2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bank Syariah Bank Syariah adalah bank yang tidak mengandalkan pada bunga pada operasinya. Bank syariah bisa diartikan sebagai lembaga perbankan yang dalam operasional produknya dikembangkan berdasar prinsip Al-Qur’an. Syafi”i (2011) membedakan bank syariah menjadi 2 pengertian, yaitu bank Islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah islam yang tata cara pada operasinya bedasar pada ketentuan Al-Qur”an dan Hadist. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara ber-muamalat secara Islam. Prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan pertama kali dikemukakan melalui UU No. 10 tahunn 1998 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainya yang dinyatakan sesuai dengan syariah (Umam, 2009). Kegiatan tersebut antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), 3 atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) (Umam, 2009). Pemberlakuan UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang diikuti dengan dikeluarkanya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI atau peraturan Bank Indonesia, telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia (Sudarsono, 2004). Peraturan-peraturan tersebut memberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan jaringan perbankan syariah antara lain melalui ijin pembukaan kantor cabang syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank umum dapat menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah (Sudarsono, 2004). 2.2. Manajemen Laba Menurut Scott (2006) manajemen laba (earning management) adalah pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajemen untuk dapat mencapai beberapa tujuan tertentu. Pemilihan kebijakan akuntasi tersebut termotivasi dari tujuan efisiensi maupun oportunistik. Pengelolaan laba bersifat efisien apabila manajemen perusahaan berusaha untuk menambah tingkat transparansi laba dalam mengkomunikasikan hal yang bersifat informasi internal perusahaan dan pengelolaan laba bersifat oportunistik apabila manajemen memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri. perusahaan berusaha untuk 4 Scoot (2006) menjelakan motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu sebagai berikut ini. a. Bonus Purpose Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan manajemen laba saat ini. b. Political Motivation Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik, karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan peraturan yang lebih ketat. c.Taxation Motivation Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akutansi digunakan untuk tujuan pengematan pajak penghasilan. d. Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public beluk memiliki nilai pasar, maka manajer melakukan manajemen laba guna menaikan harga saham perusahaan. e. Pentingnya Memberikan Informasi Kepada Investor Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut tetap dalam kinerja yang baik. Pola Manajemen laba yang biasanya digunakan menurut Scoot (2000) adalah sebagai berikut ini. 5 a. Taking a Bath Pola ini mengalihkan beban di periode mendatang dan kerugian periode berjalan ke masa kini dengan harapan laba periode berikutnya akan lebih tinggi. Biasanya terjadi saat reorganisasi seperti pengangkatan CEO baru. b. Income Minimazation Manajer akan menurunkan laba dengan tujuan tertentu, misalkan untuk menghemat pajak perusahaa yang wajib dibayarkan ke pemerintah. c. Income Maximation Manajer berusaha meningkatkan laba perusahaan periode sekarang dengan memindahkan beban ke periode mendatang. Biasanya dilakukan manajer dalam rangka mendapatkan bonus tahunan yang lebih besar. d. Income Smoothing Dilakukan dengan cara pemerataan laba yang dilaporkan hingga fluktuasi laba yang terlalu tinggi dapat berkurang karena pada umumnya investor dan perbankan menyukai laba yang elatif stabil. Faktor-faktor yang memicu manajemen laba sendiri dapat diuraikan dengan tiga hipotesis menurut yang dirumuskan oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam Rama adalah sebagai berikut ini. a. The Bonus Plan Hypothesis Hipotesis ini dilakukan pada perusahaan yang memberikan tambahan bonus ketika perolehan laba perusahaan telah memenuhi target yang ditetapkan, sehingga 6 memberikan motivasi pada manajer untuk memilih metode akutansi untuk menggeser laba masa depan ke masa kini, karena manajer perusahaan lebih menyukai pemberian bonus yang lebih tinggi untuk masa kini. b. The Debt to Equity Hypothesis Hipotesis ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami debt to equity ratio yang tinggi yang mana akan mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor, bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang. Oleh karena itu, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba agar kepercayaan kreditor terhadap perusahan tidak menurun. C. The Political Cost Hypothesis Hipotesis ini biasa terjadi pada perusahaan besar, yang mana kemungkinan perusahaan memiliki tingkat laba yang lebih tinggi juga makin besar, sehingga manajer memilih metode akuntansi yang dapat menurunkan laba. Hal ini dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan menerapkan laba yang tingggi pula terhadap perusahaan. 