18 BAB II KAIJAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1

advertisement
BAB II
KAIJAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kurs Valuta Asing
2.1.1.1 Pengertian dan Teori Kurs Valuta Asing
Kurs valuta asing atau kurs mata uang asing menunjukkan harga atau nilai
mata uang suatu negara dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain atau jumlah
uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan untuk
memperoleh satu unit mata uang asing (Sukirno, 2006:397). Menurut Almizan
Ulfa (2003:28), kurs (exchange rate) suatu mata uang adalah nilai tukar atau
harganya jika ditukar dengan mata uang yang lain. Sementara menurut Triyono
(2008:157), kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang
berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang
tersebut. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa kurs
pada dasarnya merupakan perbandingan antara harga atau nilai dua mata uang,
yaitu mata uang domestik dan mata uang asing. Dalam kenyataannya, sering
terdapat berbagai tingkat kurs untuk satu valuta asing. Menurut Nopirin
(2009:138), perbedaan tingkat kurs ini disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya :
1) Perbedaan antara kurs beli dan jual oleh para pedagang valuta asing/bank.
Kurs beli adalah kurs yang dipakai apabila para pedagang valuta asing/bank
membeli valuta asing, dan kurs jual apabila mereka menjual. Selisih kurs
tersebut merupakan keuntungan bagi para pedagang.
18
2) Perbedaan kurs yang diakibatkan oleh perbedaan dalam waktu pembayarannya.
Kurs TT (Telegraphic Transfer) lebih tinggi daripada kurs MT (Mail
Transfer) sebab perintah/order pembayaran dengan menggunakan telegram
bagi bank merupakan penyerahan valuta asing dengan segera atau lebih cepat
dibandingkan dengan penyerahan melalui surat.
3) Perbedaan dalam tingkat keamanan dalam penerimaan hak pembayaran.
Sering terjadi bahwa penerimaan hak pembayaran yang berasal dari bank
asing yang sudah terkenal (bonafide) kursnya lebih tinggi daripada yang
belum terkenal.
Valuta asing diperdagangkan di pasar valuta asing. Pasar valuta asing tidak
hanya menyangkut kurs atau harga valuta asing saja, tetapi juga pihak-pihak yang
melakukan transaksi, seperti eksportir dan importir, bank, pedagang perantara, dan
bank sentral (Nopirin, 2009:138). Pasar valuta asing mempunyai beberapa fungsi
pokok dalam membantu kelancaran lalu lintas pembayaran internasional,
diantaranya :
1) Mempermudah penukaran valuta asing serta pemindahan dana dari satu negara
ke negara lain. Proses penukaran atau pemindahan dana ini dapat dilakukan
dengan sistem “clearing” seperti halnya yang dilakukan oleh bank-bank serta
para pedagang.
2) Karena sering terdapat transaksi internasional yang tidak perlu segera
diselesaikan pembayaran dan atau penyerahan barangnya, maka pasar valuta
asing memberikan kemudahan untuk dilaksanakannya perjanjian atau kontrak
jual beli dengan kredit.
19
3) Memungkinkan dilakukannya “hedging”. Seorang pedagang
melakukan
hedging apabila dia pada saat yang sama melakukan transaksi jual dan beli
valuta asing di pasar yang berbeda, untuk menghilangkan atau mengurangi
resiko kerugian akibat perubahan kurs.
2.1.1.2 Sistem Kurs Valuta Asing
Sifat kurs valuta asing sangat tergantung dari sifat pasar. Apabila transaksi jual
beli valuta asing dapat dilakukan secara bebas di pasar, maka kurs valuta asing
akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran. Apabila
pemerintah menjalankan kebijaksanaan stabilisasi kurs, tetapi tidak dengan
mempengaruhi transaksi swasta, maka kurs ini hanya akan berubah-ubah di dalam
batas yang kecil, meskipun batas-batas ini dapat diubah dari waktu ke waktu.
Pemerintah dapat juga menguasai transaksi valuta asing. Dalam hal ini kurs tidak
lagi dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Sistem ini disebut Exchange
Control (Nopirin, 2009:147). Menurut Ahmad Jamli (1996, 175-227), kurs valuta
asing dalam suatu negara ditentukan oleh sistem kurs valuta asing yang ditetapkan
oleh negara yang bersangkutan. Adapun sistem kurs valuta asing, yaitu :
1) Sistem kurs tetap, yang ditetapkan oleh badan yang berwenang di bidang
moneter (Bank Indonesia). Untuk waktu tertentu kurs ini tidak berubah.
Apabila nilai mata uang tersebut berubah, maka otoritas moneter berhak
mengambil kebijakan untuk mengembalikan nilai tukar ke posisi semula.
2) Sistem kurs bebas dimana otoritas moneter tidak ikut campur sehingga
permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta asing
berinteraksi secara bebas.
20
3) Sistem kurs terkendali, dimana nilai kurs valuta asing ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran valuta asing, namun apabila kurs berubah
terlalu tinggi atau rendah sampai batas yang tidak diharapkan, maka otoritas
moneter akan melakukan intervensi.
Sementara menurut Nopirin (2009:147-156), terdapat 3 jenis sistem kurs valuta
asing, yaitu :
(1). Sistem kurs yang berubah-ubah
Di dalam pasar bebas, perubahan kurs tergantung pada beberapa faktor yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing
diperlukan guna melakukan transaksi pembayaran ke luar negeri (impor).
Permintaan valuta asing diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran
internasional. Sedangkan penawaran valuta asing berasal dari eksportir, yakni
berasal dari transaksi kredit neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang
dikatakan kuat apabila transaksi autonomous kredit lebih besar dari transaksi
autonomous debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah
apabila neraca pembayaran mengalami defisit. Selanjutnya, transaksi autonomous
debit dan kredit dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam maupun
luar negeri, termasuk harga, pendapatan, dan tingkat bunga. Segala sesuatu yang
mempengaruhi ketiga faktor ini, baik dari dalam maupun luar negeri, akan
mempengaruhi permintaan dan penawaran kurs, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kurs valuta asing.
