BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masa dewasa muda merupakan masa dimana individu mulai mengemban tugas
untuk menikah dan membina keluarga. Sesuai dengan pendapat Havighurst (dalam
Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi
karakteristik masa dewasa muda adalah membina hubungan akrab dengan lawan
jenis, menikah dan membina keluarga.
Manakala sepasang insan melangkah ke jenjang pernikahan dan telah sepakat
untuk mengikat diri dalam satu ikatan suci, maka tak satupun dari mereka yang
menginginkan perceraian. Mereka akan berusaha menciptakan momen-momen
kebersamaan, berbagi kebahagiaan dan sebagainya yang dapat menjaga keutuhan
hubungan mereka. Namun, ketika kebersamaan dan keutuhan rumah tangga tidak
mungkin lagi untuk dipertahankan, tatkala kebahagiaan tak dapat lagi dirasakan oleh
kedua belah pihak, maka biasa nya mereka mengambil jalan untuk bercerai.
Meskipun perceraian merupakan pengalaman yang berat dan pahit tetapi angka
perceraian setiap tahun tidak pernah turun justru makin meningkat. Berdasarkan data
yang diungkapkan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Prof Dr Nasaruddin
Umar selasa 15 Juli 2008 di www.kompas.com, sepuluh dari seratus perkawinan di
Indonesia berakhir dengan perceraian. Angka ini meningkat dua kali lipat
dibandingkan tahun sebelumnya. Tingginya angka perceraian di Indonesia dalam tiga
1
tahun terakhir ini memang sangat memprihatinkan dan yang lebih menyedihkan lagi,
perceraian itu terjadi di kalangan mereka yang baru membina rumah tangga.
Angka
perceraian
yang
diterbitkan
oleh
Ditjen
Bimas
Islam
di
www.depag.go.id akhir tahun 2007 lalu tercatat hingga akhir 2007 terjadi perceraian
di Indonesia sebanyak 148.738 peristiwa, terdiri dari 54.456 peristiwa cerai talak dan
94.282 peristiwa cerai gugat. Sebanyak 1.101 perkara di luar itu naik banding ke
pengadilan tinggi agama, yang terdiri dari 519 perkara cerai talak dan 582 perkara
cerai gugat. Data dari Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tahun 2007, dari 3.172 kasus
perceraian di Jakarta, sekitar 66,2% merupakan kasus cerai gugat. Tingginya angka
cerai gugat ini juga dijumpai di Pengadilan Agama Bekasi, yaitu 62,9% dari 771
kasus perceraian tahun 2007. Menariknya, berdasarkan data yang dihimpun dari
sejumlah media cetak, fenomena tingginya kasus cerai gugat juga terjadi di daerahdaerah lain. Di antaranya, Depok, Solo, Yogyakarta, Garut, Bandung, Surabaya,
Sulsel (Makasar). Bukan hanya itu, angka cerai gugat ini pun terus meningkat dari
tahun ke tahun. Begitu pula angka perceraian secara keseluruhan, tak pernah turun.
Perkembangan zaman, dinilai semakin banyak mempengaruhi hubungan suami
istri yang berujung pada perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat. Menurut
Sekjen Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait biang utama
perceraian adalah masalah ekonomi. Dari 109 kasus perceraian di DKI yang
dilaporkan ke Komnas PA pada 2007, 26 kasus (23,85%) terjadi karena faktor
ekonomi. Faktor lain karena pertengkaran terus-menerus 21 kasus (19,26%),
kekerasan dalam rumah tangga 13 kasus (11,92%), perselingkuhan 9 kasus (8,25%),
dan campur tangan dari keluarga 15 kasus (13,76%), kelainan seksual 4 kasus
(3,66%). Faktor lainnya adalah ketidakcocokan, sebanyak 21 kasus (19,26%).
Perceraian tentu saja memiliki dampak negatif bagi pasangan yang bercerai dan
anak-anak. Bagi perempuan dampak perceraian biasanya lebih terasa berat
dibandingkan bagi laki-laki. Akan tetapi pada kasus cerai gugat, dimana istri yang
menggugat cerai suami beban mental yang dirasakan oleh perempuan mungkin akan
terasa berbeda dibandingkan dengan perempuan yang mengalami kasus cerai talak
dimana suami yang menceraikan istri. Istri yang menggugat cerai suaminya biasanya
lebih siap secara mental menghadapi perceraian daripada istri yang ditalak cerai oleh
suaminya. Perempuan-perempuan yang menggugat cerai suaminya biasanya adalah
perempuan-perempuan yang bekerja, mandiri dan tidak bergantung secara finansial
kepada suami. Sehingga ketika rumah tangga mereka tidak harmonis lagi dan tidak
dapat dipertahankan lagi mereka siap untuk berpisah dengan suami.