2.3. Perataan Laba Perataan laba atau manajemen laba merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi manajer bank dalam membuat keputusan tentang loans loss provisions. Perataan laba merujuk keputusan pelaporan keuangan manajer dan penataan transaksi keuangan. Mereka dapat mengubah laporan keuangan untuk 7 mempengaruhi hasil yang mungkin akan menyesatkan pemegang saham dan investor (Bushman & Williams 2007). Menurut Foster (1986) tujuan dari perataan laba adalah sebagai berikut ini. 1. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah. 2. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa yang akan datang. 3. Meningkatkan kepuasaan relasi bisnis. 4. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemakmuran manajemen. 5. Meningkatkan kompensasi bagi manajemen. Berdasarkan alasan tersebut, konsep teori keagenan berikut ini diharapkan dapat menjelaskan fenomena mengenai perataan laba yang terjadi pada bank umum syariah di Indonesia. Selain itu untuk mendukung penelitian ini perngertian bank syariah akan dipaparkan secara lengkap pada bagian selanjutnya. 2.4. Teori Keagenan Salah satu penyebab yang dapat mendorong manajer untuk melakukan income smoothing melalui tiga dimensi yaitu real, artificial dan classificatory smoothing adalah adanya perhatian investor yang selama ini cenderung terpusat pada informasi laba tanpa memperhatikan proses yang digunakan untuk mencapai tingkat laba tersebut. Oleh karena itu, manajer memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan 8 income smoothing yang bertujuan untuk menstabilkan laba sesuai kepentingannya. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian investor, dengan harapan investor dapat memiliki motivasi yang tinggi untuk berinvestasi dalam perusahaan yang memiliki laba relatif stabil tersebut (Mursalim, 2015). Hal ini menimbulkan asymetri informasi yang mana merugikan investor ketika mereka akan menamakan modal pada bank umum syariah yang melakukan perataan laba dimana mereka sebenarnya tidak mengetahui akan kondisi profitabiltas sebenarnya pada perusahaan tersebut karena kebohongan yang dilakukan perusahaan dalam menyajikan laporan keuanganya. 2.5. Prinsip Kehati-Hatian Bank Bank perlu memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam memenuhi prinsip kehati-hatian. Bank umum terutama bank konvensional harus memenuhi modal inti bank, memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM), mengelola dan memelihara posisi devisa neto (PDN) bagi bank umum devisa, mentaati batas maksimum pemberian kredit, menentukan kualitas aset bank umum, melakukan penyisihan penghapusan aset, melakukan restrukturisasi kredit dan memenuhi giro wajib minimum. Bagi bank syariah prinsip ini hampir sama dengan bank konvensional yaitu memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM), menentukan kualitas aset bank umum, melakukan penyisihan penghapusan aset, melakukan restrukturisasi kredit dan memenuhi giro wajib minimum, serta melakukan penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah (Latumaerissa, 2011). Prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah penentuan 9 kualitas aset serta penyisihan penghapusan aset. Aset yang dimaksud adalah aset produktif yang akan dijelaskan lebih lanjut berikut ini. Aset produktif menurut peraturan Bank Indonesia nomor: 11/2/PBI/2009 yang diubah dengan peraturan Bank Indonesia nomor: 14/15/PBI/2012 tentang penilaian kualitas aset bank umum adalah penyediaan dana bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Bentuk penyediaan lain yang dipersamakan, pada peraturan ini merupakan bagian aset produktif yang dijamin agunan tunai, kredit dan penyediaan dana dalam jumlah kecil serta kredit dan penyediaan dana didaerah tertentu. Untuk perbankan syariah, aset produktif diatur dalam peraturan Bank Indonesia nomor: 13/13/PBI/2011 sebagai pengganti peraturan Bank Indonesia nomor: 10/24/PBI/2008. Aset produktif yang dimaksud meliputi pembiayaan, surat berharga syariah, sertifikat Bank Indonesia Syariah, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, penempatan pada bank lain, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif, dan penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan. Kualitas aset produktif pada saat ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia nomor: 14/15/PBI/2012 (bank konvensional) dan peraturan Bank Indonesia nomor: 13/13/PBI/2011 (bank syariah). Peraturan tersebut, dalam hal peraturan aset 10 produktif, kredit dan pembiayaan, serta penyisihan kerugian cenderung tidak mengalami perubahan. Aset produktif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah loan atau kredit pada bank konvensional dan atau pembiayaan pada bank syariah. kredit dan pembiayaan dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur atau nasabah, serta kemampuan membayar. Berdasarkan penilaian tersebut, kualitas kredit dan pembiayaan digolongkan sebagai kredit dan pembiayaan lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet dari dasar penggolongan inilah ditetapkan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) yang pada peraturan baru diubah menjadi cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dan penyisihan penghapusan aktiva (PPA). Cadangan tersebut kemudian dibahasakan sebagai cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau loans loss provisions (LLP). Penelitian ini juga melihat pada transaksi yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Maka dari itu, aset produktif yang dimaksud ditujukan untuk transaksi kredit dan pembiayaan.CKPN juga dikhususkan untuk transaksi kredit dan pembiayaan (loan). Bank dalam menentukan pembentukan CKPN, antara bank konvensional dan bank syariah cenderung sama. Pembentukan CKPN dilakukan dengan cara membentuk cadangan umum dan cadangan khusus. 1. Cadangan umum dibentuk sekurang-kurangnya 1% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan lancar. 2. Cadangan khusus ditetapkan sebagai berikut: a. 5% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan dalam perhatian khusus. 11 b. 15% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan. c. 50% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan. d. 100% dari kredit dan atau pembiayaan yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan. Khusus untuk bank syariah, pada transaksi piutang ijarah yang digolongkan dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet ditetapkan sekurangkurangnya 50% dari masing-masing pembentukan penghapusan. 2.6. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Ketentuan kerugian pinjaman banyak digunakan oleh para manajer bank umum ketika mengelola tingkat risiko dalam kegiatan pinjaman mereka. Ketentuan kerugian pinjaman yang diharapkan ketika mengantisipasi kerugian terjadi sebagai akibat dari pinjaman dan pendanaan (Anandarajam, Hasan dan McCarthy, 2007) Tujuan awal penggunaan PPAP adalah sebagai alat penerapan prinsip kehatihatian. Pada dasarnya, perubahan jumlah PPAP untuk tujuan perataan laba dapat menimbulkan risiko kerugian bagi bank apabila prediksinya meleset. Selain itu para pengguna laporan keuangan eksternal dan investor akan mengalami kesulitan untuk mengukur kinerja bank yang sebenarnya. 5 PPAP dibentuk sebagai salah satu akun kontra aset. PPAP menunjukkan jumlah kerugian yang diperkirakan atas saldo pinjaman atau investasi yang belum diselesaikan. Dalam laporan keuangan, PPAP 12 harus dicantumkan dalam laporan laba rugi sebagai salah satu beban yang ditanggung bank pada tiap periode pelaporan keuangan. Artinya PPAP memiliki nilai yang signifikan dalam laporan keuangan dan merupakan area yang memiliki potensi untuk dimanipulasi oleh para manajer (Tobing dan Nur, 2009). 2.7. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia www.republika.co.id dalam Gustina (2011) menyebutkan lahirnya lembaga keuangan berbasis syariah di Indonesia dimulai dengan berdirinya lembaga keuangan berskala skala kecil yaitu Baitul Maal wat Tamwil (BMT) di Bandung pada tahun 1980 dengan nama koperasi BMT Institut Tekhnologi Bandung, yang kemudian disusul oleh BMT dengan nama koperasi simpan pinjam Ridho Gusti di Jakarta pada 25 September 19881. Dikeluarkannya PAKTO atau Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober pada tahun 1988 tentang liberalisasi perbankan, memberikan peluang untuk berdirinya perbankan baru, maka dimulailah pendirian bank-bank perkreditan rakyat syariah di beberapa kawasan di Indonesia. Yang pertama, Bank Perkreditan Rakyat Shariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada 19 Agustus 1991, serta BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober 1991 yang ketiganya beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh (Wirdyaningsih, 2005 dalam Gustina, 2011). Gabungan ketiga BPRS inilah yang menjadi cikal bakal bank umum syariah pertama di Indonesia yaitu Bank 13 Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 mei 1992 dengan modal awal sebanyak Rp 84 milyar (Gustina, 2011) Bank syariah di Indonesia terus mengalami perkembangan