BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda sesuai dengan daerah yang diganggu (Irfan, 2012). Aliran darah yang kurang pada jaringan otak menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakan atau mematikan sel-sel saraf otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu, aliran darah yang berhenti juga membuat suplai oksigen dan zat makanan ke otak juga berhenti, sehingga sebagian otak tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya (Sutrisno, 2007). Data International Classification of Disesae yang diambil dari National Vital Statistics Reports Amerika Serikat menunjukkan bahwa rata-rata kematian akibat stroke pada tahun 2011 adalah 41,4% dari 100.000 penderita (Hoyert, 2012). Menurut data dari World Health Organization (WHO) (2013) penyakit jantung iskemik dan stroke termasuk dalam peringkat satu dan dua dari 10 penyebab utama kematian di dunia. Stroke di Indonesia merupakan penyakit nomer tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomer satu di Rumah Sakit Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke (Misbach dan Kalim, 1 2 2006). Prevalensi stroke di Indonesia mencapai 12,1 per 1000 penduduk, angka itu naik dibandingkan Riskesdas 2007 yang sebesar 8,3% (Riskesdas, 2013). Stroke merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak yang ditangani oleh Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2014. Stroke dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu stroke hemoragi dan stroke iskemik. Sekitar 85% dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik (Gofir, 2009). Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti (Ikawati, 2011). Penelitian lain menyebutkan bahwa penderita stroke 60,7% disebabkan oleh stroke iskemik, sedangkan 36,6% oleh karena stroke hemoragik (Siswanto, 2010). Salah satu terapi pengobatan yang digunakan pada stroke iskemik adalah antiplatelet. Terapi antiplatelet bertujuan untuk meningkatkan rekanalisasi spontan dan perbaikan mikrovaskuler (Ikawati, 2011). Obat golongan antiplatelet diindikasikan pada penderita yang baru pertama kali menderita transient ischemic attack (TIA) dan stroke. Penggunaan antiplatelet ini direkomendasikan untuk mencegah atau mengurangi kejadian stroke iskemik berulang dan kejadian kardiovaskuler lainnya (Furie et al., 2010). Obat antiplatelet merupakan obat terapi khusus pada penderita stroke iskemik, sebagaimana yang tercantum dalam American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA) guideline 2013, Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (Perdossi) 2007 dan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit. Selain itu, terdapat pula “clinical pathway (CP) stroke iskemik, suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang 3 diberikan kepada pasien stroke iskemik berdasarkan standar pelayanan medis, salah satunya yaitu mengenai pemberian obat kepada pasien. Penerapan CP diprioritaskan pada kasus dengan angka kejadian tinggi, high risk, atau problem prone yakni kasus dengan risiko dan perawatan besar dan biaya perawatan tinggi. Implementasi dari CP ini diharapkan mampu meningkatkan clinical outcome pasien. Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta merupakan salah satu rumah sakit di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menerapkan CP stroke iskemik dan mulai berlaku sejak tahun 2015. Berbeda dengan tahun 2014, pemberian obat antiplatelet yang terdapat pada CP stroke iskemik lebih spesifik dibandingkan dengan SPM yang digunakan oleh Rumah Sakit tersebut. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta menjelaskan bahwa antiplatelet yang dapat diberikan kepada pasien stroke iskemik adalah aspirin, klopidogrel, dipiridamol, cilostazol, dan tiklodipin, sedangkan pada CP stroke iskemik hanya direkomendasikan penggunaan aspirin. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui gambaran penggunaan antiplatelet pada pasien stroke iskemik sebelum dan setelah berlakunya CP stroke iskemik (tahun 2014 dan 2015) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan bagaimana implementasi penggunaan antiplatelet pada CP stroke iskemik pada awal tahun pertama di rumah sakit tersebut. 