2 Dewasa ini kasus kekerasan dalam rumah tangga

advertisement
Dewasa ini kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak
muncul di kalangan masyarakat. Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
didominasi oleh anak-anak dan perempuan. Sebuah surat kabar harian daerah
menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di
kabupaten Gunung Kidul mencapai 22 kasus dengan dominasi korban
perempuan dan anak-anak (Aditya, 2013). Penelitian oleh Forum Penanganan
Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA) menunjukkan peningkatan
jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pada tahun 2008 ada 594 kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah ini meningkat secara signifikan pada
tahun 2009 menjadi sebanyak 1.345 kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari
sekian banyak kasus yang tercatat, 93,4% didominasi korban perempuan, dan
28,4% didominasi korban anak-anak (Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Masyarakat, 2010).
Survey di Inggris menemukan bahwa 40% - 70% kasus kekerasan dalam
rumah tangga yang dilakukan terhadap ibu dan anak (Department of Health,
2002). Pemerintah Inggris dan Wales memperkirakan sedikitnya 750.000 anak
yang melihat kasus KDRT mempunyai risiko yang lebih besar menjadi korban
KDRT (Wilcox, 2012). Jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
banyak terjadi adalah kekerasan fisik dan verbal. Kekerasan fisik bisa berupa
cubitan, tamparan, pukulan, tendangan atau tindakan fisik lainnya yang
menyebabkan bekas, luka permanen bahkan kematian. Kekerasan verbal bisa
berupa caci maki dari orang tua atau keluarga terdekat, ejekan, bentakan atau
umpatan kata-kata kasar dengan maksud melukai perasaan salah satu pihak,
dan bullying yang dilakukan oleh saudara kandung (Flitcraft & Stark, 1996).
Penelitian di China menemukan hasil 34% anak yang mengalami kekerasan fisik
oleh keluarga atau orang terdekatnya, 13,6% telah didiagnosis mengalami
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD), dan sisanya masih berada pada tahap
gejala Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) (Chen,Chou, Su, & Wu, 2011).
Kasus KDRT juga ditemukan di wilayah kerja Puskesmas Depok I1. Ada
tiga orang anak yang mendapatkan kekerasan verbal dari ibunya. Mereka sering
dimarahi, dicaci, dan dibentak tanpa sebab yang jelas. Mereka juga sering
melihat ibunya marah, berteriak dan membanting barang-barang. Ketiga anak
1
Hasil wawancara dengan Psikolog pada 18 Juni 2014
2
tersebut menunjukkan perilaku berbeda di depan psikolog dan ibunya. Anak
pertama (R) adalah laki-laki berusia 7 tahun. Selama asesmen dia terlihat tidak
bergairah, sedikit berbicara, cenderung patuh, semua perintah direspon dengan
anggukan dan dikerjakan, terlihat murung dan nilai akademiknya cenderung
kurang. Anak kedua (G) adalah perempuan berusia 5 tahun. Selama proses
asesmen di puskesmas, dia terlihat bersemangat, senang menggambar, senang
menceritakan hobinya, dan cita-citanya. Hal ini berbeda dengan hasil asesmen
yang dilakukan di rumah. Anak kedua ini menunjukkan perilaku yang bertolak
belakang dengan perilaku yang ditunjukkan di puskesmas. Dia hanya bisa
menggeleng bila diminta untuk menceritakan tentang hobi dan cita-citanya. Anak
ketiga (A) adalah laki-laki berusia 3 tahun. Dari asesmen muncul perilaku agresif
berupa suka mengigit, sulit diatur, suka berteriak, marah kemudian membanting
mainannya. Dari hasil asesmen diperoleh bahwa ketika ketiga anak ini
berhadapan dengan ibunya, mereka cenderung diam, menunduk, tidak