signifikan setiap tahunya. Pada tahun 2013 terdapat 11 BUS dan 23 UUS, bahkan di pertengahan 2014 terdapat perubahan komposisi dengan perubahan BTPN Syariah yang beralih ke Bank Umum Syariah sehingga jumlah BUS menjadi 12 dan jumlah UUS menjadi 22. Pada tahun 2013 pula juga terjadi perpindahan wewenang dalam pembuatan peraturan bank umum syariah dari Bank Indonesia beralih ke Otoritas Jasa Keunngan ( Kurnia et al, 2015). Pertumbuhan aset perbankan syariah pada tahun 2010 sampai 2015 selalu meningkat, bahkan mencapai 244 Triliun pada tahun Juli 2014 meskipun pangsa pasar masih kecil hanya sebesar 4.70% dari perbankan nasional sampai Juli 2014. Tabel 2.1. Perkembangan Pembiayaan dan Market Share Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Pembiyaan 68.181 102.655 147.505 184.122 187.884 Market Share 2.47% 3.01% 3.54% 3.82% 3.69% Sumber: Statistik OJK (Juni 2014), Karim Cosulting I Analysis Meski mengalami peningkatan dari segi jumlah pembiayaan, semula Rp. 183 triliun pada Desember 2013 menjadi Rp. 185 triliun pada Juni 2014 namun pangsa pasar pembiayaan syariah sampai Juni 2014 justru mengalami penurunan dan baru mencapai 3.69% dari perbankan nasional. Hal tersebut juga terjadi Pertumbuhan DPK terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 50.56%. Tahun 2010- 2013 pertumbuhan DPK relatif stabil bergerak di angka 20%- 50%. Namun sama halnya 14 dengan pembiayaan bank syariah, DPK bank syariah meski mengalami peningkatan dari segi jumlah, semula Rp. 183 triliun pada Desember 2013 menjadi Rp. 185 triliun pada Juni 2014, namun pangsa pasar DPK bank syariah sampai Juni 2014 justru mengalami penurunan dan baru mencapai 4.36% dari perbankan nasional. Tabel 2.2. Perkembangan DPK dan Market Share Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 DPK 76.036 115.415 147.512 183.534 185.508 Market Share 2.97% 3.73% 4.16% 4.51% 4.36% Sumber: Statistik OJK (Juni 2014), Karim Cosulting I Analysis 2.8. Perbandingan Perbankan Syariah Malaysia dengan Indonesia Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar telah cukup lama memiliki institusi perbankan syariah. Sejak BMI beroperasi pada 1 Mei 1992, bank syariah di Indonesia telah berumur lebih dari 20 tahun. Bank syariah di Indonesia juga telah berhasil melewati krisis ekonomi sementara bank konvensional mengalami kegagalan. Namun, apabila dibandingakan dengan negara tetangga yang juga terkena imbas krisis seperti Malaysia, peforma bank syariah di Indonesia masih terbilang kecil (Gustina ,2011). Malaysia pertama mengimplementasikan bank syariah pada Juli 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB). Dari tahun ke tahun terlihat perkembangan market share Islamic banking nya sangat besar. Tercatat pada tahun 2004 telah ada 29 institusi bank shariah. Dengan dana awal perbankan syariah sebesar RM 400 ribu pada 19833, total asset sector ini bertumbuh dengan sangat cepat, hingga akhir 15 tahun 2004 telah berlipat ganda menjadi RM 95 juta dengan 10.5% pangsa pasar dalam perbankan. Ini menunjukkan dalam kurun waktu yang sama performa perbankan syariah Malaysia sangat jauh meningkat dibanding Indonesia (Gustina,2011). Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan (Alamsyah, 2015). Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, selayaknya menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini tidak mustahil apabila melihat potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah (Alamsyah, 2015). Global Islamic Financial Report (GIFR) pada tahun 2011 menyebutkan Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan iklim yang 16 kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah dimana masih tertinggal dari Malaysia di peringkat kedua dengan jarak 11 poin, Saudi Arabia 6 poin, dan Iran diperingkat pertama dengan 34 poin. Gambar 2.1. Indeks Keuangan Perbankan Syariah di Antar Negara Sumber: Islamic Finance Country Index (IFCI) dalam Alamsyah ( 2015) Total asset keuangan syariah global tercatat telah mencapai 1.658 triliun US Dollar dengan total jumlah institusi sebanyak 993 pada 2013. Aset keuangan syariah ini tersebar di berbagai negara dan urutan tiga besar diduduki oleh Malaysia dengan aset mencapai 423 miliar US Dollar, Arab Saudi 338 miliar US Dollar dan Iran 323 miliar US Dolar. Sedangkan sisanya dimiliki oleh negara muslim dan negara mayoritas muslim dengan aset di bawah 150 miliar US Dollar (Islamic Finance Development Report 2014 ICDI & Thompson Reuters dalam Kurnia et al, 2015). 17 Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar 5,4 miliar US Dollar, sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut (Kurnia et al, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan. 2.9. Penelitian Terdahulu Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada pemilihan sampel, populasi periode penelitian, periode dan adanya perbandingan negara yang melibatkan Indonesia dengan Malaysia. 