BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Remaja
2.1.1
Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin yang berarti “tumbuh”
atau “tumbuh menjadi dewasa”. Masa remaja adalah masa peralihan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa remaja terjadi beberapa perubahan, yaitu
dalam aspek jasmani, rohani, emosional, sosial dan personal (WHO, 2002). Menurut
WHO, remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah.
Sementara UNFPA menyebut remaja sebagai golongan pemuda (youth), yaitu
penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 15 sampai 24 tahun. Berdasarkan
kedua batasan remaja tersebut, maka definisi remaja adalah penduduk laki-laki atau
perempuan yang berusia 10-24 tahun.
Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiri dari
masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan
masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, et al. 2002). Masa remaja disebut juga
sebagai periode perubahan, tingkat perubahan dalam sikap, dan perilaku selama masa
remaja sejajar dengan perubahan fisik (Hurlock, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Tahap Perkembangan Remaja
WHO (2002) membagi remaja menjadi 3 kelompok berdasarkan pertumbuhan
dan perkembangan remaja, antara lain:
a.
Remaja awal (early adolescence), yaitu remaja yang berusia 10-13 tahun. Pada
tahap ini remaja berada pada masa pertumbuhan yang sangat cepat dan
merupakan awal dari kematangan seksual. Remaja awal sudah mulai berpikir
secara abstrak.
b.
Remaja pertengahan (middle adolescence), yaitu remaja yang berusia 14-15
tahun. Perubahan fisik yang penting telah sempurna, sementara perkembangan
individu berada pada tahap pencarian identitas diri dan sangat dipengaruhi oleh
teman sebaya. Selain itu, remaja berada pada kondisi kebingungan antara peka
atau tidak peduli, optimis atau pesimis, idealis atau materialistis dan sebagainya.
Remaja pertengahan sudah mulai berpikir lebih reflektif.
c.
Remaja akhir (late adolescence), yaitu remaja yang berusia 16-19 tahun. Pada
tahap ini, pertumbuhan fisik telah sempurna dan menyerupai orang dewasa,
sementara remaja telah memiliki identitas diri yang jelas dan memiliki ide dan
pendapat yang mapan. Fungsi intelektualitas semakin mantap, identitas seksual
semakin mantap, memperhatikan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri
dan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah suatu kondisi fisik, mental, sosial yang utuh,
yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecatatan, namun dalam semua hal
yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya (Depkes, 2003b).
2.2.1. Perilaku Kesehatan Reproduksi Remaja
Pengetahuan merupakan domain yang penting untuk mengambil sikap
kemudian berperilaku. Selama ini pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
remaja masih kurang karena akses informasi terbatas dan banyaknya informasi
seksualitas yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Kollman (2004) pengetahuan kesehatan reproduksi menyebabkan
seseorang mengambil keputusan untuk berperilaku seksual. Kemampuan mengakses
informasi kesehatan reproduksi pada remaja meningkatkan perilaku seksual remaja
tetapi kehamilan remaja rendah karena mereka menggunakan alat kontrasepsi.
Pemahaman dan kesadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi pada remaja masih
rendah, masyarakat masih enggan dan tabu untuk membicarakan sehingga remaja
cenderung mendiskusikan hanya dengan sesama teman (Badan Kependudukan
Keluarga Berencana, 2006).
Meningkatnya dorongan seksual menyebabkan remaja mencari informasi
seksual secara sembunyi-sembunyi karena dianggap bertentangan dengan norma
sehingga bermasalah dalam hal seksualitas yang kompleks seperti hamil diluar nikah
dan penyakit menular seksual (Amrillah, 2005). Kepedulian orang tua untuk
memberikan informasi tentang seksualitas hanya 3,8%.
Universitas Sumatera Utara
Program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) merupakan penjabaran dari
misi program keluarga berencana nasional, yaitu mempersiapkan sumber daya
manusia yang berkualitas sejak dini dalam rangka menciptakan keluarga berkualitas
pada tahun 2015. Untuk mencapai tujuan program tersebut badan koordinasi keluarga
berencana nasional mengeluarkan kebijakan teknis program kesehatan reproduksi
remaja yang diantaranya peningkatan promosi kesehatan reproduksi remaja,
dimaksudkan agar remaja tumbuh dalam kondisi kondusif untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku kehidupan seksual yang bertanggung jawab.
Informasi kesehatan reproduksi remaja penting karena selama ini pengetahuan remaja
masih kurang, akses informasi terbatas, informasi menyesatkan banyak beredar,
untuk persiapan generasi bangsa dan program kesehatan reproduksi remaja
merupakan pilar dari kesepakatan internasional. Hasil need assessment Tanjung dkk
(2005) menyebutkan bahwa pengetahuan remaja akan kesehatan reproduksi dasar
tidak memadai, terutama tentang masa subur, kehamilan dan HIV AIDS (Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2006).
