BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
 10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Manajemen Pemasaran
Sebelum mendefinisikan manajemen pemasaran, perlu diketahui terlebih
dahulu tentang definisi pemasaran secara luas dari berbagai pandangan. Pengertian
pemasaran mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar penjualan dan
periklanan. Tjiptono (2002:7) memberikan definisi pemasaran, yaitu:
“ Suatu proses sosial dan manajerial dimana individu atau kelompok mendapatkan
apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, pewarnaan, dan
pertukaran segala sesuatu yang bernilai dengan orang atau kelompok lain.”
Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran:
“ Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat
kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu serta harga yang tepat
dengan promosi dan komunikasi yang tepat.”
Definisi di atas, menunjukkan pemasaran merupakan proses yang dilakukan untuk
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dengan strategi komunikasi yang tepat.
Menurut Tjiptono (2002;16) pengertian dari manajemen pemasaran:
11
“ Proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi penentuan harga, promosi dan
distribusi barang, jasa dan gagasan untuk menciptakan pertukaran dengan kelompok
sasaran yang memenuhi tujuan pelanggan dan organisasi.”
Sedangkan menurut Rismiati, pengertian manajemen pemasaran:
“ Sebagai analisis, perencanaan, implementasi, dan pengendalian atas programprogram yang dirancang untuk menciptakan, membangun dan menjaga pertukaran
yang
menguntungkan
dengan
pembeli
sasaran
untuk
mencapai
tujuan
organisasional.”
Berdasarkan pengertian manajemen pemasaran menurut berbagai pakar diatas, dapat
disimpulkan bahwa manajemen pemasaran merupakan analisis, perencanaan,
implementasi dan pengendalian dari fungsi pemasaran.
2.2 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen menyangkut masalah keputusan yang diambil seseorang
dalam mendapatkan dan mempergunakan barang dan jasa. Masalah yang menyangkut
pengambilan keputusan lebih banyak dalam hal keputusan seseorang dalam
melakukan pembelian. Pemasar meneliti keputusan membeli konsumen secara amat
rinci untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang dibeli konsumen, dimana
mereka membeli, bagaimana dan berapa banyak mereka membeli, serta mengapa
mereka membeli. Pemasar dapat mempelajari apa yang dibeli konsumen untuk
mencari jawaban atas pertanyaan mengenai apa yang mereka beli, dimana dan berapa
12
banyak, tetapi mempelajari mengenai alasan tingkah laku konsumen bukan hal yang
mudah, jawabannya seringkali tersembunyi jauh dalam benak konsumen.
Pengertian perilaku konsumen seperti diungkapkan oleh Mowen (2002:6):
“Studi tentang unit pembelian (buying unit) dan proses pertukaran yang melibatkan
perolehan, konsumsi dan pembuangan, barang, jasa, pengalaman serta ide-ide.”
Perilaku Konsumen menurut Swastha dan Handoko (2000:10) mengatakan:
” kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan
mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk di dalamnya proses
pengambilan keputusan pada persiapan dan menentukan kegiatan-kegiatan
tertentu.”
Dari pengertian di atas maka perilaku konsumen merupakan tindakantindakan dan hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok
maupun organisasi untuk menilai, memperoleh dan menggunakan barang-barang
serta jasa melalui proses pertukaran atau pembelian yang diawali dengan proses
pengambilan keputusan yang menentukan tindakan-tindakan tersebut.
2.2.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen
Menurut Kotler (2001:144) Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen
adalah kebudayaan, faktor sosial, pribadi, psikologis. Sebagian faktor-faktor tersebut
kurang diperhatikan oleh pemasar tetapi sebenarnya harus diperhitungkan untuk
13
mengetahui
seberapa
jauh
faktor-faktor
perilaku
konsumen
mempengaruhi
pembelian.
2.2.1.1 Faktor kebudayaan
Kebudayaan merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar untuk
mendapatkan nilai, persepsi, preferensi dan perilaku dari lembaga-lembaga penting
lainnya.Faktor kebudayaan memberikan pengaruh paling luas dan dalam pada tingkah
laku konsumen. Pemasar harus mengetahui peran yang dimainkan oleh:
1)Budaya
Budaya adalah kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan tingkah laku
yang dipelajari oleh seorang anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting
lainnya.
2)Sub-budaya
Sub budaya adalah sekelompok orang dengan sistem nilai terpisah berdasarkan
pengalaman.
Sub budaya termasuk nasionalitas, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis.
3)Kelas sosial
Kelas sosial adalah divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur dengan para
anggotanya menganut nilai-nilai, minat dan tingkah laku yang serupa.
14
2.2.1.2 Faktor Sosial
Kelas sosial merupakan pembagian masyarakat yang relatif homogen yang
tersusun secara hierarkis dan anggota menganut nilai-nilai, minat, dan perilaku yang
serupa.
Kelas sosial ditentukan oleh satu faktor tunggal, seperti pendapatan, tetapi diukur
sebagai kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan dan variabel
lain. Dalam beberapa sistem sosial, anggota dari kelas yang berbeda memelihara
peran
tertentu
dan
tidak
dapat
mengubah
posisi
sosial
mereka.
Tingkah laku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, yaitu:
1)Kelompok
Kelompok adalah dua orang atau lebih yang berinteraksi untuk mencapai sasaran
individu atau bersama. Beberapa merupakan kelompok primer yang mempunyai
interaksi reguler tapi informal seperti keluarga, teman, tetangga dan rekan sekerja.
