dapat menghemat waktu
pada program pemuliaan (Stoger et al, 1995).
Ada beberapa strategi yang dirancang untuk mentransfer gen kedalam
mikrospora atau pollen. Transformasi dengan menginkubasi pollen didalam
larutan DNA dan co-cultivasi dengan suspensi Agrobacterium (Hess, 1987),
mikroinjeksi (Neuhaus et al, 1987) dan elektroporasi (Saunders et al, 1991)
merupakan teknik yang menjanjikan untuk transformasi pollen. Partikel
bombardment terbukti merupakan metoda paling handal untuk mengirimkan DNA
kedalam mikrospora (Sto'ger et al, 1992).
Lutihan soal-soal 1
1. Sebutkan keunggulan kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur
anther!
2. Jelaskan apa penyebab terjadinya
albinisme pada plantlet hasil
kultur mikrospora!
3. Jelaskan dari mana asal terbentuknya embrio/plantlet pada kultur
mikrospora!
4. Jelaskan mengapa plantlet hasil kultur mikrospora tidak selalu haploid!
5. Jelaskan aplikasi praktis dari kultur mikrospora!
Petunjuk jawaban latihan soal-soal
1. Ingat kultur anther versus kultur mikrospora
2. Ingat albinisme pada plantlet hasil kultur mikrospora
3. Ingat jalur perkembangan sporofitik
4. Ingat tingkatan ploidi plantlet hasil kultur mikrospora
5. Ingat aplikasi embryogenesis mikrospora
Subpokok Bahasan 2 : FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDUKSI
EMBRIOGENESIS MIKROSPORA
Pendahuluan
Para peneliti telah membuktikan bahwa embryogenesis dan tanaman
regenerasi dapat diperoleh dari kultur mikrospora. Induksi pembelahan sporofitik
pada mikrospora bukanlah sebagai akibat dari isolasi organ dan penggunaan zat
pengatur tumbuh semata, tetapi memerlukan praperlakuan khusus pada
tanaman donor, kuncup bunga, anther atau mikrospora. Diketahui bahwa
praperlakuan stress berfungsi sebagai pemicu untuk induksi perkembangan
sporofitik dan menghambat perkembangan gametofit pada pollen. Stress secara
fisiologis dapat menginduksi pembentukan/produksi suatu set protein yang sama
sekali baru, protein ini berperan penting pada metabolisme sel. Pada tembakau,
karbohidrat dan nitrogen starvation yang diperlakukan pada biselular pollen dapat
menginduksi pembentukan pollen yang embryogenik, dimana setelah dipindah
pada medium sederhana yang mengandung sukrosa dan nitrogen, membelah
secara berulang-ulang dan menghasilkan embryo. Heat shock treatment kurang
effektif pada stadium biselular polen, embryogenesis dapat diinduksi pada
stadium yang lebih awal yaitu uniselular. Kombinasi starvation dan heat shock
stress dapat menginduksi embryogenesis pada hampir semua mikrospora yang
hidup pada tembakau dan gandum. Mikrospora yang diisolasi pada stadium yang
sama bila dikulturkan pada kondisi tanpa stress akan berkembang menjadi pollen
yang fertil. Pada Brassica napus, heat shock treatment pada 32°C selama 8 jam
mampu menginduksi embryogenesis sampai 40% dari mikrospora yang diisolasi
dan dikulturkan pada medium sederhana tanpa zat pengatur tumbuh. Pada suhu
18°C, mikrospora melanjutkan perkembangan normal gametofitiknya dan
menghasilkan pollen yang masak.
Materi Subpokok Bahasan 2
Faktor-faktor ekstra dan intraselular sangat berpengaruh pada induksi
mikrospora
embryogenesis.
Beberapa
parameter
penting
yang
harus
dipertimbangkan untuk mengoptimasi efisiensi induksi adalah: kondisi fisiologis
dari tanaman donor, stadium perkembangan pollen, metoda isolasi, stress
pretreatment dan medium kultur.
Tanaman donor
Kualitas tanaman donor sangat berpengaruh pada kultur mikrospora.
