hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat dengan

advertisement
i
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENGAWAS MENELAN OBAT
DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARTASURA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Disusun oleh :
NOVITA PUTRI PERMATASARI
NIM : ST13052
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENGAWAS MENELAN OBAT
DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARTASURA
Oleh :
NOVITA PUTRI PERMATASARI
NIM. ST13052
Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 13 Agustus 2015 dan
dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan
Pembimbing Utama,
Pembimbing Pendamping,
Wahyu Rima Agustin S.Kep.,Ns.,M.Kep.
NIK. 201279102
Sunardi, SKM, M.Kes
NIK. 201073060
Penguji,
Wahyuningsih Safitri, S.Kep,.Ns., M.Kep
NIK. 200679022
Surakarta, 5 Agustus 2015
Ketua Program Studi S-1 Keperawatan
Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep
NIK. 201279102
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama
: Novita Putri Permatasari
NIM
: ST13052
Dengan ini saya menyarakan bahwa:
1.
Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
akademik (Sarjana), baik di Stikes Kusuma Husada Surakarta
maupun
perguruan tinggi lain.
2.
Skripsi ini
murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji.
3.
Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain , kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan nama pengarang dan dicantumkan
dalam daftar pustaka
4.
Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila kemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi ini.
Surakarta, Agustus 2015
Yang membuat pernyataan,
(Novita Putri Permatasari)
NIM ST13052
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat mengerjakan proposal skripsi dengan judul
“Hubungan Tingkat Pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap
Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura ”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan
ini jauh dari
kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan penelitian ini,
Selama penyusunan penelitian ini, penulis banyak
mendapatkan
bimbingan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapka
terima kasih kepada
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku Ketua STIKES Kusuma Husada
Surakarta.
2. Wahyu Rima Agustin S.Kep Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama yang
telah memberikan masukan dan dorongan dalam penyusunan penelitian ini.
3. Sunardi SKM. M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan masukan dan dorongan dalam penyusunan penelitian ini.
4. Wahyuningsih Safitri S.Kep Ns.M.Kep, Selaku Penguji yang telah
memberikan masukan dalam penelitian ini.
5. Drg Anik Arifah, selaku PLT Kepala Puskesmas Kartasura yang telah
memberikan ijin waktu
dan tempat kepeda peneliti untuk melakukan
penelitian
iv
v
6. Civitas Akademik Program Studi S-1 Keperawatan yang telah membantu
dalam proses penelitian ini
7. Orang tuaku tercinta, yang telah memberikan dukungan baik materiil
maupun spirituil, serta kasih sayang yang tiada terkira dalam setiap langkah
kaki penulis.
8. Suami dan anakku yang telah memberikan dukungan dan motivasi , serta
kasih sayang yang tiada terkira dalam setiap langkah kaki penulis.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Penulis
senatiasa mengharapkan atas saran dan masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Surakarta, Agustus 2015
Penulis
v
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................ii
SURAT PERNYATAAN............................................................................... .iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... ..iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. . vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ..x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ..xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
ABSTRAK.......................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................
4
1.4 Manfaat Penelitian ...........................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori ...................................................................................
6
2.1.1
Pengetahuan ...........................................................................
6
2.1.2
Penyakit Tuberkulosis.............................................................
9
2.1.2.1 Definisi Tuberkulosis ......................................................
9
2.1.2.2 Etiologi Tuberkulosis........................................................ 11
vi
vii
2.1.2.3 Cara Penularan....................................................................11
2.1.2.4 Gejala dan Tanda Tuberkulosis......................................... 13
2.1.2.5 Diagnosa Tuberkulosis .......................................................14
2.1.2.6 Pengobatan Tuberkulosis.....................................................15
2.1.2.7 Evaluasi Pengobatan............................................................16
2.1.2.8 Kriteria Keberhasilan............................................................18
2.1.2.9 Program DOTS......................................................................18
2.1.2.10 Pengawas Menelan Obat.................................................... 20
2.2 Keaslian Penelitian ................................................................................ 23
2.3 Kerangka Teori ......................................................................................24
2.4 Kerangka Konsep.................................................................................... 25
2.5 Hipotesis Penelitian................................................................................25
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian ................................................................
26
3.2 Populasi dan Sampel..........................................................................
27
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian............................................................... 28
3.4 Variabel Penelitian,Definisi Operasional dan Skala Pengukuran......... 28
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data........................................ 30
3.6 Uji Validitas Reabilitas......................................................................... 31
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisa Data.................................................... 33
3.8 Etika penelitian...................................................................................... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian....................................................
vii
38
viii
4.2 Karakteristik Responden...........................................................................39
4.3 Hasil Penelitian..........................................................................................40
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden………………………………………………….43
5.2 Pembahasan Hasil Penelitian......................................................................44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………….50
6.2 Saran ………………………………………………………………………51
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
viii
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori ...........................................................................
24
Gambar 2.2 Kerangka Konsep .......................................................................
25
ix
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Penelitian Sejenis yang Berhubungan .........................................
23
Tabel 3.1 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ...............
29
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Jawaban Instrumen untuk Mengukur Tingkat
Pengetahuan PMO .......................................................................
30
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin PMO ..................................
39
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Usia PMO .................................................
39
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan PMO .........................
40
Tabel 4.4
Tingkat Pengetahuan PMO ........................................................
40
Tabel 4.5 Tingkat Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis .........................
41
Tabel 4.6 Tabulasi silang antara Tingkat Pengetahuan PMO dengan
Keberhasilan Pengobatan TBC............................................................42
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Penjelasan Penelitian
Lampiran 2
Kesediaan Menjadi Responden
Lampiran 3
Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 4
Surat Balasan Ijin Penelitian
Lampiran 5
Kuesioner Penelitian
Lampiran 6
Hasil Uji Validitas Reabilitas
Lampiran 7
Hasil Uji Univariat dan Uji Bivariat
Lampiran 8
Jadwal Penelitian
xi
xii
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
Novita Putri Permatasari
Hubungan Tingkat Pengetahuan Pengawas Menelan Obat
dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis
di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura
Abstrak
Tuberkulosis adalah
suatu
penyakit
infeksi
menular
yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat
bervariasi. Berdasarkan laporan tahunan program pengendalian tuberkulosis
Puskesmas Kartasura tahun 2013, angka penderita tuberkulosis 30 orang, yang
terdiri dari 18 pasien tuberkulosis BTA (Batang Tahan Asam) positif, 7 pasien
tuberkulosis BTA (Batang Tahan Asam) negatif pemeriksaan rontgen positif, 3
pasien tuberkulosis ekstra paru, 1 pasien tuberkulosis kasus kambuh
Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan
pengawas menelan obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis di
wilayah kerja puskesmas Kartasura.
Jenis Penelitian menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan
studi retrospektif Sampel dalam penelitian penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Jumlah sampel 30 orang.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil karakteristik jenis kelamin
pengawas menelan obat di Wilayah kerja Puskesmas Kartasura paling banyak
adalah pendidikan SMA sebanyak 18 responden (66%). Peranan pengawas
menelan obat (PMO) di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura paling banyak
adalah baik
yaitu sebanyak 22 responden (73%). Tingkat keberhasilan
pengobatan tuberkulosis di Wilayah kerja Puskesmas Kartasura paling banyak
adalah berhasil yaitu sebanyak 27 responden (90%). Hasil uji Chi-square
diperoleh nilai X2 hitung = 10,566 dengan nilai p = 0,005 (p< 0,05) yang berarti ada
hubungan tingkat pengetahuan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat
(PMO) dengan tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis di wilayah puskesmas
Kartasura.
Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan tingkat pengetahuan pengawas
menelan obat (PMO) dengan tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis di wilayah
puskesmas Kartasura.
Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan PMO- Keberhasilan Pengobatan TBC
xii
xiii
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Novita Putri Permatasari
Correlation between Drug Consumption Controllers’ Knowledge and the TB
Recovery Successfullness at the Working Region of Community Health
Center of Kartasura
ABSTRACT
Tuberculosis (TB) is a transmittable infectious disease caused by
Mycobacterium tuberculosis with very diverse symptoms. Based on the annual
report of the tuberculosis control program by Community Health Center of
Kartasura, the number of TB bearers was 30 persons: 18 positive acid-resistant
basil TB patients, 7 negative acid-resistant basil TB patients with positive X-ray
examination, 3 extra-pulmonary TB patients, and 1 TB patient with recurrence
case.