Semakin tinggi tingkat pertumbuhan pendapatan (relatif terhadap negara lain),
makin besar kemungkinan untuk impor yang berarti makin besar pula permintaan
21
akan valuta asing. Kurs valuta asing cenderung naik dan harga mata uang sendiri
turun. Demikian juga inflasi, akan menyebabkan impor naik dan ekspor turun
yang akan mengakibatkan kurs valuta asing naik. Kenaikan tingkat bunga dalam
negeri cenderung menarik modal masuk dari luar negeri. Kurs valuta asing akan
turun dan nilai mata uang sendiri naik relatif terhadap valuta asing. Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan ekonomi dan
kebijakan pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter, yang
mempengaruhi pendapatan, harga, dan tingkat bunga secara tidak langsung akan
mempengaruhi kurs. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan pengeluaran,
misalnya, akan meningkatkan pendapatan dan harga. Kenaikan pendapatan dan
harga ini akan menyebabkan impor naik, yang berarti akan menaikkan permintaan
valuta asing. Akibat selanjutnya, kurs valuta asing akan naik dan mata uang
sendiri terdepresiasi. Disamping faktor-faktor ekonomi tersebut, ada faktor-faktor
nonekonomi yang dapat mempengaruhi perubahan kurs, seperti faktor politik dan
psikologi. Misalnya, kepanikan yang terjadi di dalam negeri akan menyebabkan
larinya dana ke luar negeri, sehingga kurs valuta asing akan naik.
(2). Sistem kurs yang stabil
Sistem kurs bebas seperti yang disebutkan diatas sering menimbulkan adanya
tindakan spekulasi sebagai akibat ketidaktentuan di dalam kurs valuta asing. Oleh
karena itu banyak negara yang kemudian menjalankan suatu kebijaksanaan untuk
menstabilkan kurs. Pada dasarnya kurs yang stabil dapat timbul secara :
1) Aktif : yakni pemerintah menyediakan dana untuk tujuan stabilisasi kurs
(stabilization funds). Kegiatan stabilisasi kurs dapat dilakukan dengan dua
22
cara, yaitu : i). Apabila tendensi kurs valuta asing turun, maka pemerintah
membeli valuta asing di pasar. Dengan bertambahnya permintaan dari
pemerintah, maka tendensi kurs turun dapat dicegah. ii). Apabila tendensi kurs
naik, maka pemerintah menjual valuta asing di pasar, sehingga penawaran
valuta asing bertambah dan kenaikan kurs dapat dicegah.
2) Pasif : yakni di dalam suatu negara yang menggunakan sistem standar emas.
Dalam sistem standar emas, kurs mata uang suatu negara terhadap negara lain
ditentukan dengan dasar emas.
(3). Pengawasan Devisa (Exchange Control)
Dalam sistem ini pemerintah memonopoli seluruh transaksi valuta asing.
Tujuannya adalah untuk mencegah adanya aliran modal keluar dan melindungi
pengaruh depresi dari negara lain, terutama dalam hal negara tersebut menghadapi
keterbatasan cadangan valuta asing dibandingkan dengan permintaannya. Sistem
ini sering disebut multiple exchange rate. Sebenarnya dalam sistem ini terdapat
banyak cara penentuan exchange rate. Bentuknya yang ekstrem ada dua, yaitu :
1) Dua atau lebih kurs/exchange rate yang bebas untuk mengalokasi devisa
dengan beberapa pengawasan yang tidak ketat.
2) Dua atau lebih kurs resmi (official rate) yang tetap, yang biasanya dilengkapi
dengan lisensi impor serta impor quota.
Dalam
mengadakan
alokasi
penggunaan
menggunakan beberapa cara, antara lain :
23
devisa,
pemerintah
dapat
1) Individual allocation : setiap pemohon devisa (importir) diadakan penelitian
tentang penggunaannya. Apabila pemohon tersebut disetujui lalu diberikan
izin untuk membeli sejumlah tertentu devisa.
2) Exchange quota : untuk setiap kategori impor ditentukan jumlah devisanya
berdasarkan devisa yang akan diperoleh dari ekspor dalam waktu tertentu.
Apabila devisa sudah tersedia, lalu dijual dengan prinsip yang datang dulu
dilayani sampai jatah untuk kategori impor tersebut habis.
3) Waiting list : ini merupakan pelengkap exchange quota. Setiap surat
permohonan pembelian devisa ditempatkan dalam daftar menunggu (waiting
list) sampai devisa tersedia.
Pada umumnya tujuan suatu negara menjalankan pengawasan devisa adalah
(Nopirin, 2009:156):
1) Mencegah terjadinya aliran modal ke luar negeri dan menekan neraca
pembayaran internasional yang disequilibrium.
2) Melindungi industri dalam negeri melalui pembatasan impor dalam sistem
pengawasan devisa.
3) Memperoleh pendapatan bagi pemerintah. Hal ini dilakukan dengan cara
menetapkan kurs (exchange rate) yang berbeda antara pembelian dan
penjualan. Kurs pembelian ditetapkan lebih rendah daripada kurs penjualan.
Perbedaan kurs inilah yang merupakan pendapatan bagi pemerintah.
4) Tie In Import Arrangement, yaitu penggunaan devisa untuk impor barang
tertentu, tetapi dengan syarat importir harus juga membeli barang pelengkap
atau barang yang sama hasil produksi di dalam negeri dalam proporsi tertentu.
24
2.1.1.3 Teori Purchasing Power Parity ( PPP )
Teori PPP diperkenalkan oleh Gustav Cassel yang menjelaskan hubungan
antara harga komoditi dalam mata uang domestik (lokal) dengan dengan nilai
tukar. Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar akan meyesuaikan diri dari waktu
ke waktu untuk mencerminkan selisih inflasi antara dua negara, akibat adanya
daya beli konsumen untuk membeli produk domestik akan sama dengan daya beli
untuk membeli produk luar negeri. Asumsi utama yang mendasari teori PPP
adalah pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi,
operasional, penentuan harga dan informasi (Tucker, dalam Santosa, 2008:40-41).
Oleh karena itu, bila indeks harga di kedua negara identik, the law of one price
menjustifikasi teori PPP (Baillie dan McMahon, dalam Santosa, 2008:40-41).
Artinya bila produk yang sama dijual pada pasar yang berbeda dan tidak ada
hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk
cenderung sama pada dua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua
negara berbeda, harga produk biasanya dinyatakan dalam mata uang yang berbeda,
namun harga produknya tetap masih sama. Perbandingan harga hanya
memerlukan suatu konversi satu mata uang ke mata uang lain.
Teori PPP dibedakan benjadi dua, yaitu bentuk Absolute dan bentuk Relatif
(Santosa, 2008:40-41). Teori PPP Absolute menyatakan bahwa harga dari dua
produk homogen di negara-negara yang berbeda akan sama jika diukur dalam
valuta yang sama. Kurs valuta asing dinyatakan dalam nilai harga kedua negara :
St 
Pt
Pt *
............................................................................................................(1)
25
Dimana Pt dan Pt* menunjukkan harga rata-rata tertimbang dari komoditi di
dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri ). Dengan kata lain, teori PPP
absolute menerangkan kurs spot ditentukan oleh harga relatif dari sejumlah
barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga). Dalam kaitannya dengan
inflasi (kenaikan harga produk secara umum) dapat disimpulkan bahwa menurut
teori ini suatu negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang tinggi
seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang negara lain
yang tingkat inflasinya lebih rendah.