2.3. Perilaku Seksual Remaja
Dalam tahapan tumbuh kembang remaja terjadinya kematangan serta
peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada laki-laki maupun
pada perempuan yang akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara
keseluruhan. Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual
mempunyai pengaruh kuat dalam sikap remaja terhadap lawan jenis. Terjadinya
Universitas Sumatera Utara
peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor
perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Santrock, 2003).
Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan yang sehat adalah
bilamana anak tumbuh menjadi seorang remaja yang sehat fisik, maupun psikologis
serta terhindar dari cacat sosial seperti kecanduan narkoba, cacat kriminal dan lainlainnya. Secara seksual perkembangan yang dianggap berhasil meliputi membangun
hubungan antar mereka yang akrab dan kasih tanpa terjadi kehamilan yang tidak
dikehendaki atau terjangkit penyakit menular seksual (Sarwono, 2010).
Menurut L’Engel, dkk (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktifitas yaitu
aktivitas seksual ringan dan berat, yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali
pergi berkencan, pergi ke tempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan (french
kiss), sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti meraba payudara, meraba
vagina atau penis, oral seks dan melakukan hubungan seksual. Adanya persepsi yang
berbeda-beda mengenai seksualitas akan menyebabkan sikap yang berbeda-beda
terhadap seks itu sendiri, yang selanjutnya mempengaruhi perilaku seksualnya. Caracara yang biasa dilakukan dalam mengatasi dorongan seksual: basah, menahan diri
dengan berbagai cara: menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, menghabiskan
tenaga dengan berolah raga, memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Sarwono (2010) menyebutkan yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya
maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam,
Universitas Sumatera Utara
mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan. Objek seksualnya bisa
berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Berikut beberapa faktor eksternal dan internal (Sarwono, 2010) yang
memengaruhi perilaku seksual remaja:
a. Perspektif biologis; perubahan biologis yang terjadi pada masa pubertas dan
pengaktifan hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual.
b. Hubungan dengan orang tua; kurangnya komunikasi yang terbuka antara remaja
dan orang tua dalam masalah seputar seksual dapat memperkuat munculnya
penyimpangan perilaku seksual berfungsinya keluarga dalam menjalankan fungsi
kontrol afeksi/kehangatan penanaman nilai moral dan keterbukaan komunikasi
dapat membantu remaja untuk menyalurkan dorongan seksualnya dengan cara
yang selaras dengan norma dan nilai yang berlaku serta menyalurkan energi psikis
secara produktif.
c. Pengaruh teman sebaya; pada masa remaja pengaruh teman sebaya sangat kuat
sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma
kelompok sebaya.
d. Perspektif akademik; remaja dengan prestasi yang rendah dan tahap aspirasi yang
rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibanding remaja
yang memiliki prestasi lebih baik di sekolah.
e. Perspektif sosial kognitif; kemampuan sosial kognitif diasosiasikan dengan
pengambilan keputusan yang menyediakan pemahaman perilaku seksual di
kalangan remaja.
Universitas Sumatera Utara
f. Pengalaman seksual; makin banyak pengalaman mendengar, melihat, mengalami
hubungan seksual makin kuat stimulasi yang dapat mendorong munculnya
perilaku seksual, misalnya media massa, obrolan dari teman sebaya/pacar tentang
pengalaman seks melihat orang-orang yang sedang berpacaran atau melakukan
hubungan seksual.
g. Faktor-faktor kepribadian; seperti harga diri, kontrol diri, tanggung jawab,
tolerance for stress, coping stress dan kemampuan membuat keputusan.
h. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, remaja yang memiliki pemahaman
secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memiliki
resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan
dorongan seksual.
i. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, integrasi yang baik
(konsistensi antara nilai, sikap dan perilaku) akan cenderung menampilkan
perilaku seksual yang selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari
kepuasan dari perilaku yang produktif.
2.3.1. Dampak Hubungan Seks dalam Kesehatan Reproduksi
Salah satu perilaku remaja yang dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan
remaja adalah perilaku hubungan seksual pranikah. Hubungan seksual pranikah
(premarital sex) adalah kontak seksual yang dilakukan remaja dengan lawan jenis
atauteman sesama jenis tanpa ikatan pernikahan yang sah (Ghuman, dkk., 2006).
Perilaku hubungan seksual pranikah dapat menyebabkan berbagai masalah bagi
kesehatan, sosial dan ekonomi bagi remaja itu sendiri maupun keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Mekenzie, dkk (1997) mengemukakan beberapa dampak dari perilaku
hubungan seksual pranikah, diantaranya adalah:
1.
