BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bank Syariah Bank Syariah adalah

advertisement
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bank Syariah
Bank Syariah adalah bank yang tidak mengandalkan pada bunga pada
operasinya. Bank syariah bisa diartikan sebagai lembaga perbankan yang dalam
operasional produknya dikembangkan berdasar prinsip Al-Qur’an. Syafi”i (2011)
membedakan bank syariah menjadi 2 pengertian, yaitu bank Islam dan bank yang
beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Islam adalah bank yang beroperasi
dengan prinsip syariah islam yang tata cara pada operasinya bedasar pada ketentuan
Al-Qur”an dan Hadist. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam
adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara ber-muamalat secara Islam.
Prinsip
syariah
dalam
peraturan
perundang-undangan
pertama
kali
dikemukakan melalui UU No. 10 tahunn 1998 tentang perubahan atas UU No.7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainya yang dinyatakan sesuai dengan syariah (Umam, 2009).
Kegiatan tersebut antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
3
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) (Umam, 2009).
Pemberlakuan UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun
1992 tentang perbankan yang diikuti dengan dikeluarkanya sejumlah ketentuan
pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI atau peraturan Bank Indonesia, telah
memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi pengembangan perbankan syariah
di Indonesia (Sudarsono, 2004).
Peraturan-peraturan tersebut memberikan kesempatan yang luas untuk
mengembangkan jaringan perbankan syariah antara lain melalui ijin pembukaan
kantor cabang syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank umum
dapat menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah (Sudarsono, 2004).
2.2. Manajemen Laba
Menurut Scott (2006) manajemen laba (earning management) adalah
pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajemen untuk dapat mencapai beberapa
tujuan tertentu. Pemilihan kebijakan akuntasi tersebut termotivasi dari tujuan efisiensi
maupun oportunistik. Pengelolaan laba bersifat efisien apabila manajemen
perusahaan
berusaha
untuk
menambah
tingkat
transparansi
laba
dalam
mengkomunikasikan hal yang bersifat informasi internal perusahaan dan pengelolaan
laba
bersifat
oportunistik
apabila
manajemen
memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
perusahaan
berusaha
untuk
4
Scoot (2006) menjelakan motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu sebagai
berikut ini.
a. Bonus Purpose
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan manajemen
laba saat ini.
b. Political Motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik, karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan peraturan
yang lebih ketat.
c.Taxation Motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akutansi digunakan untuk tujuan pengematan pajak
penghasilan.
d. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public beluk memiliki nilai pasar, maka manajer
melakukan manajemen laba guna menaikan harga saham perusahaan.
e. Pentingnya Memberikan Informasi Kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan
tersebut tetap dalam kinerja yang baik. Pola Manajemen laba yang biasanya
digunakan menurut Scoot (2000) adalah sebagai berikut ini.
5
a. Taking a Bath
Pola ini mengalihkan beban di periode mendatang dan kerugian periode
berjalan ke masa kini dengan harapan laba periode berikutnya akan lebih tinggi.
Biasanya terjadi saat reorganisasi seperti pengangkatan CEO baru.
b. Income Minimazation
Manajer akan menurunkan laba dengan tujuan tertentu, misalkan untuk
menghemat pajak perusahaa yang wajib dibayarkan ke pemerintah.
c. Income Maximation
Manajer berusaha meningkatkan laba perusahaan periode sekarang dengan
memindahkan beban ke periode mendatang. Biasanya dilakukan manajer dalam
rangka mendapatkan bonus tahunan yang lebih besar.
d. Income Smoothing
Dilakukan dengan cara pemerataan laba yang dilaporkan hingga fluktuasi laba
yang terlalu tinggi dapat berkurang karena pada umumnya investor dan perbankan
menyukai laba yang elatif stabil.
Faktor-faktor yang memicu manajemen laba sendiri dapat diuraikan dengan
tiga hipotesis menurut yang dirumuskan oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam
Rama adalah sebagai berikut ini.
a. The Bonus Plan Hypothesis
Hipotesis ini dilakukan pada perusahaan yang memberikan tambahan bonus
ketika perolehan laba perusahaan telah memenuhi target yang ditetapkan, sehingga
6
memberikan motivasi pada manajer untuk memilih metode akutansi untuk menggeser
laba masa depan ke masa kini, karena manajer perusahaan lebih menyukai pemberian
bonus yang lebih tinggi untuk masa kini.
b. The Debt to Equity Hypothesis
Hipotesis ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami debt to equity ratio
yang tinggi yang mana akan mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam
memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor, bahkan perusahaan terancam
melanggar perjanjian utang. Oleh karena itu, manajer perusahaan cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba agar kepercayaan
kreditor terhadap perusahan tidak menurun.
C. The Political Cost Hypothesis
Hipotesis ini biasa terjadi pada perusahaan besar, yang mana kemungkinan
perusahaan memiliki tingkat laba yang lebih tinggi juga makin besar, sehingga
manajer memilih metode akuntansi yang dapat menurunkan laba. Hal ini dikarenakan
dengan laba yang tinggi pemerintah akan menerapkan laba yang tingggi pula terhadap
perusahaan.
