Surau dan Tradisi Pernaskahan di Minangkabau

advertisement
Surau dan Tradisi Pernaskahan di Minangkabau:
Studi Atas Dinamika Tradisi Pernaskahan di Surau-Surau
di Padang dan Padang Pariaman
A. Pendahuluan
Minangkabau merupakan sukubangsa di Indonesia yang mendiami
sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Barat. Etnis ini memiliki karakteristik
yang unik, dalam hal hubungannya antara sosio-kultural dan Islam, dibandingkan
sukubangsa-sukubangsa yang lain di Indonesia. Oleh karena itu, topik mengenai
hubungan sosial-kultural dan Islam di Minangkabau tetap menarik untuk dikaji.
Dalam konteks hubungannya dengan Islam, di Minangkabau dikenal
salah satu lembaga Islam yang penting. Lembaga tersebut adalah surau, yakni
sebuah lembaga pribumi yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang
menonjol. Surau juga merupakan titik tolak Islamisasi di Minangkabau. Sebagai
pusat tarekat, surau juga menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap
berkembangnya dominasi kekuatan Belanda (Azra, 2003:34). Selain itu, sebagai
pusat tarekat, surau juga menjadi tempat untuk konsentrasi gerakan bagi masingmasing golongan yang sedang berpolemik tentang paham keislaman yang terjadi
di Minangkabau pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Dalam fungsinya yang terakhir di atas, pada waktu itu surau menjadi
institusi penting dalam proses transmisi berbagai pengetahuan Islam. Di surau
itulah para ulama dari masing-masing kubu membangun jaringan guru-murid
sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks. Seiring
dengan persebaran paham keagamaan Islam di surau-surau tersebut, tradisi
penulisan dan penyalinan naskah pun tumbuh dengan subur. Para syaikh, ulama,
buya, dan ungku yang mengajar di suatu surau, menyalin dan menulis naskah.
Surau sebagai tempat penulisan dan penyalinan naskah merupakan
fenomena yang menarik sebagai gambaran tradisi pernaskahan di Minangkabau.
Lebih menarik lagi, tradisi pernaskahan tersebut masih berlangsung hingga akhir
1
abad ke-20 bahkan sampai sekarang. Dalam hal ini misalnya, dikenal Imam
Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib (lahir 18 Agustus 1922), sebagai penyalin
dan penulis naskah yang masih aktif dalam memproduksi manuskrip di surau
Nurul Huda, Padang. Beliau banyak menulis dan menyalin naskah yang berisi
teks sejarah, hikayat, dan ajaran tarekat Syattariyah (Pramono, 2005 dan 2006).
Dari banyak surau yang ada di Minangkabau, beberapa surau di antaranya
memiliki koleksi naskah yang cukup banyak, seperti surau yang terdapat di
Padang dan Padang Pariaman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf,
dkk. (2004), di beberapa surau yang terletak di kedua daerah itu ditemukan 110-an
naskah. Dengan jumlah koleksi naskah sebanyak itu, berarti bahwa surau-surau
tersebut merupakan tempat penyimpanan naskah Minangkabau yang terbesar
kedua di dunia.
Mengingat
bahwa
tradisi
pernaskahan
di
Minangkabau
masih
berlangsung hingga sekarang, maka dapat dipastikan jumlah naskah yang
disebutkan di atas dapat bertambah. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa,
sebagai sukubangsa yang terkenal dengan tradisi lisannya yang sangat kental,
ternyata Minangkabau memiliki tradisi pernaskahan yang cukup maju. Hal ini
terjadi, karena melalui keberadaan dan peran suraulah, tradisi penulisan
naskah-naskah keagamaan yang telah berumur ratusan tahun tersebut tetap
berlangsung. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan fenomena di wilayah lain,
dimana tradisi penulisan naskah tidak lagi berkembang.
Dengan demikian, keberadaan naskah-naskah di Minangkabau sebagai
hasil dari tradisi pernaskahan, merupakan khasanah budaya yang penting dan
menarik untuk dikaji, setidaknya bila dipandang dari dua hal. Pertama, tradisi
pernaskahan di Minangkabau merupakan sebuah kegiatan intelektual dalam
masyarakat tradisional (local genius). Kedua, sebagai sebuah produk budaya,
naskah-naskah Minangkabau merupakan gambaran berbagai bentuk ungkapan
masyarakat, dengan bahasanya masing-masing. Pada konteks ini umumnya,
artikulasi satu masyarakat bahasa, dan masa tertentu akan berbeda dengan
artikulasi masyarakat bahasa, dan masa lainnya, kendati pada mulanya mereka
membaca teks yang sama, sehingga dengan demikian muncul dinamika yang
2
sedemikian unik. Lebih jauh, kaitannya dengan Islam, dari naskah-naskah
Minangkabau akan memberikan data yang sangat kaya mengenai dinamika Islam
di daerah tersebut.
