BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa remaja terjadi beberapa perubahan, yaitu dalam aspek jasmani, rohani, emosional, sosial dan personal (WHO, 2002). Menurut WHO, remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sementara UNFPA menyebut remaja sebagai golongan pemuda (youth), yaitu penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 15 sampai 24 tahun. Berdasarkan kedua batasan remaja tersebut, maka definisi remaja adalah penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 10-24 tahun. Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, et al. 2002). Masa remaja disebut juga sebagai periode perubahan, tingkat perubahan dalam sikap, dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan perubahan fisik (Hurlock, 2004). Universitas Sumatera Utara 2.1.2. Tahap Perkembangan Remaja WHO (2002) membagi remaja menjadi 3 kelompok berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan remaja, antara lain: a. Remaja awal (early adolescence), yaitu remaja yang berusia 10-13 tahun. Pada tahap ini remaja berada pada masa pertumbuhan yang sangat cepat dan merupakan awal dari kematangan seksual. Remaja awal sudah mulai berpikir secara abstrak. b. Remaja pertengahan (middle adolescence), yaitu remaja yang berusia 14-15 tahun. Perubahan fisik yang penting telah sempurna, sementara perkembangan individu berada pada tahap pencarian identitas diri dan sangat dipengaruhi oleh teman sebaya. Selain itu, remaja berada pada kondisi kebingungan antara peka atau tidak peduli, optimis atau pesimis, idealis atau materialistis dan sebagainya. Remaja pertengahan sudah mulai berpikir lebih reflektif. c. Remaja akhir (late adolescence), yaitu remaja yang berusia 16-19 tahun. Pada tahap ini, pertumbuhan fisik telah sempurna dan menyerupai orang dewasa, sementara remaja telah memiliki identitas diri yang jelas dan memiliki ide dan pendapat yang mapan. Fungsi intelektualitas semakin mantap, identitas seksual semakin mantap, memperhatikan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain. Universitas Sumatera Utara 2.2. Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi adalah suatu kondisi fisik, mental, sosial yang utuh, yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecatatan, namun dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya (Depkes, 2003b). 2.2.1. Perilaku Kesehatan Reproduksi Remaja Pengetahuan merupakan domain yang penting untuk mengambil sikap kemudian berperilaku. Selama ini pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja masih kurang karena akses informasi terbatas dan banyaknya informasi seksualitas yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab (Soetjiningsih, 2004). Menurut Kollman (2004) pengetahuan kesehatan reproduksi menyebabkan seseorang mengambil keputusan untuk berperilaku seksual. Kemampuan mengakses informasi kesehatan reproduksi pada remaja meningkatkan perilaku seksual remaja tetapi kehamilan remaja rendah karena mereka menggunakan alat kontrasepsi. Pemahaman dan kesadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi pada remaja masih rendah, masyarakat masih enggan dan tabu untuk membicarakan sehingga remaja cenderung mendiskusikan hanya dengan sesama teman (Badan Kependudukan Keluarga Berencana, 2006). Meningkatnya dorongan seksual menyebabkan remaja mencari informasi seksual secara sembunyi-sembunyi karena dianggap bertentangan dengan norma sehingga bermasalah dalam hal seksualitas yang kompleks seperti hamil diluar nikah dan penyakit menular seksual (Amrillah, 2005). Kepedulian orang tua untuk memberikan informasi tentang seksualitas hanya 3,8%. Universitas Sumatera Utara Program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) merupakan penjabaran dari misi program keluarga berencana nasional, yaitu mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sejak dini dalam rangka menciptakan keluarga berkualitas pada tahun 2015. Untuk mencapai tujuan program tersebut badan koordinasi keluarga berencana nasional mengeluarkan kebijakan teknis program kesehatan reproduksi remaja yang diantaranya peningkatan promosi kesehatan reproduksi remaja, dimaksudkan agar remaja tumbuh dalam kondisi kondusif untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku kehidupan seksual yang bertanggung jawab. Informasi kesehatan reproduksi remaja penting karena selama ini pengetahuan remaja masih kurang, akses informasi terbatas, informasi menyesatkan banyak beredar, untuk persiapan generasi bangsa dan program kesehatan reproduksi remaja merupakan pilar dari kesepakatan internasional. Hasil need assessment Tanjung dkk (2005) menyebutkan bahwa pengetahuan remaja akan kesehatan reproduksi dasar tidak memadai, terutama tentang masa subur, kehamilan dan HIV AIDS (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2006). 