BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Magnet Magnet adalah logam yang dapat menarik besi atau baja dan memiliki medan magnet. Asal kata magnet diduga dari kata magnesia yaitu nama suatu daerah di Asia kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi atau baja atau campuran logam lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut magnet (Suryatin, 2008). Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk industri otomotif dan lainnya. Sebuah magnet terdiri atas magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnet-magnet kecil ini disebut magnet elementer. Pada logam yang bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur) sehingga efeknya saling meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya kutubkutub magnet pada ujung logam. Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. Benda dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan sifat kemagnetannya yaitu benda magnetik dan benda non-magnetik. Benda magnetik adalah benda yang dapat ditarik oleh magnet, sedangkan benda non-magnetik adalah benda yang tidak dapat ditarik oleh magnet (Suryatin, 2008). Contoh benda magnetik adalah logam seperti besi dan baja, namun tidak semua logam dapat ditarik oleh magnet, sedangkan contoh benda non-magnetik adalah oksigen cair. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Afza, 2011). 2.2 Medan Magnet Medan magnet adalah daerah di sekitar magnet yang masih merasakan adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka terjadi perubahan dalam ruangan ini karena setiap titik dalam ruangan tersebut akan terdapat medan magnetik. Arah medan magnetik suatu ruangan didefinisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas yang diletakkan di sekitar medan magnet tersebut (Afza, 2011). 2.2.1 Material Magnetik Material magnetik dibedakan menjadi dua macam berdasarkan kekuatan medan koersifnya yaitu material magnet lunak dan material magnet keras. Material magnet lunak memiliki medan koersif yang lemah, sedangkan material magnet keras memiliki medan koersif yang kuat. Kekuaran medan koersif dapat dilihat jelas menggunakan diagram histeresis pada Gambar 2.5 (Afza, 2011). Gambar 2.1 (a) Material magnet lunak (b) Material magnet keras (Afza, 2011). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam spesimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen, dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi Magnet permanen dapat diberi indeks berdasarkan momen koersif yang diperlukan untuk menghilangkan induksi (tabel 2.1). Patokan ukuran yang yang lebih baik adalah hasil kali BH. BaFe12O19 mempunyai nilai –Hc yang sangat besar, tetapi BHmaks sedang-sedang saja., karena rapat fluks lebih rendah dibandingkan bahan magnet permanen lainnya. Dari tabel 2.1 akan diperoleh gambaran mengenai peningkatan yang mungkin diperoleh beberapa para ahli peneliti dan rekayasawan dengan pengembangan alnico (metalik) dan magnet BaFe12O19 (keramik) Tabel 2.1. sifat berbagai magnet keras (dari berbagai sumber) Bahan magnet Remanen, Br (V.det/m2) Medan koersif, -Hc (A/m) Produk demagnetisasi maksimum BHmaks(J/m3) Baja karbon 1,0 0,4 x 104 0,1 x 104 Alnico 1,2 5,5 x 104 3,4 x 104 Ferroxdur (BaFe12O19) 0,4 15,0 x 104 2,0 x 104 Magnet lunak merupakan pilihan tepat untuk penggunaan pada arus bolakbalik atau frekuensi tinggi, karena harus mengalami magnetisasi dan demagnetisasi berulang kali selama selang satu detik. Spesifikasi yang agak kritis untuk magnet lunak adalah : induksi jenuh (tinggi), medan koersif (rendah), dan pemeabilitas maksimum (tinggi). Data