Surau-surau yang terdapat di Padang dan Padang Pariaman sendiri, dipilih
sebagai latar studi karena, setidaknya, ada empat alasan. Pertama, di beberapa
surau di Padang dan Padang Pariaman memiliki koleksi naskah yang cukup
banyak dibandingkan dengan surau-surau lainnya di wilayah Minangkabau. Hal
ini mengindikasikan bahwa pada surau-surau di kedua daerah itu pernah
berlangsung dinamika tradisi pernaskahan yang signifikan. Kedua, hingga kini,
tradisi pernaskahan (penyalinan dan penulisan naskah) dalam bahasa Melayu
Minangkabau dengan menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu) di kedua
daerah itu masih berlangsung di beberapa suraunya, khususnya di Padang.
Ketiga, belum dilakukannya penelitian secara lebih menyeluruh tentang surau
dengan dinamika tradisi pernaskahannya di Minangkabau, khususnya di daerah
Padang dan Padang Pariaman. Dengan demikian penelitian ini juga dimaksudkan
untuk mengisi kekosongan atau kurangnya studi tentang dinamika tradisi
pernaskahan di Minangkabau, di mana surau sebagai pusatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk: Pertama, menjelaskan dinamika tradisi
pernaskahan di Minangkabau, khususnya di surau-surau di Padang dan Padang
Pariaman dengan pertama-tama mencari latar belakang yang diyakini menjadi
permulaan dari tradisi pernaskahan di Minangkabau. Untuk mengetahui itu
dilakukan pembahasan atas sejarah naskah melalui kajian filologi dengan
memperhatikan data tekstual naskah-naskah yang terdapat di beberapa surau di
Padang dan Padang Pariaman. Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini juga
diungkapkan dinamika internal masyarakat Minangkabau dalam hubungannya
dengan perkembangan tradisi pernaskahannya. Kedua, menjelaskan gambaran
keberlanjutan tradisi pernaskahan di Minangkabau, khususnya tradisi pernaskahan
yang terdapat di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman.
Untuk sampai pada tujuan di atas, dalam penelitian ini digunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan filologi dan sejarah sosial intelektual. Pendekatan
filologi digunakan untuk melihat data-data tekstual dari naskah. Pendekatan
3
sejarah sosial intelektual untuk menelaah data-data secara kontekstual dalam
rangka penelusuran data-data sebagai gambaran dinamika dari tradisi pernaskahan
di Minangkabau secara umum, dan di Padang dan Padang Pariaman secara
khusus.
B. Pembahasan
Adapaun latar belakang yang diyakini menjadi permulaan dari tradisi
pernaskahan di Minangkabau adalah karena adanya perbedaan paham keislaman
di wilayah Minangkabau secara umum; faktor sosial budaya; dan faktor sosial
politik semasa. Ketiga hal inilah yang penulis temukan sebagai yang
melatarbelakangi dinamika tradisi pernaskahan di surau-surau di Padang dan
Padang Pariaman.
Bermula dari Perbedaan Paham Keislamanya
Surau dalam awal perkembangannya, memainkan peranan penting dalam
gelombang pembaharuan Islam di Sumatera Barat sejak akhir abad ke-18. Seruan
kembali kepada syari’at yang digemakan oleh pengikut tarekat di Timur Tengah
dan anak benua India, juga menemukan momentumnya pada surau di Sumatera
Barat. Momentum pembaharuan ini menjadi kuat dengan terbukanya kontak
dengan Mekah dan Madinah. Surau Syattariyah di bawah bimbingan Syaikh
Burhanuddin muncul usaha-usaha membangkitkan kembali penekanan pada
syari’at seperti yang diberikan gurunya Syaikh Abdurrauf Singkil di Aceh. Usahausaha itu diwujudkan dengan menekankan pentingnya pelajaran fiqih, Alquran,
dan hadits dalam pendidikan surau (Samad, 2003: 3).
Bersamaan dengan itu, surau kemudian berkembang menjadi pusat tarekat.
Setiap ulama di Minangkabau memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat
pengajaran agama maupun tarekat. Eksistensi surau bukan hanya menunjukan
suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, tetapi lebih dari itu menunjukan
bentuk tarekat yang dianut oleh masyarakat Sumatera Barat. Bahkan, fungsi surau
terkadang lebih dominan sebagai tempat praktik tarekat, ketimbang sebagai
lembaga pendidikan. Setiap surau memiliki kekhususan tersendiri, baik dalam
praktik tarekat maupun penekanan cabang otoritas ilmu-ilmu keislaman.
