TERAPI DAN MANAJEMEN COPD E.N. Keliat Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/ RS H. Adam Malik Medan PENDAHULUAN Akhir- akhir ini chronic obstructive pulmonary disease ( COPD ) semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat. COPD merupakan penyakit yang progresif yang melibatkan saluran nafas atau parenkim paru yang mengakibatkan hambatan saluran nafas. Chronic Obstructive Pulmonary disease merupakan suatu kondisi yang sering ditemukan dengan tingkat kematian yang tinggi dan terus meningkat baik pada laki – laki maupun perempuan. Diperkirakan hampir 8 % dari seluruh populasi mengalami COPD mencakup hampir 10 % pada individu diatas 40 tahun. COPD meruapakan penyebab kematian keenam di seluruh dunia pada tahun 1990 dan diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020.uptodate stable Di amerika serikat COPD ditemukan pada lebih dari 5 % populasi dewasa, dan meruapakan penyebab kematian ketiga dan penyebab kecacatan ketiga. Total beban biaya untuk COPD di amerika serikat berkisar 49.9 milyar dolar pada tahun 2010 dan biaya keseluruhan untuk perawatan berkisar 29.5 miyar setiap tahunnya. ACP . Di Kanada pada tahun 2004 COPD meruapakan penyebab kematian ke empat baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada tahun 2004 terjadi 5152 pria dan 4455 wanita meninggal akibat COPD, yang meningkat secara signifkan sebesar 12 % dibandingkan tahun 1999. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep.Kes RI tahun 1992, PPOK berasma asma bronkial menduduki peringkat ke enam.PDUI Manifestasi dari COPD bervariasi mulai dari sesak nafas, kemampuan aktivitas yang terbatas, batuk kronik dengan atau tanpa dahak, dan wheezing hingga gagal nafas atau cor pulmonale. Eksaserbasi dari gejala dan disertai dengan penyakit penyerta berperan dalam tingkat keparahan COPD. Diagnosis COPD tegak ketika menunjukkan gejala obstruksi pada saluran nafas ( secara umum di defenisikan postbronkodilator rasio FEV1-FVC kurang dari 0,70 ).ACP Ketika COPD telah terdiagnosa diperlukan manajemen yang efektif berdasarkan assement secara individual untuk menurunkan gejala dan resiko kedepannya. Tujuan ini harus tercapai dengan efek samping yang minimal dari pengobatan. Suatu tantangan yang khusus pada pasien COPD mengingat sebagaian besar pasien COPD memiliki penyakit penyerta yang juga memerlukan identifikasi dan penangannya secara khusus. GOLD Makalah ini akan membahas tentang manajemen dan terapi pasien COPD yang tepat sehingga dapat mencegah progresifitas dari penyakit, menurukan frekuensi dan beratnya eksaserbasi, memperbaiki gejala sesak dan gejala respirasi lainnya, meningkatkan kemampuan aktivitas sehari – hari, dan menurunkan tingkat kematian. Terapi Penghentian Merokok Menggunakan Farmakoterapi Merokok meruapakan faktor resiko utama COPD yang menyebabkan hambatan saluran nafas dan penurunan dari fungsi paru. Berhenti merokok merupakan salah satu metode intervensi yang penting, efektif, cost-efektif, dalam menurunkan resiko terjadinya COPD. Penghentian merokok dapat dilakukan dengan mengabungkan terapi perilaku ( beharviour therapy ) dan pendekatan farmakologis.Japanese Dengan farmakoterapi dan terapi pengganti nikotin diyakini meningkatkan jumlah yang berhenti dalam jangka panjang. GOLD Produk Pengganti Nikotin Produk pengganti nikotin seperti permen karet nikotin, inhaler, nasal spray, transdermal patch, tablet sublingualm atau lozenge diketahui dapat membuat seseorang untuk tidak merokok untuk kerja panjang. Kontraindikasi terapi ini adalah : penyakit jantung koroner, ulkus peptikum yang tidak diobati, infark miokardium yang baru, atau stroke. Mengunyah permen karet nikotin terlalu lama menyebabkan sekresi yang terbentuk tertelan dan diabsorpsi melalui mukosa bukal sehingga menimbulkan rasa mual. Makanan yang bersifat asam akan menghambat penyerapan nikotin. Terapi Secara Farmakologi Varenicline, bupropion, dan nortriptyline telah terbukti meningkatkan angka henti merokok dalam kerja panjang. Namun obat-obatan ini digunakan sebagai terapi pendukung bukan sebagai terapi tunggal.GOLD Canadian Thorasic society merekomendasikan penggunaan terapi pengganti nikotin dan antidepresan seperti bupropion dapat menggandakan tingkat penghentian merokok dan direkomendasikan kecuali ada kontraindikasi ( level of evidence A ). Varenicline yang meruapakn suatu agonis parsial acetilkolin terbukti lebih efektif dari bupropion ataupun plasebo ( level of evidence A ).CTS2007 Pedoman penghentian merokok yang paling komprehensif disusun berdasarkan "Treating Tobacco Use and Dependence", yang merupakan sebuah pedoman berbasis bukti yang disponsori oleh Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat dan dirilis pada 2000.ATS,GOLD Treating Tobacco Use and Dependence: A Clinical Practice Guideline— Major Findings and Recommendations 1. Tobacco dependence is a chronic condition that warrants repeated treatment until longterm or permanent abstinence is achieved. 