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin mengetahui: 1. Bagaimana gambaran penggunaan obat antiplatelet pasien stroke iskemik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan setelah berlakunya clinical pathway stroke iskemik? 2. Bagimana ketepatan penggunaan antiplatelet pasien stroke iskemik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan setelah berlakunya clinical pathway stroke iskemik? 3. Bagaimana gambaran status keluar pasien stroke iskemik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan setelah berlakunya clinical pathway stroke iskemik? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran penatalaksanaan terapi antiplatelet pasien stroke iskemik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan setelah berlakunya clinical pathway stroke iskemik. 2. Mengetahui ketepatan penggunaan antiplatelet pasien stroke iskemik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan setelah berlakunya clinical pathway stroke iskemik. 3. Mengetahui gambaran status keluar pasien stroke iskemik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan setelah berlakunya clinical pathway stroke iskemik. 5 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi tempat penelitian Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam pengambilan keputusan pelayanan baik klinis maupun farmasis pada pasien stroke iskemik, terutama pada pelayanan farmasi klinik. 2. Bagi institusi Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi institusi farmasi dalam mengembangkan mata ajar farmakoterapi khususnya tentang obat-obat yang digunakan dalam terapi pada pasien stroke iskemik. 3. Bagi pasien dan masyarakat Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pasien dan masyarakat mengenai penggunaan obat antiplatelet pada stroke iskemik, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah kejadian stroke iskemik berulang. 4. Bagi peneliti Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan bagi penulis mengenai penatalaksanaan terapi antiplatelet pada pasien stroke iskemik. E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi dan klasifikasi stroke iskemik Menurut Black dan Hawks (2005) stroke adalah perubahan neurologis yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah menuju ke bagian otak tertentu. 6 Smeltzer dan Bare (2008) mengatakan stroke atau cedera serebrovaskuler adalah ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat yang disebabkan oleh gangguan aliran darah serebral. Stroke adalah gangguan aliran darah ke otak secara tiba-tiba atau mendadak (Stroke Centre, 2007). Stroke merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang terjadi karena kerusakan pada pembuluh darah di otak tersebut (Kim et al., 2009). Hampir 85 persen stroke disebabkan oleh sumbatan karena bekuan darah, penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak dan karena embolus (kotoran) yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakranii (arteri yang berada di luar tengkorak) yang menyebabkan sumbatan di satu atau beberapa arteri intrakranii (arteri yang berada di dalam tengkorak) (Mansjoer, 2000). Stroke iskemik dapat dibedakan menjadi lima jenis berdasarkan penyebabnya, yaitu trombosis arteri besar, penetrasi trombosis arteri kecil (stroke lakuner), stroke embolik kardiogenik, kriptogenik (penyebab yang belum diketahui), dan stroke akibat penggunaan koagulopati atau pembedahan karotid (Smeltzer and Bare, 2003). Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke iskemik dibagi menjadi empat jenis (Gofir, 2009), yaitu: a) Transient Ischemic Attack (TIA) yaitu serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam. b) Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND) yaitu gejala neurologis akan menghilang antara >24 jam sampai dengan 21 hari. 7 c) Progressing Stroke atau Stroke in Evolution yaitu kelainan atau defisit neurologik berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat. d) Completed Stroke atau stroke komplit kelainan neurologis sudah menetap dan tidak berkembang lagi. 2. Epidemiologi Stroke masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama serta merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di negara-negara maju, setelah penyakit jantung dan kanker, dimana setiap tahunnya 750.00 orang mengalami serangan stroke (Goldtsein et al., 2006). Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7% dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1%. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7%. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur (16%) (Riskesdas, 2013). 3. Etiologi dan patogenesis Serangan stroke biasanya disebabkan oleh salah satu dari tiga kejadian berikut (Baughman et al., 2000), yaitu: a) Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah otak. 8 b) Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan menyumbat aliran darah bagian otak tertentu. c) Hemorargik serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak sehingga menimbulkan stroke. Akibatnya adalah gangguan suplai darah ke otak, menyebabkan kehilangan gerak, pikir, memori, bicara, atau sensasi baik sementara atau permanen. 4. Patosifiologi Prinsipnya, baik stroke iskemik ataupun stroke perdarahan, akan menyebabkan otak mengalami penurunan aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak terhambat karena adanya thrombus dan embolus pada stroke iskemik atau karena ekstravasasi darah di otak pada stroke hemoragik, maka terjadilah kekurangan oksigen ke jaringan otak (Price, 2005). Kekurangan selama satu menit dapat mengarah pada gejala-gejala yang dapat pulih, seperti kehilangan kesadaran. Kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut sebagai infark (Hudak, 2010). Sebagian besar stroke, berakhir dengan kematian sel-sel neuron. Penurunan terhadap cerebral blood flow (CBF), antara 20-50% dari normal (10 sampai 25 ml/100 g jaringan otak/menit) akan terbentuk daerah penumbra. Sel-sel neuron dalam daerah penumbra ini akan mengalami kerusakan yang masih bersifar reversibel (Price, 2005). Kematian sel-sel otak 9 akan semakin berkembang pada daerah penumbra. Sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi (ATP), karena metabolisme otak beralih ke metabolisme anaerob (Smeltzer and Bare, 2003). Jika energi otak berkurang, maka pompa natrium-kalium akan berhenti berfungsi dan mengakibatkan pembengkakan neuron. Otak akan berespon terhadap kondisi kekurangan energi ini, salah satunya dengan peningkatan konsentrasi kalsium intrasel, yang kemudian merangsang pelepasan neurotransmitter eksitatorik glutamate. Glutamat bebas ini akan melekat di neuron otak lain yang pada akhirnya memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase yang kemudian membentuk gas nitrat oksida (NO). Pembentukan NO ini akan merangsang pengrusakan struktur sel-sel otak secara besar-besaran (Price, 2005). 5. Tanda dan gejala stroke iskemik Gejala stroke yang muncul bervariasi tergantung daerah yang terserang dan luasnya kerusakan jaringan jaringan serebral. Beberapa gejala stroke yang sering terjadi adalah kelumpuhan pada alat gerak, penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan mengenai satu sisi (LeMone and Burke, 2008). 6. Faktor risiko stroke Faktor risiko terjadinya serangan stroke terbagi atas dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain yaitu gaya hidup, beberapa penyakit yang disebabkan perubahan pola hidup, seperti 10 hipertensi, diabetes militus, gangguan jantung (miokardium infark) dan hiperlipidemia, merokok, pamakai alkohol, pemakai kokain, dan kegemukan (Black and Hawks, 2005). Faktor risiko stroke lainnya yang dapat dimodifikasi yaitu riwayat transient ischemic attack (TIA), darah kental, obat-obatan (kokain, amfetamin, extasy, heroin, pil yang mengandung estrogen tinggi), kurang berolah raga, stress berkepanjangan. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ras, genetik (American Hearth Association, 2000, dalam Smeltzer and Bare, 2008). Orang-orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko tersebut di atas termasuk Stroke Prone Person, yaitu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat serangan stroke daripada orang normal pada suatu saat selama perjalanan hidupnya bila tidak dikendalikan (Smeltzer and Bare, 2008). 7. Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien stroke, diantaranya yaitu (Tong et al., 2002): a) Berhubungan dengan sistem kardiovaskuler: denyut nadi meningkat ½ ketuk/menit setiap hari selama 3-4 minggu, ortostatik hipotensi, risiko terjadinya Deep Vein Trombosis dan emboli pulmonal, dan viskositas darah meningkat. 