Sementara itu, teori PPP Relative mengatakan persentase perubahan kurs
nominal akan sama dengan perbedaan inflasi di antara kedua negara. Apabila
dinyatakan dalam konteks future, harapan perubahan kurs valuta asing sama
dengan harapan perbedaan inflasi :
ΔS e t = ΔP e t - ΔP e* t..........................................................................................(2)
Dimana ΔS
e
t
= harapan perubahan kurs. Bentuk ini mengakui bahwa karena
keberadaan ketidaksempurnaan pasar, harga dari produk yang sama di negara
yang berbeda bisa jadi tidak sama jika diukur melalui valuta yang sama. Tetapi,
laju perubahan harga produk seharusnya tidak jauh berbeda jika diukur memakai
valuta yang sama, sepanjang biaya transportasi dan proteksi perdagangan tidak
berubah.
2.1.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs
Pada prakteknya, nilai tukar atau kurs selalu mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, perubahan kurs dapat berupa depresiasi dan apresiasi. Depresiasi mata
uang rupiah terhadap dollar amerika serikat artinya suatu penurunan harga dollar
26
AS terhadap rupiah. Depresiasi mata uang suatu negara membuat harga barangbarang domestik menjadi lebih murah bagi pihak luar negeri. Sedangkan apresiasi
rupiah terhadap dollar AS adalah kenaikan harga rupiah terhadap dollar AS.
Apresiasi mata uang suatu negara membuat harga barang-barang domestik
menjadi lebih mahal bagi pihak luar negeri (Sukirno, dalam Triyono, 2008:157).
Menurut Madura, dalam Haryanto, Wibisono, dan Sutrisno (2000:15), perubahan
atau pergerakan nilai tukar ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti :
1) Tingkat inflasi.
2) Tingkat pendapatan masyarakat.
3) Suku bunga.
4) Kontrol pemerintah atas perekonomian.
5) Harapan atau perkiraan masyarakat mengenai kondisi-kondisi perekonomian
di masa yang akan datang.
Sementara, menurut Sukirno (2006:402), faktor-faktor yang mempengaruhi
kurs diantaranya :
1) Perubahan dalam citarasa masyarakat.
Citarasa masyarakat mempengaruhi corak konsumsi mereka. Maka perubahan
citarasa masyarakat akan mengubah corak konsumsi mereka ke atas barangbarang yang diproduksikan di dalam negeri maupun yang diimpor. Perbaikan
kualitas barang-barang dalam negeri menyebabkan keinginan mengimpor
berkurang dan ekspor dapat ditingkatkan. Sedangkan perbaikan kualitas
barang-barang impor menyebabkan keinginan masyarakat untuk mengimpor
27
bertambah besar. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi permintaan
dan penawaran valuta asing.
2) Perubahan harga barang ekspor dan impor.
Harga suatu barang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
apakah suatu barang akan diekspor atau diimpor. Barang-barang dalam negeri
yang dapat dijual dengan harga yang relatif murah akan menaikkan ekspor dan
apabila harganya naik, maka ekspornya akan berkurang. Pengurangan harga
barang impor akan menambah jumlah impor, dan sebaliknya, kenaikan harga
barang impor akan mengurangi impor. Dengan demikian, perubahan hargaharga barang ekspor dan impor akan menyebabkan perubahan dalam
penawaran dan permintaan ke atas mata uang negara tersebut.
3) Kenaikan harga umum (inflasi).
Inflasi sangat besar pengaruhnya terhadap kurs pertukaran valuta asing. Inflasi
yang berlaku pada umumnya cenderung untuk menurunkan nilai suatu valuta
asing. Kecenderungan seperti ini disebabkan oleh efek inflasi, seperti : i).
Inflasi menyebabkan harga-harga di dalam negeri lebih mahal dari hargaharga di luar negeri dan oleh sebab itu, inflasi cenderung menambah impor.
Keadaan ini menyebabkan permintaan valuta asing bertambah. ii). Inflasi
menyebabkan harga-harga barang ekspor menjadi lebih mahal, oleh karena itu
inflasi cenderung mengurangi ekspor. Keadaan ini menyebabkan penawaran
valuta asing berkurang dan harga valuta asing akan meningkat, sehingga harga
mata uang negara yang mengalami inflasi akan merosot.
28
4) Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.
Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi sangat penting peranannya
dalam mempengaruhi aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian
investasi yang rendah cenderung akan menyebabkan modal dalam negeri
mengalir ke luar negeri. Sedangkan suku bunga dan tingkat pengembalian
investasi yang tinggi akan menyebabkan modal luar negeri masuk ke dalam
negeri. Apabila lebih banyak modal mengalir ke suatu negara, permintaan atas
mata uangnya bertambah, sehingga nilai mata uang tersebut meningkat. Nilai
mata uang suatu negara akan merosot apabila lebih banyak modal negara
dialirkan ke luar negeri karena suku bunga dan tingkat pengembalian investasi
yang lebih tinggi di negara-negara lain.
5) Pertumbuhan ekonomi.
Efek yang akan diakibatkan oleh kemajuan ekonomi pada nilai mata uangnya
tergantung pada corak pertumbuhan ekonomi yang berlaku. Apabila kemajuan
itu diakibatkan oleh perkembangan ekspor, maka permintaan atas mata uang
negara itu bertambah lebih cepat dari penawarannya dan oleh karenanya nilai
mata uang negara itu naik. Akan tetapi, apabila kemajuan tersebut
menyebabkan impor berkembang lebih cepat dari ekspor, penawaran mata
uang negara itu lebih cepat bertambah dari permintaannya dan oleh karenanya
nilai mata uang negara tersebut akan merosot.
Almizan Ulfa (2003:30) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kurs dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang kurs
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
29
1) Tingkat harga dalam negeri.
Jika tingkat harga dalam negeri mengalami kenaikan atau inflasi meningkat,
maka kurs mata uang domestik cenderung akan terdepresiasi (mengalami
penurunan nilai).
2) Tarif dan Quota.
Jika tarif dan kuota mengalami peningkatan, maka kurs mata uang domestik
cenderung akan mengalami apresiasi (mengalami peningkatan nilai).
3) Permintaan impor.
Jika permintaan impor mengalami peningkatan, maka kurs mata uang
domestik cenderung akan mengalami depresiasi. Terdepresiasinya kurs mata
uang domestik diakibatkan oleh kenaikan permintaan akan valuta asing
sebagai akibat meningkatnya impor.
4) Permintaan ekspor.
Jika permintaan ekspor meningkat, maka kurs mata uang domestik cenderung
terapresiasi atau mengalami peningkatan nilai.
5) Produktivitas.
Peningkatan produktivitas akan menyebabkan kurs mata uang domestik
cenderung mengalami apresiasi.