2. Effective treatments for tobacco dependence exist and all tobacco users should be offered these treatments. 3. Clinicians and health care delivery systems must institutionalize the consistent identification, documentation, and treatment of every tobacco user at every visit. 4. Brief smoking cessation counseling is effective and every tobacco user should be offered such advice at every contact with health care providers. 5. There is a strong dose-response relation between the intensity of tobacco dependence counseling and its effectiveness. 6. Three types of counseling have been found to be especially effective: practical counseling, social support as part of treatment, and social support arranged outside of treatment. 7. First-line pharmacotherapies for tobacco dependence—varenicline, bupropion SR, nicotine gum, nicotine inhaler, nicotine nasal spray, and nicotine patch— are effective and at least one of these medications should be prescribed in the absence of contraindications. 8. Tobacco dependence treatments are cost effective relative to other medical and disease prevention interventions. Suatu program dengan lima langkah untuk intervensi yang menyediakan kerangka strategis dalam membantu penyedia layanan kesehatan tertarik dalam membantu pasien untuk berhenti merokok dapat dilihat pada tabel GOLD,JAPANESE Brief Strategies to Help the Patient Willing to Quit 1. ASK: Systematically identify all tobacco users at every visit. Implement an office-wide system that ensures that, for EVERY patient at EVERY clinic visit, tobacco-use status is queried and documented. 2. ADVISE: Strongly urge all tobacco users to quit. In a clear, strong, and personalized manner, urge every tobacco user to quit. 3. ASSESS: Determine willingness to make a quit attempt. Ask every tobacco user if he or she is willing to make a quit attempt at this time (e.g., within the next 30 days). 4. ASSIST: Aid the patient in quitting. Help the patient with a quit plan; provide practical counseling; provide intra-treatment social support; help the patient obtain extra-treatment social support; recommend use of approved pharmacotherapy except in special circumstances; provide supplementary materials. 5. ARRANGE: Schedule follow-up contact. Schedule follow-up contact, either in person or via telephone. Terapi Farmakologi Untuk PPOK Stabil Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan status kesehatan dan toleransi dalam melakukan olah fisik. Berikut beberapa kelas obat yang biasanya digunakan untuk terapi PPOK MDI : metered dose inhaler; DPI : dry powder inhaler; SMI : soft mist inhaler Bronkodilator Bronkodilator merupakan obat yang bekerja untuk meningkatkan VEP 1 atau variable spirometri lainnya, biasanya dengan mengubah tonus otot polos saluran pernafasan. Perbaikan dari ekspirasi disebabkan oleh pelebaran dari saluran nafas, bukan oleh karena perubahan pada recoil elastic paru. Bronkodilator biasanya digunakan untuk mencegah ataupun mengurangi gejala. Yang termasuk dalam golongan bronkodilator adalah β2 agonis, antikolinergik, dan methylxanthines. β2 agonis Obat golongan ini bekerja membuat relaksasi dari otot polos saluran nafas dengan menstimulasi reseptor adrenergic beta2 yang akan meningkatkan cAMP dan menghasilkan efek antagonis dari bronkokonstriksi. Efek bronkodilator dari β2 agonis kerja pendek biasanya bertahan selama 4-6 jam. Penggunaan dari β2 agonis kerja pendek mmenghasilkan perbaikan dari VEP1 dan gejala. β2 agonis kerja panjang memiliki durasi efektif selama 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmetrol memperbaiki VEP1, dispnu, volume paru, dan kualitas hidup secara signifikan (Evidens A ), namun kedua obat ini tidak memiliki efek untuk mengurangi mortalitas dan mencegah penurunan fungsi paru. Indacaterol digunakan sekali sehari dan memiliki durasi aksi selama 24 jam, secara signifikan memperbaiki FEV1 , gejala sesak, dan kualitas hidup (Evidens A ).CTS,GOLD Suatu studi multisenter double blind selama 24 minggu pada subjek > 40 tahun dengan riwayat merokok dan FEV1 40-80 % dari prediksi normal. Setelah 4 minggu pengobatan dengan tiotropium bromide, subjek secara randomized mendapat Fluticasone/Salmoterol 250/50 2 kali sehari atau plasebo. Dilakukan penilaian terhadap fungsi paru, status kesehatan, dan eksaserbasi. Dari studi tersebut disimpulkan penambahan Fluticasone/salmoterol pada penderita COPD yang mendapat Tiotropium bromide meningkatkan fungsi paru tanpa peningkatan risiko efek samping. Respiratory Medicine (2012) 106, 91e101 Suatu post-hoc analisis dari data studi klinis yang dikumpulkan untuk menilai efikasi dan keamanan indacaterol dibandingkan dengan plasebo dan bronkodilator long-acting lain (formoterol, salmeterol, open-label tiotropium) dalam subkelompok pasien PPOK (GOLD stadium II atau III, n Z 4082) dan menggunakan ICS pada awal (tidak / ya, n Z 4088). Hasil efikasi yang dinilai (24 jam pasca-dosis) FEV1, dyspnoea (transisi indeks dyspnoea, TDI) dan status kesehatan (St George Respiratory