2.3. Perataan Laba
Perataan laba atau manajemen laba merupakan salah satu faktor penting yang
akan mempengaruhi manajer bank dalam membuat keputusan tentang loans loss
provisions. Perataan laba merujuk keputusan pelaporan keuangan manajer dan
penataan transaksi keuangan. Mereka dapat mengubah laporan keuangan untuk
7
mempengaruhi hasil yang mungkin akan menyesatkan pemegang saham dan investor
(Bushman & Williams 2007). Menurut Foster (1986) tujuan dari perataan laba adalah
sebagai berikut ini.
1. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan tersebut
memiliki resiko yang rendah.
2. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba
di masa yang akan datang.
3. Meningkatkan kepuasaan relasi bisnis.
4. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemakmuran manajemen.
5. Meningkatkan kompensasi bagi manajemen.
Berdasarkan alasan tersebut, konsep teori keagenan berikut ini diharapkan
dapat menjelaskan fenomena mengenai perataan laba yang terjadi pada bank umum
syariah di Indonesia. Selain itu untuk mendukung penelitian ini perngertian bank
syariah akan dipaparkan secara lengkap pada bagian selanjutnya.
2.4. Teori Keagenan
Salah satu penyebab yang dapat mendorong manajer untuk melakukan income
smoothing melalui tiga dimensi yaitu real, artificial dan classificatory smoothing
adalah adanya perhatian investor yang selama ini cenderung terpusat pada informasi
laba tanpa memperhatikan proses yang digunakan untuk mencapai tingkat laba
tersebut. Oleh karena itu, manajer memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan
8
income smoothing yang bertujuan untuk menstabilkan laba sesuai kepentingannya.
Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian investor, dengan harapan investor dapat
memiliki motivasi yang tinggi untuk berinvestasi dalam perusahaan yang memiliki
laba relatif stabil tersebut (Mursalim, 2015). Hal ini menimbulkan asymetri informasi
yang mana merugikan investor ketika mereka akan menamakan modal pada bank
umum syariah yang melakukan perataan laba dimana mereka sebenarnya tidak
mengetahui akan kondisi profitabiltas sebenarnya pada perusahaan tersebut karena
kebohongan yang dilakukan perusahaan dalam menyajikan laporan keuanganya.
2.5. Prinsip Kehati-Hatian Bank
Bank perlu memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam memenuhi prinsip
kehati-hatian. Bank umum terutama bank konvensional harus memenuhi modal inti
bank, memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM), mengelola dan
memelihara posisi devisa neto (PDN) bagi bank umum devisa, mentaati batas
maksimum pemberian kredit, menentukan kualitas aset bank umum, melakukan
penyisihan penghapusan aset, melakukan restrukturisasi kredit dan memenuhi giro
wajib minimum. Bagi bank syariah prinsip ini hampir sama dengan bank
konvensional yaitu memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM),
menentukan kualitas aset bank umum, melakukan penyisihan penghapusan aset,
melakukan restrukturisasi kredit dan memenuhi giro wajib minimum, serta
melakukan penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah (Latumaerissa, 2011).
Prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah penentuan
9
kualitas aset serta penyisihan penghapusan aset. Aset yang dimaksud adalah aset
produktif yang akan dijelaskan lebih lanjut berikut ini.
Aset produktif menurut peraturan Bank Indonesia nomor: 11/2/PBI/2009 yang
diubah dengan peraturan Bank Indonesia nomor: 14/15/PBI/2012 tentang penilaian
kualitas aset bank umum adalah penyediaan dana bank untuk memperoleh
penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank,
tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
(reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening
administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan
itu. Bentuk penyediaan lain yang dipersamakan, pada peraturan ini merupakan bagian
aset produktif yang dijamin agunan tunai, kredit dan penyediaan dana dalam jumlah
kecil serta kredit dan penyediaan dana didaerah tertentu.
Untuk perbankan syariah, aset produktif diatur dalam peraturan Bank
Indonesia nomor: 13/13/PBI/2011 sebagai pengganti peraturan Bank Indonesia
nomor: 10/24/PBI/2008. Aset produktif yang dimaksud meliputi pembiayaan, surat
berharga syariah, sertifikat Bank Indonesia Syariah, penyertaan modal, penyertaan
modal sementara, penempatan pada bank lain, komitmen dan kontinjensi pada
transaksi rekening administratif, dan penyediaan dana lainnya yang dapat
dipersamakan.
Kualitas aset produktif pada saat ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia
nomor: 14/15/PBI/2012 (bank konvensional) dan peraturan Bank Indonesia nomor:
13/13/PBI/2011 (bank syariah). Peraturan tersebut, dalam hal peraturan aset
10
produktif, kredit dan pembiayaan, serta penyisihan kerugian cenderung tidak
mengalami perubahan. Aset produktif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
loan atau kredit pada bank konvensional dan atau pembiayaan pada bank syariah.
kredit dan pembiayaan dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur atau
nasabah, serta kemampuan membayar. Berdasarkan penilaian tersebut, kualitas kredit
dan pembiayaan digolongkan sebagai kredit dan pembiayaan lancar, dalam perhatian
khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet dari dasar penggolongan inilah
ditetapkan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) yang pada peraturan
baru diubah menjadi cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dan penyisihan
penghapusan aktiva (PPA). Cadangan tersebut kemudian dibahasakan sebagai
cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau loans loss provisions (LLP).