4
Masa berikutnya, surau Syaikh Burhanuddin dan surau yang didirikan oleh
murid-muridnya berfungsi sebagai pusat tarekat Syattariyah di Sumatera Barat. Di
samping itu, sekitar paruh pertama abad XVII muncul pula beberapa surau di
pedalaman Sumatera Barat yang menjadi pusat pengembangan tarekat
Naqsyabandiyah seperti, di daerah Lima Puluh Kota, Payakumbuh dan Tanah
Datar, Batusangkar. Di daerah Pesisir dan Agam terdapat pula surau tarekat
Qadiriyah, tetapi tidak begitu dikenal.
Pada perkembangan berikutnya, keberadaan tarekat Naqsyabandiyah di
Sumatera Barat kurang “disenangi” oleh penganut tarekat Syattariyah yang lebih
dahulu ada. Di antara kedua golongan ini terjadi polemik perbedaan paham
keislaman. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Schrieke (1973: 25) bahwa,
pada awal abad ke-19, ketegangan antara tarekat Syattariyah dan tarekat
Naqsybandiyyah memang tak terhindarkan. Bahkan, pertentangan antara kedua
kelompok tarekat tersebut pada gilirannya menjadi bagian dari faktor penyebab
munculnya konflik sosial di Sumatra Barat, di samping juga faktor lainnya seperti
konflik antara ulama tua dan ulama muda. Berkaitan dengan konflik antara tarekat
Syattariyah dengan tarekat Naqsybandiyyah ini, Dobbin (1992: 148) misalnya
mencatat terjadinya pertentangan sengit yang menyebabkan permusuhan terbuka
antara pusat Syattariyah di Ulakan dengan Taram dan Talawi yang berorientasi
pada tarekat Naqsybandiyyah.
Akan tetapi, penting juga dicatat bahwa konflik lebih tajam yang
melibatkan para pengikut tarekat Syattariyah di Sumatera Barat ini sesungguhnya
terjadi ketika pada tahun 1804, tiga Haji putra Minangkabau kembali dari Tanah
Suci Makkah setelah menuntut ilmu selama beberapa tahun. Ketiga Haji tersebut
adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat Padangpanjang, Haji Abdurrahman dari
Piyobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Batusangkar. Tampaknya,
pemikiran keagamaan ketiga Haji tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan
pembaharuan kaum Wahabi di Makkah, yang diajarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab (1115-1206 H/1703-1792 M), seorang ulama asal Nejd di Arab Timur.
Pandangan-pandangan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ini banyak yang sejalan
dengan pandangan-pandangan keagamaan seorang ulama pembaharu sebelumnya,
5
yakni Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), yang mengkampanyekan agar
dalam beragama, umat Islam kembali kepada al-Quran dan mencontoh Nabi
(Rahman, 1997: 15).
Dalam konteks perdebatan tersebutlah, masing-masing kelompok menulis
naskah untuk mendebat dan mengkritik pendapat-pendapat yang dianggap tidak
benar. Selain itu ulama dari masing-masing kelompok menyalin naskah untuk
menjadikan sumber acuan dan sumber rujukan untuk meyakinkan pengikutnya
bahwa ajarannya adalah ajaran yang sah dan asli.
Faktor Sosial-Budaya
Naskah-naskah Islam di Minangkabau, seperti naskah-naskah karya para
ulama tarekat, ditulis dan disalin dimaksudkan untuk menyebarkan pengajian dan
mendebat ataupun mengkritik pendapat orang lain serta untuk mengkritik keadaan
sosial. Hal ini memberikan gambaran bahwa surau bukan sekedar tempat belajar
membaca Alquran atau belajar adab, melainkan surau merupakan pusat
kecendekiaan, center for excelent. Hal ini sekaligus menggambarkan sebuah
tradisi intelektual keagamaan keislaman di Minangkabau (Azra, 2003).
Keberadaan naskah-naskah di atas menjadi penting untuk melihat
bagaimana tradisi intelektual keislaman di Minangkabau. Naskah-naskah itu
ditulis di surau yang para ulamanya terlatih berdiskusi dan berdebat. Sehingga,
naskah-naskah itu merupakan saksi dari proses perdebatan dan polemik
keagamaan yang terjadi di Minangkabau
Perdebatan dan polemik paham keagamaan Islam yang terjadi di
Minangkabau berdampak positif terhadap lahirnya naskah. Hal ini merupakan
bentuk tradisi intelektual keislaman di Minangkabau; menulis naskah merupakan
sebuah alternatif untuk mengkritik dan mendebat paham yang dianggap tidak
benar. Tradisi seperti ini tidak lepas dari latar belakang budaya Minangkabau, di
mana konflik diberi ruang dalam masyarakatnya.
Dalam budaya Minangkabau terdapat pepatah yang berbunyi basilang
kayu di tungku mangko api ka iduik, yang terjemahannya ‘bersilang kayu dalam
tungku, maka api akan hidup’. Hal ini berarti bahwa, di Minangkabau konflik
diberi ruang dalam masyarakatnya, sehingga wajar dalam sejarah Minangkabau
6
sering terjadi konflik, tidak saja antar individu, tetapi juga antar kelompok
(Hasanuddin, 2000: 7-9). Akibat dari konflik juga mempengaruhi cara berpikir
masyarakatnya.