Questionnaire, SGRQ) setelah 26 minggu. Dari studi ini menunjukkan indacaterol 150 mg memiliki efikasi yang baik pada GOLD II serta kelompok yang tidak menggunakan kortikosteroid. Pada kelompok pasien GOLD III dan kelompok yang menggunakan kortikosteroid indacaterol 300 mg memiliki efikasi yang baik mencakup efek terhadap dispnu dibandingkan dengan plasebo. Respiratory Medicine (2012) xx, 1e10 Efek samping : stimulasi dari reseptor adrenergic beta2 menyebabkan sinus takikardia saat istirahat dan dapat menyebabkan gangguan irama jantung pada pasien yang rentan. Pada pasien usia tua penggunaan β2 agonis dosis tinggi dapat menyebabkan tremor yang sangat mengganggu bagi pasien. Hipokalemia dapat terjadi jika β2 agonis dikombinasikan dengan diuretic thiazide. Penurunan ringan dari PaO2 dapat terjadi setelah pemberian β2 agonis kerja pendek ataupun panjang, namun tidak menimbulkan gejala yang signifikan CTS,GOLD. Antikolinergik Antikolinergik seperti ipratropium, oxitropium, dan tiotropium memiliki efek memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Obat dengan kerja kerja pendek bekerja dengan menghambat reseptor M2 dan M3 serta memodifikasi transmisi pada sambungan pre ganglionik. Obat kerja panjang seperti tiotropium memiliki selektifitas terhadap reseptor M1 dan M3. Efek dari antikolinergik jangka pandek bertahan lebih lama daripada β2 agonis kerja pendek, dengan efek bronkodilator yang masih tampak jelas hingga 8 jam atau lebih. Tiotropium memiliki durasi aksi lebih dari 24 jam. Tiotropium dapat mengurangi kejadian eksaserbasi dan kejadian rawat inap serta gejala dan status kesehatan ( Evidence A ) Tiotropium lebih baik daripada salmeterol dalam mengurangi eksaserbasi walaupun perbedaannya hanya sedikit. GOLD Pada suatu penelitian pada 7376 pasien dengan COPD sedang-berat diberikan tiotropium atau salmoterol dengan atau tanpa glukokortikoid inhalasi. Disimpulkan tiotropium memperlambat timbulnya eksaserbasi dan menurunkan resiko eksaserbasi sebanyak 17 %.uptodate Efek samping : Obat antikolinergik sangat sulit diabsorbsi sehingga mengurangi masalah efek sistemik yang muncul seperti pada penggunaan atropine. Penggunaan obat ini secara inhalasi dengan rentang dosis yang bervariasi telah terbukti aman. Efek samping yang paling sering adalah mulut kering. Penggunaan tiotropium inhalasi 18 mcg/hari selama 21 hari tidak menyebabkan perburukan pembersihan mucus dari paru. Pada beberapa pasien yang menggunakan ipratropium mengeluhkan rasa pahit, rasa metalik. Terdapat beberapa laporan mengenai sedikit efek terhadap peningkatan resiko kardiovaskular pada pasien COPD yang mengunakan ipratropium bromide secara reguler namun masih memerlukan penjajakan lebih lanjut.. Penggunaan larutan obat antikolinergik melalui face mask dilaporkan menyebabkan glaucoma, mungkin oleh karena efek langsung obat terhadap mata.CTS,GOLD, Methylxanthine Obat golongan ini bekerja sebagai inhibitor fosfodiesterase nonselektif, namun juga dilaporkan memiliki fungsi non bronkodilator. Teofilin merupakan obat golongan methylxanthine yang paling sering digunakan, obat ini dimetabolisme oleh sitokrom P450, ekskresi obat ini semakin berkurang seiring pertambahan usia. Perubahan pada fungsi otot inspirasi dilaporkan terjadi pada pasien yang diobati dengan teofilin. Teofilin kurang efektif dan kurang ditoleransi daripada bronkodilator inhalasi kerja panjang, serta tidak direkomendasikan penggunaan teofilin jika tersedia bronkodilator. Mengingat efek toksistasnya. Penggunaan teofilin janya terbatas sebagai terapi tambahan pada saat gejala tidak berkurang pada pasien dengan penyakit yang berat meskipun telah mendapat terapi lainnya.GOLD,JAPANESE,uptodate Namun, dari beberapa bukti methylxanthine memiliki efek bronkodilator dibandingkan placebo pada pasien dengan PPOK stabil.(Evidence A ). Kombinasi antara teofilin dan salmeterol lebih baik dalam memperbaiki VEP1 dan mengurangi sesak daripada penggunaan salmeterol sendiri.(Evidence B ) Teofilin dosis rendah mengurangi eksaserbasi, namun tidak meningkatkan fungsi paru pasca bronkodilator.(Evidence B ).GOLD Efek samping : Toksisitas tergantung pada dosis, kerugian dari methylxanthine adalah kecilnya rasio terapeutik dan kebanyakan efeknya baru tampak pada saat dosisnya mendekati dosis toksisitas. Methylxanthine merupakan inhibitor yang tidak spesifik dari semua substrat enzim fosfodiesterase sehingga menyebabkan banyak efek toksik. Masalah yang timbul seperti aritmia pada atrium dan ventrikel serta kejang grandma (tidak berhubungan dengan riwayat epilepsy sebelumnya). Efek samping lainnya seperti sakit kepala, insomnia, mual, dan rasa terbakar pada dada. Semua efek samping ini dapat timbul pada kadar terapeutik serum teofilin. Obat ini juga memiliki interaksi dengan obat-obatan yang sering digunakan seperti digitalis, Coumadin, dan sebagainya. Tidak seperti kelas bronkodilator, derivate xanthine memiliki risiko untuk overdosis (baik disengaja maupun tidak disengaja).GOLD TERAPI