Beberapa merupakan kelompok sekunder, yang mempunyai interaksi lebih formal
dan kurang reguler. Ini mencakup organisasi seperti kelompok keagamaan, asosiasi
profesional dan serikat pekerja.
2)Keluarga
Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam
masyarakat dan telah diteliti secara mendalam, pemasar tertarik dalam peran dan
pengaruh suami, istri dan anak-anak pada pembelian berbagai produk dan jasa.
15
3)Peran dan status
Peran terdiri dari aktivitas yang diharapkan dilakukan seseorang menurut orangorang yang ada disekitarnya. Setiap peran membawa status yang mencerminkan
penghargaan yang diberikan oleh masyarakat. Orang seringkali memilih produk
yang menunjukkan statusnya dalam masyarakat.
2.2.1.3 Faktor Pribadi
Faktor pribadi didefinisikan sebagai karakteristik psikologis seseorang yang berbeda
dengan orang lain yang menyebabkan tanggapan yang relatif konsisten dan bertahan
lama terhadap lingkungan (Kotler;2001).
Keputusan membeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu:
1)Umur dan Tahap daur hidup
Orang mengubah barang dan jasa yang mereka beli selama masa hidupnya. Selera
akan makanan, pakaian, perabot dan rekreasi sering kali berhubungan dengan umur.
Membeli juga dibentuk oleh tahap daur hidup keluarga, tahap-tahap yang mungkin
dilalui oleh keluarga sesuai dengan kedewasaannya. Pemasar seringkali
menentukan sasaran pasar dalam bentuk tahap daur hidup dan mengembangkan
produk yang sesuai serta rencana pemasaran untuk setiap tahap.
16
2)Pekerjaan
Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya. Pemasar
berusaha mengenali kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata
akan produk dan jasa mereka. Sebuah perusahaan bahkan dapat melakukan
spesialisasi dalam memasarkan produk menurut kelompok pekerjaan tertentu.
3)Situasi ekonomi
Situasi ekonomi sekarang akan mempengaruhi pilihan produk. Pemasar produk
yang peka terhadap pendapatan mengamati kecenderungan dalam pendapatan
pribadi, tabungan dan tingkat minat. Bila indikator ekonomi menunjukkan resesi,
pemasar dapat mengambil langkah-langkah untuk merancang ulang, memposisikan
kembali dan mengubah harga produknya.
4)Gaya Hidup
Pola kehidupan seseorang yang diwujudkan dalam aktivitas (pekerjaan, hobi,
berbelanja, olahraga, kegiatan sosial), minat (makanan, mode, keluarga, rekreasi)
dan opini yang lebih dari sekedar kelas sosial dan kepribadian seseorang, gaya
hidup menampilkan pola bereaksi dan berinteraksi seseorang secara keseluruhan di
dunia.
5)Kepribadian dan konsep diri
Kepribadian setiap orang jelas mempengaruhi tingkah laku membelinya.
Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologi unik yang menyebabkan respons
17
yang relatif konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungan dirinya sendiri.
Kepribadian biasanya diuraikan dalam arti sifat-sifat seperti rasa percaya diri,
dominasi, kemudahan bergaul, otonomi, mempertahankan diri, kemampuan
menyesuaikan diri, dan keagresifan. Kepribadian dapat bermanfaat untuk
menganalisis tingkah laku konsumen untuk pemilihan produk atau merek tertentu.
2.2.1.4 Faktor Psikologis
Faktor Faktor psikologis sebagai bagian dari pengaruh lingkungan dimana ia tinggal
dan hidup pada waktu sekarang tanpa mengabaikan pengaruh dimasa lampau atau
antisipasinya pada waktu yang akan datang.
2.2.2 Jenis-Jenis perilaku keputusan pembelian
Semakin kompleks keputusan yang harus diambil biasanya semakin banyak perlu
pemikiran atau pertimbangan untuk membeli.
Menurut (Kotler, 2000:160) adapun jenis-jenis tingkah laku membeli konsumen
berdasarkan pada derajat keterlibatan dan tingkat perbedaan antara merek, yaitu:
a. Tingkah laku membeli yang kompleks
Tingkah laku membeli konsumen dalam situasi yang bercirikan keterlibatan tinggi
konsumen dalam pembelian dan perbedaan besar yang dirasakan diantara merek.
Pembeli ini akan melewati proses pembelajaran, pertama mengembangkan
keyakinan mengenai produk, kemudian sikap, dan selanjutnya membuat pilihan
membeli yang dipikirkan masak-masak. Pemasar dari produk yang banyak
18
melibatkan peserta harus memahami tingkah laku pengumpulan informasi dan
evaluasi dari konsumen yang amat terlibat. Mereka perlu membantu pembeli belajar
mengenai atribut kelas produk dan kepentingan relatif masing-masing, dan
mengenai apa yang ditawarkan merk tertentu, mungkin dengan menguraikan
panjang lebar keunggulan mereka lewat media cetak.
b. Tingkah laku membeli yang mengurangi ketidakcocokan
Tingkah laku membeli konsumen dalam situasi yang bercirikan keterlibatan
konsumen yang tinggi tetapi sedikit perbedaan yang dirasakan diantara merek.
Tingkah laku membeli yang mengurangi ketidakcocokan terjadi ketika konsumen
amat terlibat dalam pembelian barang yang mahal, jarang dibeli dan beresiko tetapi
melihat sedikit perbedaan diantara merek. Jadi merek bukan sesuatu yang prioritas.
c. Tingkah laku membeli yang merupakan kebiasaan
Tingkah laku membeli yang menjadi kebiasaan terjadi di bawah kondisi
keterlibatan konsumen yang rendah dan perbedaan merek yang dirasakan besar.