2.3. Perilaku Seksual Remaja Dalam tahapan tumbuh kembang remaja terjadinya kematangan serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada laki-laki maupun pada perempuan yang akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam sikap remaja terhadap lawan jenis. Terjadinya Universitas Sumatera Utara peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Santrock, 2003). Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan yang sehat adalah bilamana anak tumbuh menjadi seorang remaja yang sehat fisik, maupun psikologis serta terhindar dari cacat sosial seperti kecanduan narkoba, cacat kriminal dan lainlainnya. Secara seksual perkembangan yang dianggap berhasil meliputi membangun hubungan antar mereka yang akrab dan kasih tanpa terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki atau terjangkit penyakit menular seksual (Sarwono, 2010). Menurut L’Engel, dkk (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktifitas yaitu aktivitas seksual ringan dan berat, yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali pergi berkencan, pergi ke tempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan (french kiss), sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti meraba payudara, meraba vagina atau penis, oral seks dan melakukan hubungan seksual. Adanya persepsi yang berbeda-beda mengenai seksualitas akan menyebabkan sikap yang berbeda-beda terhadap seks itu sendiri, yang selanjutnya mempengaruhi perilaku seksualnya. Caracara yang biasa dilakukan dalam mengatasi dorongan seksual: basah, menahan diri dengan berbagai cara: menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, menghabiskan tenaga dengan berolah raga, memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sarwono (2010) menyebutkan yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, Universitas Sumatera Utara mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Berikut beberapa faktor eksternal dan internal (Sarwono, 2010) yang memengaruhi perilaku seksual remaja: a. Perspektif biologis; perubahan biologis yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual. b. Hubungan dengan orang tua; kurangnya komunikasi yang terbuka antara remaja dan orang tua dalam masalah seputar seksual dapat memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual berfungsinya keluarga dalam menjalankan fungsi kontrol afeksi/kehangatan penanaman nilai moral dan keterbukaan komunikasi dapat membantu remaja untuk menyalurkan dorongan seksualnya dengan cara yang selaras dengan norma dan nilai yang berlaku serta menyalurkan energi psikis secara produktif. c. Pengaruh teman sebaya; pada masa remaja pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma kelompok sebaya. d. Perspektif akademik; remaja dengan prestasi yang rendah dan tahap aspirasi yang rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibanding remaja yang memiliki prestasi lebih baik di sekolah. e. Perspektif sosial kognitif; kemampuan sosial kognitif diasosiasikan dengan pengambilan keputusan yang menyediakan pemahaman perilaku seksual di kalangan remaja. Universitas Sumatera Utara f. Pengalaman seksual; makin banyak pengalaman mendengar, melihat, mengalami hubungan seksual makin kuat stimulasi yang dapat mendorong munculnya perilaku seksual, misalnya media massa, obrolan dari teman sebaya/pacar tentang pengalaman seks melihat orang-orang yang sedang berpacaran atau melakukan hubungan seksual. g. Faktor-faktor kepribadian; seperti harga diri, kontrol diri, tanggung jawab, tolerance for stress, coping stress dan kemampuan membuat keputusan. h. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, remaja yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memiliki resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual. i. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, integrasi yang baik (konsistensi antara nilai, sikap dan perilaku) akan cenderung menampilkan perilaku seksual yang selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dari perilaku yang produktif. 