The objective of this research is to investigate the correlation between the
drug consumption controllers’ knowledge level and the TB recovery
successfulness at the working region of Community Health Center of Kartasura.
This research used the analytical survey method with the retrospective
approach. The samples of research were taken by using the purposive sampling
technique. They consisted of 30 persons.
The result of research shows 18 respondents (66%) had the latest
education of Senior Secondary School, 22 respondents (73%) had the good role in
the drug consumption control, and 27 respondents (90%) had the TB medication.
The result of the Chi-square Test was the value of X2 count = 10.566 with the pvalue = 0.005 which was less than 0.05, meaning that there was a correlation
between the drug consumption controllers’ knowledge level and the recovery rate
of the TB patients at the working region of Community Health Center of
Kartasura.
Keywords: drug consumption controllers’ knowledge level – TB recovery
successfulness
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah
suatu
penyakit
infeksi
menular
yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang
sangat bervariasi (Mansjoer, 2010). Data yang diperoleh dari
World
Health Organization (WHO) penyakit tuberkulosis merupakan masalah
utama kesehatan masyarakat karena jumlah penderita terus bertambah
seiring munculnya epidemi Human Immunodeficiency Virus ( HIV) dan
Accuired Immune Deficiency Sydrome (AIDS) di dunia. Dari laporan
penyakit tuberkulosis dunia, masih menempatkan Indonesia sebagai
penyumbang terbesar tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan
China yaitu 294.731 kasus pada tahun 2009 (Firdaus, 2012). Menurut
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), menempatkan tuberkulosis
sebagai penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan yaitu 9,4%. Pada hasil survey yang sama ,
angka kesakitan tuberkulosis pada saat itu adalah 800 per 100.000
penduduk (Depkes RI (2007) dalam Firdaus (2012)).
Data
keberhasilan
pengobatan
tuberkulosis
setiap
tahun
mengalami peningkatan mulai pada tahun 2003 sampai pada tahun 2008.
Pada tahun 2003 keberhasilan pengobatan mencapai 87 % sampai pada
tahun 2008 keberhasilan sudah mencapai 91% (WHO (2010) dalam
1
2
Firdaus (2012)). Penyakit tuberkulosis dapat disembuhkan dengan
pengobatan secara rutin dan teratur. Keberhasilan pengobatan tuberkulosis
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu faktor status gizi, faktor
imunitas, faktor lingkungan, faktor sarana dan prasarana. Pengobatan
tuberkulosis yang memerlukan waktu yang lama sehingga menyebabkan
kejenuhan dan kebosanan dari penderita. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan pengawas menelan obat (PMO) yang akan
membantu penderita selama dalam pengobatan tuberkulosis (Achmadi,
2005).
Pada
tahun
1994
pemerintah
mencanangkan
program
pemberantasan tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed
Treathment Shortcourse). Dalam strategi ini tiga hal yaitu mendeteksi
pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Pengawasan
penderita
kesembuhan
pasien.
tuberkulosis
Pemilihan
sangat
pengawas
mempengaruhi
tingkat
menelan
(PMO)
obat
disesuaikan dengan keadaan tempat pasien. Pengawas menelan obat
berasal dari dari keluarga, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. Selain
bertugas sebagai pengawas menelan obat, PMO juga membantu dalam
pengambilan obat bagi penderita dan menepati jadwal kunjungan berobat
(Kemenkes, 2012).
Hasil penelitian pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan
bagian dari survei prevalensi TB 2004 menemukan bahwa 96% keluarga
merawat anggota keluarganya yang menderita TB dan hanya 13% yang
3
menyembunyikan anggota keluarganya tersebut. 76% keluarga sudah
pernah mendengar tentang penyakit TBC, 26 dapat menyebutkan dua
tanda dan gejala utama, 51% mengetahui cara penularan, dan 19%
memahami bahwa program pengelolaan TB menyediakan obat TB gratis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya pengetahuan
masyarakat tentang gejala, cara penularan dan pengobatan penyakit TBC.
Masih banyak masyarakat yang tahu bahwa TB dapat disembuhkan dan
obat TB OAT dapat diperoleh secara gratis. Perilaku masyarakat dalam
keteraturan berobat masih rendah seperti tidak meneruskan berobat
sebelum selesai masa pengobatan karena merasa sembuh atau sudah jenuh.
Pengawas Menelan Obat (PMO) masih belum melaksanakan tugasnya
dengan baik serta keterlibatan keluarga masih belum optimal (Kemenkes,
2012).
Berdasarkan laporan tahunan program pengendalian tuberkulosis
Puskesmas Kartasura tahun 2013, angka penderita tuberkulosis 31 orang,
yang terdiri dari 18 pasien tuberkulosis BTA (Batang Tahan Asam) positif,
7 pasien tuberkulosis BTA (Batang Tahan Asam) negatif pemeriksaan
rontgen positif, 3 pasien tuberkulosis ekstra paru, 1 pasien tuberkulosis
kasus kambuh, dan 1 pasien tuberkulosis anak. Hasil pengamatan petugas
program pengendalian program tuberkulosis ditemukan masih adanya
pasien yang mengambil obat tidak teratur. Selain itu masih ada pasien
yang terlambat dalam memeriksakan sputumnya pada bulan kedua, satu
bulan setelah akhir pengobatan dan pada saat akhir pengobatan.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka
rumusan masalah pada penelitian ini yaitu “Adakah Hubungan Tingkat
Pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura ?“
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat
(PMO) dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Kartasura.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendiskripsikan karakteristik pengawas menelan obat di wilayah
kerja Puskesmas Kartasura
2. Mendiskripsikan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat
(PMO) pada penderita tuberkulosis.
3. Mendiskripsikan
keberhasilan
pengobatan
pada
penderita
tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kartasura.
4. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan
obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Kartasura.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1.4.1 Bagi Puskesmas Kartasura
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang
tuberkulosis bagi puskesmas untuk meningkatkan kualitas program
pelayanan kesehatan khususnya pelayanan penyakit tuberkulosis
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi yang berguna
dalam menambah wawasan dan pengetahuan pengaruh peranan
pengawas menelan obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan
tuberkulosis.
1.4.3 Bagi Masyarakat (penderita tuberkulosis)
Menambah pengetahuan masyarakat (penderita tuberkulosis) tentang
penyakit tuberkulosis, cara menangani penyakit tuberkulosis, dan
memotivasi penderita dalam pengobatan tuberkulosis.
1.4.4 Bagi Pengawas Menelan Obat (PMO)
Untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang lebih kooperatif dalam
mengawasi penderita tuberkulosis selama masa pengobatan.
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010), disebutkan bahwa pengetahuan
merupakan hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap obyek melalui indra yang dimilikinya (mata, telinga, dan
sebagainya). Pada waktu pengindraan menghasilkan pengetahuan
sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap
obyek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra
pendengaran dan, indera penglihatan. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001)pengetahuan diartikan sebagai segala sesuatu
yang dicakup dalam domain kognitif. Dengan melihat kedua pendapat
tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan merupakan
hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek
melalui indra yang dimilikinya yang dicakup dalam domain kognitif.
1. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi tiga kategori.
Adapun tiga kategori tersebut adalah:
a. Pengetahuan baik jika skor 76 %-100%
b. Pengetahuan cukup jika skor 56%-75%
6
7
c. Pengetahuan kurang jika skor <56% (Arikunto (2006) dalam
Wawan dan Dewi (2011)).
Ketiga kategori tingkat pengetahuan menurut Arikunto dalam
Wawan dan Dewi tersebut digunakan untuk menganalisis hasil
tingkat pengetahuan responden. Sebagai acuan dalam penyusunan
kuisioner tentang pengetahuan pengawas menelan obat (PMO)
pasien TB, peneliti menggunakan6tingkat pengetahuan Notoatmodjo
(2010). Adapun 6 tingkat pengetahuan tersebut adalah :
a. Tahu ( Know )
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan
yang paling rendah karena tingkatan ini hanya mengingat
kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami ( Comprehension )
Memahami
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c.Aplikasi ( Aplication )
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya).