Hubungan seksual pranikah rentan terhadap penyakit menular seksual. Hal ini
disebabkan karena remaja cenderung memiliki pasangan seksual lebih dari 1
(multiple partners), melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom
(unprotected sex) dan memilih pasangan seksual risiko tinggi (high risk
partners). Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual dan menyerang organ reproduksi seseorang. PMS meliputi
sifilis, gonorhea, herpes genitalis dan AIDS. Penyakit menular seksual pada
remaja dapat memiliki dampak serius bagi kesehatannya, yaitu ketidaksuburan
(infertility), kanker reproduksi, kehamilan dan proses melahirkan dengan risiko
tinggi dan infeksi HIV.
2.
Kedua, hubungan seksual pranikah pada remaja dapat menyebabkan kehamilan
tidak diinginkan (KTD). Kehamilan pada remaja dapat menimbulkan masalah
bagi remaja itu sendiri, keluarga maupun lingkungan sosial. Kehamilan tidak
diinginkan pada remaja dapat memiliki beberapa dampak, yaitu:
a) Dampak fisik, status kesehatan fisik rendah, perdarahan, komplikasi dan
kehamilan yang bermasalah
b) Dampak psikologis, tidak percaya diri, stres, malu
c) Dampak sosial, prestasi sekolah rendah atau drop out dari sekolah, penolakan
atau pengusiran oleh keluarga, dikucilkan oleh masyarakat, tingkat
ketergantungan keuangan yang tinggi bahkan kemiskinan
Universitas Sumatera Utara
d) Dampak bagi anak yang dilahirkan, anak yang dilahirkan oleh ibu diusia
remaja akan mengalami status kesehatan yang rendah, keterlambatan
perkembangan intelektualitas dan masalah sosial lainnya (Mekenzie, dkk
1997).
3.
Kehamilan yang disebabkan oleh hubungan seksual dapat menyebabkan aborsi
spontan atau aborsi buatan pada remaja. Aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan
dan keselamatan remaja, karena memiliki beberapa dampak yaitu:
a) Dampak fisik, aborsi yang dilakukan secara sembarangan atau oleh tenaga
tidak terlatih dapat menyebabkan berbagai komplikasi medis atau bahkan
kematian. Beberapa dampak fisik dari tindakan aborsi tidak aman antara lain:
perdarahan yang terus menerus, infeksi alat reproduksi karena kuretasi yang
tidak steril, risiko rupture uterus akibat kuretasi atau fistula genitalis traumatis
yaitu terbentuknya suatu saluran antara genital dan saluran kencing atau anus.
b) Dampak psikologis, seperti perasaan bersalah.
c) Dampak sosial, seperti dikucilkan oleh masyarakat, teman dan keluarga.
Kecenderungan sikap permisif remaja terhadap perilaku seks bebas atau
perilaku seks pranikah dapat menimbulkan risiko terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD) dan tertular penyakit menular seksual (PMS). Angka infeksi
menular seksual (IMS) tertinggi terdapat pada usia 15-23 tahun dan kehamilan tidak
diinginkan yang diakhiri dengan aborsi sebanyak 2,4 juta jiwa per tahun 700 ribu di
antaranya adalah remaja.
Universitas Sumatera Utara
Menurut WHO, 45 juta kehamilan yang tidak diinginkan terjadi setiap
tahunnya. Sebanyak 19 juta wanita hamil melakukan aborsi yang tidak aman, 40%
dari aborsi yang tidak aman tersebut dilakukan oleh wanita berumur antara 15-24
tahun. Berdasarkan data perkumpulan keluarga berencana Indonesia (PKBI), dari 37
ribu perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), sebanyak
30% adalah remaja. Menurut survei dari Indonesian Planned Parenthood Association
(IPPA) tahun 1994, lebih dari setengah (58% dari 2.558) kasus aborsi dilakukan oleh
perempuan dengan usia 15-24 tahun yang mayoritas (62%) belum menikah (WHO,
2003).
Diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat
universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi
kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kodrati,
berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Fitrah beragama ini merupakan
kemampuan dasar (disposisi) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk
berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak
sangat berpengaruh dipengaruhi proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini
sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW: ”Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orangtuanyalah anak itu menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dengan demikian perkembangan beragama seseorang
dipengaruhi oleh faktor bawaan (internal) dan lingkungan (eksternal). Faktor
eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu
adalah keluarga, sekolah dan masyarakat (Yusuf, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan beberapa remaja ditemui pada umumnya mereka antusias dan
semangat mengikuti pembinaan Islam, menyadari pentingnya pembinaan kepribadian
dan keterampilan agar dapat bermanfaat pada hari depan dan mendapatkan rezeki
yang halal dan baik melalui keterampilan yang mereka dapat selama dibina.