2.3.1. Dampak Hubungan Seks dalam Kesehatan Reproduksi Salah satu perilaku remaja yang dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan remaja adalah perilaku hubungan seksual pranikah. Hubungan seksual pranikah (premarital sex) adalah kontak seksual yang dilakukan remaja dengan lawan jenis atauteman sesama jenis tanpa ikatan pernikahan yang sah (Ghuman, dkk., 2006). Perilaku hubungan seksual pranikah dapat menyebabkan berbagai masalah bagi kesehatan, sosial dan ekonomi bagi remaja itu sendiri maupun keluarganya. Universitas Sumatera Utara Mekenzie, dkk (1997) mengemukakan beberapa dampak dari perilaku hubungan seksual pranikah, diantaranya adalah: 1. Hubungan seksual pranikah rentan terhadap penyakit menular seksual. Hal ini disebabkan karena remaja cenderung memiliki pasangan seksual lebih dari 1 (multiple partners), melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom (unprotected sex) dan memilih pasangan seksual risiko tinggi (high risk partners). Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual dan menyerang organ reproduksi seseorang. PMS meliputi sifilis, gonorhea, herpes genitalis dan AIDS. Penyakit menular seksual pada remaja dapat memiliki dampak serius bagi kesehatannya, yaitu ketidaksuburan (infertility), kanker reproduksi, kehamilan dan proses melahirkan dengan risiko tinggi dan infeksi HIV. 2. Kedua, hubungan seksual pranikah pada remaja dapat menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Kehamilan pada remaja dapat menimbulkan masalah bagi remaja itu sendiri, keluarga maupun lingkungan sosial. Kehamilan tidak diinginkan pada remaja dapat memiliki beberapa dampak, yaitu: a) Dampak fisik, status kesehatan fisik rendah, perdarahan, komplikasi dan kehamilan yang bermasalah b) Dampak psikologis, tidak percaya diri, stres, malu c) Dampak sosial, prestasi sekolah rendah atau drop out dari sekolah, penolakan atau pengusiran oleh keluarga, dikucilkan oleh masyarakat, tingkat ketergantungan keuangan yang tinggi bahkan kemiskinan Universitas Sumatera Utara d) Dampak bagi anak yang dilahirkan, anak yang dilahirkan oleh ibu diusia remaja akan mengalami status kesehatan yang rendah, keterlambatan perkembangan intelektualitas dan masalah sosial lainnya (Mekenzie, dkk 1997). 3. Kehamilan yang disebabkan oleh hubungan seksual dapat menyebabkan aborsi spontan atau aborsi buatan pada remaja. Aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan remaja, karena memiliki beberapa dampak yaitu: a) Dampak fisik, aborsi yang dilakukan secara sembarangan atau oleh tenaga tidak terlatih dapat menyebabkan berbagai komplikasi medis atau bahkan kematian. Beberapa dampak fisik dari tindakan aborsi tidak aman antara lain: perdarahan yang terus menerus, infeksi alat reproduksi karena kuretasi yang tidak steril, risiko rupture uterus akibat kuretasi atau fistula genitalis traumatis yaitu terbentuknya suatu saluran antara genital dan saluran kencing atau anus. b) Dampak psikologis, seperti perasaan bersalah. c) Dampak sosial, seperti dikucilkan oleh masyarakat, teman dan keluarga. Kecenderungan sikap permisif remaja terhadap perilaku seks bebas atau perilaku seks pranikah dapat menimbulkan risiko terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dan tertular penyakit menular seksual (PMS). Angka infeksi menular seksual (IMS) tertinggi terdapat pada usia 15-23 tahun dan kehamilan tidak diinginkan yang diakhiri dengan aborsi sebanyak 2,4 juta jiwa per tahun 700 ribu di antaranya adalah remaja. Universitas Sumatera Utara Menurut WHO, 45 juta kehamilan yang tidak diinginkan terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 19 juta wanita hamil melakukan aborsi yang tidak aman, 40% dari aborsi yang tidak aman tersebut dilakukan oleh wanita berumur antara 15-24 tahun. Berdasarkan data perkumpulan keluarga berencana Indonesia (PKBI), dari 37 ribu perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), sebanyak 30% adalah remaja. Menurut survei dari Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA) tahun 1994, lebih dari setengah (58% dari 2.558) kasus aborsi dilakukan oleh perempuan dengan usia 15-24 tahun yang mayoritas (62%) belum menikah (WHO, 2003). Diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Fitrah beragama ini merupakan kemampuan dasar (disposisi) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak sangat berpengaruh dipengaruhi proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW: ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orangtuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dengan demikian perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor bawaan (internal) dan lingkungan (eksternal). Faktor eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah keluarga, sekolah dan masyarakat (Yusuf, 2004). Universitas Sumatera