BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju dan negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat namun juga segi sosial dan ekonomi. Anemia dapat diderita oleh semua usia namun prevalensi tertinggi terdapat pada ibu hamil dan anak-anak (De Benoist et al., 2008). Anemia dalam kehamilan adalah permasalahan kesehatan masyarakat yang paling umum dan luas, prevalensi global menurut WHO tahun1993 – 2005 adalah 24,8%. Angka prevalensi anemia ibu hamil di Asia adalah 41,6%, sedangkan prevalensi di Asia Tenggara mencapai 48,2%. Anemia dalam kehamilan secara umum diterima sebagai hasil defisiensi nutrisional. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa masalah gizi adalah masalah intergenerasi, dimana ibu hamil kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi dan status gizi janin dalam kandungan dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil bahkan saat sebelum hamil. Masalah gizi dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat, dengan pelayanan berkelanjutan pada periode emas kehidupan yang dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun (BAPPENAS, 2011). Upaya yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2013 berupa gerakan nasional percepatan perbaikan gizi seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) yang dalam tataran global dikenal dengan Scaling Up Nutrition (SUN Movement). Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode emas atau waktu kritis, yang 1 2 jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen (window of opportunity) dan tidak dapat dikoreksi sehingga dapat berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental maupun kecerdasan anak dikemudian hari (BAPPENAS, 2011). Implementasi program terdiri atas intervensi gizi spesifik bersifat jangka pendek di sektor kesehatan (prioritas pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-24 bulan) dan intervensi gizi sensitif yang dijalankan diluar sektor kesehatan (masyarakat umum). Intervensi spesifik berupa pemberian minimal 90 butir tablet besi dan cakupan kunjungan antenatal minimal 4 kali pada ibu hamil, inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif hingga bayi usia 6 bulan dan pemberian ASI lanjutan hingga anak dua tahun (WHO, 2002; BAPPENAS, 2012; KEMENKES, 2013). Masalah gizi pada ibu hamil yang banyak dijumpai di Indonesia bahkan diseluruh dunia adalah anemia pada kehamilan yang sebagian besar diakibatkan oleh defisiensi besi. Berdasar survei WHO tahun 1993-2005, Indonesia dinyatakan WHO sebagai negara yang memiliki masalah kesehatan komunitas berat, oleh karena prevalensi anemia ibu hamil mencapai >40% (44,3%). Laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2007 didapatkan prevalensi anemia ibu hamil 24,50%, sedangkan tahun 2012 mencapai 37,1% dengan penyebab tertinggi adalah defisiensi zat besi (De Benoist et al., 2008; DEPKES RI, 2009; KEMENKES, 2013). Di Yogyakarta tahun 2011, prevalensi ibu hamil anemia 18,90%, tahun 2010 sebanyak 20,95% dan pada tahun 2012 prevalensi di sebagian 3 besar kabupaten/kota di DIY berada pada kisaran prevalensi 15-39% (DINKES PROV DIY, 2012; DINKES PROV DIY, 2013). Defisiensi besi pada kehamilan dapat meningkatkan resiko komplikasi pada ibu, janin maupun bayi yang dilahirkan. Gangguan pada ibu dapat terjadi sejak fase antenatal hingga periode laktasi berupa menurunnya kualitas hidup fisik maupun mental akibat penurunan kapasitas kerja, rentan infeksi, disfungsi persalinan, bahkan turut berperan atas 40% kematian ibu di negara berkembang (Breyman, 2002; Saifudin et al., 2009; Milman, 2011). Pada janin dapat meningkatkan risiko komplikasi terkait kelahiran prematur, gangguan pertumbuhan sel tubuh dan otak janin, berat badan lahir rendah, dan gangguan intelektual, kognitif, perilaku maupun motorik anak dikemudian hari (Okeke, 2011; Milman, 2011). Resiko defisiensi besi pada ibu hamil meningkat sesuai usia kehamilan akibat