Sedangkan untuk analisis fluktuasi kurs jangka pendek dikaitkan dengan
analisis permintaan dan penawaran biasa. Kunci untuk memahami fluktuasi kurs
jangka pendek adalah pemahaman bahwa kurs pada prinsipnya adalah harga asetaset domestik (dalam mata uang domestik, termasuk simpanan bank) yang dinilai
dalam aset-aset luar negeri (dalam mata uang asing, termasuk simpanan bank).
30
2.1.2 Inflasi
2.1.2.1 Pengertian Inflasi
Inflasi (inflation)adalah suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami
kenaikan secara terus-menerus (Nanga, 2005:237). Vinearis dan Sebold dalam
Nanga (2005:237), mengindentifikasikan inflasi sebagai suatu kecenderungan
meningkatnya tingkat harga umum secara terus menerus sepanjang waktu (a
sustained tendency for the general level of prices to rise over time). Sementara itu,
Bank Indonesia secara sederhana mendefinisikan inflasi sebagai meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua
barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau
mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Berdasarkan beberapa
pengertian diatas, menurut Nanga (2005:237), setidaknya terdapat tiga hal penting
yang perlu ditekankan, yaitu :
1) Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti bisa saja
tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan
dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukan tendensi yang meningkat.
2) Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus-menerus
(sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi bisa
beberapa waktu lamanya.
3) Bahwa tingkat harga yang dimaksud disini adalah tingkat harga umum, yang
berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu atau
beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum.
31
Tidak
jauh
berbeda
dengan
Muana
Nanga,
Santosa
(2008:41-42)
menggarisbawahi bahwa definisi inflasi mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
1) Tendency, yaitu berupa kecenderungan harga-harga untuk meningkat, artinya
dalam suatu waktu tertentu dimungkinkan terjadinya penurunan harga, tetapi
secara keseluruhan mempunyai kecenderungan (trend) meningkat.
2) Sustained, kenaikan harga yang terjadi tidak hanya berlangsung dalam waktu
tertentu saja, melainkan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
3) General level of price, harga dalam konteks inflasi dimaksudkan sebagai harga
barang-barang secara umum, bukan dalam artian satu atau dua jenis barang
saja.
2.1.2.2 Jenis Inflasi
Dilihat dari faktor-faktor penyebabnya, inflasi dapat dibedakan ke dalam tiga
macam, yaitu (Nanga, 2005:245-247) :
1) Inflasi Tarikan Permintaan (demand-pull inflation) atau disebut juga inflasi
sisi permintaan (demand-side inflation) atau inflasi karena guncangan
permintaan (demand-shock inflation) adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat
adanya kenaikan permintaan agregat yang terlalu besar atau pesat
dibandingkan dengan penawaran / produksi agregat. Barang-barang menjadi
berkurang karena pemanfaatan sumber daya yang telah mencapai tingkat
maksimum atau karena produksi tak dapat ditingkatkan secepatnya untuk
mengimbangi permintaan yang semakin meningkat.
2) Inflasi Dorongan Biaya (cosh-push inflation) atau sering disebut inflasi sisi
penawaran (supply-side inflation) atau inflasi karena guncangan penawaran
32
(supply-shock inflation) adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya
kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan produktivitas dan
efisiensi, yang menyebabkan perusahaan mengurangi supply barang dan jasa
mereka ke pasar. Dengan kata lain, inflasi sisi penawaran adalah inflasi yang
terjadi sebagai akibat adanya restriksi atau pembatasan terhadap penawaran
dari satu atau lebih sumber daya, atau inflasi yang terjadi apabila harga dari
satu atau lebih sumber daya mengalami kenaikan atau dinaikkan.
3) Inflasi Struktural (structural inflation), yaitu inflasi yang terjadi sebagai akibat
dari berbagai kendala atau kekuatan struktural (structural rigidities) yang
menyebabkan penawaran di dalam perekonomian kurang atau tidak responsif
terhadap permintaan yang meningkat.
Dilihat dari tingkat keparahannya (severity), inflasi juga dapat dipilah ke
dalam 3 jenis, yaitu (Nanga, 2005:247) :
1) Inflasi Sedang (moderate inflation), yaitu inflasi yang ditandai dengan harga
harga yang meningkat secara lambat, dan tidak terlalu menimbulkan distorsi
pada pendapatan dan harga relatif.
2) Inflasi Ganas (galloping inflation), yaitu inflasi yang mencapai antara dua atau
tiga digit seperti 20%, 100% atau 200% per tahun, dan dapat menimbulkan
gangguan-gangguan serius dalam perekonomian.
3) Hiperinflasi (hyperinflation), yaitu tingkat inflasi yang sangat parah, bisa
mencapai ribuan bahkan milyar persen per tahun dan merupakan jenis inflasi
yang mematikan.
33
2.1.2.3 Dampak Inflasi
Beberapa dampak inflasi dalam suatu perekonomian, antara lain (Nanga,
2005:247-248) :
1) Pertama, inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara
anggota masyarakat, dan inilah yang disebut efek redistribusi dari inflasi
(redistribution effect on inflation). Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan
ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang terjadi
akan menyababkan pendapatan riil satu orang meningkat, tetapi pendapatan
riil orang lain jatuh.
2) Kedua, inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi. Hal ini
dapat terjadi karena inflasi dapat mengalihkan sumber daya dari investasi yang
produktif ke investasi yang tidak produktif, sehingga mengurangi kapasitas
ekonomi produktif. Ini disebut “ efficiency effect on inflation”.
3) Ketiga, inflasi juga dapat menyebabkan perubahan dalam output dan
kesempatan kerja (employment) secara langsung yaitu dengan memotivasi
perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan,
dan juga memotivasi orang untuk bekerja lebih atau kurang dari yang telah
dilakukan selama ini. Ini disebut “ output and employment effect on inflation “.
4) Keempat, inflasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil
(unstable
environment)
bagi
keputusan
ekonomi.
Jika
konsumen
memperkirakan bahwa tingkat inflasi di masa mendatang akan naik, maka
akan mendorong mereka untuk melakukan pembelian barang dan jasa secara
besar-besaran pada saat sekarang daripada menunggu dimana tingkat harga
34
sudah meningkat lagi. Hal yang sama juga berlaku bagi bank dan lembaga
peminjaman lainnya.
5) Menurut
McKinnon
dalam
Nanga
(2005:248),
inflasi
cenderung
memperendah tingkat bunga riil, menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
dalam pasar modal. Hal ini akan menyebabkan penawaran dana untuk
investasi menurun, dan sebagai akibatnya, investasi sektor swasta tertekan
sampai ke bawah tingkat keseimbangannya, yang disebabkan oleh terbatasnya
penawaran dana yang dipinjamkan (loanable funds). Oleh karena itu, selama
inflasi
menuntun
ke
arah
tingkat
bunga
riil
yang
rendah
dan
ketidakseimbangan pasar modal, maka inflasi tersebut akan menurunkan
investasi dan pertumbuhan.