Utara Dari pernyataan beberapa remaja ditemui pada umumnya mereka antusias dan semangat mengikuti pembinaan Islam, menyadari pentingnya pembinaan kepribadian dan keterampilan agar dapat bermanfaat pada hari depan dan mendapatkan rezeki yang halal dan baik melalui keterampilan yang mereka dapat selama dibina. Religiusitas adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan sekadar mengaku mempunyai agama (having religion). Religiusitas meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengamalan ritual agama, pengalaman agama, perilaku (moralitas) agama, dan sikap sosial keagamaan Dalam Islam, religiusitas pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan akidah, syariah, dan akhlak, atau dengan ungkapan lain: iman, Islam, dan ihsan. Bila semua unsur itu telah dimiliki oleh seseorang, maka dia itulah insan beragama yang sesungguhnya (Al Gifari, 2004). 2.4. Khalwat Dalam buku Dinas Syariat Islam Aceh edisi kedelapan ( 2010 ) pada butir ke 16 qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan Agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang Universitas Sumatera Utara (sejak abad ke VII M) telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebutkan “Adat bak putroe Meuruhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Puroe Phang, Reusam bak Lakseumana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa syariat Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi. Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syariat Islam di bebarapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Aceh yang telah lama di kenal sebagai Serambi Mekkah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin di pertegas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu pada tingkat daerah Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi yaitu sanksi yang bersifat definitive dari Allah dan Rasul dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tesebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan di ancam dengan ‘uqubat ta’zir , sesuai kaidah syari’at. Qanun Universitas Sumatera Utara tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya promotif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah). Perkembangan moral yang sesuai dengan Syariat Islam merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan syariat Islam bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa. Dengan demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Disisi lain, tiada moral dan religi ini sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja (Sarwono, 2010). Setiap manusia memiliki naluri keagamaan, yaitu naluri untuk berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidup, karena itu setiap manusia pasti memiliki keinsyafan tentang apa yang dianggap makna hidup. Remaja lebih tertarik kepada agama dan keyakinan spiritual dari pada anak-anak. Pemikiran abstrak mereka yang semakin meningkat dan pencarian identitas yang mereka lakukan membawa mereka kepada masalah-masalah agama dan spiritual (Soetjiningsih, 2004). Nilai keagamaan adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious). Religiusitas meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, dan sikap sosial keagamaan. Dalam Universitas Sumatera Utara Islam, religiusitas pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan aqidah, syariah dan akhlak, atau dengan ungkapan lain, iman, Islam dan ihsan. Bila semua unsur itu telah dilimiliki oleh seseorang maka dia itulah insan yang telah beragama dengan sesungguhnya (Jalaluddin, 2004). Ajaran agama yang diterima remaja pada waktu kecilnya akan berkembang dan bertambah subur apabila remaja dalam menganut kepercayaan itu tidak mendapat kritikan-kritikan, dalam hal agama apa yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan melalui pengalaman-pengalaman yang dipercaya (Soetjiningsih, 2004). Isu-isu agama merupakan hal yang penting bagi remaja dan memiliki sejumlah dampak positif bagi remaja. Mengunjungi tempat beribadah dan terlibat dalam aktivitas keagamaan dapat menguntungkan remaja, karena komunitas religius mendorong sikap dan perilaku remaja yang dapat di terima secara sosial dan memberikan model-model peran yang positif bagi remaja. Teori perkembangan kognitif Jean Peaget dalam Santrock (2003), memberikan latar belakang teoritis untuk memahami perkembangan religius perkembangan religius pada remaja yang di kategorikan kedalam tiga tahapan yaitu: tahap pertama; usia 7-8 tahun pemikiran religius intuitif pra operasional (preoperational intuitive religious thought) yaitu