Kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul (Xanthosoma sagittifolium) pada variasi naungan dan pupuk nitrogen ISNAINI CHOIRUL LATIFA, ENDANG ANGGARWULAN♥ ♥ Alamat korespondensi: ¹ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret. Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia; Tel./Fax.: +92271-663375. ♥email: [email protected] Manuskrip diterima: 11 November 2008. Revisi disetujui: 27 Januari 2009. ♥♥ Edisi bahasa Indonesia dari: Latifa IC, Anggarwulan E. 2009. Nitrogen content, nitrate reductase activity, and biomass of kimpul (Xanthosoma sagittifolium) on shade and nitrogen fertilizer variation. Nusantara Bioscience 1: 65-71. Latifa IC, Anggarwulan E. 2009. Nitrogen content, nitrate reductase activity, and biomass of kimpul (Xanthosoma sagittifolium) on shade and nitrogen fertilizer variation. Bioteknologi 6: 70-79. The mains of this research were to study the effect of shade and nitrogen fertilizer variation and also their interaction to nitrogen content, nitrate reductase activity, and biomass of kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott.). This research was arranged in randomized complete block design (RCBD) with two factor, they were shade variation which contained 3 levels (0%, 50%, and 75% of shade) and nitrogen fertilizer dosage variation which contained 4 levels (0; 0.0625; 0.125; dan 0.25 g ZA/kg of soil of the dosage of ZA fertilizer). The variables of the research were nitrogen content, nitrate reductase activity, fresh weight, dry weight, and shoot/root ratio. The collected data were analyzed with General Linear Model Univariate, and continued with Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) on 5% significantly levels. The result showed that the shade treatment affected nitrogen content, fresh weight and shoot/root ratio. The fertilizer application and the interaction between shade and fertilizer application was affected to all variabels. The treatment of 75% shade and 0.25 g ZA/kg of soil of ZA fertilizer dosage increased nitrogen content (5.32%) and fresh weight (420.88 g). The treatment without shade and 0.25 g ZA/kg of soil, dosage of ZA fertilizer increased nitrate reductase activity (260.58 µ mol NO2-/g/hour) and dry weight (53.92 g). The treatment of 50% shade and 0 g ZA/kg of soil of ZA fertilizer dosage increased shoot/root ratio (0.98). Key words: shade, nitrogen, nitrate reductase activity, Xanthosoma sagittifolium. Latifa IC, Anggarwulan E. 2009. Kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul (Xanthosoma sagittifolium) pada variasi naungan dan pupuk nitrogen. Bioteknologi 6: 70-79. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh variasi naungan dan pupuk nitrogen serta interaksinya terhadap kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) pola faktorial dengan 2 faktor, yaitu variasi naungan yang terdiri dari 3 taraf (naungan 0%, 50%, dan 75%) dan variasi pupuk nitrogen yang terdiri dari 4 taraf (dosis pupuk ZA 0; 0,0625; 0,125; dan 0,25 g ZA/kg tanah). Variabel yang diukur adalah kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, berat basah tanaman, berat kering tanaman dan rasio pucuk/akar. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (General Linear Model Univariate) kemudian jika ada beda nyata dilanjutkan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan naungan berpengaruh terhadap kandungan nitrogen jaringan, berat basah tanaman, dan rasio pucuk/akar. Perlakuan pemupukan berpengaruh terhadap semua variabel yang diamati. Variasi naungan dan pupuk nitrogen berpengaruh terhadap semua variabel perlakuan. Perlakuan naungan 75% dan dosis pupuk 0,25 g ZA/kg tanah meningkatkan kandungan nitrogen jaringan (5,32%) dan berat basah tanaman (420,88 g). Perlakuan tanpa naungan dan dosis pupuk 0,25 g ZA/kg tanah meningkatkan aktivitas nitrat reduktase (260,58 µ mol NO2-/g/jam) dan berat kering tanaman (53,92 g). Perlakuan naungan 50% dan dosis pupuk 0 g ZA/kg tanah meningkatkan rasio pucuk/akar (0,98). Kata kunci: naungan, nitrogen, aktivitas nitrat reduktase, Xanthosoma sagittifolium. PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan penduduk, timbul masalah pada keterbatasan produksi pangan (makanan pokok di Indonesia adalah beras). Bukan mustahil di kemudian hari akan ada ketimpangan antara perkembangan penduduk yang semakin cepat dan membutuhkan konsumsi makanan pokok yang besar, akan tetapi produksi pangan terbatas. Oleh karena itu, 71 perlu adanya penganekaragaman konsumsi pangan selain makanan pokok dengan produk pangan lain dari komoditas pertanian selain beras (Soetriono et al. 2006). Di beberapa daerah di Indonesia umbiumbian merupakan sumber pangan alternatif terutama pada masa paceklik. Salah satu tanaman penghasil karbohidrat itu adalah kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott.) (Chairul dan Chairul 2006). Kimpul merupakan sumber bahan pangan dunia yang penting. Umbi kimpul mengandung 15-39% karbohidrat, 2-3% protein, dan 70-77% air, nilai nutrisinya sebanding dengan kentang dan mungkin lebih mudah dicerna (FAO 2008). Daun kimpul mengandung protein 170-240 g/kg berat kering (BK), serat 218-398 g/kg BK, serta menjadi sumber penting kalsium (> 69 g/kg BK), natrium, besi dan mangan. Protein mengan-dung asam amino esensial dengan lisin berkisar 43-57 kg/g protein (Lylian et al. 2005). Daun kimpul berpotensi