8
d. Analisis ( Analysis )
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam
suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e.Sintesis ( Synthesis )
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi ( Evaluation )
Evaluasi berkaitan dengan kamampuan untuk malakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu meteri atau objek,
penilaian itu berdasarkan suatu kriteriayang ditentukan sendiri
atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007) dalam Bakti (2010), disebutkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang
terdapat 5 faktor. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan
Merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi
perubahan.
b. Pengalaman
Sesuatu
yang
pernah
dialami
seseorang
akan
pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat nonformal.
menambah
9
c. Informasi
Orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan
memiliki pengetahuan yang lebih luas pula. Salah satu sumber
informasi yang berperan penting bagi pengetahuan adalah media
masa.
d. Lingkungan budaya
Dalam hal ini faktor keturunan dan bagaimana orang tua mendidik
sejak kecil mendasari pengetahuan yang dimiliki oleh remaja dalam
berfikir selama jenjang hidupnya.
e. Sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi yang rendah menyebabkan keterbatasan
biaya untuk menempuh pendidikan, sehingga pengetahuannya pun
rendah.
2.1.2
Penyakit Tuberkulosis (TBC)
2.1.2.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkanolehbasil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang
sangat bervariasi (Mansjoer,2010). Penyakit tuberkulosis sudah ada
sejak ribuan tahun sebelum masehi. Penyakit tuberkulosis sudah ada
sejak zaman Mesir Kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi
dan penyakit ini sudah ada kitab pengobatan Cina “ pen tsao” sekitar
5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882 ilmuwan Robert Koch berhasil
10
menemukan kuman tuberkulosis yang merupakan penyebab penyakit
tuberkulosis. Kuman ini berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan
nama mycobacterium tuberculosis (Widoyono, 2008).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru(TB paru), tetapi
dapat menyerang berbagai organ atau jaringan tubuh. Tuberkulosis
paru merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting.
Meningkatnya kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun diperkirakan kasus
TBC menjadi bertambah (remeerging disease) (Widoyono, 2008).
Mycobacterium
tuberculosis
menyebabkan
penyakit
TBC
dan
merupakan patogen manusia yang sangat penting (Jawets et al., 2008).
Kuman ini non motil, non spora, dan tidak berkapsul (Palomina et al.,
2007). Berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih
(5 menit pada suhu 80oC, dan 20 menit pada suhu 60o C), dan mudah
mati apabila terkena sinar ultraviolet (Alsagaf dan Mukti, 2008).
Sebagian
besar
dinding
kuman
terdiri
atas
lipid,
kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga
disebut bakteri
tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis (Sudoyo, 2006). Dapat tahan hidup di udara kering
maupun dalam keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam
lemari es. Ini dapat terjadi apabila kuman berada dalam sifat dormant
(tidur). Sifat dormant ini kuman tuberkulosis suatu saat dimana keadaan
11
memungkinkan untuk berkembang, kuman ini dapat bangkit kembali
(Hiswani (2004) dalam Firdaus (2012)).
2.1.2.2 Etiologi
Penyebab
penyakit
tuberkulosis
adalah
mycobacterium
tuberculosisdan mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai
ukuran 0.5-4 mikron x 0.3-0.6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus
atau agak bengkok, bergranuler atau tidak mempunyai selubung, tetapi
mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam
mikolat). Bakteri TBC mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut
basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik.
Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin,
bersifat dorman dan anaerob. Bakteri TBC mati pada pemanasan 1000C
selama 5-10 menit atau pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan
alkohol 70-95% selama 15-24 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di
udara terutama ditempat yang gelap dan lembab (dapat berbulan-bulan),
tetapi tidak tahan tahan terhadap sinar dan aliran udara (Widoyono,
2008).
2.1.2.3 Cara Penularan
TBC ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita
TBC).
Ketika
penderita
TB batuk, bersin, berbicara
atau
meludah, mereka memercikkan kumanTBCataubacillikeudara. Pada
Umumnya droplet yang infeksius dapat bertahan dalam beberapa jam
12
sampai beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi terjadi bila
jika seseorang menghirup droplet yang mengandung kumanTBCdan
akhirnya sampai di alveoli. Respon imun terbentuk 2-10 minggu setelah
terinfeksi. Sejumlah kuman akan tetap dorman bertahun-tahun yang
disebut infeksi laten (Kemenkes, 2012). Ketika penderita batuk,bersin,
atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain , basil tuberkulosis
tersembur dan dan terhisap dan terhisap pada paru orang sehat masa
inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono,
2008).
Setelah kuman
TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC
tersebut dapat menyebar dari paru kebagiantubuh
lainnya, melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas,
atau
penyebaran
langsungkebagian-bagiantubuhlainnya(Kemenkes,
2012).
Resiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas
paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan faktor
genetik dan faktor penjamu lainnya. Resiko tertinggi berkembangnya
penyakit pada yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, resiko rendah
pada masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa ramaja,dewasa
muda dan usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernafasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui
peredaran darah, pembuluh limfe atau langsung menyebar ke organ
terdekatnya. Setiap satu BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat
menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain, sehingga
13
kemungkinan setiap kontak untuk menularkan TBC adalah 17%. Hasil
studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat
(misal keluarga
serumah) akan dua kali lebih beresiko dibanding kontak biasa (tidak
serumah) (Widoyono, 2008).
Seorang penderita dengan BTA positif yang derajat positinya
tinggi berpotensi menularkan penyakit ini . Sebaliknya penderita
dengan BTA negatif dianggap tidak menularkan. Angka resiko
penularan infeksiTBC di Amerika Serikatadalah 10/10.000 populasi. Di
Indonesia angka ini ini sebesar 1-3% yang berarti diantara 100
penduduk terdapat 1-3 warga yang akan terinfeksi TBC. Setengah dari
mereka BTA-nya akan positif (0,5%) (Widoyono, 2008).
2.1.2.4 Gejala dan tanda tuberculosis
Untuk mengetahui tentang penderita tuberkulosis dapat dikenali
melalui tanda dan gejala. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka
penderita tuberkulosis paru apabila ditemukan gejala klinis utama
(cardinal simptom) pada diri si penderita. Adapun gejala utama pada
tersangka TBC adalah batuk berdahak selama 2- 3 minggu atau lebih,
batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas,nyeri dada, badan lemas, nafsu makan
menurun,
berat
badan
hari tanpa kegiatan
menurun,
fisik, demam
malaise,
berkeringat
meriang
malam
lebih dari satu
bulan (Widoyono, 2008). Dengan strategi yang baru directlyobserved
treatment shortcourse (DOT) gejala utamanya adalah batuk berdahak
14
dan atau terus menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasar keluhan
tersebut, seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya
adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan
pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008).
2.1.2.5 Diagnosis Tuberculosis (TBC)
Untuk menegakkan diagnosa penyakit tuberkulosis dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan
lainnya dilakukan dengan pemeriksaan kultur bakteri, tetapi hasilnya
lama dan biya mahal. Metode pemeriksaan dahak sewaktu-pagisewaktu (SPS) dengan pemeriksaan mikroskopis mebutuhkan kurang
lebih 5 ml dahak dan biasanya menggunakan pewarnaan panas dengan
metode Ziehl Neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet
menurut Tan Thiam Hok. Apabila dari dua pemeriksaan didapatkan
BTA positif, maka pasien dinyatakan positif mengidap tuberkulosis
paru (Widoyono, 2008).
Pada program TB nasional,penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
seperti
foto toraks,
biakan
sebagai
penunjang
diagnosis
dan
uji
lain
kepekaan dapat digunakan
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosisTBChanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks
saja. Foto
toraks
tidak selalu memberikan gambaran
yang khas
pada TB paru,sehinggasering terjadi overdiagnosis.
15
Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit (Kemenkes, 2012).
2.1.2.6 Pengobatan tuberculosis
Setelah diagnosa ditegakkan, petugas pengelola TB segera
menyiapkan 1 paket OAT (Obat Anti Tuberkulosis) untuk 1 pasien
sesuai dengan kategori pengobatan. Pengobatan pada penderita
tuberkulosis dewasa dibagi menjadi beberapa kategori:
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap
intensif terdiri dari Isoniazid
(H), Rifampisin
(R),
Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan
setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan
tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R),
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat
ini diberikan untuk :
a.
Penderita baru TB Paru BTA positif
b.
Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang
“sakit berat”.
c.
Penderita TB Ekstra Paru Berat
2. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E)
dan suntikan streptomisin setiap hari di unit pelayanan kesehatan
dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R),
16
Pirazinamid (Z) dan Ethambutol
(E)
setiap
hari, setelah
itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa
suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai minum
obat. Obat ini diberikan untuk :
a.