Kemampuan mikrospora untuk membelah secara sporofitik dan menghasilkan
tanaman regenerasi sangatlah bervariasi didalam suatu varietas, disebabkan
karena faktor lingkungan dimana tanaman donor tumbuh. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi vigor dari tanaman donor termasuk fotoperiodisitas, intensitas
sinar, temperatur dan nutrisi.
Telah diketahui bahwa pollen yang kompeten untuk membelah secara
sporofitik, secara alami sebenarnya telah ada didalam anther, pollen tersebut
berbeda ukuran dan sifat pengecatannya, kultur dari anther selanjutnya
memberikan lingkungan yang dapat memacu eksoresi dari pollen yang secara
alami kompeten untuk membelah secara sporofitik tersebut menjadi embryo.
Adanya variasi pollen yang berbeda dari populasi pollen yang normal disebut
pollen dimorphism. Kondisi yang memungkinkan pembentukan dimorphic pollen
pada tanaman dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan tanaman donor, dengan
kata lain tanaman donor dapat diberi perlakuan stress untuk menginduksi
embryogenesis. Pada tembakau fotoperiodik dan temperatur berperan dalam
evolusi dari pollen yang kompeten pada embryogenesis. Tanaman yang
dijumbuhkan pada hari pendek (8 jam periode terang) pada temperatur rendah
(18°C) mengliasilkan daun-daun yang jumlahnya lebih sedikit dengan ukuran
yang lebih kecil sampai periode berbunga, anthernya lebih kecil dan
mengandung banyak pollen yang mempunyai potensi embryogenic yang sangat
besar (p-grain). Embryoid akan dihasilkan dalam jumlah sangat besar jika anther
atau pollen yang ada didalamnya diisolasi dan dikulturkan. Faktor lingkungan lain
(edafik) yang dapat meningkatkan frekuensi embryogenik pollen (p-grain) adalah
nitrogen starvation.
Growth substances yang diketahui dapat mengurangi fertilitas jantan,
seperti auxin dan anti-gibberellin jika di semprotkan pada tananan dapat
meningkatkan pollen yang embryogenik pada tembakau dan kentang. Pada
gandum,
penyemprotan
dengan
ethylene
releasing
agent
ethrel
juga
meningkatkan frekuensi pollen yang embryogenik. Pada padi, penyemprotan
ethrel meningkatkan pembentukan tanaman haploid pada kultur anther.
Gametocide juga telah digunakan untuk meningkatkan pembentukan tanaman
haploid pada kultur anther. Gametocide mi sebelumnya dikembangkan untuk
menghambat perkembangan gametofit jantan yaitu untuk menghambat selfpollination pada produksi biji hibrida. Jika gametocide ini disemprotkan pada
gandum dapat meningkatkan produksi tanaman haploid pada kultur anther.
Stadium perkembangan pollen
Stadium perkembangan pollen didalam anther pada saat dikulturkan
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalarn menginduksi
pembelahan sporofitik. Stadium ini bervariasi pada setiap jenis tanaman,
biasanya diantara haploid mitosis yang pertama(late unicelular atau early
bicellular) diketahui merupakan stadium yang sangat kritis untuk induksi
androgenesis. Sunderland dan Wick (1971) menunjukkan bahwa pada
tembakau, anther dapat dikulturkan pada stadium perkembangan apa saja mulai
dari tetrade sampai late bisellular pollen, tetapi jumlah embryoid terbanyak
diperoleh
jika
digunakan
anther
yang
mengandung
pollen
yang
telah
menyelesaikan mitosis yang pertama. Pada Brassica napus atau rapeseed,
stadium late unicelular atau early bicellular adalah yang paling kompeten untuk
pembentukan tanaman, sedangkan pada barley stadium mid-late sampai late
unicelular adalah yang optimal. Pada gandum dan padi stadium late unicelular
sampai premitosis adalah yang optimal untuk percobaan-percobaan kultur
mikrospora.