Religiusitas adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang
menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan
sekadar mengaku mempunyai agama (having religion). Religiusitas meliputi
pengetahuan agama, keyakinan agama, pengamalan ritual agama, pengalaman agama,
perilaku (moralitas) agama, dan sikap sosial keagamaan Dalam Islam, religiusitas
pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan akidah, syariah, dan akhlak, atau
dengan ungkapan lain: iman, Islam, dan ihsan. Bila semua unsur itu telah dimiliki
oleh seseorang, maka dia itulah insan beragama yang sesungguhnya (Al Gifari,
2004).
2.4.
Khalwat
Dalam buku Dinas Syariat Islam Aceh edisi kedelapan ( 2010 ) pada butir ke
16 qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang
khalwat (mesum) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalwat/mesum adalah
perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis
yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Sepanjang sejarah, masyarakat
Aceh telah menjadikan Agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui
penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang
Universitas Sumatera Utara
(sejak abad ke VII M) telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang
Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian
dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebutkan
“Adat bak putroe Meuruhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Puroe Phang,
Reusam bak Lakseumana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa
syariat Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh
melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi. Dengan munculnya era reformasi
pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan
Syariat Islam di bebarapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Aceh
yang telah lama di kenal sebagai Serambi Mekkah. Semangat dan peluang tersebut
kemudian terakomodir dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut
semakin di pertegas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Di samping itu pada tingkat daerah Nomor 4 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam. Sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi yaitu sanksi
yang bersifat definitive dari Allah dan Rasul dan sanksi yang ditetapkan manusia
melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tesebut
mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Islam dengan tegas
melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau
peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah
(perbuatan pidana) dan di ancam dengan ‘uqubat ta’zir , sesuai kaidah syari’at. Qanun
Universitas Sumatera Utara
tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya promotif, preventif
dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan
‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat
denda (gharamah).
Perkembangan moral yang sesuai dengan Syariat Islam merupakan bagian
yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral
dan syariat Islam bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa.
Dengan demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan
dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Disisi lain, tiada moral dan religi ini
sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja
(Sarwono, 2010).
Setiap
manusia
memiliki
naluri
keagamaan,
yaitu
naluri
untuk
berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh kejelasan
tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidup, karena itu setiap
manusia pasti memiliki keinsyafan tentang apa yang dianggap makna hidup. Remaja
lebih tertarik kepada agama dan keyakinan spiritual dari pada anak-anak. Pemikiran
abstrak mereka yang semakin meningkat dan pencarian identitas yang mereka
lakukan
membawa
mereka
kepada
masalah-masalah
agama
dan
spiritual
(Soetjiningsih, 2004).
Nilai keagamaan adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang
menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious). Religiusitas
meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, dan sikap sosial keagamaan. Dalam
Universitas Sumatera Utara
Islam, religiusitas pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan aqidah, syariah
dan akhlak, atau dengan ungkapan lain, iman, Islam dan ihsan. Bila semua unsur itu
telah dilimiliki oleh seseorang maka dia itulah insan yang telah beragama dengan
sesungguhnya (Jalaluddin, 2004).
Ajaran agama yang diterima remaja pada waktu kecilnya akan berkembang
dan bertambah subur apabila remaja dalam menganut kepercayaan itu tidak mendapat
kritikan-kritikan, dalam hal agama apa yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi
keyakinan melalui pengalaman-pengalaman yang dipercaya (Soetjiningsih, 2004).
Isu-isu agama merupakan hal yang penting bagi remaja dan memiliki
sejumlah dampak positif bagi remaja. Mengunjungi tempat beribadah dan terlibat
dalam aktivitas keagamaan dapat menguntungkan remaja, karena komunitas religius
mendorong sikap dan perilaku remaja yang dapat di terima secara sosial dan
memberikan model-model peran yang positif bagi remaja. Teori perkembangan
kognitif Jean Peaget dalam Santrock (2003), memberikan latar belakang teoritis untuk
memahami perkembangan religius perkembangan religius pada remaja yang di
kategorikan kedalam tiga tahapan yaitu: tahap pertama; usia 7-8 tahun pemikiran
religius intuitif pra operasional (preoperational intuitive religious thought) yaitu
pemikiran religius anak-anak masih belum sistematis dan terpenggal-penggal. Anakanak sering kali tidak
memahami
materi dalam kisah-kisah atau tidak
mempertimbangkan semua fakta. Tahap kedua (dari usia 7-8 tahun hingga 13-14
tahun), disebut dengan pemikiran “pemikiran religius operational konkret” (concrete
operational religious thought). Anak mulai fokus pada detil khusus mengenai gambar
Universitas Sumatera Utara
atau kisah. Tahap ketiga (usia 14 hingga sisa masa remaja) disebut “pemikiran
religius operational formal” (formal operational religious thought). Remaja
mengungkapkan pemahaman religius yang lebih abstrak, lebih banyak memberikan
komentar yang mengungkapkan kebebasan, makna dan harapan, konsep-konsep
abstrak, ketika membuat penilaian religius.