sebagai pakan ternak, meskipun daya cernanya lebih rendah dibandingkan daun talas (Rodríguez et al. 2009) Umbi kimpul di beberapa wilayah dunia digunakan sebagai makanan pokok, umumnya dimakan dalam bentuk makanan yang diolah secara sederhana tanpa teknologi yang sulit, misalnya diolah sebagai kimpul rebus atau kukus, getuk kimpul, keripik, perkedel dan sebagainya (Lingga 1992). Umbi kimpul juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan chip (irisan tipis umbi yang dikeringkan) dan tepung, bahkan kadar oksalat pada umbi kimpul dapat dikurangi dengan cara penggaraman kering dan basah serta pemberian abu sekam cara kering (Harijono et al. 1994). Sebagaimana tanaman palawija yang lain, usaha industrialisasi dan diversifikasi produk kimpul sangat sedikit. Petani di Indonesia sudah biasa menanam kimpul di sawah atau pekarangan. Kendala budidaya di pekarangan antara lain kanopi rapat sehingga intensitas cahaya yang diterima tanaman rendah. Unsur radiasi matahari yang penting bagi tanaman adalah intensitas cahaya, kualitas cahaya, dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah (Gardner et al. 1991). Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme sehingga menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Djukri dan Purwoko 2003). Intensitas cahaya yang optimal akan meningkatkan pertumbuhan tanaman kimpul. Menurut Salisbury dan Ross (1995) intensitas cahaya yang tinggi akan meningkatkan kadar karotenoid, kandungan nitrogen, dan mempengaruhi struktur anatomi daun. Intensitas cahaya yang tinggi akan mengakibatkan permukaan daun menjadi lebih terbuka, namun intensitas cahaya yang sangat tinggi akan menurunkan kadar klorofil daun. Naungan menurunkan densitas stomata permukaan bawah daun, dan berat kering tanaman kimpul (Johnston dan Onwueme 2005). Untuk meningkatkan produktivitas tanaman kimpul perlu adanya penambahan pupuk nitrogen (N). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998) kadar nitrogen yang tinggi dapat merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman, tetapi jika kelebihan dapat menunda kematangan tanaman. Nitrogen merupakan elemen esensial senyawa penyusun tumbuhan yang menentukan kualitas bahan organik tanaman. Nitrogen terdapat dalam berbagai senyawa protein tumbuhan, asam nukleat, hormon, klorofil dan sejumlah senyawa metabolit primer dan sekunder. Nitrogen esensial juga untuk pembelahan sel, pembesaran sel, dan untuk pertumbuhan (Gardner et al. 1991; Anggarwulan dan Solichatun 2001). Gejala defisiensi nitrogen terlihat secara perlahan-lahan dan diperlihatkan dengan adanya klorosis pada daun dewasa. Kondisi kekurangan nitrogen juga mengakibatkan akumulasi pigmen antosianin, penurunan kandungan protein, percepatan masa berbunga, dan penghambatan pertumbuhan (Salisbury dan Ross 1995). Asimilasi N menjadi molekul organik tergantung dari reduksi NO3- oleh enzim nitrat reduktase di dalam jaringan tanaman. Reduksi nitrat yang harus terjadi sebelum diproduksi asam amino, memerlukan elektron. Donor utama elektron ini adalah nikotinamida adenin dinukleotida (NADH), yang merupakan hasil fotosintesis. Cahaya terik dan laju fotosintesis yang tinggi merupakan kondisi yang kondusif untuk aktivitas enzim nitrat reduktase. Biosintesis NR tergantung pada ketersediaan hara nitrogen dalam media, dan aktivitasnya diinduksi oleh nitrat yang ad di daun (Gardner et al. 1991). Pengukuran biomassa total tanaman merupakan parameter yang paling baik digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman karena produksi biomassa mengakibatkan pertambahan berat yang diikuti dengan pertumbuhan ukuran 72 lain yang sama pada waktu yang sama. Biomassa total tanaman dianggap sebagai perwujudan dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan tanaman. Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji pengaruh pemberian naungan dan dosis pupuk nitrogen yang berbeda terhadap kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase dan biomassa tanaman kimpul. Penelitian ini bertujuan mengkaji: (i) kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul pada tingkat naungan yang berbeda. (ii) kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul pada dosis pupuk nitrogen yang berbeda. (iii) interaksi antara naungan dan pupuk nitrogen pada kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2008 di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan sub lab Biologi, Laboratorium Pusat MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Rancangan percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) pola faktorial dengan 2 faktor. Faktor I: naungan, dalam 3 aras, masingmasing sebagai berikut: N0 = tanpa naungan (naungan 0%), N1 = naungan 50%, N2 = naungan 75%. Faktor II: kadar pupuk nitrogen (pupuk ZA), dalam 4 aras P1 = tanpa pupuk (dosis 0 g/m2) P2 = pupuk ZA dengan dosis 0,3125 g/m2 (setara dengan 0,0625 g ZA/kg tanah) P3 = pupuk ZA dengan dosis 0,625 g/m2 (setara dengan 0,125 g ZA/kg tanah) P4 = pupuk ZA dengan dosis 1,25 g/m2 (setara dengan 0,25 g ZA/kg tanah). Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan seperti dalam Tabel 1. Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Tabel 1. Kombinasi perlakuan naungan dan pupuk ZA Naungan N0 N1 N2 P1 N0 P1 N1 P1 N2 P1 Pupuk ZA P2 P3 N0 P2 N0 P3 N1 P2 N1 P3 N2 P2 N2 P3 P4 N0 P4 N1 P4 N2 P4 Cara kerja Percobaan lapangan. Penyiapan media tanam. Media tanah yang akan digunakan diayak dengan ayakan 2 mm x 2 mm, kemudian dimasukkan ke dalam polibag. Persiapan bibit. Umbi induk kimpul dipotong-potong menjadi beberapa bagian dengan berat tiap potongan harus memiliki mata tunas dan kulit. Potongan umbi induk ditanam pada media yang cukup sumber air dan terlindung dengan kedalaman 1 cm. Potongan umbi induk dibiarkan di lahan persemaian dan disiram secara rutin setiap hari sampai tumbuh tunas. Penanaman. Bibit yang berukuran kira-kira 25 cm ditanam pada media tanah dalam polibag yang telah disiapkan. Panjang bibit yang ditanam di bawah permukaan tanah adalah 15 cm. Perlakuan naungan dan penambahan pupuk ZA diberikan setelah bibit berumur 2 minggu. Pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan pupuk nitrogen dengan dosis sesuai pada rancangan percobaan. Pemupukan dilakukan 1 kali yaitu pada 15 hari setelah tanam, dengan cara menaburkan pupuk disekitar tanaman berjarak 5 cm dan kedalaman 3 cm, kemudian ditimbun dengan tanah. Penyiraman. Penyiraman dilakukan dengan air ledeng sesuai dengan kapasitas lapang setiap dua hari sekali. Pengamatan dan parameter penelitian. Pengamatan dilakukan pada akhir minggu ke-8 setelah perlakuan meliputi pertumbuhan, aktivitas nitrat reduktase dan kandungan nitrogen jaringan (Lingga 1992). Pengukuran kandungan nitrogen jaringan. Destruksi. Sebanyak 0,1 g bahan kering ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl. Sebanyak 1 g campuran garam dan 3 mL H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung di atas. Larutan dipanaskan hingga berwarna kehijauan. Larutan didinginkan dan ditambahkan aquades sebanyak 30 mL. Dibuat larutan blanko. Destilasi. Larutan di atas dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Ditambahkan 10 mL NaOH 45% dan 2 butir Zn. Larutan tersebut dipanaskan dengan penampung H3BO3 4% dan 2 tetes indikator campuran hingga volume 40 mL. Titrasi. Dilakukan titrasi dengan HCl 0,1 N hingga terjadi perubahan warna dari biru menjadi kehijauan sampai berubah warna menjadi kuning. %N = (a-b) x 0,1 x 14 x100% Berat sampel (mg) %N : Kadar nitrogen a : Volume larutan sampel b : Volume larutan blanko (Sudarmadji et al. 1981). 73 Pengukuran aktivitas nitrat reduktase. Daun ketiga dari pucuk tanaman sebanyak 500 mg diiris kecil-kecil, dan dimasukkan ke dalam tabung film gelap yang telah diisi 5 mL larutan buffer fosfat pH 7,5. Setelah 24 jam perendaman diganti 5 mL larutan buffer baru dan ditambahkan 0,1 mL KNO3 sebagai substrat, kemudian diinkubasikan selama 2 jam. Reagen pewarna terdiri dari 0,2 mL 1% sulphanilamide dalam 3N HCl dan 0,2 mL 0,02% NNaphtylethylene diamine disiapkan dalam tabung reaksi. Setelah inkubasi selama 2 jam, 0,1 mL filtrat diambil dari tabung film gelap dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi reagen pewarna, lalu ditunggu sampai terjadi warna merah muda sebagai tanda terjadi reduksi nitrat menjadi nitrit oleh enzim nitrat reduktase. Satu tabung reaksi tidak diberi filtrat dan digunakan sebagai blangko. Setelah terjadi perubahan warna ditambahkan 2,5 mL akuades, dan dipindahkan dalam kuvet spektrofotometer, dan diamati absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Cara menghitung aktivitas reduktase adalah sebagai berikut: Absorbansi sampel X 1000 Absorbansi standar BB X 1 WI X 50 1000 Absorbansi standar = 0,0142 BB = berat basah sampel (g) WI = waktu inkubasi (jam) Satuan: µmol NO2-/g/jam (Hartiko 1991; Listyawati 1994). Pengukuran biomassa. Berat basah tanaman ditimbang setelah tanaman berumur 8 minggu setelah perlakuan dengan metode destruktif . Tanaman yang telah dipanen dan diukur berat keringnya dimasukkan dalam kantong kertas kemudian dioven pada suhu 60oC sampai kering, lalu ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Akar dan pucuk tanaman dipisahkan, kemudian berat kering pucuk dan akar dihitung rasionya. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian. Analisis data Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (General Linier Model Univariate) untuk mengetahui perbedaan perlakuan terhadap kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman. Jika ada beda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji signifikansi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nitrogen jaringan Pertumbuhan m erupakan akibat adanya interaksi antara berbagai faktor internal (genetik) dan unsur-unsur iklim, tanah, dan biologis dari lingkungan. Suatu pembatasan faktor pertumbuhan berakibat terjadinya pengurangan pertumbuhan dan perkembangan. Berlangsungnya pertumbuhan salah satunya ditentukan oleh unsur nitrogen (Gardner et al. 1991). Rata-rata kandungan nitrogen jaringan dan grafik interaksi perlakuan variasi naungan dan dosis pupuk ZA disajikan di Tabel 2, dimana ditunjukkan bahwa perlakuan naungan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan N daun tanaman X. sagittifolium. Rata-rata kandungan N meningkat seiring dengan meningkatnya naungan. Nilai N yang paling kecil pada naungan 0%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sirait (2006) bahwa adanya peningkatan kandungan nitrogen pada tajuk rumput Panicum maximum cv Riversdale dengan meningkatnya taraf naungan. Reaksi reduksi nitrogen sampai penyusunan asam amino menjadi protein sangat dipengaruhi cahaya. Reduksi nitrogen erat hubungannya dewngan hasil-hasil antara fotosintesis. Mulai dari NH3 dan hasil-hasil antara fotosintesis terbentuklah asam amino dan persenyawaan nitrogen organik lainnya. Melalui fotofosforilasi, cahaya menghasilkan ATP bagi proses pembongkaran nitrogen yang tertimbun menjadi nitrogen organik yang dapat dimanfaatkan. Cahaya juga mengktifkan kerja enzim nitrat reduktase (Bonner dan Vanner 1976; Pradnyawan 2004). Perlakuan dosis pupuk ZA yang berbeda berpengaruh terhadap kandungan nitrogen jaringan daun tanaman X. sagittifolium. Kandungan N meningkat dari dosis pupuk 0 g/m2 sampai 0,625 g/m2 kemudian turun pada dosis pupuk 1,25 g/m2. Hasil penelitian Sitompul dan Purnomo (2004) menunjukkan bahwa kadar N daun tanaman Jagung meningkat seiring dengan peningkatan pemupukan N. Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (1990) ketersediaan unsur N tanah yang lebih banyak dapat menghasilkan protein yang lebih banyak, semakin tinggi pemberian nitrogen semakin cepat pula sintesis karbohidrat yang diubah menjadi protein dan protoplasma peningkatan protein dalam tubuh tanaman akan meningkatkan kadar N dalam jaringan tanaman. 74 Tabel 2. Reta-rata kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, berat basah, berat kering, dan rasio pucuk akar tanaman Xanthosoma sagittifolium pada variasi naungan dan dosis pupuk ZA. Dosis pupuk ZA P1 P2 P3 Kandungan nitrogen jaringan N0 3,04a 3,35b 3,52bcd N1 3,55bcd 3,45bc 4,61f N2 3,73de 3,97e 5,09g Rerata 3,44h 3,59i 4,40k 3,64cd 3,73de 5,32g 4,23j Aktivitas N0 N1 N2 Rerata 108,19a 139,69abc 150,83cd 132,90e 260,58d 176,90 135,45abc 153,97 198,21bcd 175,2 198,08f Naungan nitrat reduktase 218,62cd 120,23ab 170,97abc 169,78abc 136,01abc 215,75abc 175,2ef 168,58ef P4 Rerata 3,38l 3,83m 4,52n Berat basah N0 255,86g N1 371,09ij N2 288,76gh Rerata 305,24k 244,54g 407,64j 249,63g 300,60k 395,32j 328,4hi 255,21g 326,3kl 290,02gh 296,43m 360,99ij 367,03n 420,88j 303,62m 357,30l Berat kering N0 33,92abc N1 28,58ab N2 32,45abc Rerata 31,65e 26,12a 42,2c 25,43a 31,25e 34,52abc 29,16ab 38,16bc 33,95e 53,92d 37,12 36,64 abc 34,14 31,58abc 31,90 40,71f Rasio pucuk akar N0 0,26k 0,37k 0,47kl 0,31k 0,35p N1 0,98m 0,54kl 0,75lm 0,34k 0,65q N2 0,46kl 0,22k 0,42kl 0,45kl 0,39p Rerata 0,57o 0,37n 0,55no 0,37n Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%. N: Naungan; N0: 0%; N1: 50%; N2: 75% P: Dosis pupuk ZA (g/m2); P1: 0 g/m2; P2: 0,3125 g/m2; P3: 0,625 g/m2; P4: 1,25 g/m2. Perlakuan N0P3 dan N1P1 tidak berbeda satu sama lain. Perlakuan N1P4 dan N2P1 tidak berbeda nyata satu sama lain. Begitu juga pada perlakuan N2P3 dan N2P4, tidak berbeda nyata satu sama lain. Hal ini terjadi karena pada saat cahaya dan ketersediaan unsur nitrogen maksimal, penyerapan nitrogen menjadi optimal. Intensitas cahaya yang tinggi mengakibatkan proses transpirasi pada tanaman meningkat, sehingga aliran air yang membawa nitrat dari tanah menuju ke daun meningkat. Pada saat cahaya dan ketersediaan unsur nitrogen tidak maksimal maka tanaman akan menurunkan titik kompensasi cahaya dan menggunakan N organik yang tersedia untuk mempercepat laju fotosintesis. Hal ini mengakibatkan sintesis karbohidrat yang nantinya diubah menjadi protein dan protoplasma meningkat. Peningkatan kadar protein pada tanaman akan meningkatkan kadar N dalam jaringan tanaman. Perlakuan tanpa naungan dan tanpa pupuk (N0P1) memiliki kandungan nitrogen terendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh intensitas cahaya yang tinggi dan ketersediaan nitrogen rendah mengakibatkan akar yang terbentuk sedikit sehingga penyerapan nitrogen tidak optimal. Perlakuan naungan 75% dan dosis pupuk 1,25 g/m2 memiliki kandungan N tertinggi. Kadar nitrogen dalam tanah yang lebih besar akan menyebabkan pertumbuhan akar yang lebih banyak sehingga penyerapan nitrogen lebih maksimal. Aktivitas nitrat reduktase Aktivitas sejumlah enzim dari berbagai jalur metabolisme tanaman diatur oleh cahaya. Nitrat reduktase adalah enzim pengatur asimilasi nitrogen pada tanaman, yang diatur oleh perubahan terang/gelap. Meskipun respon aktivitas nitrat reduktase terhadap terang/gelap dapat bervariasi pada setiap spesies, pada umumnya aktivitasnya lebih tinggi pada kondisi terang daripada gelap. Cahaya meningkatkan aktivitas nitrat reduktase dengan cara mempercepat pengambilan nitrat (Puranik and Srivastava 1985). Rata-rata aktivitas nitrat reduktase dan grafik interaksi perlakuan variasi naungan dan dosis pupuk ZA disajikan Tabel 2. Dari tabel ini diketahui bahwa perlakuan naungan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas nitrat reduktase tanaman X. sagittifolium. Aktivitas nitrat reduktase tertinggi pada perlakuan tanpa naungan (naungan 0%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas nitrat reduktase dipengaruhi oleh cahaya dengan cara meningkatkan laju fotosintesis yang akan menghasilkan karbohidrat dan NADH yang diperlukan untuk reduksi nitrat, dihasilkan dari karbohidrat tersebut bila terespirasi. Hasil penelitian Choo et al. (1998) menunjukkan bahwa aktivitas nitrat reduktase Carex spp. rendah pada intensitas cahaya rendah dan meningkat pada intensitas cahaya tinggi. Pada perlakuan naungan 75% aktivitas nitrat reduktase juga cukup tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tanaman mengefisiensikan penangkapan cahaya dengan cara meningkatkan luas permukaaan daun. Peningkatan laju fotosintesis ini