Majalah Time (Asia's Divorce Boom, 5 April 2004) menyatakan kaum hawa
semakin sadar dengan tuntutan kesetaraan dalam kehidupan berumah tangga. Seorang
public prosecutor di Thailand yang diwawancarai menengarai, kasus perceraian
meningkat karena perempuan Asia masa kini semakin independen secara finansial.
Hal ini diperkuat ucapan selebriti Alya Rohali yang juga dikutip majalah Time. "We
have proved that we can succeed financially, with or without a man," kata Alya yang
gagal dalam perkawinan pertamanya. Dari penuturan Alya tersebut dapat dilihat
bahwa wanita zaman sekarang lebih percaya diri, mandiri, tidak bergantung kepada
orang lain dan memiliki harga diri sehingga jika terjadi perceraian sekalipun mereka
tetap optimis dalam menjalani hidupnya.
Meskipun demikian masih ada beberapa kaum perempuan yang memandang
rendah dirinya, kurang percaya diri, bergantung kepada orang lain dan pesimis dalam
menjalani hidupnya. Perempuan-perempuan seperti ini saat mengalami perceraian,
mereka seperti kehilangan pegangan hidup. Mereka tidak siap kehilangan orang yang
menjadi tumpuan, terpukul, beban mental yang mereka rasakan juga akan lebih berat.
Perceraian juga dapat menimbulkan trauma bagi mereka untuk menjalin hubungan
dekat lagi dengan laki - laki dan trauma untuk menikah lagi.
Perceraian tentu saja menyebabkan individu berpisah dengan pasangan
hidupnya. Biasanya mantan suami dan mantan istri tidak lagi tinggal serumah.
Mereka tidak lagi menjalani momen-momen kebersamaan, tidak lagi akrab,
kedekatan mereka merenggang dan mereka kehilangan orang yang berarti. Hal ini
dapat memunculkan perasaan kesendirian dan memicu perasaan kesepian.
Potensi kesepian pasca perceraian lebih tinggi pada perempuan daripada lakilaki. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Santrock (2000) yang menyatakan laki-laki
menilai kesepian berdasarkan jumlah hubungan sosial, sementara perempuan menilai
kesepian berdasarkan kualitas hubungan sosial. Oleh karena lebih sulit mendapatkan
hubungan yang berkualitas, maka perempuan lebih berpotensi merasakan kesepian
dibandingkan laki-laki.
Kesepian yang dirasakan oleh perempuan yang bercerai sangat beragam. Hal
ini tergantung pada kedekatan perempuan tersebut dengan suaminya, keberartian
suami bagi dirinya, kebahagiaan selama perkawinan, momen-momen kebersamaan
dan lain sebagainya. Faktor kepribadian dari perempuan yang bercerai tersebut juga
ikut menentukan kesepian yang dirasakannya. Faktor kepribadian tersebut berkaitan
dengan cara individu berinteraksi dengan individu lainnya. Cara individu
berinterakasi dengan orang lain, berkaitan dengan pengalaman individu tersebut saat
bayi dengan pengasuh nya. Berdasarkan pengalaman tersebut terbentuklah beberapa
gaya dalam berinteraksi antara individu dengan individu lainnya. Gaya interaksi ini
disebut juga dengan gaya kelekatan. Gaya kelekatan terdiri dari tiga yakni aman
(secure), menghindar (avoidant) dan ambivalen (ambivalent).
Perempuan dengan gaya kelekatan aman (secure) memiliki karakteristik
percaya diri, mudah dekat dengan orang lain, nyaman dekat dengan orang lain, tidak
khawatir jika ditinggalkan oleh orang yang dekat dengan nya dan optimis. Perceraian
yang membuatnya terpisah dari pasangannya tidak akan membuatnya trauma untuk
menjalin kedekatan, ia akan dengan mudah menjalani relasi dengan orang lain,
bahkan relasi dengan mantan suami pun dapat berjalan dengan baik. Seperti yang
terjadi pada Alya Rohali setelah bercerai ia dapat menikah lagi dan hubunganya
dengan mantan suami juga berjalan baik.
