BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS Infeksi Human

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemi HIV/AIDS
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) telah menjadi pandemi di tingkat global dengan berbagai dampak
yang merugikan, baik dampak kesehatan, sosial ekonomi maupun politik. Menurut
laporan United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada akhir tahun 2009,
jumlah penduduk yang hidup dengan HIV/AIDS hingga Desember 2008 diperkirakan
33,4 juta (31,1 juta – 35,8 juta). Pasien dewasa berjumlah 31,3 juta (29,2 juta – 33,7
juta) dan 15,7 juta adalah wanita. Sedangkan anak-anak diperkirakan 2,1 juta (1,2 juta 2,9 juta) hidup dengan HIV. Kasus terbanyak ditemukan di Afrika Sub-Sahara yaitu
22,4 juta sedangkan di Asia Selatan dan Tenggara didapatkan 3,8 juta orang (Anonim,
2009a). Secara kumulatif jumlah kasus AIDS di Indonesia menurut Departemen
Kesehatan RI, hingga 30 September 2009 mencapai 18.442 kasus, sedangkan kasus
kumulatif infeksi HIV hingga Juni 2009 mencapai 28.260 orang di Indonesia.
Berdasarkan provinsi yang melaporkan, kasus AIDS lebih banyak di Jawa Barat, Jawa
Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara,
Riau dan Kepulauan Riau (Anonim, 2009b). Di Bali, jumlah kasus AIDS sampai
September 2009 ditemukan 1.508 kasus AIDS dan kumulatif infeksi HIV sebanyak
3.047 orang (Anonim, 2009c).
10
Berdasarkan laporan UNAIDS (2009), perbaikan akses pengobatan ARV yang
pada tahun 2003 sebanyak 7% menjadi 42% pada tahun 2008. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah kematian odha di dunia tetapi angka prevalensi penderita
HIV menjadi meningkat (Anonim, 2009a). Di Indonesia, antiretrovirus mulai digunakan
dengan subsidi pemerintah pada tahun 2004. Angka kematian odha menurun dari 46%
pada tahun 2006 menjadi 17% pada tahun 2008 (Anonim, 2009b).
2.2 HIV sebagai penyebab AIDS
Virus HIV-1 pertama kali diisolasi dari penderita AIDS oleh Luc Montagnier
dan Barre-Sinoussi di Pasteur Institute Paris pada tahun 1983 yang kemudian secara
cepat dikonfirmasi oleh Robert Gallo (Collier dan Oxford, 2000). Virus HIV termasuk
dalam famili Retroviridae, genus Lentivirus. Partikel virus berbentuk spheris,
berselubung (envelope), dengan diameter 100 nm. Pada lapisan selubung luar lemak
terdapat 72 penetrasi tonjolan glikoprotein yang disebut dengan protein envelope (env).
Polipeptida env terdiri dari 2 sub unit yaitu tonjolan glikoprotein luar (gp 120) dan
bagian transmembran (gp 41) yang menghubungkan tonjolan keselubung lemak.
Lapisan dalam selubung lemak virus tersusun dari protein matrix (p17). Selubung lemak
HIV menutupi icosahedral shell protein (p24) yang didalamnya terdapat protein inti (P7
dan P9) yang mengandung 2 untai single strand RNA (ssRNA) (Murray, et al. 2002).
11
Gambar 2.1 : Struktur HIV (dikutip dari Murray et al, 2002)
Pengaturan genom ssRNA yang berukuran 10 kb pada HIV-1, cukup kompleks.
HIV tidak memiliki gen onc yang bersifat onkogenik seperti virus lain dalam famili
yang sama. Tetapi HIV memiliki gambaran gen unik seperti gen rev yang meningkatkan
replikasi virus, gen tat yang mengatur transaktivasi dan gen vif yang menentukan
infektivitas virus. Gen pol menyandi sedikitnya tiga jenis protein. Protein terbesar yang
disandi oleh gen pol adalah reverse transcriptase yaitu enzim yang mampu mengubah
RNA menjadi DNA. Protein yang lain adalah integrase yaitu enzim yang berfungsi
untuk menggabungkan gen proviral HIV kedalam DNA sel inang. Protease adalah
protein ketiga yang disandi oleh gen pol yang berfungsi untuk memotong protein yang
terbentuk sesaat setelah virus dilepas dari inti sel inang. Ketiga enzim ini merupakan
target kerja dari ARV (Murray, et al. 2002; Freed dan Martin, 2007)
12
Reverse transcripase (RT) merupakan enzim multifungsi. Enzim ini
mengkatalisis sedikitnya tiga reaksi, yaitu: reaksi RNA-dependent DNA polimerase,
DNA-dependent DNA polymerase dan ribonuclease H (RNase H). Reverse transcriptase
dapat berikatan secara spesifik dengan tRNA yaitu tRNAlys3 yang digunakan sebagai
primer untuk reaksi RNA-dependent DNA polymerase. Protein RT tersusun dari 560
residu asam amino dengan berat molekul 66 kDa (p66). Protein RT rekombinan HIV-1
dapat membentuk suatu homodimer (p66/p66) yang selanjutnya oleh protease akan
dipecah pada satu subunit diantara residu 440 dan 441 (Tyr-Phe). Akibat pemecahan
oleh protease, mengakibatkan pengeluaran bagian C-terminal domain RNase H (p51)
sehingga membentuk suatu heterodimer (p66/p51) (Stammers dan Ren, 2006).
Struktur kristal RT HIV-1 menggambarkan arsitektur dasar dari heterodimer
p66/p51. Bagian N-terminal dari subunit p66 disusun dalam suatu struktur yang analog
dengan gambaran seperti tangan kanan terbuka yang mengandung 3 domain seperti jari
(fingers), telapak tangan (palm) dan ibu jari (thumb). Domain penghubung mengikuti
domain ibu jari dan berakhir pada domain C-terminal RNase H(Stammers dan Ren,
2006).
13
Gambar 2.2 : Struktur kristal RT HIV (dikutip dari Stammers dan Ren, 2006)
Terdapat tiga produk translasi utama pada HIV yang bereplikasi secara utuh.
