BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Barium Ferit Magnet keras (ferit

advertisement
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Barium Ferit
Magnet keras (ferit) yang banyak digunakan biasanya memiliki komposisi
dari barium atau stronsium dengan oksida besi yang telah dikembangkan sejak
1960. Bahan magnet ferit memiliki sifat mekanik dengan kekerasan dan sifat
magnetik yang cukup tinggi. Meskipun karakteristik energinya yang lebih rendah
dibandingkan dengan magnet keras lainnya seperti NdFeB, SmCo, dan Alniko.
Barium ferit sering digunakan dalam pembuatan keramik magnet keras
karena barium ferit mempunyai medan saturasi yang lebar, serta kesetabilan
kimianya yang tinggi (cullity). Ketepatan kontrol ukuran partikel dan bentuk dari
partikel barium ferit membutuhkan informasi yang berbeda dari strategi
perbandingan dengan spinel ferit (Yamauchi et al. 2009).
2.1.1 Kisi Kristal Barium Heksaferit
Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan
memisalkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik mempunyai
lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dibedakan meskipun
dilihat dari segala arah. Bila setiap titik tersebut dihubungkan, maka akan
diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik yang memenuhi ruang. Salah satu
contoh yang menunjukkan kisi sebuah kisi kristal barium heksaferit ditunjukkan
pada Gambar 2.1.
4
21
Gambar 2.1. Struktur Barium Heksaferit (Moulson & Herbert, 2003)
Struktur magnet barium heksaferit terdiri atas bagian kubik spinel (S) yang
terpisah oleh bagian heksagonal closed-packed (R) berisi ion Ba. Setiap bagian S
terdiri dari dua lapisan yang mengandung empat buah ion oksigen dan paralel
dengan bidang dasar heksagonal dengan tiga kation antara setiap lapisan. Bagian
R terdiri atas tiga lapis ion oksigen, dimana pada lapis tengah suatu ion oksigen
diganti dengan ion Ba. Setiap unit sel mengandung 10 lapisan oksigen dengan Ba
menggantikan ion oksigen setiap 5 (lima) lapis. Dalam satu unit sel setiap bagian
S mempunyai rumus kimia Fe6O8, setiap bagian R mempunyai rumus kimia
BaFe6O11 dan rumus kimia total adalah BaFe12O19. Tempat ion Fe adalah
tetrahedral dan oktahedral dan satu sisi yang lain dikelilingi oleh 5 (lima) oksigen
membentuk suatu piramida trigonal.
2.1.2 Sifat Magnet Barium Heksaferit
Ukuran untuk mengetahui besarnya sifat magnetik suatu bahan adalah
besarnya harga induksi remanen (Br), koersivitas (Hc) dan energi produk
maksimum (BHmaks). Induksi remanen didefinisikan sebagai nilai induksi B
yang sisa apabila suatu bahan dimagnetisasi jenuh dan kemudian medan magnet
luar diturunkan menjadi nol, sehingga induksi remanen sering juga disebut
22
magnetisasi sisa. Koersivitas adalah medan balik yang dibutuhkan untuk
mengembalikan induksi magnet B menjadi nol dari harga B = Br. Sedangkan
BHmaks adalah hasil kali B dan H yang terbesar pada kuadran kedua kurva
histeresis. Proses milling tanpa disertai proses annealing dapat menurunkan sifat
magnetik bahan barium heksaferit, tetapi proses milling yang disertai proses
annealing hingga temperatur 1000
0
C yang ditahan selama 3 jam dapat
memperbaiki sifat magnetik bahan barium heksaferit karena kerusakan sistem fasa
ataupun struktur kristal akibat proses milling tidak ada lagi (Akmal Johan, 2010).
Korelasi antara true density dengan ukuran partikel dan bulk density dengan
ukuran partikel adalah berbanding terbalik. Semakin kecil ukuran partikel, maka
kepadatannya akan semakin besar. Hasil uji kekerasan menunjukkan bahwa
hubungan antara hardness dengan ukuran partikel adalah juga berbanding
terbalik. Sedangkan sifat magnet yang dihasilkan tidak secara langsung
berkorelasi dengan ukuran butir (Ayu et al. 2012). Semakin besarnya kadar
Alumina yang ditambahkan pada BaFe12O19 dan dibantu dengan proses sinter
akan menurunkan kadar pori dari bahan serta sangat berpengaruh terhadap ukuran
butir sehingga mempengaruhi sifat ekstrinsik bahan magnet BaO.6(Fe2O3)
dibandingkan tanpa aditive.
2.2
Alumina (Al2O3)
Aluminium oksida (alumina) adalah senyawa kimia dari aluminium dan
oksigen dengan rumus kimia Al2O3. Secara alami, alumina terdiri dari mineral
korondum dan memiliki bentuk kristal seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur kristal mineral korondum alumina (Hudson et
al. 2002).
23
Senyawa ini termasuk dalam kelompok material aplikasi karena memiliki
sifat-sifat yang sangat mendukung pemanfaatannya dalam berbagai peruntukan.
Senyawa alumina merupakan insulator listrik yang baik karena memiliki kapasitas
panas yang besar, sehingga digunakan secara luas sebagai bahan isolator suhu
tinggi (Xu et al. 1994). Alumina juga dikenal sebagai senyawa berpori sehingga
dimanfaatkan sebagai absorben (Ghababazade et al. 2007). Sifat lain dari alumina
yang sangat mendukung aplikasinya adalah daya tahan terhadap korosi (Mirjalili
et al. 2011) dan titik lebur yang tinggi, yakni mencapai 2050 oC (Moulson &
Herbert, 2003).
Secara umum alumina ditemukan dalam tiga fasa, yaitu γ, β, dan α-alumina,
ketiga fasa tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda sehingga memiliki aplikasi
yang berbeda. Beta alumina (β-Al2O3) memiliki sifat tahan api yang sangat baik
dan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi keramik seperti pembuatan tungku
furnace (Ismunandar, 2004). Gamma alumina (γ-Al2O3) banyak digunakan
sebagai material katalis, misalnya dalam penyulingan minyak bumi (Knozinger
and Ratnasamy, 1978) dan digunakan dalam bidang otomotif (Paglia, et al., 2004;
Wang et al., 2009). Alfa alumina (α-Al2O3) mempunyai struktur kristal
heksagonal dengan parameter kisi a = 4,7588 dan c = 12,9910 nm. Alfa alumina
banyak digunakan sebagai salah satu bahan refraktori dari kelompok oksida,
karena bahan tersebut mempunyai sifat fisik, mekanik dan termal yang sangat
baik (Mirjalili et al. 2011). Fasa paling stabil dari alumina adalah fasa alfa
alumina (α-Al2O3), dalam proses perlakuan termal α-Al2O3 diperoleh melalui
transformasi fasa yang diawali dari Boehmite AlO(OH) yaitu : Boehmite →
γ-alumina→δ-alumina→θ-alumina→β-alumina→α-alumina (Beitollahi et al.