Konsumen tampaknya mempunyai keterlibatan yang rendah dengan kebanyakan
produk yang mempunyai harga murah dan sering dibeli.Dalam hal ini, tingkah laku
konsumen tidak diteruskan lewat urutan keyakinan – sikap – tingkah laku yang
biasa. Konsumen tidak mencari informasi secara ekstensif mengenai merek mana
yang akan dibeli. Sebaliknya, mereka secara pasif menerima informasi ketika
menonton televisi atau membaca majalah. Pengulangan iklan menciptakan
pengenalan akan merek bukan keyakinan pada merek. Konsumen tidak membentuk
19
sikap yang kuat terhadap suatu merek; mereka memilih merek karena sudah
dikenal. Karena keterlibatan mereka dengan produk tidak tinggi, konsumen
mungkin tidak mengevaluasi pilihan bahkan setelah membeli. Jadi, proses membeli
melibatkan keyakinan merek yang terbentuk oleh pembelajaran pasif, diikuti
dengan tingkah laku membeli, yang mungkin diikuti atau tidak dengan evaluasi.
Karena pembeli tidak memberikan komitmen yang kuat pada suatu merek, pemasar
produk yang kurang terlibat pada beberapa perbedaan merek seringkali
menggunakan harga dan promosi penjualan untuk merangsang konsumen agar mau
mencoba produk.
d. Tingkah laku membeli yang mencari variasi
Konsumen menjalani tingkah laku membeli yang mencari variasi dalam situasi
yang ditandai oleh keterlibatan konsumen rendah, tetapi perbedaan merk dianggap
berarti.
Dalam kategori produk seperti ini, strategi pemasaran mungkin berbeda untuk merk
yang menjadi pemimpin pasar dan untuk merk yang kurang ternama. Perusahaan
akan mendorong pencarian variasi dengan menawarkan harga rendah, penawaran
khusus, kupon, sampel gratis, dan iklan yang menunjukkan alasan untuk mencoba
sesuatu yang baru.
2.2.3 Proses keputusan membeli
Menurut Kotler, 2000:204) keputusan membeli melewati lima tahapan, yaitu:
20
a. Pengenalan Masalah Proses membeli dimulai dengan pengenalan masalah dimana pembeli mengenali
adanya masalah atau kebutuhan. Pembeli merasakan perbedaan antara keadaan
nyata dan keadaan yang diinginkan.
b. Pencarian Informasi
Seorang konsumen yang sudah terkait mungkin mencari lebih banyak informasi
tetapi mungkin juga tidak. Bila dorongan konsumen kuat dan produk yang dapat
memuaskan ada dalam jangkauan, konsumen kemungkinan akan membelinya. Bila
tidak, konsumen dapat menyimpan kebutuhan dalam ingatan atau melakukan
pencarian
informasi
yang
berhubungan
dengan
kebutuhan
tersebut.
Pengaruh relatif dari sumber informasi ini bervariasi menurut produk dan pembeli.
Pada umumnya, konsumen menerima sebagian besar informasi mengenai suatu
produk dari sumber komersial, yang dikendalikan oleh pemasar. Akan tetapi,
sumber paling efektif cenderung sumber pribadi. Sumber pribadi tampaknya bahkan
lebih penting dalam mempengaruhi pembelian jasa. Sumber komersial biasanya
memberitahu pembeli, tetapi sumber pribadi membenarkan atau mengevaluasi
produk bagi pembeli. Misalnya, dokter pada umumnya belajar mengenai obat baru
cari sumber komersial, tetapi bertanya kepada dokter lain untuk informasi yang
evaluatif.
21
c. Evaluasi alternatif
Tahap dari proses keputusan membeli, yaitu ketika konsumen menggunakan
informasi untuk mengevaluasi merk alternatif dalam perangkat pilihan. Konsep
dasar tertentu membantu menjelaskan proses evaluasi konsumen. Pertama, kita
menganggap bahwa setiap konsumen melihat produk sebagai kumpulan atribut
produk. Kedua, konsumen akan memberikan tingkat arti penting berbeda terhadap
atribut berbeda menurut kebutuhan dan keinginan unik masing-masing. Ketiga,
konsumen mungkin akan mengembangkan satu himpunan keyakinan merek
mengenai dimana posisi setiap merek pada setiap atribut. Keempat, harapan
kepuasan produk total konsumen akan bervariasi pada tingkat atribut yang berbeda.
Kelima, konsumen sampai pada sikap terhadap merek berbeda lewat beberapa
prosedur evaluasi. Ada konsumen yang menggunakan lebih dari satu prosedur
evaluasi,
tergantung
pada
konsumen
dan
keputusan
pembelian.
Bagaimana konsumen mengevaluasi alternatif barang yang akan dibeli tergantung
pada masing-masing individu dan situasi membeli spesifik. Dalam beberapa
keadaan, konsumen menggunakan perhitungan dengan cermat dan pemikiran logis.
Pada waktu lain, konsumen yang sama hanya sedikit mengevaluasi atau tidak sama
sekali; mereka membeli berdasarkan dorongan sesaat atau tergantung pada intuisi.
Kadang-kadang konsumen mengambil keputusan membeli sendiri; kadang-kadang
mereka bertanya pada teman, petunjuk bagi konsumen, atau wiraniaga.