2.5.
Kegiatan Keagamaan Syari’at Islam di SMA Negeri 2 Peusangan
1. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, patuh dan merendah diri kepada Allah SWT.
Jelasnya ibadah ialah pengabdian diri sepenuhnya kepada Allah, mengikuti peraturan,
melakukan suruhan dan meninggalkan larangan Allah SWT sebagaimana ditetapkan
di dalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah.
2. Pengajian
Pengajian dalam bahasa Arab disebut At-ta’llimu asal kata ta’allama
yata’allamu ta’liiman yang artinya belajar, pengertian dari makna pengajian atau
ta’liim mempunyai nilai ibadah tersendiri, hadir dalam belajar ilmu agama bersama
seorang Aalim atau orang yang berilmu merupakan bentuk ibadah yang wajib setiap
muslim. Di dalam pengajian terdapat manfaat yang begitu besar positifnya, didalam
pengajian-pengajian manfaat yang dapat diambinya menambah dari salah satu orang
yang biasa berbuat negatif dengan memanfaatkannya menjadi positif. Hal seperti ini
pada masyarakat muslim pada umumnya dapat memanfatkan pengajian untuk
merubah diri atau memperbaiki diri dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Universitas Sumatera Utara
3. Ceramah
Ceramah merupakan kelompok berbicara satu arah, pembicara menyampaikan
gagasannya kepada pihak lain dan tidak memerlukan reaksi sesaat dalam bentuk
bicara yang berupa tanggapan atau respon. Ceramah merupakan suatu kegiatan
berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada
pendengar tertentu. Dalam setiap ceramah pembicara harus menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi sehingga ceramah, dapat berjalan dengan lancar.
2.6.
Peran Keluarga dalam Perkembangan Remaja
Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga mempunyai peranan paling
besar dalam membentuk kepribadian remaja, Keluarga yang disfungsional seperti
keluarga yang tidak stabil, orang tua tunggal, tinggal tidak serumah dengan orang tua,
pengawasan yang kurang terhadap aktivitas remaja, serta orang tua yang tidak
suportif, merupakan faktor prediksi kemungkinan peningkatan seksual aktif yang
lebih dini. Komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara remaja dengan
orang tua, hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus selalu dijaga agar
dapat diketahui hal-hal yang diinginkan oleh remaja sehubungan dengan
pertumbuhan dan perkembangan remaja. Orang tua harus menyediakan waktu yang
cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah dan saling berbicara apa saja
mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja, serta dapat menjadi teman
yang baik bagi remaja (Dariyo, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Masalah seks pada remaja sering kali mencemaskan orang tua, oleh sebab itu
diperlukan sikap yang bijaksana dari orang tua agar remaja dapat melewati masa
transisinya dengan baik, sangat sedikit remaja yang mempunyai kebiasaan
membicarakan masalah seksualitas dengan orang tua, peran orang tua sangat besar
dengan melakukan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, serta memberikan
kepercayaan dari orang tua kepada anak sehingga remaja menjadi lebih bertanggung
jawab tentang perilaku seksual (PKBI, 1999).
2.7.
Pengaruh Teman Sebaya
Teman sebaya dalam pergaulan dapat menjadi salah satu sumber informasi
yang cukup kuat dalam membentuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan
masalah seks dikalangan remaja, hal yang paling membahayakan adalah bila
informasi yang diterima remaja dapat menimbulkan dampak yang negatif karena
informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media massa, serta
pengalaman diri sendiri. Pada usia remaja, kebutuhan emosional individu beralih dari
orang tua kepada teman sebaya. Pada masa ini, teman sebaya juga merupakan sumber
informasi (Sarwono, 2010).
Teman sebaya memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan remaja,
tidak terkecuali dalam hal seksualitas. Menurut Amrillah (2005) mengatakan bahwa
perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif
secara seksual. Jika seorang remaja memiliki teman yang aktif secara seksual maka
Universitas Sumatera Utara
akan semakin besar pula kemungkinan remaja tersebut untuk juga aktif secara seksual
mengingat bahwa pada usia tersebut remaja ingin diterima oleh lingkungannya.