KOMBINASI BRONKODILATOR Menggabungkan antara bronkodilator dengan mekanisme dan durasi aksi yang beda terbukti dapat meningkatkan bronkodilatasi dengan efek samping yang setara atau kurang. Kombinasi antara β2 agonis kerja pendek dengan antikolinergik membuat perbaikan VEP1 dan lebih tahan lama daripada penggunaan obat secara tunggal, serta tidak menimbulkan takifilaksis selama 90 hari penggunaan. Kombinasi antara β2 agonis, antikolinergik, dan methylxanthine membuat perbaikan fungsi paru dan status kesehatan. Kombinasi jangka pendek menggunakan formoterol dan tiotropium memiliki dampak yang besar terhadap VEP1 daripada penggunaan tunggal( Evidence B ), sama halnya dengan penggunaan β2 agonis kerja pendek dengan antikolinergik juga lebih baik dibandingkan penggunaan tunggal dalam perbaikan VEP1 dan gejala ( Evidence B ). GOLD,Japanese,cts KORTIKOSTEROID Pada penggunaan kortikosteroid inhalasi, hubungan antara dosis-respon serta keamanannya pada penggunaan kerja panjang belum diketahui secara jelas. Efek dari kortikosteroid pada paru dan sistemik pada pasien PPOK masih kontrovesi, dan penggunaannya untuk PPOK stabil masih terbatas oleh indikasi yang spesifik. Terapi regular menggunakan kortikosteroid inhalasi memperbaiki gejala, fungsi paru, dan kualitas hidup, serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK dengan VEP1 prediksi <60%.(Evidence A ).GOLD,uptodate Penghentian terapi kortikosteroid inhalasi dapat menyebabkan eksaserbasi pada beberapa pasien. Terapi kortikosteroid inhalasi secara regular tidak mengubah penurunan VEP1 dalam jangka panjang maupun tingkat mortalitas pasien PPOK.(Evidence A )GOLD Efek Samping Inhalasi Kortikosteroid : Penggunaan kortikosteroid inhalasi berhubungan dengan peningkatan prevalensi kandidiasis oral, suara serak, dan lebam pada kulit. Pengobatan dengan kortikosteroid inhalasi berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia. Sedangkan pengobatan kerja panjang menggunakan triamcinolone acetonide berhubungan dengan berkurangnya densitas tulang, sedangkan penelitian lainnya tidak menemukan hubungan penggunaan budesonide dengan pengurangan densitas tulang dan kejadian fraktur. Terapi menggunakan fluticasone 500 mcg dua kali sehari digabung dengan salmeterol tidak berhubungan dengan pengurangan densitas mineral tulang pada pasienpasien PPOK yang mengalami osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid oral memiliki banyak efek samping, yang paling penting adalah miopati terkait penggunaan kortikosteroid kerja panjang pada pasien PPOK sehingga menyebabkan kelemahan otot, menurunkan fungsi otot, dan gagal nafas pada pasien dengan PPOK yang parah. Kortikosteroid inhalasi yang dikombinasikan dengan β2 agonis kerja panjang lebih efektif untuk memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan serta mengurangi eksaserbasi pada PPOK sedang sampai berat.(Evidence A ).GOLD,uptodate . Pada TORCH trial salmoterol dengan fluticasone secara signifikan meningkatkan fungsi paru, status kesehatan, dan jumlah eksasaerbasi dibandingkan dengan placebo, salmoterol atau fluticasone tunggal. uptodate Terapi kombinasi berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia, namun tidak terdapat efek samping lainnya yang signifikan. Kombinasi antara β2 agonis kerja panjang / kortikosteroid inhalasi dengan tiotropium memperbaiki fungsi paru dan meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi eksaserbasi.(Evidence B ) GOLD,CTS INHIBITOR FOSFODIESTERASE-4 Kerja dari inhibitor fosfodiesterase-4 adalah mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan dari cAMP intraselular dan merelaksasikan otot saluran nafas.GOLD,uptodate . Obat golongan ini digunakan satu kali sehari secara oral dan tidak memiliki fungsi sevagai bronkodilator secara langsung walaupun telah terbukti dapat memperbaiki VEP1 pada pasien yang juga mendapat salmeterol atau tiotropium. Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang hingga berat yang diobati dengan kortikosteroid 15-20% pada pasien bronchitis kronis, PPOK berat hingga sangat berat, dan memiliki riwayat eksaserbasi. Efeknya pada fungsi paru terlihat saat roflumilast digabungkan dengan bronkodilator kerja panjang. GOLD Suatu metaanalisis dari 23 randomized trial dari Roflumilast atau cilomilast dibandingkan dengan placebo menunjukkan perbaikan dari VEP1 dan penurunan eksaserbasi tetapi hanya sedikit efek terhadapt kualitas hidup. uptodate Efek Samping : Fosfodiesterase-4 inhibitor memiliki efek samping yang lebih banyak daripada obat inhalasi lainnya. Efek samping yang paling sering adalah mual, berkurang selera makan, nyeri perut, diare, gangguan tidur, dan sakit kepala. Efek samping muncul saat awal mulai terapi dan bersifat reversible serta makin menghilang seiring dilanjutkannya terapi. Dianjurkan untuk memantau berat badan selama menggunakan roflumilast pada pasien dengan berat badan rendah. Roflumilast juga harus hati-hati digunakan pada pasien depresi. Roflumilast dan teofillin tidak boleh digunakan secara bersamaan. Beberapa obat farmakologi lainnya Vaksin. Vaksinasi influenza dapat menurunkan infeksi yang berat seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian pada pasien COPD.