TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis Matoa (Pometia pinnata Forst.) Jacobs (1962) mendeskripsikan matoa sebagai tumbuhan berumah satu; pohon berukuran sedang sampai besar, memiliki dinding penunjang, getah merah. Daun majemuk menyirip genap (paripinate), tersusun spiral, anak daun paling bawah pada sumbu daun menyerupai daun penumpu dan sering tereduksi; tangkai daun pulvinate; daun muda berwarna krem dan sangat mencolok; daun pada pangkal perbungaan sering tereduksi menjadi stipula semu. Anak daun berhadapan sampai berseling, pasangan bawah selalu lebih kecil; setiap pertulangan anak daun berakhir atau bermuara pada setiap ujung anak daun atau ujung dari tiap gigi anak daun (hydathoda) dan setiap pertulangan antara menekuk atau melengkung ke arah bagian atas tetapi tidak mencapai tepi anak daun; anak daun menjarum sampai bergigi mencolok; terdapat kelenjar minyak pada bagian permukaan bawah pangkal daun. Tangkai anak daun melebar dan rapat, bagian atas memiliki dua alur lateral atau lekukan tipis. Perbungaan terdapat di ujung ranting, kadang-kadang di bagian ketiak daun. Braktea menyerupai bentuk segitiga sempit sampai benang. Bunga yang paling atas soliter, tanpa brakteole, uniseksual, simetri radial; tangkai bunga terete, ramping, articulate, panjang dan tenggelam di dalam buah, sepal 5, ramping sampai lebih dari separuh bersatu, bagian kuncup mengatub, dua bagian terluar selalu lebih tipis dan lebih kecil; tepi rata, persisten pada buah; petal 5, umumnya pendek sampai panjang dan jelas, jika dibandingkan dengan kelopak, tidak atau berkuku keras, hampir rata, cakram dalam bentuk cincin, pulvinate, tidak bercuping, kurang lebih bergelombang; benang sari 5 (6), pada bunga jantan lebih panjang, menjarum, berambut terutama pada bagian paruh bawah atau licin, kepala sari rapat menyerupai bentuk pola kupu-kupu; ovarium duduk, bentuk jantung, 2 (-3) ruang, tangkai putik sama panjang atau lebih panjang dari ovarium, 1 bakal biji tiap ruang. Buah menempel langsung tanpa ditopang tangkai buah, sering memiliki satu ruang biji yang tidak merekah, halus, licin dan tidak berambut, merah sampai hitam saat ranum; kulit luar kasar, agak tipis; kulit tengah agak tebal dan bersari putih, semi transparan, rasa manis. Buah yang kering memiliki retakan tidak beraturan menjadi dua serabut atau lapisan gabus, 5 salah satunya di dalam pericarp dan yang lainnya menyelimuti biji. Biji bulatmelonjong, coklat kemerahan, tersalut daging tipis arillode secara sempurna, diameter ± 5 mm. Forma dan Sebaran Matoa Selanjutnya Jacobs (1962) mengelompokkan variabilitas matoa ini ke dalam 8 forma, yaitu: 1. Forma pinnata memiliki tulang tengah anak daun yang berambut coklat kekuningan padat, anak daun membundar telur, pertulangan berwarna kemerahan, gundul ataupun memiliki rambut coklat kekuningan pada tulang tengah anak daun; perbungaan kaku dan mencapai panjang 30 cm. 2. Forma glabra memiliki tulang tengah anak daun gundul, perbungaan kaku mencapai panjang 60 cm, bercuping, tekstur anak daun kasar, panjang lebih dari 30 cm, perbungaan tanpa rambut, pasangan basal menyerupai cuping, membundar (tidak menyerupai bentuk sabit) dan memeluk batang seperti halnya daun penumpu semu, baik pada bagian perbungaan maupun daun normalnya. 3. Forma repanda umumnya perbungaan tidak memiliki daun penumpu semu, gundul, panjang mencapai 30 cm, tekstur anak daun lebih kaku. 4. Forma alnifolia, perbungaan menggantung dengan percabangan yang lebih sederhana, anak daun semi rata (subentire), panjang 30 cm, warna hijau pudar saat kering, bagian adaksial hijau mengkilap. 