Penderita kambuh (relaps)
b.
Penderita gagal (failure )
c.
Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
3. OAT Sisipan
Akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan
obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 28 hari.
4. Kategori-Anak (2HRZ/4(HR)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien TB anak . Pengobatan TB
anak dalam waktu 6 bulan yang diberikan setiap hari, baik pada
tahap awal maupun lanjutan , dosis obat harus disesuaikan dengan
berat badan anak (Kemenkes, 2012).
2.1.2.7 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan ada 5 macam evaluasi yaitu
1.
Evaluasi Klinis
a.
Pasien dievaluasi setiap 2
minggu pada 1 bulan pertama,
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.
17
b. Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.
c. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan
fisik.
2.
Evaluasi Bakteriologis (0-2-6/9 bulan pengobatan)
a.
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
b.
Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu
Sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan
(setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan .
c.
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi.
3.
Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :
a.
Sebelum pengobatan
b.
Setelah2bulanpengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkankemungkinankeganasandapatdilakukan1bulan
pengobatan) .
c.
4.
Pada akhir pengobatan.
Evaluasi efek samping secara klinis
Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping,
maka dilakukanpemeriksaanlaboratoriumuntukmemastikannya dan
penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
18
5.
Evaluasi keteraturan berobat
Yang
tidak kalah pentingnya
adalah evaluasi
keteraturan
berobat dan diminum/tidaknya obat tersebut. Ketidakteraturan
berobat akan menyebabkan timbulnya
masalah resistensi.
(PDPI(2006) dalam Puri 2012).
2.1.2.8 Kriteria Keberhasilan
Seorang penderita TBC dikatakan sembuh apabila dalam
pemeriksaan laboratorium dengan menunjukkan spesimen sputum
negatif
dan
rontgen
dada
menunjukan
hasil
gambaran
tuberkulosis pasif . Selain dari hasil pemeriksaan laboratoium,
penderita tuberkulosis dikatakan sembuh jika tanda dan gejala
tuberkulosis lokal dan sistemik seperti batuk jangka lama dan
berdarah, sesak nafas , nyari dada, keringat dingin tidak muncul
kembali setelah masa pengobatan tuntas
selama
6-8 bulan
(Muttaqien (2008) dalam Firdaus (2012)).
2.1.2.9 Program DOTS di Indonesia
Penyebab
tuberculosis
penyakit
dan
tuberkulosis
mycobacterium
adalah
bovis.
mycobacterium
Kuman
tersebut
mempunyai ukuran 0.5-4 mikron x 0.3-0.6 mikron dengan bentuk
batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranuler atau tidak
mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang
terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri TBC
mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian
19
warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam
(BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman
tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman dan anaerob (Widoyono, 2008).
DOTS (Directly Observed
Treatment
Shortcourse) adalah
untuk strategi yang dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar
di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB. Strategi
ini terdiri dari lima komponen, yaitu :
1.
Komitmen politis
Komitmen politis adalah suatu komitmen mulai dari pengambil
keputusan termasuk dalam hal keberlangsungan pendanaan,
para pelaksana di fasilitas pelayanan kesehatan dalam
pengendalian program TB serta komitmen pasien dalam
menyelesaikan pengobatan TB sampai sembuh.
2.
Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
Pemeriksaan
dahak
dilaksanakan
dengan
mikroskopis
langsung. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan
ditemukannya
dengan
ditemukan
kuman
TB
(BTA/Basil Tahan Asam).
3.
Pemberian OAT dengan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pengobatan OAT jangan pendek yang tersandar bagi semua
kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, dengan
pengawasan langsung menelan obat.
20
4.
Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang disediakan pemerintah
untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan
dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi
menjamin ketersediaannya.
5.
Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan (Kemenkes, 2012).
Mulai tahun 1995 program pengendalian TB mengadopsi
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
yang direkomendasikan oleh WHO. Strategi DOTS telah
dibuktikan
dengan
berbagai
uji
coba
lapangan
dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank dunia
menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang
paling cost effektive. Satu studi cost benefit yang dilakukan
WHO di Indonesia menggambarkan bahwa setiap satu dolar
yang
digunakan
untuk
membiayai
program
nasional
pengendalian TB, akan menghemat sebesar 55 dollar selama
20 tahun (Kemenkes, 2012).
Sejak DOTS diterapkan
secara
intensif
terjadi
penurunan angka kesakitan TB menular yaitu pada tahun
2001 sebesar 122
per
100.000 penduduk dan pada tahun
2005 menjadi 107 per 100.000 penduduk. Hasil yang dicapai
21
Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah
meningkat. Angka
ditemukan
pada
penemuan
kasus
TB
menular
tahun 2004 sebesar 128.981 orang (54%)
meningkat menjadi 156.508 orang (67%) pada tahun 2005.
Keberhasilan
pengobatan TB dari 86,7% pada kelompok
penderita yang ditemukan pada tahun 2003 meningkat menjadi
88,8% pada tahun 2004 (DepKes, 2004). Penguatan strategi
DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya MDR-TB (DepKes, 2007).
2.1.2.10
Pengawas Menelan Obat
Pengawas menelan obat (PMO) adalah seseorang yang
membantu pemantauan pasien selama masa pengobatan hingga
sembuh. Pasien memerlukan pemantauan secara ketat dan rutin
untuk melihat reaksi terhadap obat yang diberikan dan untuk
mengetahui efek samping pengobatan. Untuk mendapatkan
kepatuhan yang tinggi dalam pengobatan diperlukan seorang
PMO
untuk
memantau
pengobatan
dan
mengingatkan
pemeriksaan yang dilakukan (Kemenkes, 2012). Pengawas
menelan obat (PMO) adalah seseorang yang ditunjuk dan
dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita dalam
meminum obat secara teratur dan tutas, PMO bisa berasal dari
22
keluarga, tetangga, kader, tokoh masyarakat atau petugas
kesehatan (Krisnawati (2010) dalam Novita (2012)). Melihat
kedua pendapat tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa
pengawas menelan obat (PMO) adalah seseorang yang
membantu pemantauan pasien selama masa pengobatan hingga
sembuh, PMO bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader, tokoh
masyarakat atau petugas kesehatan. Adapun peran PMO adalah
sebagai berikut:
1.
Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal
hingga sembuh
2.
Mendampingi pasien pada saat kunjungan ke puskesmas
dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat
menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur.
3.
Mengingatkan
pasien
datang
ke
puskesmas
untuk
mendapatkan pengobatan.
4.
Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping obat
dan menghubungi unit pelayanan kesehatan,
5.
Memberikan penyuluhan kepada pasien atau orang yang
tinggal serumah tentang penyakit kusta (Kemenkes, 2012).
23
2.2
Keaslian Penelitian
Tabel 2.1 Keaslian penelitian
No
1
2
Nama
Peneliti
(th)
Wahyudi
,Eko
(2010)
Puri,
Nomi
Anindita
(2010)
Judul
Penelitian
Metode
Penelitian
Sampel
Hasil
Hubungan
Pengetahua
n, Sikap dan
Motivasi
Kader
dengan
Penemuan
Suspek
Tuberkulosi
s Paru di
Puskesmas
Sanankulon
Hubungan
Kinerja
Pengawas
Minum
Obat
(PMO)
dengan
Kesembuha
n Pasien TB
Paru Kasus
Baru
Strategi
DOTS
Metode penelitian
ini menggunakan
korelasional
dengan
menggunakan
pendekatan cross
sectional
Teknik
proportional
random
sampling.
Hasil
penelitian
terdapat hubungan
yang positif dan
signifikan
antara
pengetahuan, sikap
dan motivasi kader
dengan
penemuan
suspek Tuberkulosis
Paru di Puskesmas
Sanankulon,
baik
secara
simultan
maupun parsial.
Data yang terkumpul
dianalisa
dengan
rumus chi square.
Dari
penelitan
didapatkan OR =
4.2, χ2 hitung 4.6,
dan p = 0.029. Taraf
signifikansi 0,05 dan
derajat kebebasan 1.
Secara statistik dapat
disimpulkan bahwa
terdapat hubungan
yang
kuat
dan
bermakna
antara
kinerja PMO dengan
kesembuhan
TB
paru kasus baru
strategi DOTS.
