HIV - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Human Immunodeficency Virus (HIV) merupakan salah
satu
penyakit
dengan
beban
penyakit
yang
tinggi
di
Indonesia. Total kasus infeksi HIV di Indonesia yang
dilaporkan
pada
tahun
2013
sebanyak
29.037
kasus.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melaporkan
489 kasus atau 1,68% dari total kasus HIV 2013, yang
jumlahnya
meningkat
dibanding
tahun
2012,
yaitu
sebanyak 272 kasus. Provinsi DIY juga memiliki case
rate HIV 21,7 yang merupakan peringkat keenam dibanding
provinsi
lain
di
Indonesia
(Ditjen
PP
dan
PL
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Human
Immunodeficency
menginfeksi
sistem
imun
Virus
adalah
manusia.
virus
yang
Infeksi
ini
menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah istilah yang
dipakai
pada
Immunodeficiency
infeksi
HIV
Syndrome
yang
lanjut.
Acquired
didefinisikan
sebagai
kejadian penyakit oportunistik lain atau kanker yang
berkaitan dengan HIV (WHO, 2015).
1
2
Penyakit HIV adalah penyakit yang memiliki ciri
khas turunnya kuantitas dan kualitas secara progresif
dari sebuah subset sel limfosit T, yaitu sel T helper.
Secara fenotip sel T helper adalah sel limfosit T yang
memiliki molekul CD4 pada permukaan selnya (Kasper et
al., 2005).
Molekul
CD4
adalah
reseptor
primer
dari
HIV.
Selain CD4, untuk masuk ke dalam sel HIV membutuhkan
co-reseptor yaitu CCR5 dan CXCR4. HIV masuk ke tubuh
melalui darah, produk darah, cairan semen, dan cairan
vagina (Kasper et al., 2005).
Setelah masuk ke aliran darah, HIV akan mengikuti
aliran darah sampai ke limpa. HIV menginfeksi sel T
helper
dan
membentuk
Virion
ini
akan
terperangkap
karena
yang
di
terikat
akan
virion-virion
keluar
spatium
oleh
bertindak
dari
sel
germinal
Follicular
sebagai
baru
T
di
limpa.
helper
namun
center
dari
limpa
Dendritic
Cell
(FDC)
Antigen
Presenting
Cell
(APC) ke sel limfosit B (Kasper et al., 2005).
Terikatnya HIV oleh FDC akan menimbulkan reaksi
inflamasi pada sel imun. Sel imun ini akan mengeluarkan
sitokin pro-inflamasi yang akan membuat virion semakin
3
terdesak
di
limpa
dan
mempercepat
proliferasinya
sehingga akhirnya limpa akan pecah dan muncul burst
virus ke plasma, yang akan menimbulkan sindrom akut HIV
(demam, skin rash, limfadenopati generalisata, myalgia,
dan sebagainya) (Kasper et al., 2005).
Tubuh manusia dalam melawan HIV akan membentuk
respon imun humoral dengan membentuk antibodi terhadap
protein struktural HIV. Antibodi ini berfungsi sebagai
penghambat virus untuk masuk ke sel target sehingga
pada saat ini penderita akan masuk ke fase laten HIV
(Kasper et al., 2005).
Pada fase laten, HIV berada di dalam sel yang
memiliki
reseptor
CD4
seperti
sel
T
helper
dan
monosit/makrofag dan terus berproliferasi. Sel CD4 yang
terinfeksi HIV diketahui akan mengalami penurunan kirakira
50
mikroliter
mikroliter/tahun.
akan
terjadi
Apabila
jumlah
kenaikan
risiko
CD4
<200
infeksi
oportunis (Kasper et al., 2005).
Monosit
merupakan
salah
satu
turunan
dari
sel
myeloid yang juga memiliki molekul CD4 di permukaannya.
Pada
infeksi
HIV,
monosit
merupakan
salah
satu
sel
target virus selain sel T helper. Monosit bertindak
4
sebagai reservoir HIV (Crowe et al., 2003). Monosit
merupakan salah satu jenis sel lekosit mononuklear yang
dapat
menjadi
tempat
replikasi
HIV.
HIV
dapat
bereplikasi di monosit dan merupakan reservoir virus
pada pasien yang diterapi ARV (Zhu, 2002).
Sel T helper diketahui memiliki korelasi terhadap
stadium
klinis
HIV,
namun
sampai
saat
ini
belum
diketahui apakah monosit memiliki pola yang sama dalam
berbagai stadium klinis seperti sel T helper walaupun
monosit
telah
diketahui
sebagai
reservoir
HIV.
Atas
dasar di atas, maka pengetahuan mengenai profil monosit
pada berbagai stadium klinis sangat penting.
I.2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan rerata jumlah monosit
pada berbagai stadium klinis pada pasien HIV?
I.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata jumlah
monosit pada berbagai stadium klinis pada pasien HIV.
5
I.4. Keaslian Penelitian
Tabel 1. Keaslian Penelitian
Penelitian
Persistence Of
HIV-1
Transcription In
Peripheral-Blood
Mononuclear Cells
In Patients
Receiving Potent
Antiretroviral
Therapy
(Furtado, 1999)
Efficient
Isolation And
Propagation Of
Human
Immunodeficiency
Virus On
Recombinant
Colony-Stimulating
Factor I-Treated
Monocytes (Howard,
1988)
Hasil
Pada fase pertama
setelah terapi
ARV, DNA dan mRNA
proviral turun
tetapi masih dalam
level yang
terdeteksi. Pada
fase kedua jumlah
DNA dan mRNA
proviral mencapai
plateau, tetapi
tidak pernah
mencapai nol.
Peneliti
berkesimpulan
masih ada
aktivitas HIV di
sel tersebut.
Produksi virion
yang persisten
terdeteksi di
kultur makrofag
yang dibuktikan
dengan adanya
aktivitas enzim
reverse
transcriptase.
Frekuensi sel
kultur makrofag
yang terinfeksi
HIV pada minggu ke
6 setelah
inokulasi virus
adalah 60-90%.
Perbedaan dengan
Penelitian Ini
Penelitian
tersebut bertujuan
untuk mengetahui
sel yang digunakan
sebagai reservoir
virus HIV.
penelitian ini
bertujuan untuk
mengetahui
perbedaan rerata
monosit di tiap
stadium klinis
dengan stadium
klinis pasien HIV.
Variabel yang
digunakan DNA dan
mRNA proviral HIV.
Penelitian
tersebut bertujuan
untuk membuktikan
monosit digunakan
virus HIV sebagai
reservoir,
sedangkan
penelitian ini
untuk mengetahui
apakah monosit
berperan dalam
menentukan stadium
klinis HIV.
Variabel yang
digunakan adalah
kultur monosit
oleh rCSF-1 dan
HIV yang
menginfeksi sel
kultur diketahui
dengan
pengangkapan
antigen HIV di
kultur
6
I.5. Manfaat Penelitian
Teoritis:
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
digunakan
sebagai dasar untuk melakukan penelitian lainnya yang
terkait peranan monosit terhadap stadium klinis HIV.
Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai panduan dokter untuk memonitor progresi
penyakit HIV pasien.
Download