Pemasar harus mempelajari pembeli untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
22
mereka mengevaluasi alternatif merek. Bila mereka mengetahui proses evaluasi apa
yang sedang terjadi, pemasar dapat membuat langkah-langkah untuk mempengaruhi
keputusan membeli.
d. Keputusan membeli
Dalam tahap evaluasi, konsumen membuat peringkat merek dan membentuk niat
untuk membeli. Pada umumnya, keputusan membeli konsumen adalah membeli
merek yang paling disukai, tetapi dua faktor dapat muncul antara niat untuk
membeli dan keputusan untuk membeli. Faktor pertama adalah sikap orang lain,
yaitu pendapat dari orang lain mengenai harga, merek yang akan dipilih konsumen.
Faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak diharapkan, harga yang diharapkan
dan manfaat produk yang diharapkan. Akan tetapi peristiwa-peristiwa yang tak
diharapkan bisa menambah niat pembelian.
e. Tingkah laku pasca pembelian
Tahap dari proses keputusan pembeli, yaitu konsumen mengambil tindakan lebih
lanjut setelah membeli berdasarkan pada rasa puas atau tidak puas. Yang
menentukan pembeli merasa puas atau tidak puas dengan suatu pembelian terletak
pada hubungan antara harapan konsumen dengan prestasi yang diterima dari
produk. Bila produk tidak memenuhi harapan, konsumen merasa tidak puas, bila
memenuhi harapan konsumen merasa puas, bila melebihi harapan konsumen akan
merasa puas.Konsumen mendasarkan harapan mereka pada informasi yang mereka
terima dari penjual, teman dan sumber-sumber yang lain. Bila penjual melebih-
23
lebihkan prestasi produknya, harapan konsumen tidak akan terpenuhi dan hasilnya
ketidakpuasan. Semakin besar antara kesenjangan antara harapan dan prestasi,
semakin besar ketidakpuasan kosumen. Hal ini menunjukkan bahwa pembeli harus
membuat pernyataan yang jujur mengenai prestasi produknya sehingga pembeli
akan puas.
2.3 Difusi dan Adopsi Inovasi
Menurut Rogers (1983) definisi difusi sebagai proses di mana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para
anggota suatu sistem sosial (The Process by Which an innovation is Communicated
Through Certain Channels Overtime Among The Members Of a Social System).
Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran
pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan Komunikasi didefinisikan sebagai proses di
mana para pelakunya menciptakan informasi dan saling pertukaran informasi tersebut
untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam isi pesan itu terdapat keterbatasan
(Newness) yang memberikan kepada difusi ciri khusus yang menyangkut
ketidakpastian (Uncertainty). Ketidakpastian adalah suatu derajat di mana sejumlah
alternatif dirasakannya berkaitan dengan suatu peristiwa beserta kemungkinankemungkinan pada alternatif tersebut. Derajat ketidakpastian oleh seseorang akan
dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi.
Rogers(1983) menyatakan bahwa inovasi adalah “an idea, practice, or object
perceived as new by the individual.” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang
dianggap/dirasa baru oleh individu). Dengan definisi ini maka kata perceived menjadi
24
kata yang penting karena pada mungkin suatu ide, praktek atau benda akan dianggap
sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak, tergantung apa
yang dirasakan oleh individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Sesuai dengan pernyataan Rogers (1983) dalam proses difusi inovasi terdapat 4
(empat) elemen pokok:
(1) Inovasi: gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu
yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah
inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama
sekali.
(2) Saluran Komunikasi: ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber
kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu
memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima.
Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak
yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan
efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah
sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling
tepat adalah saluran interpersonal.
(3) Jangka Waktu: proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai
memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan
itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Dimensi waktu terlihat dalam 3 hal:
25
(a) proses pengambilan keputusan inovasi
(b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat
(c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial
(4) sistem sosial: kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam
kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1983) memiliki relevansi dan
argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori
tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap
tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima
inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi).
Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokan
berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers.
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1. Innovators: sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.
Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi.
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang
dihormati, akses di dalam tinggi.
26
3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi para pengikut awal.
Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan
ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum
kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan
opinion leaders,sumberdaya terbatas.
Mengenai saluran komunikasi sebagai sarana untuk menyebarkan inovasi, Rogers
(1983) menyatakan bahwa media massa lebih efektif untuk menciptakan pengetahuan
tentang inovasi, sedangkan saluran antarpribadi lebih efektif dalam pembentukan dan
percobaan sikap terhadap ide baru, jadi dalam upaya mempengaruhi keputusan untuk
melakukan adopsi atau menolak ide baru.
2.4 Konsep Diferensiasi
Philip Kotler(1999), memberikan definisi dari diferensiasi sebagai berikut:
“Diferensiasi adalah tindakan merancang satu set perbedaan yang berarti untuk
membedakan penawaran perusahaan dari penawaran pesaing.”
Sedangkan Thompson dan Strickland (1998), mendefinisikan diferensiasi sebagai:
“Differentiation Strategies are an attractive competitive approach when preference
are too diverse to be fully satisfied by a standardized product or when buyer
27
requirements are too diverse to be fully satisfied by sellers with identical
capabilities.”
Diferensiasi merupakan suatu cara yang dilakukan perusahaan untuk menciptakan
posisi unik di benak konsumen. Hal ini sejalan dengan hakikat dari positioning yaitu
penciptaan posisi yang unik dan bernilai, yang melibatkan sekumpulan aktifitas yang
berbeda dari yang dipilih pesaing (Kotler,2003).