Penelitian ini juga melihat pada transaksi yang berhubungan langsung dengan
masyarakat. Maka dari itu, aset produktif yang dimaksud ditujukan untuk transaksi
kredit dan pembiayaan.CKPN juga dikhususkan untuk transaksi kredit dan
pembiayaan (loan). Bank dalam menentukan pembentukan CKPN, antara bank
konvensional dan bank syariah cenderung sama. Pembentukan CKPN dilakukan
dengan cara membentuk cadangan umum dan cadangan khusus.
1. Cadangan umum dibentuk sekurang-kurangnya 1% dari kredit dan atau
pembiayaan yang digolongkan lancar.
2. Cadangan khusus ditetapkan sebagai berikut:
a. 5% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan dalam perhatian
khusus.
11
b. 15% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan kurang lancar
setelah dikurangi nilai agunan.
c. 50% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi nilai agunan.
d. 100% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan macet setelah
dikurangi nilai agunan.
Khusus untuk bank syariah, pada transaksi piutang ijarah yang digolongkan
dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet ditetapkan sekurangkurangnya 50% dari masing-masing pembentukan penghapusan.
2.6. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Ketentuan kerugian pinjaman banyak digunakan oleh para manajer bank
umum ketika mengelola tingkat risiko dalam kegiatan pinjaman mereka. Ketentuan
kerugian pinjaman yang diharapkan ketika mengantisipasi kerugian terjadi sebagai
akibat dari pinjaman dan pendanaan (Anandarajam, Hasan dan McCarthy, 2007)
Tujuan awal penggunaan PPAP adalah sebagai alat penerapan prinsip kehatihatian. Pada dasarnya, perubahan jumlah PPAP untuk tujuan perataan laba dapat
menimbulkan risiko kerugian bagi bank apabila prediksinya meleset. Selain itu para
pengguna laporan keuangan eksternal dan investor akan mengalami kesulitan untuk
mengukur kinerja bank yang sebenarnya. 5 PPAP dibentuk sebagai salah satu akun
kontra aset. PPAP menunjukkan jumlah kerugian yang diperkirakan atas saldo
pinjaman atau investasi yang belum diselesaikan. Dalam laporan keuangan, PPAP
12
harus dicantumkan dalam laporan laba rugi sebagai salah satu beban yang ditanggung
bank pada tiap periode pelaporan keuangan. Artinya PPAP memiliki nilai yang
signifikan dalam laporan keuangan dan merupakan area yang memiliki potensi untuk
dimanipulasi oleh para manajer (Tobing dan Nur, 2009).
2.7. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
www.republika.co.id dalam Gustina (2011) menyebutkan lahirnya lembaga
keuangan berbasis syariah di Indonesia dimulai dengan berdirinya lembaga keuangan
berskala skala kecil yaitu Baitul Maal wat Tamwil (BMT) di Bandung pada tahun
1980 dengan nama koperasi BMT Institut Tekhnologi Bandung, yang kemudian
disusul oleh BMT dengan nama koperasi simpan pinjam Ridho Gusti di Jakarta pada
25 September 19881.
Dikeluarkannya PAKTO atau Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan
Oktober pada tahun 1988 tentang liberalisasi perbankan, memberikan peluang untuk
berdirinya perbankan baru, maka dimulailah pendirian bank-bank perkreditan rakyat
syariah di beberapa kawasan di Indonesia. Yang pertama, Bank Perkreditan Rakyat
Shariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada 19
Agustus 1991, serta BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober 1991 yang
ketiganya beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 November
1991 di Aceh (Wirdyaningsih, 2005 dalam Gustina, 2011). Gabungan ketiga BPRS
inilah yang menjadi cikal bakal bank umum syariah pertama di Indonesia yaitu Bank
13
Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 mei 1992 dengan modal awal sebanyak Rp 84
milyar (Gustina, 2011)
Bank syariah di Indonesia terus mengalami perkembangan signifikan setiap
tahunya. Pada tahun 2013 terdapat 11 BUS dan 23 UUS, bahkan di pertengahan 2014
terdapat perubahan komposisi dengan perubahan BTPN Syariah yang beralih ke Bank
Umum Syariah sehingga jumlah BUS menjadi 12 dan jumlah UUS menjadi 22. Pada
tahun 2013 pula juga terjadi perpindahan wewenang dalam pembuatan peraturan
bank umum syariah dari Bank Indonesia beralih ke Otoritas Jasa Keunngan ( Kurnia
et al, 2015).
Pertumbuhan aset perbankan syariah pada tahun 2010 sampai 2015 selalu
meningkat, bahkan mencapai 244 Triliun pada tahun Juli 2014 meskipun pangsa
pasar masih kecil hanya sebesar 4.70% dari perbankan nasional sampai Juli 2014.
Tabel 2.1.