(Evidence A ) GOlD Vaksin Pneumokokus direkomendasikan pada pasien yang berumur diatas 65 tahun atau dibawah 65 tahun dengan VEP1 < 40 % atau dengan penyakit komorbid seperti penyakit jantung.GOLD,uptodate Suatu trial pada 125 pasien dengan COPD, vaksinasi menurunkan insiden influenza hingga 76 % tanpa melihat beratnya COPD.uptodate Antibiotik. Pengunaan antibiotic jangka panjang tidak dinajurkan pada pasien dengan PPOK stabil. Suatu trial akhir-akhir ini dengan menggunakan azitromicin menunjukkan efikasi terhadap kejadian eksaserbasi namun hal ini direkomendasikan karena ketidakseimbangan dari keuntungan dan efek samping dari terapi. Oleh karena itu penggunaan antibiotic selain untuk pengobatan infeksi yang mencetuskan eksaserbasi dan infeksi bakteri lain tidak dianjurkan.GOLD,uptodate Mukolitik ( Mukokinetik, mukoregulator ) dan agen antioksidan (ambroxol, erdostein,carbocysteine ). Penggunaan mukolitik pada pasien COPD menunjukkan hasil yang bervariasi. Walaupun beberapa pasien dengan sputum yang kental menunjukkan efek yang menguntungkan dengan mukoliti, namun secara keseluruhan keuntungannya hanya sedikit sehingga penggunaannya secara luas tidak dapat direkomendasikan.(Evidence D ) Obat-obat seperti N-acetylsistein dan carbocystein menunjukkan peran dalam pengobatan COPD eksaserbasi dan dapat mengurangi eksaserbasi pada pasien COPD yang tidak mendapat kortikosteroid inhalasi ( Evidence B ). GOLD TERAPI LAINNYA Terapi Oksigen Pemberian oksigen jangka panjang ( > 15 jam perhari ) pada pasien dengan gagal nafas kronik menunjukkan peningkatan kelangasungan hidup. ( Evidence B ). Terapi oksigen jangka panjang diindikasikan untuk pasien : PaO2 ≤ 7,3 kPa ( 55 mmHg ) atau SaO2 ≤ 88 % dengan atau tanpa hiperkapnia yang dikonfimasi 2 kali dalam periode 3 minggu ( Evidence B ) PaO2 diantara 7,3 kPa ( 55 mmHg ) dan 8.0 kPa ( 60 mmHg ) atau SaO2 88 % , disertai dengan hipertensi pulmonal, edema perifer yang menunjukkan gagal jantung, atau polisitemia ( Hematokrit > 55 % ) ( Evidence D ) Keputusan dalam pemberian terapi oksigen jangka panjang harus berdasarkan pada PaO2 atau saturasi pada saat istirahat lebih kurang 2 kali selama periode 3 minggu pada pasien yang stabil. (GOLD,uptodateLTOT) Beberapa trial telah mengevaluasi peran dari terapi oksigen jangka panjang terhadapa mortalitas pada pasien COPD. Suatu trial dari “ The Nocturnal Oxygen Therapy “ dengan 203 pasien dengan COPD yang mengalami hipoksemia di terapi dengan oksigen secara berkesinambungan ( garis merah ) atau oksigen hanya pada malam hari ( garis biru ). Hasil menunjukkan terapi dengan oksigen berkesinambungan menunjukkan survival yang lebih baik ( p = 0,01 ) ( Grafik) .uptodate LTOT Pada studi “ Medical Research council Trial dengan 87 pasien COPD dengan hipoksemia berat , hiperkapnia dan riwayat gagal jantung secara random di berikan terapi oksigen15 jam . hari ( garis biru putus-putus ) atau tanpa terapi oksigen ( garis merah ). Hasil menunjukkan survival yang lebih baik secara signifikan pada terapi oksigen .(grafik ) Pembedahan Operasi Pengurangan Volume Paru / Lung Volume Reduction Surgery (LVRS) Adalah prosedur pembedahan di mana bagian dari paru dibuang untuk mengurangi hiperinflasi sehingga membuat otot-otot pernafasan menjadi generator bertekanan efektif dengan meningkatkan efisiensi mekanik. Selain itu, LVRS meningkatkan tekanan rekoil elastisitas paru-paru dan dengan demikian meningkatkan laju aliran ekspirasi dan mengurangi eksaserbasi. Keuntungan operasi dibandingkan terapi medis lebih signifikan terutama pada pasien dengan emfisema lobus atas dan kapasitas latihan rendah sebelum perawatan. Berbeda dengan perawatan medis, LVRS telah menunjukkan perbaikan tingkat survival (54% vs 39,7%) pada pasien emfisema berat lobus atas dan kapasitas latihan rendah pasca-rehabilitasi (Bukti A). Namun demikian, LVRS menyebabkan kematian lebih tinggi pada pasien emfisema berat dengan prediksi FEV1 ≤ 20% dan baik emfisema homogen yang tampak pada CT scan resolusi tinggi atau DLCO prediksi ≤ 20%.GOLD Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR). Melalui analisis post-hoc, BLVR pada pasien PPOK dengan hambatan aliran udara berat (FEV1 prediksi 15-45%), gambaran emfisema heterogen pada CT scan, dan hiperinflasi (TLC> 100% dan RV> 150% prediksi) telah terbukti menghasilkan sedikit perbaikan fungsi paru-paru, toleransi latihan, dan gejala, namun dengan konsekuensi eksaserbasi PPOK lebih sering, pneumonia, dan hemoptisis setelah implantasi. GOLD Transplantasi Paru Pada pasien dengan PPOK yang sangat parah, transplantasi paru-paru telah menunjukkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional. Komplikasi yang umum terlihat pada pasien PPOK setelah transplantasi paru-paru, selain kematian pasca-operasi, adalah reaksi