pemikiran religius anak-anak masih belum sistematis dan terpenggal-penggal. Anakanak sering kali tidak memahami materi dalam kisah-kisah atau tidak mempertimbangkan semua fakta. Tahap kedua (dari usia 7-8 tahun hingga 13-14 tahun), disebut dengan pemikiran “pemikiran religius operational konkret” (concrete operational religious thought). Anak mulai fokus pada detil khusus mengenai gambar Universitas Sumatera Utara atau kisah. Tahap ketiga (usia 14 hingga sisa masa remaja) disebut “pemikiran religius operational formal” (formal operational religious thought). Remaja mengungkapkan pemahaman religius yang lebih abstrak, lebih banyak memberikan komentar yang mengungkapkan kebebasan, makna dan harapan, konsep-konsep abstrak, ketika membuat penilaian religius. 2.5. Kegiatan Keagamaan Syari’at Islam di SMA Negeri 2 Peusangan 1. Ibadah Ibadah adalah taat, tunduk, patuh dan merendah diri kepada Allah SWT. Jelasnya ibadah ialah pengabdian diri sepenuhnya kepada Allah, mengikuti peraturan, melakukan suruhan dan meninggalkan larangan Allah SWT sebagaimana ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah. 2. Pengajian Pengajian dalam bahasa Arab disebut At-ta’llimu asal kata ta’allama yata’allamu ta’liiman yang artinya belajar, pengertian dari makna pengajian atau ta’liim mempunyai nilai ibadah tersendiri, hadir dalam belajar ilmu agama bersama seorang Aalim atau orang yang berilmu merupakan bentuk ibadah yang wajib setiap muslim. Di dalam pengajian terdapat manfaat yang begitu besar positifnya, didalam pengajian-pengajian manfaat yang dapat diambinya menambah dari salah satu orang yang biasa berbuat negatif dengan memanfaatkannya menjadi positif. Hal seperti ini pada masyarakat muslim pada umumnya dapat memanfatkan pengajian untuk merubah diri atau memperbaiki diri dari perbuatan yang keji dan mungkar. Universitas Sumatera Utara 3. Ceramah Ceramah merupakan kelompok berbicara satu arah, pembicara menyampaikan gagasannya kepada pihak lain dan tidak memerlukan reaksi sesaat dalam bentuk bicara yang berupa tanggapan atau respon. Ceramah merupakan suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu. Dalam setiap ceramah pembicara harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi sehingga ceramah, dapat berjalan dengan lancar. 2.6. Peran Keluarga dalam Perkembangan Remaja Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga mempunyai peranan paling besar dalam membentuk kepribadian remaja, Keluarga yang disfungsional seperti keluarga yang tidak stabil, orang tua tunggal, tinggal tidak serumah dengan orang tua, pengawasan yang kurang terhadap aktivitas remaja, serta orang tua yang tidak suportif, merupakan faktor prediksi kemungkinan peningkatan seksual aktif yang lebih dini. Komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara remaja dengan orang tua, hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus selalu dijaga agar dapat diketahui hal-hal yang diinginkan oleh remaja sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja. Orang tua harus menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah dan saling berbicara apa saja mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja, serta dapat menjadi teman yang baik bagi remaja (Dariyo, 2004). Universitas Sumatera Utara Masalah seks pada remaja sering kali mencemaskan orang tua, oleh sebab itu diperlukan sikap yang bijaksana dari orang tua agar remaja dapat melewati masa transisinya dengan baik, sangat sedikit remaja yang mempunyai kebiasaan membicarakan masalah seksualitas dengan orang tua, peran orang tua sangat besar dengan melakukan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, serta memberikan kepercayaan dari orang tua kepada anak sehingga remaja menjadi lebih bertanggung jawab tentang perilaku seksual (PKBI, 1999). 2.7. Pengaruh Teman Sebaya Teman sebaya dalam pergaulan dapat menjadi salah satu sumber informasi yang cukup kuat dalam membentuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan masalah seks dikalangan remaja, hal yang paling membahayakan adalah bila informasi yang diterima remaja dapat menimbulkan dampak yang negatif karena informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media massa, serta pengalaman diri sendiri. Pada usia remaja, kebutuhan emosional individu beralih dari orang tua kepada teman sebaya. Pada masa ini, teman sebaya juga merupakan sumber informasi (Sarwono, 2010). Teman sebaya memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan remaja, tidak terkecuali dalam hal seksualitas. Menurut Amrillah (2005) mengatakan bahwa perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif secara seksual. Jika seorang remaja memiliki teman yang aktif secara seksual maka Universitas Sumatera Utara akan semakin besar pula kemungkinan remaja tersebut untuk juga aktif secara seksual mengingat bahwa pada usia tersebut remaja ingin diterima oleh lingkungannya. 