24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Kepemimpinan Sebelum mengupas tentang kepemimpinan transformasional, kita lihat secara umum tentang teori kepemimpinan. Menurut Robbins (2001), kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Setiap organisasi mempunyai tujuan yang telah ditetapkan dan berdasarkan tujuan tersebut pemimpin melakukan berbagai macam cara untuk memengaruhi kelompokkelompok dalam organisasi guna pencapaian tujuannya. Tidak semua pemimpin memiliki kemampuan yang sama, karena memiliki berbagai macam sifat dan ciri di dalamnya. Kepemimpinan merupakan inti dari tugas organisasi pembelajaran yang didasarkan pada Lima Disiplin (The Fifth Discipline) dari Senge (2002). Di dalam teori Lima Disiplin, terjadi perubahan paradigma kepemimpinan, bahwa pemimpin harus melakukan perubahan peran (role), keterampilan (skills), sarana dan prasarana kerja (tools). Prinsip pentingnya adalah pemimpian adalah perencana (planner), pelayanan (steward) dan guru (teacher) dengan cara mengarahkan dan mengembangkan bawahan secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja. Nawawi dan Hadari (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu kepemimpinan yang berpola mementingkan tugas, mementingkan pelaksanaan kerjasama dan mementingkan hasil yang dapat dicapai. Pola dasar terhadap kepemimpinan yang lebih mementingkan pelaksanaan tugas oleh bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang dibebankan padanya sesuai keinginan pemimpin. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan pandangan 25 kepemimpinan, dewasa ini banyak dikaji tipe kepemimpinan partisipasif, situasional, trasformasional, dan visioner (Meirawan, 2010). Berikut ini tipe-tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh organisasi: A. Kepemimpinan berdasarkan gelombang emosional yang dipancarkan kepada bawahan, masyarakat dan audiensnya, dua tipe kepemimpinan yaitu; kepemimpinan resonansi dan kepemimpinan disonansi. B. Kepemimpinan berdasarkan pendekatan karaktet dan perilaku pemimpin, ada enam tipe, yaitu; kepemimpinan visioner, kepemimpinan pelatihan dan pembimbingan, kepemimpinan afiliatif, kepemimpinan demokratis, kepemimpinan komamdo, dan kepemimpinan ”pacesiting”. C. Kepemimpinan berdasarkan cara memecahkan persoalan organisasi, ada lima tipe yaitu; kepemimpinan yang terfokus, kepemimpinan yang komunikatif, kepemimpinan yang dipercayai, kepemimpinan yang dihormati, dan kepemimpinan resiko. D. Kepemimpinan berdasarkan aspek kebutuhan kekuasaan, ada tiga tipe yaitu; kepemimpinan transaksional, kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional (Mangkuprawira, 2003). 2.1.2 Sejarah Konsep Kepemimpinan Transformasional Konsep kepemimpinan transformasional memiliki sejarah yang panjang, sebagaimana ditulis oleh Avolio & Bass, (1995). Istilah kepemimpinan transformasional pertama kali diciptakan oleh JV Downton di Rebel. Namun yang pertama kali mengenalkan konsep ini adalah James MacGregor Burns yang dituangkan dalam bukunya Kepemimpinan pada tahun 1978, selama penelitian tentang kepemimpinan politik, tetapi istilah ini sekarang digunakan dalam psikologi organisasi. Konsep ini diGambarkan bukan sebagai seperangkat perilaku tertentu, melainkan proses yang berkelanjutan di mana para pemimpin dan pengikut mengangkat tingkat moralitas dan motivasi satu sama lain lebih tinggi. Pemimpin Transformasional menawarkan tujuan yang melampaui tujuan jangka pendek dan berfokus pada kebutuhan tatanan yang intrinsik lebih tinggi. Burns dipengaruhi oleh Teori Kebutuhan Manusia dari Abraham Maslow. Teori ini 26 mengakui bahwa orang memiliki berbagai kebutuhan, dan sejauh mana mereka akan tampil efektif di tempat kerja akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebutuhankebutuhan ini dipenuhi. Kepemimpinan Transformasional cocok dikelompokkan pada tingkat yang paling tinggi, karena membutuhkan tingkat harga diri tinggi dan aktualisasi diri untuk berhasil menjadi pemimpin transformasional yang otentik. Burns adalah salah satu sarjana pertama yang menyatakan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya menciptakan perubahan dan mencapai tujuan dalam lingkungan, tetapi mengubah orang yang terlibat dalam tindakan yang diperlukan untuk menjadi lebih baik: bagi pengikut dan pemimpin. Burns menjadi terkenal di kalangan sarjana kepemimpinan alternatif karena model kepemimpinan transformasional mencakup dimensi/etika moral yang, sebelum 1978, belum dimasukkan ke dalam setiap teori kepemimpinan. Selanjutnya murid Burns yang bernama Bernard Bass, mendefinisikan kepemimpinan transformasional dalam hal bagaimana pemimpin mempengaruhi pengikut, yang dimaksudkan untuk mempercayai, mengagumi dan menghormati pemimpin transformasional. Dia mengidentifikasi tiga cara di mana para pemimpin dapat mengubah pengikut: 1) Meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya tugas dan nilai. 