I. PENDAHULUAN Spon merupakan salah satu organisme laut yang berlimpah di perairan Indonesia. Berdasarkan ekspedisi Snellius-II terdapat 830 jenis spon laut yang ditemukan di wilayah barat Indonesia (Van soes, 1989). Spon dapat berasosiasi dengan mikroba yaitu bakteri dan jamur. Jamur dapat tumbuh di tubuh spon karena spon bersifat filter feeder sehingga dapat menyaring molekul yang terkandung dalam air laut seperti spora jamur darat (Holler et al., 2000). Jamur merupakan organisme eukariot tingkat rendah berkembang biak dengan cara seksual dan aseksual, tidak mempunyai klorofil (Waluyo, 2005) yang memerlukan kondisi kelembapan tinggi, persediaan bahan organik, dan oksigen untuk pertumbuhannya. Lingkungan yang hangat dan lembap mempercepat pertumbuhan jamur. Jamur tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan yang mengandung banyak gula dengan tekanan osmotik tinggi dan kondisi asam yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008). Jamur memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan spon, dimana spon merupakan tempat hidup bagi berbagai macam mikroba dan mikroba dapat melindungi spon dari predator dengan memproduksi metabolit sekunder, serta membantu mengambil makanan dari luar untuk spon (Kennedy et al., 2008). Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan mikroba tersebut diketahui memiliki potensi sebagai sumber senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat (Sapar et al.,2014). 1 Menurut Jansen et al, (1994) telah dilaporkan bahwa senyawa metabolit sekunder dapat dihasilkan dari jamur dan bakteri yang berasosiasi pada spon laut. Diantara senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan memiliki aktivitas sebagai anti kanker, anti bakteri, anti jamur, anti virus, anti protozoa, obat cacing, anti inflamasi, imunosuppresan, neurosupresan, dan anti fouling (Vasanthabharathi et al., 2011). Resistensi mikroba patogen terhadap obat-obat antimikroba (antimicrobial resistance, AMR) telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dengan berbagai dampak merugikan yang dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Penyebab muncul dan berkembangnya resistensi terhadap obat antimikroba terjadi karena adanya tekanan seleksi (selection pressure) yang berhubungan dengan penggunaan antimikroba dan penyebaran mikroba resisten (spread) (Depkes RI, 2015). Salah satu mikroba yang memiliki danpak besar terhadap kasus resistensi adalah Staphylococcus aureus (SA). SA diketahui mengalami resistensi selama 40 tahun terakhir (Malone, 2005). Bakteri SA yang resisten disebut dengan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Menurut WHO, 2016, infeksi bakteri MRSA menyebabkan kematian pada manusia sebesar 64% lebih besar dibandingkan dengan bakteri yang tidak resisten. Pada tahun 2005, lebih dari 19.000 kasus MRSA menyebabkan kematian di Amerika Serikat. Kekhawatiran peningkatan kasus infeksi MRSA ini membuat usaha pencarian antibiotik baru semakin meningkat (Kennedy et al., 2008). Salah satu contohnya yaitu senyawa Taraxeron dan D-homoandrostan yang berhasil diisolasi dari spon 2 laut Petrosia contignata memiliki aktivitas sebagai anti bakteri (Sutedja et al., 2005). Namun, masalah kurangnya bahan baku merupakan kendala utama dalam pengembangan obat baru tersebut. Hal ini disebabkan karena biota laut tersebut ditemukan dalam jumlah yang terbatas, dan laju pertumbuhannya rendah, serta rendemen bahan aktif yang sangat sedikit. Oleh karena itu, salah satu terobosan untuk mendapatkan bahan baku bagi produksi senyawa bioaktif adalah dengan mencari mikroba yang berasosiasi dengan biota penghasil bahan aktif tersebut. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa bahan aktif yang dihasilkan oleh biota laut ternyata dihasilkan oleh mikroba yang berasosiasi dengannya (Zhang dan Son, 2007). Zat bioaktif dari mikroorganisme yang berasosiasi dengan spon laut telah menunjukkan aktivitas farmakologis yang memuaskan. Salah satunya jamur yang bersimbiosis dengan spon terbukti memproduksi sumber bioaktif metabolit sekunder baru yaitu metabolit sekunder dari jamur Aspergillus similanensis yang diisolasi dari spon yaitu Similanpyrone C, Similanamide, Pyripyropene T (Prompanya et al., 2015), Citrinin dari jamur Penicillium sp yang beraktivitas sebagai antibakteri dan sitotoksik (Subramani et al., 2013). Pada penelitian ini spon Haliclona fascigera yang dipilih sebagai host dari jamur yang akan diisolasi. Peneliti sebelumnya telah melakukan uji aktivitas antimikroba dan aktivitas sitotoksik dari jamur endofit yang bersimbiosis pada spon laut Haliclona fascigera. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan 21 isolat jamur dimana 17 isolat diantaranya memiliki aktivitas terhadap bakteri MRSA. 3 Salah satu isolat yang paling besar daya hambatnya adalah jamur Sagenomella sclerotialis (WR2). Jamur dengan genus Sagenomella sangat jarang ditemukan dan memiliki perbedaan karakteristik dalam bentuk struktur reproduksinya (Gene et al., 2003). Ekstrak etil asetat dari jamur ini pada konsentrasi 5% diketahui memberikan aktivitas anti-MRSA dengan diameter hambat 12.625 mm (Aulia et al., 2015). Jamur simbion WR2 (Sagenomella sclerotialis) juga menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan metode Brine Shrimp Lethality Test dengan LC50 44,67 ppm (Rasyid, 2016). Untuk melanjutkan penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya, penulis tertarik untuk mengisolasi senyawa aktif antibakteri dari jamur Sagenomella sclerotialis (WR2) yang bersimbiosis dengan spon laut Haliclona fascigera terhadap bakteri patogen MRSA. Penelitian diawali dengan kultivasi jamur Sagenomella sclerotialis (WR2) menggunakan media beras selama satu bulan. Setelah jamur tumbuh maksimal, jamur dimaserasi berulangkali dengan pelarut etil asetat. Kemudian ekstrak etil asetat dikeringkan dengan alat rotary evaporator. Untuk mendapatkan senyawa murni, ekstrak dipisahkan dengan kromatografi kolom. Selanjutnya senyawa murni dikarakterisasi menggunakan Spektrofotometri UV, Spektroskopi IR dan NMR. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan menghitung Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) terhadap bakteri MRSA. 4