Deskriptif analitik Teknik
dengan
purposive
pendekatan Cross sampling
Sectional
24
2.3 Kerangka Teori
Tuberkulosis
Pengobatan Obat Anti
Tuberkulosis
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan PMO:
1. Pendidikan
2. Pengalaman
3. Informasi
4. Lingkungan Budaya
5. Sosial ekonomi
Tingkat Keberhasilan
Kesembuhan Penderita
Tuberkulosis
1. Berhasil
2. Tidak Berhasil
Karakter Penderita:
Jenis kelamin, Umur ,
Suku/etnik, Pendidikan,
Pekerjaan, Status
perkawinan
Gambar1.Kerangka Teori menurut Kemenkes (2012)
25
2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Bebas
Tingkat
pengetahuan
pengawas
menelan obat
(PMO) tentang
penyakit
tuberkulosis
Variabel Terikat
Keberhasilan
pengobatan tuberkulosis
Gambar 2. Kerangka Konsep
2.5 Hipotesis Penelitian
Ha : Ada hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO)
dengankeberhasilan pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas
Kartasura.
Ho : Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat
(PMO) dengankeberhasilan pengobatan tuberkulosis
puskesmas Kartasura.
di wilayah kerja
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan
studi retrospektif. Penelitian analitik adalah penelitian yang menganalisis
hubungan antara faktor resiko (faktor yang mempengaruhi efek) dengan
faktor efek (faktor yang dipengaruhi oleh resiko) (Priyanto, 2011). Studi
retrospektif yaitu peneliti mengobservasi keadaan pada saat ini dan menilai
faktor resiko masa lalu untuk mengetahui ada tidaknya faktor resiko yang
dialami (Saryono, 2010). Pada penelitian ini menganalisis hubungan antar
variabel yaitu tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO) tentang
penyakit tuberkulosis (TBC) dengan tingkat keberhasilan pengobatan
tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Menurut
Riyanto (2010), disebutkan bahwa penelitian cross sectional adalah suatu
penelitian yang mempelajari hubungan antara faktor resiko (independen)
dengan faktor efek (dependen) dimana melakukan observasi/pengukuran
variabel sekali dan sekaliguspada waktu yang sama. Arti dari “sekali dan
sekaligus” tidak berarti semua responden di ukur dan diamati pada saat yang
bersamaan, tetapi artinya dalam penelitian cross sectional setiap responden
hanya hanya di observasi satu kali saja dan pengukuran variabel responden
dilakukan pada saat pengamatan/pengukuran tersebut, kemudian peneliti
26
27
tidak melakukan tindak lanjut. Pada penelitian ini, dalam sekali waktu
peneliti menyebarkan kuisioner pada pengawas menelan obat (PMO) pasien
TB di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono,
2010). Jumlah pasien TB di wilayah puskesmas Kartasura tahun 2014 adalah
31 orang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengawas menelan
obat (PMO) pasien TB di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki dari
populasi. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Menurut Sugiono (2003) dalam Saryono dan Setiawan (2010),
disebutkan bahwa teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang
telah ditentukan. Untuk mendapatkan data sesuai dengan fokus penelitian ini,
maka peneliti menentukan sampel penelitian dengan kriteria inklusi sebagai
berikut:
a. Pasien TB sudah melakukan pengobatan selama 6 bulan.
b. Setiap pasien diambil 1 PMO yang bisa membaca dan menulis.
c. PMO berada pada wilayah kerja puskesmas Kartasura saat dilakukan
penelitian.
28
Adapun kriteria eksklusi adalah sebagai berikut:
a. PMO TB yang tidak bersedia menjadi responden.
b. Pasien berada diluar wilayah kerja puskesmas Kartasura saat dilakukan
penelitian.
Jumlah yang sesuai dengan kriteria inklusi adalah 31 responden.
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas Kartasura
pada bulan Desember 2014 - Mei 2015.
3.4 Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan
pengawas menelan obat tentang penyakit tuberkulosis. Variabel
dependen
dalam penelitian ini adalah keberhasilan pengobatan tuberculosis di wilayah
kerja puskesmas Kartasura.
29
No
1.
2.
Variabel
Definisi
Operasional
Tingkat
Hasil
pengetahuan pengetahuan
seseorang
pengawas
menelan
pengawas
obat
menelan obat
terhadap
penyakit
TBC dicakup
dalam
domain
kognitif
Tingkat
keberhasilan
pengobatan
tuberkulosis
Alat Ukur
Skala
Parameter
Kuisioner
Ordinal
Pengetahuan
baik
jika skor 76 %100%.
Ketercapaian Dokumen
proses
TB 01
pengobatan
tuberkulosis
yang ditandai
dengan tidak
munculnya
tanda
dan
gejala
tuberkulosis
dan
pemeriksaan
laboratorium
Pengetahuan cukup
jika skor 56%-75%.
Pengetahuan kurang
jika skor <56%
(Arikunto
(2006)
dalam Wawan dan
Dewi (2011).
Nominal
Berhasil: jika data
puskesmas
menunjukkan
pengobatan tuntas
Tidak berhasil: jika
data puskesmas
menunjukkan hasil
yang tidak tuntas
dalam pengobatan
(Kemenkes, 2012)
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
3.5.1 Alat Penelitian
Menurut Arikunto (2010), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas
yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan,
sistematis sehingga lebih mudah diolah. Alat pengumpulan data yang
digunakan pada saat penelitian adalah sebagai berikut:
30
1. Instrumen yang digunakan untuk mengukur tentang tingkat pengetahuan
pengawas menelan obat tentang penyakit TBC adalah kuisioner. Adapun
kisi-kisinya adalah sebagai berikut:
No
Sub variabel
No Item
Favorauble
Jumlah
Unfavorable item
1.
Definisi TBC
1
2
2
2.
Etiologi TBC
3,4
5,6
4
3.
Cara penularan TBC
7,8
9,10
4
4.
Gejala dan diagnosis
11,13,15,16
12,14
6
17,18,19
20
4
12
8
20
TBC
5.
Peran PMO
Jumlah
2. Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan
pengobatan tuberkulosis peranan dalam penemuan suspek TBC
di
wilayah kerja puskesmas Kartasura adalah Dokumen TB 01.
3.5.2 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
membagikan kuesioner dalam bentuk angket tertutup yang sifatnya
terstruktur dan terpimpin, sehingga pertanyaan yang diajukan pada
responden sama dan terarah dan tidak terjadi bias pada responden. Pada
penelitian ini kuesioner dibagikan pada pengetahuan petugas kesehatan
dengan menjelaskan maksud pertanyaan dan memberi kesempatan pada
pengetahuan petugas kesehatan untuk bertanya tentang hal-hal yang tidak
dimengerti.
31
Pengumpulan data yang lain dilakukan dengan cara pengumpulan
data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada di tempat
penelitian berupa jumlah suspek yang ditemukan (Dokumen TB 06) oleh
petugas kesehatan dan data lain yang menunjang penelitian.
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen penelitian sebelum digunakan untuk pengumpulan data
terlebih dahulu dilakukukan uji coba kuisioner di puskesmas Baki terhadap
20 responden kemudian di uji validitas dan reliabilitas. Adapun uji validitas
dan realiabilitasnya adalah sebagai berikut:
3.6.1 Uji Validitas
Menurut Sugiyono (2010), disebutkan bahwa validitas adalah
derajad ketepatan antara data yang terjadi pada penelitian dengan daya
yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dalam penentuan valid atau
tidaknya suatu item yang digunakan, peneliti menggunakan uji validitas
item yaitu Pearson Product Moment.
Adapun rumus Pearson Product Moment adalah sebagai berikut :
r ix =
{nSx
nSxy - (Sx )(Sy )
2
}{
- (Sx ) nSy 2 - (Sy )
2
Keterangan:
r
x
y
xy
n
= koefisien korelasi
= skor obyek pada item
= skor total
= skor pertanyaan
= banyaknya subyek
2
}
32
Item pernyataan dikatakan valid apabila:
a. Jika r hitung lebih besar sama dengan r tabel (uji 2 sisi dengan sig.
0,05) maka butir pertanyaan dinyatakan valid.
b.Jika r hitung kurang dari r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka
butir pertanyaan dinyatakan tidak valid.
r tabel dalam penelitian ini adalah 0, 444.
Uji validitas pada item pertanyaan kuisioner dilakukan pada
responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan sampel
penelitian. Uji validitas dilakukan di Puskesmas Baki pada bulan April.