Ketiga produk translasi ini akan menyandi protein struktural. Pada awalnya protein ini
disintesa sebagai prekusor poliprotein yang kemudian diproses oleh protease virus atau
sel inang menjadi protein matur. Prekusor Gag 55-kd (Pr55Gag) akan dipecah menjadi
matrik (MA), kapsid (CA), nukleokapsid (NC) dan protein p6. Autokatalisis dari
poliprotein Gag-Pol 160-kd (Pr 160Gag-Pol) akan menjadi protein protease (PR), reverse
transcriptase heterodimer (RT) dan integrase (IN). Digesti proteolitik oleh enzim
seluler akan merubah prekusor env gp 160 terglikosilasi menjadi surface gp 120 (SU)
dan transmembrane gp 41 (TM). Sedangkan 6 protein HIV lainnya (Vif, Vpr, Tat, Rev,
Vpu dan Nef) merupakan produk utama dari spliced mRNA (Freed dan Martin, 2007).
14
Gambar 2.3: Skema protein HIV, lokasi gen HIV dan ukuran produk translasi utama
(dikutip dari Freed dan Martin, 2007)
Didalam famili Retroviridae, genus Lentivirus, terdapat dua tipe penyebab
AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Pada umumnya sebagai penyebab AIDS terbanyak
adalah HIV-1. Kedua jenis virus merupakan virus yang berbeda. Struktur genetiknya
hampir sama, dimana HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak memiliki gen vpx,
sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan
struktur gen ini diperkirakan memiliki peranan dalam menentukan perbedaan
patogenitas dan perjalanan penyakit kedua tipe virus ini (Freed dan Martin, 2007).
Selain perbedaan genom, saat ini telah diketahui adanya perbedaan protein struktural
pada HIV-1 dan HIV-2. Pada HIV-2, gen env akan menghasilkan protein gp125, gp 105
15
dan gp 36 yang analog dengan produk gen env pada HIV-1 yaitu gp 160, gp 120 dan gp
41 (Griffith, et al.2007).
Gambar 2.3 : Perbedaan susunan gen HIV-1 dan HIV-2 (dikutip dari Freed dan Martin.
2007)
2.3 Siklus replikasi HIV
Siklus replikasi HIV-1 secara in vivo diperkirakan membutuhkan waktu selama
24 jam. Proses replikasi dimulai dengan melekatnya gp 120 pada reseptor CD4 sel
inang. Perlekatan ini menyebabkan perubahan yang memungkinkan virus berinteraksi
dengan tempat koreseptor sel lainnya, yaitu CXCR4 dan CCR5. Setelah virus masuk
kedalam sel, maka RNA virus akan dilepaskan. Partikel HIV mengandung reverse
transcriptase (RT) yaitu enzim yang berperanan penting dalam proses replikasi. RT
memiliki tiga fungsi yang berbeda: RNA-dependent DNA polymerase, yang berperan
sebagai sintesa cDNA; RNase H, yang menghancurkan RNA dari kompleks cDNARNA dan DNA-dependent DNA polymerase, yang menyalin untai cDNA. Integrase
adalah enzim yang akan memasukkan cDNA kedalam genom sel inang. Selanjutnya
16
cDNA akan berfungsi sebagai cetakan bagi RNA virus. Pengaktifan transkripsi HIV dan
ekspresi gen dipercepat oleh faktor transkripsi seluler dan oleh protein pengatur virus,
seperti Tat, Rev, Nef dan Vrp. Pengaturan gen tat dan rev sangat mempengaruhi
kecepatan replikasi virus. Protein Tat akan meningkatkan kecepatan replikasi sedangkan
protein Rev akan memperantarai pengeluaran unspliced atau partially spliced RNA
yang menyandi protein struktural virus. Pada akhir siklus, virion akan disusun dan
menonjol keluar melalui membran plasma. RT pada HIV memiliki proof reading yang
jelek (infidelity), sehingga banyak kesalahan saat proses replikasi terjadi. Hal ini
menyebabkan seseorang yang terinfeksi HIV, dalam tubuhnya memiliki keragaman
virus HIV yang dikenal dengan istilah quasispecies (Griffith, et al. 2007; Freed dan
Martin, 2007).
17
Gambar 2.4. Skema replikasi HIV (dikutip dari Murray et al, 2007)
18
2.4 Penyebaran HIV
Virus HIV-1 dan HIV-2 memiliki pola penyebaran yang sama. Pola penyebaran
terbanyak dari HIV adalah penyebaran melalui hubungan seksual melalui kontak
langsung mukosa genital dengan cairan tubuh terinfeksi seperti darah, semen sperma
dan sekresi vagina. Infeksi juga dapat terjadi melalui inokulasi darah terinfeksi lewat
transfusi darah, transplantasi jaringan atau penggunaan ulang jarum terkontaminasi.
Sebagian besar penyebaran HIV dari ibu kepada anaknya terjadi di negara-negara
berkembang. Adanya RNA HIV-1 ibu di darah dan cairan genital telah terbukti erat
hubungannya dengan penyebaran dari ibu kepada anak. Penyebaran HIV dapat terjadi
saat dalam kandungan, saat proses melahirkan atau saat proses menyusui (Griffith, et
al.2007; Kuritzkes dan Walker, 2007).
2.5 Subtipe HIV-1
Pandemi HIV-1 disebabkan oleh penyebaran lentivirus antar spesies mahluk
hidup. Cikal bakal virus penyebab infeksi adalah virus HIV-1 group M (main). Selama
penyebarannya diantara manusia, virus HIV-1 group M berkembang pesat dengan
keragaman genetik yang sangat bervariasi dan sebagian besar terpisah menjadi subtipe
murni dan beberapa bentuk gabungan atau rekombinan. Virus HIV memiliki beberapa
mekanisme intrinsik yang menyebabkan cepatnya evolusi virus. Enzim RT memiliki
kekurangan proofreading yang bertanggung jawab atas keakuratan kode RNA serta
angka mutasi 3,4 x 10-5 mutasi pasang basa disetiap siklus replikasi. Diperkirakan
panjang genom HIV adalah 104 bp, maka akan terjadi jutaan variasi yang dihasilkan
pada seseorang terinfeksi virus HIV setiap harinya (Taylor et all, 2008)
19
Kelompok M adalah kelompok virus HIVyang bersirkulasi paling luas.