selektif terdapat pada tabel 2.2 dan dapat dibandingkan dengan data tabel 2.1. Rasio B/H disebut permeabilitas. Nilai rasio B/H yang tinggi berarti bahwa magnetisasi mudah terjadi karena diperlukan medan magnet kecil untuk menghasilkan rapat fluks yang tinggi (induksi). Tabel 2.2. Sifat berbagai magnet lunak (dari berbagai sumber) Bahan magnet Induksi jenuh, Bs (V.det/m2) Medan koersif, -HC (A/m) Permeabilitas relatif maksimum, μ r(maks) Besi murni (kps) 2,2 80 5.000 Lembaran trasnformator siliko ferit (terarahkan) 2,0 40 15.000 Permalloy, Ni-Fe 1,6 10 2.000 0,2 0,2 100.000 Superpermalloy, Ni-Fe Ni-Fe-Mo Ferroxcube A, (Mn,Zn) Fe2O4 0,4 30 1.200 Ferroxcube B, (Ni,Zn) Fe2O4 0,3 30 700 2.3 Barium Hexa Ferrite (BaO.6Fe2O3) Barium hexa Ferrite merupakan keramik oksida komplek dengan rumus kimia BaO.6Fe2O3 atau BaFe12O19. Barium hexa Ferrite mempunyai kestabilan kimia yang bagus dan relatif murah dan kemudahan dalam produksi. Walaupun kekuatan magnet heksaferit lebih rendah dibandingkan jenis magnet terbaru berbasis logam tanah jarang, magnet permanen hexa Ferrite (Ba-ferit dan Sr-ferit) masih menempati tempat teratas dalam pasar magnet permanen dunia baik dalam hal nilai uang maupun berat produksi. Material magnet oksida BaO6Fe2O3 merupakan jenis magnet keramik yang banyak dijumpai disamping material magnet Sr.6Fe2O3. seperti pada jenis oksida lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak mudah terkorosi. Sebagai magnet permanen, material BaO.6Fe2O3 memiliki sifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap pengaruh medan magnet luar pada suhu diatas 300oC. Sehingga sangat cocok dipergunakan dalam peralatan teknologi pada jangkauan yang cukup luas. Barium hexa Ferrite BaO.6Fe2O3 yang memiliki parameter kisi a = 5,8920 Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Gambar struktur kristal barium hexa Ferrite BaO.6Fe2O3 diperlihatkan pada gambar 2.2 Gambar 2.2. Struktur kristal BaO.6Fe2O3(Moulson A.J, et all., 1985) Barium heksaferit dapat disintesa dengan beberapa metoda seperti kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, copresipitasi dan pemaduan mekanik. Diantara metoda ini pemaduan/gerus mekanik adalah ekonomis karena ketersediaan bahan baku secara komersial dan relatif murah. Selain itu, penanganan material relative sederhana untuk proses pemaduan mekanik dan produksi skala besar dapat diimplementasikan dengan mudah. 2.4 Silika (SiO2) Silika (SiO2) adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO2, atau nama lain yaitu oksida silikon (silicon dioxside). Silika merupakan oksida logam golongan IV dengan satuan struktur primer tehtrahedron SiO4, dimana satu atom silika dikelilingi oleh empat atom oksigen sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 2.3, gaya-gaya yang mengikat tetrahedral ini berasal dari ikatan ionik dan kovalen oleh karena itu ikatan tetrahedral kuat. Pada SiO2 murni tidak terdapat ion logam dan setiap atom oksigen merupakan atom penghubung antara dua atom silicon dan setiap atom silicon dikelilingi oleh empat atom oksigen (Vlack, 1994). Gambar 2.3. Struktur primer tehtrahedron SiO4 Silika bisa terdapat dalam bentuk amorf maupun dalam bentuk Kristal dengan tiga bentuk dasar yaitu kuarsa pada suhu 867oC, tridimit pada suhu 1470oC, dan kristobalit pada suhu 1730oC (Smith, 1996). Bentuk unit kristal dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut. Gambar 2.4. Bentuk unit kristal (Shriver dan Atkins, 1999) 2.4.1. Sumber Silika Silika (SiO2) dapat diperoleh dari mineral, nabati dan sintesis. Silika mineral adalah senyawa