2.1.2.4 Hubungan Inflasi dan Kurs
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus (Setiawina, 2004:149). Sementara kurs (nilai tukar) valuta asing
adalah harga mata uang negara asing dalam satuan mata uang domestik
(Samuelson dan Nordhaus, 1997:450). Nilai Tukar dibedakan menjadi dua, yaitu
nilai tukar nominal dan nilai tukar riil (Triyono, 2008:159). Nilai tukar nominal
menunjukkan harga relatif mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil
menunjukkan tingkat ukuran (rate) suatu barang dapat diperdagangkan
antarnegara. Jika nilai tukar riil tinggi berarti harga produk luar negeri relatif
murah dan harga produk domestik relatif mahal. Persentase perubahan nilai tukar
nominal sama dengan persentase perubahan nilai tukar riil ditambah perbedaan
35
inflasi antara inflasi luar negeri dengan inflasi domestik (persentase perubahan
harga inflasi).
Jika suatu negara luar negeri lebih tinggi inflasinya dibandingkan domestik
(Indonesia), maka rupiah akan ditukarkan dengan lebih banyak valas. Jika inflasi
meningkat, untuk membeli valuta asing yang sama jumlahnya harus ditukar
dengan rupiah yang semakin banyak atau depresiasi rupiah (Herlambang, dkk,
2001:282). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa antara
tingkat inflasi dan kurs valuta asing memiliki hubungan yang positif atau searah.
2.1.3 Produk Domestik Bruto
2.1.3.1 Pengertian Produk Domestik Bruto
Menurut Jeroen C.J.M. van den Bergh (2009:117) dalam Journal of Economic
Psychology, “Gross domestic product (GDP) is the monetary, market value of all
final goods and services produced in a country over a period of a year”. Secara
harfiah, dapat diartikan bahwa Gross domestic product (GDP) atau Produk
Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang
diproduksi dalam suatu negara selama satu periode atau satu tahun. Sementara
menurut Sadono Sukirno (2006:34), Produk Domestik Bruto dapat diartikan
sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara
tersebut dalam satu tahun tertentu. Sedangkan Nanga (2005:13) mendefinisikan
produk domestik bruto (gross domestic product, GDP) sebagai total nilai atau
harga pasar (market prices) dari seluruh barang dan jasa akhir (final goods and
services) yang dihasilkan oleh suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu
(biasanya satu tahun). Dari pengertian produk domestik bruto di atas, setidaknya
36
terdapat tiga hal penting yang perlu untuk dijelaskan lebih lanjut, yaitu (Nanga,
2005:13-14) :
1) Pertama, adalah bahwa produk domestik bruto hanya mencakup barang akhir
(final goods) dan/atau nilai tambah (value added) saja. Sedangkan barang
antara dan barang setengah jadi (intermediate or semifinished goods) tidak
dimasukkan sebagai komponen dari GDP.
2) Kedua, adalah bahwa produk domestik bruto hanya menghitung atau
memasukkan nilai dari barang yang merupakan hasil produksi pada tahun
berjalan (current year) yaitu tahun pada saat dilakukan perhitungan (current
output).
3) Ketiga, adalah bahwa barang dan jasa atau GDP yang dihasilkan itu dinilai
berdasarkan harga pasar yang berlaku (at current market prices). Dengan kata
lain, barang dan jasa yang dihitung di dalam GDP hanyalah terbatas pada
barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar (market transaction). Dengan
demikian, output yang tidak masuk atau tidak melalui pasar tidak akan
dihitung.
Dalam suatu perekonomian, di negara-negara maju maupun di negara-negara
berkembang, barang dan jasa diproduksikan bukan saja oleh penduduk negara
tersebut, tetapi juga oleh penduduk negara lain ataupun perusahaan multinasional
(Sukirno, 2006:34-35). Perusahaan multinasional beroperasi di berbagai negara
dan membantu meningkatkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh negara
dimana perusahaan multinasional tersebut berada.
37
Perusahaan multinasional tersebut menyediakan modal, teknologi dan tenaga
ahli kepada negara dimana perusahaan itu beroperasi, dimana operasi dari
perusahaan multinasional ini membantu menambah barang dan jasa yang
diproduksi di dalam negeri, menambah penggunaan tenaga kerja dan pendapatan
dan sering kali juga membantu menambah dan meningkatkan ekspor. Operasi
perusahaan multinasional ini merupakan bagian yang cukup penting dalam
kegiatan ekonomi suatu negara dan nilai produksi yang disumbangkannya perlu
dihitung dalam pendapatan nasional. Dengan demikian, Produk Domestik Bruto
dapat juga diartikan sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang
diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara negara tersebut dan
negara asing (Sukirno, 2006:35).
Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan nilai output barang dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu negara. Produk Domestik Bruto diyakini sebagai indikator
ekonomi dalam produksi untuk menilai perkembangan ekonomi suatu negara.
Produk Domestik Bruto mengukur nilai barang dan jasa yang diproduksi di
wilayah negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu periode tertentu.
Dengan kata lain, warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak
dimasukkan dalam Produk Domestik Bruto (Herlambang, 2001:22). Kohli
(2004:84) menyebutkan bahwa tingkat GDP riil (PDB riil) biasanya digunakan
untuk mewakili pendapatan riil suatu negara. Perkembangan perekonomian suatu
negara dapat diukur menurut Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku dan
harga konstan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
38
(1).Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan.
Menurut Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Bruto atas dasar harga
konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Untuk
dapat menghitung kenaikan dari tahun ke tahun, barang dan jasa yang dihasilkan
dihitung pada harga konstan, yaitu harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu
yang seterusnya akan digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan
pada tahun-tahun berikutnya. Nilai pendapatan nasional yang didapat dalam
perhitungan ini dinamakan pendapatan pada harga konstan atau pendapatan
nasional riil. Pendapatan nasional pada harga konstan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus (Reksoprayitno, 2009:28) :
IH tahun dasar
Vhk
= Vhb x
...................................................(3)
IH tahun bersangkutan
Keterangan :
Vhk
Vhb
IH
= nilai variabel ekonomi atas dasar harga konstan
= nilai variabel ekonomi atas dasar harga berlaku
= indeks harga
Rumus tersebut berlaku untuk semua variabel-variabel ekonomi yang
menyangkut kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi ekonomi, seperti misalnya,
produk nasional, pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi, pengeluaran
pemerintah, transfer pemerintah, pajak, ekspor, impor dan sebagainya
(Reksoprayitno, 2009:28).