penolakan akut, bronkiolitis obliterans, infeksi oportunistik seperti CMV, infeksi jamur (Candida, Aspergillus, Cryptococcus, Pneumonia) atau bakteri (Pseudomonas, Spesies staphylococcus), dan penyakit lymphoproliferative. Transplantasi paru dibatasi oleh kekurangan organ donor dan biaya. Kriteria untuk dilakukan transplantasi paru-paru termasuk PPOK dengan Bode indeks melebihi 5. Kriteria untuk masuk dalam daftar tunggu termasuk Bode indeks 7-10 dan setidaknya salah satu dari berikut: sejarah eksaserbasi terkait dengan hiperkapnia akut [PaCO2> 6,7 kPa (50 mmHg)]; hipertensi pulmonal, cor pulmonale, atau keduanya meskipun telah dilakukan terapi oksigen, dan FEV1 prediksi <20% dengan baik DLCO <20% prediksi atau terdapat emfisema terdistribusi homogen (Bukti C). Bulektomi Bulektomi merupakan prosedur bedah yang lebih tua untuk emfisema bulosa. Pengangkatan bula besar yang tidak berkontribusi untuk pertukaran gas dapat mendekompresi parenkim paru yang berdekatan. Hipertensi pulmonal, hiperkapnia, dan emfisema berat bukanlah kontraindikasi mutlak untuk bulektomi. TATALAKSANA PPOK STABIL Dalam pengobatan COPD harus di assess secara individual untuk mengurangi gejala yang ada dan resiko kedepan.GOLD Adapun tujuan dalam terapi COPD untuk mencegah progresivitas dari penyaki, mengurangi frekuensi serta beratnya eksaserbasi, mengurangi gejala sesak nafas serta gejala saluran nafas lainna, meningkatkan kemampuan latian serta aktivitas sehari hari, mengobati eksaserbasi serta komplikasi dari penyakit, meningkatkan status kesehatan dan menurunkan kematian.CANADA ( Tabel ) GOALS for Treatment of Stable COPD Relieve symptoms Improve exercise tolerance REDUCE SYMPTOMS Improve health status And Prevent disease progression Prevent and treat exacerbations REDUCE RISK Reduce mortality Identifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko meruapkan hal yang penting dalam penatalaksanaan dan pencegahan COPD. Adapun faktor resiko tersebut mencakup a. Merokok Berhenti merokok merupakan kunci pencegahan untuk seluruh pasien COPD yang masih merokok ( Evidence A ). Seluruh petugas kesehatan penting untuk meyakinkan pasien untuk berhenti merokok. b. Paparan Lingkungan Walaupun belum ada studi yang menunjukkan pencegahan terhadap paparan lingkungan menurunkan kejadian COPD namun tampaknya masuk akal untuk menasehati pasien COPD untuk menghindari paparan yang menganggu. c. Polusi Udara di dalam dan di luar rumah Menurunkan paparan terhadapa asap dari bahan bakar penting untuk menurunkan prevalensi COPD khusunya bagi wanita dan anak-anak. Ventilasi yang efisien, peralatan masak yang baik dan pencegahan harus direkomendasikan ( Evidence B ) Berbeda dengan Rekomendasi dari GOLD sebelumnya yang hanya berdasarkan pada spirometri saja dalam pengobatan COPD. Sekarang ini penatalakasanaan COPD juga harus mempertimbangkan gejala pasien serta resiko eksaserbasi. ( TABEL) MODEL of Symptom / Risk of Evaluation Of COPD When assesing risk, choice the highest risk accoding to GOLD grade or exacerbations history 4 Risk (C) (D) ≥2 Risk 3 GOLD Classificatiom of Airflow Limitation 2 (A) (B) 1 1 Exacerbation History 0 mMRC 0-1 mMRC ≥ 2 CAT < 10 CAT ≥ 10 Symptoms (mMRC or CAT score ) Patient Characteristics Category Spirometric Exacerbations Classification per year mMRC CAT A Low Risk, Less symptoms GOLD 1-2 ≤1 0-1 < 10 B Low Risk, More symptoms GOLD 1-2 ≤1 ≥2 ≥ 10 C High Risk, Less symptoms GOLD 3-4 ≥2 0-1 < 10 D High Risk, More symptoms GOLD 3-4 ≥2 ≥2 ≥ 10 PENATALAKSANAAN NON FARMAKOLOGI Penatalaksanaan non farmakologi dari COPD berdasarkan penilaian terhadap gejala dan resiko eksaserbasi ( TABEL) Non- Pharmacology Management of COPD Patient Group Essential A Smoking Recommended cessation ( can include Physical activity pharmacologic treatment ) B-D Smoking cessation ( pharmacologic treatment ) Pulmonary Rehabilitation Depending on Local Guidelines Flu Vaccination Pneumococcal vaccination can include Physical activity Flu vaccination Pneumococcal vaccination a. Berhenti Merokok Berhenti merokok harus dipertimbangkan sebagai pencegahan terpenting untuk seluruh pasien COPD yang merokok. b. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik direkomendasikan untuk seluruh pasien dengan COPD. Sangat sedikit evidens yang mendukung rekomendasi aktivitas fisik selain studi rehabilitasi paru. c. Rehabilitasi Meskipun belum ada kriteria yang menentukan pasien mana yang memerlukan program rehabilitasi tampaknya seluruh pasien COPD menujukkan keuntungan dari rehabilitasi dan latian aktivitasi fisik yaitu meningkatkan toleransi latihan, dispnoe dan fatique yang berkurang ( Evidence A ). Terapi Farmakologis Terapi farmakologis pada PPOK digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, dan meningkatkan status kesehatan dan toleransi olahraga. Obat yang ada untuk PPOK belum menunjukkan perbaikan dalam penurunan fungsi paru jangka panjang, yang mana ini merupakan ciri khas dari PPOK. Terapi farmakologis dibagi berdasarkan grup