yang banyak ditemui dalam bahan tambang/galian seperti pasir kuarsa, granit, dan feldsfar yang mengandung kristal-kristal silika (Reig et al., 1997). Silika mineral biasanya diperoleh melalui proses penambangan kemudian dilakukan proses pencucian untuk membuang pengotor dan dipisahkan serta dikeringkan kembali sehingga diperoleh kadar silika yang lebih besar bergantung dengan keadaan tempat penambangan. Saat ini mineral-mineral tersebut susah didapatkan maka diperlukan alternatif lain dalam pencarian silika seperti silika sintesis dan silika nabati. Silika sintesis didapatkan menggunakan bahan fumed silika, TEOS dan TMOS (Chartterjee and Naskar, 2004) dapat menggunakan metode pelelehan. Proses pelelehan dimulai dengan pemanasan dan kristalisasi yang bersesuaian dengan mineral tersebut. Pelelehan tergantung pada pereduksian suhu leleh, perubahan dalam medium (Pitak, 1997) dan membutuhkan suhu yang sangat tinggi. Harganya relatif mahal dan prosesnya sangat rumit sehingga diperlukan alternatif pencarian sumber silika sebagai penggantinya yaitu silika nabati yang dapat ditemui pada sekam padi, tongkol jagung, kayu, dan bambu. Silika nabati yang umum digunakan adalah silika sekam padi dengan kadar silika terbesar yaitu sebesar 94 – 96 % (Siriluk dan Yuttapong, 2005; dan Houston, 1972). Perolehan silika sekam padi dapat dilakukan dengan proses sol-gel pada suhu rendah dengan homogenitas tinggi. 2.4.2. Karakteristik Silika Silika merupakan mineral yang dapat ditemukan sebagai mineral penyusun batuan. Silika memiliki sifat kimia yaitu tidak larut dalam air, tahan terhadap zat kimia dan memiliki ekspansi termal rendah serta memiliki titik lebur yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan refraktori (bahan tahan api), bahan keramik, adsorben dan pendukung katalis yang baik. Tabel 2.1 memperlihatkan karakteristik yang dimiliki silika amorf dan silika kristal. Tabel 2.3 Karakteristik fisika, mekanika, termal, dan sifat elektrik silika amorf dan silika kristal (Sigit dan Jetty, 2001). No Parameter Satuan Silika amorf Silika kristal 1 2 3 Densitas Konduktivitas termal Koefisien ekspansi termal Kekuatan tarik Rasio Poisson’s Kekuatan retak Modulus elastisitas Daya tahan kejut termal Permitivitas (ε) Kekuatan bidang dielektrik Resistivitas g/cm3 W/mK K-1 2,65 1,3 12,3 x 10-6 2,2 1,4 0,4 x 10-6 MPa C2/N m2 kV/mm 55 0,17 70 Baik sekali 3,8 – 5,4 15,0 – 25,0 110 0,165 0,79 73 Baik sekali 3,8 15,0 – 40,0 Ωm 1012 - 1016 > 1018 4 5 6 7 8 9 10 12 MPa MPa Dari Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa karakteristik fisik, mekanik, termal dan sifat elektrik silika amorf dan silika kristal memiliki perbedaan. Dengan demikian dalam sintesis silika amorf atau silika kristal disesuaikan dengan aplikasi yang dinginkan. Dalam penggunaan untuk aplikasi katalis diharapkan silika yang terbentuk adalah silika yang memiliki luas permukaan yang besar, ketahanan panas yang baik, kekuatan mekanik yang tinggi, dan inert sehingga, dapat digunakan sebagai prekursor atau penyangga suatu katalis (Benvenutti and Yoshitaka, 1998; Yang et al., 2006). 