bergairah, murung dan numbing di pojok ruangan. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) menjadi salah satu penyebab seorang anak kehilangan
kebahagiaan, minat terhadap suatu hal, keceriaan, dan beberapa perilaku
menyimpang (Misurell, 2013)
Anak-anak dengan riwayat KDRT mempunyai kecenderungan lebih besar
untuk melakukan perilaku berisiko, antara lain: menjadi pecandu napza,
melakukan seks bebas, suka membolos, suka lari dari rumah sebagai cara
menghadapi sebuah masalah, bahkan mencuri (Altshuler & DeHart, 2009). Hasil
wawancara dengan salah satu pekerja sosial di Rifka Annisa2 adalah setiap jenis
kekerasan dalam rumah tangga mempunyai dampak besar kepada perempuan
maupun anak-anak. Kekerasan rumah tangga terutama kekerasan seksual pada
anak mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan jenis kekerasan rumah
tangga yang lain. Ada seorang anak perempuan yang menjadi korban kekerasan
seksual ayahnya selama kurang lebih 5 tahun mengalami perubahan persepsi
diri, ketakutan bila melihat laki-laki sehingga anak ini memilih untuk menutup diri
dari laki-laki, merasa dirinya kotor dan tidak berharga. Anak korban kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) akan lebih sensitif, mudah marah, rentan stress,
mudah menyalahkan diri sendiri dan rentan mengingat kejadian traumatis. Anak
2
Wawancara dilakukan pada 23 Juli 2014
3
dengan riwayat korban KDRT mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi
pelaku di masa dewasanya (Baro, Garayon, Pujols, & Testor, 2012). Siklus
seperti ini akan terus terjadi bila dampak dari KDRT pada anak tidak
ditanggulangi dengan tepat dan segera.
Mullender (dalam Baker, 2012) juga menjelaskan bahwa anak-anak yang
pernah melihat atau menjadi korban KDRT akan cenderung mengembangkan
pola pikir dan perilaku negatif. Kondisi anak sebagai individu lemah, pasif, dan
belum mampu berkehendak secara penuh membuat anak-anak mudah menjadi
korban suatu tindak kekerasan. Seorang anak perempuan berusia 13 tahun3,
saat ini duduk di kelas 1 SMP mendapatkan kekerasan seksual dari ayahnya
semenjak kelas 4 SD. Di kelas anak ini sering menunjukkan perilaku aneh. Dia
lebih banyak melamun, menutup diri, murung, tiba-tiba histeris, berteriak memaki
ayahnya, nilai akademiknya kurang, dan pernah kedapatan mencuri uang
penjaga asrama. Pihak sekolah sangat khawatir dengan kondisi siswi ini
sehingga meminta puskesmas mendampingi dengan konseling.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa KDRT membawa dampak
cukup besar pada anak-anak. Dampak KDRT, antara lain: dampak fisik, dampak
kognitif, dampak perilaku, dan dampak psikis. Dampak fisik bisa berupa luka
lebam di tubuh, kurang optimalnya fungsi anggota tubuh, kehilangan salah satu
anggota tubuh (korban cacat), bahkan kematian. Dampak kognitif berupa susah
konsentrasi, rendah atau turunnya nilai akademik, sulit menyesuaikan diri dan
mengembangkan kemampuan problem solving (Fantuzzo & Mohrr, 1999).
Dampak
perilaku
berupa
tiba-tiba
menangis,
perilaku
agresif, perilaku
menghindar, menutup diri, diam, respon melambat dan numbness (Altshuler &
DeHart, 2009). Dampak psikis berupa kecemasan, stress berkepanjangan,
depresi, kehilangan kemandirian, keceriaan dan kebahagiaan, munculnya gejalagejala traumatis yang mengarah pada gangguan stress pasca trauma atau
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD).
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam The Diagnostic and Statistic
Manual of Mental Disorder (DSM IV - TR) dijelaskan sebagai gangguan yang
bersifat fisik maupun psikologis akibat paparan terus menerus oleh peristiwa
traumatis yang mengancam hidup, integritas diri bahkan menimbulkan kematian.