Selanjutnya Kotler, Kartajaya, Huan dan Liu (2003) menyatakan diferensiasi
merupakan tindakan merancang seperangkat perbedaan yang bermakna dalam
tawaran perusahaan. Tawaran tersebut harus dipersepsikan oleh konsumen sebagai
hal yang berbeda, namun harus benar-benar berbeda dalam hal content, context dan
infrastrukturnya.
Content adalah dimensi diferensiasi yang menunjukkan value yang
ditawarkan kepada pelanggan. Ini merupakan bagian tangible dari diferensiasi.
Context merupakan dimensi yang menunjuk pada cara perusahaan menawarkan
produk. Ini berhubungan dengan usaha-usaha perusahaan untuk membantu konsumen
mempersepsikan tawaran perusahaan dengan cara berbeda dari tawaran pesaing.
Dimensi terakhir menunjuk pada infrastruktur seperti teknologi, SDM dan fasilitas
yang
digunakan
untuk
menciptakan
diferensiasi
content
dan
context.
Proses diferensiasi dapat dilakukan dalam 3 tahap (kotler,2000),yaitu:
Pertama dengan menemukan model nilai konsumen. Perusahaan harus membuat
semua daftar produk dan jasa yang mempengaruhi persepsi konsumen yang menjadi
target market terhadap value. Kedua dengan membangun hirarki nilai pelanggan,
28
perusahaan harus menyusun setiap faktor kedalam satu kelompok dari empat
kelompok yaitu: basic (dasar), expected (harapan), desired (keinginan) dan
unanticipated (kejutan). Yang ketiga adalah menemukan sepaket nilai konsumen.
Perusahaan harus memilih kombinasi antara faktor yang intangible dan tangible
untuk membedakan dengan pesaing dan menciptakan konsumen yang loyal.
Dalam membangun positioning di benak konsumen perusahaan harus
mengembangkan unique selling proposition (USP) yang merupakan competitive
advantage (Kotler, 2003). Dimana produk atau jasa yang dihasilkan harus unik atau
hanya dimiliki perusahaan dan dibutuhkan oleh konsumen. Sebuah produk atau
merek harus mengkomunikasikan dirinya sebagai yang nomor satu pada manfaat
yang dicari konsumen.
2.4.1 Alat Diferensiasi
Perusahaan dapat melakukan diferensiasi pada lima dimensi (Kotler, 2003) yaitu:
1. Diferensiasi Produk
Diferensiasi produk adalah kegiatan memodifikasi produk agar menjadi lebih
menarik. Diferensiasi ini memerlukan penelitian pasar yang cukup serius karena
agar bisa benar-benar berbeda, diperlukan pengetahuan tentang produk pesaing.
Diferensiasi produk ini biasanya hanya mengubah sedikit karakter produk, antara
lain kemasan dan tema promosi tanpa mengubah spesifikasi fisik produk, meskipun
itudiperbolehkan.
Tujuan dari strategi diferensiasi adalah mengembangkan positioning yang tepat
29
sesuai keinginan konsumen potensial yang ingin dituju. Jika pasar melihat
perbedaan produk perusahan dibanding produk pesaing maka akan lebih mudah
mengembangkan marketing mix untuk produk tersebut.
Diferensiasi produk dapat dilakukan pada form (bentuk) seperti ukuran, bentuk dan
bentuk fisik lainnya dari produk, features (corak) dengan memvariasikan fungsi
dasar produk, performance (kinerja), durability (daya tahan), reliability
(kehandalan), style (Mode) dan design (Disain).
Perusahaan jasa dapat melakukan diferensiasi melalui inovasi yang bersifat
pre-emptive dalam jangka panjang (Macmillan dalam Aaker, 1992 dalam
Sukowatai, 2003). Pre-emptive di sini maksudnya adalah implementasi suatu
strategi yang baru bagi suatu bisnis tertentu. Karena merupakan yang pertama,
maka dapat menghasilkan keterampilan atau aset yang dapat merintangi, mencegah,
atau menghalangi para pesaing untuk melakukan duplikasi atau membuat
tandingannya.
Perusahaan jasa dapat mendeferensiasikan dirinya melalui citra di mata pelanggan,
misalnya melalui simbol-simbol dan merek yang digunakan. Selain itu, perusahaan
dapat melakukan diferensiasi produk dalam penyampaian jasa (service delivery)
melalui tiga aspek yang juga dikenal sebagai 3P dalam pemasaran jasa, yaitu orang
(people),
lingkungan
fisik
(physical
environment)
dan
proses
(process)
Keunggulan bersaing yang berkesinambungan adalah kemampuan suatu perusahaan
untuk menciptakan suatu produk yang pada saat pesaing berusaha untuk menirunya
akan selalu mengalami kegagalan secara signifikan. Di samping faktor keunikan
30
produk, perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing juga menerapkan strategi
marketing mix yang meliputi harga yang mampu bersaing, tempat atau lokasi
strategis, dan promosi yang memadai.
2. Diferensiasi Jasa
Produk tidak selalu mudah untuk di diferensiasi maka menyikapi ini perusahaan
perlu menambah nilai pelayanan serta meningkatkan kualitasnya. Kreativitas yang
tinggi mengharmonisasikan unsur-unsur marketing mix : product, place, price,
promotion, people, packaging, programming patnership sehingga kualitas jasa yang
dirasakan oleh konsumen melebihi harapan (Kotler,2003).