2) Mendapatkan mereka untuk fokus pertama pada tujuan tim atau organisasi, bukan kepentingan mereka sendiri. 3) Mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi. Namun berbeda dengan Burns, yang melihat kepemimpinan transformasional sebagai terkait erat dengan nilai-nilai orde tinggi, Bass melihatnya sebagai tidak berhubungan dengan moral, dan oleh karena itu timbul pertanyaan moralitas dan etika komponen kepemimpinan transformasional. Menurut Burns, perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional adalah apa yang ditawarkan oleh pemimpin dan pengikut satu sama lain. Berikut ini perbedaan yang dimaksud: ď€ Kepemimpinan transaksional terjadi ketika seseorang berhubungan dengan orang lain untuk tujuan tertentu dengan pertukaran sesuatu yang berharga. Sedangkan Kepemimpinan transformasional 27 terjadi ketika satu orang atau lebih berhubungan dengan orang lain dengan cara dimana pemimpin dan pengikut saling meningkatkan motivasi dan moralnya (Bass et al, 2006). 2.1.3 Hakikat Kepemimpinan Transformasional Seorang pemimpin yang efektif harus melihat dan mencocokkan gaya kepemimpinannya dengan situasi yang meliputi gaya kerja karyawan, sifat-sifat pribadi, serta hakikat dari tugas kelompoknya. Kepemimpinan sebagai perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Harsiwi (2001) mengidentifikasi implikasi dari definisi di atas, yaitu; 1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga. 2. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. 3. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat. 28 4. Di dalam hasil penelitian tentang hubungan kepemimpinan transformasional dan karakteristik personal pemimpin oleh (Harsiwi, 2000), dikemukakan bahwa teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. 5. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. 6. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya. Yukl dan Gary (2010) mengungkapkan keberadaan dua teori kepemimpinan tersebut yaitu kepemimpinan karismatik dan transformasional. Kepemimpinan transformasional terinspirasi oleh James McGregor Burns, yang menulis buku kepemimpinan dalam bidang politik. Namun penelitian secara empiris baru dilakukan oleh Bass pada tahun 1985 dan 1996. Pada tahun 1980-an, para peneliti manajemen tertarik untuk mengkaji tentang kepemimpinan emosional dan aspek-aspek simbolis dari kepemimpinan. Teori kepemimpinan karismatik dan transformasional dapat mengGambarkan pentingnya 29 aspek tersebut. Teori kepemimpinan transformasional seringkali dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, walaupun keduanya berbeda, seperti diungkapkan oleh Stephen P.Robbins. ”Transformational are leader who inspire followers to transcend their own self-interests and who are capable of having a profound and extraordinary effect on followers, while transactional leaders are leaders who guide or motivate their followers in the direction of established goals by clarifying role and task requirements” (Robbins, 2001). Dari definisi tersebut, kedua pendekatan kepemimpinan tersebut tidak berbeda dalam hal bagaimana penyelesaian pekerjaan. Keduanya saling melengkapi. Dengan kepemimpinan transformasional pengikut, dalam hal ini karyawan akan merasa memiliki trust atau kepercayaan, admiration, kesetiaan, dan hormat kepada pimpinan, dan mereka termotivasi untuk melakukan atau memberikan lebih dari kewajiban mereka. Menurut Yukl (2010), seorang pemimpin dapat mentransformasi dan memotivasi karyawan atau pengikut dengan: (1). Membuat mereka lebih waspada atau aware dengan hasil pekerjaan atau tugasnya, (2). Mengingatkan karyawan bahawa mereka memiliki interest pribadi untuk digunakan di dalam kerja tim di organisasi, (3). Mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi karyawan. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang 30 mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Harsiwi, 2001). Sebuah penelitian yang berjudul Transformational Leadership Style and its Relationship with Satisfaction yang dilakukan oleh Nawaz et al (2010) menjelaskan tentang gaya kepemimpinan transformasional. Teori kepemimpinan transformasionaltransaksional merupakan suatu paradigma yang dapat membantu untuk dapat memahami kepemimpinan dalam konteks yang lebih luas dan di tingkat dan fungsi organisasi yang berbeda. Tema dasar dari penelitian ini adalah untuk menguraikan gaya kepemimpinan transformasional dan hubungannya dengan kepuasan. Penelitian ini menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara gaya kepemimpinan dan kepuasan. Implikasi dari penelitian ini dapat dijadikan landasan kebijakan, dimana pemimpin juga harus setuju pendapat para pengikut ketika mereka memiliki logika dan penalaran yang sehat sehingga mereka dapat merasa percaya diri dan berubah menjadi pemimpin masa depan. Ada lima faktor yang mengGambarkan kepemimpinan (satu sampai tiga diterapkan pada kepemimpinan transformasional, empat dan lima untuk kepemimpinan transaksional), yaitu 1. Karisma, pemimpin mampu menginspirasi dengan nilai, rasa hormat, kebanggaan dan memperjelas visi. 2. Perhatian individu, seorang pemimpin memberikan perhatian lebih pada kebutuhan pengikutnya dan memberikan proyek yang berarti, sehingga pengikutnya dapat berkembang secara personal 3. Memotivasi secara intelektual. Seorang pemimpin membantu pengikutnya untuk berpikir secara rasional sehingga dapat berpikir kreatif. 4. Penghargaan ketergantungan. Pemimpin memberikan informasi kepada pengikut sesuatu tugas, sehingga mereka dapat memperoleh reward bila mengerjakannya. 31 5. Management by exception. Pemimpin memberi ijin kepada pengikut untuk bekerja sesuai bidangnya dan tidak ikut campur tangan, kecuali tujuan tidak tercapai (Ivancevich 1999). Karisma merupakan hal terpenting dalam kepemimpinan trasformasional. Untuk meningkatkan karisma, pemimpin membutuhkan keahlian penilaian, kemampuan berkomunikasi yang baik, dan sensitif atau peka terhadap orang lain. Mereka harus mampu untuk menjelaskan visi dan harus peka atas kekurangan keahlian dari pengikutnya. Satu dimensi lagi yaitu menginspirasi bawahan dengan pemberian motivasi (Robbins, 2001). Karakteristik kepemimpinan transformasional juga seringkali dinyatakan dengan The 4 I’s of Transformational Leadership, yaitu: 1) Idealized Influence (I.I.): (Developing the Vision). Pemimpin menekankan pentingnya memiliki rasa kolektif misi dan meyakinkan orang lain bahwa hambatan akan bisa diatasi. Mereka bersedia mengambil resiko, mereka konsisten, dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar, dan menunjukkan standar tinggi etika dan moral. 2) Inspirational Motivation (I.M.): (Selling the Vision). Pemimpin mengartikulasikan visi masa depan, berbicara optimis tentang masa depan dan antusias tentang apa yang harus dicapai. 3) Intellectual Stimulation (I.S.): (Finding the way forwards). Pemimpin merangsang upaya orang lain untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan asumsi mempertanyakan, mendapatkan orang lain untuk melihat masalah dari berbagai sudut. Mendorong pemikiran non-tradisional. Ide-ide baru dan solusi kreatif dikumpulkan. 4) Individualized Consideration (I.C.): (Leading the Charge). Pemimpin mengajar menghabiskan waktu dan pembinaan dan membantu orang lain untuk mengembangkan kekuatan mereka. Peluang baru belajar diciptakan bersama dengan iklim yang mendukung mereka untuk tumbuh. 32 Gambar 1 berikut menunjukkan peta posisi kepemimpinan transformasional dibandingkan dengan pola kepemimpinan transaksional. Gambar 1. Multifactor Leadership Questionnaire Actual Vs Ought Feedback Report Sumber: http://www.mlq.com.au Seorang pemimpin transformasional lebih efektif karena tidak saja mereka kreatif, namun juga mendukung mereka yang mengikutinya. Di dalam organisasi atau perusahaan dengan pemimpin transformasional, terdapat desentralisasi tanggungjawab yang lebih besar, manajer lebih memiliki kecenderungan untuk mengambil risiko. Pemimpin transformasional juga meningkatkan kinerja dengan membangun konsensus diantara anggota grup (Robbins 2001). 