Kelompok ini dibagi menjadi subtipe yang ditandai dengan huruf serta sub-subtipe yang
ditandai dengan angka. Saat ini dikenal subtipe dan sub-subtipe A1, A2, A3, A4, B, C,
D, F1, F2, G, H, J dan K. Untuk memudahkan pembagian kelompok subtipe maka HIV
secara umum akan dikelompokkan menjadi kelompok subtipe B dan subtipe non B.
Yang termasuk dalam kelompok subtipe non B adalah seluruh subtipe atau bentuk
rekombinan selain subtipe B. Variasi genetik diantara satu jenis subtipe berkisar antara
15-20%, sedangkan variasi diantara subtipe sebesar 25-35% (Taylor et al, 2008).
Seiring dengan berkembangnya teknologi skuensing genom HIV, maka telah diketahui
adanya bentuk gabungan bersirkulasi (Circulating recombinant form = CRF) dan
bentuk gabungan unik (Unique recombinant form = URF). Satu jenis rekombinan
terbentuk bila 2 jenis subtipe menginfeksi seseorang dalam waktu bersamaan dan
rekombinan terbentuk disebarkan kepada penderita berikutnya. Progeni rekombinan
akan ditentukan sebagai bentuk CRF baru bila bentuk rekombinan tersebut ditemukan
pada tiga atau lebih penderita yang tidak memiliki hubungan langsung secara
epidemiologis. Beberapa bentuk rekombinan yang telah ditentukan antara lain :
CRF01_AE dominan ditemukan di Asia Tenggara, CRF03_AB banyak ditemukan pada
negara bekas Uni Soviet, CRF14_BG ditemukan di Spanyol dan Portugal sedangkan
CRF terbaru adalah CRF35_AD di Afganistan dan Iran (Taylor et al, 2008; Kantor et
al, 2005)
Bila dilihat susunan RT dan protease diantara masing-masing subtipe, maka
akan terdapat perbedaan nukleotida sebesar 10-12% dan perbedaan asam amino sebesar
20
5-6% (Kantor et al, 2005). Perbedaan diantara subtipe ini dapat mempengaruhi variasi
mutasi yang terjadi karena tekanan obat secara selektif. Perbedaan susunan asam amino
diantara subtipe akan mempengaruhi ketahanan virus terhadap ARV. Beberapa mutasi
pada subtipe B akan mengkoding kekebalan terhadap ARV tetapi mutasi yang terjadi
pada asam amino sama pada subtipe non B dapat berfungsi sebagai variasi genetik atau
polimorfisme tanpa mengkoding kekebalan terhadap ARV. Polimorfisme ditentukan
bila mutasi yang terjadi lebih dari 1% pada skuensing dari virus penderita yang belum
diterapi. Polimorfisme spesifik subtipe adalah mutasi yang secara signifikan lebih
banyak ditemukan pada setiap subtipe non B daripada subtipe B pada penderita yang
tidak diterapi. Mutasi berhubungan dengan terapi yang subtipe spesifik terjadi bila
mutasi signifikan lebih banyak pada isolat HIV-1 dari penderita yang diterapi daripada
penderita yang tidak diterapi yang terinfeksi oleh subtipe yang sama.
Kantor et al (2005) mengembangkan suatu model respon binomial
menggunakan subtipe dan riwayat pengobatan sebagai variabel untuk memprediksi
apakah suatu posisi asam amino merupakan posisi sesuai virus standard (wild-tipe) atau
merupakan mutasi. Model ini mengidentifikasi 3 jenis posisi, yaitu: 1) posisi pada
skuensing dari penderita tidak diterapi lebih sering mutasi pada subtipe non B daripada
subtipe B disebut dengan subtype-specific polymorphism. 2) posisi pada skuensing pada
subtipe sama lebih sering bermutasi pada penderita yang diobati daripada yang tidak,
disebut dengan subtype-specific treatment-related positions. 3) posisi dimana efek
pengobatan berbeda secara signifikan diantara subtipe B dan non B, disebut dengan
subtype-treatment interaction.
21
2.6 Gambaran klinis HIV/AIDS
Gejala klinis HIV/AIDS tergantung dari fase infeksi yang terjadi. Pada awal
infeksi, 2 atau 4 minggu setelah terinfeksi HIV, penderita akan mengalami gejala seperti
flu, antara lain : demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, pembesaran kelenjar getah
bening dan kemerahan pada kulit. Pada infeksi lanjut, gejala timbul setelah 8 atau 9
tahun terinfeksi. Gejala pada fase lanjut antara lain pembesaran kelenjar getah bening,
diare, penurunan berat badan, demam, batuk dan sesak napas. Fase terakhir dari infeksi
yang terjadi 10 tahun sejak terinfeksi, menunjukkan gambaran klinis yang berat yang
sering disebut dengan AIDS. Gejala AIDS antara lain: berkeringat malam, demam
tinggi selama beberapa minggu, batuk kering, sesak napas, diare kronis, adanya lesi
keputihan menetap pada lidah atau mulut, sakit kepala, gangguan penglihatan,
penurunan berat badan (Anonim, 2010)
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan revisi klasifikasi
derajat penyakit infeksi HIV pada tahun 1993. Klasifikasi dibuat berdasarkan gejala
klinik dan jumlah sel limfosit CD4. Berdasarkan gejala klinis, dibagi atas katagori A, B
dan C. Kategori A adalah asimtomatik, persisten generalized lymphadenopathia (PGL)
dan acut symptomatic primary infection. Kategori B adalah adanya gejala klinik yang
tidak termasuk kategori C, namun berkaitan dengan infeksi HIV atau akibat defisiensi
imun. Kategori C: merupakan penyakit petunjuk AIDS. Berdasarkan jumlah CD4,
terdapat kategori 1, 2 dan 3. Kategori 1 bila CD4 ≥ 500 /µl darah. Kategori 2 bila CD4
berjumlah 200 – 499 /µl darah sedangkan kategori 3 bila CD4 < 200 /µl darah.
Berdasarkan kombinasi kedua kategori tersebut, maka penderita infeksi HIV akan
22
masuk kedalam derajat 1 adalah A1, B1 dan A2; derajat 2 adalah B2,, A3 dan B3.