2.8. Sikap Remaja tentang Perilaku Seksual Sikap merupakan kecenderungan untuk berespon baik secara positif maupun negatif, terhadap orang, objek atau situasi. Sikap dan perilaku bisa konsisten apabila sikap dan perilaku yang dimaksud adalah spesifik dan ada relevansinya satu dengan yang lain. Sikap permisif terhadap hubungan seks remaja sebelum nikah dan perilaku seks remaja sebelum nikah spesifik dan relevan satu dengan yang lain, maka sikap tersebut bisa menjadi prediktor bagi perilakunya. Sikap tidak permisif terhadap hubungan seks remaja sebelum menikah atau disebut traditional permissiveness indikatornya adalah aktivitas keagamaan dan religiuitas. Romantisme pacaran yang dominan dirasakan oleh remaja yang jatuh cinta tidak jarang berkembang dan mendorong ke arah perilaku seks. Apabila pasangan dalam pacaran itu sama-sama memiliki dorongan ke arah perilaku seks, maka kemungkinan terjadinya hubungan seks sebelum nikah akan mudah terjadi (Sarwono, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seks remaja dapat dibedakan antara faktor-faktor di luar individu dan di dalam individu. Faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif. Sikap permisif itu sendiri banyak dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam diri individu. Dengan demikian faktor sikap dapat dijadikan prediktor yang kuat tentang munculnya perilaku seks sebelum Universitas Sumatera Utara menikah. Oleh karena itu untuk memahami perilaku seks sebelum menikah bisa dilihat dari sikapnya. Selanjutnya berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku seks tersebut tidak bisa berlaku sama untuk pria dan wanita. Pendapat para ahli dan hasil- hasil penelitian menunjukkan bahwa pria lebih permisif sikapnya dan aktif melakukan hubungan seks sebelum menikah (Kartono, 1998). Beberapa ahli psikologi telah banyak membuat definisi tentang sikap, diantaranya oleh Louis Thurstone dan Rensis Linkert. Mereka mengatakan bahwa definisi sikap adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu. Sikap juga dapat didefinisikan sebagai penilaian positif atau negatif dari seseorang tentang suatu objek, pemikiran atau kejadian tertentu. Beberapa psikolog telah mengidentifikasi bahwa terdapat tiga hal penting yang saling mempengaruhi dalam pembentukan sikap manusia, tiga hal tersebut adalah: pengaruh sosial atau pengaruh orang lain, pengaruh koqnitif, atau pengaruh dari pemikiran dan pengaruh perilaku. Sikap yang diperoleh dari pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Sikap meliputi rasa suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung, kelompok dan aspek lingkungan yang dapat dikenal lainnya termasuk gagasan abstrak dan kebijakan sosial. Nilai (value) dan opini atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut sering kali digunakan dalam definisi mengenai sikap. Nilai lebih bersifat mendasar dan stabil sebagai bagian dari ciri kepribadian, sedangkan sikap bersifat evaluatif dan berakar. Sikap remaja tentang perilaku seksual remaja adalah perasaan menyetujui atau Universitas Sumatera Utara memihak (favourable) dan tidak menyetujui atau tidak memihak (unfavourable) pada objek tersebut (Azwar, 2010). Sikap ini dikaitksan dengan respon yang ditampilkan remaja terhadap berbagai bentuk perilaku seksual remaja. 2.9. Hubungan Syariat Islam (Nilai Keagamaan) dengan Perilaku Seksual Remaja pada umumnya sering sekali memiliki anggapan sebagai suatu kelompok sedang tumbuh yang memiliki kebebasan dan keinginan, kebebasan tersebut ditafsirkan dengan perilaku glamour, perilaku seks yang menonjol, busana trendi, santai-santai bersama, meninggalkan shalat, merokok bahkan narkoba untuk rasa kekompakannya sebagai suatu kelompok. Berbagai penafsiran tersebut bukanlah muncul tiba-tiba, tapi diawali oleh suatu proses pengetahuan lingkungan sosial sekitar, termasuk agama, media, keluarga, lingkungan pergaulan dan masyarakat sekitar. Salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah berkaitan dengan aktivitas seksual. Pada umumnya ajaran agama melarang seks bebas/seks pranikah. Dengan demikian tingkat partisipasi remaja dalam organisasi religius dapat menjadi hal yang lebih penting. Para remaja yang