2.1.4 Perbandingan Model Teori Kepemimpinan Konsep dan pemikiran teori kepemimpinan telah menarik banyak minat peneliti sejak awal abad ke dua puluh. Teori awal kepemimpinan berfokus pada kualitas apa yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, sementara teori-teori 33 berikutnya memandang variabel lain seperti faktor situasional dan tingkat keterampilan.1 Eric Yaverbaum dan Erik Sherman (2008) membagi model kepemimpinan menjadi Great man, Trait, Behavioral Contingency, Transactional, dan Transformational. Namun ada yang menambahkan participative theory, management theory, dan relationship theory. Kepemimpinan transaksional dan transfomasional termasuk ke dalam teori ini. Teori relationship lebih fokus pada hubungan yang terbentuk antara pimpinan dan karyawan. Teori ini juga disebut sebagai kepemimpinan transformasional.2 Tabel 1 berikut memberikan ringkasan gambaran dari berbagai model teori kepemimpinan yang populer saat ini. Tabel 1. Berbagai Model Teori Kepemimpinan No 1 Model Kepemimpinan Great Man theory 2 Trait theory 3 Contingency theory Penjelasan Teori ini mengasumsikan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk. Contohnya Raja, komandan militer dsbnya. Teori ini hanya relevan untuk kepemimpinan seorang pria dan saat ini tidak banyak lagi diterapkan. Teori ini mengasumsikan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin dengan penilaian personality atau kepribadiannya seperti; jujur, kompeten, cerdas, berpikiran terbuka, supportive, perhatian, berani, independen dll. Kritik atas teori ini adalah tidak semua pemimpin dapat memenuhi kualifikasi ini. Teori kepemimpinan Contingency Fokus pada variabel tertentu yang berkaitan dengan lingkungan yang mungkin menentukan gaya kepemimpinan paling cocok untuk situasi tertentu. Menurut teori 1 http://psychology.about.com/od/leadership/p/leadtheories.htm 2 http://www.netplaces.com/leadership/leadership-styles/popular-leadership-models.htm 34 Lanjutan Tabel 1. No 4 5 6 7 Model Kepemimpinan Penjelasan ini, tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik dalam semua situasi. Sukses tergantung pada sejumlah variabel, termasuk gaya kepemimpinan, kualitas dari aspek pengikut dan situasi. Konsep ini lebih fleksibel dan realistis. Situational theory Teori Situasional mengusulkan bahwa para pemimpin memilih tindakan yang terbaik berdasarkan variabel situasional. Gaya kepemimpinan yang berbeda mungkin lebih sesuai untuk jenis pengambilan keputusan tertentu. Behavioral theory Teori ini mengasumsikan bahwa pemimpin itu tidak dilahirkan tapi dibentuk. Fokus teori ini pada tindakan pemimpin bukan pada kualitas mental semata. Seseorang dapat belajar menjadi pemimpin melalui observasi dan pengajaran. Transactional theory atau Model kepemimpinan transaksional Management theory memperlakukan proses memimpin sebagai lintas antara transaksi sosial dan bisnis. Fokus pada pengawasan peran, organisasi dan kinerja kelompok. Dasar teori kepemimpinan ini adalah sistem imbalan dan hukuman. Kesulitan dalam kepemimpinan transaksional adalah bahwa konsep tersebut tidak berlaku baik untuk segala kondisi atau budaya Transformational teory atau Teori kepemimpinan ini fokus pada hubungan yang Relationship theory terbentuk antara para pemimpin dan pengikut. Pemimpin transformasional memotivasi dan menginspirasi orang dengan membantu anggota kelompok untuk melihat pentingnya sebuah tugas. Pemimpin ini fokus pada kinerja anggota kelompok, tapi juga ingin setiap orang untuk memenuhi potensi dirinya. Pemimpin dengan gaya ini sering memiliki standar etika dan moral yang tinggi. Dalam proses ini, semua orang membantu satu sama lain untuk mencapai tingkat prestasi yang lebih besar. Kepemimpinan transformasional telah menjadi alat fundamental, terutama dalam konsep mendapatkan orang lain untuk mencapai perubahan yang diperlukan di tempat kerja 35 Lanjutan Tabel 1. 8 Spiritual Leadership theory Kepemimpinan spiritual menyediakan konsensus pada nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk kesejahteraan rohani, dan, kesehatan positif manusia, kesejahteraan psikologis, kehidupan kepuasan, komitmen organisasi dan produktivitas, keberlanjutan dan kinerja keuangan. Kualitas seorang pemimpin yang diperlukan dalam model ini yaitu memiliki visi, kasih sayang, dan harapan atau faith. Kritik dari model kepemimpinan ini yaitu belum sepenuhnya pemimpin mampu menunjukkan perilaku yang menjadi panutan para karyawan. kepuasan, komitmen organisasi dan produktivitas, keberlanjutan dan kinerja keuangan. Kualitas seorang pemimpin yang diperlukan dalam model ini