Perkembangan Pembiayaan dan Market Share
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
Pembiyaan
68.181 102.655 147.505 184.122 187.884
Market Share
2.47%
3.01%
3.54%
3.82%
3.69%
Sumber: Statistik OJK (Juni 2014), Karim Cosulting I Analysis
Meski mengalami peningkatan dari segi jumlah pembiayaan, semula Rp. 183
triliun pada Desember 2013 menjadi Rp. 185 triliun pada Juni 2014 namun pangsa
pasar pembiayaan syariah sampai Juni 2014 justru mengalami penurunan dan baru
mencapai 3.69% dari perbankan nasional. Hal tersebut juga terjadi Pertumbuhan DPK
terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 50.56%. Tahun 2010- 2013
pertumbuhan DPK relatif stabil bergerak di angka 20%- 50%. Namun sama halnya
14
dengan pembiayaan bank syariah, DPK bank syariah meski mengalami peningkatan
dari segi jumlah, semula Rp. 183 triliun pada Desember 2013 menjadi Rp. 185 triliun
pada Juni 2014, namun pangsa pasar DPK bank syariah sampai Juni 2014 justru
mengalami penurunan dan baru mencapai 4.36% dari perbankan nasional.
Tabel 2.2.
Perkembangan DPK dan Market Share
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
DPK
76.036 115.415 147.512 183.534 185.508
Market Share
2.97%
3.73%
4.16%
4.51%
4.36%
Sumber: Statistik OJK (Juni 2014), Karim Cosulting I Analysis
2.8. Perbandingan Perbankan Syariah Malaysia dengan Indonesia
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar telah
cukup lama memiliki institusi perbankan syariah. Sejak BMI beroperasi pada 1 Mei
1992, bank syariah di Indonesia telah berumur lebih dari 20 tahun. Bank syariah di
Indonesia juga telah berhasil melewati krisis ekonomi sementara bank konvensional
mengalami kegagalan. Namun, apabila dibandingakan dengan negara tetangga yang
juga terkena imbas krisis seperti Malaysia, peforma bank syariah di Indonesia masih
terbilang kecil (Gustina ,2011).
Malaysia pertama mengimplementasikan bank syariah pada Juli 1983 dengan
berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB). Dari tahun ke tahun terlihat
perkembangan market share Islamic banking nya sangat besar. Tercatat pada tahun
2004 telah ada 29 institusi bank shariah. Dengan dana awal perbankan syariah sebesar
RM 400 ribu pada 19833, total asset sector ini bertumbuh dengan sangat cepat, hingga akhir
15
tahun 2004 telah berlipat ganda menjadi RM 95 juta dengan 10.5% pangsa pasar dalam
perbankan. Ini menunjukkan dalam kurun waktu yang sama performa perbankan syariah
Malaysia sangat jauh meningkat dibanding Indonesia (Gustina,2011).
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market
driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga
lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan
perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana
perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan
sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan (Alamsyah, 2015).
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di
dunia, selayaknya menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di
dunia. Hal ini tidak mustahil apabila melihat potensi Indonesia untuk menjadi global
player keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang
besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang
cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%)
yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign
credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat
investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan
syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan
sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah (Alamsyah, 2015).
Global Islamic Financial Report (GIFR) pada tahun 2011 menyebutkan
Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan iklim yang
16
kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah dimana masih tertinggal
dari Malaysia di peringkat kedua dengan jarak 11 poin, Saudi Arabia 6 poin, dan Iran
diperingkat pertama dengan 34 poin.
Gambar 2.1.
Indeks Keuangan Perbankan Syariah di Antar Negara
Sumber: Islamic Finance Country Index (IFCI) dalam Alamsyah ( 2015)
Total asset keuangan syariah global tercatat telah mencapai 1.658 triliun US
Dollar dengan total jumlah institusi sebanyak 993 pada 2013. Aset keuangan syariah
ini tersebar di berbagai negara dan urutan tiga besar diduduki oleh Malaysia dengan
aset mencapai 423 miliar US Dollar, Arab Saudi 338 miliar US Dollar dan Iran 323
miliar US Dolar. Sedangkan sisanya dimiliki oleh negara muslim dan negara
mayoritas muslim dengan aset di bawah 150 miliar US Dollar (Islamic Finance
Development Report 2014 ICDI & Thompson Reuters dalam Kurnia et al, 2015).
17
Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset
sekitar 5,4 miliar US Dollar, sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25
bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia
mampu masuk ke dalam daftar tersebut (Kurnia et al, 2015). Hal ini menunjukkan
bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah
Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi
tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih
sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang
membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.
2.9. Penelitian Terdahulu
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada
pemilihan sampel, populasi periode penelitian, periode dan adanya perbandingan
negara yang melibatkan Indonesia dengan Malaysia.
18
Tabel 2.3.
Penelitian Terdahulu Berdasar Karakteristik
Peneliti
Hasil Penelitian
Variabel
1. Taisier A.
Zoubi
Osamah AlKhazali
(2004)
1. Hasil penelitian ini menunjukkan
ketika pengembalian aset (ROA)
sebelum pajak dan loss provisions
untuk tahun saat ini lebih tinggi
dibandingkan
tahun
ROA
sebelumnya
dan actual capital
reserve berada di dalam peraturan, ROA, LD,
maka manajemen diharapkan dapat DE, RD,
meningkatkan loss provisions pada Type, LOGTA
tahun berikutnya.
2. Loan deposit, rasio deposit dan tipe
bank terbukti tidak signifikan
berbanding terbalik dengan debt
equity, return on asset yang
berpengaruh positif signifikan dan
ukuran perusahaan yang terbukti
berpengaruh negatif secara signifikan.