3
Wawancara dengan guru BK sebuah SMP di Kabupaten Sleman pada 10 Oktober 2014.
4
Gangguan ini bisa dialami oleh para korban perang, veteran perang, korban
bencana alam, korban kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, dan
kecelakaan lalu lintas (American Psychiatric Association, 2010). Seseorang
dengan PTSD akan memunculkan gejala, antara lain: mimpi buruk, reexperiencing, flashback, intrusive, avoidance atau perilaku
menghindar,
emotional numbing, hyperarousal, perubahan tingkat sensitivitas terhadap
stimulus (Australian Center for Posttraumatic Mental Health, 2007), ketakutan
yang berlebihan terhadap lingkungan, ledakan emosi atau tidak minim emosi
(ekspresi datar, banyak melamun), ketakutan menghadapi masa depan, dan
menghindari topik pembicaraan mengenai tema kekerasan (Hughes & Jones,
2000). Gejala PTSD berkorelasi dengan perasaan menyalahkan diri sendiri
(Long, Starzynski, Townsend, & Ullman, 2006), perasaan malu, tidak bisa
diandalkan (Andrews, Brewin, Kirk, & Rose, 2000), perasaan bersalah terus
menerus (Gibson, Holohan, & Street, 2005), dan perasaan ingin balas dendam
kepada pelaku kekerasan (Maercker, Montada, & Orth, 2006).
Seseorang dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) mengalami
perubahan cara kerja otak dalam memproses infromasi atau kejadian traumatis.
Seseorang dengan PTSD mengalami hambatan dalam pemrosesan informasi
atau stimulus dari amygdala menuju hippocampus. Stimulus atau informasi akan
masuk dan diterima oleh panca indra kemudian diteruskan menuju amygdala
untuk diproses lebih detail. Informasi yang sudah masuk melalui amygdala akan
diteruskan
ke
medial
prefrontal
cortex
untuk
disaring. Stimulus
yang
menimbulkan kecemasan atau ketakutan akan diolah dan dinetralkan sehingga
respon yang muncul masih bisa dikontrol oleh orang tersebut. Proses ini
berkaitan juga dengan fungsi hippocampus sebagai tempat menyimpan cara
untuk mengatasi rasa takut, kecemasan, dan menegangkan. Pada orang dengan
PTSD, proses informasi dari amygdala menuju medial prefrontal cortex terputus.
Hal ini menyebabkan stimulus yang masuk melalui panca indera, diolah di
amygdala langsung menuju hippocampus tanpa proses penyaringan di medial
prefrontal cortex. Proses loncatnya informasi ini membuat seseorang dengan
PTSD berespon kurang atau tidak rasional terhadap stimulus yang mirip dengan
kejadian traumatisnya (Pitman, Rauch, & Shin, 2006).
Seorang anak yang mengalami kejadian traumatis seperti kekerasan
verbal atau non verbal dari orangtuanya kebanyakan akan memendam perasaan
5
dan pikirannya. Kejadian traumatis itu akan masuk dalam pikiran dan menjadi
ingatan anak selama ia belum mampu untuk mengungkapnya. Anak lebih
cenderung memendam perasaan dan pikiran bila menjadi korban. Seringnya
terpapar kekerasan membuat anak semakin banyak memendam emosi negatif
dan membentuk ingatan dan pemikiran bahwa dirinya adalah korban, dan pelaku
adalah seseorang yang jahat yang akan selalu melakukan kekerasan
kepadanya. Distorsi ini membuat anak mudah teringat kepada kejadian traumatis
bila menemui stimulus yang sama dengan kejadian. Seorang anak yang menjadi
korban KDRT oleh ibunya bisa menjauhi figur perempuan karena figur tersebut
akan mengingatkannya pada kejadian yang tidak menyenangkan, memicu
timbulnya emosi negatif dan reaksi fisik. Inilah penyebab seseorang dengan
PTSD bisa mengalami re-experiencing, dan muncul perilaku menghindar diikuti
emosi yang tidak stabil.