Cara lain untuk melakukan diferensiasi adalah secara konsisten memberikan
kualitas pelayanan yang lebih baik daripada para pesaing (Tjiptono dalam
Sukawati, 2003). Hal ini dapat dicapai dengan memenuhi atau bahkan melampaui
kualitas jasa yang diharapkan para pelanggan. Kualitas jasa sendiri dipengaruhi
oleh dua variabel, yaitu jasa yang dirasakan (perceived service) dan jasa yang
diharapkan (expexted service). Bila jasa yang dirasakan lebih kecil daripada yang
diharapkan, maka para pelanggan menjadi tidak tertarik lagi pada penyedia jasa
yang bersangkutan. Bila yang terjadi adalah sebaliknya (perceived expexted), maka
ada kemungkinan para pelanggan akan menggunakan penyedia jasa itu lagi.
Diferensiasi jasa dapat dilakukan pada delivery yaitu bagaimana produk dan jasa
sampai kepada konsumen (Kotler, 2003). Disini termasuk kecepatan dan
keakuratannya. Instalation yaitu bagaimana sebuah produk terpasang dengan baik
31
di tempat konsumen. Customer training dan customer consulting yaitu bagaimana
perusahaan memberikan pengarahan dan mendengarkan keluhan dari konsumen.
3. Diferensiasi Personel
Diferensiasi personal adalah diferensiasi lewat keunggulan personal. Hal ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan kompetensi karyawan melalui peningkatan
pengetahuan, courtesy atau keramah tamahan, sopan santun dan bersahabat,
credibility yaitu dapat dipercaya dan jujur serta responsiveness yaitu cepat tanggap
menghadapi pelanggan.
4. Diferensiasi Image (Citra)
Image atau citra identik dengan atribut dan merupakan sebuah karakteristik, yang
khusus atau pembeda dari penampilan seseorang atau benda (Zyman, S, 2000 dalam
Sukawati, 2003). Diferensiasi citra adalah bauran yang tepat dari elemen
pencitraan, yang menciptakan citra sebuah merek. Proses pencitraan harus
membangun, memaksimalkan, memanfaatkan, dan mengekploitasikan kekuatan dan
kelemahan setiap elemen citra untuk memastikan bahwa merek itu memiliki
prospek yang baik secara terus- menerus.
2.5 Experiential Marketing
Menurut Pine II dan Gilmore (1999) terdapat 4 tingkatan dalam ilmu
pemasaran (economic value) yakni commodities, goods, service dan experience yang
masing-masing tingkatan memiliki arti dan pengaruh masing-masing yang berkaitan
dengan kepuasan konsumen.
32
a.Commodities
Komoditi atau komoditas merupakan bahan material yang diambil secara langsung
dari alam misalnya flora, fauna, air, udara, tanah serta mineral. Pada umumnya
komoditi diproses lebih lanjut sehingga diperoleh suatu karakteristik tertentu dan
lebih bermanfaat dan mempunyai nilai jual jika dilakukan pengolahan lebih lanjut.
b.Goods
Goods merupakan komoditi sebagai bahan mentahnya atau merupakan barang
setengah jadi dan siap dijual. Harga goods itu sendiri ditentukan berdasarkan pada
biaya produksi.
c.Services
Service lebih kenal dengan jasa yang dipergunakan untuk memenuhi keinginan
konsumen. Konsumen pada umumnya menilai manfaat dari service adalah lebih
tinggi dari yang konsumen ekspektasikan atau harapkan (kepuasan).
d.Experience
Experience adalah suatu kejadian yang terjadi apabila badan usaha dengan sengaja
menggunakan services sebagai prasarana dan goods menjadi penyangga untuk dapat
menarik hati atau minat konsumen secara individual dan emosi. Badan usaha
berusaha mengikat pengalaman disekeliling goods maupun services yang ada untuk
dapat menarik konsumen lebih banyak. Konsumen secara umum menilai pengalaman
berdasarkan pada ingatan atas kejadian yang menarik hati.
33
Pergerakan economic value dari keempat tingkatan yang ada mulai dari
commodities, goods, service dan experience akan meningkat secara besar dalam value
karena konsumen menemukan bahwa dalam tiap tingkatan tersebut lebih relevan
terhadap apa yang diinginkannya. Setiap badan usaha memiliki tingkat experience
yang berbeda-beda sehingga mereka lebih mudah mendiferensiasikan apa yang
mereka tawarkan. Pendekatan yang dapat digunakan oleh badan usaha untuk dapat
menggerakan economic value menuju pada tingkatan experiential yaitu dengan
menambah elemen-elemen yang dapat mempertinggi interaksi yang berkaitan secara
langsung dengan panca indra melalui penglihatan, suara, sentuhan, rasa dan bau dari
konsumen tersebut. Tahapan-tahapan dalam pergerakan economic value adalah
mengolah barang atau bahan baku (extract commodities), tahap membuat barang atau
produk (make goods), tahap memberikan pelayanan (deliver services) dan tahap
pengalaman (stage experience) yang mempunyai arti memberikan pengalaman yang
bersifat memorable (selalu diingat dan dikenang dalam pikiran).
2.5.1 Pengertian Experiential Marketing
Experiential sendiri berasal dari kata experience yang berarti sebuah pengalaman.
Definisi experience menurut Schmitt (1999:60):
“Experiences are private events that occur in response to some stimulation.”
Definisinya pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi
dikarenakan adanya stimulus tertentu.
34
Pine II dan Gilmore (1999:12) berpendapat bahwa “Experience are event that engage
individuals in a personal way” yang berarti pengalaman adalah suatu kejadian yang
terjadi dan mengikat pada setiap individu secara personal.