Perempuan
dengan
gaya
kelekatan
mengindar
(avoidant)
memiliki
karakteristik kurang nyaman bila membina hubungan dekat dengan individu lain,
tidak mau bergantung kepada orang lain, enggan percaya terhadap orang lain, sulit
dalam membina pertemanan. Individu dengan karakteristik ini, saat perceraian terjadi
ia akan trauma untuk dekat dengan orang lain, sulit untuk percaya kepada orang lain
sehingga akan sulit menemukan pasangan hidup kembali.
Perempuan dengan gaya kelekatan ambivalen (ambivalent) memiliki
karakteristik tidak percaya diri, tidak sanggup berdiri sendiri, bergantung penuh
kepada orang lain, takut bila diabaikan, cemas jika ditinggalkan dan khawatir jika
tidak disukai oleh orang lain. Saat terjadi perceraian ia akan terpuruk karena
kehilangan tempat bergantung. Namun ia juga takut untuk dekat dengan orang lain
karena rasa percaya dirinya yang rendah tetapi ia juga membutuhkan seseorang
karena ia merasa tidak sanggup berdiri sendiri.
B.
Identifikasi Masalah (Perumusan Masalah)
Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa muda adalah menikah dan
membina rumah tangga. Tetapi fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak
pernikahan kaum dewasa muda yang gagal dan berakhir dengan perceraian. Baik
cerai talak maupun cerai gugat. Meskipun setiap pasangan yang menikah tak pernah
menginginkan perceraian tetap saja angka perceraian setiap tahun nya tak pernah
turun.
Perceraian tentu membawa dampak bagi pasangan yang bercerai dan anakanak mereka. Perempuan yang ditalak cerai oleh suami nya dampak yang mereka
rasakan akan lebih berat dibandingkan dengan perempuan yang menggugat cerai
suaminya. Secara mental mereka yang menggugat akan lebih siap menghadapi
dampak dari perceraian. Perempuan yang berani menggugat cerai suaminya mereka
tidak bergantung penuh kepada suaminya, mereka merasa dapat menjalani hidup
meskipun tanpa pasangannya (suami).
Setelah perceraian biasanya mereka tidak lagi tinggal dalam satu rumah.
Hubungan antara suami dan istri biasanya juga merenggang, mereka tidak lagi
menjalani momen-momen kebersamaan. Jika individu menganggap pasangannya
orang yang sangat berarti baginya, maka ketika terjadi perceraian ia akan sangat
berpotensi merasakan kesepian. Namun jika pasangan bagi individu bukan orang
yang berarti baginya maka ketika terjadi perceraian, ia tidak terlalu merasa
kehilangan dan kesepian.
Banyak faktor yang mendasari perempuan bercerai merasa kesepian. Baik
faktor dari luar diri individu maupun faktor dari dalam diri individu. Faktor dari
dalam diri individu berkaitan dengan kepribadian individu tersebut. Cara individu
berinteraksi dengan orang lain mungkin juga ikut menentukan perasaan kesepian
yang dialaminya. Cara atau pola individu berinteraksi dengan orang lain disebut juga
sebagai pola atau gaya kelekatan.
Dari uraian diatas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah
melihat hubungan antara gaya kelekatan dengan tingkat kesepian pada individu
perempuan dewasa muda yang bercerai.
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Gambaran gaya kelekatan dan tingkat kesepian pada perempuan dewasa muda
yang bercerai
2. Hubungan gaya kelekatan dengan tingkat kesepian pada perempuan dewasa
muda yang bercerai.
D.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini secara teoritis maupun praktis, adalah :
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai sumbangan dan memperluas wawasan bagi kajian ilmu psikologi
serta dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pengembangan penelitian ilmu
psikologi yang akan datang.
b. Memperluas
kajian
ilmu
psikologi
yang
menyangkut
hubungan
interpersonal.
c. Memperluas kajian ilmu psikologi yang menyangkut pertumbuhan dan
perkembangan individu.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan bagi para wanita yang
bercerai dalam membina hubungan.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi individu
dewasa muda dalam hubungan interpersonal.
c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi para ibu dalam memberikan
pangasuhan kepada anak.
E.
