Saatnya Industri Kehutanan Melaksanakan Komitmen Perlindungan

advertisement
Siaran Pers Eyes on the Forest - 26 April 2017
Untuk disiarkan segera
Saatnya Industri Kehutanan Melaksanakan Komitmen Perlindungan
Gambut, Jangan Lagi Mencari Alasan
PEKANBARU (26 April 2017) – Keberatan dari industri kehutanan dan kelapa sawit untuk segera
mematuhi Peraturan terkait pengelolaan dan perlindungan gambut seperti dituangkan dalam Peraturan
Menteri Nomor 17 tahun 2017 menunjukkan lemahnya komitmen mereka terhadap perbaikan
pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan. Saatnya industri HTI dan sawit menghentikan kerakusan
dan fokus mendukung upaya restorasi gambut mengingat besarnya kerugian ekologi, sosial dan ekonomi
yang ditanggung bangsa ini akibat perusakan gambut.
“Sikap resistensi yang ditunjukkan pelaku bisnis industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit ini
sangat kontraproduktif dengan semangat memperbaiki lingkungan hidup dan tata kelolanya, terutama
perlindungan hutan dan lahan gambut,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau.
“Rendahnya komitmen pihak industri terhadap kepedulian pada perlindungan gambut dan restorasinya,
cukup memprihatinkan.”
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.17/MENLHK /SETJEN/KUM.1/2/2017 tahun
2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor
P.12/MENLHKi/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri secara tegas mengatur adanya
kewajiban pemulihan gambut yang rusak maupun alokasi Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut
dalam tata ruang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).
“Permen LHK nomor 17 ini merupakan koreksi terhadap tata kelola ekosistem gambut dalam areal HTI ,
karena rusaknya gambut telah membuat Negara, dan kawasan regional menderita kebakaran hutan dan
bencana asap yang tak hentinya selama 19 tahun,” ujar Riko Kurniawan. “Komitmen kelestarian industri
kehutanan terbukti hanya lips service jika mereka selalu memprotes peraturan yang mendukung
perlindungan hutan dan gambut. Padahal, inilah akar persoalan maraknya bencana asap dan kerusakan
lingkungan yang luar biasa merugikan dari segala aspek.”
Di berbagai media, industri pulp dan kertas maupun industi sawit sering menyayangkan berkurangnya
lahan pengelolaan mereka akibat Permen nomor 17 yang misalnya melindungi kawasan fungsi lindung
ekosistem gambut di dalam konsesi HTI dan larangan untuk menanam lagi di kawasan tersebut.
“Hasil temuan investigasi kami berulangkali menunjukkan gagalnya pengelola HTI dan kelapa sawit
melindungi konsesi mereka dari pembukaan kanal gambut, pembakaran maupun perambahan,” kata
Nursamsu dari WWF-Indonesia. “Adanya aturan pemilahan area konsesi untuk restorasi dan fungsi
lindung ekosistem gambut merupakan solusi dalam mengatasi pengrusakan hutan dan gambut di konsesi
HTI. Harusnya mereka mendukung dan membuang paradigma lama yang menjalankan bisnis tanpa
memperhatikan aspek lingkungan hidup dan konservasi.”
Koalisi EoF menganggap adanya kabar akan banyaknya pekerja industri kertas dan pulp dirumahkan dan
kinerja mengalami penurunan tak lebih sebagai taktik lama industri HTI , seperti juga pernah dilakukan
ketika operasi penertiban terhadap konsesi HTI yang merusak lingkungan pada 2007-2008 di Riau.
“Kami tak heran kalau isu pekerja dan masyarakat sekitar hutan, termasuk isu penurunan kontribusi
PNBP dan devisa negara dari kedua industri tersebut kembali diangkat untuk mengancam Pemerintah
yang berada pada jalur yang benar,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari. “Kami harap
Pemerintah cukup cermat melihat hal ini, dan tetap konsisten dengan komitmen pengelolaan dan
perlindungan gambut; karena melindungi hutan alam dan gambut adalah juga investasi jangka panjang
yang akan melindungi ratusan juta penduduk Indonesia dari resiko bahaya.”
Untuk itu koalisi EoF merekemendasikan sebagai berikut:
1. MenLHK untuk secara tegas mengimplementasikan peraturan terkait pengelolaan dan
perlindungan gambut.
2. Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Perpres moratorium sawit.
3. Pemerintah melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada pihak bisnis dan DPR terkait dengan
semua peraturan baru soal restorasi gambut dan perlindungannya
4. Meminta asosiasi pengusaha hutan dan pengusaha sawit untuk aktif mendukung implementasi
peraturan terkait pengelolaan dan perlindungan gambut.
#SELESAI#
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Woro Supartinah : 0813 1756 6965
Riko Kurniawan : 0811 6900 097
Nursamsu : 0811 7582 217
Catatan untuk Redaksi:
Tentang EoF
Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera: WALHI Riau, Jikalahari
"Jaringan Penyelamat Hutan Riau”, dan WWF-Indonesia Program Central Sumatra. EoF memiliki
jaringan Kalimantan (Yayasan Titian, Kontak Rakyat Borneo, POINT, Environmental Law
Clinic, Gemawan, JARI Borneo Barat, Swandiri Institute dan WWF-Indonesia
Kalbar) serta di Jambi dengan anggota KKI WARSI Jambi. EoF memonitor status hutan alam di
Sumatera dan Kalimantan dan mendesiminasikan informasi tersebut ke pembaca di seluruh dunia.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Eyes on the Forest, kunjungi:
http://www.eyesontheforest.or.id Email: [email protected]
Tentang Permen LHK no. 7/2017
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.17/MENLHK /SETJEN/KUM.1/2/2017 tahun
2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor
P.12/MENLHKi/2015 dan peraturan terkait perlindungan gambut bisa diakses di:
http://www.menlhk.go.id/berita-164-kumpulan-peraturan-menteri-lingkungan-hidup-dan-kehutanantahun-2017.html
Download