Sedangkan derajat 3 adalah C1, C2 dan C3 (Anonim, 1992)
2.7 Terapi AIDS
Menghilangkan infeksi HIV tidak dapat dicapai dengan menggunakan ARV
yang tersedia saat ini. Hal ini terjadi karena virus telah berada di dalam CD4 sel T sejak
fase awal infeksi akut dan dapat menetap dalam jangka panjang. Menurut Panel on
ARV Guideline (2009), tujuan pemberian terapi ARV pada penderita infeksi HIV/ AIDS
adalah: menekan sebanyak dan selama mungkin viral load HIV dalam plasma;
menurunkan kematian yang berhubungan dengan HIV dan memperpanjang harapan
hidup penderita; meningkatkan kualitas hidup penderita; meningkatkan fungsi
imunologis penderita dan mencegah penyebaran HIV (Anonim, 2009e)
Program penggunaan ARV pada penderita AIDS memberikan manfaat yang
besar, antara lain: menyebabkan harapan hidup penderita AIDS meningkat dari 4 bulan
sejak terdeteksi menjadi 50 bulan (Kilsztajn, 2007). Kombinasi ARV dengan
kotrimoksasol berhasil menurunkan kematian di Uganda (Mermin, 2008) dan di Zambia
(Walker, 2007). Di Botswana, penderita yang mendapat ARV hidup 5 tahun lebih lama
daripada yang tidak mendapat ARV (Bussmann, 2008).
Antiretroviral terdiri dari 5 golongan obat berbeda yang digunakan secara
kombinasi. Metode pengobatan kombinasi ini disebut dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Secara umum HAART terdiri dari 3 jenis golongan
ARV. Kombinasi yang biasa digunakan adalah dua jenis obat golongan nucleoside
23
analogues atau nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NRTI) dengan satu golongan
protease inhibitor (PI) atau golongan non nucleoside reverse-transcriptase inhibitor
(NNRTI). Penggunaan secara kombinasi bertujuan untuk mencegah timbulnya virus
resisten, tetapi beberapa kombinasi memberi efek antagonis dan tidak ada bukti
kombinasi yang bersinergis baik secara in vitro (Clavel dan Hance, 2004).
Gambar 2.5 : Golongan ARV dan cara kerja masing-masing obat (dikutip dari
Kozal,2009)
Nucleotide akan berikatan pada bagian kantong katalitik kompleks RT. Didalam
stuktur RT terdapat struktur khusus tempat terjadinya katalitik kompleks enzim dengan
ikatan dTTP dan ikatan kovalen, dsDNA, yang disebut dengan celah aktif atau kantong
(pocket). Basa guanosine termodifikasi mengandung grup sulfhydryl akan bergabung
kedalam untaian template, menyebabkan ikatan pada cysteine diposisi 258 pada domain
ibu jari. Komplek RT dengan ikatan kovalen dsDNA memiliki suatu dideoxyguanylate
terminating untai primer. Basa berikutnya yang tersedia didalam template adalah
24
adenine. Menyebabkan site dNTP akan diisi oleh dTTP, tetapi tanpa reaksi selanjutnya.
Pada tempat ini terjadi pendekatan domain ibu jari dan jari-jari, mengakibatkan bagian
tengah celah semakin mengkerut dan protein terdekat kontak dengan site dNTP.
Template berada pada posisi tergantung diluar bagian tengah celah. dTTP terdapat pada
akhir primer dengan basa thymin yang tersangkut, sedangkan bagian untaian dari Lys65
dan Arg72 akan bereaksi dengan bagian permukaan luar. Penutupan domain jari-jari
menyebabkan bagian cincin bereaksi dengan grup trifosfat dTTP. Interaksi tambahan
dapat terjadi melalui residu cincin utama grup –NH, 113 dan 114, dan melalui dua ion
magnesium, satu akan berikatan dengan dua dari katalitik kunci aspartat, 110 dan 185.
3’hidroxyl dari dTTP akan menonjol kedalam suatu kantong yang mengandung bagian
cincin dari Asp113, Tyr115, Phe116 dan Gln151. Kantong ini memberi ruang untuk
grup 3’-azido dari zidovudine (Stammers dan Ren, 2006).
25
Gambar 2.6 : Struktur kristal katalitik kompleks RT (dikutip dari Stammers dan Ren,
2006)
Nucleotide dan nucleoside analogues menghentikan sintesa DNA virus pada
proses transkripsi balik. Setelah difosforilasi oleh enzim kinase seluler, komponen ini
akan berikatan dengan cincin nascent DNA virus melalui proses transkripsi balik.
Karena obat ini tidak memiliki group hidroksi 3’ maka tidak ada nukleotida yang dapat
ditambahkan pada obat ini sehingga proses berhenti (Clavel dan Hance, 2004).
Zidovudin trifosfat bekerja sebagai suatu penghambat kompetitif dari substrat
thymidine trifosfat (dTTP). Obat ini dapat bergabung sendiri kedalam untai primer dan
berfungsi sebagai cincin penghenti karena grup azido tidak memiliki posisi 3’ ribose
(Stammers dan Ren, 2006)
Yang termasuk dalam kelompok nucleoside analogues lainnya adalah:
lamivudine (Epivir), didanosine (Videx), Stavudine (Zerit) dan abacavir (Ziagen)dan
26
emtricitabine (Emtriva). Sedangkan yang termasuk dalam nucleotide analogues hanya
tenofovir (Viread) (Anonim, 2010)
Tempat ikatan NNRTI berada diantara dua three-stranded β-sheets dan sebagian
besar berada pada subunit p66 kecuali bagian cincin Glu138 terbentuk dari subunit p51.
Tempat ini berupa kantong besar pada molekul RT. Permukaan dalam kantong secara
natural bersifat hidrofobik. Ikatan dengan NNRTI melibatkan residu asam amino
Leu100, Try181 dan Tyr188. Bagian atas kantong dibentuk oleh Try181, Try188 dan
variant Trp229. Residu asam amino penting lainnya yang kontak dengan NNRTI antara
lain: Val106, Val179, Phe227 dan Try318. Residu polar yang juga merupakan bagian
dari kantong antara lain Lys101, Lys103 dan Glu138 (p51) (Stammers dan Ren, 2006).
