BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gizi buruk masih menjadi masalah penting di setiap negara berkembang karena kasus gizi buruk ini telah menjadi penyebab 60% kematian balita. Menurut hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) secara nasional pada 2013, di Indonesia terdapat 23 juta balita dan yang mengalami gizi buruk 19,6% atau 5 juta balita (Anonim, 2013). Rata-rata setiap provinsi lebih dari 13% masih terdapat balita dengan status gizi buruk. Ini menunjukkan bahwa 2 dari 10 balita di Indonesia masih mengalami gizi buruk. Data terbaru dari Depkes pada tahun 2015 di Indonesia terdapat 185 kasus, jika dibandingkan tahun sebelumnya kasus ini mengalami penurunan jumlah namun data tersebut menunjukkan bahwa penangan kasus gizi buruk di Indonesia masih belum tuntas. Hasil survey oleh South East Asian Nutrition Surveys (SEANUTS) tahun 2012 terhadap Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam menyatakan bahwa gizi buruk di Indonesia masih menjadi masalah utama. Penyebab gizi buruk pada anak usia balita ini adalah tidak tercukupi atau terpenuhinya protein terutama asam amino esensial. Asam amino esensial merupakan metabolit (asam amino pembatas) yang tidak dapat dibiosintesis dalam tubuh manusia oleh karena itu harus secara berkelanjutan disuplai dalam bentuk pangan berprotein karena dampak terburuknya dapat menyebabkan terhambatnya pembentukan sel-sel otak. Kurangnya asupan protein ini juga menjadi pemicu penyakit gizi lain seperti kwarshiorkor (busung lapar) dan marasmus. Kwarshiorkor merupakan salah satu penyakit karena defisiensi protein pada anak-anak, sedangkan marasmus merupakan penyakit yang disebabkan oleh defisiensi energi dan gizi (Adriana dan Wijatmadi, 2012). Jika asupan asam amino esensial tidak tercukupi, maka dipastikan metabolisme akan terhambat terlebih pada anak usia balita yang masih dalam proses tumbuh kembang akan sangat rentan. Angka kecukupan gizi harian protein yang dibutuhkan anak dan bayi usia 0-6 tahun antara 12 – 35 g perorang perhari berdasarkan Peraturan Kementerian Kesehatan No. 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia, oleh karena itu fortifikasi asam amino menjadi salah satu langkah untuk memerangi malnutrisi di Indonesia. Fortifikasi pangan dengan zat gizi makro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan protein. Fortifikasi merupakan upaya perbaikan mutu gizi pangan dengan menambahkan satu atau lebih zat gizi makro atau mikro tertentu dalam bahan pangan tersebut untuk memperbaiki dan menambah kualitas gizinya. Fokus penelitian 1 fortifikasi yang sedang berkembang saat ini adalah pada bahan fortifikasi asam amino karena kandungan asam amino dalam suatu bahan pangan menjadi tolak ukur kualitas gizi bahan pangan yaitu semakin besar kandungan proteinnya maka semakin baik kualitas gizinya. Fokus penelitian ini adalah mencari alternatif sumber bahan fortifikasi dari limbah atau sisa bahan pangan yang kurang memiliki nilai guna serta ketersediannya yang melimpah dan belum dimanfaatkan. Biji buah merupakan salah satu limbah yang cukup melimpah jumlahnya. Jika ditinjau dari kondisi iklim di Indonesia yang memungkinkan berbagai jenis tanaman buah untuk tumbuh, maka produksi biji dari berbagai jenis buah tersebut akan turut melimpah. Kandungan protein pada biji bijian umumnya memang sudah lama menjadi suplai utama nutrisi manusia seperti kedelai dan biji gandum. Sebanyak 150 spesies biji telah diteliti kandungan proteinnya dan dinyatakan memiliki granula intraseluler yang kaya akan protein. Protein ini biasa disebut vacuolar protein dan umumnya protein yang terkandung berupa albumin, globumin dan prolamin (Altschul dan Wickel, 1985). Beberapa hasil penelitian dalam bidang fortifikasi yang memanfaatkan biji telah diperoleh hasil seperti biji jambu