Dengan
kemajuan
teknologi
kultur
mikrospora,
batasan
stadium
perkembangan mikrospora menjadi kurang penting. Percobaan-percobaan yang
dilakukan Touraev et al. (1977) menunjukkan bahwa pada kultur mikrospora
tembakau yang populasinya terdiri dari mikrospora yang stadiumnya sangat
heterogen, mulai dari mikrospora yang unicellular sampai early bicellular dapat
diinduksi menjadi embryogenik. Binarova et al., (1997) menunjukkan bahwa pada
Brassica napus stadium late bicellular pollen juga dapat diinduksi menjadi
embryogenik.
Membahas stadium perkembangan pollen tidak dapat lepas dari siklus
sel. Dediferensiasi sel tanaman dapat didefinisikan sebagai reinisiasi dari
pembelahan sel. Perkembangan normal pollen dicirikan dengan peristiwaperistiwa siklus sel yang dikendalikan secara ketat. Setelah pembelahan
asymmetris yang pertama dari mikrospora, sel generative dengan cepat
mengalami replikasi DNA dan tertahan pada fase G2 dari siklus sel. Sementara
itu sel vegetative tertahan pada fase G1 dari siklus sel (Zarsky et al., 1992).
Tergantung dari jenis tanaman, sel generative membelah lagi, baik selama
perkembangan pollen (seperti pada kebanyakan nimput-rumputan) atau setelah
berkecambah, didalam buluh kecambah (seperti pada tembakau). Kemampuan
dari mikrospora atau bicellular pollen untuk masuk siklus sel yang baru selama
stres pretreatment atau setelah dibebaskan dari stres merupakan salah satu
aspek yang sangat penting didalam mikrospora embryogenesis. Mikrospora pada
tembakau yang diisolasi pada fase G1 mengalami replikasi DNA selama induksi
stres (starvation dan heat shock) treatment, kemudian berhenti dan tertahan
pada fase G2. Hanya setelah dibebaskan dari stres (dipindah ke medium yang
diperkaya pada temperatur kamar) siklus sel dapat dilanjutkan, yaitu mitosis.
Mikrospora yang diisolasi pada fase G2 mengalami mitosis selama stres
pretreatment. Sel generative langsung masuk siklus sel baru kemudian berhenti
dan tertahan pada fase G2, sedangkan sel vegetative tidak masuk replikasi DNA
(Touraev et al., 1997). Penelitian yang dilakukan Zarsky et al. (1992) pada pollen
tembakau yang bicellular menunjukan, sel vegetative mengalami replikasi DNA
selama stres pretreatment (nitrogen/carbohydrate starvation) dan tertahan lagi
pada fase G2. Sel generative tidak terpengaruh oleh stres pretreatment dan tetap
tertahan pada fase G2 setelah dipindah ke medium yang diperkaya, atau dengan
kata lain sel generativ tidak memberikan kontribusi pada pembentukan embryo
pada tembakau.
Stres pretreatment
Agar supaya program genetik pada mikrospora dapat diubah dari
perkembangan gametofitik kearah perkembangan sporofitik diperlukan suatu
sinyal. Sinyal ini dapat diberikan
mikrospora.
dengan berbagai cara meldui stres pada
Berbagai stres pretreatment terbukti telah berhasil menginduksi
mikrospora menjadi embryogenik dengan frekuensi yang cukup tinggi, antara
lain: cold shock pada jagung, gandum, barley, padi dan masih banyak spesies
yang lain; heat shock pada Brassica, gandum dan tembakau; carbohydrate dan
nitrogen starvation pada tembakau, gandum, padi dan barley dan colchicine
pretreatment pada Brassica. Beberapa stres yang lain seperti ethanol dan
irradiasi sinar gamma pada Brassica, stres air, kondisi aerobik , dan atmosfer
jenuli air pada tembakau, tidak dapat diaplikasikan secara meluas.
Stres pretreatment ini dapat diaplikasikan pada tanaman donor, kuncup
bunga atau spike, anther atau secara langsung pada mikrospora yang sudah
diisolasi. Peranan dari trauma fisik atau termal atau khemis dalam memicu
androgenesis masih menjadi spekulasi dan belum diketahui secara pasti. Buktibukti yang terkumpul menunjukkan peranan dari sitoskeleton pada pengaturan
posisi inti sel yang mendahului terjadinya pembelahan mitosis yang pertama, dan
keterlibatannya pada pollen embryogenesis. Zhao et al. (1996) menguji pengaruh
colchicine pada anther dan mikrospora embryogenesis pada Brassica napus.