yaitu memiliki visi, kasih saying, dan harapan atau faith. Kritik dari model kepemimpinan ini yaitu belum sepenuhnya pemimpin mampu menunjukkan perilaku yang menjadi panutan para karyawan, Dari uraian di atas, beberapa model kepemimpinan memiliki kelebihan masing-masing, namun implementasinya memerlukan analisa lebih lanjut yang disesuaikan dengan lingkungan organisasi. Kepemimpinan transformasional adalah populer saat ini. Hal ini didasarkan pada visi. Seorang pemimpin adalah sosok inspirasi yang bekerja dengan pengikut untuk mencapai tujuan. Dalam proses ini, semua orang membantu satu sama lain untuk mencapai tingkat prestasi yang lebih besar. Kepercayaan adalah ikatan penting, dan orang-orang yang mengikuti secara sukarela untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan transformasional telah menjadi alat fundamental, terutama dalam konsep mendapatkan orang lain untuk tertarik pada pencapaian perubahan yang diperlukan di tempat kerja. 2.1.5 Keuntungan Kepemimpinan Transformasional Pengukuran terbaik Kepemimpinan Transformasional adalah Kuesioner Kepemimpinan multifaktor (MLQ) yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1995). Ada bukti yang signifikan bahwa Kepemimpinan Transformasional yang diukur dengan MLQ berkorelasi dengan ukuran efektivitas kepemimpinan dan menilai ull 36 Range of Leadership (FRL). Berikut ini beberapa keuntungan dari praktek kepemimpinan transformasional. 1) Komitmen/Loyalitas serta Kepuasan Pengikut. Pemimpin transformasional mampu membangun komitmen dan loyalitas pengikut yang kuat dengan membangun kepercayaan dan mempromosikan diri mereka dan efektifitas diri. 2) Efektivitas. Penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional mengarah pada kinerja yang melebihi harapan dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional dan membantu mengembangkan pengikutnya untuk menjadi kontributor yang lebih baik untuk kelompok usaha dengan menjadi lebih kreatif, lebih tahan terhadap stres, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap merubah dan lebih kemungkinan untuk menjadi pemimpin transformasional sendiri. 3) Stres. Kepemimpinan yang efektif berhubungan dengan stres adalah kepemimpinan yang menghasilkan keputusan kualitas rasional; penggunaan informasi yang tersedia dengan tepat, keterampilan dan sumber daya, dan kinerja yang tinggi dari pengikut dalam mencapai tujuan meskipun ancaman dan rintangan. Stimulasi Intelektual dapat menghentikan krisis dengan mempertanyakan asumsi dan mengungkapkan peluang, pembinaan tidak terdidik, dan menghilangkan fiksasi pada cara lama dalam melakukan sesuatu. Pemimpin yang inspirasional menginspirasi keberanian dan merangsang minat. 4) Perencanaan Strategis. Kepemimpinan transformasional dapat berkontribusi untuk perbaikan dalam perencanaan strategis, citra perusahaan, seleksi perekrutan dan transfer karyawan. Hal ini juga memiliki implikasi untuk pekerjaan dan desain organisasi serta untuk pengambilan keputusan dan pengembangan organisasi Pemimpin Transformasional tahu bahwa mereka harus terlebih dahulu mengubah diri jika mereka berharap untuk sukses pada mentransformasi orang lain. Sebuah unsur dasar dalam pengembangan kepemimpinan transformasional terdiri dalam mengidentifikasi kualitas kepemimpinan melalui distribusi kuesioner kepemimpinan multifaktor (MLQ) kepada pengikut dari pemimpin. Sangat penting bahwa MLQ menghasilkan penilaian yang akurat dan tidak bias dari para pemimpin 37 di berbagai dimensi kepemimpinan. Seringkali terjadi dua bias dalam menilai kepemimpinan transformasional, sebagaimana diungkapkan oleh Lievens (1997). Pertama, ketika pengikut menilai kekuatan dan kelemahan dari para pemimpin mereka, mereka mungkin memiliki kesulitan dalam membedakan antara berbagai perilaku kepemimpinan transformasional dan transaksional. Hal ini ditemukan dan ini hanya berlaku untuk atribut kepemimpinan transformasional karena keempat dimensi kepemimpinan transformasional diukur dengan MLQ berkorelasi tinggi dan dikelompokkan dalam satu faktor. Peringkat MLQ pada tiga dimensi kepemimpinan transaksional yang ternyata tidak saling berhubungan dan menunjukkan bukti untuk tiga faktor yang berbeda: contingency reward, manajemen-aktif by exception, dan kepemimpinan pasif. Kedua, keinginan sosial nampaknya tidak menjadi faktor bias yang kuat, walaupun skala kepemimpinan transformasional secara sosial lebih diinginkan. Beberapa penelitian mengenai kepemimpinan transformasional juga dikaitkan dengan variabel lain, yaitu kualitas kehidupan kerja (quality of work life), seperti penelitian Riady (2009), serta Kaihatu dan Rini (2007). Penelitian pertama menyoroti pengaruh kepemimpinan transformasional dan QWL pada Bank BUMN. Di dalam hasil tulisannya diungkapkan adanya kepemimpinan yang berorientasi pada QWL. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi, memotivasi, dan memungkinkan orang lain memberikan sumbangsih bagi keefektifan organisasi. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada penciptaan QWL. Penelitian kedua menyoroti pengaruh kepemimpinan transformasional pada bidang pendidikan, yaitu studi pada guru-guru SMU di Surabaya. Secara signifikan, ditemukan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah akan meningkatkan kepuasan kualitas kehidupan kerja dan perilaku ekstra peran dari para guru. Senada dengan penelitian di atas, Tesis yang ditulis oleh Karim (2009) mengkaji empat dimensi kepemimpinan transformasional di UIN Malang. penelitian ini dilaksanakan dengan fokus untuk menemukan tipe kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pemimpin (rektor) di UIN MALIKI Malang 38 dengan didasarkan pada empat komponen pengukuran perilaku kepemimpinan transformasional perspektif Bass yaitu Idealized Influence, Inspirational Motivation, Intellectual Stimulation, Individual Consideration. Penelitian kualitatif ini menghasilkan satu kesimpulan yaitu berdasarkan temuan-temuan pada masingmasing empat komponen perilaku kepemimpinan transformasional, perilaku kepemimpinan di UIN MALIKI merupakan tipe kepemimpinan transformasional. Perilaku transformasional tersebut telah terbukti berkontribusi besar terhadap pengembangan UIN MALIKI. Dengan metode eksploratori, Davis (2007) dan Mills (2007), meneliti kepemimpinan transformasional. Disertasi pertama meneliti tentang karakteristik kepemimpinan transformasional dari enam pemimpin wanita di Amerika Serikat. Karakteristik kepemimpinan yang paling penting dari pemimpin transformasional yaitu kepercayaan diri, visioner, memiliki kemampuan untuk menginspirasi para pengikut, fokus pada misi, menjadi pembangun tim, pengikut yang tumbuh dan bernilai, memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi kepemimpinan di pengikut, serta memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan, mendengar dan menerima masukan dari pengikut. Hal lain yang dapat menjadi pengetahuan mengenai karakteristik pemimpin adalah adanya hambatan yaitu sedikit peluang bagi wanita untuk menduduki posisi tertinggi di suatu perusahaan. Sedangkan penelitian Mills (2007) mencoba menggali dari keempat faktor kepemimpinan transformasional yang paling berhubungan/bertanggung jawab terhadap retensi karyawan dalam organisasi. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada salah satu dari empat faktor kepemimpinan transformasional secara statistik lebih signifikan dari yang lain, mereka secara statistik sama dalam mempromosikan retensi. Persepsi kepemimpinan transformasional kedua penelitian tersebut diukur dengan menggunakan Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ). Dari hasil-hasil penelitian di atas terlihat bahwa kepemimpinan transformasional dapat diterapkan pada berbagai bidang. Dalam dunia bisnis maupun pada institusi pendidikan tinggi, terbukti bahwa kepemimpinan transformasional 39 menunjang dan berkontribusi pada kemajuan organisasi. Dimensi-dimensi yang dijabarkan memiliki kesamaan karena mengacu pada Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) yang dikembangkan oleh Bernard Bass. 2.1.6 Kualitas Kehidupan kerja (Quality of Work Life) Sejarahnya dimulai di Arden house pada tahun 1972 di AS. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan dua gerakan, yang pertama adalah gerakan politik di Eropa barat yang disebut “demokrasi industrial”. Gerakan ini bertujuan agar negaranegara di Eropa Barat mensahkan aturan partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan korporat. Gerakan kedua, dilandasi oleh teori sosial tentang “humanizing the workplace”. Semakin tinggi qwl, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan dan produktifitas kerja karyawan (Idris et al 2006). Para manajer dan pimpinan organisasi menghadapi tantangan besar saat ini. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja dewasa ini lebih terdidik daripada masa sebelumnya. Namun pengamat ekonomi meyakini bahwa mutu pekerjaan akan menurun senantiasa, sementara posisi-posisi yang lebih baru memberikan kepada karyawan lebih sedikit tantangan dan kepuasan ego, yang terdapat dalam pekerjaanpekerjaan yang dihapuskan secara bertahap. Ada asumsi bahwa tingkat pekerjaan yang lebih tinggi secara khusus disertai oleh tingkat harapan yang meningkat. Bila pimpinan tidak mampu memenuhi harapan-harapan karyawan akan menyebabkan ketidakpuasan kerja dan melemahnya etika kerja (Kossen, 1993). Pimpinan organisasi berusaha menemukan cara mengatasi kebosanan karyawan yang disebabkan oleh ketidakpuasan kerja tersebut, terutama menyangkut masalah kemerosotan mutu kehidupan kerja. Produktivitas organisasi dipengaruhi oleh mutu perlengkapan, alat-alat, dan faktor-faktor teknis dan material lain. Organisasi yang mengenal peranan sumber daya manusia dan perbaikan produktivitas dan menghargai kekuatan tenaga kerja yang mempunyai komitmen, terutama diarahkan pada sumber daya dan manajemen, terhadap pengembangan lingkungan dimana pekerja dapat memberikan kontribusi pada perbaikan kinerja pada kapasitas maksumum. Usaha seperti ini dinamakan sebagai quality of work life atau strategi 40 pelibatan pekerja (Wibowo, 2009). Mutu kehidupan kerja (quality of work life) juga mempengaruhi produktivitas (Kossen, 1993). Hal ini dapat dilihat dari efektif atau tidaknya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi dan nilai-nilai para karyawan. Menurut Stan kossen suatu faktor yang meningkatkan QWL seorang karyawan belum tentu berpengaruh atau memiliki sedikit pengaruhnya pada QWL pekerja lain. Wibowo (2009), mengungkapkan bahwa lingkungan dengan quality of work life tinggi ditandai oleh karakteristik berikut: a. Pekerja berpeluang mempengaruhi keputusan. b. Pekerja berpartisipasi dalam pemecahan masalah. c. Pekerja mendapatkan informasi lengkap tentang pengembangan dalam organisasi d. Pekerja mendapatkan umpan balik bersifat konstruktif e. Pekerja senang menjadi bagian dari tim dan meningkatkan kolaborasi f. Pekerja merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan menantang g. Pekerja merasakan adanya keamanan kesempatan kerja Sedangkan Kossen (1993) mengemukakan delapan kategori utama yang bersama-sama merupakan QWL, yaitu: 1. Kompensasi yang memadai dan wajar. Karyawan dapat mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri berkaitan dengan hal ini, seperti adakah upah atau gaji sebanding dengan jumlah yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama? Artinya imbalan yang diterima oleh karyawan harus sepadan dengan imbalan yang diterima oleh orang lain yang melakukan pekerjaan yang sejenis. 2. Kondisi-kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat. Dapat dilihat lingkungan kerja yang relatif bebas dari risiko berlebihan yang dapat mengakibatkan cedera atau penyakit pada karyawan. Segi penting dari kondisi ini misalnya jam kerja yang memperhitungkan daya tahan manusia yang terbatas dalam melakukan pekerjaan. 3. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia. Bagaimanakah hubungan pekerjaan tersebut dengan harga diri karyawan, serta apakah mereka merasa terlibat dan tertantang dalam pekerjaan itu? 41 4. Kesempatan untuk tumbuh di masa depan. Adakah kesempatan untuk karyawan maju atau hanya pekerjaan itu yang memberikan jaminan kesejahteraan dan penghasilan? Artinya karyawan menyadari bahwa perubahan pasti terjadi di masa depan, maka ada jaminan bahwa pekerjaan dan penghasilan mereka tidak akan hilang. 5. Perasaan termasuk dalam suatu kelompok atau integrasi sosial perusahaan. Apakah karyawan merasa sebagai bagian dari suatu tim atau sebaliknya merasa terkucil dari kelompok? Adakah lingkungan kerja relatif bebas dari prasangka destruktif? Melalui penerapan QWL di dalam perusahaan tidak ada diskriminatif. Suasana keterbukaan ditumbuhkan dan dipelihara dan adanya iklim saling mendukung diantara karyawan. 6. Hak-hak karyawan. Jenis hak-hak apa yang dimiliki karyawan? Apakah ada standar mengenai privasi terhadap perbedaan pendapat? Artinya dengan QWL perusahaan menjamin tidak ada campur tangan dalam urusan pribadi seseorang. Karyawan bebas untuk mengemukakan pendapat dan bicara. 7. Kerja dan ruang kerja keseluruhan. Bagaimanakan pekerjaan mempengaruhi peranan hidup pribadi, seperti hubungannya dengan keluarga? 