yang dimanfaatkan sebagai bahan fortifikasi pembuatan roti (Perez-Rocha dkk., 2015) dan biji semangka sebagai bahan fortifikasi dalam pembuatan biscuit (Wani dkk., 2015). Tanaman pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan sekitar kawasan Meksiko dan Costarika. Tanaman pepaya banyak ditanam di daerah tropis maupun subtropis (Djatmiko, 1985). Pepaya saat ini dibudidayakan oleh banyak negara di seluruh dunia. Setiap tahunnya Indonesia mampu menghasilkan 958 ribu ton biji pepaya. Pulau Jawa merupakan sentra produksi utama buah pepaya di Indonesia. Produksi buah ini dari daerah sentranya mencapai 236 ribu ton pada tahun 1994. Jumlah tersebut hampir mencapai 2 per 3 produksi buah pepaya di Indonesia. Jawa Timur mampu memproduksi buah pepaya sebanyak 363 ribu ton. Jawa Timur merupakan sentra produksi tertinggi, diikuti Jawa Barat, kemudian Jawa Tengah (Kalie, 2003). Pengolahan buah pepaya akan menghasilkan limbah biji pepaya sehingga diperlukan pengolahan alternatif. Berdasarkan jumlah tersebut maka diperlukan alternatif untuk mengelola limbah biji pepaya hingga mampu meningkatkan nilai gunanya. Terlebih biji pepaya memiliki berbagai kandungan gizi yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Musanif (2006) menyatakan bahwa biji pepaya memiliki komposisi nutrisi yaitu kandungan air (6,2%), minyak (28,2%), protein (27,8%), abu (3,5%), kandungan serat (22,6%) dan karbohidrat (11,7%). Secara spesifik Dakare (2011) 2 menyebutkan bahwa kandungan protein di dalam biji pepaya terdiri atas berbagai jenis asam amino. Komposisi terbesar adalah asam glutamat, asam aspartat, leusin dan arginin yang masing masing dapat diisolasi dengan berdasarkan perbedaan titik isoelektriknya. Dalam biji pepaya terdapat senyawa senyawa metabolit primer yang mengandung unsur nitrogen berupa protein maupun non protein. Penelitian ini mengkaji kandungan gizi biji pepaya (Carica papaya) sebagai alternatif sumber protein baru yang potensial sebagai bahan fortifikasi pangan. Pengambilan protein dapat dilakukan dengan metode ekstraksi protein dalam suasana asam dan fraksinasi isolat protein. Ekstraksi asam dilakukan karena protein akan semakin bersifat polar pada kondisi pH semakin basa atau asam sehingga kelarutannya akan meningkat. Protein bersifat netral dalam kondisi pH tepat pada titik isoelektriknya (pI) sesuai dengan komposisi asam aminonya sehingga pengambilan protein dapat dilakukan dengan menggunakan metode fraksinasi pada titik isoelektriknya. Hasil ekstraksi protein biji pepaya (Carica papaya) akan difraksinasi pada pH 5 dan 7 untuk memperoleh isolat protein pI 5 dan pI 7. Rentang titik isoelektrik 5-7 digunakan dalam penelitian ini karena mampu mengendapkan asam-asam amino esensial yang sebagian besar berada pada titik isoelektrik tersebut. Studi isolat protein pI 5 dan pI 7 dilakukan untuk melihat potensi masing-masing fraksi protein biji pepaya (Carica papaya L.) dalam fortifikasi makanan dengan ekstraksi dalam suasana asam, kualitas protein dapat dilihat dari besarnya kandungan asam amino esensial. I.2 Tujuan Penelitian 1. Melakukan ekstraksi dengan suasana asam dan fraksinasi isolat protein hasil ekstraksi biji pepaya 2. Mengetahui komposisi asam amino yang terkandung dalam fraksi protein biji pepaya pI 5 dan pI 7 3. Mempelajari potensi fraksi-fraksi protein biji pepaya sebagai sumber bahan fortifikasi I.3 Manfaat 1. Meningkatkan pemanfaatan dan nilai ekonomi dari limbah biji pepaya 2. Memberikan sumber informasi baru terkait asam amino yang terkandung dalam biji pepaya yang dapat dipergunakan dalam fortifikasi makanan. 3. Mampu memberikan solusi untuk membantu permasalahan bangsa, memberi alternatif dalam mengelola kekayaan sumber daya alam khususnya untuk limbah biji buahbuahan yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. 3