diikuti dengan 75 peningkatan respirasi, yang akan menghasilkan energi untuk mereduksi NO3-menjadi NO2-. Menurut Noggle and Fritz (1983) fotosintesis berhubungan erat dengan asimilasi nitrat yaitu pembentukan ion nitrat (NO3-) menjadi nitrit (NO2-) dan ion amonia (NH3+) menjadi asam amino. Aktivitas nitrat reduktase mempengaruhi sintesis asam amino. Pada Tabel 2 diketahui bahwa aktivitas nitrat reduktase menurun seiring dengan penambahan dosis pupuk nitrogen kemudian meningkat pada dosis pupuk nitrogen 1,25 g/m2. Hasil penelitian Shah (2008) pada tanaman Nigella sativa yang diberi penambahan pupuk nitrogen (urea) menunjukkan adanya peningkatan aktivitas nitrat reduktase seiring dengan semakin tingginya dosis pupuk nitrogen. Aktivitas nitrat reduktase tertinggi terdapat pada perlakuan dosis pupuk 352 mg/pot, kemudian menurun pada dosis 442 mg/pot. Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (1990) pupuk ZA di dalam tanah akan dihidrolisis menjadi amonium (NH4+) dan sulfat (SO42-). Engelstaad (1997) mengemukakan bahwa jika NH4+ ditambahkan pada tanah, mula-mula bereaksi dengan kompleks pertukaran kation untuk menjadi terjerap pada permukaan partikel-partikel lempung, maka mobilitasnya menjadi berkurang dan pengambilan oleh tanaman terbatas pada penyerapan NH4+ larutan yang berada dalam kesetimbangan dengan NH4+ pada kompleks pertukaran. Kondisi-kondisi lingkungan yang menunjang aktivitas biologi aerob sebagian besar NH4+ tanah yang tersedia akan diubah ke dalam bentuk yang lebih mudah bergerak yakni NO3-. Menurut Salisbury dan Ross (1995) pada tanah yang lembab dengan pH netral, NH4+ akan dioksidasi menjadi nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Aktivitas nitrat reduktase tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa naungan dan dosis pupuk 1,25 g/m2 (N0P4). Intensitas cahaya matahari penuh dan dosis pupuk yang tinggi akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman. Aktivitas nitrat reduktase tergantung pada suplai hasil fotosintesis yang berupa karbohidrat, dan akan digunakan dalam proses respirasi. Reduksi NAD+ menjadi NADH terjadi pada respirasi dan NADP+ menjadi NADPH terjadi pada proses fotosintesis. NADH atau NADPH merupakan tenaga untuk mereduksi nitrat (NO3-) menjadi nitrit (NO2-). NADH dan NADPH berfungsi sebagai donor elektron yang akan ditransfer ke FAD sebagai gugus prostetik koenzim atau pembawa elektron (Hess 1975). Sedangkan aktivitas nitrat reduktase terendah terdapat pada perlakuan tanpa naungan dan dosis pupuk 0,625 g/m2 (N0P3), meskipun intensitas cahaya tinggi dan dosis pupuk yang cukup, tampaknya tidak dapat meningkatkan aktivitas nitrat reduktase tanaman. Menurut Engelstaad (1997) bila pupuk N ditambahkan ke tanah, N dapat ikut terpanen dalam tanaman, tergabungkan ke dalam organik tanah, terdenitrifikasikan, tervolatilisasi atau hilang bersama air drainase. Biomassa Berat basah Biomassa tanaman merupakan akumulasi produk fotosintesis maupun penyerapan hara dalam bentuk senyawa organik penyusun seluruh jaringan pada organ vegetatif maupun generatif tanaman (Bidwell 1979; Turmudhi 2002). Pengukuran berat basah tanaman dilakukan secara langsung setelah tanaman dipanen agar tidak kehilangan air. Berat basah tanaman adalah berat tanaman pada saat masih hidup. Selain bahan organik, kandungan air pada jaringan tanaman akan mempengaruhi berat basah tanaman (Sitompul dan Guritno 1995). Rata-rata berat basah perlakuan variasi naungan dan dosis pupuk ZA disajikan Tabel 2. Rata-rata berat basah pada perlakuan tanpa naungan (0%) dan naungan 75% berbeda nyata dengan perlakuan naungan 50%. Berat basah tertinggi terdapat pada perlakuan naungan 50%. Hasil penelitian Rosman et al. (2004) menunjukkan bahwa pemberian naungan 50% pada Pogostemon cablin (nilam) dapat meningkatkan berat basah daun dan batang tanaman pada umur 16 minggu setelah tanam. Menurut Sirait (2006), naungan mengakibatkan terjadinya pengurangan intensitas cahaya yang sampai pada tanaman. Naungan yang diberikan secara fisik tidak hanya menurunkan intensitas radiasi matahari, tetapi juga mempengaruhi unsur-unsur iklim mikro lainnya. Naungan juga akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam tanaman antara lain fotosintesis, respirasi, transpirasi, sintesis protein, translokasi dan penuaan. Tingkat iradiansi selama pertumbuhan dapat mempengaruhi pembagian bahan kering ke morfologi daun, batang dan akar serta komposisi daun pada tumbuhan tingkat tinggi. Sebagai pembeda dengan tanaman yang tumbuh pada iradiansi tinggi, tanaman yang tumbuh pada tingkat iradiansi rendah, seringkali mengalokasikan bahan kering ke daun dan mempunyai specific leaf area (SLA, area per unit berat kering daun) dan total klorofil per unit 76 berat kering yang lebih besar, tetapi rasio klorofil a: b dan kandungan protein biasanya lebih rendah (Maule 1995; Katajima dan Hogan 2003). Peningkatan pemberian pupuk meningkatkan berat basah tanaman. Hal ini diduga karena dosis pupuk yang semakin meningkat akan meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah sehingga penyerapan hara nitrogen semakin meningkat pula. Penyerapan unsur nitrogen yang semakin meningkat akan mengakibatkan kandungan nitrogen dalam daun yang semakin meningkat pula. Kandungan nitrogen jaringan dalam daun akan merangsang peningkatan laju metabolisme tanaman. Nilai berat basah dipengaruhi