2. Ashraf Ali,
Hasan
M
Kabir,
Basher Syed
Abul (2011)
1. Bank yang menggunakan standar
IFRS menunjukkan terbukti lebih
rendah menggunakan manajemen
laba, karena IFRS membutuhkan
manajer
untuk
mengungkapkan
GDP, Banks
informasi
akuntansi
lebih Size, Inflation,
dibandingkan dengan GAAP lokal.
EBTP, CAR
2. Hasil menunjukan peraturan modal
modal bank syariah lebih tinggi
daripada bank konvensional, nanum
lebih kecil dalam ukuran aset.
3. LLP pada bank konvesional lebih
tinggi daripada bank syariah namun
tidak ada perbedaan dalam ROA,
19
ROE dan rasio utang aset.
4. Capital ratio dan total capital ratio
bank yang terdaftar lebih tinggi
daripada bank yang tidak terdaftar
dalam bursa efek.
3. Rizky
Syfhandi
(2011)
1. Hasil menunjukan perbankan
syariah menggunakan praktik
perataan laba, selain itu semua
variabel meliputi total financing,
risiko
pembiayaan
dan
profitabilitas signifikan terhadap
perataan laba.
4. Hakim Ben
Othman
Hounaida
Mersni
(2012)
1. Hasil
empiris
menunjukkan
bahwa bank syariah menggunakan
DLLP untuk pengelolaan laba dan
modal. Pembiayaan eksternal juga
ditemukan untuk menjadi penentu
DLLP. Temuan tambahan juga
menunjukan tidak ada perbedaan
yang signifikan antara bank
syariah, bank konvensional dalam
menggunakan DLLP.
5. Neila
Boulila
Taktak,
Sarra Ben
Salma
Zouari,
Abdel
Kader
Boudriga
(2013)
1. Hasil penelitian ini memberikan
bukti koefisien Bieldman lebih
tinggi dalam mendeteksi perataan
laba dengan 75% dibanding Eckel
hanya 44%.
2. EBTP dan GDP tidak signifikan
terhadap semua spesifikasi model
sampel, sementara total loans
berpengaruh signifikan hanya
pada model pertama.
3. NPL dan bank size positif
signifikan terhadap dependen
Total
Financing,
Risiko
Pembiyaaan,
Profitabilitas,
EBTP, CAR,
LDR, Bank
Size,
Standard
Accounting
NPL, Total
Loans, GDP,
EBTP, CAR,
SIZE, Eckel ,
Bieldman
20
sementara
CAR
negatif
signifikan.
4. Income Smoothing di desain untuk
penstabilan yang mendukung
investor account holder, selain itu
income
smooothing
dapat
dilakukan dengan cukup baik
melalui profit equilization reserve
dan invesment risk reserve (IRR)
6. Hasni
Abdullah,
Ismail
Ahmad
Imbarine
Bujang
(2014)
1. Loans loss reserves dan provisioning
expense umumnya lebih tinggi dari
hingga setelah krisis keuangan
dibandingkan pada saat sebelum
krisis Asia. Di Malaysia loans loss
reserves dan provisioning expense
juga lebih tinggi dibandingkan negara
lainya.
2. Capital, GDP, size negatif signifikan
terhadap
LLP
sementara
non
peforming loans terbukti tidak
signifikan.
3. EBTP dan inflation ratio terbukti
positif signifikan terhadap LLP
EBTP, GDP ,
Bank Specific
Factors, Bank
Spefication,
Capital
Management
Sumber: data sekunder diolah 2015
1
Tabel 2.4
Penelitian Terdahulu Berdasar Good Coroporate Governement
Peneliti
Hasil Penelitian
Variabel
Farida Najuna Mismah, Wahida
1. Penelitian
ROA, EBTP,
Ahmad (2011)
menunjukkan
NPL, CAR
bahwa
bank
syariah
dan
konvensional di
Malaysia
menggunakan
21
2. Mahmoud O. Ashour (2011)
LLP sebagai alat
penting
dalam
manajemen laba
dan manajemen
modal. Dengan
variabel dummy
diuji,
kita
menolak hipotesis
bank
konvensional dan
bank
syariah
berperilaku
dengan cara yang
sama mengenai
LLP
1. Hasil
dari LLP, CROA,
ROA, DE,
penelitian
ini
RD,
menunjukan tidak
ada
perbedaan LOGTA,CAR,
dalam
praktik
Type
penyisihan
kerugian antara
bank
konvensional dan
syariah
2. Penggunaan
peraturan secara
rinci
tidak
mencegah
manajer bank di
Palestina untuk
terlibat
dalam
kebijakaan
manajerial
3. Manajer bank di
Palestina
lebih
peduli
dalam
memenuhi
persyaratan
peraturan
daripada
mengubah
22
3. Neila Boulila
(2015)
Taktak
tampilan angka
akuntansi
perusahaan
4. Semua variabel
terbukti
signifikan dalam
penelitian
ini.