2.8.
Sikap Remaja tentang Perilaku Seksual
Sikap merupakan kecenderungan untuk berespon baik secara positif maupun
negatif, terhadap orang, objek atau situasi. Sikap dan perilaku bisa konsisten apabila
sikap dan perilaku yang dimaksud adalah spesifik dan ada relevansinya satu dengan
yang lain. Sikap permisif terhadap hubungan seks remaja sebelum nikah dan perilaku
seks remaja sebelum nikah spesifik dan relevan satu dengan yang lain, maka sikap
tersebut bisa menjadi prediktor bagi perilakunya. Sikap tidak permisif terhadap
hubungan seks remaja sebelum menikah atau disebut traditional permissiveness
indikatornya adalah aktivitas keagamaan dan religiuitas.
Romantisme pacaran yang dominan dirasakan oleh remaja yang jatuh cinta
tidak jarang berkembang dan mendorong ke arah perilaku seks. Apabila pasangan
dalam pacaran itu sama-sama memiliki dorongan ke arah perilaku seks, maka
kemungkinan terjadinya hubungan seks sebelum nikah akan mudah terjadi (Sarwono,
2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seks remaja dapat
dibedakan antara faktor-faktor di luar individu dan di dalam individu. Faktor di dalam
individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif. Sikap permisif itu sendiri
banyak dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam diri individu. Dengan demikian faktor
sikap dapat dijadikan prediktor yang kuat tentang munculnya perilaku seks sebelum
Universitas Sumatera Utara
menikah. Oleh karena itu untuk memahami perilaku seks sebelum menikah bisa
dilihat dari sikapnya. Selanjutnya berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan
perilaku seks tersebut tidak bisa berlaku sama untuk pria dan wanita. Pendapat para
ahli dan hasil- hasil penelitian menunjukkan bahwa pria lebih permisif sikapnya dan
aktif melakukan hubungan seks sebelum menikah (Kartono, 1998).
Beberapa ahli psikologi telah banyak membuat definisi tentang sikap,
diantaranya oleh Louis Thurstone dan Rensis Linkert. Mereka mengatakan bahwa
definisi sikap adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu.
Sikap juga dapat didefinisikan sebagai penilaian positif atau negatif dari seseorang
tentang suatu objek, pemikiran atau kejadian tertentu. Beberapa psikolog telah
mengidentifikasi bahwa terdapat tiga hal penting yang saling mempengaruhi dalam
pembentukan sikap manusia, tiga hal tersebut adalah: pengaruh sosial atau pengaruh
orang lain, pengaruh koqnitif, atau pengaruh dari pemikiran dan pengaruh perilaku.
Sikap yang diperoleh dari pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung
terhadap perilaku berikutnya. Sikap meliputi rasa suka atau tidak suka, mendukung
atau tidak mendukung, kelompok dan aspek lingkungan yang dapat dikenal lainnya
termasuk gagasan abstrak dan kebijakan sosial. Nilai (value) dan opini atau pendapat
sangat erat berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut sering kali
digunakan dalam definisi mengenai sikap. Nilai lebih bersifat mendasar dan stabil
sebagai bagian dari ciri kepribadian, sedangkan sikap bersifat evaluatif dan berakar.
Sikap remaja tentang perilaku seksual remaja adalah perasaan menyetujui atau
Universitas Sumatera Utara
memihak (favourable) dan tidak menyetujui atau tidak memihak (unfavourable) pada
objek tersebut (Azwar, 2010). Sikap ini dikaitksan dengan respon yang ditampilkan
remaja terhadap berbagai bentuk perilaku seksual remaja.
2.9.
Hubungan Syariat Islam (Nilai Keagamaan) dengan Perilaku Seksual
Remaja pada umumnya sering sekali memiliki anggapan sebagai suatu
kelompok sedang tumbuh yang memiliki kebebasan dan keinginan, kebebasan
tersebut ditafsirkan dengan perilaku glamour, perilaku seks yang menonjol, busana
trendi, santai-santai bersama, meninggalkan shalat, merokok bahkan narkoba untuk
rasa kekompakannya sebagai suatu kelompok. Berbagai penafsiran tersebut bukanlah
muncul tiba-tiba, tapi diawali oleh suatu proses pengetahuan lingkungan sosial
sekitar, termasuk agama, media, keluarga, lingkungan pergaulan dan masyarakat
sekitar. Salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah berkaitan
dengan aktivitas seksual. Pada umumnya ajaran agama melarang seks bebas/seks
pranikah. Dengan demikian tingkat partisipasi remaja dalam organisasi religius dapat
menjadi hal yang lebih penting. Para remaja yang sering mengunjungi layanan
religius cenderung lebih banyak mendengar pesan-pesan agar menjauhkan diri dari
seks. Keterlibatan remaja dalam organisasi religius juga dapat meningkatkan peluang
bahwa mereka akan berkawan dengan remaja-remaja yang memiliki sikap yang tidak
menyetujui perilaku seksual pra nikah (Kartono, 1994).