oleh kadar air jaringan, unsur hara dan metabolisme (Salisbury dan Ross 1995). Engelstaad (1997) mengemukakan bahwa peningkatan hasil panen dapat dipengaruhi oleh penambahan pupuk N secara bertahap. Unsur hara N yang cukup tersedia mengakibatkan pertumbuhan vegetatif menjadi optimum sehingga terjadi peningkatan berat basah. Menurut Lakitan (1996) pemberian nitrogen yang tepat akan meningkatkan pertumbuhan tanaman, maka meningkat pula metabolisme tanaman, sehingga pembentukan protein, karbohidrat dan pati tidak terhambat. Akibatnya pertumbuhan dan produksi tanaman meningkat. Berat kering Berat kering total tanaman merupakan akibat efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang tersedia, sepanjang musim pertumbuhan oleh tajuk tanaman (Gardner et. al. 1991). Menurut Lakitan (1996) berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa anorganik, terutama air dan karbondioksida. Berat kering diperoleh dengan cara pengeringan pada suhu 80°C selama 2 hari. Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan semua kandungan air dan menghentikan aktivitas metabolisme tanaman (Sitompul dan Guritno 1995). Tabel rata-rata berat kering tanaman perlakuan variasi naungan dan pupuk ZA dapat dilihat Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan variasi naungan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat kering tanaman X. sagittifolium. Meski demikian peningkatan naungan mengakibatkan penurunan berat kering tanaman X. sagittifolium. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Djukri dan Purwoko (2003), berat kering umbi talas yang toleran terhadap naungan menurun dengan adanya penaungan. Peningkatan naungan mengakibatkan penurunan intensitas cahaya yang diterima tanaman. Menurut Harjadi (1991) besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan berat kering. Menurut Djukri dan Purwoko (2003) naungan mengakibatkan peningkatan luas daun sebagai upaya tanaman dalam mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah. Naungan dapat mengurangi radiasi sinar utama yang aktif pada fotosintesis yang berakibat menurunnya asimilasi netto, sehingga fotosintat yang disimpan dalam organ penerima menurun, akibatnya terjadi penurunan berat kering tanaman. Menurut Gardner et al. (1991) berat kering total hasil panen tanaman budidaya merupakan akibat penimbunan hasil bersih asimilasi karbondioksida (CO2) sepanjang musim pertumbuhan. Karena asimilasi CO2 merupakan hasil penyerapan energi matahari dan akibat radiasi matahari maka faktor utama yang mempengaruhi berat kering total hasil panen adalah radiasi matahari yang diabsorbsi dan efisiensi pemanfaatan energi tersebut untuk fiksasi CO2. Daun yang tidak dalam kondisi ternaungi akan dapat menyerap cahaya matahari yang semakin meningkat sehingga dapat menyebabkan meningkatnya laju asimilasi bersih. Hal ini didukung perakarannya yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara sebagai bahan dalam proses fotosintesis di daun untuk diubah menjadi CO2 dan karbohidrat (Kastono 2005). Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan variasi dosis pupuk ZA mempunyai pengaruh terhadap berat kering tanaman X. sagittifolium. Semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka semakin tinggi pula berat kering tanaman. Berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa anorganik, terutama air dan karbondioksida. Unsur hara yang telah diserap akar memberi kontribusi terhadap penambahan berat kering tanaman. Berat kering tanaman merupakan efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang tersedia sepanjang masa pertanaman oleh tajuk tanaman (Kastono 2005). Perlakuan interaksi variasi naungan dan dosis pupuk ZA berpengaruh terhadap berat kering tanaman. Produksi bahan kering tanaman 77 merupakan resultan dari tiga proses yaitu penumpukan asimilat melalui fotosintesis, penurunan asimilat akibat respirasi dan akumulasi ke bagian sink (penerima). Ada dua hal yang dapat meningkatkan berat kering tanaman yaitu memperbesar LAI (Leaf Area Index) sampai optimum dan meningkatkan laju fotosintesis setiap satuan luas daun (Jumin 2002). Cahaya menentukan proses fotosintesis melalui organel penyelenggara fotosintesis. Klorofil dan enzim ribulose bifosfat karboksilase oksigenanse (Rubisco) adalah molekul yang paling berperan dalam proses fotosintesis. Unsur nitrogen merupakan salah satu unsur yang berperan dalam sintesis kedua molekul tersebut. Oleh karena itu, pemupukan N selalu berhubungan dengan peningkatan laju fotosintesis (Dwyer et al. 1995; Sitompul dan Purnomo 2004). Peningkatan berat kering terjadi karena laju fotosintesis berupa fotosintat yang merupakan hasil akhir dari proses metabolisme. Produk akhir dari proses fotosintesis adalah gula. Gula merupakan materi dasar penyusun materi organik di dalam sel tanaman seperti senyawa struktural, metabolik, dan cadangan makanan yang penting. Bagian-bagian sel tanaman seperti sitoplasma, inti sel dan dinding sel tersusun atas materi organik tersebut. Proses ini mengakibatkan akumulasi bahan kering tanaman (Salisbury dan Ross 1995). Rasio pucuk/akar Pertumbuhan tanaman dapat didefinisikan sebagai proses bertambahnya ukuran dan jumlah sel-sel tanaman yang diikuti adanya pertumbuhan berat kering tanaman, sedangkan perkembangan tanaman dapat diartikan sebagai suatu proses menuju tercapainya