Pada penelitian
yag
terbukti
berpengaruh
secara siginifikan
negatif yaitu LLP
terhadap
RD,
LLP
terhadp
LOGTA,
LD
terhadap DE, debt
equity terhadap
CAR, debt equity
terhadap tipe, dan
LOGTA terhadp
CAR, sementara
yang
terbukti
signifikan positif
yaitu loan deposit
terhadap
tipe,
debt
equity
terhadp LOGTA
dan RD terhadp
LOGTA
1. 70 persen bank
Investment
ditemukan
Risk Reserves ,
memiliki total
Investment
pendapatan yang
Account
diratakan dari
Holders,
PER
dibandingkan
laba bersih. Hasil
menemukan 67
bank yang
memiliki
koefisien total
pendapatan lebih
tinggi dari pada
23
laba bersih.
2. Pinsip profit and
loss
sharing
menunjukkan
variabilitas yang
lebih tinggi dari
pada pendapatan
syariah.
3. Income
smoothing berasal
dari
kestabilan
operasional
keuangan. PER,
IRR dan IAH
berpengaruh
signifikan
terhadap perataan
laba
Sumber : Data diolah, 2015
24
2.10. Kerangka Pemikiran
Dalam kerangka pemikiran ini, dijelaskan mengenai bagaimana tahap dan alur
pemikiran dilakukan, hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memahami alur dari penelitian ini.
Nantinya berdasarkan alur pemikiran yang ada akan diterjemahkan melalui bagian yang berisi
mengenai perumusan tentang kerangka penelitian.
Pada tahapan pertama, penelitian ini melihat apakah terdapat praktik income smoothing
pada bank umum syariah di Indonesia dan Malaysia. Praktik perataan laba (income smoothing)
dapat diketahui dengan cara menggunakan Indeks Eckel sebagai penguji untuk mengetahui
perusahaan mana saja yang melakukan praktik perataan laba.
Pada tahapan kedua, yaitu dengan menguji faktor apa saja yang mempengaruhi
perataam laba yang diproksikan dengan loans loss provisions (LLP) pada bank umum syariah
diantaranya financial peform (EBTP), dividen payout ratio (DPR), likuiditas (FDR), modal
(CAR), bank size yang diproksikan dengan total asset, serta perbedaan negara atau country.
Agar mudah dipahami dan dijabarkan dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya
suatu kerangka pemikiran dari landasan teori yang telah diuraikan, maka disusun hipotesis yang
merupakan alur pemikiran dari penelitian, kemudian digambarkan di dalam kerangka teoritis
yang disusun seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.2.
Kerangka Konseptual
Financial Peform (EBTP)
Dividen Payout Ratio (DPR)
H2 +
H3 +
Likuiditas (FDR)
H4 +
Ukuran Perusahaan ( Total Asset)
H5 +
Modal (CAR)
Perbedaan negara
H6 +
Income
Smoothing
25
H7 -
2.11. Hipotesis
2.11.1 Perataan Laba ( Income Smoothing)
Masodah (2007) menyebutkan selama ini prinsip dasar akrual sering digunakan untuk
kepentingan manajemen laba (akrual ini disebut akrual kelolaan atau akrual diskresioner).
Konsep akrual ini memungkinkan dilakukannya rekayasa laba atau earning management oleh
manajer untuk menaikkan atau menurunkan angka akrual dalam laporan laba rugi. Perekayasaan
laba juga dapat dilakukan dengan mendistorsi laba dengan cara menggeser periode pengakuan
biaya dan pendapatan (Tobing dan Nur ,2009).
Data statistik dana pihak ketiga (DPK) pada bank umum syariah (BUS) maupun unit
usaha syariah (UUS) di Indonesia menunjukkan bahwa DPK dari tahun 2012 hingga tahun 2014
mengalami kenaikan, tetapi risiko likuiditas pada tahun 2013 hingga 2014 mengalami
penurunan, padahal DPK mengalami kenaikan, tentu hal ini bertolak belakang dengan teori dari
Suhartatik dan Kusumaningtyas (2013) yang menyebutkan bahwa DPK yang tinggi akan
memberikan pembiayaan yang lebih banyak sehingga FDR akan menjadi lebih tinggi yang
menyebabkan bank semakin tidak likuid dan risiko likuiditas meningkat. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwasana terjadi perataan laba pada perbankan syariah di Indonesia yang dilakukan
untuk mengurangi tingkat risiko likuiditas perbankan atau meningkatkan rasa aman dari para
nasabah sehingga dana pihak ketiga di perbankan syariah di Indonesia terus meningkat.
Berdasarkan uraian diatas hipotesis yang terbentuk adalah:
26
H1: Bank umum syariah melakukan praktik manajemen laba dengan menggunakan pola
perataan laba (income smoothing).
2.11.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba
2.11.2.1. Financial Perform
Financial perform yang diproksikan dengan earnings before tax and provisions
digunakan untuk melihat insentif yang dilakukan oleh bank syariah untuk melakukan perataan
laba melalui mekanisme loans loss provisions. Tobing dan Nur (2009) menyebutkan jika bank
memiliki kinerja yang bagus di tahun ini dan memprediksi kinerja yang tidak baik di waktu yang
akan datang, maka manajer bank akan menyimpan laba tahun ini untuk digunakan di waktu yang
akan datang dengan cara mengurangi laba melalui peningkatan beban LLP. Sedangkan jika bank
memiliki kinerja yang tidak baik di tahun ini dan memprediksi kinerja yang baik di waktu yang
akan datang, maka bank akan meningkatkan laba tahun ini dengan cara meminjam laba masa
depan melalui penurunan beban LLP. Selain itu, adanya kebutuhan akan pendanaan dari pihak
eksternal juga menjadi salah satu faktor bagi manajer bank untuk melakukan praktik perataan
laba.