11 b) Berhubungan dengan sistem respirasi: retensi sputum dan menurunnya oksigenasi, kecepatan pernafasan meningkat, risiko terjadinya pneumonia. c) Berhubungan dengan sistem muskuloskeletal: kekuatan dan massa otot menurun, perubahan histologi otot, perubahan kelenturan sendi (kontraktur), osteoporosis. d) Berhubungan dengan sistem metabolik dan endokrin: persentase lemak tubuh meningkat, hipercalcaemia, toleransi glukose menurun. e) Berhubungan dengan sistem integumen, yaitu decubitus ulcers. f) Berhubungan dengan sistem gastrointestinal, yaitu konstipasi dan refluks gastrsoesofageal. g) Berhubungan dengan sistem urogenital: awal volume urin meningkat, kemudian menurun drastis dan inkontinensia urin. h) Berhubungan dengan sistem saraf pusat: perubahan pada afeksi, penurunan kognitif dan persepsi. Menurut Perdossi (2007), terdapat beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada stroke iskemik, antara lain oklusi persisten/insufisiensi sistem kolateral; progresivitas pembentukan stenosis; hipotensi (sering pada malam hari); stroke oleh karena emboli yang berulang, perubahan ke perdarahan; efek massa dengan hipertensi intrakranial; bangkitan epilepsi; withdrawal alkohol, nikotin, NAPZA, hipotik; perburukan istrogenik oleh karena NAPZA dan gangguan fungsi luhur. 12 8. Tatalaksana terapi stroke iskemik Berdasarkan Perdossi (2007), tatalaksana terapi stroke iskemik adalah sebagai berikut: a) Stadium akut Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor retiologik maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga. b) Stroke Iskemik Terapi umum: 1) Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. 2) Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). 3) Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan 13 menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik. 4) Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. 5) Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. 6) Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obatobatan sesuai gejala. 7) Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MABP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. 8) Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah 14 sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. 9) Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. 10) Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid. Terapi khusus: Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia). Menurut Saver (2010), terapi stroke iskemik akut digolongkan menjadi dua target, yaitu pada sistem vaskular dan sistem saraf. Penatalaksanaan pada target sistem vaskular, meliputi rekanalisasi dengan trombolitik, pencegahan propagasi platelet dengan aspirin dosis rendah, dan memicu pembentukan vaskularisasi kolateral dengan intra atrial trombolitik. Penanganan stroke 15 iskemik pada target sistem saraf bertujuan untuk mencegah injury karena iskemik awal dan untuk menghindari reperfusi injury. 9. Antiplatelet Obat antiplatelet bermanfaat untuk mencegah terbentuknya clot dengan menghambat enzim penting untuk adhesi platelet dan aktivasi platelet. Emboli yang terbentuk dari platelet-fibrin pada permukaan arteri merupakan faktor penyebab stroke dan TIA. Obat-obat antiplatelet bekerjasama dengan fungsi platelet dengan jalan menghambat enzim siklooksigense-1 , yang merupakan katalisator sintesis tromboksan A2, suatu eikosanoid dengan prokoagulan dan agregasi-platelet (Tugasworo, 2002). a) Aspirin Aspirin mencegah sintesis tromboksan A2 melalui blokade enzim siklooksigenase. Platelet tidak mempunyai nukleus, maka siklooksigenase tidak dapat dibentuk setelah platelet kontak dengan aspirin, sehingga tromboksan A2 tidak diproduksi selama masa hidup trombosit (rata-rata 8 hari). Aspirin merupakan gold standart antiplatelet karena efikasi dan harganya murah. Aspirin lebih sering dipakai untuk pengobatan pada pencegahan stroke primer maupun sekunder. Dosis bervariasi antara 81-325 mg /hari (Simon, 1999). b) Tiklopidin Tiklopidin merupakan derivat theinopyridine, efektif sebagai second line alternatif terapi, selain itu juga sebagai pengganti untuk pasien yang hipersensitif terhadap aspirin atau intoleransi gastrointestinal. Mekanisme 16 