kedewasaan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman terbagi menjadi dua fase yaitu fase pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan generatif. Pada fase pertumbuhan vegetatif, perbandingan atau rasio pucuk dan akar sangat menentukan perkembangan selanjutnya terutama dalam hal produksi tanaman itu sendiri (Tjionger’s 2009). Alometri dari pertumbuhan pucuk dan akar biasanya dinyatakan sebagai rasio pucuk akar, yang dapat menggambarkan salah satu tipe toleransi terhadap kekeringan. Walau rasio pucuk akar dikendalikan secara genetik, rasio juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Gardner et al. 1991). Homeostasis tajuk dan akar merupakan upaya organ tanaman untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis, sehingga masing-masing organ dapat melakukan fungsinya secara normal (Hidayat 2004). Ratarata rasio pucuk akar tanaman Xanthosoma sagittifolium dan grafik interaksi perlakuan variasi naungan dan pupuk ZA disajikan di Tabel 2. Perlakuan naungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rasio pucuk akar tanaman X. sagittifolium. Pengaruh naungan 0% dan 75% berbeda dari naungan 50%. Rasio pucuk akar tertinggi terdapat pada perlakuan naungan 50% dengan nilai 0,65. Penaungan 50% mengakibatkan kerja auksin tanaman meningkat sehingga pertumbuhan pucuk lebih tinggi daripada pertumbuhan akar. Hasil penelitian Sirait (2006) menunjukkan bahwa rasio pucuk/akar rumput benggala (Panicum maximum cv Riversdale) meningkat seiring dengan meningkatnya taraf naungan. Rasio pucuk/akar tertinggi pada naungan 56% (1,25). Pada perlakuan naungan 0% atau intensitas cahaya matahari penuh, kerja auksin akan terhambat sehingga pertumbuhan akar lebih tinggi daripada pucuk. Karena kandungan auksin rendah akan meningkatkan pertumbuhan akar. Pada perlakuan naungan 75% tampak bahwa pembagian fotosintat cenderung ke akar. Hal ini kemungkinan dikarenakan naungan 75% mengakibatkan kondisi iklim mikro yang mendukung translokasi hasil fotosintesis cenderung ke akar. Menurut Sirait (2006) dalam kondisi ternaungi, salah satu bentuk adaptasi tanaman adalah dengan memperluas daun untuk memaksimalkan jumlah cahaya yang dapat diserap. Dengan demikian bahan baku yang dihasilkan dalam fotosintesis lebih banyak digunakan untuk perkembangan pucuk daripada akar. Alur transportasi hasil fotosintesis adalah dari daun menuju ke bagian lain yang memerlukan seperti batang dan akar melalui pembuluh floem. Dengan mekanisme tersebut, pada kondisi naungan akar akan memperoleh fotosintat yang lebih sedikit dibandingkan dengan pucuk. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan variasi dosis pupuk ZA berpengaruh signifikan terhadap rasio pucuk/akar tanaman X. sagittifolium. Perlakuan dosis pupuk ZA 0,3125 dan 1,25 g/m2 tidak berbeda nyata satu sama lain, pertumbuhan akar lebih tinggi daripada pertumbuhan pucuk. Hal ini kemungkinan dikarenakan pemupukan nitrogen menggiatkan perakaran yang lebih banyak, mungkin karena adanya peningkatan luas daun dan lebih banyak hasil asimilasi untuk pertumbuhan akar. Perlakuan tanpa pupuk mempunyai rasio pucuk yang lebih tinggi daripada akar dengan nilai 0,57. Kandungan nitrogen tanah yang lebih rendah daripada perlakuan pemupukan lainnya kurang mempengaruhi pertumbuhan pucuk. Perlakuan dosis pupuk ZA 0,625 g/m2 mempunyai rasio pucuk lebih tinggi daripada akar dengan nilai 0,55. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan kandungan nitrogen cenderung meningkatkan pertumbuhan pucuk. Kandungan nitrogen tinggi memungkinkan pertumbuhan pucuk mengambil karbohidrat yang tersedia. Hasil penelitian Sirait (2006) menunjukkan bahwa rasio pucuk/akar rumput Benggala (Panicum maximum cv Riversdale) meningkat seiring dengan peningkatan taraf pemupukan nitrogen. Rasio pucuk/akar tertinggi pada pemupukan 200 kg N/ha (1,14). Nilai rasio pucuk akar tertinggi pada perlakuan N1P1 (0,98) dan terendah N2P2 (0,22). Menurut Hidayat (2004) untuk menjaga keseimbangan fisiologis antara pucuk dan akar, CO2 yang diikat oleh daun dan air serta hara yang diserap oleh akar harus seimbang. Laju pemanjangan akar dipengaruhi oleh faktor internal, seperti pasokan fotosintat dari daun dan faktor lingkungan antara lain suhu dan kandungan air tanah (Lakitan 1996). Konsentrasi nitrogen di dalam tanah terlalu tinggi, maka sebagian besar akan diserap oleh akar untuk diangkut ke daun bersama karbohidrat. Dalam daun, karbohidrat yang terbawa dari akar ditambah dengan karbohidrat yang sudah ada pada daun akan membentuk protein untuk proses pembentukan pucuk. Karena pertumbuhan vegetatif begitu pesat, maka karbohidrat yang diangkut ke akar menjadi lebih sedikit. Hal ini menyebabkan akar kekurangan karbohidrat sehingga pertumbuhan akar berjalan lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pucuk (Tjionger’s 2009). KESIMPULAN Terdapat perbedaan kandungan nitrogen jaringan, berat basah, dan rasio pucuk/akar tanaman Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott pada perlakuan variasi naungan. Terdapat perbedaan kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, berat basah, berat kering, dan rasio pucuk/akar tanaman Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott pada perlakuan variasi pupuk nitrogen. Terdapat interaksi antara perlakuan variasi naungan dan pupuk nitrogen: (i) Perlakuan naungan 75% dan dosis pupuk 1,25 g/m2 (N2P4) menghasilkan kandungan nitrogen jaringan (5,32%) dan berat basah (420,87 g) tertinggi. (ii) Perlakuan tanpa naungan dan dosis pupuk 1,25 g/m2 (N0P4) menghasilkan aktivitas nitrat reduktase (260,58 µ mol NO2-/g/jam), dan berat kering (53,92 g) tertinggi. (iii) Perlakuan naungan 50% dan dosis pupuk 0 g/m2 menghasilkan rasio pucuk/akar (0,97) tertinggi. DAFTAR PUSTAKA Anggarwulan E, Solichatun. 