5. Forma cuspidate memiliki anak daun bergigi besar (dentate), mencapai 16 cm, warna kehijauan sampai abu-abu dan berwarna pudar saat kering. 6. Forma macrocarpa, perbungaan tanpa daun penumpu, panjang mencapai 30 cm, tanpa rambut, tepi anak daun semi rata. 7. Forma acuminata, tulang tengah anak daun gundul, perbungaan menggantung, anak daun panjangnya mencapai 25 cm lebih, tanpa daun penumpu, ujung meruncing dengan panjang ujung 2-4 cm (acuminate), bergigi mencolok, dimana jarak antar gigi terpisah jauh. 6 8. Forma tomentosa, pola perbungaan bercabang berulang, berambut coklat padat, seperti karatan besi hingga coklat dan daun berwarna coklat saat kering, panjangnya 30 cm, gigi dapat dibedakan secara jelas. Forma glabra dan tomentosa tersebar di Jawa Barat dan Jawa Timur. Forma cuspidate di Sumbawa, Timor dan Wetar. Forma acuminata paling besar variasinya dan endemik di bagian utara Borneo. Forma glabra, repanda dan pinnata terdapat di daerah Palawa (Filipina). Forma glabra dan f. pinnata ditemukan juga di Celebes dan di Kepulaun Maluku (Moluccas). Forma pinnata, glabra dan repanda terdapat di Talaud, Bacan dan di New Guinea. Ketiga forma ini tersebar pesat di tanah daratan Papua dan Kepulauan Teluk Cenderawasih (Geelvink Baii). Forma repanda dikenal di pulau Aru; tidak ada catatan di Waigeo, tetapi di Misol terdapat bentuk intermediet antara f. pinnata dan f. glabra. Populasi matoa di daerah Pasifik cukup homogen mengacu pada f. pinnata dan masih terdapat beberapa ras lokal yang dikembangkan untuk dibudidaya. Tidak ada variasi yang khas di New Guinea. Menurut Damas (1993), f. tomentosa khas di PNG dan mesti diposisikan pada tingkat jenis, karena memiliki pola akar kurang berbanir dan kurang tinggi, tepi menumpul, permukaan kulit luar mengelupas membentuk flek tipis-pendek yang meninggalkan bekas atau lubang-lubang dangkal, berwarna terang-coklat kemerahan; batang tegak lurus, lebih tinggi, membundar teratur; anak daun membundar telur-melanset; ranting dan anak daun berambut, berwarna hijau terang dan ukurannya lebih sempit. Sedangkan forma pinnata memiliki anak daun yang memanjang sampai jarang yang membundar telur-lonjong, pangkal cordatedangkal; sumbu daun jarang atau tidak overlapping. Tahap awal germinasi keduanya memiliki tampilan yang sama, namun pada fase seedlings lambat-laun berubah pada saat daun keempat dan kelima muncul. P. pinnata memiliki anak daun yang hijau mengkilap, tanpa rambut dan pada tanaman dewasanya berpola akar banir papan, tepi menajam; permukaan kulit batang mengelupas tipis-pendek membentuk permukaan yang halus, berwarna lebih gelap; bagian bawah pangkal batang berpilin; tajuk lebih rendah, membundar tidak teratur. Pometia terdiri atas dua jenis berdasarkan daerah asal dan distribusi di Sri Lanka, Kepulauan Andaman yang tersebar melalui Asia Tenggara sampai Samoa 7 dan Fiji, tetapi jarang ditemukan di Asia Tenggara dan Taiwan. P. pinnata Forst. jarang ditanam di tempat distribusi aslinya. P. ridleyi King., umumnya tersebar di Semenanjung Malaysia pada lembah bukit hutan primer dan sepanjang sungai hingga mencapai 750 m dpl. Pohon besar, tinggi mencapai 50 meter, diameter 100 cm. Daun terdiri atas 4-8 pasang anak daun, tepi rata, semua pertulangan melengkung terhadap tepi anak daun dan tidak berakhir pada bagian tepi. Perbungaan dan kelopak tidak berambut (Soerianegara & Lemmens 1994). Matoa tersebar luas di seluruh hutan dataran rendah Papua. Menurut Soemiasri et al (1996), terdapat 3 kultivar matoa, yaitu Kelapa, Papeda dan Kenari. Tegakan matoa di Jayapura tumbuh dan berasosiasi dengan pohon sagu (Metroxylon sago) pada ketinggian 10-50 mdpl, topografi datar, jenis tanah alluvial dan curah hujan rata-rata 2480 