pasien. Pasien Grup A Memiliki beberapa gejala dan risiko eksaserbasi yang rendah. Bukti yang spesifik mengenai efektivitas pengobatan farmakologis tidak tersedia untuk pasien dengan FEV1> 80% prediksi (GOLD 1). Namun untuk semua pasien Grup A, bronkodilator kerja singkat dianjurkan sebagai pilihan pertama berdasarkan efeknya pada fungsi paru-paru dan sesak napas. Sebuah pilihan alternatif adalah kombinasi dari bronkodilator kerja singkat atau bronkodilator kerja panjang. Bukti untuk hal tersebut masih lemah, dan uji coba terapi dengan bronkodilator kerja panjang biasanya dilakukan pada pasien dengan keterbatasan aliran udara lebih parahGOLD. Pasien Grup B Memiliki gejala lebih signifikan namun memiliki risiko eksaserbasi yang rendah. Bronkodilator kerja panjang lebih unggul daripada bronkodilator kerja singkat (digunakan sesuai dengan kebutuhan) dan karena itu penggunaan bronkodilator kerja panjang dianjurkan. Tidak bukti yang merekomendasikan penggunaan salah satu kelas bronkodilator kerja panjang dibandingkan kelas lain untuk pengobatan awal. Pilihan obat harus bergantung pada persepsi pasien mengenai pengurangan gejala setelah pemakaian obat. Untuk pasien dengan sesak napas yang berat, pilihan alternatif adalah kombinasi dari bronkodilator kerja panjang. Hanya studi jangka pendek yang pernah dilakukan terhadap pilihan pengobatan ini yang telah dilaporkan dan pasien yang menggunakan kombinasi bronkodilator kerja panjang harus terus diikuti perkembangannya dan dilakukan evaluasi efek pengobatan mereka. Alternative pilihan pengobatan termasuk bronkodilator kerja singkat dan teofilin. Teofilin dapat digunakan jika bronkodilator inhalasi tidak tersedia atau tidak terjangkau.GOLD Pasien Grup C Memiliki beberapa gejala dan berisiko tinggi mengalami eksaserbasi. Pilihan pertama adalah kombinasi tetap inhalasi kortikosteroid / beta2-agonis kerja panjang atau antikolinergik kerja panjang. Sayangnya, hanya ada satu penelitian yang secara langsung membandingkan jenis pengobatan ini. Sebagai alternatif dipilih kombinasi dua jenis bronkodilator kerja panjang atau kombinasi inhalasi kortikosteroid / antikolinergik kerja panjang. Baik antikolinergik kerja panjang dan beta2-agonist kerja panjang, keduanya dapat mengurangi risiko eksaserbasi, dan meskipun studi jangka panjang jarang dilakukan, prinsip pengobatan kombinasi sering diterapkan. Rekomendasi untuk terapi kombinasi inhalasi kortikosteroid / antikolinergik jangka panjang tidak mempunyai banyak bukti yang mendukung. Inhibitor phosphodiesterase-4 dapat digunakan dalam terapi kombinasi dengan setidaknya satu jenis bronkodilator kerja panjang dapat dipertimbangkan jika pasien memiliki riwayat bronkitis kronis. Pengobatan lain meliputi bronkodilator kerja pendek dan teofilin dapat digunakan jika inhalasi bronkodilator kerja panjang tidak tersedia atau tidak terjangkau. Inhibitor fosfodiesterase-4 juga dapat digunakan pada pasien dengan bronchitis kronis.GOLD Pasien Grup D Memiliki banyak gejala dan berisiko tinggi mengalami eksaserbasi. Pilihan pertama terapi adalah inhalasi kortikosteroid ditambah beta2-agonis kerja panjang atau antikolinergik kerja panjang, dan beberapa bukti mendukung untuk terapi kombinasi tiga obat. Sebagai pilihan alternatif, direkomendasikan kombinasi dari ketiga golongan obat (kortikosteroid inhalasi / beta2-agonist kerja panjang / antikolinergik kerja panjang), meskipun terdapat temuan yang bertentangan tentang jenis pengobatan ini, dukungan untuk jenis terapi ini berasal dari studi jangka pendek. Penambahan inhibitor phosphodiesterase-4 dapat dilakuakan untuk pengobatan lini pertama, apabila pasien menderita bronkitis kronis. Inhibitor phosphodiesterase-4 efektif bila ditambahkan ke bronkodilator kerja panjang. Jenis pengobatan lain termasuk bronkodilator kerja singkat, dan teofilin atau carbocysteine dapat digunakan jika inhalasi bronkodilator kerja panjang tidak tersedia atau terjangkau.GOLD TATALAKSANA PPOK EKSASERBASI Eksaserbasi PPOK adalah suatu peristiwa akut ditandai oleh memburuknya gejala pernapasan yang melampaui variasi harian normal dan menyebabkan perubahan dalam pengobatan. Saat ini, diagnosis eksaserbasi bergantung pada presentasi klinis pasien yang mengeluhkan perubahan akut gejala (seperti sesak nafas/ batuk, perubahan warna sputum, dan / atau peningkatan produksi sputum) yang berada di luar variasi harian normal. Di masa depan, diperlukan biomarker atau panel biomarker yang memungkinkan penentuan etiologi dan diagnosis pasti. Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga : a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.GOLD Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK eksaserbasi akut : Pulse oximetry berguna untuk menentukan dan menyesuaikan terapi oksigen tambahan. Pengukuran gas darah arteri sangat penting jika diduga terjadi kegagalan pernafasan akut pada kronis (PaO2 <8,0 kPa (60 mmHg) dengan atau tanpa PaCO2> 6,7 kPa (50 mmHg) saat pasien bernafas tanpa bantuan. Penaksiran dari status asambasa diperlukan sebelum memulai ventilasi mekanik. Radiografi dada berguna dalam menentukan diagnosa diferensial. EKG dapat membantu dalam diagnosis yang bersamaan dengan masalah jantung. Pemeriksaan darah lengkap dapat mengidentifikasi polisitemia (hematokrit> 55%), anemia, atau leukositosis. Adanya sputum purulen selama eksaserbasi dapat mengindikasikan perlunya memulai terapi empiris dengan antibiotik. Hemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis adalah bakteri patogen yang paling umum ditemukan pada pasien eksaserbasi, pasien dengan Pseudomonas aeruginosa perlu mendapat perhatian khusus. Jika infeksi tidak merespon terapi awal dengan pengobatan antibiotik, kultur dahak dan tes sensitivitas antibiotik harus dilakukan. Kelainan tes biokimia termasuk gangguan elektrolit dan hiperglikemia dapat dikaitkan dengan eksaserbasi. Namun, kelainan ini dapat juga bisa disebabkan oleh penyakit penyerta terkait. Indikasi rawat inap pasien eksaserbasi : Peningkatan intensitas gejala, seperti sesak nafas saat istirahat PPOK yang mendasari tergolong berat Onset dari tanda-tanda fisik yang baru (misalnya, sianosis, edema perifer) Kegagalan merespon terapi medis awal Adanya komorbiditas serius (misalnya, gagal jantung atau baru terjadi aritmia) eksaserbasi yang sering terjadi Usia tua Keadaan rumah yang buruk Terapi Farmakologis: Tiga jenis obat yang selalu digunakan dalam tatalaksana PPOK eksaserbasi adalah bronkodilator, antibiotic, dan kortikosteroid. GOLD 1. Bronkodilator kerja singkat, inhalasi β2 agonis kerja singkat dengan atau tanpa antikolinergik kerja singkat merupakan pilihan utama untuk eksaserbasi. Sebuah studi menyatakan tidak ada perbedaan VEP1 paksa yang signifikan antara MDI (dengan atau tanpa alat spacer) dan alat nebul. Metilxantine intravena (teofilin atau aminofilin) merupakan terapi lini kedua dan hanya digunakan jika tidak terdapat respon terhadap bronkodilator kerja singkat.GOLD 2. Penggunaan kortikosteroid sistemik pada pasien eksaserbasi terbukti dapat memperpendek masa penyembuhan, memperbaiki fungsi paru (VEP1) dan hipoksemia arterial (PaO2),dan mengurangi risiko relaps, kegagalan terapi, dan lamanya masa rawatan. Pemberian prednisolon 30-40 mg per hari selama 10-14 hari direkomendasikan. Budesonide nebul merupakan alternative dari pemberian kortikosteroid oral. 3. Antibiotic harus diberikan pada pasien eksaserbasi dengan tiga gejala cardinal yaitu meningkatnya rasa sesak nafas, volume dahak, dan perubahan dahak menjadi purulen; memiliki 2 tanda cardinal jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya; atau memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau noninvasive). Pemberian antibiotic diberikan selama 5-10 hari. Pilihan jenis antibiotic tergantung dari pola resistensi bakteri setempat. Terapi antibiotic empiris biasa menggunakan aminopenisilin dengan atau tanpa asam klavulanat, golongan makrolida, atau tetrasiklin. Kultur dahak diperlukan pada pasien yang sering mengalami eksaserbasi dan pengobatan tidak berhasil dengan antibiotic empiris. GOLD SUPPORT PERNAFASANGOLD 1. Terapi Oksigen, oksigen diberikan untuk pasien dengan hipoksemia dengan target SaO2 88-92%. AGDA harus diperiksa tiap 30-60 menit. 2. Penggunaan Ventilator diperuntukkan bagi pasien yang memiliki indikasi rawat ICU Penggunaan ventilator dibagi menjadi invasive (melalui trakeostomi atau pipa orotrakea) dan non invasive (melalui face mask). Indikasi penggunaan ventilasi mekanis non invasive : Asidosis respiratorik (pH arteri ≤7,35 dan atau PaCO2 ≥ 6.0 kPa, 45 mmHg) Sesak nafas yang berat dengan tanda-tanda klinis kelelahan otot pernafasan, meningkatnya usaha untuk bernafas, atau keduanya, penggunaan otot bantu pernafasan, gerakan paradox dari abdomen, atau retraksi interkosta. Indikasi penggunaan ventilasi mekanis invasive : Tidak cocok menggunakan ventilasi mekanis non invasive Henti jantung dan nafas Terdapat pause pernafasan dengan penurunan kesadaran dan gasping Hilangnya kesadaran, agitasi psikomotor yang tidak terkontrol dengan sedasi Aspirasi massif Ketidakmampuan untuk mengeluarkan secret dari saluran nafas Frekuensi jantung <50x/i dengan penurunan kesadaran Instabilitas hemodinamik yang parah dan tidak merespon terhadap terapi cairan dan obat-obatan vasoaktif Aritmia venttrikular yang parah Hipoksemia yang mengancam jiwa pada pasien yang tidak cocok dengan ventilasi mekanis non invasive. Eksaserbasi PPOK dapat dicegah. Berhenti merokok, vaksin influenza dan pneumokokus, pengetahuan terapi terkini termasuk teknik inhaler, dan pengobatan dengan inhalasi bronkodilator kerja panjang, dengan atau tanpa kortikosteroid inhalasi, dan mungkin phosphodiesterase-4 inhibitor, semua terapi yang mengurangi jumlah eksaserbasi dan rawat inap. Rehabilitasi fungsi paru segera setelah rawat inap untuk mengurangi eksaserbasi memiliki hasil klinis yang signifikan dan terjadi perbaikan dalam melakukan aktivitas seharihari serta status kesehatan pasien dalam 3 bulan.GOLD