adanya peningkatan kebutuhan zat besi untuk peningkatan massa eritrosit, volume plasma serta pertumbuhan janin dan plasenta dengan kebutuhan tertinggi pada kehamilan trimester ketiga (Bothwell, 2000; Raza et al., 2011). Penelitian di Amerika Serikat tahun 1999-2006 mendapatkan prevalensi defisiensi besi meningkat tiap trimester yaitu berturut-turut pada trimester pertama, kedua dan ketiga sebesar 6,9 ± 2,2%, 14,3 ± 2,1%, dan 29,5 ±2,7% (Mei et al., 2011). Tingginya prevalensi defisiensi besi pada kehamilan trimester ketiga akan meningkatkan resiko tidak adekuatnya cadangan besi ibu dalam laktasi. Penelitian tahun 2001 di Indonesia, mendapatkan 29% ibu menyusui mengalami defisiensi 4 besi (143 subyek dengan nilai feritin 6,1-30,4 ug/L), sedangkan di Zambia mendapatkan 41% dari 168 subyek (Kafwembe, 2001; Djikhuzein et al., 2001). Skrining defisiensi besi pada ibu hamil yang akan melahirkan di Indonesia belum pernah dilaporkan, namun hal ini dirasa perlu untuk mencegah terjadinya anemia yang merupakan tahapan akhir dari defisiensi besi. Kegiatan ini dapat digunakan sebagai strategi awal menilai cadangan besi ibu untuk persiapan laktasi, juga sebagai acuan perlu tidaknya pemberian suplementasi besi pada ibu menyusui. WHO merekomendasikan diberikannya suplementasi besi pada 6 bulan selama kehamilan hingga 3 bulan setelah melahirkan pada negara yang mempunyai prevalensi anemia ibu hamil ≥40% (CORE, 2004). Adanya bukti bahwa cakupan pelayanan kesehatan berkualitas yang diterima anak sejak dalam kandungan dan deteksi dini penyakit dapat berpengaruh terhadap membaiknya tingkat kesehatan anak, serta intervensi gizi hanya akan efektif jika dilakukan selama kehamilan dan 2-3 tahun pertama kehidupan anak, akan mendukung pentingnya skrining ini (BAPPENAS, 2011; BAPPENAS, 2012). Diharapkan dengan hal tersebut, dapat memberantas masalah potensial terkait nutrisi pada ibu menyusui, sehingga kegiatan laktasi dapat berlangsung optimal baik pada periode asi eksklusif maupun lanjutan dan gangguan tumbuh kembang anak akibat defisiensi besi dapat dihindarkan (WHO, 2002; Meizen Deer et al., 2006). Penanganan defisiensi besi cukup mudah, namun dalam eradikasinya tidak mudah oleh karena sulitnya diperoleh alat skrining yang simpel dan reliabel untuk mendeteksi seawal mungkin. Terdapat tiga tahapan dalam defisiensi besi yaitu: 5 deplesi simpanan besi, defisiensi besi laten dan anemia defisiensi besi (Al-Toub, 2006; Schoorl, 2010). Upaya deteksi dini sangat penting dilakukan sebelum terjadi anemia untuk mencegah timbulnya komplikasi sistemik yang bersifat permanen pada anak (Brugnara, 1999; Thomas, 2002; Miller, 2013). Banyak parameter laboratorium yang telah dikembangkan dalam menilai status besi untuk mendiagnosis defisiensi besi baik secara langsung maupun tidak langsung, namun masing-masing mempunyai keterbatasan yang beragam. Penilaian secara langsung sebagai baku emas identifikasi defisiensi besi adalah dengan pewarnaan Prusian blue biopsi sumsum tulang dengan prosedur pemeriksaan yang bersifat invasif, interpretasi hasil yang sulit dan memerlukan tenaga terlatih, serta adanya resiko perdarahan dan infeksi sehingga tidak mungkin digunakan sebagai metode skrining (Brugnara, 2002; Perkins, 2006; WHO, 2007; Thomas et al., 2013). Pemeriksaan lain yang luas digunakan adalah secara tidak langsung, yaitu dengan pemeriksaan hematologi konvensional melalui penilaian hemoglobin (Hb), hematokrit (Hmt) dan indeks eritrosit. Pemeriksaan ini bersifat tidak sensitif (terdapat pengaruh adaptasi fisiologis kehamilan berupa hemodilusi dan kenaikan MCV) dan tidak spesifik (dapat dijumpai pada penyakit lain) terutama dalam mendeteksi gangguan jangka pendek eritropoesis pada kehamilan. Parameter ini hanya bermanfaat mendeteksi tahap lanjut defisiensi besi, sehingga akan terjadi keterlambatan dalam mencegah komplikasi permanen yang ditimbulkan dan mungkin tidak dapat diperbaiki (Ulrich et al., 2005; Thomas et al., 2013). 