18 Tabel 2.3. Penelitian Terdahulu Berdasar Karakteristik Peneliti Hasil Penelitian Variabel 1. Taisier A. Zoubi Osamah AlKhazali (2004) 1. Hasil penelitian ini menunjukkan ketika pengembalian aset (ROA) sebelum pajak dan loss provisions untuk tahun saat ini lebih tinggi dibandingkan tahun ROA sebelumnya dan actual capital reserve berada di dalam peraturan, ROA, LD, maka manajemen diharapkan dapat DE, RD, meningkatkan loss provisions pada Type, LOGTA tahun berikutnya. 2. Loan deposit, rasio deposit dan tipe bank terbukti tidak signifikan berbanding terbalik dengan debt equity, return on asset yang berpengaruh positif signifikan dan ukuran perusahaan yang terbukti berpengaruh negatif secara signifikan. 2. Ashraf Ali, Hasan M Kabir, Basher Syed Abul (2011) 1. Bank yang menggunakan standar IFRS menunjukkan terbukti lebih rendah menggunakan manajemen laba, karena IFRS membutuhkan manajer untuk mengungkapkan GDP, Banks informasi akuntansi lebih Size, Inflation, dibandingkan dengan GAAP lokal. EBTP, CAR 2. Hasil menunjukan peraturan modal modal bank syariah lebih tinggi daripada bank konvensional, nanum lebih kecil dalam ukuran aset. 3. LLP pada bank konvesional lebih tinggi daripada bank syariah namun tidak ada perbedaan dalam ROA, 19 ROE dan rasio utang aset. 4. Capital ratio dan total capital ratio bank yang terdaftar lebih tinggi daripada bank yang tidak terdaftar dalam bursa efek. 3. Rizky Syfhandi (2011) 1. Hasil menunjukan perbankan syariah menggunakan praktik perataan laba, selain itu semua variabel meliputi total financing, risiko pembiayaan dan profitabilitas signifikan terhadap perataan laba. 4. Hakim Ben Othman Hounaida Mersni (2012) 1. Hasil empiris menunjukkan bahwa bank syariah menggunakan DLLP untuk pengelolaan laba dan modal. Pembiayaan eksternal juga ditemukan untuk menjadi penentu DLLP. Temuan tambahan juga menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah, bank konvensional dalam menggunakan DLLP. 5. Neila Boulila Taktak, Sarra Ben Salma Zouari, Abdel Kader Boudriga (2013) 1. Hasil penelitian ini memberikan bukti koefisien Bieldman lebih tinggi dalam mendeteksi perataan laba dengan 75% dibanding Eckel hanya 44%. 2. EBTP dan GDP tidak signifikan terhadap semua spesifikasi model sampel, sementara total loans berpengaruh signifikan hanya pada model pertama. 3. NPL dan bank size positif signifikan terhadap dependen Total Financing, Risiko Pembiyaaan, Profitabilitas, EBTP, CAR, LDR, Bank Size, Standard Accounting NPL, Total Loans, GDP, EBTP, CAR, SIZE, Eckel , Bieldman 20 sementara CAR negatif signifikan. 4. Income Smoothing di desain untuk penstabilan yang mendukung investor account holder, selain itu income smooothing dapat dilakukan dengan cukup baik melalui profit equilization reserve dan invesment risk reserve (IRR) 6. Hasni Abdullah, Ismail Ahmad Imbarine Bujang (2014) 1. Loans loss reserves dan provisioning expense umumnya lebih tinggi dari hingga setelah krisis keuangan dibandingkan pada saat sebelum krisis Asia. Di Malaysia loans loss reserves dan provisioning expense juga lebih tinggi dibandingkan negara lainya. 2. Capital, GDP, size negatif signifikan terhadap LLP sementara non peforming loans terbukti tidak signifikan. 3. EBTP dan inflation ratio terbukti positif signifikan terhadap LLP EBTP, GDP , Bank Specific Factors, Bank Spefication, Capital Management Sumber: data sekunder diolah 2015 1 Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu Berdasar Good Coroporate Governement Peneliti Hasil Penelitian Variabel Farida Najuna Mismah, Wahida 1. Penelitian ROA, EBTP, Ahmad (2011) menunjukkan NPL, CAR bahwa bank syariah dan konvensional di Malaysia menggunakan 21 2. Mahmoud O. Ashour (2011) LLP sebagai alat penting dalam manajemen laba dan manajemen modal. Dengan variabel dummy diuji, kita menolak hipotesis bank konvensional dan bank syariah berperilaku dengan cara yang sama mengenai LLP 1. Hasil dari LLP, CROA, ROA, DE, penelitian ini RD, menunjukan tidak ada perbedaan LOGTA,CAR, dalam praktik Type penyisihan kerugian antara bank konvensional dan syariah 2. Penggunaan peraturan secara rinci tidak mencegah manajer bank di Palestina untuk terlibat dalam kebijakaan manajerial 3. Manajer bank di Palestina lebih peduli dalam memenuhi persyaratan peraturan daripada mengubah 22 3. Neila Boulila (2015) Taktak tampilan angka akuntansi perusahaan 4. Semua variabel terbukti signifikan dalam penelitian ini. Pada penelitian yag terbukti berpengaruh secara siginifikan negatif yaitu LLP terhadap RD, LLP terhadp LOGTA, LD terhadap DE, debt equity terhadap CAR, debt equity terhadap tipe, dan LOGTA terhadp CAR, sementara yang terbukti signifikan positif yaitu loan deposit terhadap tipe, debt equity terhadp LOGTA dan RD terhadp LOGTA 1. 