Sedangkan pengertian marketing menurut Evans and Berman (1992:8): “Marketing is
the anticipation, management and satisfaction of demand through the exchange
process” artinya bahwa marketing adalah suatu aktivitas untuk melakukan antisipasi,
pengelolaan dan pencapaian kepuasan konsumen melalui proses pertukaran.
Bisa dikatakan bahwa pengertian Experiential Marketing adalah suatu aktivitas untuk
melakukan antisipasi, pengelolaan dan pencapaian kepuasan konsumen melalui
proses pertukaran yang merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi sebagai
tanggapan atau beberapa stimulus.
2.5.2 Elemen-Elemen Experiential Marketing
Elemen-Elemen Experiential Marketing (Schmitt,1999) terdiri dari:
1. Sense
‘Sense’ berkaitan dengan gaya (styles) dan simbol-simbol verbal dan visual
yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan. Untuk menciptakan kesan
yang kuat, baik melalui iklan, packaging ataupun website, seorang pemasar
perlu memilih warna yang tepat sejalan dengan company profile. Pilihan
warna ini harus menarik untuk membangkitkan perhatian pelanggannya.
Sebagai contoh warna kuning atau merah biasanya lebih baik daripada biru
35
atau abu-abu. Meskipun kedua warna terakhir ini merupakan warna yang
umum dalam sebuah perusahaan karena merupakan simbol daerah yang
‘aman’, tetapi warna ini bukanlah warna yang sangat baik untuk menarik
perhatian pelanggan. Pemilihan warna harus sesuai dengan kriteria dan image
perusahaan. Selain itu pilihan gaya (styles) yang tepat juga tak kalah
pentingnya. Perpaduan antara bentuk, warna dan elemen-elemen yang lain
membentuk berbagai macam gaya (styles) antara lain minimalis, ornamentalis,
dinamis dan statis. Sebagai contoh adanya hotel dengan bermacam-macam
gaya. Business hotel tentunya berbeda dengan resort hotel dari pemilihan
warna, lokasi, furniture maupun gaya arsitekturnya.
2. Feel
Perasaan di sini sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena hal ini
berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang. Ini bukan sekedar
menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu
membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan. Perusahaan Hallmark
adalah contohnya. Pada saat menjelang Natal, Hallmark meluncurkan iklan
TV yang menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang hampir tidak dapat
pulang berkumpul dengan keluarganya di hari Natal karena kendala salju yang
tebal. Dia akhirnya dapat mewujudkan keinginannya pada saat adik lakilakinya mulai menyanyikan Christmas Carols sehingga seluruh keluarga
merasa bahagia dapat berkumpul bersama. Hallmark mampu menyampaikan
‘feel’ Natal sebagai momen untuk berbagi kasih bersama seluruh anggota
keluarga.
36
3. Think
Dengan berpikir (think) dapat merangsang kemampuan intelektual dan
kreativitas seseorang. Sebagai contoh, perusahaan komputer Apple melakukan
kampanye iklan komputer yang tidak umum. Iklan ini tidak menampilkan
adanya computer tetapi menampilkan tokoh-tokoh heroic abad 20 mulai dari
Einstein hingga John Lennon. Hal ini dilakukan Apple untuk memperbaiki
kinerja pemasarannya disamping untuk menarik pelanggannya agar berpikir
lebih luas dan berbeda mengenai perusahaan dan produknya. Contoh lainnya
adalah Benetton yang menampilkan serangkaian iklan foto jurnalistik yang
berupa foto-foto sederetan orang yang meninggal. Iklan ini terlalu
mengejutkan. Oleh karena itu pemasar perlu berhati-hati dalam melakukan
pendekatan ‘Think’ dan tidak terlalu provokatif serta berlebihan karena dapat
merugikan. Dengan membuat pelanggan berpikir beda hal ini akan berakibat
mereka mengambil posisi yang berbeda pula. Kadangkala posisi yang diambil
ini bertentangan dengan harapan pemasar.
4. Act
berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang. Hal ini
berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan
mengekspresikan gaya hidupnya. Riset pasar menunjukkan banyak orang
membeli Volkswagen Beetle sebagai mobil kedua setelah BMW atau Lexus.
Mereka mempunyai gaya hidup tertentu; mereka ingin mengendarai mobil
yang lebih enak untuk dikendarai daripada mobil pertama mereka yang lebih
profesional. Jadi ‘Act’ di sini meliputi perilaku yang nyata atau gaya hidup
37
yang lebih luas. Ada berbagai cara untuk mengkomunikasikan ‘Act’. Dalam
Web pemasar dapat menggunakan flash animations; di TV dengan iklan
pendek. Sedangkan di lingkungan sosial dapat dilakukan dengan gambar
hidup yang dapat bergerak dengan cepat. Media cetak bukanlah pilihan yang
baik untuk ini. Pemilihan sarananya harus hati-hati dan tepat sehingga dapat
membangkitkan pengalaman yang diinginkan.
5. Relate
berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat
menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu menciptakan
identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya dengan
produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan simbol
budaya
dalam
kampanye
mengidentifikasikan
iklan
kelompok
dan
desain
pelanggan
Web
tertentu.
yang
mampu
Harley-Davidson
merupakan contoh kampanye ‘Relate’ yang mampu menarik beribu-ribu
pengendara motor besar di Amerika dalam rally di penjuru negara itu.
Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo berupa logo Harley-Davidson di
lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka menunjukkan kelompok
referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya.