39
(2).Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Bruto atas dasar harga
berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Dengan kata lain, Produk
Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku adalah nilai-nilai barang dan jasa
yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu tahun dan dinilai menurut hargaharga yang berlaku pada tahun tersebut. Cara ini adalah cara yang selalu
dilakukan dalam menghitung pendapatan nasional dari suatu periode ke periode
yang lainnya. Menurut Rahardja dan Manurung (2008:27), perhitungan produk
domestik bruto dengan menggunakan harga berlaku dapat memberi hasil yang
menyesatkan, karena pengaruh inflasi. Data produk domestik bruto dalam
berbagai tahun tersebut nilainya akan berbeda-beda dan menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pertambahan nilai
tersebut disebabkan oleh 2 (dua) faktor, yaitu :
1) Pertambahan fisik barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian.
2) Kenaikan harga-harga yang berlaku dari satu periode ke periode selanjutnya.
2.1.3.2 Cara Perhitungan Pendapatan Nasional
Produk Domestik Bruto dapat dihitung dengan dua cara. Pertama, dengan
menjumlahkan pengeluaran untuk mendapatkan semua barang akhir selama satu
periode tertentu yang disebut pendekatan pengeluaran, dan kedua, dengan
menjumlahkan pendapatan (gaji, bunga, sewa, dan laba) yang diterima oleh semua
faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang akhir yang
disebut pendekatan pendapatan (Case dan Fair, 2002:27). Sementara, menurut
40
Reksoprayitno
(2009:21),
terdapat
tiga
macam
pendekatan
perhitungan
pendapatan nasional, yaitu :
1) Pendekatan hasil produksi atau product approach.
2) Pendekatan pendapatan atau income approach.
3) Pendekatan pengeluaran atau expendicture approach.
Senada dengan Reksoprayitno, Sukirno (2006:34) menyebutkan bahwa dalam
menghitung besarnya pendapatan nasional yang diciptakan oleh perekonomian
suatu negara, terdapat tiga cara yang bisa digunakan, yaitu :
1) Cara pengeluaran (expendicture approach).
Dengan cara ini, pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai
pengeluaran/perbelanjaan ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksikan
di dalam negara tersebut (contoh cara perhitungan terlampir).
2) Cara produksi atau cara produk netto (product approach).
Dengan cara ini, pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai
produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor dalam
perekonomian (contoh cara perhitungan terlampir).
3) Cara Pendapatan (income approach).
Dalam perhitungan ini pendapatan nasional diperoleh dengan cara
menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
digunakan untuk menghasilkan pendapatan nasional (contoh cara perhitungan
terlampir).
41
2.1.3.3 Hubungan antara Produk Domestik Bruto (PDB) dan Kurs
Analisis mengenai keseimbangan pendapatan nasional dalam perekonomian
terbuka perlu membedakan dua sistem penentuan kurs valuta asing, yaitu sistem
kurs valuta asing tetap (ditentukan oleh pemerintah) dan sistem kurs valuta asing
berubah bebas (fleksibel) atau sistem kurs valuta asing mengambang yang
nilainya ditentukan oleh perubahan permintaan dan penawaran valuta asing di
pasaran bebas (Sukirno, 2000:196).
Nopirin (2009:148) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan
pendapatan, maka semakin besar kemungkinan untuk impor yang berarti semakin
besar pula permintaan akan valuta asing. Kurs valuta asing cenderung meningkat,
dan harga mata uang domestik akan mengalami depresiasi atau penurunan nilai
terhadap mata uang asing. Hal ini juga berlaku sebaliknya, yaitu apabila tingkat
pertumbuhan pendapatan semakin rendah, maka kemungkinan untuk impor akan
semakin kecil dan permintaan akan valuta asing akan turun. Hal ini akan
menyebabkan kurs valuta asing cenderung mengalami penurunan, sehingga harga
mata uang domestik akan terapresiasi atau mengalami peningkatan relatif terhadap
mata uang negara lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
antara tingkat pendapatan atau produk domestik bruto dan kurs valuta asing
memiliki hubungan yang positif.
2.1.4 Cadangan Devisa
2.1.4.1 Pengertian Cadangan Devisa
Devisa atau valuta asing atau lazim disebut alat pembayaran luar negeri atau
foreign exchange sesungguhnya merupakan tagihan terhadap luar negeri yang
42
dapat dipergunakan untuk membantu kegiatan ekspor dan impor, menjaga
kestabilan nilai tukar, serta pembayaran utang luar negeri (Amir, 2001 : 13).
Jhingan dalam Asmanto dan Suryandari (2008:124) menyatakan bahwa
“International liquidity (generally used as a synonym for international reserves)
is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held by the
central bank to settle a deficit in a country’s balance of payments”. Secara harfiah,
dapat diartikan bahwa cadangan devisa (International reserves) merupakan asset
dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan neraca
pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and
Foreign Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa
international reserves didefinisikan sebagai seluruh aktiva luar negeri yang
dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan setiap waktu guna membiayai
ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka stabilitas moneter
(Asmanto dan Suryandari, 2008:124).
Sementara, menurut Salvatore dalam Asmanto dan Suryandari (2008:125),
international reserves merupakan asset-asset likuid dan berharga tinggi yang
dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima oleh masyarakat
internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi
pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan
transaksi-transaksi atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi
nilai tukar, terkait dengan neraca pembayaran, international reserves dapat
digunakan untuk membiayai impor dan membayar kewajiban luar negeri. Besar
kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya ditentukan oleh
43
kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut.
Sedangkan Hady (2001:24) mendefinisikan cadangan devisa sebagai valuta asing
yang dicadangkan Bank Sentral di Indonesia (Bank Indonesia) untuk keperluan
pembiayaan dan kewajiban luar negeri antara lain pembiayaan impor serta
pembayaran lainnya pada pihak asing. Cadangan devisa suatu negara pada
umumnya dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu (Hady, 2001:22) :
1) Cadangan devisa resmi atau official forex reserve yaitu cadangan devisa milik
negara yang dikelola, dikuasai, diurus dan ditatausahakan oleh Bank Sentral
(Bank Indonesia).
2) Cadangan devisa nasional atau country forex reserve yaitu cadangan devisa
yang dimiliki oleh perseorangan, badan atau lembaga, terutama perbankan
yang secara moneter merupakan kekayaan nasional (termasuk milik bank
umum nasional).
Devisa
merupakan
aset
keuangan
yang
digunakan
dalam
transaksi
internasional. Menurut Bank Indonesia, penetapan sistem devisa pada suatu
negara ditujukan untuk mengatur pergerakan lalu lintas antara penduduk dan
bukan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Pada dasarnya sistem devisa
terbagi menjadi :
1) Sistem devisa terkontrol, pada dasarnya dimiliki oleh negara, oleh karena itu
setiap persoalan devisa oleh masyarakat harus diserahkan kepada negara dan
penggunaan devisa oleh masyarakat harus memperoleh izin dari negara.