2010). Transformasi fasa alumina ditunjukkan dalam Gambar 2.3.
24
Gambar 2.3. Grafik transformasi fasa alumina (Yang, 2003).
Alumina (Al2O3) tergolong salah satu jenis keramik oksida atau keramik
teknik yang aplikasinya cukup luas baik di bidang elektronik maupun di bidang
mekanik. Berdasarkan komposisinya, alumina ada dua macam yaitu alumina
murni dan alumina tidak murni. Alumina murni merupakan polimorfi material
yang berdasarkan struktur kristalnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu γ-Al2O3
dan α-Al2O3 disebut corundum (Buchanan, 1986).
Alumina tidak murni merupakan kombinasi dari dua jenis oksida, misalnya
antara Na2O dengan Al2O3 yang membentuk struktur baru yang disebut dengan
beta alumina dengan formula stochiometri Na2O.11Al2O3. Beta alumina sendiri
memiliki beberapa struktur kristal antara lain : Na-β′ Al2O3 dan Na-β″ Al2O3
(Buchanan, 1986; Moulson & Herbert, 2003). Aplikasi dari beta alumina di
bidang elektronik karena memiliki konduktivitas listrik yang cukup tinggi
(memiliki konduktivitas ion 30 Sm-1 pada suhu 300 0C), sehingga sangat baik
digunakan sebagai bahan elektrolit pada baterai padat (Moulson & Herbert, 2003).
Tabel 2.1 Sifat-sifat Keramik Alumina (Burkin A.R, 1987)
No
1
2
3
4
5
6
7
Sifat Fisis
Al2O3
Berat Jenis
Sudut Letak
Permukaan Letak
Densitas Bebas
Densitas Terikat
Kehilangan dalam
Pemijaran
Satuan
%
g/cm3
derajat
m2
g/cm3
g/cm3
%
Jenis-jenis alumina
Sandy
Floury
5
90
3,5
3,9
30
40
42
2
1,1
0,8
1,3
1,0
1,8
0,2
Catatan
Sinar-X
11000
25
Perkembangan teknologi yang semakin pesat di bidang elektronik
khususnya dalam bidang energy storage seperti baterai yang memiliki daya
kapasitas penyimpanan yang tinggi. Beta alumina salah satu material baterai yang
sudah mulai dikembangkan. Ketersedian bahan baku alumina di alam Indonesia
cukup melimpah dalam bentuk mineral bauksit, tetapi belum dimanfaatkan secara
optimal. Beta alumina memiliki sifat mekanik yang lebih rendah dibandingkan
dengan corundum.
Perkembangan material alumina yang sangat pesat, secara tidak langsung
mempengaruhi perkembangan dalam rekayasa sintesis alumina. Sintesis alumina
yang telah dilakukan sebelumnya antara lain dengan menggunakan metode sol-gel
(Ibrahim dan Abu Ayana, 2009), metode hidrotermal (Liu et al. 2008), metode
spray pyrolysis (Tsunenori et al. 2011), metode presipitasi (Parida et al. 2009),
metode logam-terlarut asam yang menghasilkan fasa tunggal korundum (α-Al2O3)
pada temperatur 1100 0C. Kenaikan temperatur kalsinasi dari 1000 0C ke 1100 0C
meningkatkan kristalinitas dengan sangat signifikan (Dianita Wardani dan
Suminar Pratapa, 2014) dan metode-metode lain yang sedang dikembangkan.
2.3
Polyvinyl Alkohol (PVA)
Polyvinyl Alkohol (PVA) mengandung sekelompok styryl pyridium yang
digunakan sebagai polimer foto sensitif. Polimer ini dapat digunakan sebagai
material bioteknologi (material yang dapat digunakan sebagai interface untuk
penumbuhan sel, protein dan enzim) karena PVA tidak membuat kekebalan (tidak
membentuk antibody dalam tubuh), tidak mengalami mutasi dan tidak bersifat
carcinogenic. Sehubungan dengan hal tersebut, PVA digunakan sebagai membran
tembus oksigen untuk penumbuhan enzim Glucose Oxidase (GOD). Sifat PVA
adalah tidak berwarna, mudah terlarut dalam air dan mudah terbakar. Ikatan kimia
dari PVA adalah sebagai berikut :
Gambar 2.4. Struktur ikatan kimia PVA
26
PVA
yang
larut
dalam
air
dihasilkan
melalui
proses
hidrolisis
Polyvivylacetate, dimana Polyvinylacetate tersebut terbentuk dari penggabungan
molekul-molekul (polimerisasi) dari monomer vinylacetate. Proses hidrolisis
diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu hidrolisis penuh dan hidrolisis
sebagian.
Sifat-sifat umum dari Polyvinyl Alcohol (PVA) adalah sebagai berikut :
butiran atau serbuk berwarna putih kerapatan volume = 642 kg/m3, pH = 5-7, titik
leleh : (210-230) 0C untuk hidrolisis penuh dan (150-190) 0C untuk hidrolisis
sebagian, resistivitas elektrik : (3.1–3.8) x 107 Ωcm. PVA mempunyai sifat
berubah warna secara perlahan-lahan ketika berada pada suhu 100 0C dan akan
berubah menjadi hitam ketika berada pada suhu di atas 160 0C. Selain berubah
warna, PVA dapat memisah secara perlahan-lahan pada suhu diatas 180 0C. PVA
tidak dapat larut dalam tubuh binatang, tumbuhan dan bahan berminyak serta
kepadatan PVA tidak terbatas ketika dilindungi dari uap. PVA cukup mudah larut
dalam air, tetapi kelarutannya tergantung dari derajat polimerisasi dan derajat
hidrolisis. PVA dengan derajat polimerisasi yang rendah lebih mudah dilarutkan
dalam air.
Polyvinyl alcohol dengan tingkat hidrolisis sebagian lebih mudah dilarutkan
dibandingkan dengan
tingkat hidrolisis penuh dan kecepatan larut PVA
tergantung pada suhu pelarut. Hidrolisis sebagian lebih mudah terlarut
dibandingkan dengan hidrolisis penuh pada suhu ruang. PVA dapat digunakan
sebagai lapisan tipis yang sensitif khususnya dalam matrik immobilisasi untuk
berbagai aplikasi. Jaringan polimerik PVA dihasilkan dari penggunaan
glutaraldehyde atau dengan teknik pembuatan gel agar menjadi polimer yang
sensitif terhadap cahaya.
2.4
Pengertian Magnet
Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan
magnet. Asal kata magnet diduga dari kata magnesia, nama suatu daerah di Asia
kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan
sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi, baja atau campuran logam
lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut magnet.