mm/tahun. Menurut Soetisna et al., (1994), di luar habitat aslinya, pertumbuhan pohon matoa yang terbaik pada ketinggian 0120 m dpl; di hutan lindung Cyclop mulai dari ketinggian 50-70 m dpl dan berasosiasi dengan Intsia sp. , Planconella sp. dan Palaqium sp. (jenis-jenis dari suku Meliaceae). P. pinnata Forst. (taun) merupakan jenis yang khas hutan hujan dataran rendah di bawah ketinggian 500 m dpl dan jarang yang mencapai 1000 m dpl, namun ditemukan di Aceh pada ketinggian 1700 m dpl. Tumbuh pada batu kapur, tanah liat, tanah berpasir atau tanah bersifat lempung. Taun tidak dominan di dalam hutan di kawasan Semenanjung Malaysia, tetapi ditemukan sepanjang sungai dan kadang-kadang di hutan berawa di Sumatera, walau umumnya tumbuh di tanah kering. Matoa dominan di dalam hutan di New Guinea, seperti pada areal yang sudah terjamah manusia, P. pinnata f. pinnata dan f. repanda tumbuh pada berbagai tipe tanah dan paling subur pada tanah berbatu kapur yang drainasenya baik, tetapi tidak toleran terhadap iklim musiman. Biji matoa segera berkecambah setelah matang. Periode pembungaan dan musim buah 2-5 bulan, tetapi tidak ada korelasi yang bisa dilihat dari musim dan iklim. Regenerasi biji secara alami melimpah di hutan bekas tebang, seperti di daerah Karavant (PNG), Jayapura dan Manokwari. Pertumbuhan tinggi pesat pada tahun pertama mencapai 3-5 m/tahun. Regenerasi dapat mencapai lebih dari 1000 pohon tiap hektar membentuk kombinasi tegakan murni di lapangan dan bibit yang muncul secara simultan 8 dengan jenis komersial lainnya, seperti Dracontomelum dao Merr. & Rolfe. Bibit yang rusak akibat kebakaran dapat beregenerasi dan di tempat tanpa bibit, tumbuh dari biji yang dibawa oleh burung (Westphal & Jansen 1989). Isozim Konsep isozim pertama kali diperkenalkan oleh Murkert dan Moller (1959) sebagai bentuk-bentuk molekul enzim ganda yang membagi sebuah substrat yang umum secara bersama-sama, tetapi berbeda dalam mobilitas elektroforsis. Isozim juga didefinisikan sebagai bentuk-bentuk molekul enzim berbeda yang mungkin hadir dengan spesifikasi enzimatik yang sama, berarti bahwa varian-varian berbeda pada enzim yang sama atau fungsi-fungsi yang sama muncul pada individu sama. Variasi yang disebabkan oleh mutasi dapat diwariskan dan digunakan sebagai pembeda antara satu varietas dan varietas lainnya karena menunjukkan polimorfisme. Setiap isozim terdiri atas urutan asam amino dan bermuatan listrik yang berbeda, maka bergerak dengan kecepatan yang berbeda pada saat elektroforesis (Buth 1984). Isozim merupakan produk dari suatu gen, dipakai sebagai penanda karena memiliki beberapa keunggulan antara lain: alel yang berbeda biasanya diwariskan secara kodominan dan bebas dari epistasis, sehingga indidvidu homozigot dapat dibedakan dari individu heterozigot; percobaan dapat dilakukan di laboratorium dengan peralatan dan bahan yang lebih murah; jumlah sampel yang banyak dapat dianalisis sekaligus dalam waktu yang singkat; dapat dilakukan pada fase bibit, sehingga bisa menghemat waktu, biaya dan tempat (Brown & Weir 1983). Elektroforesis Elektroforesis adalah suatu cara pemisahan molekul atas dasar proses perpindahan molekul bermuatan karena pengaruh medan listrik. Molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul. Pemisahan molekulmolekul dengan muatan yang berbeda merupakan prinsip yang dipakai dalam elektroforesis (Nur & Juwana 1987). Metode elektroforesis dapat memisahkan ukuran molekul berbeda dari tiap protein (enzim) yang dianalisis ke dalam pola- 9 pola pita yang dapat dilihat setelah dilakukan pewarnaan. Pola pita itu merupakan hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati. Struktur