Gambar 2.7 : Kantong ikatan NNRTI ((dikutip dari Stammers dan Ren, 2006)
27
Antiretroviral kelompok NNRTI merupakan molekul kecil yang memiliki
afinitas kuat terhadap kantong hidrofobik yang berlokasi pada domain katalitik reversetranscriptase. Inhibitor akan berefek terhadap kelenturan enzim yang akan menghambat
kemampuan enzim untuk mensintesa DNA (Clavel dan Hance, 2004) Terdapat 4
macam NNRTI yang sudah mendapat persetujuan untuk digunakan, yaitu: nevirapine
(Viramune), delavirdine (Rescriptor), efavirenz (Sustiva) dan etravirine (Intelence)
(Anonim, 2010)
Protease HIV memecah prekusor poliprotein besar pada tempat yang spesifik,
melepas protein struktural dan enzim yang dibutuhkan untuk menyusun partikel virus.
Bila protease tidak ada maka akan terbentuk partikel virus tetapi imatur dan tidak
infeksius (Clavel dan Hance, 2004). Yang termasuk dalam kelompok protease inhibitor
(PI) antara lain: saquinavir (Invirase), ritonavir (Norvir), indinavir (Crixivan), nelfinavir
(Viracept), amprenavir (Agenerase), lopinavir/ritonavir (Kaletra), natazanavir (Reyataz)
dan tipranavir (Aptivus). Danuravir (Prezista) cenderung diberikan pada penderita yang
tidak berespon terhadap pengobatan dengan golongan obat lain. Kelompok PI biasanya
diberikan secara kombinasi dengan obat lain untuk mencegah terjadinya resistensi
(Anonim, 2010)
Salah satu masalah yang sedang dihadapi dalam pengobatan AIDS adalah
timbulnya HIVDR. Di seluruh dunia, sebagian besar penduduk yang menerima
pengobatan HIV akan resisten minimal dengan satu jenis obat dan banyak yang tidak
berespon dengan kombinasi tiga jenis obat. Saat ini terdapat satu kelompok obat yang
dapat mengatasi masalah HIVDR yaitu kelompok fusion inhibitor. Enfurvirtide
28
(Fuzeon) merupakan satu-satunya obat yang termasuk dalam kelompok fusion inhibitor
yang bekerja dengan cara memhambat fusi virus dengan sel inang yang sehat sehingga
proses replikasi tidak terjadi. Fuzeon biasa digunakan dalam bentuk kombinasi dengan
golongan obat ARV lainnya (Anonim, 2010)
Integrase inhibitor dikembangkan juga untuk mengobati HIVDR. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah raltegravir (Isentress). Obat ini akan menghambat
kerja enzim integrase sehingga DNA virus tidak dapat menyatu dengan DNA sel inang.
Efek samping yang sering dilaporkan dalam penggunaan obat ini adalah diare, mual,
sakit kepala dan demam (Anonim, 2010)
2.8
HIV drug resistance (HIVDR)
Terdapat dua hal penting mendasari timbulnya HIVDR. Pertama, infeksi HIV
secara khas ditandai dengan siklus virus yang cepat serta produksi virus yang tinggi.
Pada penderita yang tidak diobati, total sel produktif yang terinfeksi HIV pada jaringan
limfoid berkisar antara 107 hingga 108 sel. Pada fase kronis infeksi HIV, jumlah ini
relatif stabil, yang menunjukkan keseimbangan antara sel yang baru terinfeksi dengan
sel yang mati. Disebabkan masa hidup sel terinfeksi cukup singkat maka untuk
mempertahankan keseimbangan ini diperlukan kecepatan tinggi dari virus untuk
membentuk virus baru. Kedua, populasi virus pada penderita HIV sangat heterogen.
Reaksi balik virus dari RNA menjadi DNA cenderung sering salah menyebabkan
kesalahan rata-rata satu mutasi pada setiap transkripsi gen virus. Sebagian besar
kesalahan adalah salah mengganti basa (base substitution) tetapi kadang-kadang juga
29
terjadi duplikasi, insersi dan rekombinasi. Tingginya kecepatan replikasi disertai dengan
tingginya angka mutasi pada setiap siklus infeksi menyebabkan penderita memiliki
suatu squasi species (Clavel dan Hance, 2004)
2.8.1
Mekanisme resisten
2.8.1.1 Resisten terhadap NRTI
Terdapat 2 mekanisme resisten yaitu ; kerusakan gabungan analog dengan DNA
atau menghilangkan analog dari cincin DNA yang dihentikan lebih awal (the
prematurely terminated DNA chain) (gambar 2.9a). Pada mekanisme resisten karena
kerusakan gabungan analog, dapat terjadi pada mutasi M184V, Q151M mutasi
kompleks dan mutasi K65R. Mutasi M184V merubah methionin menjadi valin pada
posisi 184. Mutasi ini menyebabkan resisten terhadap l
amivudine dengan sifat
resisten tinggi (Boucher, et al. 1993; Fumero dan Podzamczer, 2003). Mutasi Q151M
kompleks berhubungan dengan kegagalan terapi terhadap stavudine dan didanosin. Jalur
ini selalu didahului oleh substitusi Q151M, yang diikuti oleh akumulasi mutasi
sekunder bertahap yang akan memperkuat resistensi dan meningkatkan aktivitas enzim.
Kompleks Q151M relatif jarang pada HIV-1 (<5%) lebih sering terjadi pada tipe HIV2. Sedangkan mutasi K65R sering pada terapi dengan tenofovir dan abacavir (Fumero
dan Podzamczer, 2003). Pola mutasi yang ditemukan pada HIV-1 subtipe CRF01_AE,
terhadap kelompok NRTI antara lain: M41L, A62V, K70R, L74I, V75M, M184I/V,
T215Y dan K219E/Q (gambar 2.8) (Chan dan Kantor, 2009).