Agaknya, latar belakang budaya itulah yang memberi ruang kepada para
ulama di Minangkabau untuk berdebat dan berpolemik. Dengan kondisi yang
demikian, bersamaan dengan adanya perdebatan dan polemik, lahirnya naskahnaskah. Di antaranya adalah naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf
yang menjadi subjek penelitian ini. Oleh karena itu ideologi yang terdapat di
dalam kandungan naskah-naskah karangannya tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh kebudayaan Minangkabau.
Kondisi Sosial-Politik Semasa
Faktor yang juga penting adalah faktor sosial-politik semasa terhadap
adanya dinamika tradisi pernaskahan di surau-surau di Padang dan Padang
Pariaman. Naskah-naskah yang ada ditulis dalam empat masa: masa penjajahan,
masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Dari teks-teks yang dikandung
dalam naskah-naskah itu tampak bahwa kondisi sosial-politik semasa ikut
mempengaruhi pandangan ideologis baik ulama tarekat Syattariyah di Koto
Tangah, Padang maupun penulisnya. Khusus mengenai kaum Syattariyah, Ronkel
menyebutkan bahwa, para pemimpin tarekat Syattariyah itu biasanya adalah
orang-orang yang tangguh pengetahuannya, menjadi lawan bagi setiap aliran
lainnya, suka mengejar-ngejar kekuasaan. Dengan demikian, tidak jarang
merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi pemetintahan Belanda. Apabila
terdapat kejadian-kejadian tertentu yang mereka cetuskan, dapat mengganggu
kelancaran pemerintahan Belanda nantinya.
Untuk kasus pusat tarekat Syattariyah di Ulakan Pariman, agaknya strategi
Belanda ini berhasil. Hal ini dapat dicermati pada paroh pertma abad ke-19, di
mana banyak pengikut tarekat Syattariyah di Ulakan Pariaman terpengaruh oleh
gerakan pembaharu Islam di Sumatera Barat. Golongan penganut tarekat
Syattariyah yang terpengaruh oleh ide-ide pembaharuan itu karena tidak puas
dengan ulama Ulakan yang dinilai tidak memiliki komitmen untuk memerangi
Belanda. Apalagi dalam kenyataanya Ulakan sebagai salah satu pusat tarekat
7
Syattariyah tidak pernah benar-benar menunjukkan penentangannya atau
setidaknya bersikap tegas terhadap Belanda yang dianggap kafir. Boleh jadi
karena sifat tarekat Syattariyah (di Ulakan) yang suka pada harmoni,
menyebabkan mereka cenderung menghindari konfrontasi dengan Belanda
(Suryadi, 2004: 117).
Kondisi di atas sangat berbeda dengan ulama-ulama tarekat Syattariyah di
Koto Tangah, Padang. Di wilayah ini Belanda mendapat perlawanan yang tajam
dari mereka. Gambaran perlawanan ulama tarekat Syattariyah tersebut dapat
ditemui dalam teks Sejarah Surau Baru dan teks Sejarah Syaikh Paseban.
Dalam teks Sejarah Syaikh Surau Baru misalnya, diceritakan tentang
pemberontakan rakyat Koto Tangah dan Pauh, Padang kepada Belanda di bawah
pimpinan Pakih Mudo. Pakih Mudo adalah murid Syaikh Surau Baru yang diutus
untuk mengislamkan rakyat Pauh, Lubuk Begalung dan sekitarnya. Ketika rakyat
Koto Tangah dan Pauh, Padang berperang dengan Belanda yang dibantu oleh
orang Kota Padang, maka Pakih Mudo mengomando rakyat Koto Tangah dan
Pauh dalam peperangan itu.
Dari kajian kontekstual, diketahui bahwa masih terdapat keberlanjutan dari dinamika tradisi
pernaskahan yang tampak hingga hari ini. Dalam hal ini kajian tidak hanya yang bersifat tekstual,
tetapi juga diarahkan pada kajian kontekstual atau konteks sosial dari naskah-naskah yang ada.