Earnings before tax and provisions seringkali difungsikan untuk mencerminkan laba
yang diperoleh perusahaan pada periode tertentu sebelum dilakukannya pengurangan yang
berasal dari provisi dan pajak. Pada penelitian terdahulu hubungan antara loans loss provisions
selalu terjadi hubungan yang positif baik itu pada perbankan umum maupun syariah, seperti pada
Misman dan Ahmad (2011), Ali, Kabir dan Abul (2011), Abdullah, Ahmad dan Bujang (2014),
Ihsana (2015). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang dibentuk adalah sebagai berikut:
H2: Earnings before tax and provisions berpengaruh positif terhadap perataan laba.
27
2.11.2.2. Dividen Payout Ratio (DPR)
Dividend
payout
ratio
adalah
merupakan
salah
satu
faktor
yang
diduga mempengaruhi tindakan perataan laba. Jika terjadi fluktuasi di dalam laba, perusahaan
yang menerapkan kebijakan dividen dengan tingkat payout ratio yang tinggi memiliki resiko
yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang menerapkan kebijakan dividend dengan
payout ratio yang rendah.
Setyawan (1995) mengelompokan faktor yang mempengaruhi kebijakan deviden menjadi
dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berpengaruh terhadap
kebijakan deviden yang berasal dari dalam perusahaan, tingkat laba, kemampuan meminjam, dan
sebagainya. Faktor eksternal merupakan pengaruh dari yang berasal dari luar perusahaan misal
pajak atas devidend, pajak atas capital gain, akses ke pasar modal, perundangan dan sebagainya.
Brenman dan Thakor (1990) menyebutkan bahwa pentingnya keputusan perusahaan untuk
menciptakan keseimbangan antara devidend saat ini dan pertumbuhan di masa akan datang,
sehingga dapat memaksimumkan harga saham yang disebut dengan kebijakan devidend yang
optimal.
Berdasar uraian diatas maka suatu perusahaan cenderung untuk melakukan tindakan
perataan laba dengan mengatur atau menggeser tingkat dividend payout ratio untuk berbagai
tujuan seperti mengangkat nilai image perusahaan karena selama ini laba yang cenderung stabil
lebih disukai oleh investor untuk menanamkan modalnya. Laba yang stabil selama ini dianggap
cermin stabillnya keuangan serta aktivitas operasi perusahaan dibbandingkan dengan perusahaan
yang laba fluktuatifnya tinggi. Hal ini dikarenakan kebijakan dividen mempunyai implikasi yang
signifikan pada pengambilan keputusan investor maupun investasi potensial dalam pembelian
28
saham perusahaan. Selain itu, dengan laba yang stabil dan tingkat dividend payout ratio yang
rendah perusahaan cenderung lebih mudah untuk melakukan pinjaman kepada perbankan untuk
memperbesar perusahaan mereka. Berdasarkan uraian maka hipotesis yang dibentuk adalah:
H3: Dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap perataan laba.
2.11.2.3. Likuiditas
Risiko likuiditas merupakan rasio yang sangat penting dalam perbankan. Buruknya rasio
likuiditas terjadi karena ketidakmampuan bank syariah untuk memenuhi kewajiban jatuh tempo
dari sumber pendanaan arus kas, serta aset likuid berkualitas tinggi yang diagunkan yang
harusnya dapat dilakukan tanpa mengganggu aktivitas, dan kondisi keuangan bank. Risiko
kredit dan risiko likuiditas meupakan risiko yang paling fundamental dalam industri perbankan.
Disebut fundamental karena pemicu utama kebangkrutan yang dialami bank bukanlah
akibat kerugian yang dideritanya, melainkan karena ketidakmampuan bank tersebut memenuhi
kebutuhan likuiditasnya. Berdasarkan pentingnya risiko likuiditas dalam perbankan, beberapa
penelitian terdahulu bahkan pernah mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi risiko likuiditas.
Financing to deposit ratio (FDR) adalah pembiayaan terhadap dana pihak ketiga. Rasio
ini memberikan indikasi mengenai jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk
pembiayaan. Likuiditas pada penelitian ini diproksikan dengan financing to deposit ratio. Rasio
ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan bank dalam membayar kembali kewajiban kepada
para nasabah yang telah menanamkan dananya terhadap kredit-kredit yang telah diberikan
kepada debiturnya (Martono, 2004). Rasio ini dipilih karena dengan meningkatnya FDR yang
29
mana terjadi akibat meningkatnya kredit oleh nasabah tentu saja akan memberikan resiko kredit
yang semakin besar pada perbankan sehingga menuntut kemungkinan akan terjadi penambahan
nilai pada loans loss provisions untuk mengatasi resiko kredit yang ada. Berdasar uraian diatas
hipotesis yang dibentuk adalah:
H4 : Financing to deposit ratio berpengaruh positif terhadap perataan laba.