isozim tersusun atas asam-asam amino yang mengandung gugus karboksil dan gugus amino tertentu. Urutan asam amino yang berbeda pada suatu polipeptida ditentukan oleh susunan nukleotida yang berbeda, maka hasil elektroforesis isozim suatu tanaman dapat digunakan untuk menganalisis gen itu sendiri (Simpson & Withers 1986). Hanya sepertiga dari semua pertukaran asam amino yang dapat terdeteksi melalui teknik elektroforesis. Elektroforesis juga terbatas pada jumlah metode penandaan yang tersedia. Metode yang tersedia hanya untuk protein yang dapat larut dalam air (May 1994). Beberapa isozim dapat terurai lebih baik bila digunakan kombinasi bufer gel dan elektroda tertentu (Weeden 1983). pH bufer elektroforesis dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan resolusi lapisan-lapisan protein yang dielektroforesis. Kerja elektroforesis berdasarkan dua prinsip dasar listrik yang saling berhubungan, yaitu aliran listrik yang sebanding dengan tegangan dan arus. Panas yang dihasilkan selama proses elektroforesis harus dihilangkan karena panas yang berlebihan dapat menurunkan aktivitas enzim. Fakta tersebut di atas digabungkan dengan jangka waktu elektroforesis, konsentrasi protein contoh, kualitas contoh, ukuran contoh dan prinsip penandaan gel dan protokol sangat berpengaruh terhadap hasil (Vallejos 1983). Analisa yang baik dapat memberikan penafsiran pola gel yang diharapkan. Pola-pola pita yang dihasilkan adalah hasil fenotipe elektroforesis yang terdiri atas satu atau lebih pola pita terwarnai untuk setiap individu yang dianalisis (Wendel & Weeden 1989b). Dalam beberapa hal, mungkin saja sederhana dan terdiri atas sebuah pita tunggal tidak bervariasi di dalam seluruh contoh. Di lain pihak, beberapa enzim dapat menampilkan fenotipe kompleks dengan 15 atau lebih banyak pita setiap individunya (Weeden 1983). Esterase (EST) Enzim esterase adalah enzim hidrolase yang memisahkan gugus-gugus ester menjadi sebuah asam dan alkohol di dalam suatu reaksi kimia dengan air yang disebut hidrolisis. Banyak enzim esterase berbeda dalam spesifikasi substrat 10 struktur protein dan fungsi biologinya. Jumlah isozimnya berkisar dari 2-10, distribusinya di dalam sitosol sel. Struktur kwarternernya terdiri atas monomer dan dimer (Tanskley & Rick 1989; Weeden & Wendel 1989a). Malat Dehidrogenase (MDH) Malat dehidrogenase adalah enzim di dalam siklus asam sitrat yang mengkatalisis perombakan malat menjadi oksaloasetat (menggunakan NAD+) dan merupakan reaksi dapat balik. Malat dehidrogenase memiliki jumlah isozim 3, distribusi dalam sitosol sel, mitokondria, mikrobodi dengan stuktur kwarterner dimer. Peroksidase (PER) Enzim Peroksidase tergolong dalam kelompok oksidoreduktase. Distribusi di dalam sitosol dan dinding sel, struktur kwarterner monomer dan dimer, jumlah isozimnya berkisar 2-13 (Weeden & Wendel 1989a). Dalam reaksi pewarnaan enzim peroksidase mengkatalisis reduksi H2O2 menjadi H2O dan O2. Substrat senyawa fenilin diamin seperti 3-amino-9 etil karbazole akan dioksidasi oleh oksigen hasil reduksi peroksida membentuk endapan berwarna merah kecoklatan. Reaksi yang terjadi dalam pewarnaan enzim peroksidase sebagai berikut: 2 H2O2 2H2O + O2 (Vallenjos 1983). PER Enzim peroksidase sangat sensitif terhadap konsentrasi peroksida dan gagal mendeteksi peroksida, jika dilakukan dengan konsentrasi H2O2 yang terlalu tinggi. Beberapa peroksida tidak aktif dengan agen pereduksi yang berkonsentrasi tinggi dalam bufer pengekstrak. Sistem bufer isozim peroksidase telah ditetapkan untuk beragam bufer elektroforesis. Beberapa peroksida pada tanaman dapat bergerak ke arah katoda dengan menggunakan pH5 (Wendel & Weeden 1989b).