27
Dalam kehidupan sehari-hari kata “magnet” sering dikonotasikan dengan menarik
benda.
Peralatan elektronik yang menggunakan bahan magnet, antara lain : bel
listrik, telepon, dinamo, alat-alat ukur listrik, kompas dan sebagainya. Magnet
sudah dimanfaatkan pada industri otomotif dan sebagainya. Magnet terdiri
magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnetmagnet kecil ini disebut magnet elementer. Logam yang bukan magnet, magnet
elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur), sehingga efeknya
saling meniadakan dan mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada
ujung logam. Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu : utara dan selatan.
Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan
kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. Magnet dapat
menarik benda lain, beberapa benda bahkan dapat menarik lebih kuat bahan
logam dan daya tarik setiap logam berbeda terhadap magnet. Besi dan baja adalah
dua contoh material yang mempunyai daya tarik yang tinggi terhadap magnet.
Sedangkan, oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang
rendah oleh magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan
Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah
weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi.
2.4.1 Medan Magnet
Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang masih merasakan
adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka
setiap titik dalam ruang akan terdapat medan magnetik. Arah medan magnetik di
suatu titik didefenisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum
kompas ketika ditempatkan pada titik tersebut.
2.4.2 Momen Magnetik
Bila terdapat dua buah kutub magnet yang berlawanan +m dan –m terpisah
sejauh l, maka besarnya momen magnetiknya :
�𝑴
��⃑ = m l 𝒓�
(2.1)
28
��⃑ adalah sebuah vektor dalam arah vektor unit 𝑟̂ berarah dari kutub
dengan 𝑀
negatif ke kutub positif. Arah momen magnetik dari atom bahan non magnetik
adalah acak sehingga momen magnetik resultannya menjadi nol. Sebaliknya di
dalam bahan magnetik, arah momen magnetik atom-atom bahan itu teratur
sehingga momen magnetik resultan tidak nol.
Gambar 2.5. Arah Momen Magnetik Bahan Nonmagnetik
Gambar 2.6. Arah Momen Magnetik Bahan Magnetik
Satuan momen magnet dalam cgs adalah gauss.cm3 atau emu dan dalam SI
mempunyai satuan A.m2.
2.4.3 Induksi Magnetik
�⃑ akan
Suatu bahan magnetik yang diletakkan dalam medan luar 𝐻
�⃑ yang dapat meningkatkan nilai total medan
menghasilkan medan tersendiri 𝐻
magnetik bahan tersebut. Induksi magnetik yang didefinisikan sebagai medan
total bahan, dapat dituliskan sebagai :
��⃑ = 𝑯
���⃑ + ����⃑
𝑩
𝑯′
(2.2)
�⃑=4π𝑀
��⃑, satuan 𝐵
�⃑ dalam cgs adalah gauss, sedangkan
Hubungan medan sekunder 𝐻
dalam geofisika eksplorasi dipakai satuan gamma (g) dan dalam SI adalah tesla
(T) atau nanoTesla (nT).
2.4.4 Kuat Medan Magnetik
�⃑) pada suatu titik yang berjarak r dari m1
Kuat medan magnet (𝐻
didefinisikan sebagai gaya persatuan kuat kutub magnet, dapat dituliskan sebagai :
29
�𝑯
��⃑ =
�𝑭⃑
𝒎𝟐
=
𝒎𝟏
𝝁𝟎 𝒓𝟐
�⃑
𝒓
(Oersted)
(2.3)
�⃑ mempunyai satuan A/m dalam
dengan r adalah jarak titik pengukuran dari m. 𝐻
�⃑ mempunyai satuan oersted.
SI sedangkan dalam cgs 𝐻
2.4.5 Intensitas Kemagnetan
Sejumlah benda-benda magnet dapat dipandang sebagai sekumpulan benda
magnetik. Apabila benda magnet tersebut diletakkan dalam medan luar, benda
tersebut menjadi termagnetisasi karena induksi. Dengan demikian, intensitas
kemagnetan didefinisikan sebagai tingkat kemampuan menyearahkan momenmomen magnetik dalam medan magnetik luar atau momen magnetik persatuan
volume. Satuan magnetisasi dalam cgs adalah gauss atau emu.cm-3 dan dalam SI
adalah Am-1.
dimana :
𝑰⃑ =
�𝑴
��⃑
𝑽
=
𝒎𝒍𝒓�
𝑽
(2.4)
I = Intensitas Kemagnetan (Am-1)
V = Volume (m3)
2.4.6 Macam-macam Magnet
Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu :
a.
Magnet Permanen
Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan
magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet
alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet permanen dibuat
dalam berbagai bentuk dan dapat dibedakan menurut bentuknya menjadi :
1) Magnet batang
2) Magnet ladam (sepatu kuda)
3) Magnet jarum
4) Magnet silinder
5) Magnet lingkaran
30
b.
Magnet Remanen
Magnet remanen adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan
magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara
mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Bila suatu
bahan pengantar dialiri arus listrik, besarnya medan magnet yang dihasilkan
tergantung pada besar arus listrik yang dialirkan. Medan magnet remanen yang
digunakan kebanyakan dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi.
Medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, jika kumparan berisi besi atau bahan
sejenis dan sistem ini dinamakan elektromagnet. Keuntungan elektromagnet
adalah kemagnetannya dapat dibuat sangat kuat, tergantung dengan arus yang
dialirkan dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus
listriknya.
2.4.7 Sifat-Sifat Magnet Permanen
Sifat-sifat magnet permanen (hard magnetic) dipengaruhi oleh kemurnian
bahan, ukuran bulir (grain size), orientsi kristal dan temperatur. Semakin tinggi
temperatur annealing, maka semakin rendah permeabilitas, semakin tinggi
koersivitas dan setelah maksimum kemudian menurun lagi, semakin tinggi
remanensi dan setelah maksimum kemudian menurun lagi (Edi Istiyono, 2009).
2.4.7.1 Koersivitas
Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet,
semakin besar gaya koersivitasnya semakin tinggi sifat magnetnya. Bahan dengan
koersivitas
tinggi,
sifat
kemagnetannya
tidak
mudah
dihilangkan
dan
kemagnetannya akan hilang dengan intensitas magnet H yang besar. Sedangkan,
bahan soft magnet mempunyai medan magnet B sebesar µ0M dalam magnet
permanen. Magnetisasi bukan merupakan fungsi linier yang sederhana dari rapat
fluks, karena nilai dari medan magnet H yang digunakan dalam magnet permanen
secara umum jauh lebih besar dari pada dalam bahan soft magnet (Young Joon
An, 2008).