2.5 Mixing dan Milling Blending dan mixing merupakan istilah yang biasa digunakan dalam proses pembuatan material dengan menggunakan metode serbuk akan tetapi kedua proses tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut standar ISO, blending didefenisikan sebagai proses penggilingan suatu material tertentu hingga menjadi serbuk yang merata pada beberapa komposisi nominal. Mixing atau pencampuran bahan merupakan salah satu tahapan proses dari teknik metalurgi serbuk. Pada tahap ini, kehomogenan persebaran partikel penguat dalam matriks akansangat ditentukan dimana nantinya akan berpengaruh terhadap karakteristik porositas dan mekanik dari MMCs yang dihasilkan. Banyaknya variabel pada tahap mixing merupakan permasalahan yang lain dimana perlu upaya kontrol ekstra terhadap variabel – variabel tersebut apabila diinginkan produk memiliki kualitas yang sesuai dengan permintaan. (Bradbury, 1979). Proses blending dilakukan untuk menghasilkan serbuk yang sesuai dengan komposisi dan ukuran yang diinginkan. Sedangkan mixing didefenisikan sebagai pencampuran dua atau lebih serbuk yang berbeda (Downson , 1990) Ada dua tipe pemilingan serbuk,yaitu serbuk dimilling dengan media cairan dan dikenal dengan proses pengilingan basah.Dan jika dilakukan bukan dengan media cairan dikenal dengan penggilingan kering.Dan telah dilaporkan bahwa kecepatan asmofir lebih cepat selama proses penggilingan baasah daripada pemiingan kering.Kerugian dari penggilingan basah adalah meningkatnya kontaminasi serbuk.Maka dari itu proses mechanical alloying dilakukan dengan penggilingan kering. 2.6 Parametr milling Beberapa parameter yang penting yang mempengaruhi hasil dari proses milling diantaranya:bahan baku,bola miling,wadah miling,keceptan millling,lama penggilingan,media penggilingan,ruang pada vial,perbandingan bubuk dengan bola,atmosfer dan temperatur miling 2.6.1 Bahan baku serbuk Ukuran serbuk yang digunakan umumnya berkisar antara 1µm- 200µm. Semakin kecil ukuran partikel serbuk yang digunakan,maka proses pemaduan mekanik akan semakin efektif dan efesien.Selain itu,serbuk yang digunakan juga harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi.Hal ini bertujuan agar paduan yang terbentuk bersifat homogen dan menghindari terbentuknya paduan lain yang tidak diharapkan. 2.6.2 Bola giling Bola giling yang digunakan sebagai penghancur dan pemadu campuran serbuk sehingga terbentuk suatu paduan baru.Oleh karena itu,material pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang sangat tinggi agar tidak terjadi kontaminasi saat terjadi benturan dan gesekan antara serbuk,bola dan wadah penggilingan.Material yang dapat digunakan untuk melakukan proses tersebut antara lain: baja tahan karat,baja karbon,baja perkakas dan baja kromium Ukuran bola yang dapat digunakan dalam proses pemaduan mekanik bermacam-macam.Pemilihan ukuran bola bergantung pada ukuran serbuk yang akan dipadu.Bola yang digunakan harus memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan denan diamter serbuknya 2.6.3 Wadah milling Material yang digunakan untuk wadah milling(vasel,viar,jar atau mangkok) ini penting karena impek media penggilingan pada bagian dalam dinding ruang vial beberapa material bisa terlepas dan menyatu dengan serbuk.Ini bisa mengkontaminasi serbuk atau merubah sifat kimia dari serbuk yang dimiling. 2.6.4 Kecepatan Penggilingan Media penggilingan adalah bola-bola miling yang digunakan untuk menghaluskan bubuk.Tipe material yang umum digunakan untuk media penggilingan diantaranya,hardnesss steel,tool steel,stainles steel,hardenes chorium steel dan lain-lain. Ukuran media juga mempunyai pengaruh terhadap efesien miling,Umumnya ukuran yang besar(berat jenis yang besar) dari medi penggilingan berguna karena masa yang berat dari bola-bola akn memberikan energi impak yang lebih besar terhadap partikel-partikel serbuk.Ternyata dalam beberapa kasus,fasa yang amorf tidak terbentuk dan hnaya senyawa kristal yang terbentuk ketike menggunakan bola-bola berukuran besar.Dalam penelitian lain mengatakan bahwa