Anak-anak lebih rentan mengalami PTSD apabila mereka sudah pernah
mengalami kejadian traumatis dan terjadi lebih dari satu kali, misalnya
meninggalnya figur lekat, menjadi korban perceraian orangtua, kecelakaan,
kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, penyakit berat (terminal illness)
atau bencana alam (Malchiodi, 2009). Pada masa anak-anak, beberapa kejadian
di atas akan sangat melukai hati dan menimbulkan luka. Bagi anak,
mendapatkan perlakuan buruk dari orangtua atau lingkungan bisa dinilai sebagai
kejadian traumatis yang susah dilupakan dan bisa membuat anak memunculkan
gejala PTSD (Greening & Stoppelbein, 2000; Alpert, Dummit, Matzner, Munoz,
Singh, & Silvia, 2000). Sebuah penelitian oleh McCloskey dan Walker (dalam
Drew & Gelfand, 2003) menemukan bahwa persentase anak-anak korban
kekerasan, kecelakaan atau kehilangan orangtua mencapai 24,6% dan
berpotensi memunculkan gejala PTSD meskipun anak-anak itu tidak terluka
secara fisik.
Gejala PTSD pada anak-anak berbeda dengan dewasa. Gejala PTSD
pada anak-anak berupa gangguan tidur karena mengalami mimpi buruk berupa
monster atau hal-hal menyeramkan lainnya sebagai sebuah simbol (Falcone &
Makley, 2010), perubahan perilaku; yang pendiam akan menjadi susah diatur
atau yang aktif menjadi pasif, menarik diri, pemalu, susah diatur, muncul perilaku
agresif, dan mulai mengalami stress (Davison, Kring, & Neale, 2012). Ada
beberapa kategori anak-anak yang cenderung lebih rentan mengalami PTSD.
6
Anak-anak usia pra sekolah lebih rentan mengalami re-experiencing dan
hyperarousal (Huth-Bocks, Levendosky, Semel, & Shapiro, 2002), anak
perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dan mengalami serangkaian
gejala PTSD (Berton & Stabb dalam Drew & Gelfand, 2003).
Mengingat begitu banyak dampak PTSD terhadap anak-anak yaitu
perubahan perilaku, menarik diri, mimpi buruk, bahkan susah tidur, maka PTSD
harus ditanggulangi dengan intervensi yang tepat. Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD) banyak diintervensi dengan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy
(CBT). Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada anak terbukti mampu
menurunkan tingkat PTSD (Nixon, Pearce, & Sterk, 2012). Pendekatan inilah
yang menjadi dasar pengembangan teknik Prolonged Exposure Therapy (PET).
Prolonged Exposure Therapy (PET) adalah teknik efektif untuk menurunkan
gejala PTSD. Teknik ini banyak diterapkan pada veteran perang. Penerapan
PET dapat mengurangi kemarahan, tingkat depresi, perasaan bersalah dan
komorbid lainnya yang menyertai gejala PTSD. Terapi yang menggunakan
pendekatan CBT menjadi dasar beberapa teknik dalam pelaksanaannya, misal in
vivo exposure, imaginal exposure, dan emotional processing (Eftekhari, Rauch,
& Ruzek, 2012). Teknik ini terdiri dari dua fase. Fase pertama terdiri dari 8 sesi
berisi tentang regulasi emosi dan hubungan interpersonal. Fase kedua terdiri dari
8 sesi yang sudah diberi modifikasi dengan teknik dalam prolonged exposure.
Fase pertama terbukti efektif untuk memperbaiki regulasi emosi dan hubungan
interpersonal yang terganggu karena kejadian traumatis, sedangkan fase kedua
terbukti efektif menurunkan gejala PTSD (Cohen, Cloitre, Han, & Koenen, 2002).