Setelah dilakukan uji validitas pada kuesioner tingkat pengetahuan
pengawas menelan obat (PMO) didapatkan hasil bahwa item soal no. 13
dan 20 dinyatakan tidak valid karena nilai r hitung lebih kecil dari nilai r
tabel dengan taraf signifikansi 5% (0,444). Selanjutnya item pertanyaan
yang tidak valid tidak diikutsertakan dalam item pertanyaan dalam
kuesioner karena indikator sudah terwakili pada item pertanyaan yang
telah
valid.
Sehingga
dalam
penyusunan
kuesioner
penelitian
menggunakan kisi-kisi untuk mengukur peranan pengawas menelan
obat (PMO dengan jumlah pertanyaan sebanyak 18 item pertanyaan.
33
3.6.2 Uji reliabilitas
Uji reliabilitas adalah uji yang digunakan untuk derajad konsistensi
dan stabilitas data. Penguji reliabilitas ini menggunakan Alfa Cronbach
(Sugiyono, 2012).
Rumus Alfa Cronbach adalah sebagai berikut:
ri =
2
k ì
ï
ï å Si ü
1
í
2
(k - 1) ïî S t ýïþ
Keterangan :
k
åS
S t2
= Means kudrat subjek
2
i
= Means kuadrat kesalahan
= Varians total
Setelah diperoleh
harga
rhitung ,
selanjutnya
untuk dapat
diputuskan instrumen reliabel atau tidak, harga tersebut dikonsultasikan
dengan harga rtabe l (Sugiyono, 2010). r tabel dalam penelitian ini adalah
0,6. Semakin tinggi koefisien korelasi berarti konsistensi antara dua tes
tersebut dikatakan semakin reliabel. Sebaliknya apabila dua tes dianggap
paralel menghasilkan skor yang satu sama lain berkorelasi rendah, maka
dikatakan hasil tes tersebut tidak tinggi. Uji reabilitas di Puskesmas Baki.
Hasil uji validitas dan reliabilitas kuisioner tentang hubungan
tingkat pengethuan pengawas menelan obat (PMO) dengan keberhasilan
pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kartsura terhadap
20 item pertanyaan didapatkan hasil bahwa item soal no 13 dan 20
dinyatakan tidak reliabel karena nilai r hitung lebih kecil dari nilai r tabel
34
dengan taraf signifikasi 5% (0,6). Dari hasil uji reliabilitas menunjukkan
kuesioner hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO)
terhadap keberhasilan pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Kartasura dinyatakan reliabel. Hasil uji validitas dan
reliabilitas dapat dilihat pada lampiran.
3.7 Tehnik Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan data
Sebelum melakukan analisis data, data diolah untuk memudahkan dalam
analisis data sehingga data tersebut menjadi sumber informasi. Data-data
hasil jawaban dalam penelitian ini diolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Editing
Memastikan kembali bahwa tiap-tiap kuesioner apakah sudah dijawab
lengkap.
b. Coding
Memberikan
kode-kode
angka
pada
alat
penelitian
untuk
memudahkan dalam analisa data.
c. Tabulating
Setelah semua data selesai diedit dan dilakukan pengkodean,
selanjutnya dilakukan tabulasi
data (memasukkan data) agar dapat
dianalisis. Tabulasi data dilakukan dengan memasukkan data ke dalam
program komputer.
35
3.7.2 Analisis Data
Adapun analisis yang digunakan adalah:
a.
Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan untuk
melihat distribusi frekuensi baik dari varibael independen maupun
variabel dependen. Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel
dalam penelitian. Analisa ini hanya menyederhanakan atau
meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa
sehingga
kumpulan
(Notoatmojo,
data
menjadi
informasi
yang
berguna
2010). Adapun analisis univariat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah distribusi frekuensi. Dari hasil observasi
dilakukan analisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi
yang akan disajikan dalam bentuk diagram dan grafik. Adapun rumus
distribusi frekuensi menurut Machfoedz (2009) adalah sebagai
berikut:
P=
x
× 100 %
n
Keterangan :
P = prosentase
x = jumlah seluruh jawaban yang benar dari seluruh responden
n = jumlah item pertanyaan × jumlah responden
b.
Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk melihat
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Analisis
bivariat
adalah
analisis
yang
digunakan
untuk
mengetahui
36
hubungan antara dua variabel. Pada penelitian ini dianalisis dengan
uji uji Chi Kuadrat menggunakan software SPSS 16. Uji Chi Kuadrat
yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi terdiri
atas dua variabel atau lebih dan data berbentuk nominal dan ordinal.
X2 = å
(f 0 - f h ) 2
fh
Keterangan:
X : Chi-Square
fo : Frekuensi yang diteliti
fh : Frekuensi yang diharapkan
Dalam melakukan uji Chi Square, harus memenuhi syarat:
a. Tidak boleh ada nilai 0 pada setiap sel
b. Setiap sel, nilai kurang dari 5 maksimal 20%
Interpretasi hasil uji :
Jika P value > nilai alpha (0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak
yang berarti tidak pengaruh peranan pengawas menelan obat (PMO)
terhadap keberhasilan pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Kartasura.
Jika P value ≤ nilai alpha (0,05) maka Ha diterima dan Ho ditolak
yang berarti ada pengaruh peranan pengawas menelan obat (PMO)
terhadap keberhasilan pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Kartasura.
37
3.9
Etika Penelitian
Etika penelitian adalah etika yang mencakup norma untuk
berperilaku, memisahkan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan
dalam penelitian ini berkaitan dengan etika keperawatan
1.
Informed consent
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent
diberikan sebelum penelitian penelitian dilakukan dengan memberikan
lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent
agar subjek mengerti maksud, tujuan dan mengetahui dampaknya.
2.
Anonimity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil yang akan
disajikan.
3.
Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya.
Semua
informasi
yang
telah
dikumpulkan
dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil penelitian.
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian
dengan
judul
“Hubungan
Tingkat
Pengetahuan
Pengawas Menelan Obat dengan Tingkat Kesembuhan Pasien Tuberkulosis
di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura” dilaksanakan di wilayah Kerja
Puskesmas Kartasura pada Desember 2014 - Juli 2015. Puskesmas
Kartasura beralamat di jalan Jendral Sudirman, Pucangan, Kartasura,
Sukoharjo. Puskesmas Kartasura mempunyai unit rawat inap dan rawat
jalan. Puskesmas Kartasura adalah penggabungan antara Puskesmas
Kartasura I dengan Kartasura II. Pelayanan kesehatan di puskesmas
Kartasura terdiri dari pelayanan di Puskesmas Induk Kartasura serta
pelayanan di Puskesmas Pembantu. Puskesmas pembantu antara lain Pustu
Pabelan, Pustu Makamhaji, Pustu Wirogunan dan Pustu Ngemplak.
Karyawan di puskesmas Kartasura terdiri dari petugas kesehatan dan
petugas non kesehatan. Petugas kesehatan terdiri dari dokter berjumlah 7
orang, perawat berjumlah 20 orang serta bidan berjumlah 23 orang.
Wilayah kerja puskesmas Kartasura membawahi 10 desa dan 2
kalurahan. Wilayah desa antara lain: Ngempak, Pucangan, Kertonatan,
Wirogunan, Ngabeyan, Singopuran, Gonilan, Pabelan, Gumpang dan
Makamhaji. Wilayah kelurahan antara lain : kelurahan Kartasura dan
Ngadirejo.
38
39
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik cross
sectional. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 30
responden.
4.2 Karakteristik Responden.
Karakteristik pengawas menelan obat (PMO) pada penderita
tuberkulosis dari 30 responden dapat lihat pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4.1 Jenis kelamin pengawas menelan obat (PMO) kusta.
No
Jenis Kelamin PMO
Jumlah responden
1
2
Laki-laki
Perempuan
Total
Sumber data primer bulan April 2015
9
21
30
Tabel 4.1 menunjukkan jenis kelamin
Presentase
(%)
30
70
100
pengawas menelan obat
(PMO) pada penderita tuberkulosis. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa jenis kelamin pengawas menelan obat (PMO) paling banyak adalah
perempuan yaitu sebanyak 21 responden (70%).
Tabel 4.2 Usia pengawas menelan obat (PMO) tuberkulosis.