6 Pemeriksaan indirek lain yang direkomendasikan WHO berupa parameter status besi biokimiawi adalah serum feritin (SF) yang merefleksikan cadangan besi dalam tubuh dan saturasi transferin (% sat) yang mencerminkan besi yang digunakan dalam sirkulasi dan besi serum (SI) yang menunjukkan ketersediaan besi di sirkulasi, dan akhir-akhir ini dikembangkan parameter soluble Transferrin Receptor (sTfR) yang merefleksikan intensitas eritropoesis dan kebutuhan besi (Thomas et al., 2002; Brugnara, 2003; WHO, 2007). Besi serum dipengaruhi oleh variasi diurnal, diet kaya besi, variasi metode pemeriksaan dan juga hemolisis. Feritin berperan juga sebagai protein fase akut, sehingga sulit diinterpretasikan dalam kondisi inflamasi, sedangkan pada trimester akhir kehamilan sering dijumpai keadaan inflamasi ringan yang bersamaan dengan deplesi cadangan besi. Reseptor transferin kadarnya dapat meningkat pada kondisi anemia hemolitik dan thalassemia. Oleh karena hal tersebut, maka parameter ini dinilai kurang praktis digunakan sebagai alat skrining, karena dalam pemeriksaannya memerlukan persiapan khusus, harganya juga relatif mahal dan ketersediaannya terbatas (Brugnara, 2003; WHO, 2007; Schoorl et al., 2012). Adanya perkembangan teknologi pada alat hematologi otomatis dengan sedikit penambahan software dan reagen pada metode flowcytometry dalam dekade terakhir menghasilkan parameter yang dapat menunjukkan kandungan hemoglobin dalam sel eritrosit maupun retikulosit dengan lebih akurat. Parameter tersebut dikenal dengan Content Hemoglobin reticulocyte (CHr) produk dari Bayer yang disetujui penggunaan di Amerika Serikat sejak tahun 1997. 7 Retikulosit merupakan eritrosit yang masih muda, tidak berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Kondisi defisiensi besi akan mengakibatkan penurunan ketersediaan besi di sumsum tulang sehingga akan menyebabkan penurunan produksi Hb pada retikulosit dalam waktu singkat. Retikulosit beredar di sirkulasi selama 24-48 jam, pengukuran secara langsung terhadap rata-rata kandungan Hb dalam retikulosit dapat berfungsi sebagai indikator awal ketersediaan besi yang sebenarnya di sumsum tulang dibandingkan dengan pengukuran Hb dalam eritrosit yang berada dalam sirkulasi selama 90-120 hari (Ulrich et al., 2005; Clark, 2009; Schrool et al., 2010). Melalui pengukuran ini maka tahap dini defisiensi besi akan dapat diidentifikasi, ketika parameter biokimia tradisional tidak informatif (Clark, 2009; Brugnara, 2006; Suega, 2010). Pada penelitian ini status besi ibu hamil dimasukkan dalam kategori hamil aterm, namun pemeriksaan dilakukan saat persalinan, yang mencerminkan keseimbangan akhir dari distribusi besi antara ibu dan janin, yang diharapkan terdapat perbedan yang cukup pada status besi ibu hamil, yang pada gilirannya bisa memberikan perkiraan populasi yang baik untuk kemungkinan adanya perbedaan antara berbagai parameter (Ervasti, 2008). Pemeriksaan darah lengkap dengan alat hematologi otomatis umumnya rutin dikerjakan sebagai evaluasi awal pada pasien yang dirawat di rumah sakit termasuk pasien yang akan melahirkan, sehingga dapat dimanfaatkan juga untuk penilaian status besi pada ibu hamil untuk persiapan periode laktasi. Pemeriksaan hemoglobin dalam retikulosit pengumpulan sampelnya mudah karena menggunakan jenis sampel yang sama, sehingga tidak diperlukan tambahan biaya 8 tabung sampel dan menunjukkan hasil yang konsisten terhadap berbagai variasi biologis (Ulrich et al., 2005). B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Penyebab kematian ibu dan balita berhubungan erat dengan masalah gizi yang merupakan masalah intergenerasi, hal ini berkaitan dengan status gizi janin dalam kandungan yang juga dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil bahkan saat sebelum hamil. Masalah gizi ibu hamil yakni defisiensi besi memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia. 2. Risiko terbesar defisiensi besi dialami oleh ibu hamil trimester ketiga akibat peningkatan tertinggi kebutuhan besi, sehingga setelah melahirkan dan memasuki periode laktasi dapat berpotensi serius terjadi gangguan kesehatan terhadap ibu maupun periode emas tumbuh kembang bayi yang dilahirkan. 