44
2) Sistem devisa semi terkontrol, dimana kewajiban penyerahan dan izin dari
negara ditetapkan untuk perolehan dan penggunaan devisa-devisa tertentu,
sementara devisa lainnya secara bebas diperoleh dan dipergunakan.
3) Sistem devisa bebas, merupakan sistem devisa dimana masyarakat bebas
memperoleh dan mempergunakan devisa.
Menurut Bank Indonesia (2011:113), cadangan devisa memiliki beberapa
fungsi pokok, diantaranya :
1) Meredam gejolak nilai tukar, misalnya dengan melakukan intervensi apabila
diperlukan.
2) Memberikan kepercayaan kepada pelaku pasar bahwa negara mampu
memenuhi kewajibannya terhadap pihak luar negeri.
3) Membantu pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban ketika
pemerintah akan melakukan pembayaran utang luar negeri.
4) Membiayai transaksi yang tercatat dalam neraca pembayaran.
5) Menunjukkan adanya suatu kekayaan dalam bentuk aset eksternal untuk
menopang mata uang dalam negeri.
6) Memelihara suatu cadangan untuk dapat dipergunakan apabila negara
mengalami keadaan darurat.
7) Mendapatkan keuntungan. Tujuan ini pada umumnya bukan merupakan tujuan
utama, tetapi lebih pada alasan untuk memaksimalkan pemanfaatan cadangan
devisa yang dimiliki.
8) Cadangan devisa dapat digunakan untuk meredam guncangan sebagai akibat
dari adanya sudden stop melalui penyerapan domestik (domestic absorption).
45
Sudden stop adalah suatu kondisi dimana jumlah capital inflow yang masuk
turun secara drastis.
Semakin besar cadangan devisa suatu negara, daya tahan negara tersebut
terhadap krisis finansial akan semakin kuat. Kecukupan cadangan devisa suatu
negara tergantung dari besarnya pinjaman luar negeri, likuiditas perekonomian,
rezim nilai tukar yang dianut, dan kebutuhan impor negara tersebut. Beberapa
tolak ukur yang biasa digunakan oleh negara-negara berkembang dalam
menghitung kecukupan cadangan devisa yang dimiliki adalah (Bank Indonesia,
2011:114) :
1) Cadangan devisa sama dengan utang luar negeri jangka pendek. Negaranegara yang rentan terhadap krisis neraca modal akan memiliki daya tahan
yang lebih baik jika cadangan devisanya dapat menutupi seluruh pinjaman
luar negeri yang jatuh tempo kurang dari satu tahun.
2) Cadangan devisa sama dengan lima sampai dengan dua puluh persen dari M2
(broad money). Indikator ini berguna bagi negara-negara yang memerlukan
peningkatan kepercayaan mata uang domestik dan pengurangan resiko
terhadap capital flight.
3) Cadangan devisa sama dengan tiga sampai dengan empat bulan impor. Tolok
ukur ini sangat relevan untuk negara-negara berpendapatan rendah yang rentan
terhadap gejolak neraca transaksi berjalan dan tidak mempunyai akses ke
pasar modal secara signifikan.
46
2.1.4.2 Hubungan antara Cadangan Devisa dan Kurs
Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap,
mengambang, dan mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai
tukar tetap pada umumnya memerlukan international reserves yang besar untuk
mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh
ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam sistem nilai tukar tetap yang
diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk berjaga-jaga dalam menghadapi
fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut membutuhkan
international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna melakukan
stabilisasi nilai tukar (Asmanto dan Suryandari, 2008:125).
Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat
diatasi sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang
dibutuhkan tidak sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai
tukar tetap yang rigid. Menurut Carbaugh dalam Asmanto dan Suryandari (2008:
125), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi
pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan
nilai tukar. Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif
memerlukan jumlah international reserves yang besar pula.
Salah satu peranan cadangan devisa adalah menjaga kestabilan nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Peranan cadangan devisa dalam menjaga
kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat adalah apabila nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berkurang, maka pemerintah
mengambil kebijakan melepas cadangan devisa. Dengan melepas cadangan devisa
47
maka penawaran dollar Amerika Serikat bertambah, sehingga nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat akan meningkat atau stabil kembali dan dollar
Amerika Serikat akan terdepresiasi. Hubungan antara cadangan devisa dengan
kurs dollar Amerika Serikat adalah negatif atau berlawanan arah (Maryani,
2009:32).
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitan ini mengacu pada penelitian sebelumnya, sehingga ada dasar yang
kuat dalam penyajian materi. Penelitian sebelumnya yang digunakan atau
dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah :
1) Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Adwin Surja Atmadja (2002) yang
berjudul “Analisa pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika
Setelah Diterapkannya Kebijakan Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas Di
Indonesia”. Teknik analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis
regresi. Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah :
Y = – 0,225 – 20,2 X1 – 17,4 X2 – 31,3 X3 + 0,0012 X4 – 0,268 X5 + e.........(4)
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa semua variabel bebas yang
dipergunakan, yaitu selisih inflasi di Indonesia dengan inflasi di Amerika,
selisih suku bunga riil di Indonesia dengan suku bunga riil di Amerika, selisih
perubahan GDP riil Indonesia dengan perubahan GDP riil Amerika, dan
besarnya surplus atau defisit BOP Indonesia tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pergerakan variabel terikatnya, kecuali variabel jumlah
uang beredar. Satu-satunya variabel yang mampu memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika adalah variabel
48
selisih jumlah uang beredar (dengan b = -31,302). Hal ini mengindikasikan,
bahwa apabila pertumbuhan jumlah uang beredar (rupiah) di Indonesia
melebihi pertumbuhan jumlah uang beredar (dolar) di Amerika Serikat akan
mengakibatkan semakin menurunnya nilai mata uang rupiah, sehingga
semakin melemahkan nilai tukarnya terhadap dollar Amerika. Nilai R2 sebesar
0,325 mengindikasikan bahwa keseluruhan variabel bebas yang dipergunakan
dalam penelitian ini hanya memberikan kontribusi pengaruh sebesar 32,5
persen terhadap variabel terikatnya, sehingga 67,5 persen dari perubahan
variabel terikat ditentukan oleh berbagai faktor di luar faktor-faktor yang
dikategorikan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini. Dengan demikian
sebagian besar pergerakan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat ditentukan oleh faktor-faktor yang lain, baik faktor ekonomi
maupun faktor non ekonomi. Berdasarkan pada analisis variance, secara
keseluruhan model dapat dikategorikan sebagai model yang baik dalam
menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (F = 4.53
dengan α = 0,05), tetapi pengaruhnya secara parsial kecil.
2) Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tri Wibowo dan Hidayat Amir
(2005) yang berjudul ”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Rupiah”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel moneter yang
mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika adalah selisih
pendapatan riil Indonesia dan Amerika, selisih inflasi Indonesia dan Amerika,
selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika, serta nilai tukar rupiah
terhadap US$ satu bulan sebelumnya (lag -1). Selisih jumlah uang beredar
49
(M1) Indonesia dan Amerika belum menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap nilai tukar rupiah. Elastisitas masing-masing variabel bebas terhadap
nilai tukar adalah: (i) selisih logaritma PDB Indonesia dan Amerika sebesar 0,814, (ii) selisih logartima WPI Indonesia dan Amerika sebesar 0,436, (iii)
selisih logartima suku bunga Indonesia dan Amerika sebesar -0,009 dan (iv)
nilai tukar satu bulan sebelumnya sebesar 0,765.
3) Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Agus Budi Santosa (2008) yang
berjudul ”Kemampuan Inflasi Pada Model Purchasing Power Parity Dalam
Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat”. Untuk
menguji apakah konsep inflasi dalam model PPP dapat menjelaskan perilaku
nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, Agus Budi Santosa
menggunakan teknik analisis dengan Error Correction Model ( ECM ).
Berdasarkan hasil estimasi terhadap model Purchasing Power Parity
menunjukkan bahwa variabel Inflasi (INF) mampu menjelaskan variasi
variabel Kurs dengan tingkat signifikansi 72,14 persen. Sedangkan koefisien
inflasi positif menunjukkan kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1 persen
akan mendorong penurunan mata uang Rupiah (depresiasi) sebesar 2,35E-17
persen. Dalam analisis jangka pendek variabel inflasi tidak dapat menjelaskan
perilaku nilai tukar, demikian pula variabel jumlah uang beredar. Tetapi
variabel pendapatan nasional dan suku bunga dapat menjelaskan perilaku nilai
tukar. Hasil analisis yang sama juga diperoleh dalam analisis jangka panjang,
yaitu bahwa inflasi tidak dapat menjelaskan perilaku nilai tukar. Berdasarkan
hasil analisis, diperoleh nilai R-squared sebesar 0.897650, yang berarti bahwa
50
sebesar 89,765 persen variasi kurs dollar Amerika Serikat dipengaruhi oleh
inflasi, jumlah uang beredar, suku bunga, dan pendapatan nasional (GDP),
sedangkan sisanya sebesar 10,235 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar
model. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
Santosa adalah sama-sama menggunakan kurs dollar Amerika Serikat sebagai
variabel terikatnya. Selain itu, variabel bebas yang digunakan sama, yaitu
inflasi dan pendapatan nasional (PDB), kecuali variabel suku bunga dan
jumlah uang beredar, dimana dalam penelitian ini menggunakan variabel
cadangan devisa sebagai salah satu variabel bebasnya.
4) Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Triyono (2008) yang berjudul
“Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika”. Teknik analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda dengan
menggunakan model Error Correction Model (ECM). Berdasarkan hasil
estimasi regresi ECM dan analisis jangka panjang, variabel inflasi, tingkat
suku bunga SBI, dan impor mempunyai pengaruh yang signifikan pada α =
0,05 dengan arah positif terhadap kurs. Sementara variabel jumlah uang
beredar mempunyai pengaruh dengan arah negatif terhadap kurs pada α = 0,05.
Dari analisis dengan uji t diketahui bahwa regresi jangka pendek variabel
inflasi, tingkat suku bunga SBI, dan impor tidak berpengaruh signifikan
terhadap kurs pada α = 0,05, sementara variabel jumlah uang beredar
berpengaruh secara signifikan terhadap kurs pada α = 0,05. Dalam regresi
jangka panjang, variabel inflasi, jumlah uang beredar, tingkat suku bunga SBI,
dan impor berpengaruh secara signifikan terhadap kurs pada α = 0,05. Dari
51
hasil analisis juga diketahui nilai koefisien determinasi R2, yaitu sebesar
0,490864 yang berarti bahwa sebesar 49,0864 persen variasi kurs dipengaruhi
oleh variabel inflasi, jumlah uang beredar, tingkat suku bunga SBI, dan impor,
sedangkan sisanya sebesar 50,9136 persen dipengaruhi oleh variabel lain
diluar model.
5) Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Adek Piska Maryani (2009) yang
berjudul ”Pengaruh Ekspor Total, Impor Total, dan Cadangan Devisa
Terhadap Kurs Valuta Asing di Indonesia Periode 1990 Sampai Dengan 2006”.
Dari hasil analisis diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 0,764 yang
berarti sebesar 76,4 % variasi kurs dollar Amerika Serikat dipengaruhi oleh
variabel ekspor total, impor total, dan cadangan devisa, sedangkan sisanya
sebesar 23,6 % dipengaruhi oleh variabel lain diluar model. Dari uji t-test
diketahui bahwa variabel ekspor total tidak berpengaruh negatif terhadap kurs
dollar Amerika Serikat dan signifikan, variabel impor total berpengaruh positif
dan signifikan secara parsial terhadap kurs dollar Amerika Serikat, dan
variabel cadangan devisa tidak berpengaruh negatif dan signifikan secara
parsial terhadap variabel kurs dollar Amerika Serikat. Sementara, dari uji-F
diketahui bahwa variabel ekspor total, impor total, dan cadangan devisa secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap kurs dollar Amerika Serikat.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilkukan oleh Maryani
(2009) adalah terletak pada variabel yang digunakan, yaitu sama-sama
menggunakan kurs dollar Amerika Serikat sebagai variabel terikat dan
cadangan devisa sebagai salah satu variabel bebasnya. Perbedaannya adalah
52
dari segi waktu dan objek serta dari variabel bebas yang digunakan. Penelitian
sebelumnya menggunakan ekspor total dan impor total sebagai variabel bebas,
sedangkan penelitian ini menggunakan tingkat inflasi dan tingkat pendapatan
sebagai variabel bebasnya. Dari segi waktu, penelitian sebelumnya
menggunakan periode tahun 1990 sampai 2006, sedangkan penelitian ini
menggunakan periode tahun 1991 sampai 2010.
2.3 Rumusan Hipotesis
Berdasarkan pokok permasalahan, kajian pustaka
dan pembahasan hasil
penelitian sebelumnya dapat dirumuskan rumusan hipotesis sebagai berikut :
1) Diduga, bahwa tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode
1991-2010.
2) Diduga secara parsial, bahwa tingkat inflasi berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010.
3) Diduga secara parsial, bahwa tingkat pendapatan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010.
4) Diduga secara parsial, bahwa cadangan devisa berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010.
53
Download