2.5.3
Karakteristik Experiential Marketing
Schmitt (1999:12) membagi Experiential Marketing menjadi 4 karakteristik, yaitu:
38
a. Fokus pada pengalaman konsumen
Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi
tertentu yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan
relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman
tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya
hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam
lingkup usahanya.
b. Menguji situasi konsumen
Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan
suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk
tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi
produk tersebut.
c. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi
Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi
rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan
konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih
menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan
ditantang secara kreatif.
39
d. Metode dan perangkat bersifat elektik
Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat
elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih
mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar
yang sama. Pada Experiential Marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal
badan usaha saja, melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada
konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada konsumen.
2.5.4
Manfaat Experiential Marketing
Fokus utama dari suatu Experiential Marketing adalah pada tanggapan panca indra,
pengaruh, tindakan serta hubungan. Oleh karena itu suatu badan usaha harus dapat
menciptakan experiential brands yang dihubungkan dengan kehidupan nyata dari
konsumen. Experiential Marketing dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan
pada situasi tertentu. Ada manfaat yang dirasakan suatu badan usaha menurut
pandangan Schmitt (1999:34) menerapkan Experiential Marketing antara lain:
(a) untuk membangkitkan kembali merek yang sedang merosot
(b) untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing
(c) untuk menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan
(d) untuk mempromosikan inovasi
(e) untuk membujuk percobaan, pembelian dan loyalitas konsumen.
40
2.6 Loyalitas Pelanggan
Kesetiaan konsumen tidak terbentuk dalam waktu singkat tetapi melalui proses
belajar dan berdasarkan hasil pengalaman dari konsumen itu sendiri dari pembelian
konsisten sepanjang waktu. Bila yang didapat sudah sesuai dengan harapan, maka
proses pembelian ini terus berulang. Hal ini dapat dikatakan behwa telah timbul
adanya kesetiaan konsumen. Bila dari pengalamannya, konsumen tidak mendapatkan
merek yang memuaskan maka ia tidak akan berhenti untuk mencoba merek-merek
yang lain sampai ia mendapatkan produk atau jasa yang memenuhi kriteria mereka.
Menurut Wulf, Gaby dan Lacobucci (2001:36) loyalitas merupakan besarnya
konsumsi dan frekuensi pembelian dilakukan oleh seorang konsumen terhadap suatu
perusahaan. Dan mereka berhasil menemukan bahwa kualitas keterhubungan yang
terdiri dari kepuasan, kepercayaan dan komitmen mempunyai hubungan yang positif
dengan loyalitas.
Loyalitas memberi pengertian yang sama atas loyalitas merek dan loyalitas
pelanggan. Memang benar bahwa loyalitas merek mencerminkan loyalitas pelanggan
terhadap merek tertentu, tetapi apabila pelanggan dimengerti sama dengan konsumen,
maka loyalitas konsumen lebih luas cakupannya daripada loyalitas merek, karena
loyalitas konsumen mencakup loyalitas terhadap merek (Dharmmesta,1999:75).
Loyalitas adalah tentang presentase dari orang yang pernah membeli dalam kerangka
waktu tertentu dan melakukan pembelian ulang sejak pembelian yang pertama.
41
Dalam mengukur kesetiaan, Zeithaml(1996:38) menyatakan dengan beberapa
atribut yaitu : 1) mengatakan hal yang positif tentang perusahaan kepada orang lain;
2) merekomendasikan perusahaan kepada orang lain yang meminta saran; 3)
mempertimbangkan bahwa perusahaan merupakan pilihan pertama dalam melakukan
pembelian jasa; 4) melakukan lebih banyak bisnis atau pembelian dengan perusahaan
beberapa tahun mendatang.
Adapun pendapat dari Oliver (1999:53) yang mendefinisikan loyalitas konsumen
dengan suatu keadaan dimana terdapat komitmen yang kuat dalam pembelian ulang
dan penggunaan kembali barang dan jasa perusahaan. Untuk itu terdapat konsep
loyalitas yang ditawarkan Oliver (1999:35-37) mengenai tingkat loyalitas konsumen
terdiri dari empat tahap yakni:
1.
Loyalitas Kognitif
Tahap dimana pengetahuan langsung maupun tidak langsung konsumen akan
merek, dan manfaatnya, dan dilanjutkan ke pembelian berdasarkan pada
keyakinan akan superioritas yang ditawarkan. Pada tahap ini dasar kesetiaan
adalah informasi tentang produk atau jasa yang tersedia bagi konsumen.
2.
Loyalitas Afektif
Sikap favorable konsumen terhadap merek yang merupakan hasil dari
konfirmasi yang berulang dari harapannya selama tahap cognitively loyalty
berlangsung. Pada tahap ini dasar kesetiaannya adalah pada sikap dan
komitmen konsumen terhadap produk dan jasa.
3.
42
Loyalitas Konatif
Intensi membeli ulang sangat kuat dan memiliki keterlibatan tinggi yang
merupakan dorongan motivasi.
4.
Loyalitas Tindakan
Menghubungkan penambahan yang baik untuk tindakan serta keinginan untuk
mengatasi kesulitan seperti pada tindakan kesetiaan.
Tjiptono (2001:85) mengemukakan enam indikator yang bisa digunakan untuk
mengukur loyalitas konsumen yaitu 1) Pembelian ulang; 2) kebiasaan mengkonsumsi
merek tersebut; 3) selalu menyukai merek tersebut; 4) tetap memilih merek tersebut;
5) yakin bahwa merek tersebut yang terbaik; 6) merekomendasikan merek tersebut
pada orang lain.
43
44
45
46
47
Download