30
Gambar 2.8 : Pola mutasi berhubungan dengan resisten NRTI (dikutip dari Johnson,
2004)
31
Pada mekanisme resisten karena menghilangnya analog dari cincin DNA
terminal disebut dengan thymidine analog mutasi. Sering ditemukan setelah terapi
dengan thymin analog seperti zidovudine dan stavudine tetapi dapat juga merangsang
resisten terhadap semua golongan nucleoside dan nucleoside analogues. Resisten timbul
melalui fostering ATP atau penghilangan pyrophosphat-mediated nucleoside analog dari
ujung 3’ untai DNA terminal. Phyrophosphat dan ATP secara normal terdapat dalam
limfosit, tidak berperanan dalam reaksi DNA polimerasi tetapi mutasi yang terjadi
menyebabkan ATP dapat masuk kedalam menggantikan analog. Pada posisi ini ATP
atau pirofosfat dapat menyerang ikatan fosfodiesterase yang mengikat analog ke DNA
(gambar 2.9b). Proses ini dikenal dengan istilah ‘primer rescue (Clavel dan Hance,
2004)
32
Gambar 2.9. Skema mekanisme resistensi NRTI (dikutip dari Clavel dan Hance, 2004)
2.8.1.2 Resisten terhadap NNRTI
Mutasi yang timbul sebagian besar bersifat drug-dependent. Resisten terhadap
nevirapine berhubungan dengan mutasi Y181C, tetapi mutasi yang lain seperti Y188C,
G190A dan V106A juga dapat terjadi. Mutasi K103N sering berhubungan dengan
resistan terhadap efavirens. Terdapat 2 kelompok pola mutasi yang dominan yaitu:
kelompok K103N, V106M, Y188Y dan kelompok L100I, V106A, Y181C/I, G190S/A,
M230L (Clavel dan Hance, 2004; Hirsch, et al. 2008) (gambar 2.11). Pada subtipe
33
CRF01_AE, hanya 4 mutasi yang ditemukan terhadap NNRTI, yaitu: K103N, Y181C,
Y188L dan G190E (Chan dan Kantor, 2009)
Gambar 2.10. Skema mekanisme resisten terhadap NNRTI (dikutip dari Clavel dan
Hance, 2004)
34
Gambar 2.11 : Pola mutasi berhubungan dengan resisten NNRTI (dikutip dari Johnson,
2004)
2.8.1.3 Resisten terhadap PI
Resisten terhadap protease inhibitor merupakan akibat dari pergantian asam
amino yang terjadi didalam domain ikatan substrat enzim atau pada tempat distant.
Mutasi yang menyandi perubahan tempat aktif protease menghambat ikatan PI disebut
35
dengan major mutasi. Mutasi D30N akan menyebabkan resisten terhadap nelfinavir.
Mutasi V82A/F/T/S, I84V dan L90M menyebabkan mutasi terhadap sebagian besar
kelompok PI(Clavel dan Hance, 2004; Hirsch, et al. 2008). Pada subtipe CRF01_AE,
terdapat 4 mutasi yang ditemukan terhadap PI, yaitu: D30N, L33F, M46I, F53L, G73S,
N88D dan L90M (Chan dan Kantor, 2009)
2.8.2 Jenis HIVDR
Terdapat 2 jenis HIVDR yaitu primary/transmitted yaitu HIVDR resisten
terhadap satu atau lebih ARV yang ditemukan pada penderita yang belum pernah
mendapat ARV (naïve patient). Pada umumnya transmitted HIVDR didapat pada
penyebaran
langsung
dari
penderita
HIV
yang
telah
diobati.
Sedangkan
acquired/secondary yaitu HIVDR yang timbul saat penderita mendapat terapi ARV
(Vella dan Palmisano, 2005; Shafer, et al. 2007).
Terapi ARV akan dimulai berdasarkan penurunan jumlah CD4+ sel T. Pada
umumnya penurunan jumlah CD4+ hingga level membutuhkan terapi terjadi dalam
waktu 10-12 tahun sejak terinfeksi. Pada negara maju, terapi ARV telah dimulai sejak
tahun 1996 tetapi pada negara berkembang seperti Indonesia, ARV baru tersedia pada
tahun 2004. Oleh karena itu, para ahli menyimpulkan bahwa HIVDR yang terjadi pada
negara berkembang pada umumnya disebabkan karena aquired HIVDR bukan karena
transmitted HIVDR, sehingga angka prevalen transmitted HIVDR pada negara
berkembang lebih rendah daripada di negara maju (Bennett, et al. 2008).
36
2.8.3
Epidemi HIVDR
Prevalensi HIVDR bervariasi tergantung dari populasi penelitian. Huang (2008)
melaporkan hasil penelitian di 10 kota besar di Amerika Serikat pada penderita na ïve
HIV yang dilakukan pada bulan Agustus 2005 hingga Januari 2007. Didapatkan
prevalensi resistan ARV dari 228 penderita yang diperiksa adalah 12,1% (9,8% resisten
terhadap NNRTI, 4,5% resisten terhadap NRTI dan 1,8% resisten terhadap PI). Diantara
228 penderita, 8,9%, 2,2% dan 1,0% galur HIV yang ditemukan resistan terhadap satu,
dua dan tiga kelas ARV (Huang et al, 2008). Pada tahun 1997 hingga 2001, Weinstock
(2004) terlebih dahulu melakukan penelitian pada 10 kota besar di AS. Dari 1311
penderita naïve HIV yang memenuhi kriteria inklusi hanya 1082 pasien yang berhasil
dilakukan pemeriksaan genotyping dan didapatkan 8,3% dari subyek penelitian telah
resisten terhadap RT dan PI. Sedangkan di Israel, didapatkan 14,8% penderita yang
baru terdiagnosa terinfeksi HIV telah resisten terhadap ARV (Grossman, et al. 2004).
Penelitian penderita naïve HIV di penjara di Massachusetts mendapatkan 16% penderita
mengandung virus HIV yang telah resisten terhadap ARV (Stone et al. 2002).