31
2.4.7.2 Remanen atau Ketertambatan
Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses
magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan atau remanensi terjadi pada
saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B
menunjukkan harga tertentu. Koersivitas pada magnet permanen akan menjadi
kecil, jika remanensi dalam magnetisasi kecil. Besar nilai remanensi yang
dikombinasikan dengan besar koersivitas menjadi sangat penting (Priyono dkk,
2004).
2.4.7.3 Saturasi Magnetisasi
Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai medan
magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H semakin bertambah.
Remanensi tergantung pada saturasi magnetisasi dan saturasi magnet permanen
lebih besar dari pada soft magnet. Kerapatan dari bahan ferit lebih rendah
dibandingkan dengan logam lain dalam ukuran yang sama. Nilai saturasi dari
bahan ferit relatif rendah, sehingga mudah dihilangkan. Nilai kerapatan ferit dapat
dilihat dalam daftar tabel 2.1 dan perbandingannya dengan material megnetik
yang lain.
Tabel 2.2 Nilai Kerapatan dari beberapa jenis Ferrite (Prihatin dan
Sujito, 2005)
No
Ferrite
Kerapatan, ρ (g/cm3)
1
2
3
Zinc Ferrite
Cadmium
Ferrous
Hexagonal
Barium
Strontium
MnZn (high permeability)
MnZn (recording head)
5,4
5,76
5,24
4
5
6
7
5,3
5,12
4,29
4,7–4,75
2.4.7.4 Medan Anisotropi
Medan anisotropi (HA) merupakan nilai instrinsik yang sangat penting dari
magnet permanen karena nilai ini dapat didefinisikan sebagai koersivitas
maksimum yang menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan dengan
arah berlawanan untuk menghilangkan medan magnet permanen. Anisotropi salah
32
satu metode dalam pembuatan magnet dengan tujuan untuk menyearahkan domain
daripada magnet tersebut. Dalam proses pembentukan magnet dengan anisotropi
dilakukan dalam medan magnet, sehingga partikel-partikel pada magnet
terorientasi dan umumnya dilakukan dengan cara basah (Young Joon An, 2008).
Anisotropi pada magnet disebabkan oleh beberapa faktor seperti bentuk
magnet, struktur kristal, efek stress dan sebagainya. Anisotropi kristal banyak
dimiliki oleh material feromagnetik yang disebut sebagai Magnetocrystalline
Anisotropy, yaitu bahan magnet yang mempunyai sumbu mudah (easy axis)
sehingga mudah dimagnetisasi (soft magnetic). Spin momen magnet terarah dan
searah dengan sumbu mudah tersebut. Pada keadaan stabil, energi total magnet
atau magnetisasi kristal sama dengan sumbu mudah. Hard magnetic memerlukan
energi untuk merubah vektor dari sumbu mudah ke sumbu keras (hard axis).
Energi yang dibutuhkan untuk mengarahkan arah momen magnet menjauhi sumbu
mudah disebut magnetocrystalline energy atau anisotropy energy (EA). Besarnya
nilai EA dapat ditulis dalam persamaan (S. Puneet, 2008) :
EA = ΣKn sin2n θ
(2.5)
dimana θ adalah sudut yang terbentuk dari easy axis ke hard axis, sedangkan Kn
disebut konstanta anisotropi. Rumus molekul umum magnet ferit adalah
MO.6Fe2O3, dengan M dapat disubtitusi dengan Ba, Sr dan Pb. Struktur
BaO.6Fe2O3 atau lebih dikenal dengan sebutan barium heksaferit merupakan
senyawa magnetik yang memiliki fasa tepat untuk aplikasi magnet permanen (Yue
Liu, dkk, 2011). Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, barium
heksaferit dikelompokkan menjadi 5 (lima) tipe, yaitu : tipe-M (BaFe12O19), tipeW (BaMe2Fe16O27), tipe-X (Ba2Me2Fe28O46), tipe-Y(Ba2Me2Fe12O22) dan tipe-Z
(Ba2Me2Fe24O41), Me merupakan ion logam transisi bivalen. Tipe-M disebut
barium heksagonal ferit (BaM) merupakan oksida keramik yang paling banyak
dimanfaatkan secara komersial. Kurva histerisis magnet permanen jenis ini
memiliki koersivitas yang relatif tidak besar sehingga senyawa tersebut juga
berpeluang cukup baik untuk aplikasi media penyimpan data (magnetic recording)
dan magneto optic materials (R. Nowosielski, dkk, 2007).
Beragam penelitian dasar dalam meningkatan sifat magnetik barium
heksagonal ferit masih terus dikembangkan. Sifat magnetik meliputi medan
33
magnet remanensi, koersivitas dan medan magnet saturasi. Beberapa cara untuk
meningkatkan sifat-sifat tersebut antara lain mengoptimalkan metode pembuatan
magnet, seperti menghasilkan produk magnet dengan proses pembuatan pada
temperatur rendah dengan waktu reaksi pendek, kemurnian tinggi dan kristalinitas
yang lebih baik. Selain itu dengan memperkecil ukuran butir atau substitusi ion
Fe+3 dengan berbagai ion lain seperti Zn+2, Ni+2,Co+2, Ti+4 dan Mn+2 juga dapat
meningkatkan sifat magnetiknya. Subtitusi ion Fe+3 pada magnet heksagonal ferit
tersebut yang dapat digunakan untuk aplikasi pada frekuensi ultra tinggi (UHF)
(Darminto, dkk, 2011).
2. 4.7.5 Temperatur Curie (TC)
Temperature Curie (Tc) didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana fase
magnetik bertransisi dari konfigurasi struktur magnetik yang teratur menjadi tidak
teratur. Takanori, 2011 menganalisa sifat magnet dan pengaruhnya terhadap
temperatur Curie dengan mensubsitusi ion Ti dan Co. Dari hasil penelitiannya
pada komposisi x = 2,5% mol, sifat ferromagnetik berubah menjadi paramagnetik
dan nilai temperatur Curie naik seiring naiknya komposisi subsitusi Ti dan Co.
Dimana untuk x = 2,5% mol temperatur curienya adalah 692 0C sedangkan pada
x = 5% mol temperatur Curienya 730 0C. Hal tersebut juga mempengaruhi
penurunan nilai remanensinya.
2.4.8 Bahan Magnetik
Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam
komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam medan
magnetik luar, bahan magnetik terdiri atas tiga kategori, yaitu paramagnetik,
ferromagnteik dan diamagnetik.
2.4.8.1 Bahan Diamagnetik
Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis
masing-masing atom/molekulya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan
spin elektronnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1989). Bahan diamagnetik tidak
mempunyai momen dipol magnet permanen dan seandainya diberi medan magnet
luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sehingga
34
menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan
medan magnet luar tersebut.
Sifat diamagnetik bahan diakibatkan oleh gerak orbital elektron dan atom
mempunyai orbital elektron, sehingga semua bahan bersifat diamagnetik. Bahan
dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai
spin elektron yang tidak berpasangan dan bahan diamagnetik hampir semua spin
elektron berpasangan, sehingga bahan diamagnetik tidak menarik garis gaya.