Dalam konteks ini, yakni dalam rangka memaknai naskah-naskah itu maka akan
dikaitkan dengan praktik ideologi. Hal ini berkaitan dengan kebertahanan tradisi naskah yang telah
disebutkan dalam bab sebelumnya, masih ada hingga saat sekarang. Beberapa faktor
mempengaruhi kondisi tersebut, seperti adanya penghormatan terhadap guru. Menghormati guru
juga diyakini berimplikasi terhadap cepatnya pemahaman ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Jika
patuh dan hormat terhadap guru, maka pemahaman ilmu akan datang dengan tidak disangkasangka. Kepatuhan kepada guru akan membawa berkah, sehingga pelajaran diperoleh dengan
mudah dan sempurna. Banyak naskah yang ditemukan memperlihatkan pandangan tentang
hubungan guru-murid yang secara eksplisit mengarahkan agar para murid dan pengikut tarekat
Syattariyah merasa (ataupun diwajibkan) mengenal riwayat syaikh yang menjadi gurunya atau
guru dari gurunya. Bagi para penganut tarekat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah
keharusan karena itu bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada guru, untuk kemudian
menjadi suri teladan bagi kehidupannya. Oleh karena itu orang berusaha untuk memiliki, membaca
ataupun mendengar orang membacakan riwayat gurunya, memuliakan guru agar mendapat
syafaatnya (limpahan rahmat), agar ilmu yang didapat beroleh berkah.
8
Selain itu, adanya anggapan di kalangan pengikut tarekat Syattariyah bahwa aksara Jawi
merupakan aksara yang suci juga menyebabkan tradisi pernaskahan masih bertahan. Untuk aksara
Jawi sendiri, dari beberapa catatan sarjana, seperti Suryadi (2004: 4) menyebutkan bahwa aksara
Jawi dikenal luas di Minangkabau pada abad ke-18, dan kemudian disusul dengan pengenalan
aksara Latin. Dengan dikenalnya kedua aksara tersebut, maka khasanah sastra lisan Minangkabau
banyak dituliskan. Penulisan dengan aksara Jawi di Minangkabau semakin berkurang pada akhir
abad ke-20. Hal ini dimungkinkan karena tulisan tersebut tidak lagi dikenali oleh banyak orang.
Khalayak luas lebih mengerti dan paham dengan aksara Latin. Peneliti
pernah
mengajukan
pertanyaan itu kepada Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Menurutnya, adapun
digunakannya aksara Jawi dalam penulisan sejarah syaikh dan ajaran-ajaran yang terkait dengan
tarekat Syattariyah itu adalah untuk mensejajarkan atau menyandingkan naskah-naskah itu dengan
“Kitab Kuning”. Dengan disejajarkan dengan Kitab Kuning, maka naskah-naskah itu akan
dianggap sama dengan kitab itu. Sama dalam hal ini berarti sama-sama penting, sama-sama
dijadikan rujukan, atau yang lebih penting adalah sama-sama “asli” dan benar-benar “benar”.
Usaha mendekonstruksi “pusat” tarekat Syattariyah juga faktor penting
terhadap keberlanjutan tradisi pernaskahan di surau-surau di Padang dan Padang
Pariaman. “Pusat” dimaksudkan sebagai sentral dari ajaran tarekat Syattariyah
yang dikenal berada di Ulakan Pariaman, yang juga dikenal dengan sebutan
“Agama Ulakan”. Di daerah Ulakan inilah pertama kali dikembangkan sistem
pendidikan surau dengan paham tarekat Syattariyah oleh Syaikh Burhanuddin
Ulakan.
Dalam perkembangannya, yakni setelah Syaikh Burhanuddin meninggal,
paham Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat diwarnai tiga corak. Pertama, corak
Ulakan Pariaman yang diwakili oleh ulama yang tinggal di sekitar Ulakan dan
mengaku sebagai pelanjut dari Syaikh Burhanuddin. Kelompok ini terdiri dari
ulama-ulama seperti: 1) Tuanku Bermawi yang berkedudukan di Surau Pondok.
Kelompok yang dipimpinnya dikenal agak kaku dan rigid terutama dalam
mensyaratkan pengajian tarekat yang hanya dilakukan secara berhalaqah di
suraunya; 2) Tuanku Kuning Syahril Luthan yang mengikuti pola moderen dalam
memimpin jamaah melalui pengajian terbuka dan sering mengunjungi muridnya
ke pusat-pusat tarekat di Lubuk Jambi, Taluk Kuantan, Sijunjung dan daerah lain.
Kelompok ini juga mengadakan acara khusus Syafar, sehari sebelum Syafar; dan
9
3) Tuanku Tibarau, yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai ulama yang
keramat, tetapi tidak begitu luas pengaruhnya.
C. Penutup
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan ke dalam beberapa
hal berikut. Kesimpulan ini merangkum sejumlah pokok pikiran yang berhasil
dimunculkan dari sejumlah data dan fakta yang berkaitan dengan segi tekstual
maupun kontekstual karya yang dibicarakan.