70 persen bank Investment ditemukan Risk Reserves , memiliki total Investment pendapatan yang Account diratakan dari Holders, PER dibandingkan laba bersih. Hasil menemukan 67 bank yang memiliki koefisien total pendapatan lebih tinggi dari pada 23 laba bersih. 2. Pinsip profit and loss sharing menunjukkan variabilitas yang lebih tinggi dari pada pendapatan syariah. 3. Income smoothing berasal dari kestabilan operasional keuangan. PER, IRR dan IAH berpengaruh signifikan terhadap perataan laba Sumber : Data diolah, 2015 24 2.10. Kerangka Pemikiran Dalam kerangka pemikiran ini, dijelaskan mengenai bagaimana tahap dan alur pemikiran dilakukan, hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memahami alur dari penelitian ini. Nantinya berdasarkan alur pemikiran yang ada akan diterjemahkan melalui bagian yang berisi mengenai perumusan tentang kerangka penelitian. Pada tahapan pertama, penelitian ini melihat apakah terdapat praktik income smoothing pada bank umum syariah di Indonesia dan Malaysia. Praktik perataan laba (income smoothing) dapat diketahui dengan cara menggunakan Indeks Eckel sebagai penguji untuk mengetahui perusahaan mana saja yang melakukan praktik perataan laba. Pada tahapan kedua, yaitu dengan menguji faktor apa saja yang mempengaruhi perataam laba yang diproksikan dengan loans loss provisions (LLP) pada bank umum syariah diantaranya financial peform (EBTP), dividen payout ratio (DPR), likuiditas (FDR), modal (CAR), bank size yang diproksikan dengan total asset, serta perbedaan negara atau country. Agar mudah dipahami dan dijabarkan dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya suatu kerangka pemikiran dari landasan teori yang telah diuraikan, maka disusun hipotesis yang merupakan alur pemikiran dari penelitian, kemudian digambarkan di dalam kerangka teoritis yang disusun seperti gambar di bawah ini. Gambar 2.2. Kerangka Konseptual Financial Peform (EBTP) Dividen Payout Ratio (DPR) H2 + H3 + Likuiditas (FDR) H4 + Ukuran Perusahaan ( Total Asset) H5 + Modal (CAR) Perbedaan negara H6 + Income Smoothing 25 H7 - 2.11. Hipotesis 2.11.1 Perataan Laba ( Income Smoothing) Masodah (2007) menyebutkan selama ini prinsip dasar akrual sering digunakan untuk kepentingan manajemen laba (akrual ini disebut akrual kelolaan atau akrual diskresioner). Konsep akrual ini memungkinkan dilakukannya rekayasa laba atau earning management oleh manajer untuk menaikkan atau menurunkan angka akrual dalam laporan laba rugi. Perekayasaan laba juga dapat dilakukan dengan mendistorsi laba dengan cara menggeser periode pengakuan biaya dan pendapatan (Tobing dan Nur ,2009). Data statistik dana pihak ketiga (DPK) pada bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS) di Indonesia menunjukkan bahwa DPK dari tahun 2012 hingga tahun 2014 mengalami kenaikan, tetapi risiko likuiditas pada tahun 2013 hingga 2014 mengalami penurunan, padahal DPK mengalami kenaikan, tentu hal ini bertolak belakang dengan teori dari Suhartatik dan Kusumaningtyas (2013) yang menyebutkan bahwa DPK yang tinggi akan memberikan pembiayaan yang lebih banyak sehingga FDR akan menjadi lebih tinggi yang menyebabkan bank semakin tidak likuid dan risiko likuiditas meningkat. Hal ini menimbulkan dugaan bahwasana terjadi perataan laba pada perbankan syariah di Indonesia yang dilakukan untuk mengurangi tingkat risiko likuiditas perbankan atau meningkatkan rasa aman dari para nasabah sehingga dana pihak ketiga di perbankan syariah di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan uraian diatas hipotesis yang terbentuk adalah: 26 H1: Bank umum syariah melakukan praktik manajemen laba dengan menggunakan pola perataan laba (income smoothing). 2.11.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba 2.11.2.1. Financial Perform Financial perform yang diproksikan dengan earnings before tax and provisions digunakan untuk melihat insentif yang dilakukan oleh bank syariah untuk melakukan perataan laba melalui mekanisme loans loss provisions. Tobing dan Nur (2009) menyebutkan jika bank memiliki kinerja yang bagus di tahun ini dan memprediksi kinerja yang tidak baik di waktu yang akan datang, maka manajer bank akan menyimpan laba tahun ini untuk digunakan di waktu yang akan datang dengan cara mengurangi laba melalui peningkatan beban LLP. Sedangkan jika bank memiliki kinerja yang tidak baik di tahun ini dan memprediksi kinerja yang baik di waktu yang akan datang, maka bank akan meningkatkan laba tahun ini dengan cara meminjam laba masa depan melalui penurunan beban LLP. Selain itu, adanya kebutuhan akan pendanaan dari pihak eksternal juga menjadi salah satu faktor bagi manajer bank untuk melakukan praktik perataan laba. Earnings before tax and provisions seringkali difungsikan untuk mencerminkan laba yang diperoleh perusahaan pada periode tertentu sebelum dilakukannya pengurangan yang berasal dari provisi dan pajak. Pada penelitian terdahulu hubungan antara loans loss provisions selalu terjadi hubungan yang positif baik itu pada perbankan umum maupun syariah, seperti pada Misman dan Ahmad (2011), Ali, Kabir dan Abul (2011), Abdullah, Ahmad dan Bujang (2014), Ihsana (2015). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang dibentuk adalah sebagai berikut: H2: Earnings before tax and provisions berpengaruh positif terhadap perataan laba. 27 2.11.2.2. Dividen Payout Ratio (DPR) Dividend payout ratio adalah merupakan salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tindakan perataan laba. Jika terjadi fluktuasi di dalam laba, perusahaan yang menerapkan kebijakan dividen dengan tingkat payout ratio yang tinggi memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang menerapkan kebijakan dividend dengan payout ratio yang rendah. Setyawan (1995) mengelompokan faktor yang mempengaruhi kebijakan deviden menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan deviden yang berasal dari dalam perusahaan, tingkat laba, kemampuan meminjam, dan sebagainya. Faktor eksternal merupakan pengaruh dari yang berasal dari luar perusahaan misal pajak atas devidend, pajak atas capital gain, akses ke pasar modal, perundangan dan sebagainya. Brenman dan Thakor (1990) menyebutkan bahwa pentingnya keputusan perusahaan untuk menciptakan keseimbangan antara devidend saat ini dan pertumbuhan di masa akan datang, sehingga dapat memaksimumkan harga saham yang disebut dengan kebijakan devidend yang optimal. Berdasar uraian diatas maka suatu perusahaan cenderung untuk melakukan tindakan perataan laba dengan mengatur atau menggeser tingkat dividend payout ratio untuk berbagai tujuan seperti mengangkat nilai image perusahaan karena selama ini laba yang cenderung stabil lebih disukai oleh investor untuk menanamkan modalnya. Laba yang stabil selama ini dianggap cermin stabillnya keuangan serta aktivitas operasi perusahaan dibbandingkan dengan perusahaan yang laba fluktuatifnya tinggi. Hal ini dikarenakan kebijakan dividen mempunyai implikasi yang signifikan pada pengambilan keputusan investor maupun investasi potensial dalam pembelian 28 saham perusahaan. Selain itu, dengan laba yang stabil dan tingkat dividend payout ratio yang rendah perusahaan cenderung lebih mudah untuk melakukan pinjaman kepada perbankan untuk memperbesar perusahaan mereka. Berdasarkan uraian maka hipotesis yang dibentuk adalah: H3: Dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap perataan laba. 2.11.2.3. Likuiditas Risiko likuiditas merupakan rasio yang sangat penting dalam perbankan. Buruknya rasio likuiditas terjadi karena ketidakmampuan bank syariah untuk memenuhi kewajiban jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas, serta aset likuid berkualitas tinggi yang diagunkan yang harusnya dapat dilakukan tanpa mengganggu aktivitas, dan kondisi keuangan bank. Risiko kredit dan risiko likuiditas meupakan risiko yang paling fundamental dalam industri perbankan. Disebut fundamental karena pemicu utama kebangkrutan yang dialami bank bukanlah akibat kerugian yang dideritanya, melainkan karena ketidakmampuan bank tersebut memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Berdasarkan pentingnya risiko likuiditas dalam perbankan, beberapa penelitian terdahulu bahkan pernah mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi risiko likuiditas. Financing to deposit ratio (FDR) adalah pembiayaan terhadap dana pihak ketiga. Rasio ini memberikan indikasi mengenai jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Likuiditas pada penelitian ini diproksikan dengan financing to deposit ratio. Rasio ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan bank dalam membayar kembali kewajiban kepada para nasabah yang telah menanamkan dananya terhadap kredit-kredit yang telah diberikan kepada debiturnya (Martono, 2004). Rasio ini dipilih karena dengan meningkatnya FDR yang 29 mana terjadi akibat meningkatnya kredit oleh nasabah tentu saja akan memberikan resiko kredit yang semakin besar pada perbankan sehingga menuntut kemungkinan akan terjadi penambahan nilai pada loans loss provisions untuk mengatasi resiko kredit yang ada. Berdasar uraian diatas hipotesis yang dibentuk adalah: H4 : Financing to deposit ratio berpengaruh positif terhadap perataan laba. 2.11.2.4. Banks Size Ukuran perusahaan (bank size) yang diproksikan dengan total asset juga diasumsikan mempengaruhi perataan laba karena semakin besar ukuran