Dari hasil penelitiannya didapatkankan bahwa agensia antimikrotubul ini dapat
meningkatkan frekuensi induksi embryogenesis pada kultur anther dan
mikrospora dengan meningkatkan jumlah sel-sel yang membelah symmetris.
Mereka menyimpulkan bahwa colchicine bekerja dengan cara menghambat
penyusunan mikrotubul, mikrospora yang diperlakukan dengan colchicine,
sebelum pembelahan mitosis yang pertama, akan menekan penyusunan
mikrotubul yang diperlukan untuk menempatkan inti sel pada posisinya diperiferi
unruk membelah secara asymmetris. Penelitian yang terbaru dari Zhao (1996)
menunjukkan bahwa colchicine sendiri dapat memicu pollen embryogenesis
pada Brassica napus yang dikulturkan pada non-induktif temperatur (mikrospora
pada Brassica dapat diinduksi menjadi embryogenik dengan mengkulturkan pada
temperatur 33°C) menunjukkan bahwa stimulus heat shock mungkin beraksi
pada tingkatan sitoskeleton yang menyebabkan mikrospora masuk ke jalur
embryogenik. Cordewener et al.,(1994) menyatakan bahwa sintesis tubulin
isoform tidak berubah selama induksi embryogenik dibandingkan dengan kondisi
non-embryogenik pada mikrospora Brassica napus. Penelitian ini mendukung
dugaan bahwa stimulus shock lingkungan untuk embryogenesis berperan secara
langsung dengan adanya komponen dari sitoskeleton pada stadium awal dari
embryogenesis. Juga dengan menggunakan kultur mirospora Brassica napus,
penelitian yaiig dilakukan Simmond (1994) menunjukan bahwa bersamaan
dengan pergerakan inti sel pada posisi ditengah dari mikrospora, perubahan
struktural pertama yang menunjukan reprograming selular unttik masuk ke jalur
sporofitik adalah adanya preprophase band dari mikrotubul (PPB). Selama
ontogeni perkembangan pollen yang normal, PPB tidak berpartisipasi pada
pembelahan mitosis yang pertama dari pollen Brassica. Penelitian ini
menegaskan bahwa sitoskeleton berperan penting pada stadium awal dari
embryogenesis pada pollen Brassica.
Pada sel somatik, pembentukan phragmosome merupakan fenomena
yang
tampak
pertamakali
bila
sel-sel
dikulturkan
pada
kondisi
yang
memungkinkan sel-sel mengalami reinisiasi untuk membelah. Phragmosome
merupakan suatu lapisan sitoplasma padat yang menyelimuti inti sel yang
bergerak pada posisi ditengah-tengah sel dan dipertahankan pada posisi
tersebut dengan mikrotubul yang memancar radial dari inti sel. Pembentukan
phragmosome diikuti dengan pembelahan sel dengan arah yang ditentukan oleh
PPB, yang terletak pada sisi dimana phragmosome menyentuh dinding sel.
Medium kultur
Medium untuk kultur anther dan mikrospora bukan merupakan faktor yang
kritis pada induksi embryogenesis. Mikrospora dari beberapa spesies tanaman
dapat diinduksi menjadi embryogenik dengan mengkulturkan pada medium
sederhana yang hanya terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, besi, vitamin,
myo-inositol dan gula. Penelitian rutin yang dilakukan di Laboratorium kami
bahkan menggunakan medium yang sama untuk kultur mikrospora tembakau
dan padi-padian. Namun demikian komposisi medium masih dipandang penting,
berbagai usaha telah dilakukan untuk mengoptimasi komposisi medium untuk
kultur anther dan mikrospora. Telah diketahui bahwa komposisi nitrogen pada
medium kultur berperan sangat penting pada androgenesis. Peningkatan jumlah
plantlet pada kultur anther barley diperoleh dengan mengurangi konsentrasi
ammonium nitrat pada medium dan menggunakan glutamin sebagai sumber
nitrogen non-toxic. Penelitian yang sangat intensif mengenai kebutuhan nitrogen
menunjukan bahwa inisiasi pembelahan, proliferasi lebih lanjut dan regenerasi
menjadi plantlet pada kultur mikrospora barley merupakan peristiwa yang berdiri
sendiri-sendiri yang mungkin dapat dimanipulasi dengan nitrogen.