2001. Fisiologi tumbuhan. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Bidwell RGS. 1979. Plant physiology. 2nd ed. MacMillan. New York. Bonner J, Varner JE (ed). 1976. Plant biochemistry. 3rd ed. Academic Press. San Francisco, CA. Chairul, Chairul SM. 2006. Isolasi glukomannan dari dua jenis Araceae: talas [Colocasia esculenta (L.) Schott] dan iles-iles [Amorphophalus campanulatus Blumei]. Berita Biol 8 (3): 171-178. Choo Y-S, Albert R, Song SD. 1998. Influence of light regime on nitrate reductase activity and organic and inorganic solute composition of four sedges (Carex spp). Korean J Biol Sci 2: 455-462 Djukri, Purwoko, B S. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pert 10 (2): 17-25 Dwyer LM, Anderson AM, Stewart DW, Ma BL, Tollenaar M. 1995. Changes in maize hybrid photosynthetic response to leaf nitrogen, from pre-anthesis to grain fill. Agron J 87: 12211225 Engelstad OP. 1997. Teknologi dan penggunaan pupuk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. FAO. 2008. Tannia, yautia (Xanthosoma sagittifolium). http: //www.fao.org/docrep/T0645E/T0646E0o.htm. [28 Mei 2008] Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. UI Press. Jakarta. Harijono SW, Pulungan NH, Yuwono SS. 1994. Pemanfaatan umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott.) untuk pembuatan chip dan tepung. J Univ Brawijaya 6 (2): 4758. Harjadi SS. 1991. Pengantar agronomi. Jakarta: PT Gramedia. Hess D. 1975. Plant physiology. Springer. Singapore. Hidayat R. 2004. Kajian pola translokasi asimilat pada beberapa umur tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) muda. Agrosains 6 (1): 20-25. Johnston M, Onwueme IC. 1998. Effect of shade on photosynthetic pigments in the tropicak root crops: yam, taro, tannia, cassava and sweet potato. Experiment Agric 34 (3): 301-312. Kastono D, Sawitri H, Siswandono. 2005. Pengaruh nomor setek dan dosis pupuk urea terhadap pertumbuhan dan hasil kumis kucing. Ilmu Pert 12 (1): 56-64. Katajima K, Hogan KP. 2003. Increases of chlorophyll a/b ratios during acclimation of tropical woody seedlings to nitrogen limitation and high light. Plant Cell Environ 26: 857-865. Lakitan B. 1996. Fisiologi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Leterme P, Londoño AM, Estrada F, Souffrant WB, Buldgen A. 2005. Chemical composition, nutritive value and voluntary intake of tropical tree foliage and cocoyam in pigs. J Sci Food Agric 85 (10): 1725-1732. Lylian R, Peniche I, Preston TR, Peters K. 2009: Nutritive value for pigs of new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium); digestibility and nitrogen balance with different proportions of fresh leaves and soybean meal in a basal diet of sugar cane juice. Livestock Res Rural Dev 21 (1): Article #16. http://www.lrrd.org/lrrd21/1/rodr21016.htm Maule HG, Andrews M, Morton JD, Jones AV, Doly GT. 1995. Sun/shade acclimation and nitrogen nutrition of tradescantia fluminesis, a problem weed in New Zealand Native Forest remnants. NZ J Ecol 19 (1) : 35-46. Noggle GR, Fritz GI. 1983. Introductory to plant physiology. Prentice-Hall. New Jersey. Pradnyawan SWH. 2004. Pertumbuhan, struktur anatomi daun, kandungan nitrogen, klorofil dan karotenoid daun Gynura procumbens [Lour] Merr. pada tingkat naungan yang berbeda. [Tesis S1]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Puranik RM, Srivastava HS. 1985. Increase in nitrate reductase activity in bean leaves by light involves a regulator protein. Agric Biol Chem 49 (7) : 2099-2104. Rosman R, Setyono, Suhaeni H. 2004. Pengaruh naungan dan pupuk fosfor terhadap pertumbuhan dan produksi nilam (Pogostemon cablin Benth.). Buletin TRO 15(1): 43-49 Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran dunia I prinsip, produksi, dan gizi. Penerbit ITB. Bandung. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi tumbuhan. Jilid 2. Penerbit ITB. Bandung. Shah SH. 2008. Effects of nitrogen fertilisation on nitrate reductase activity, protein, oil yields of Nigella sativa L. as affected by foliar GA3 application. Turk J Bot 32: 165-170 Sirait J. 2006. Dinamika nitrogen dan produksi rumput benggala (Panicum maximum Cv Riversdale) pada tiga taraf naungan dan pemupukan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balitnak. Bogor, 6 Septermber 2006. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sitompul SM, Purnomo D. 2004. Peningkatan kinerja tanaman jagung pada sistem agroforestri jati dengan pemupukan nitrogen. Agrosains 6 (2): 79-83 Soetriono, Suwandari A, Rijanto. 2006. Pengantar ilmu pertanian. Bayu Media Publishing. Malang. Sutejo MM, Kartasapoetra AG. 1990. Pupuk dan cara pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Tjionger’s, M. 2009. Pentingnya menjaga keseimbangan unsur hara makro dan mikro untuk tanaman. http://www.tanindo.com/abdi12/hal1501.htm. [13 Januari 2009]. Turmudhi E. 2002. Produktivitas kedelai-jagung pada sistem tumpangsari akibat penyiangan dan pemupukan pitrogen. Akta Agrosia 5 (1) : 22-26.