fasa amourf terbentuk dengan menggunakan bola-bola miling berukuran kecil.Bola-bola yang berukuran kecil akan menghasilkan ksi friksi yang besar ketika proses miling sehingga mendorong untuk terbentuknya fasa amourf. Ukuran yang berbeda dari bola-bla menghasilkan gaya geser yang membantu tidak menempenya sserbuk pada permukaan bola.Menggunakan media penggiling yang sama akan berputar menghasilkan jalur trek konsekuensnya bolabola akan berputar sepanjang jalur dari pada mengenai akhir permukaan dengan tidak beraturan.Oleh karena itu dibutuhkan bola kombinasi antara bola-bola kombinasi antara bola-bola kecil dan besar agar gerakan bola tidak teratur. 2.6.5Rasio Berat Bola Serbuk Rasio berat bola serbuk/Ball power weight ratio(BPR) adalah variabel yang penting dalam proses milling.Rasio berat serbuk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasa tertentu dari serbuk yang dimilling.Semakin tinggi BPR,semakin pendek waktu yang dibutuhkan.Hal ini dikarenakan peningkatan berat bola,tumbukkan persatuan waktu meningkat dan konsekuensinya adalah banyak energi yang ditransfer ke partiel-partikel serbuk dan proses alloying berjalan lebih cepat.Beberapa penelitian menyatakan hasil yang sama.Ini dikarenakan energi yang lebih tinggi, semakin banyak panas yang dihasilkan dan ini juga akan merubah sifat dasar butir. 2.6.6 Ruang Kosong pada Vial Terjadinya partikel serbuk alloying dikarenka adanya gaya impek yang terjadi terhadap serbuk-serbuk itu.Dalam proses milling dibutuhkan tempat yang kosong yang cukup untuk bola-bola milling dan partikel-partikel serbuk bergerak bebas didalam wadah.Jika ruang kosong pada vial dengan bola-bola dan serbuk itu penting.Jika jumlah dari bola dan serbuk banyak dan tidak ada cukup tempat untuk bola-bola untuk bergerak,maka energi impek yang dihasilkan sedikit,maka proses pemaduan tidak berjalan secara optimal dan membutuhkan waktu yang lama. 2.6.7 Atmosfer Milling Untuk menjaga terjadinya oksidasi dan kotaminasi selama proses mechanical alloying biasanya proses MA dilakukan dalam keadaan atsmosfir yag inert atau keadaan vakum pada ball mill. 2.6.8 Temperatur milling Temperatur milling adalah parameter lain yang pentng dalam menenukan keadaan dari serbuk milling.Sejak proses difusi mempengaruhi dalam pembentukan fasa paduan dengan mengabaikan apakah hasil akhir fasanya solid,intermetalic,nanostructure atau fasa amourf yang diharapkan bahwa temperatur milling akan memiliki pengaruh yang signifikan pada sistem paduan apapun. Pencampuran bahan baku dibutuhkan untuk mendapatkan campuran material yang homogen agar produk yang dihasilkan lebih sempurna. Proses pencampuran yang umum dilakukan adalah pencampuran dapat dilakukan dengan proses basah (wet mlliing). Pelumas (lubricant) mungkin ditambahkan untuk meningkatkan sifat powders flow. Binders ditambahkan untuk meningkatkan green strenghtnya seperti wax atau polimer termoplastik. Proses ini dilakukan melalui pencampuran dalam bentuk larutan, sehingga akan diperoleh tingkat homogenitas yang lebih tinggi daripada cara konvensional. Metode ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : metode desolven dan metode presitipasi. Metode desolven dilakukan dengan cara mencampurkan beberapa system larutan kemudian diubah menjadi serbuk dengan cara pelepasan bahan bahan pelarutnya (solven) secara fisika melalui pemanasan/pendinginan secara tepat supaya tidak terjadi proses seperasi senyawa-senyawa (kation-kation). Metode presitipasi adalah proses bahan terlarut (solute) dari larutan dengan cara pengendapan. Untuk mengubah endapan menjadi serbuk dilakukan proses pemanasan/kalsinasi. Proses kering (dry mixing) Proses ini dilakukan tanpa melalui pencampuran dalam bentuk larutan atau dapat dikatakan proses pencapuran kering (James S.R, 1988). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Cremens dan Grant (1963) dalam Norris, dkk. (1967), dipelajari pengaruh penggunaan dry milling dan wet milling yang meliputi tumbling, ball milling, dan agitation dalam Waring Blendor. Setelah dilakukan pengamatan terhadap karakteristik struktur pada spesimen setelah proses sintering dan extrution, diketahui bahwa metode dry milling lebih baik daripada wet milling.( Norris, dkk., 1967) Tujuan Pencampuran Atau Mixing 1. Menghasilkan campuran bahan dgn komponen tertentu yang homogen 2. Mempertahankan kondisi camp, selama proses kimia dan fisika agar tetap homogen 3. Mempunyai luas permukaan kontak antar komponen yg besar 4. Menghilangkan perbedaan konsentrasi dan perbedaan suhu 5. Mengeluarkan secara merata gas-gas dan uap- uap yg mungkin timbul 6. Menghasilkan bahan 1/2 jadi agar mudah diolah pada next process untuk menghasilkan produk akhir yg lebh baik 2.7 Planetary Ball Mill (PBM) PMB adalah alat yang sering digunakan untuk mechanical alloying. Karena PMB bisa memilling seratus gram dalam satu kali milling nama PMB di ambil dari seperti pergerakan planet, dimana prinsip kerja dari PMB adalah didasarkan pada rotasi relatif pergerakan antara jar grinda dan putaran disk. Ball mill terdiri dari satu putaran disk ( putaran meja) dan dua atau empat mangkok (vial) berotasi pada arah yang berlawanan. Gaya sentrifugal dibuat dari vial yang mengelilingi sumbunya bersama-sama dengan rotasi arah yang dipakai oleh serbuk dan bola-bola mill didalam mangkok. Campuran serbuk mengalami penghancuran dan pengelasan dinding dibawah impek energy tinggi 2.7.1 Mekanisme Milling Menggunakan Ball-mill Ball-mill merupakan salah satu instrumen/alat yang dapat digunakan untuk memproduksi nanomaterial. Komponen ball-mill ini terdiri atas sebuah tabung (vial) penampung material dan bola-bola penghancur. Pada proses pembuatan nanomaterial menggunakan ball-mill ini, material yang akan dibuat ukurannya menjadi skala nano dimasukkan kedalam vial bersama bola-bola penghancur, lihat Gambar 2.5. Kemudian ball-mill digerakan bisa secara rotasi maupun vibrasi dengan frekuensi tinggi. Gerakan rotasi atau vibrasi ini dapat divariasi sesuai kebutuhan. Akibatnya material yang terperangkap antara bola penghancur dan dinding vial akan saling bertumbukkan menghasilkan deformasi pada material tersebut. Deformasi material tersebut menyebabkan fragmentasi struktur material sehingga terpecah menjadi susunan yang lebih kecil. Gambar 2.5: Material dan bola penghancur didalam vial (dinding vial = lingkaran dengan garis putus-putus, bola penghancur = bulat hitam besar, material = bulat hitam kecil).(Fahlefi Diana,2010) Bola-bola yang saling bertumbukan tersebut menyebabkan perpatahan, kemudian terjadi penyatuan dingin (cold welding) dari serbuk-serbuk secara elementer seperti yang di illustrasikan pada Gambar 2.6 Gambar 2.6 Proses tumbukan bola-bola di media milling.