Prevalensi dari Transmitted Drug Resistance (TDR) HIV-1 bervariasi
tergantung dari lokasi penelitian, kelompok resiko tinggi yang diteliti dan waktu
pengambilan spesimen setelah terinfeksi virus HIV-1. Di New York, dilaporkan
peningkatan TDR secara tajam dari 13,2% pada periode waktu 1995-1998 menjadi
24,1% pada periode waktu 2003-2004. Kelompok peneliti di Inggris juga melaporkan
tingginya TDR pada tahun 2003 yaitu: 19,2% terhadap semua obat, 12,4% terhadap
NRTI, 8,1% terhadap NNRTI dan 6,6% terhadap PI (Hirsh, et al. 2008). Prevalensi
37
TDR pada HIV subtipe non B sulit untuk ditentukan karena kurangnya standar definisi
dan klasifikasi resisten ARV pada kelompok tersebut. Prevalensi TDR HIV subtipe non
B bervariasi di Asia. Penelitian di China mendapatkan angka resisten yang rendah, <
6%. Hasil ini hampir sama dengan yang dilaporkan dari Malaysia, Singapura, Kamboja,
Vietnam. Sedangkan di Thailand, hasil resistensi TDR bervariasi dari 0 hingga 24%.
Walaupun di Taiwan subtipe B yang dominan, tetapi angka resisten ARV cukup rendah
yaitu 8%. Di India, virus HIV-1 yang dominan adalah subtipe C, dilaporkan angka
resisten ARV kurang dari 5%. (Chan and Kantor, 2009)
Pada penderita yang sedang dalam pengobatan dengan ARV atau mengalami
gagal terapi dengan ARV, maka angka resisten virus terhadap ARV lebih tinggi
daripada angka yang ditemukan pada penderita naïve HIV. Penelitian resisten ARV
diantara penderita HIV-1 di Soweto Afrika Selatan yang sedang dalam pengobatan
ARV didapatkan 78% penderita viremia sedikitnya telah resisten terhadap satu jenis
ARV dan 52% resisten terhadap NNRTI dan NRTI. Dari 94 penderita yang mengalami
viremia pada pengobatan first-line, ditemukan 64%, 81% dan 2% telah resisten terhadap
NRTI, NNRTI dan PI secara berturutan (El-Khatib et al. 2010). Hasil penelitian yang
menarik dilaporkan oleh Eyer-Silva dan Morgado. Peneliti ini melakukan tes
genotyping pada populasi penderita HIV yang pernah atau sedang menggunakan terapi
ARV (treatment-experienced patient) pada kota kecil di Brazil. Dari 27 pasien yang
diperiksa, tidak ada penderita yang menunjukkan resisten terhadap ARV. Tetapi 33%
(9/27) dari pasien telah menunjukkan penurunan kepekaan terhadap ARV, 6 orang
menunjukkan penurunan kepekaan terhadap RT dan 3 orang menunjukkan penurunan
38
kepekaan terhadap RT dan PI (Eyer-Silva dan Morgado, 2005). Di Amerika Serikat,
>60% dari penderita HIV yang mendapat terapi ARV dalam kurun waktu tahun 19961998 memiliki viral load >500 kopi/ml. Dari kelompok tersebut 76% telah resisten
terhadap sedikitnya 1 jenis ARV (Richman, et al. 2004)
Resisten terhadap ARV juga ditemukan pada anak-anak yang menderita HIV. Di
Tanzania, lebih dari 50% anak-anak yang menerima pengobatan ARV dalam jangka
waktu panjang menunjukkan adanya resistensi terhadap ARV yang digunakan
(Bratholm, et al. 2010). Almeida (2009) di dalam Jornal de Pediatria menulis bahwa
diantara 23 anak-anak yang mendapat terapi ARV di Sao Paulo Brazil, telah resisten
terhadap NRTI, NNRTI dan PI masing-masing 96%, 61% dan 17% berturut-turut.
Tetapi dari 24 orang anak naïve HIV, tidak ada yang resisten terhadap ARV (Almeida,
2009). Delaugerre (2007) menganalisa sekuens RT dan protease dari 119 anak-anak
yang mendapat terapi ARV di Paris antara tahun 2001-2003. Didapatkan bahwa 82%,
32% dan 27% virus telah resisten terhadap satu, dua dan tiga jenis ARV secara berturutturut (Delaugerre et al, 2007). Sedangkan Machado (2005) mendapatkan dari 37 anak
yang mendapat terapi di Sao Paulo Hospital, 84%, 35% dan 14% telah resisten terhadap
satu, dua dan tiga jenis ARV (Machado et al, 2005).
2.8.4
Pemeriksaan HIVDR
Pengawasan keberadaan dan perkembangan transmitted HIVDR yang sering
disebut dengan transmitted drug resistance (TDR), sangat penting dilakukan. Hal ini
terutama penting bagi daerah yang memiliki persediaan obat lini kedua terbatas dan
39
pemilihan obat lini pertama merupakan hal penting dalam pengobatan. Kelompok kerja
HIV pada WHO menyarankan untuk melakukan uji resistensi pada awal terapi pada
negara-negara yang telah berkembang. Sedangkan pada negara-negara sedang
berkembang, uji resistensi dilakukan sebagai bagian pendekatan komprehensif pada
pengobatan HIV (Anonim, 2007)
Faktor-faktor yang mempengaruhi deteksi TDR, antara lain: durasi infeksi dan
sensitivitas metoda yang digunakan untuk mendeteksi. HIV secara alami memiliki
tingkat replikasi dan mutasi yang tinggi. Oleh karena itu, mutasi pada TDR dapat
menghilang seiring dengan lamanya proses infeksi terjadi. Saat ini, uji resistensi secara
umum hanya mampu mendeteksi 15-30% mutasi yang terjadi pada populasi quasi
spesies. Kesulitan deteksi TDR semakin meningkat karena HIV memiliki keragaman
berdasarkan type (HIV-1 atau HIV-2), group (group M, O atau N), subtype dan
recombinant forms. Group M dilaporkan sebagai penyebab terbanyak infeksi HIV di
dunia yang terdiri dari beberapa macam subtype seperti A,B,C,D,F,G,H atau J dan
bentuk recombinant forms lainnya. Subtipe non B diperkirakan 90% sebagai penyebab
infeksi HIV, tetapi sebagian besar infeksi HIV subtipe non B terjadi pada negara-negara
yang memiliki infrastuktur dan keuangan yang terbatas. Sedangkan infeksi HIV subtipe
B lebih sering terjadi pada negara-negara maju. Beberapa mutasi yang berhubungan
dengan resistensi obat yang terjadi pada subtipe B merupakan mutasi normal atau
variasi normal pada subtipe non B. Penelitian TDR lebih banyak dilaporkan dari
negara-negara maju yang pada umumnya memiliki subtipe B sehingga mutasi yang
dilaporkan belum tentu sebagai mutasi resistansi obat pada subtipe non B. Oleh karena
40
itu dibutuhkan metoda spesifik untuk membedakan mutasi resistensi obat dengan mutasi
variasi normal pada subtipe yang berbeda (Chan dan Kantor, 2009).