Permeabilitas bahan diamagnetik : μ<μ0 dengan suseptibilitas magnetik bahan :
χm<0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde negatif 10-5 m3/kg. Beberapa
contoh bahan diamagnetik yaitu : bismut, perak, emas, tembaga dan seng.
2.4.8.2 Bahan Paramagnetik
Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis
masing-masing atom/molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis
total seluruh atom/molekul dalam bahan nol karena gerakan atom/molekul tidak
terarah, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling
meniadakan (Halliday & Resnick, 1989).
Gambar 2.7 Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik
sebelum diberi medan magnet luar
Bahan ini jika diberi medan magnet luar, elektron-elektronnya akan
berusaha untuk menyearahkan resultan medan magnet atomisnya dengan medan
magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang
menjadi terarah karena pengaruh medan magnet luar.
35
Gambar 2.8 Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi
medan magnet luar
Spin elektron yang tidak berpasangan di dalam bahan ini relatif sedikit,
sehingga garis-garis gaya yang tertarik dengan bahan ini relatif sedikit. Dalam
bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan
dengan medan B dalam ruang hampa. Suseptibilitas magnet dari bahan
paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/kg,
sedangkan permeabilitasnya adalah µ>µ0. Beberapa contoh bahan paramagnetik,
yaitu : alumunium, magnesium dan wolfram.
2.4.8.3 Bahan Ferromagnetik
Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal
ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ferromagnetik
sebagian besar spin elektronnya tidak berpasangan dan masing-masing spin
elektron yang tidak berpasangan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan
magnet total yang dihasilkan dalam satu atom menjadi lebih besar (Halliday &
Resnick, 1989). Medan magnet dari masing-masing atom dalam bahan
ferromagnetik sangat kuat, sehingga atom-atom tetangganya sebagian besar
menyearahkan diri membentuk kelompok-kelompok yang disebut dengan domain.
Momen magnet tiap domain dalam bahan ferromagnetik tanpa medan
eksternal paralel, tetapi domain-domain diorientasikan secara acak dan yang lain
akan terdistorsi karena pengaruh medan eksternal. Domain dengan momen
magnet paralel terhadap medan eksternal akan mengembang dan yang lain
mengerut. Semua domain akan menyearahkan diri dengan medan eksternal pada
titik saturasi, artinya seluruh domain sudah terarahkan. Penambahan medan
magnet luar tidak memberi pengaruh karena tidak ada domain yang perlu
disejajarkan dan keadaan ini disebut penjenuhan (saturasi).
36
Bahan ferromagnetik mempunyai sifat remanensi (setelah medan magnet
luar dihilangkan tetap memiliki medan magnet) dan bahan ferromagnetik sangat
baik sebagai sumber magnet permanen. Permeabilitas bahan : µ>>µ0 dengan
suseptibilitas bahan : χm>>0. Contoh bahan ferromagnetik, yaitu : besi dan baja.
Sifat kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur currie, dan
temperatur currie pada besi 770 oC dan baja 1043 oC.
Sifat bahan ferromagnetik biasanya terdapat dalam bahan ferit. Ferit
merupakan bahan dasar magnet permanen yang banyak digunakan dalam industriindustri elektronika, seperti loudspeaker, motor-motor listrik, dynamo dan KWHMeter.
2.4.9 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras
Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : material magnetik
lemah (soft magnetic) dan material magnetik kuat (hard magnetic). Penggolongan
ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya, dimana material magnetik lemah (soft
magnetic) memiliki medan koersif yang lemah dan material magnetik kuat (hard
magnetic) memiliki medan koersif yang kuat. Perbedaan antara material magnetik
lemah (soft magnetic) dan magnetik kuat (hard magnetic) ditunjukkkan pada
gambar diagram histerisis atau hysteresis loop.
Gambar 2.9 Histeris Material Magnet (a) Material lunak,
(b) Material keras
37
Diagram histeresis di atas menunjukkan kurva histeresis untuk material
magnetik lunak pada gambar (a) dan material magnetik keras pada gambar (b).
H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan
berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam spesimen
tersisa magnetisme residual Br yang disebut residual remanen dan diperlukan
medan magnet Hc (gaya koersif) dengan arah yang berlawanan untuk
menghilangkannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi dan mudah mengalami
demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.9. Nilai H yang rendah sudah
memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam, tetapi tidak
memerlukan medan Hc yang besar untuk menghilangkannya.
Magnet keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit
didemagnetisasi, karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi (V.det/m2)
merupakan energi persatuan volume. Luas daerah hasil integrasi di dalam loop
histerisis sama dengan energi yang diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai
dari 0 sampai +H hingga –H sampai 0. Energi yang dibutuhkan magnet lunak
dapat diabaikan, tetapi medan magnet keras memerlukan energi tinggi dan pada
suhu ruang demagnetisasi dapat diabaikan.
2.4.10 Jenis Magnet Permanen
Produk
magnet
permanen
ada
dua
macam
berdasarkan
teknik
pembuatannya, yaitu magnet permanen isotropi dan magnet permanen anisotropi.
Gambar 2.10 Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi
(a) Arah partikel acak (Isotrop) (b) Arah partikel searah
(Anisotrop) (Masno et al. 2006).
Proses pembentukkan magnet permanen isotropi arah domain partikel
magnetnya acak, sedangkan anisotropi pembentukkannya dilakukan dalam medan
magnet sehingga arah domain magnet partikelnya mengarah pada satu arah
tertentu seperti ditunjukkan pada gambar 2.10. Magnet permanen isotropi
38
memiliki sifat magnet (remanensi magnet) yang lebih kecil dibandingkan dengan
magnet permanen anisotropi.
2.5
Metalurgi Serbuk
Metalurgi
serbuk
merupakan
salah
satu
teknik
produksi
dengan
menggunakan serbuk sebagai material awal sebelum proses pembentukan. Prinsip
metalurgi serbuk adalah memadatkan sebuk logam menjadi bentuk yang
dinginkan dan kemudian memanaskannya di bawah temperatur titik lebur.
Langkah-langkah dasar pada proses metalurgi serbuk, yaitu : pembuatan
serbuk, mixing, compaction, sintering dan finishing. Keuntungan pada proses
metalurgi serbuk antara lain :
1.
Efisiensi pemakaian bahan yang sangat tinggi (mendekati 100%).
2.
Tingkat terjadinya cacat seperti segregasi dan kontaminasi sangat rendah.
3.
Stabilitas dimensi sangat tinggi.
4.
Adanya kemudahan dalam proses standarisasi dan otomatisasi.
5.
Tidak menimbulkan tekstur pada produk.