No
1
2
3
4
5
Usia PMO
Jumlah responden
21-30
31-40
41-50
51-60
>60
Total
Sumber data primer bulan April 2015
11
4
9
6
0
30
Presentase
(%)
37
13
30
20
0
100
Tabel 4.2 menunjukkan usia pengawas menelan obat (PMO) pada
penderita tuberkulosis. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis
40
kelamin pengawas menelan obat (PMO) paling banyak adalah usia 21-30
tahun yaitu sebanyak 11 responden (37%).
Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan pengawas menelan obat (PMO)
tuberkulosis
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah responden
PMO
1
SD
0
2
SMP
7
3
SMA
18
Perguruan Tinggi
5
4
Total
30
Sumber data primer bulan April 2015
Presentase
(%)
0
23
60
17
100
Tabel 4.3 menunjukkan tingkat pendidikan pengawas menelan obat
(PMO) pada penderita tuberkulosis Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa tingkat pendidikan pengawas menelan obat (PMO) paling banyak
adalah SMA yaitu sebanyak 18 responden (60%).
4.3 Tingkat
pengetahuan
pengawas
menelan
obat
tentang
penyakit
tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
Tingkat pengetahuan pengawas menelan obat tentang penyakit
tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja puskesmas Kartasura dari 30 responden
dapat lihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 4.4 Pengetahuan pengawas menelan obat tentang
penyakit tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja
puskesmas Kartasura.
No Pengetahuan
Jumlah responden
1
Baik
22
2
Cukup
4
3
Kurang
4
Total
30
Sumber data primer bulan April 2015
Presentase
(%)
74
13
13
100
41
Tabel 4.4 menunjukkan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat
tentang penyakit tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan petugas
kesehatan tentang penyakit tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja puskesmas
Kartasura paling banyak adalah tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 24
responden (80%).
4.4
Tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja
puskesmas Kartasura.
Peranan petugas kesehatan dalam penemuan suspek TBC di
wilayah kerja puskesmas Kartasura dari 30 responden dapat lihat pada tabel
4.5 di bawah ini.
Tabel 4.5 Tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TBC)
di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
No
Tingkat Keberhasilan
Pengobatan
Berhasil
Tidak Berhasil
Jumlah responden
1
27
2
3
Total
30
Sumber data primer bulan April 2015
Tabel
4.5
menunjukkan
Presentase (%)
90
10
100
tingkat
keberhasilan
pengobatan
tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Kartasura. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis di
wilayah kerja puskesmas Kartasura paling banyak adalah berhasil yaitu
sebanyak 27 responden (90%).
42
4.5
Hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO) dengan
tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas
Kartasura.
Analisa yang dilakukan untuk mengetahui jawaban dari hipotesa
penelitian yang diajukan adalah analisis chi-square yaitu hubungan tingkat
pengetahuan pengawas menelan obat (PMO) dengan tingkat keberhasilan
pengobatan tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Kartasura.
Hasil analisis data adalah sebagai berikut.
Tabel 4.6 Analisa hubungan tingkat pengetahuan pengawas
menelan obat (PMO) dengan keberhasilan
pengobatan tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja
puskesmas Kartasura.
Variabel
Tingkat Kesembuhan
Berhasil
Tidak Berhasil
n
%
n
%
Tingkat
Baik
22
82
0
0
pengeta-
Cukup
3
11
1
33
huan
Kurang
2
7
2
67
27
100
3
100
Total
X2
0,005
Kesimpulan
Signifikan
Sumber data primer bulan April 2015
Hasil uji chi square nilai p value 0.005 (nilai p<0.05) maka berdasar nilai
statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi
ada hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO) dengan
tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja puskesmas
Kartasura.
43
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan
penelitian
dengan
judul
“Hubungan
Tingkat
Pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Tingkat Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis (TBC) di wilayah Kerja Puskesmas Kartasura”
dilaksanakan di wilayah Kerja Puskesmas Kartasura pada November 2014 Juli 2015 didapatkan hasil:
5.1 Karakteristik Responden.
Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jenis
kelamin dan tingkat pendidikan petugas kesehatan di wilayah kerja
puskesmas
Kartasura.
Berdasarkan
penelitian
yang dilakukan
di
Puskesmas Kartasura didapatkan hasil bahwa prosentase paling banyak
adalah umur 21-30 tahun sebanyak 11 responden (37%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas
Kartasura dengan 30 responden didapatkan hasil bahwa prosentase paling
banyak adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 21 responden (70%).
Hasil penelitian Puri (2010) menunjukkah bahwa tidak ada hubungan
antara jenis kelamin responden dengan tingkat kesembuhan pasien
tuberkulosis. Hasil penelitian Puri tidak sesuai dengan teori Green (1991),
dimana jenis kelamin termasuk faktor predisposing terjadinya perubahan
perilaku seseorang. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun jumlah
43
44
pengawas menelan obat laki-laki lebih sedikit dari pada perempuan, akan
tetapi dalam peran mengawasi pasien TBC tidak jauh berbeda.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas
Kartasura dengan 30 responden didapatkan hasil bahwa bahwa prosentase
tingkat pendidikan paling banyak adalah pendidikan SMA sebanyak 18
responden (60%). Menurut Notoatmojo (2010), disebutkan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan merupakan
upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan.
Semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin tinggi pula tingkat
pengetahuannya.
5.2 Tingkat pengetahuan pengawas menelan obat tentang di wilayah kerja
puskesmas Kartasura.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tingkat
pengetahuan
pengawas menelan obat (PMO) di wilayah kerja puskesmas Kartasura
paling banyak adalah tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 22
responden (73%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Puri (2010)
dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Kinerja Pengawas Minum
Obat (PMO) dengan Kesembuhan Pasien TB Paru Kasus Baru Strategi
DOTS” bahwa kinerja pengawas menelan obat paling banyak kategori
baik yaitu 37 orang (74%). Notoatmodjo (2010) menyebutkan bahwa
tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman,
sumber informasi, lingkungan budaya dan, sosial ekonomi.
45
Hasil penelitian menunjukkan faktor tingkat pendidikan pengawas
menelan obat sangat penting. Tingkat pendidikan pengawas menelan obat
dengan pendidikan SMA 18 responden (60%). Hal tersebut menunjukkan
faktor tingkat pendidikan pengawas menelan obat mempengaruhi peranan
pengawas menelan obat dalam mendampingi pengobatan tuberkulosis
pasien sampai sembuh.
Peran
pengawas
menelan
obat
meliputi
sebagai
berikut:
memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal hingga sembuh,
mendampingi pasien pada saat kunjungan ke puskesmas dan memberikan
dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan secara
lengkap dan teratur, mengingatkan pasien datang ke puskesmas untuk
mendapatkan pengobatan, menemukan dan mengenali gejala-gejala efek
samping obat dan menghubungi unit pelayanan kesehatan, memberikan
penyuluhan kepada pasien atau orang yang tinggal serumah tentang
penyakit tuberkulosis.
46
5.3 Tingkat Kesembuhan penderita tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja
puskesmas Kartasura.
Hasil penelitian didapatkan hasil bahwa tingkat kesembuhan pasien
tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Kartasura paling banyak adalah
kategori berhasil yaitu sebanyak 27 responden (90%). Hal ini dapat
dibuktikan dengan hasil laporan pengamatan data TB 01. Seorang
penderita TBC dikatakan sembuh apabila dalam pemeriksaan laboratorium
dengan menunjukkan spesimen sputum negatif dan rontgen dada
menunjukan hasil gambaran tuberkulosis pasif. Selain dari hasil
pemeriksaan laboratorium, penderita tuberkulosis dikatakan sembuh jika
tanda dan gejala tuberkulosis lokal dan sistemik seperti batuk jangka lama
dan berdarah, sesak nafas, nyeri dada, keringat dingin tidak muncul
kembali setelah masa pengobatan tuntas selama 6-8 bulan.
Menurut Puri (2010) menyebutkan bahwa faktor mempengaruhi
kesembuhan TB paru tidak hanya dari kinerja PMO saja melainkan dari
faktor pasien dan faktor lingkungan. Kasus penyakit TB sangat terkait
dengan faktor perilaku pasien dan lingkungan. Faktor lingkungan, sanitasi
dan higiene terutama sangat terkait dengan keberadaan kuman, dan proses
timbul serta penularannya. Faktor perilaku sangat berpengaruh pada
kesembuhan yang dimulai dari perilaku hidup sehat (makan makanan yang
bergizi dan seimbang, istirahat cukup, olahraga teratur, hindari rokok,
alkohol, hindari stress), kepatuhan untuk minum obat dan pemeriksaan
rutin untuk memantau perkembangan.