Saat ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan HIVDR secara rutin terhadap
seluruh penderita infeksi HIV yang baru terdiagnosis, karena transmitted HIVDR akan
menetap dalam periode waktu yang tidak dapat ditentukan sejak terinfeksi (Hirsch, et
al. 2003; Litte, et al. 2008) dan berkembang berlebihan bila terapi dihentikan (Barbour,
et al. 2004). Sedangkan aquired HIVDR akan menghilang secara bertahap dari sirkulasi
virus dalam beberapa bulan bahkan tahun bila penderita tidak mendapat ARV (Vella
dan Palmisano, 2005) tetapi pendapat lain menyatakan bahwa aquired HIVDR akan
tetap ada sebagai kelompok kecil dalam sirkulasi virus yang mungkin tidak terdeteksi
menggunakan pemeriksaan yang tersedia (Barbour, et al. 2004). Sax (2008) melaporkan
bahwa pasien yang menunjukan kegagalan secara virologi terhadap terapi yang
mengandung golongan obat NNRTI karena adanya mutasi yang kemudian terapi
pengganti mengalami keterlambatan perubahan jenis obat akan meningkatkan resiko
kematian dan kegagalan imunologis. Tetapi hal ini tidak terjadi pada kegagalan terapi
menggunakan golongan PI (Sax, 2008). Sehingga untuk mendeteksi mutasi yang terjadi,
tes resistensi sangat diperlukan.
Pada negara berkembang, kegagalan terapi pada penderita HIV didasari oleh
pengamatan secara klinis dan pemeriksaan immunologi saja (Anonim. 2007).
Pemeriksaan viral load dan tes resistensi yang dapat mendeteksi kegagalan terapi lebih
awal sulit dilakukan karena biaya pemeriksaan yang tinggi dan tidak semua negara
memiliki fasilitas pemeriksaan tersebut. Untuk fasilitas penunjang pemeriksaan
41
resistensi menggunakan tes genotipik dibutuhkan biaya minimal Rp 9.000.000.000,- per
lab (Shepherd, et al, 2008). Keadaan ini menyebabkan kesulitan mendeteksi kegagalan
terapi terutama karena infeksi oleh HIVDR sehingga akan lebih banyak penderita yang
terinfeksi HIVDR multi drug (Kozal, 2009).
Terdapat 2 jenis pemeriksaan resistensi yaitu tes resisten fenotipik (phenotypic
resistance test) dan tes resisten genotipik (genotypic resistance test). Tes yang sering
digunakan dan lebih murah (berkisar Rp 2.700.000,- hingga Rp 4.500.000,- per tes)
adalah tes genotipik. Tes genotipik dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen RT dan
protease menggunakan teknik RT-PCR dari RNA virus yang bersirkulasi dan
dilanjutkan dengan sekuensing produk DNA. Mutasi dilaporkan sebagai perubahan
residu asam amino pada kodon spesifik dan diinterpretasikan berdasarkan alogaritma
komputer menggunakan data sebelumnya yang sebagian besar data diambil dari virus
subtipe B (Shepherd, et al, 2008). Tes genotipik memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan tes fenotipik, antara lain: adanya standardisasi pemeriksaan tes
genotipik, lebih sensitif untuk mendeteksi resisten obat pada penderita yang belum
pernah mendapat terapi ARV dan hasil tes dapat digunakan sebagai data epidemiologi
molekuler (Shafer, et al. 2008). Selain itu, tes genotipik lebih murah dan lebih cepat
daripada tes fenotipik. Tes genotipik memungkinkan untuk menentukan subtipe dari
virus HIV dan melihat apakah terjadi kontaminasi pada sampel pemeriksaan (Kuritzkes,
2007b). Kelemahan tes genotipik adalah hanya mampu mendeteksi virus bila viral load
virus lebih dari 500-1000 kopi/ml (Parkin, et al. 2000; Shepherd, et al, 2008) dan
interpretasi hasil tes genotipik sangat tergantung dari alogaritma yang dibuat
42
berdasarkan opini para ahli yang lambat diperbaharui. Kesulitan lain adalah sulit untuk
memperkirakan efek total interaksi mutasi bila hanya berdasarkan hasil genotipik saja
(Kuritzkes, 2007b)
Tes fenotipik dilakukan dengan mengamplifikasi gen RT dan protease yang
selanjutnya diklon kedalam suatu vektor pseudotyping HIV dan ditumbuhkan pada
jaringan kultur sel. Hasil lebih mudah diinterpretasikan untuk satu jenis obat tetapi akan
sulit bila akan menentukan kombinasi obat. Keuntungan tes fenotipik adalah dapat
menentukan dosis obat secara spesifik yang diperlukan untuk menghambat virus. Tes
fenotipik sangat baik digunakan untuk menentukan resistensi terhadap PI karena dapat
menunjukkan akumulasi mutasi yang terjadi (Kuritzkes, 2007b). Kelemahan tes
fenotipik adalah waktu tes yang lama dan mahal, tidak menunjukkan subtipe virus, sulit
mendeteksi kontaminasi pada spesimen dan nilai standard tes sulit ditentukan
(Kuritzkes, 2007b; Shepherd, et al, 2008).
Tes fenotipik virtual merupakan kombinasi dari tes genotipik dan fenotifik. Tes
ini menggunakan pendekatan tes genotipik yang disesuaikan dengan data dasar korelasi
genotifik dengan hasil tes fenotifik sebelumnya. Tes ini lebih murah dan lebih singkat
daripada tes fenotifik dan juga menyediakan nilai standard untuk beberapa jenis obat.
Kelemahan dari tes ini adalah versi terakhir belum tervalidasi dalam percobaan klinik
(Kuritzkes, 2007b).
Download