Pertama, surau-surau (khususnya surau tarekat Syattariyah) yang ada di
Padang dan Padang Pariaman pernah ada tradisi penulisan naskah. Hingga saat ini
beberapa surau di antaranya masih terdapat tradisi pernaskahan. Naskah-naskah
yang ada masih dijadikan rujukan da pedoman dalam beribadah dan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kedua, naskah-naskah yang ada ditemukan di surau-surau di Padang dan
Padang Pariaman kebanyakan ditulis dengan adanya banyak permintaan kalangan
tarekat Syattariyah. Di samping itu, naskah-naskah itu ditulis juga karena untuk
menghormati para syaikh dengan tujuan memperoleh berkah. Oleh karenanya
naskah itu juga dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ajaran para syaikh itu
benar adanya dan kritikan dari pihak luar adalah salah. Dengan demikian secara
kultural memperlihatkan bahwa di tengah masyarakat (khususnya para penanut
paham tarekat Syattariyah) ada keperluan akan ‘kitab’ itu. Hal ini bekaitan dengan
kepercayaan bahwa mengetahui, memiliki bukunya, ataupun mendengar riwayat
ulama, guru, dalam paham tarekat Syattariyah itu penting.
Ketiga, dalam tulisan sejarah para syaikh dan ajarannya dapat ditemukan
pandangan-pandangan ideologis pengarangnya. Pandangan-pandangan ideologis
tersebut dipengaruhi oleh: 1) faktor perbedaan paham keagamaan yang
melahirkan “gerakan” untuk mempetahankan paham keagamaan sendiri bahwa,
pahamnya benar dan ali serta berdasar; 2) faktor sosial-budaya Minangkabau,
yang memberi ruang masyarakatnya untuk senantiasa berkonflik; dan 3) faktor
sosial-politik semasa seperti, penjajahan dan kemerdekaan yang ikut mewarnai
pemikiran ulama tarekat Syattariyah.
10
Keempat, keberlanjutan dari dinamika tradisi pernaskahan yang ada di
surau-surau di Padang dan Padang Pariaman dapat dilihat dari tetap digunakannya
naskah-naskah yang ada dalam keseharian. Hal ini dipengaruhi oleh adanya sikap
penghormatan terhadap guru dan adanya tradisi berdebat dan usaha dekonstruksi
kepada pusat ajaran tarekat Syattariyah yang ada di Ulakan, Padang Pariaman.
11
DAFTAR PUSTKA
Abdullah, Taufik. 1971. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra (1927-1933). Monograph Series, Ithaca, New York: Cornell
University.
Abdullah, Taufik & Sharon Siddique (peny.). 1989. Tradisi dan Kebangkitan
Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar
Antropologi Agama. Jakarta : Rajawali Press.
Amir, Adriyetti. 1996. “Salawat Dulang: Sastra Berangka yang Dihapalkan.”
Warta ATL, No.2 (Juli), p. 5-24.
-----------------. 2001. Sejarah Ringkas Aulia Allah Al-Shalihin Syeh Burhanuddin
Ulakan : Pengantar dan Transliterasi. Padang : PUITIKA.
-----------------. 2003. “Mauizatul Hasanah: Fenomena Pernaskahan di
Minangkabau”. Makalah Simposium Internasional Masyarakat
Pernaskahan Nusantara di Bali (28-29 Juli).
Amran, Rusli. 1986. Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Anwar, Khaidir. 1998. Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah Bahasa.
Yogyakarta : UGM Press.
Azra, Azyumardi. 2002. Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Bandung:
Mizan; diterjemahkan oleh Iding Rosyidin Hasan dari aslinya,
Historical Islam: Indonesian Islam in Global and Local Perspective.
--------------------. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Barat. 2000. Monografi
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Padang : BPPD.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Baried, Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jorjakarta : BPPF.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik.(Penerjemah: Tim
KUNCI Cultural Studies Center). Yogyakarta : Bentang.
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bruinessen, Martin van. 1992. “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam: Latar
Belakang Sosial Budaya”. Ulumul Quran Vol. III. No. 1.
---------------------------. 1996. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. (cetakan
keempat). Bandung: Mizan.
Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman. 1999. Khazanah Naskah: Panduan
Koleksi Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
kerja sama dengan EFEO.
Chatib, Adrianus & Erwiza Erman. 2002. “Gerakan Reformis Paderi” dalam
Taufik Abdullah (ed.) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 5.
Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
12
Colombijn, Freek. 1994. Paco-Paco (Kota) Padang, Sejarah Sebuah Kota di
Indonesia Pada Abad Kedua Puluh dan Penggunaan Ruang Kota.
Padang : Kerjasama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang
dengan Badan Warisan Sumatera Barat.
Damono, Sapardi Djoko.1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Daya, Burhanuddin, 1990, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus
Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Djamaris, Edwar. 1992. Tambo Minangkabau. Jakarta : Balai Pustaka.
Dobbin, Christine. 1992. Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang
Berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847 (Penerjemah: Lillian D.
Tedjasudhana). Jakarta: INIS.
Faruk, H.T. 1988. “Konflik, Konsep Estetika Novel_Novel Pengarang
Minangkabau”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta (28
Oktober – 2 Nopember).