6.
Ukuran butir dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
7.
Adanya kemudahan dalam pembuatan produk paduan, khususnya pada
produk yang sulit didapatkan dengan proses pengecoran (casting).
8.
Porositas produk dapat dikontrol .
9.
Sangat tepat digunakan pada material dengan kemurnian tinggi.
10. Dapat digunakan pada pembuatan material komposit dengan matriks logam.
Sedangkan kelemahan pada proses metalurgi serbuk, sebagai berikut :
1.
Serbuk logam mahal dan sulit untuk disimpan.
2.
Beberapa jenis produk tidak dapat dibuat secara ekonomis.
3.
Tidak dapat digunakan pada bentuk produk yang rumit.
4.
Logam dengan titik lebur yang rendah, sangat sulit untuk disinter dan oksida
logam tidak dapat direduksi.
5.
Beberapa jenis serbuk logam yang halus mudah meledak.
6.
Sulit mendapatkan kepadatan yang merata.
39
2.6
Proses Kalsinasi
Proses kalsinasi adalah proses pembakaran tahap awal yang merupakan reaksi
dekomposisi secara endothermic dan berfungsi untuk melepaskan gas-gas dalam
bentuk karbonat atau hidroksida sehingga menghasilkan serbuk dalam bentuk oksida
dengan kemurnian yang tinggi. Kalsinasi dilakukan pada suhu tinggi yang suhunya
tergantung pada jenis bahannya.
Kalsinasi merupakan tahapan perlakuan panas terhadap campuran serbuk pada
suhu tertentu. Kalsinasi diperlukan sebagai penyiapan serbuk keramik pada proses
selanjutnya, untuk mendapatkan ukuran partikel yang optimum serta menguraikan
senyawa-senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida dan untuk
membentuk fasa kristal.
Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain (James S.R,1988) :
a.
Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100 oC
sampai 300 0C.
b.
Pelepasan gas-gas, seperti : CO2 berlangsung sekitar suhu 600 0C dan pada
tahap ini terjadi pengurangan berat yang cukup berarti.
c.
Pada suhu lebih tinggi (sekitar 800 0C) struktur kristalnya sudah terbentuk dan
ikatan diantara partikel serbuk belum kuat serta mudah lepas.
2.7
Proses Sintering
Proses
sintering
pada
magnet
keramik
adalah
suatu
proses
pemadatan/densifikasi dari sekumpulan serbuk pada suhu tinggi mendekati titik
leburnya. Proses sintering menyebabkan terjadinya perubahan struktur mikro
seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth),
peningkatan densitas dan penyusutan (shrinkage). Beberapa variabel yang
mempengaruhi kecepatan sintering yaitu densitas awal, ukuran partikel, atmosfer
sintering, waktu dan kecepatan pemanasan.
Sintering merupakan tahapan pembuatan keramik yang sangat penting dan
menentukan sifat-sifat produk keramik. Tujuan dari pembakaran adalah untuk
mengaglomerasikan partikel ke dalam massa koheren melalui proses sintering.
Defenisi sintering adalah pengikatan massa partikel pada serbuk oleh atraksi
molekul atau atom dalam bentuk padat dengan perlakuan panas dan menyebabkan
kekuatan pada massa serbuk.
40
Faktor-faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering antara lain :
jenis bahan, komposisi, bahan pengotornya dan ukuran partikel. Proses sintering
berlangsung apabila :
a.
Adanya transfer materi diantara butiran yang disebut proses difusi.
b.
Adanya sumber energi yang dapat mengaktifkan transfer materi, energi
tersebut digunakan untuk menggerakkan butiran hingga terjadi kontak dan
ikatan yang sempurna. Difusi adalah aktivitas termal yang membutuhkan
energi minimum pada pergerakan atom atau ion dalam mencapai energi
yang sama atau lebih energi aktivitas dalam membebaskannya dari posisi
awal dan bergerak ke tempat yang lain yang memungkinkannya. Energi
untuk menggerakkan proses sintering disebut gaya dorong (drying force)
yang ada hubungannya dengan energi permukaan butiran (γ).
2.7.1 Tahapan Sintering
Tahapan sintering menurut Hirschhorn (1970) pada sampel yang telah
dikompaksi sebelumya sebagai berikut :
1.
Ikatan Awal Antar Partikel Serbuk.
Pada saat sampel mengalami proses sinter, maka akan terjadi pengikatan
diri. Proses ini meliputi difusi atom-atom yang mengarah kepada pergerakan
dari batas butir. Ikatan ini terjadi pada tempat dimana terdapat kontak fisik
antar partikel-partikel yang berdekatan. Tahapan ikatan awal tidak
menyebabkan terjadinya suatu perubahan dimensi sampel. Semakin tinggi
berat jenis sampel, maka akan banyak bidang kontak antar partikel, sehingga
proses pengikatan yang terjadi dalam proses sinter juga semakin besar.
Elemen-elemen pengotor berupa serbuk akan menghalangi terjadinya proses
pengikatan, elemen pengotor akan berkumpul dipermukaan batas butir dan
mengurangi jumlah bidang kontak antar partikel.
2.
Tahap Pertumbuhan Leher.
Tahapan kedua yang tejadi pada proses sintering adalah pertumbuhan leher.
Hal ini berhubungan dengan tahap pertama, yaitu pengikatan awal antar
partikel yang menyebabkan terbentuknya daerah yang disebut dengan leher
(neck) dan leher ini akan terus berkembang menjadi besar selama proses
sintering berlangsung.
41
Pertumbuhan leher tersebut terjadi karena adanya perpindahan massa, tetapi
tidak mempengaruhi jumlah porositas yang ada dan juga tidak menyebabkan
terjadinya penyusutan. Proses pertumbuhan leher ini akan menuju kepada
tahap penghalusan dari saluran-saluran pori antar partikel serbuk yang
berhubungan dan proses ini berlangsung secara bertahap.
3.
Tahap Penutupan Saluran Pori.
Perubahan utama yang terjadi selama proses sinter adalah penutupan saluran
pori yang saling berhubungan sehingga menyebabkan perkembangan pori
menjadi tertutup. Hal ini merupakan perubahan penting dan secara khusus
pada pori yang saling berhubungan untuk pengangkutan cairan, seperti pada
saringan-saringan dan bantalan yang dapat melumas sendiri. Salah satu
penyebab terjadinya proses ini adalah pertumbuhan butiran.
Proses penutupan saluran ini dapat terjadi karena penyusutan pori (tahap
kelima dari proses sinter) yang menyebabkan kontak baru yang akan
terbentuk di antara permukaan-permukaan pori.
4.
Tahapan Pembulatan Pori.