2.11.2.4. Banks Size
Ukuran perusahaan (bank size) yang diproksikan dengan total asset juga diasumsikan
mempengaruhi perataan laba karena semakin besar ukuran perusahaan, maka tuntutan untuk
mempertahankan image perusahaan juga semakin tinggi dalam menciptakan laba yang stabil. Hal
ini menimbulkan ekspektasi yang hubunganya dihipotesiskan secara positif bahwa semakin
tinggi ukuran bank (bank size) maka semakin tinggi pula LLP yang dibentuk. Sebagaimana hasil
dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan
positif dan signifikan antara TA
dengan loan loss provision oleh Syahfandi (2012)
Pada literatur yang ada, sering dikatakan bahwa ukuran bank dianggap sebagai faktor
penting yang mempengaruhi perilaku manajemen laba. Termasuk Zoubi dan Al-Khazali (2007),
Taktak (2010) dan Quttainah (2011) pada penelitianya di perbankan Islam, berharap bahwa
apabila ukuran bank semakin besar maka LLP tersebut juga akan semakin tinggi. Berdasar uraian
diatas ada maka hipotesis yang terbentuk adalah :
H5 : Bank size berpengaruh positif terhadap perataan laba.
2.11.2.5. Modal
30
Sebagai bagian dari capital adequacy ratio, laba bersih dapat direkayasa dengan cara
mengatur nilai pada loans loss provisions ataupun dengan jual beli surat berharga. Menurut
Taktak (2010) kedua teknik manajemen laba ini adalah yang paling sering digunakan dalam
literatur empiris Greenawalt dan Sinkey (1988), McNichols (1988), Wahlen, (1994), Beatty
(1995) untuk bank-bank Amerika, Naciri (2002) pada Bank Kanada, serta Shrieves dan Dahl
(2003), Agarwal (2006) untuk bank-bank Jepang. Menurut perjanjian Basel (1988) dalam Taktak
(2010), ketika ekspektasi pada hasil awal adalah rendah, manajer dapat mengurangi jumlah loans
loss provisions dan memilih untuk penjualan efek transaksi untuk mencapai dan menjaga level
minimal rasio solvabilitas. Ketentuan minimum ini adalah batas dari pada gangguan yang
ditentukan otoritas pengawas dalam pengelolaan bank. Bank dengan rasio solvabilitas dibawah
minimum menjadi subyek yang akan terus diawasi (Dewatripont dan Tirole, 1993 dalam Taktak,
2010).
Penelitian yang menggunakan variabel ini dalam analisisnya selama ini banyak
memberikan hasil yang bertentangan seperti pada penelitian Ali, Kabir dan Abul (2015) yang
menyatakan capital adequacy ratio memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap loans loss
provisions, lain pula dengan Hakim Ben Othman dan Hounaida Mersni (2012) yang menyatakan
capital adequacy ratio berpengaruh positif signifikan terhadap perataan laba.
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang terbentuk adalah:
H6 : Capital adequacy ratio berpengaruh positif terhadap perataan laba.
2.11.2.6. Perbedaan Negara ( Country)
Menurut Wardhani dan Arshad (2012) pada The Role of Shariah Board in Islamic Banks:
A Case Study of Malaysia, Indonesia And Brunei Darusallam, Indonesia tidak memiliki Sharia
Governance Framework. Bank Sentral Malaysia memberikan aturan rinci dengan menerbitkan
31
surat edaran ke semua bank syariah untuk melakukan tata kelola perusahaan yang baik
berdasarkan peraturan tersebut. Menurut surat edaran, konsep tata kelola perusahaan perbankan
syariah yang baik terdiri dari (1) tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; (2)
selesai komite & fungsi pengendalian internal; (3) tugas dan tanggung jawab dewan pengawas
syariah; (4) penerapan kepatuhan, audit internal dan fungsi audit eksternal; (5) batas maksimum
untuk mendistribusikan dana; (6) keuangan dan non-keuangan transparansi.
Sementara itu, Governance Framework BNM Syariah terdiri dari enam bagian yang
menyatakan bahwa IFI bebas untuk membangun kerangka kerja tata kelola syariah sendiri
asalkan memenuhi persyaratan dasar pedoman. Anggota dewan Syariah bertanggung jawab atas
kepatuhan aturan syariah. Sebagian besar bank syariah telah memenuhi persyaratan Sharia
Governance Framework kecuali untuk titik penelitian syariah internal dan penerbitan &
penyebaran keputusan syariah kepada stakeholder (Wardhani dan Arshad, 2012) .
Alamsyah (2015) menyebutkan pengembangan keuangan syariah di Indonesia lebih
bersifat pada market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
sehingga lebih bertumpu pada sektor riil menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan
perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan
keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan
pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana
pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya
meningkat signifikan. Berdasarkan perbedaan tersebut menimbulkan hipotesis apakah dengan
perbedaan pola peraturan yang ada, akan memberikan celah terhadap perbankan syariah di setiap
negara untuk melakukan tindakan perataaan laba. Apabila mengacu pada Islamic Finance
Country Index dalam Alamsyah (2015) Malaysia mempunyai peringkat yang lebih tinggi
32
daripada Indonesia berdasarkan tingkat pengelolaan perbankan syariah di negara tersebut, atas
hal itu makapada variabel ini negara Indonesia dinotasikan dengan angka 0 sedangkan Malaysia
dinotasikan dengan angka 1. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang terbentuk adalah:
H7: Perbedaan berdasarkan asal negara berpengaruh negatif terhadap tingkat perataan laba pada
perbankan umum syariah.
Download