Agama memiliki pengaruh yang kuat pada pandangan dan sikap remaja.
Beberapa faktor risiko bisa meningkatkan kerentanan remaja yaitu: kurangnya
Universitas Sumatera Utara
dukungan keluarga dan masyarakat, kegagalan akademis/terlibat tindak kriminal di
sekolah, kekerasan yang berlebihan dari orang tua, pendapatan yang rendah, mobilitas
yang tinggi, keterlibatan sebaya dalam kegiatan anti-sosial. Perkembangan budaya
dalam masyarakat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti
paparan pornografi dari media, minuman keras, penggunaan obat-obatan terlarang,
pergaulan bebas dan sebagainya. Hal ini mempunyai daya tarik yang kuat untuk
remaja, sehingga remaja yang penuh gejolak ingin mencobanya, disamping itu remaja
melihat bahwa tidak sedikit orang dewasa atau masyarakat sekitar yang gaya
hidupnya kurang memperdulikan agama, bersifat munafik, tidak jujur dan lainnya.
Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian
orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak
yang beranjak dewasa, sehingga tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau
bertentangan dengan kehendak dan pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya
moral dan religi sering dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan
remaja. Religi yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam
semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya diatur segala
perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, serta perbuatan yang dinilai tidak
baik dan tidak perlu dilakukan sehingga perlu dihindari. Agama mengatur juga
tingkah laku baik buruk secara psikologis termasuk dalam moral adalah sopan santun,
tata krama dan norma-norma masyarakat yang lain (Sarwono, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pendapat lain dikemukakan oleh Philip Seznick dimana batasan ruang lingkup
maupun perspektif sosiologi hukum, dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum
adalah sbb:
a. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampua bagi
pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial;
b. Penguasaan konsep-konsep soskum memberikan kemapuan-kemampuan utk
mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai
sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk
mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu;
c. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan
untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat
(Lismanto, 2010).
Apabila remaja kurang mendapat bimbingan dalam keluarga, kondisi keluarga
yang kurang harmonis, kurang memberikan kasih sayang, dan berteman dengan
kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut
akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang
baik/perilaku yang berisiko, maka remaja akan menjadi trouble maker (pembuat
keonaran) dalam masyarakat (Jessor, 1997).
Seorang psikolog yang mendalami psikologi agama, William James,
mengatakan bahwa orang yang menempatkan agama sebagai sumber semangat
memiliki sikap jiwa yang sehat, yang terlihat sebagai sikap yang penuh gairah,
terlibat, bersemangat tinggi dan meluap dengan vitalitas. Sikap jiwa yang sehat
Universitas Sumatera Utara
ditampilkan sebagai sikap yang positif, optimis, spontan serta bahagia. Sebaliknya,
orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan memiliki
jiwa yang sakit (sick soul) yang dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa bersalah,
murung serta tertekan. James juga berpendapat bahwa bagi manusia, agama
membuka suatu dimensi kehidupan yang paling fundamental dan peluang untuk
mengembangkan pribadinya serta mengintegrasikannya secara kreatif dan selaras ke
dalam dunia pribadinya (Santrock, 2010).
Sikap keberagamaan remaja memiliki perspektif yang luas didasarkan atas
nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu sikap keberagamaan umumnya juga dilandasi
oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang
dianutnya. Di usia perkembangan remaja tampak dorongan seksual begitu dominan
atau setidak-tidaknya secara psikologis memiliki dampak terhadap nilai-nilai
keagamaan. Maksudnya dorongan seks tak jarang turut mempengaruhi munculnya
sikap dan perilaku menyimpang sehingga para remaja tidak merasa bersalah atau
berdosa melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma agama. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa sikap permisif dikalangan remaja di beberapa kota
besar di Indonesia, seperti hidup serumah tanpa ikatan pernikahan, menjadi bagian
dari gejala perilaku seksual yang terkait dengan penyaluran kebutuhan biologis
remaja (Jalaluddin, 2010). Namun demikian, agama masih tetap dianggap relevan
oleh banyak orang karena keberadaannya dianggap bermanfaat bagi manusia dalam
usaha mencari makna hidup. Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran
agama yang lengkap dan utuh setidaknya dapat memberi kesadaran bagi remaja
Universitas Sumatera Utara
bahwa agama bukan alat pemasung kreativitas manusia, melainkan sebagai
pendorong utama. Sehingga remaja akan termotivasi untuk mengenal ajaran agama
dalam bentuk yang sebenarnya.