Setelah tahap pertumbuhan leher, material dipindahkan di permukaan pori
dan pori tersebut akan menuju ke daerah leher yang mengakibatkan
permukaan dinding tersebut menjadi halus. Bila perpindahan massa terjadi
terus-menerus melalui daerah leher, maka pori disekitar permukaan leher
akan semakin mengecil. Dengan temperatur dan waktu yang cukup pada
saat proses sinter, maka penutupan pori akan lebih sempurna.
5.
Tahap Penyusutan
Merupakan tahap yang terjadi dalam proses sinter. Hal ini berhubungan
dengan proses densifikasi (pemadatan) yang terjadi. Tahap penyusutan ini
akan menyebabkan terjadinya penurunan volume dan sampel yang telah
disinter akan mejadi lebih padat. Dengan adanya penyusutan, maka
kepadatan pori akan meningkat dan dengan sendirinya sifat mekanis dari
bahan tersebut juga akan meningkat, khususnya kekuatan dari sampel
setelah sinter.
Tahap penyusutan pori ini terjadi akibat pergerakan gas-gas yang terdapat di
42
daerah pori dan keluar menuju permukaan. Dengan demikian tahap ini akan
meningkatkan berat jenis yang telah disinter.
6.
Tahap Pengkasaran Pori
Proses ini akan terjadi apabila kelima tahap sebelumnya terjadi dengan
sempurna. Pengkasaran pori akan terjadi akibat adanya proses bersatunya
lubang-lubang kecil dan pori yang tersisa akan menjadi besar serta kasar.
Jumlah total dari pori adalah tetap, tetapi volume pori berkurang dengan
diimbangi oleh pembesaran pori tersebut (Randall M. German, 1991).
2.7.2 Klasifikasi Sintering
Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering
dalam keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fasa cair (liquid phase
sintering). Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan material yang diberi
tekanan diasumsikan sebagai fasa tunggal oleh karena tingkat pengotornya
rendah. Sedangkan sintering pada fasa cair adalah sintering untuk serbuk yang
disertai terbentuknya fasa liquid selama proses sintering berlangsung.
Gambar 2.11 Proses sinter padat
(a) Sebelum sinter partikel mempunyai permukaan
masing-masing.
(b) Setelah sinter hanya mempunyai satu permukaan (Van
Vlack, 1989)
Dari gambar 2.11, dapat dilihat bahwa proses sintering dalam keadaan padat
selama sintering terjadi penyusutan serbuk, kekuatan dari material akan
bertambah, pori-pori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh
sifat dasar dari serbuk itu sendiri, kondisi tekanan, aditif, waktu sintering dan
suhu. Proses sintering memerlukan waktu dan suhu pemanasan yang cukup agar
partikel halus dapat menjadi padat. Sinter tanpa cairan memerlukan difusi dalam
43
bahan padat itu sendiri, sehingga diperlukan suhu tinggi dalam proses sintering
(Van Vlack, 1989).
2.7.3 Efek Sintering Terhadap Sifat Sampel
Efek suhu sintering terhadap sifat bahan (porositas, densitas, tahanan listrik,
kekuatan mekanik dan ukuran butir) selama proses pemadatan serbuk ditunjukkan
pada gambar 2.12.
Gambar 2.12. Pengaruh suhu sintering pada (1) Porositas, (2)
Densitas, (3) Tahanan listrik, (4) Kekuatan, dan (5)
Ukuran butir (M M. Ristic, 1979)
Dari gambar 2.12, dapat diktahui bahwa proses sintering yang dimulai dari
suhu T1 dapat meningkatkan tahanan listrik dan nilai porositas menurun dengan
kenaikan suhu sintering, sedangkan densitas, kekuatan dan ukuran butir
bertambah besar secara eksponensial seiring dengan kenaikan suhu sintering (M
M. Ristic, 1979).
2.8
Karakterisasi dan Evaluasi Magnet Permanen
Karakterisasi dan evaluasi material magnet permanen sangat diperlukan
setelah produk magnet permanen dihasilkan, maka produk magnet permanen yang
dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Karakterisasi material yang dibahas adalah karakterisasi struktur kristal
dengan menggunakan alat difraksi sinar-X, SEM atau OM dan karakterisasi sifat
kemagnetan menggunakan Gaussmeter dan Permagraph, sedangkan evaluasi sifat
fisis magnet dibatasi pada densitas, porositas dan shrinkage.
44
2.8.1 Uji Difraksi Sinar-X (XRD)
Tujuan pengujian difraksi sinar-X (XRD) dilakukan adalah untuk
menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses kalsinasi dan
bulk mengalami proses sintering. Dari data yang akan dihasilkan dapat diprediksi
ukuran kristal serbuk dan bulk dengan bantuan software Match. Ukuran kristalin
ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin
lebar puncak difraksi yang dihasilkan, maka makin kecil ukuran kristal serbuk.
Hubungan antara ukuran kristal dengan lebar puncak difraksi sinar-X dapat
diproksimasi dengan persamaan Schrerer berikut :
D≈
𝝀
𝑩 𝑪𝒐𝒔 𝜽
(2.6)
dengan D adalah ukuran (diameter) kristal, λ adalah panjang gelombang sinar-X
yang digunakan (λ = 0,154056 nm), θ adalah sudut Bragg, B adalah FWHM satu
puncak yang dipilih. Geometri peralatan difraksi sinar – X diperlihatkan pada
Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Geometri sebuah Difraktometer sinar–X.
Ada 3 komponen dasar suatu difraktometer sinar-X yaitu :
1.
Sumber Sinar X
2.
Spesimen (Bahan Uji)
3.
Detektor sinar X
Ketiga komponen tersebut terletak di sekeliling lingkaran yang disebut lingkaran
pemfokus. Sudut antara permukaan bidang spesimen dan sumber sinar-X adalah
sudut Bragg (θ). Sudut antara projeksi sumber sinar-X dan detektor adalah 2θ.
Berdasarkan pola difraksi sinar-X yang dihasilkan dengan geometri ini sering
disebut sebagai penyidikan (scans) θ-2θ (theta-dua theta). Pada geometri θ-2θ
45
sumber sinar-X tetap dan detektor bergerak melalui suatu jangkauan (range)
sudut. Jejari (radius) lingkaran pemfokus tidak konstan, tetapi bertambah besar
bila 2θ berkurang. Range pengukuran 2θ biasanya dari 00 sampai sekitar 1700.
Pada eksperimen tidak diharuskan menyidik seluruh sudut tersebut, pemilihan
rangenya tergantung pada struktur kristal material (jika diketahui) dan waktu yang
diperlukan untuk memperoleh pola difraksinya. Untuk spesimen yang tidak
diketahui range sudut yang besar sering dilakukan karena posisi refleksirefleksinya belum diketahui.