Teknik lain yang bisa diterapkan kepada orang dengan PTSD adalah Narative
Exposure Therapy (NET). Teknik ini meminta orang dengan PTSD untuk
menceritakan
kejadian
traumatisnya
dengan
memperhatikan
tahapan
perkembangannya. Berbeda dengan PET yang akan menuju pada satu luka
dasar, dan memerlukan in vivo exposure untuk menemukan inti luka dan
permasalahan (Aarsheim, Bomyea, Hartmann, Holen, Milde, Mørkved, dkk,
2014).
Bagi anak-anak, terapi dengan pendekatan CBT bisa digabung dengan
Art Therapy, play therapy, trauma focused-cognitive behavioral therapy dan
group therapy. Penggabungan ini membuat anak-anak bertemu dengan teman
sebaya dan kesamaan budaya sehingga proses terapi bisa berjalan lebih baik
7
(Misurell & Springer, 2013). Penggabungan kedua metode ini juga bisa diberikan
secara individual (Miller, 2010). Dewasa ini Art Therapy semakin banyak
digunakan untuk menangani kasus anak-anak dengan PTSD akibat kekerasan,
bencana, atau perang. Art Therapy dinilai bisa mengungkapkan perasaan,
pikiran, dan hal-hal yang menganggu secara non verbal (Malchiodi, 2003). Art
Therapy yang diterapkan, antara lain: psikodrama, dancing and movement,
children drawing, finger painting, face and body painting (Martin, 2014; Foa,
2009; Fritz & Westrhenen, 2014; Baum, 2007; Malchiodi, 2003) Art Therapy bisa
membantu para korban kekerasan dalam rumah tangga terutama anak-anak
untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan pikiran, perasaan dan kejadian
traumatis yang dialami. Penggunaan Art Therapy dengan atau tanpa pendekatan
cognitive behavioral therapy dinilai cukup efektif untuk mengatasi PTSD pada
anak-anak (Emerson, 2009; Foa, 2009). Prinsip Art Therapy dengan CBT adalah
penggunaan “what if” oleh terapis yang membuat klien berpikir ulang tentang
pemikirannya selama ini tentang emosi atau kejadian traumatis yang dialaminya.
Saat pelaksanaan terapi ini, terapis perlu lebih memperhatikan perbedaan jenis
kelamin, usia anak, tahapan perkembangannya, dan mengontrol faktor-faktor
yang bisa berpengaruh pada proses intervensi (Geue, Goetze, Buttstaedt,
Kleinert, Richer, & Singer, 2010). Keberhasilan Art Therapy dalam menurunkan
tingkat PTSD yang terjadi pada anak-anak dengan PTSD juga bergantung pada
kemauan anak, keberadaan pengasuh, lingkungan, dan terapis itu sendiri
(Emerson, 2009).
Dengan Art Therapy, anak-anak korban kekerasan rumah tangga yang
mengalami PTSD diajak mengeksplorasi diri melalui sebuah karya seni. Proses
akan dilanjutkan dengan menceritakan apa yang digambar dan pemaparan
terhadap peristiwa traumatis (Miller, 2010). Pada Art Therapy, seorang terapis
meminta anak-anak untuk mengeluarkan semua perasaannya melalui media
seni, membuat anak-anak untuk lebih peka melihat simbol-simbol yang muncul
selama proses terapi. Anak-anak juga akan diminta untuk lebih menyadari emosi
dan kejadian traumatis yang dialami. Inilah yang membantu proses pemulihan
(Huss & Sarid, 2010). Salah satu jenis Art Therapy yang banyak digunakan
adalah Creative Art Therapy berupa tarian, menggambar, menyanyi, bermain
drama, bermain musik, menulis cerita atau berpuisi. Creative Art Therapy
melibatkan kemampuan kinestetik dan sensori seseorang akan mengaktifkan
8
hemisfer di otak yang mengakses kemampuan non verbal. Seni ternyata mampu
menjembatani pemikiran, perasaan dan emosi yang tidak tersampaikan menjadi
terlihat dan bisa diidentifikasi (Foa, 2009; Malchiodi, 2003; Fritz & Westrhenen,
2014).