Sumber karbohidrat yang berbeda juga telah dicoba, sukrose tidak umum
digunakan untuk anther kultur barley, kentang dan gandum, sebagai gantinya
digunakan maltose. Perbedaan metabolisme sukrose dan maltose pada kultur
mikrospora barley menjadi alasan utama keunggulan dari maltose dibandingkan
dengan sukrose. Telah diketahui bahwa maltose dimetabolisir lebih lamban.
Sukrose yang dimetabolisir lebih cepat, menyebabkan ternkumulasinya sejumlah
ethanol yang berakibat toksik didalam mikrospora.
Tekanan osmotik pada media juga diketahui merupakan parameter yang
penting. Pada tekanan osmotik yang tinggi, peningkatan jumlah plantlet hijau
bersamaan dengan penurunan jumlah plantlet albino telah diamati pada kultur
mikrospora barley. Penambahan Fikoll pada medium kultur juga diketahui dapat
meningkatkan persentase plantlet hijau pada kultur anther gandum. Penggunaan
Polyethylene glycol (PEG)-400, yang tidak dapat dimetabolisir, sebagai
osmotikum pada medium kultur juga diketahui dapat menginduksi peningkatan
jumlah embryo pada kultur mikrospora Brassica napus.
Diketahui bahwa zat pengatur tumbuh bukan merupakan komponen yang
esensial pada medium untuk menginduksi embryogenesis. Pada kultur
mikrospora beberapa jenis tanaman, misalnya barley, jagung, gandum dan
tembakau, digunakan medium tanpa hormon. Conditioning pada medium kultur
dengan ovary terbukti sangat bermanfaat untuk kultur mikrospora. Manfaat
penggunaan ovary-conditioned media pada kultur mikrospora telah dilaporkan
pada barley dan gandum. Pada kultur mikrospora gandum, co-culture dengan
ovary dari barley atau gandum menyebabkan lingkungan menjadi cocok untuk
pembentukan embryo dan regenerasi plantlet yang fertil. Koehler dan Wenzel,
(1985)
menyatakan
bahwa
pada
gandum,
co-culture
dengan
ovary
mengakibatkan medium menjadi terkondisi dengan substansi-substansi yang
diproduksi oleh ovary, misalnya auxin-like hormon yang memacu embryogenesis.
Kombinasi zat pengatur tumbuh dengan bahan-bahan tambahan seperti
air kelapa, ekstrak yeast, atau ekstrak kentang diketahui dapat memacu induksi
pembentukan embryo dan plantlet dari mikrospora.
Latihan soal-soal 1.
1. Apa yang dimaksud dengan pollen dimorphism, faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi dimorphic pollen!
2. Jelaskan pentingnya stadium perkembangan pollen pada induksi
embryogenesis mikrospora!
3. Jelaskan
perubahan-perubahan
sitologis
apa
yang
terjadi
pada
mikrospora yang dihadapkan pada stress!
4. Mengapa medium kultur bukan merupakan faktor kritis pada induksi
embryogenesis mikrospora?
5. Jelaskan peranan sumber karbohidrat pada medium kultur mikrospora!
Petunjuk jawaban latihan soal-soal
1. Ingat pengaruh tanaman donor pada induksi embryogenesis mikrospora!
2. Ingat
siklus
sel
yang
berkaitan
dengan
induksi
embryogenesis
mikrospora!
3. Ingat peranan sitoskeleton pada pengubahan jalur perkembangan
sporofitik mikrospora!
4. Ingat peranan stress pretreatment pada embriogenesis mikrospora!
5. Ingat fungsi gula pada medium kultur!
Download