Kerangka Berfikir
Ikatan afeksional individu dengan orang lain berkembang saat bayi dan akan
terus terbawa hingga individu tersebut dewasa. Pada individu dewasa ikatan
afeksional ini tidak lagi ditujukan kepada ibu atau pengasuh melainkan seringkali
lebih ditujukan pada figur yang sebaya (teman atau sahabat) atau yang mempunyai
hubungan sexual dengannya (teman kencan, kekasih, suami atau istri).
Menurut Ainsworth (dalam Feist & Feist, 2006) terdapat tiga macam gaya
kelekatan yaitu secure (aman), avoidan dan ambivalen. Tiga gaya kelekatan ini
terbentuk berdasarkan pengalaman dalam hubungan afeksional antara bayi dengan
ibu atau pengasuhnya.
Individu dengan gaya kelekatan secure memiliki ciri-ciri sebagai individu yang
berharga dan penuh dorongan. Memandang orang lain sebagai orang yang bersahabat,
dipercaya responsif dan penuh kasih sayang. Hal ini memberi pengaruh positif
terhadap kompetensi sosial. Dalam perkawinan individu ini menghargai dirinya
sendiri dan menghargai pasangannya, mengasihi dan penuh kasih sayang kepada
pasangannya. Ketika bercerai individu ini tetap dapat menjalani hidupnya, tetap
optimis meskipun harus berpisah dengan pasangannya dan tetap dapat berinteraksi
dengan orang-orang disekitarnya sehingga potensi individu ini untuk merasa kesepian
rendah.
Individu dengan gaya kelekatan avoidant mempunyai karakteristik sebagai
orang yang skeptis, curiga dan kurang mempunyai pendirian. Ia memandang tidak
percaya atas kesediaan orang lain, tidak nyaman dengan keintiman dan memiliki rasa
takut untuk ditinggalkan. Dalam perkawinan individu ini selalu curiga kepada
pasangannya dan tidak percaya terhadap pasangan. Ketika bercerai individu ini sulit
untuk mendapatkan pasangan baru karena ia selalu curiga kepada orang lain dan tidak
nyaman berhubungan dekat dengan orang lain sehingga individu ini berpotensi besar
merasa kesepian.
Individu dengan gaya kelekatan ambivalent mempunyai karakteristik merasa
kurang perhatian, kurang percaya diri, kurang berharga, kurang asertif dan merasa
tidak dicintai oleh orang lain. Dalam perkawinan individu ini merasa tidak dicintai
oleh suaminya, merasa suami tidak perhatian terhadapnya, kurang percaya diri dan
merasa dirinya kurang berharga bagi suaminya. Ketika bercerai individu ini sangat
takut ditinggal oleh suami, merasa tidak dapat menjalani hidup tanpa suami karena
kehilangan suami sehingga individu ini berpotensi besar merasa kesepian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa gaya kelekatan ada hubungan nya dengan
kesepian, dalam hal ini pada perempuan dewasa muda yang bercerai.
Pengalaman Interaksi
individu saat bayi
dengan
ibu/pengasuhnya
Individu
Perempuan
Dewasa Muda
Perkawinan
perceraian
x
x
x
x
Persepsi
Penilaian
Kepercayaan
Harapan individu
akan resposivitas
dan sensitivitas ibu
x Emosional ibu
Kesepian
(Loneliness)
Kesepian
Tinggi
Model mental
(Working Models)
Kesepian
Sedang
Gaya kelekatan
(Attachment style)
Kesepian
Rendah
Gaya Kelekatan
Menghindar (Avoidant) :
x Kurang nyaman dg kedekatan.
x Enggan percaya kpd orang lain.
x Enggan bergantung kpd orang lain.
Gaya Kelekatan
Aman (Secure) :
x Tetap menjadi diri sendiri.
x Dekat dengan orang lain.
x Nyaman dengan kedekatan.
x Tidak khawatir jika ditinggalkan
Gaya Kelekatan
Ambivalen (Ambivalent) :
x Tidak sanggup berdiri sendiri.
x Bergantung sepenuhnya kpd orang lain.
x Takut diabaikan
x Cemas ditinggalkan
x Khawatir tdk disukai oleh orang lain
Gambar 1. Kerangka Berpikir
F.
Hipotesa Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat diajukan hipotesa
penelitian sebagai berikut : Terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kelekatan
dengan tingkat kesepian pada perempuan dewasa muda yang bercerai.
Download