perusahaan, maka tuntutan untuk mempertahankan image perusahaan juga semakin tinggi dalam menciptakan laba yang stabil. Hal ini menimbulkan ekspektasi yang hubunganya dihipotesiskan secara positif bahwa semakin tinggi ukuran bank (bank size) maka semakin tinggi pula LLP yang dibentuk. Sebagaimana hasil dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara TA dengan loan loss provision oleh Syahfandi (2012) Pada literatur yang ada, sering dikatakan bahwa ukuran bank dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi perilaku manajemen laba. Termasuk Zoubi dan Al-Khazali (2007), Taktak (2010) dan Quttainah (2011) pada penelitianya di perbankan Islam, berharap bahwa apabila ukuran bank semakin besar maka LLP tersebut juga akan semakin tinggi. Berdasar uraian diatas ada maka hipotesis yang terbentuk adalah : H5 : Bank size berpengaruh positif terhadap perataan laba. 2.11.2.5. Modal 30 Sebagai bagian dari capital adequacy ratio, laba bersih dapat direkayasa dengan cara mengatur nilai pada loans loss provisions ataupun dengan jual beli surat berharga. Menurut Taktak (2010) kedua teknik manajemen laba ini adalah yang paling sering digunakan dalam literatur empiris Greenawalt dan Sinkey (1988), McNichols (1988), Wahlen, (1994), Beatty (1995) untuk bank-bank Amerika, Naciri (2002) pada Bank Kanada, serta Shrieves dan Dahl (2003), Agarwal (2006) untuk bank-bank Jepang. Menurut perjanjian Basel (1988) dalam Taktak (2010), ketika ekspektasi pada hasil awal adalah rendah, manajer dapat mengurangi jumlah loans loss provisions dan memilih untuk penjualan efek transaksi untuk mencapai dan menjaga level minimal rasio solvabilitas. Ketentuan minimum ini adalah batas dari pada gangguan yang ditentukan otoritas pengawas dalam pengelolaan bank. Bank dengan rasio solvabilitas dibawah minimum menjadi subyek yang akan terus diawasi (Dewatripont dan Tirole, 1993 dalam Taktak, 2010). Penelitian yang menggunakan variabel ini dalam analisisnya selama ini banyak memberikan hasil yang bertentangan seperti pada penelitian Ali, Kabir dan Abul (2015) yang menyatakan capital adequacy ratio memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap loans loss provisions, lain pula dengan Hakim Ben Othman dan Hounaida Mersni (2012) yang menyatakan capital adequacy ratio berpengaruh positif signifikan terhadap perataan laba. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang terbentuk adalah: H6 : Capital adequacy ratio berpengaruh positif terhadap perataan laba. 2.11.2.6. Perbedaan Negara ( Country) Menurut Wardhani dan Arshad (2012) pada The Role of Shariah Board in Islamic Banks: A Case Study of Malaysia, Indonesia And Brunei Darusallam, Indonesia tidak memiliki Sharia Governance Framework. Bank Sentral Malaysia memberikan aturan rinci dengan menerbitkan 31 surat edaran ke semua bank syariah untuk melakukan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan peraturan tersebut. Menurut surat edaran, konsep tata kelola perusahaan perbankan syariah yang baik terdiri dari (1) tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; (2) selesai komite & fungsi pengendalian internal; (3) tugas dan tanggung jawab dewan pengawas syariah; (4) penerapan kepatuhan, audit internal dan fungsi audit eksternal; (5) batas maksimum untuk mendistribusikan dana; (6) keuangan dan non-keuangan transparansi. Sementara itu, Governance Framework BNM Syariah terdiri dari enam bagian yang menyatakan bahwa IFI bebas untuk membangun kerangka kerja tata kelola syariah sendiri asalkan memenuhi persyaratan dasar pedoman. Anggota dewan Syariah bertanggung jawab atas kepatuhan aturan syariah. Sebagian besar bank syariah telah memenuhi persyaratan Sharia Governance Framework kecuali untuk titik penelitian syariah internal dan penerbitan & penyebaran keputusan syariah kepada stakeholder (Wardhani dan Arshad, 2012) . Alamsyah (2015) menyebutkan pengembangan keuangan syariah di Indonesia lebih bersifat pada market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan. Berdasarkan perbedaan tersebut menimbulkan hipotesis apakah dengan perbedaan pola peraturan yang ada, akan memberikan celah terhadap perbankan syariah di setiap negara untuk melakukan tindakan perataaan laba. Apabila mengacu pada Islamic Finance Country Index dalam Alamsyah (2015) Malaysia mempunyai peringkat yang lebih tinggi 32 daripada Indonesia berdasarkan tingkat pengelolaan perbankan syariah di negara tersebut, atas hal itu makapada variabel ini negara Indonesia dinotasikan dengan angka 0 sedangkan Malaysia dinotasikan dengan angka 1. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang terbentuk adalah: H7: Perbedaan berdasarkan asal negara berpengaruh negatif terhadap tingkat perataan laba pada perbankan umum syariah.