( Prijo Sardjono,2008) Ketika waktu milling meningkat, fraksi volume unsure unsur dari bahan dasar menurun, sedangkan fraksi volume paduan meningkat. Ukuran, bentuk, kerapatan serbuk, dan derajat kemurnian mempengaruhi hasil akhir paduan. Ada empat tahapan dalam mechanical alloying menurut teorema Benyamin dan Volin Tahap petama adalah proses perataan serbuk dari bentuk bulat menjadi bentuk pipih (plat like) dan kemudian mengalami penyatuan (welding prodominance). Serbuk yang sudah diratakan (bentuk pipih) disatukan membentuk sebuah lembaran (lamellar). Kemudian tahapan kedua adalah pembentukan serbuk pada arah yang sama (equiaxed), yaitu menyerupai lembaran berbentuk lebih pipih dan bulat. Perubahan bentuk ini disebabkan oleh pengerasan (hardening) dari serbuk. Tahap ketiga adalah orientasi penyatuan acak (welding orientation) yaitu fragmenfragmen membentuk partikel-partikel equaxed kemudian disatukan dalam arah yang berbeda dan struktur lembaran mulai terdegradasi. Tahap keempat mechanical alloying ini adalah proses steady state (steady state processing), struktur bahan perlahan-lahan menghalus menjadi fragmen-fragmen, kemudian fragmen-fragmen tersebut disatukan dengan fragmen-fragmen yang lain dalam arah berlawanan. 2.7.2 Mekanisme Terjadinya Tumbukan Saat dua bola bertumbukan ada serbuk dalam jumlah kecil yang terjebak di antara kedua bola tersebut, dan hal tersebut terjadi berulang ulang, ilustrasinya dapat di lihat pada gambar 2.7 Gambar 2.7 Mekanisme terjadinya tumbukan (Ilham Thias,2001) Selama proses mechanical alloying, partikel campuran serbuk akan mengalami proses pengelasan dingin dan penghancuran berulang ulang. Ketika bola saling bertumbukan sejumlah serbuk akan terjebak di antara kedua bola tersebut. Beban impact yang di berikan oleh bola tersebut akan membuat serbuk terdeformasi dan akhirnya hancur. Permukaan partikel serbuk campuran yang baru terbentuk memungkinkan terjadinya proses pengelasan dingin kembali antara sesama partikel sehingga membentuk pertikel baru yang ukurannya lebih besar dari ukuran semula. Kemudian partikel tersebut akan kembali mengalami tumbukan dan akhirnya kembali hancur, begitu seterusnya hingga mencapai ukuran yang nano. Dalam proses Mechanical Alloying/ Mechanical Milling sifat bahan juga berpengaruh terhadap hasil akhir. (Ilham Thias,2001) 2.8 Karakterisasi Untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan suatu material maka perlu dilakukan pengujian dan analisis. Beberapa jenis pengujian dan analisis yang dibahas untuk keperluan penelitian ini antara lain: pengujian sifat fisis (densitas ( true density), partikel size ), analisa struktur dengan menggunakan alat uji OM (Optical Microscope), dan untuk menganalisa struktur kristal dengan menggunakan alat uji XRD (X-Ray Diffraction). 2.8.1 Sifat Fisis 2.8.1.1 Densitas Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau sering didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut (M M. Ristic, 1979). Dimana: ρ=m/v Keterangan : ρ = massa jenis benda (gr/ml) m = massa benda (gram) v = volume benda (ml) 2.8.2 Analisa Sruktur Kristal 2.8.2.1 XRD (X-Ray Diffraction) Fenomena interaksi dan difraksi sudah dikenal pada ilmu optik. Standar pengujian di laboratorium fisika adalah untuk menentukan jarak antara dua gelombang dengan mengetahui panjang gelombang sinar, dengan mengukur sudut berkas sinar yang terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar X untuk menentukan jarak antara kristal dan jarak antara atom dalam kristal. Gambar 2.8 Difraksi bidang atom (Smallman, 1991) Gambar 2.8, menunjukkan suatu berkas sinar X dengan panjang gelombang λ, jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang atom berjarak d. Sinar yang dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap bidang yang berdekatan saling menguatkan. Oleh sebab itu, jarak tambahan satu berkas dihambumburkan dari setiap bidang yang berdekatan, dan menempuh jarak sesuai dengan perbedan kisi yaitu sama dengan panjang gelombang n λ.