sering mengunjungi layanan religius cenderung lebih banyak mendengar pesan-pesan agar menjauhkan diri dari seks. Keterlibatan remaja dalam organisasi religius juga dapat meningkatkan peluang bahwa mereka akan berkawan dengan remaja-remaja yang memiliki sikap yang tidak menyetujui perilaku seksual pra nikah (Kartono, 1994). Agama memiliki pengaruh yang kuat pada pandangan dan sikap remaja. Beberapa faktor risiko bisa meningkatkan kerentanan remaja yaitu: kurangnya Universitas Sumatera Utara dukungan keluarga dan masyarakat, kegagalan akademis/terlibat tindak kriminal di sekolah, kekerasan yang berlebihan dari orang tua, pendapatan yang rendah, mobilitas yang tinggi, keterlibatan sebaya dalam kegiatan anti-sosial. Perkembangan budaya dalam masyarakat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti paparan pornografi dari media, minuman keras, penggunaan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas dan sebagainya. Hal ini mempunyai daya tarik yang kuat untuk remaja, sehingga remaja yang penuh gejolak ingin mencobanya, disamping itu remaja melihat bahwa tidak sedikit orang dewasa atau masyarakat sekitar yang gaya hidupnya kurang memperdulikan agama, bersifat munafik, tidak jujur dan lainnya. Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa, sehingga tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak dan pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya moral dan religi sering dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja. Religi yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, serta perbuatan yang dinilai tidak baik dan tidak perlu dilakukan sehingga perlu dihindari. Agama mengatur juga tingkah laku baik buruk secara psikologis termasuk dalam moral adalah sopan santun, tata krama dan norma-norma masyarakat yang lain (Sarwono, 2010). Universitas Sumatera Utara Pendapat lain dikemukakan oleh Philip Seznick dimana batasan ruang lingkup maupun perspektif sosiologi hukum, dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah sbb: a. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampua bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial; b. Penguasaan konsep-konsep soskum memberikan kemapuan-kemampuan utk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu; c. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat (Lismanto, 2010). Apabila remaja kurang mendapat bimbingan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, kurang memberikan kasih sayang, dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik/perilaku yang berisiko, maka remaja akan menjadi trouble maker (pembuat keonaran) dalam masyarakat (Jessor, 1997). Seorang psikolog yang mendalami psikologi agama, William James, mengatakan bahwa orang yang menempatkan agama sebagai sumber semangat memiliki sikap jiwa yang sehat, yang terlihat sebagai sikap yang penuh gairah, terlibat, bersemangat tinggi dan meluap dengan vitalitas. Sikap jiwa yang sehat Universitas Sumatera Utara ditampilkan sebagai sikap yang positif, optimis, spontan serta bahagia. Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan memiliki jiwa yang sakit (sick soul) yang dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa bersalah, murung serta tertekan. James juga berpendapat bahwa bagi manusia, agama membuka suatu dimensi kehidupan yang paling fundamental dan peluang untuk mengembangkan pribadinya serta mengintegrasikannya secara kreatif dan selaras ke dalam dunia pribadinya (Santrock, 2010). Sikap keberagamaan remaja memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu sikap keberagamaan umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Di usia perkembangan remaja tampak dorongan seksual begitu dominan atau setidak-tidaknya secara psikologis memiliki dampak terhadap nilai-nilai keagamaan. Maksudnya dorongan seks tak jarang turut mempengaruhi munculnya sikap dan perilaku menyimpang sehingga para remaja tidak merasa bersalah atau berdosa melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma agama. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa sikap permisif dikalangan remaja di beberapa kota besar di Indonesia, seperti hidup serumah tanpa ikatan pernikahan, menjadi bagian dari gejala perilaku seksual yang terkait dengan penyaluran kebutuhan biologis remaja (Jalaluddin, 2010). Namun demikian, agama masih tetap dianggap relevan oleh banyak orang karena keberadaannya dianggap bermanfaat bagi manusia dalam usaha mencari makna hidup. Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap dan utuh setidaknya dapat memberi kesadaran bagi remaja Universitas Sumatera Utara bahwa agama bukan alat pemasung kreativitas manusia, melainkan sebagai pendorong utama. Sehingga remaja akan termotivasi untuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya. 2.10. Landasan Teori Teori ekologi sosial menyebutkan bahwa perkembangan remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terutama berasal dari keluarga, teman sebaya, teman sekolah, agama dan masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, perilaku remaja dipengaruhi oleh interaksi remaja dengan lingkungannya, kebijakan dan norma yang ada di sekitarnya. Melihat faktor risiko untuk aktivitas seksual remaja terdiri dari beberapa lapisan yaitu individu meliputi kesehatan fisik, temperamen, kemampuan intelektual. Selanjutnya adalah lapisan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan lingkungan agama. pada lapisan ini faktor risiko terdiri dari orang tua tunggal, rendahnya pengawasan orang, hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, kurangnya pengamalan ilmu agama serta keterlibatan dalam komitmen dengan teman sebaya, perilaku seksual aktif dari teman sebaya. Selanjutnya lapisan mesosistem yaitu hubungan antar struktur mikrosistem remaja, seperti hubungan guru remaja dengan orang tuanya, tempat ibadah dengan remaja dengan lingkungan disekitarnya. Selanjutnya lapisan makrosistem yang merupakan lapisan paling luar dari lingkungan remaja terdiri dari nilai budaya, adat, hukum, mass media dan ekonomi. Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. Universitas Sumatera Utara 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Di dalam Butir ke 16 qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyisunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan di ancam dengan ‘uqubat ta’zir, sesuai kaidah syar’at (Dinas Syariat Islam, 2010). Islam dengan tegas melarang zina, sementara mesum merupakan peluang untuk terjadinya zina, maka mesum merupakan salah satu pidana dan diancam dengan ’uqubat ta’zir sesuai kaidah syariat. Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya promotif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah). Perkembangan moral yang sesuai dengan Syariat Islam merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan syariat Islam bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa. Dengan demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Disisi lain, tiada moral dan religi ini sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja (Sarwono, 2010). Universitas Sumatera Utara Jessor (1995) menyebutkan kurangnya monitoring orang tua dan hubungan dengan rekan-rekan yang menyimpang merupakan prediktor yang kuat terlibat dalam masalah perilaku. Konstruk ini menyumbang 46% dari perbedaan dalam masalah perilaku. Meskipun hubungan dengan teman-teman yang mempunyai perilaku menyimpang proximal sosial yang paling berpengaruh pada masalah perilaku, pemantauan orang tua dan faktor keluarga (konflik dalam keluarga) adalah praktek orang tua yang dipengaruhi dalam proses perkembangan. Dalam Theory of Reasoned Action (TRA) yang diformulasikan oleh Fishbein dan Ajzen (2005) menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam Planned Behavior Theory (PBT), Ajzen memasukkan tiga faktor latar belakang yakni personal, sosial dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu, meliputi: sifat kepribadian (personal traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain: usia, jenis kelamin, etnis, pendidikan, penghasilan dan agama, hubungan dengan orang tua, pengaruh teman sebaya. Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan dan ekspose pada media. Untuk memahami hubungan Religiusitas dan sikap remaja tentang perilaku seksual maka dapat dilihat kerangka teori dibawah ini. 2.11. Kerangka Konsep Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori tersebut di atas, maka penulis mempersempit pembahasan pada tingkat syariat Islam tentang perilaku seks berisiko. Adapun variabel yang akan diteliti adalah: Variabel bebas (Independent) hukum Universitas Sumatera Utara Syariat Islam (wilayatul hisbah, aturan, sanksi, mahkamah, dan subjek) dan variabel terikat (dependent) yaitu perilaku seks berisiko. Kerangka konsep disajikan melalui skema sebagai berikut: Variabel Independen Variabel Dependen Hukum Syariat Mesum : - Wilayatul Hisbah Aturan Sanksi Mahkamah Subjek Perilaku Seks Berisiko Pendidkan dalam Keluarga - Agama Moral Demokrasi Sosial Pendidikan Seks Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Universitas Sumatera Utara