47
Peranan
petugas
kesehatan
juga
mempengaruhi
tingkat
keberhasilan pengobatan tuberkulosis. Peranan petugas kesehatan dalam
program
pemberantasan
tuberkulosis
adalah
mendeteksi
pasien,
melakukan pengobatan, melakukan pengawasan langsung dan mencegah
orang lain terinfeksi (Kemenkes, 2012). Petugas kesehatan merupakan
ujung tombak dalam penemuan, pengobatan dan evaluasi penderita
maupun pelaksana administrasi program di puskesmas. Keberhasilan
dalam pengobatan tuberkulosis dipengaruhi oleh motivasi pasien untuk
sembuh, peran pengawas menelan obat dalam mengawasi pasien menelan
obat serta peran petugas kesehatan yang memberikan pengobatan
tuberkulosis secara berkesinambungan.
Program tuberkulosis yang terpadu memudahkan pasien dapat
mengakses pelayanan penyakit tuberkulosis di puskesmas. DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah untuk strategi yang
dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi
dan menyembuhkan pasien TB.Strategi ini terdiri dari lima komponen,
yaitu : Komitmen politis adalah suatu komitmen mulai dari pengambil
keputusan termasuk dalam hal keberlangsungan pendanaan, para
pelaksana di fasilitas pelayanan kesehatan dalam pengendalian program
TB serta komitmen pasien dalam menyelesaikan pengobatan TB sampai
sembuh. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya,
dilaksanakan dengan mikroskopis langsung. Diagnosis TB Paru pada
orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya dengan ditemukan kuman
48
TB (BTA/Basil Tahan Asam). Pemberian OAT dengan Pengawas
Menelan Obat (PMO). Pengobatan OAT jangan pendek yang tersandar
bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, dengan
pengawasan langsung menelan obat. Jaminan ketersediaan OAT yang
bermutu. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang disediakan pemerintah
untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan
manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya. Sistem
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap
hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan
(Kemenkes, 2012).
5.4 Analisa hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO)
dengan tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TBC) di wilayah
kerja puskesmas Kartasura.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan tingkat
pengetahuan pengawas menelan obat (PMO) dengan tingkat keberhasilan
pengobatan tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja puskesmas Kartasura,
yang dibuktikan dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p value 0.005
(nilai p<0.05).
Hasil analisis tersebut sesuai dengan penelitian Puri (2010) dalam
penelitiannya yang berjudul “Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat
(PMO) dengan Kesembuhan Pasien TB Paru Kasus Baru Strategi DOTS”
bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pengawas
menelan obat dengan tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis.
49
Menurut Notoatmojo (2010) pengaruh pengetahuan terhadap
praktik/peran dapat bersifat langsung maupun melalui perantara sikap.
Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk praktik. Agar terwujudnya sikap
agar menjadi suatu perbuatan yang nyata (praktik/peran) diperlukan faktor
pendukung atau kondisi yang memungkinkan.
50
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di wilayah Puskesmas
Kartasura yang dilaksanakan pada bulan November 2014 - Juli 2015 tentang
pengaruh peranan pengawas menelan obat (PMO) dengan tingkat
kesembuhan pasien tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Kartasura dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
6.1.2 Karakteristik jenis kelamin pengawas menelan obat di Kecamatan
Kartasura paling banyak adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 21
responden (70%), umur paling banyak adalah umur 21-30 tahun
sebanyak 11 responden (37%), tingkat pendidikan paling banyak adalah
pendidikan SMA sebanyak 18 responden (60%).
6.1.2 Tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO) di Puskesmas
Kartasura paling banyak adalah baik
yaitu sebanyak 22 responden
(73%).
6.1.3 Tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis di Puskesmas Kartasura paling
banyak adalah berhasil yaitu sebanyak 27 responden (90%) .
6.1.4 Ada hubungan tingkat pengetahuan pengawas menelan obat (PMO)
dengan tingkat keberhasilan pasien tuberkulosis di wilayah puskesmas
Kartasura.
50
51
6.2 Saran
Dalam penelitian mengenai tingkat pengetahuan pengawas menelan
obat (PMO) dengan tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
6.2.1 Bagi petugas kesehatan
Petugas kesehatan
harus meningkatan kemampuannya dalam
menangani masalah tuberkulosis dengan cara melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi atau mengikuti pelatihan tuberkulosis.
6.2.2 Bagi Puskesmas Kartasura
Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo mengadakan supervisi
petugas tuberkulosis secara periodik dan memberikan reward kepada
petugas program tuberkulosis agar petugas mempunyai motivasi
memberikan penyuluhan kesehatan pada penderita tuberkulosis dan
pengawas menelan obat (PMO).
6.2.3 Bagi Pengawas Menelan Obat
Pengawas menelan obat hendaknya melakukan perannya secara
maksimal dalam mendampingi pasien tuberkulosis dalam pengobatan
tuberkulosis mulai dari mendampingi pasien dalam pengobatan
sampai memberikan penyuluhan kusta pada keluarga terdekat.
52
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta: Kompas
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka.
Jakarta.
Bakti, Martinda. 2009. “Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Kesehatan
Reproduksi dengan Perilaku Seksual Remaja Siswa-siswi SMAN 1
Sukoharjo”. Karya Tulis Ilmiah. Tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Darwis dan Sudarwan, D., 2003. Metodelogi Penelitian Kebidanan. EGC. Jakarta.
Dewi dan Wawan. 2014 . Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Nuha Medika. Yogyakarta.
Dewi, P. 2010 . Virologi mengenal virus, Penyakit dan Pencegahannya. Nuha
Medika. Yogyakarta.
Firdaus, K. 2012. “Pengaruh Peranan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap
Keberhasilan pengobatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Baki
Sukoharjo ”. Skripsi. Tidak diterbitkan. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Hidayat, A. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Tekhnik Analisis Data.
Salemba Medika. Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012 (a), Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012(b). Jejaring Program Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012(c). Komunikasi, Informasi dan Edukasi Tuberkulosis.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
53
Kemenkes R.I. 2012 (c). Monitoring dan Evaluasi Program Pengendalian
Tuberkulosis. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012 (d). Program Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
Machfoed, I. 2009. Metodelogi Penelitian. Fitramaya. Yogyakarta.
Mansjoer, Arif. et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III. Media.
Aesculapius,Jakarta.
Maryun, Yayun. 2007. “ Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja
Petugas Program TB Paru terhadap Cakupan Penemuan Kasus Baru
BTA (+) di kota Tasik Malaya Tahun 2006”. Tesis. Program Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Mifbakhudin, dkk. 2013. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan
Penyakit Tuberkulosis (TBC) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mangkang
Semarang
Barat”.
Artikel
Ilmiah,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=98549&val=5089
diakses tanggal 7 Januari 2014
Notoatmodjo, S. 2010 (a). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2010 (b). Metodologi Penelitian Kesehatan (edisi revisi).
Jakarta: Rineka Cipta.
Priyanto, D. 2009. Mandiri Belajar SPSS. Mediakom. Yogyakarta.
Puri, N. 2010. “Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan
Kesembuhan Pasien TB Paru Kasus Baru Strategi DOTS”. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Rahmawati, E. & Atikah, P., 2011. Perlaku Hidup Bersih dan Sehat. Nuha
Medika. Yogyakarta.
Salamah dan Suyanto. 2008. Riset Kebidanan Metodelogi dan Aplikasi. Mitra
Cendikia press. Yogyakarta.
Saryono dan Setiawan, A. 2010. Metodelogi Penelitian Kebidanan D III, D IV, S1
dan S2. Muhamedika. Yogyakarta.
54
Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Bandung.
Suwandi, dkk. 2014. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Angka
Kesembuhan dan Angka Penemuan Kasus Tuberkulosis di Kota
Semarang Tahun 2014”. Artikel Ilmiah. Fakultas Kedokteran
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta.
http://eprints.dinus.ac.id/6659/1/jurnal_13746.pdf. Diakses tanggal 7
Januari 2014.
Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Bandung.
Wahyudi, E. 2010. “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Kader dengan
Penemuan Suspek Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sanankulon”. Tesis.
Tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasan.Erlangga. Semarang.
Zulkani, Akhsin. 2008. Parasitologi. Muhamedika. Yogyakarta
Download