Eksplorasi Art Therapy pernah dilakukan oleh Collie (Miller, 2010).
Penggunaan Art Therapy dalam menangani permasalahan PTSD mempunyai
fungsi, antara lain: memunculkan reaksi emosi berbentuk simbol yang berubah
seiring dengan perkembangan kondisi anak, eksternalisasi, mengurangi ledakan
emosi yang timbul, reaktivasi emosi positif, meningkatkan harga diri dan self
efficacy, dan memperbaiki ingatan tentang kejadian traumatis. Simbol-simbol
yang muncul selama proses terapi menjadi media klien untuk bercerita dan
terapis memberikan feedback berupa “What If”. Pada proses inilah exposure
events dan rekonstruksi kognitif terjadi bersamaan. Art Therapy melalui teknik
visual art ternyata mampu mengurangi perilaku merugikan pada anak dan gejalagejala patologis anak dalam menyelesaikan masalah maupun mengelola emosi
(Abbasi, Samadzadeh, & Shahbazzadegan, 2013). Penerapan Art Therapy
kepada anak-anak dengan PTSD
membuktikan bahwa hasil gambar human
figure sangat berbeda dengan gambar human figure anak tanpa PTSD
(Malchiodi, 2009). Art Therapy bisa menjadi salah satu teknik terapi yang
menenangkan dan menyenangkan dalam waktu yang bersamaan. Art Therapy
adalah sebuah kegiatan yang melibatkan tubuh, pikiran dan perasaan yang
mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap gejala-gejala psikologis
(Malchiodi, 2003). Pada tahun 2002 (dalam McMillen, 2003) dilakukan sebuah
penelitian untuk membuktikan pengaruh Art Therapy terhadap tingkat PTSD
pada anak yang mengalami trauma karena melihat kejadian pembunuhan sadis
di sekitar tempat tinggalnya. Art Therapy dengan teknik menggambar dan
konseling diberikan kepada anak tersebut. Hasilnya adalah keduanya mampu
mengurangi kecemasan, stress, dan tingkat PTSD..
Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak penerapan Art Therapy
khususnya children drawing terhadap tingkat gejala Posttraumatic Stress
Disorder (PTSD) pada anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Hipotesis penelitian ini adalah Art Therapy dapat diterapkan pada anak korban
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan gejala PTSD.
9
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat menambah literatur penelitian
psikologi berkaitan dengan teknik terapi alternatif dalam kajian psikologi klinis,
menambah pengetahuan pembaca tentang kajian psikologi klinis dan beberapa
teknik psikoterapi baru yang aplikatif. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat
kepada
subjek
penelitian.
Penelitian
ini
memfasilitasi
subjek
untuk
mengekspresikan emosi yang berkaitan dengan kekerasan yang dialami secara
bebas, baik verbal maupun non verbal.
Anak-anak dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
PTSD pada anak-anak
1.
2.
3.
Re-experiencing,
Mimpi buruk karena distress,
psikosomatis
Avoidance, menghindari kegiatan
atau stimulus tentang peristiwa
traumatis, kehilangan ingatan
tentang inti kejadian traumatis
Arousal
Kesulitan untuk tidur, sulit
konsentrasi, mudah marah,
temper tantrum
Art Therapy bagi Anak dengan
PTSD sebagai sarana
1. Reducing stress
Proses kognitif
“What If”
2. Exposure
3. Sarana komunikasi non
verbal
PTSD pada anak korban KDRT TURUN
1. Mimpi buruk karena distress akan berkurang karena
perasaan dan pikiran yang dipendam bisa tersalurkan
2. Mampu menghadapi peristiwa traumatis yang dialami
sehingga muncul habituasi
3. Pola tidur kembali normal karena mimpi buruk berkurang,
mampu mengendalikan marah, tidak lagi meledak-ledak
: area intervensi
Bagan 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
10
Download