Fathurahman, Oman. 1999. Tanbih Al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus
Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Bandung: EFEO & Penerbit
Mizan.
------------------------. 2003. “Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-Indonesia:
Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah
di Sumatera Barat”. Desertasi. Depok: Pascasarjana UI.
------------------------. 2004. “Kearifan Lokal dalam Tradisi Pernaskahan
Keagamaan di Sumatera Barat”. Makalah Seminar Internasional
Minangkabau, di Padang (23-25 Agustus).
Gibb, H.A.R. & J.H. Krammers. 1953. Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden :
E.J. Brill.
Grebstein, Sheldon Norman. 1968. Perspectives in Contemporary Critism. New
York.
Hamka. 1984. Islam dan adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hasanuddi. 2000. “Clean Tourism, Konflik, dan Konformitas: Fenomena
Kepariwisataan di Minangkabau”. Thesis. Denpasar : Pascasarjana
Udayana.
Heryanto, Ariel. 1988. “Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusasteraan
Indonesia Mutakhir” Prisma No. 8 Tahun XVII 1988: 3-16.
Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. disunting oleh Titik Pudjiastuti
dkk.. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jamhari, 2004. “Agama dan Demokrasi Pra-kondisi Multikulturalisme”. makalah
dalam dialog tentang Multikulturalisme di Wisma Syahida UIN Jakarta
24 Juli 2004.
Jamil, Nur Anas. 1978. “Tarekat Syattariah di Sumatera Barat” Laporan
Penelitian pada Fakultas Keguruan Seni IKIP Padang.
Jefferson, Ann dan David Robey. Ed. 1988. Teori Kesusastraan Moden,
Pengenalan Secara Perbandingan. Terj. Mokhtar Ahmad. Kuala
Lumpurr : Dewan Bahasa dan Pustaka.
13
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kozok, Ulli. 1998. Warisan Leluhur. Jakarta : Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
Latief, M. Sanusi. 1988. “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”. (Disertasi S3
pada Fakultas Sastra Universitas Gajahmada). Yogyakarta : IAIN
Sunan Kalijaga.
Mannheim, K. 1991. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan
Politik. Jakarta : Kanisius.
Milner, Andrew. 1996. Literature, Culture and Society. London: University
College Press.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rakesarasisn.
Moussay, Gerard. 1998. Tata Bahasa Minangkabau (penerjemah: Rahayu S.
Hidayat). Jakarta : EFEO, Yayasan Gebu Minang, Univ. LeidenProject Division, dan Kepustakaan Populer Gramedia.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar
Sastra, edisi khusus no. 24. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Naim, Mochtar. 2001. “Filosofi Budaya Minangkabau: Mengembangkan Identitas
Keislaman Keminangan sebagai Jati Diri”, dalam Taib, Gusnawirta &
Abrar Yusra, Tantangan Sumatera Barat: Mengembalikan Keunggulan
Pendidikan Berbasiskan Budaya Minangkabau, Padang: Citra
Pendidikan.
Nafis, Anas. (Penyalin). t.t. Hikayat Syaikh Jalaluddin. Padang Panjang : Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Minangkabau.
Nasroen, M.D. 1971. Dasar-Dasar Filsafat Adat Minangkabau. Jakarta : Bulan
Bintang.
Nasution, Prof. Dr. H. Harun (Ketua Tim). 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia
(Jilid 3 O-Z). Jakarta : Djambatan.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau. Jakarta : Grafitipers.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. (cetakan
kedelapan). Jakarta: LP3ES.
Pemerintah Kecamatan Koto Tangah. 1993. Paper, Ekspose Camat Koto Tangah,
Dati. II Padang. Padang : Pemerintah Kecamatan Koto Tangah.
Pramono. 2003. “Transliterasi dan Pengantar Teks Syaikh Abdurrauf Singkil”.
Skripsi. Padang : Fakultas Sastra Unand.
-----------. 2005. “Tradisi Intelektual Keislaman Minangkabau: Kajian Teks dan
Konteks Terhadap Karya-Karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin
Al-Khatib”. Makalah. Seminar Filologi di Wisma Ciloto, Jawa Barat,
Tanggal 24-26 Januari 2005.
-----------. 2006. “Tradisi Penulisan dan Penyalinan Naskah-Naskah Islam
Minangkabau: Kajian Atas Imam Maulana Abdul Manaf Amin AlKhatib dan Karya-Karyanya”. Hasil Penelitian. Padang : Fakultas
Sastra Unand.
14
Putra, Yerry Satria. 2004. “Transliterasi dan Analisis Teks Sejarah Ringkas
Syaikh Paseban Assyatiari Rahimahulah Ta’ala Anhu”. Skripsi.
Padang : Fakultas Sastra Unand.