Geometri yang digunakan pada umumnya adalah θ-2θ, tetapi ada geometri
yang lain seperti geometri θ-θ (theta-theta) dimana detektor dan sumber sinar-X
keduanya bergerak pada bidang vertikal dalam arah yang berlawanan di atas pusat
spesimennya. Pada beberapa bentuk analisis difraksi sinar-X sampel dapat
dimiringkan dan dirotasikan disekitar sumbu ψ (psi).
Lingkaran difraktometer pada gambar 2.13 berbeda dari lingkaran
pemfokusnya. Lingkaran difraktometer berpusat pada spesimen dan detektor
dengan sumber sinar-X, keduanya berada di sekeliling lingkaran. Jejari lingkaran
difraktometer adalah tetap, lingkaran difraktometer dinyatakan sebagai lingkaran
goniometer. Goniometer adalah komponen sentral dari suatu difraktometer
sinar-X dan mengandung pemegang sampel (sample holder). Pada kebanyakan
difraktometer serbuk goniometernya adalah vertikal.
2.8.2 Scanning Electron Microscope (SEM)
Tujuan pengujian melalui SEM (Scaning Electron Microscope) dilakukan
adalah untuk mengamati morfologi dari sampel. Keuntungan penggunaan elektron
adalah mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan
karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda, maka timbul dua jenis pantulan
yaitu pantulan elastis dan pantulan non elastis.
Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat beberapa peralatan utama
antara lain :
1.
Piston elektron, biasanya berupa filament yang terbuat dari unsur yang
mudah melepas elektron missal tungsten.
2.
Lensa untuk elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang
bermuatan negatif dapat dibelokkan oleh medan magnet.
46
3.
Sistem vakum, karena elektron sangat kecil dan ringan. Seandainya ada
molekul udara yang lain, elektron yang berjalan menuju sasaran akan
terpencar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran dan penghilangan
molekul udara menjadi sangat penting.
Prinsip kerja dari SEM sebagai berikut :
1.
Sebuah piston elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan
anoda.
2.
Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel.
3.
Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan
diarahkan oleh koil pemindai.
4.
Ketika elektron mengenai sampel, maka sampel akan mengeluarkan
elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor
(CRT)
2.8.3 Permagraph
Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai
kelompok seperti Alnico, Ferrite atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang
diukur oleh permagraph antara lain koersifitas Hc, nilai produk maksimum
(BH)max dan remanensi Br. Permagraph C memiliki perlengkapan pengukuran
kurva histerisis bahan permanen magnet seperti : elektronik EF 4-1F,
elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan 1800 kA/m = 2.2
Tesla), komputer dan printer.
Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : mengukur kurva histerisis
magnet permanen (B-H curve), menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas,
remanensi, nilai produk maksimum, pengukuran dengan surrounding coils untuk
menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran distribusi kuat medan
magnet permanen dengan pole coils.
2.8.4 Uji Densitas
Densitas (ρ) adalah suatu ukuran massa (m) persatuan volume (V) suatu
material dalam satuan gram/cm3. Beberapa faktor yang mempengaruhi densitas
adalah ukuran dan berat atom suatu elemen, kuatnya pengepakan atom dalam
struktur kristal dan besarnya porositas dalam mikrostruktur (Mujiman, 2004).
47
Densitas dapat digunakan dalam berbagai cara dengan arti yang berbeda.
Modifikasi kata densitas adalah densitas kristalografi, densitas bulk, densitas
teoritik dan densitas gravitasi spesifik. Densitas kristalografi adalah densitas ideal
dari struktur kristal spesifik yang dihitung dari data komposisi kimia dan dari data
spasi atom yang diperoleh dari difraksi sinar–X. Densitas teoritik adalah densitas
material yang mengandung porositas mikrostruktur nol. Bulk body termasuk
porositas, cacat kisi, fasa-fasa dan densitas gravitasi spesifik adalah densitas material
relatif terhadap volume air yang sama pada suhu 4 0C.
Densitas bahan yang sudah tercampur (serbuk) dianalisa menggunakan
piknometer. Mengukur massa piknometer (m1), massa piknometer dan aquades
(m2), massa piknometer dan serbuk sampel (m3), massa piknometer serbuk sampel
dan aquades (m4). Densitasnya dihitung menggunakan persamaan :
𝝆𝒔 =
(𝒎𝟑 −𝒎𝟏 )
(𝒎𝟐 −𝒎𝟏 )−(𝒎𝟒 −𝒎𝟑 )
𝒙 𝝆𝒂𝒊𝒓
(2.7)
dengan :
𝜌s = densitas serbuk bahan sampel (kg/m3),
m1 = massa piknometer kosong (kg),
m2 = massa aquades dan piknometer (kg),
m3 = massa piknometer dan serbuk bahan sampel (kg)
m4 = massa piknometer, serbuk bahan sampel dan aquades (kg)
𝜌air = 0,99651 g/cm3 = 996,51 kg/m3 (𝜌air pada saat suhunya 27 oC)
Pada pengujian bulk density mengacu pada standar (ASTM C373-88-2006)
menggunakan metode Archimedes dengan mengukur massa kering sampel dan
massa basahnya, densitas sampel dihitung dengan persamaan :
dimana :
𝝆=
ρ
mk
mb
ρair
=
=
=
=
𝒎𝒌
𝒎𝒌 −𝒎𝒃
𝒙 𝝆𝒂𝒊𝒓
(2.8)
bulk density (kg/m3)
massa kering (kg)
massa basah (kg)
0,99651 g/cm3 = 996,51 kg/m3 (𝜌air pada saat suhunya 27 oC)
2.8.5 Porositas
Porositas pada suatu material keramik dinyatakan dalam persen (%) rongga
atau fraksi volum dari suatu rongga pada material tersebut. Besarnya porositas
pada meterial keramik dapat bervariasi dari 0% sampai dengan 90% tergantung
dari jenis dan aplikasi keramik. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka
48
dan tertutup. Pori yang tertutup umumnya sulit untuk ditentukan, pori tersebut
merupakan suatu rongga yang terjebak dalam suatu padatan serta tidak ada akses
untuk keluar ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih memiliki akses ke
permukaan luar walaupun permukaan tersebut berada ditengah padatan. Porositas
suatu bahan umumnya dinyatakan sebagai porositas terbuka atau apparent
porosity (Mujiman, 2004).
Secara umum pada suhu yang tinggi pembakaran material bersifat keramik
akan menghasilkan porositas yang kecil dan sebaliknya pada suhu yang rendah
akan menghasilkan porositas material yang lebih besar, maka porositas yang lebih
baik akan dihasilkan pada suhu yang lebih tinggi.
Porositas terbuka dapat dirumuskan dalan persamaan :
% Porositas =
dengan :
(𝒎𝒌 –𝒎𝒃 )
𝒎𝒌
x 100 %
mb = massa saturasi sampel (kg)
mk = massa sampel kering (kg)
(2.9)
Download