2.10.
Landasan Teori
Teori ekologi sosial menyebutkan bahwa perkembangan remaja dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang terutama berasal dari keluarga, teman sebaya, teman
sekolah, agama dan masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, perilaku
remaja dipengaruhi oleh interaksi remaja dengan lingkungannya, kebijakan dan
norma yang ada di sekitarnya. Melihat faktor risiko untuk aktivitas seksual remaja
terdiri dari beberapa lapisan yaitu individu meliputi kesehatan fisik, temperamen,
kemampuan intelektual. Selanjutnya adalah lapisan keluarga, sekolah, teman sebaya,
dan lingkungan agama. pada lapisan ini faktor risiko terdiri dari orang tua tunggal,
rendahnya pengawasan orang, hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua,
kurangnya pengamalan ilmu agama serta keterlibatan dalam komitmen dengan teman
sebaya, perilaku seksual aktif dari teman sebaya. Selanjutnya lapisan mesosistem
yaitu hubungan antar struktur mikrosistem remaja, seperti hubungan guru remaja
dengan orang tuanya, tempat ibadah dengan remaja dengan lingkungan disekitarnya.
Selanjutnya lapisan makrosistem yang merupakan lapisan paling luar dari lingkungan
remaja terdiri dari nilai budaya, adat, hukum, mass media dan ekonomi.
Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam di
Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.
Universitas Sumatera Utara
10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Di dalam Butir ke 16 qanun Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum)
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyisunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim
atau tanpa ikatan perkawinan. Islam dengan tegas melarang melakukan zina.
Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina,
maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan di
ancam dengan ‘uqubat ta’zir, sesuai kaidah syar’at (Dinas Syariat Islam, 2010).
Islam dengan tegas melarang zina, sementara mesum merupakan peluang
untuk terjadinya zina, maka mesum merupakan salah satu pidana dan diancam
dengan ’uqubat ta’zir sesuai kaidah syariat. Qanun tentang larangan khalwat/mesum
ini dimaksudkan sebagai upaya promotif, preventif dan pada tingkat optimum
remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat
ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah).
Perkembangan moral yang sesuai dengan Syariat Islam merupakan bagian yang
cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan
syariat Islam bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa. Dengan
demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan
kehendak atau pandangan masyarakat. Disisi lain, tiada moral dan religi ini sering
kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja (Sarwono,
2010).
Universitas Sumatera Utara
Jessor (1995) menyebutkan kurangnya monitoring orang tua dan hubungan
dengan rekan-rekan yang menyimpang merupakan prediktor yang kuat terlibat dalam
masalah perilaku. Konstruk ini menyumbang 46% dari perbedaan dalam masalah
perilaku. Meskipun hubungan dengan teman-teman yang mempunyai perilaku
menyimpang proximal sosial yang paling berpengaruh pada masalah perilaku,
pemantauan orang tua dan faktor keluarga (konflik dalam keluarga) adalah praktek
orang tua yang dipengaruhi dalam proses perkembangan.
Dalam Theory of Reasoned Action (TRA) yang diformulasikan oleh Fishbein
dan Ajzen (2005) menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam Planned
Behavior Theory (PBT), Ajzen memasukkan tiga faktor latar belakang yakni
personal, sosial dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang
terhadap sesuatu, meliputi: sifat kepribadian (personal traits), nilai hidup (values),
emosi, dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain: usia, jenis kelamin,
etnis, pendidikan, penghasilan dan agama, hubungan dengan orang tua, pengaruh
teman sebaya. Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan dan ekspose pada
media. Untuk memahami hubungan Religiusitas dan sikap remaja tentang perilaku
seksual maka dapat dilihat kerangka teori dibawah ini.
2.11.
Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori tersebut di atas, maka penulis
mempersempit pembahasan pada tingkat syariat Islam tentang perilaku seks berisiko.
Adapun variabel yang akan diteliti adalah: Variabel bebas (Independent) hukum
Universitas Sumatera Utara
Syariat Islam (wilayatul hisbah, aturan, sanksi, mahkamah, dan subjek) dan variabel
terikat (dependent) yaitu perilaku seks berisiko. Kerangka konsep disajikan melalui
skema sebagai berikut:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Hukum Syariat Mesum :
-
Wilayatul Hisbah
Aturan
Sanksi
Mahkamah
Subjek
Perilaku Seks Berisiko
Pendidkan dalam Keluarga
-
Agama
Moral
Demokrasi
Sosial
Pendidikan Seks
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download