Rahman, Fazlur. 1997. Islam. (cetakan ketiga). Bandung: Pustaka, diterjemahkan
dari Islam oleh Ahsin Mohammad.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Refresentasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
..................................... 2005. “Peran Aksara dalam Perubahan Budaya Global:
Menyimak Nilai-Nilai Kelisanan dan Keberaksaraan”. Dalam:
Suastika, I Made dan Ratna, I Nyoman Kutha (editor). Keberaksaraan
dalam Kebudayaan. Denpasar : Program Studi Magister (S2) dan
Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana. Hlm. 129154.
Ricklefs, M.C. dan Voorhoeve. 1977. Indonesian Manuscrifts in Great Britain.
London : Oxford University Press.
Ronkel, Ph. S van. 1908. “Catalogus der Maleisch Handscriften van het
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde van
Nederlands-Indie”. BKI 60: 181-248.
Ronkel, Ph. S van.1909. Catalogus der Maleische Hanscriften in het Musem van
het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Batavia : Alberecht; ‘s Hage : Nijhoff. VBG 57.
---------------------.1946. Supplement Catalogus der Maleische en
Minangkabausche Handscriften in de Leidsche UniversiteitsBibliotheek. Leiden : E.J. Brill.
Rusbiantoro, Dadang. Ed. 2001. Bahasa Dekonstruksi Ala Foucault dan Derrida.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
Safwan, Mardanas dkk. 1987. Sejarah Kota Padang. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta : LkiS.
Samad, Duski. 2003. “Tradisionalisme Islam di Tengah Modernisme: Kajian
Tentang Kontinuitas, Perubahan, dan Dinamika Tarekat di
Minangkabau” (disertasi). Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.
Sanday, Peggy Reeves. 2002. Women at the Center: Life in A Modern Matriarchy.
Ithaca: Cornell University Press.
Schrieke, B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
Sumbangan Bibliografi (penerjemah: Soegarda Poerbakawatja).
Jakarta: Bhratara.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 2003. Membaca Jacques Derrida, Sebuah
Pengantar. Jogjakarta : Ar-Ruzz.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke19. Jakarta : Bulan Bintang.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap
Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : Qalam.
15
Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Budayta Populer.
Yogyakarta : Bentang.
Sutarga, Amir, dkk. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat
Jakarta. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (Ed.). 2004. Hermeneutika Pascakolonial.
Yogykarta : Kanisius.
Suryadi. 2000. “Syair Sunur dan Kisah Dibalik Penciptaan Sebuah Teks
Minangkabau Abad XIX”. Makalah Simposium Antar Bangsa
Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) IV, di Pekanbaru pada
tanggal 19-20 Juli 2000.
---------. 2001. “Syaikh Daud of Sunur: Conflic Between Reformist and the
Shatariah Sufi order ini Rantau Pariaman in the first Half of the
Nineteenth Century”. Jakarta : STUDIA ISLAMIKA. Volume 8.
---------. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama
Minangkabau Abad Ke-19. Padang : Citra Budaya.
Sweeney, Amin. 1980. “Authors and Audience in Traditional Malay Literature”.
Dalam Monograph Series No. 20. Berkeley : University of California
Press.
Thompson, John B. 2003. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi
Dunia. (Penerjemah: Haqqul Yaqin). Yogyakarta : IRCiSoD.
Vianey, Watu Yohanes. 2006. Citraan Ilahi dan Insani dalam Ritus Sa’o Ngaza di
Kampung Guru Sina, Kabupaten Ngada, Flores”. Usulan Penelitian.
Denpasar : Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Watson, C.W. 1972. “The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955”. Tesis
MA, University of Hull.
Wierenga, E.P. 1998. Catalogue of Malay an Minangkabau Manuscripts in the
Library of Leiden University an Other Collections in the Netherlands.
(Vol. I). Leiden : Legatum Warnerianum in the Library of the
University of Leiden.
Yaapar, Md. Salleh. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Yusriwal. 1998. “Interaksi Audiens dalam Pertunjukkan Dikia”. Laporan
Penelitian. Padang : Fakultas Sastra Unand.
Yusuf, M dkk. 2004. “Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Laporan
Penelitian Kelompok Kajian Puitika Fakultas Sastra Unand.
Zulfadly. 2005. “Transliterasi dan Analisis Teks Kitab Ziarah Pada Makam
Syaikh Abdurrauf Singkel Karangan Imam Maulana Abdul Manaf
Amin al-Khatib” (skripsi). Padang : Fakultas Sastra Universitas
Andalas.
Zuriati. 2003. Undang-Undang Minangkabau, Pengaruh Tasawuf dan Dinamika
Hukum Adat di Bawah Pengaruh Hukum Islam (Syarak), (Suntingan
Teks dan Analisis Isi). Tesis pada Program Pascasarjana Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia). Jakarta : Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI.
16
Download