3. Agar dampak permanen akibat kurang gizi besi pada anak dapat dicegah, perlu dilakukan skrining defisiensi besi sebelum terjadinya anemia pada ibu hamil aterm yang akan melahirkan guna menilai kecukupan besi ibu untuk persiapan laktasi. Pemeriksaan dengan baku emas bersifat invasif, sedangkan dengan metode standar yang direkomendasikan saat ini dinilai kurang sensitif dan spesifik, kurang praktis, dengan biaya yang relatif lebih mahal dan ketersediaan yang terbatas. 9 4. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai korelasi CHr pada ibu hamil aterm dengan baku standar parameter status besi biokimia yang direkomendasikan WHO (feritin, serum iron, saturasi transferin) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. C. Pertanyaan penelitian Apakah terdapat korelasi positif antara CHr dan status besi biokimia pada ibu hamil aterm? D. Tujuan Penelitian Mengetahui adanya korelasi positif antara CHr dan status besi biokimia pada ibu hamil aterm. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini menggunakan subyek ibu hamil aterm dalam persalinan. Penelitian lain parameter CHr terkait dengan status besi biokimia disajikan dalam tabel 1. Tabel 1. Berbagai Penelitian CHr dengan status besi biokimia Peneliti Populasi Pembanding Hasil (th) Hackeng 61 pasien Saturasi transferin, CHr menunjukkan korelasi positif CM., et CKD feritin dengan saturasi transferin (r= 0,26 ; al (2004) dengan p<0,05) dan korelasi negatif dengan hemodialisis feritin (r = -0,043 ; p tidak signifikan). Ervasti (2008) 202 wanita hamil aterm Park SH., 85 wanita et al., dengan 2011 anemia mikrositik hipokromik Feritin, besi serum, saturasi transferin. Feritin CHr menunjukkan korelasi positif dengan feritin r=0,57, besi serum r=0,28, dan saturasi transferin r=0,37 dengan semua p<0,001. CHr menunjukkan korelasi positif dengan feritin (r= 0,402 ; p<0,01). 10 Peneliti Populasi (th) Karagulle 32 wanita M., et al ADB, 18 (2013) wanita defisiensi besi Lorenz 210 bayi L., et al., prematur 2012 atau BBLR Ageeli 100 subyek AA., et anemia al., 2013 defisiensi besi Pembanding Hasil Besi serum, saturasi transferin CHr menunjukkan korelasi positif dengan besi serum (r=0,648 ; p<0,05), saturasi transferrin (r=0,764 ; p<0,05). Saturasi transferin CHr menunjukkan korelasi positif dengan saturasi transferin (r= 0,44 ; p<0,0001). Feritin, besi serum, saturasi transferin CHr menunjukkan korelasi positif dengan feritin (r=0,938), besi serum (r=0,836), saturasi transferrin (r=0,936) dengan p masing-masing <0,001. F. Manfaat penelitian Diharapkan pada penelitian ini, CHr mampu menunjukkan adanya korelasi positif dengan status besi biokimia pada ibu hamil aterm. Kegiatan ini merupakan wujud peran serta peneliti dalam menyumbangkan salah satu strategi peningkatan layanan kesehatan terhadap ibu yang akan melahirkan sesuai standar, cost effective dan berbasis bukti guna mendukung program 1000 HPK demi mempercepat pencapaian target MDGs keempat dan kelima. Manfaat bagi klinisi adalah didapatnya metode yang lebih praktis dan efisien dalam mendiagnosis dini defisiensi besi pada ibu hamil aterm sehingga pengambilan keputusan klinis dapat segera dilakukan. Bagi pemerintah, penelitian ini memberi masukan guna menyusun kebijakan perlunya skrining defisiensi besi pada ibu hamil sebagai salah satu strategi penilaian status besi untuk persiapan ibu dalam periode laktasi, dengan metode yang lebih efektif, efisien dan biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan parameter biokimia, serta sebagai acuan kebijakan terkait perlu tidaknya pemberian suplementasi besi pada ibu menyusui.