kerja tiklodipin, yaitu menghambat agregasi platelet yang diinduksi oleh adenosin dipospat (ADP) dan blokade transformasi reseptor fibrinogen platelet menjadi bentuk yang afinitasnya tinggi. Dosis harian biasanya diberikan 500 mg dengan cara pemberian 2 x 250 mg sewaktu makan (Simon, 1999). c) Dipiridamol Dipiridamol bekerja menghambat aktivasi dan agregasi platelet, yaitu dengan cara menghambat jalur siklooksigenase, fosfodiesterase dan ambilan kembali adenosin. Penggunaan dipiridamol biasanya sebagai tambahan terapi aspirin pada pencegahan penderita stroke dengan penyakit arteri dan sebagai tambahan pada terapi warfarin pada penyakit jantung yang disebabkan karena tromboemboli. Kombinasi dipiridamol dengan aspirin biasanya diberikan dengan dosis 25 mg apirin + 200 mg dipiridamol 2 kali sehari (Widjaja, 1999). d) Cilostazol Cilostazol merupakan obat antiplatelet baru, disamping dapat menghambat agregasi platelet juga berefek vasodilator untuk prevensi primer maupun sekunder pada pasien yang mempunyai faktor risiko stroke. Meknisme kerjanya dengan menghambat secara selektif phospodiesterase-3 (PDE-3), yaitu suatu cGMP-inhibited dan campselective phospodiesterase, sehingga kadar cGMP dan camp dalam sel meningkat dengan memblokade aktivasi trombosit melalui Ca. Dosis pemberian yaitu 50 mg per oral 2 kali sehari (Widjaja, 1999). 17 e) Klopidogrel Merupakan derivat theinopyridin yang baru, mirip dengan tiklopidin, keduanya merupakan antiplatelet generasi kedua. Menghambat ADP untuk aktivasi glycoprotein Iib/IIIa complex dan efektif menghambat agregasi platelet. Obat ini lebih efektif dibanding dengan aspirin dalam menurukan risiko stroke iskemik, infark miokard, kematian karena faktor vaskuler pada pasien dengan penyakit aterotrombotik, atau untuk mencegah terjadinya stroke sekunder. Biasanya diberikan dengan dosis harian 75 mg per oral sekali sehari (Simon, 1999). Berdasarkan standar pelayanan medik tahun 2014 dan formularium RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta edisi V tahun 2012, aturan penggunaan antiplatelet yang digunakan yaitu aspirin diberikan dengan dosis 75-300 mg/hari, klopidogrel diberikan dengan dosis 75 mg/hari dan cilostazol diberikan dengan dosis 100 mg dua kali sehari. “Clinical Pathway Stroke Iskemik” RS PKU Muhammadiyah juga mengatur penggunaan antiplatelet pada pasien stroke iskemik, khususnya aspirin yaitu dengan dosis 1 x 80 mg, sedangkan sedangkan aturan pakai penggunaan antiplatelet untuk secondary prevention yang terdapat pada ASA/AHA guideline 2013 yaitu dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam setelah awitan stroke, aspirin 50-325 mg per hari dan klopidogrel 75 mg per hari. 18 10. Penggunaan obat yang rasional Penggunaan obat rasional menurut WHO tahun 1985 adalah penggunaan obat yang pasien dapatkan sesuai dengan kebutuhan klinis dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi pasien atau masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a) Tepat Diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b) Tepat Indikasi Penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. c) Tepat Pemilihan Obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. 19 d) Tepat Dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat berisiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. F. Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Pasien Stroke iskemik - Umur - Jenis kelamin - Riwayat penyakit Pasien periode 2014 Mendapat antiplatelet sebelum berlakunya Clinical Pathway Stroke Iskemik di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Pasien periode 2015 Mendapat antiplatelet sesudah berlakunya Clinical Pathway Stroke Iskemik di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Ketepatan penggunaan antiplatelet - Tepat indikasi - Tepat obat - Tepat dosis - Tepat pasien Clinical outcome - Tekanan darah - Kekuatan otot Status keluar Gambar 1. Kerangka konsep 20 G. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran terapi antiplatelet, ketepatan penggunaan antiplatelet, dan gambaran status keluar pasien pada pasien stroke iskemik sebelum dan sesudah berlakunya “Clinical Pathway Stroke Iskemik” (periode 2014 dan 2015) di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.