8. Relevansi sosial kehidupan kerja. Apakah karyawan merasa bahwa organisasi bertanggung jawab sosial? Adakah organisasi menghasilkan suatu produk atau jasa yang menyumbangkan kebanggaan kepada karyawan? Seluruh peningkatan produktivitas tersebut mengarah pada pengembangan kualitas kehidupan kerja yang lebih baik. Salah satu caranya adalah memanusiawikan sumber daya manusia dalam hal ini karyawan, melalui pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) dan sistem kerja sosio teknik yang diperkaya (enriched sosiotechnical work system) (Davis et al 1993). Cascio (2003), menjelaskan mengenai cara pandang tentang kualitas kehidupan kerja. 42 “There are two ways of looking what quality of work life means. One way equates QWL with a set of objective organizational conditions and practices (e.g. promotion from whitin policies, democratic supervision, employee involvement, safe working conditions). The order way equates QWL with employes preceptions that they are safe, relatively well satisfied, and able to grow and develop as human beings. This way relates QWL to the degree to which the full range human need is met”. Pada teori, QWL terlihat sederhana-hanya melibatkan karyawan tentang bagaimana melaksanakan pekerjaan, desain tempat kerja, dan apa yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk lebih efisien. QWL ini banyak dipraktekkan di industri makanan, elektronik, baja, dan industri berbasis kebutuhan konsumen (Cascio, 2003). Menurut Cascio (2003), terdapat Sembilan indikator dalam penerapan Quality of Work Life yaitu: partisipasi karyawan, pengembangan karir, penyelesaian konflik, komunikasi, kesehatan kerja, keselamatan kerja,keamanan kerja, kompensasi yang layak, dan kebanggaan. Gambar 2 menunjukkan kesembilan indikator Quality of Work life. 43 Kerjasama karyawan dalam tim Partisipasi karyawan dalam rapat Peningkatan kualitas tim Perlindungan jabatan Pelatihan/pendidikan Penilaian kegiatan Promosi dari dalam Identitas perusahaan Partisipasi kemasyarakatan Kepedulian Lingkungan Partisipasi Karyawan Pengembangan Karir Kebanggaan Keterbukaan Proses penyampaian keluhan secara formal Pertukaran pendapat/proses banding Gaji dan keuntungan yang kompetitif Kompensasi yang Layak Penyelesaian Konflik QWL Keamanan Kerja Komunikasi Pertemuan tatap muka Pertemuan kelompok Publikasi Tidak ada pemberhentian karyawan tetap Program pensiun Keselamatan Kerja Komite keselamatan Tim penolong gawat darurat Program keselamatan kerja Kesehatan Kerja Pusat kesehatan Pusat kesehatan gigi Program pusat senam Kebugaran Program rekreasi Program konseling Gambar 2. Quality of Work Life Indikator-indikator yang diteliti dalam penelitian ini meliputi kompensasi yang layak, partisipasi karyawan, pengembangan karir, keamanan kerja, dan kesehatan kerja Penelitian Husnawati (2006) memuat pemaparan terkait pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai variabel intervening. Hasil tesis ini memberikan bukti bahwa aplikasi program kualitas kehidupan kerja melalui dimensi-dimensi pertumbuhan dan pengembangan, partisipasi, upah dan keuntungan serta lingkungan kerja di dalam perusahaan akan berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan. Aplikasi program kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh pada kepuasan kerja yang selanjutnya 44 mempengaruhi kinerja karyawan. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap perusahaan, maka semakin baik pula kinerja ditunjukkan oleh karyawan. Responden penelitian ini adalah karyawan PERUM Pegadaian Kanwil Semarang. Adanya pengaruh yang searah antara kualitas kehidupan kerja dengan kepuasan kerja artinya bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organsiasi tersebut secara keseluruhan. Penelitian tentang kualitas kehidupan kerja juga dilakukan dari sudut pandang karyawan Textile dan Engineering di District Coimbatore Tamil Nadu (Anjani,2010). Konstruk QWL yang dibahas meliputi kepuasan kerja, kompensasi, hubungan kerja, kondisi kerja, pengembangan kompetensi dan stress kerja. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa faktor yang utama dari kualitas kehidupan kerja adalah pekerjaan itu sendiri. Suatu pekerjaan yang menarik, menantang dan memberikan status serta kebanggaan kepada karyawan memerlukan pelibatan karyawan sendiri di dalam pekerjaan. Penelitian mengenai kualitas kehidupan kerja atau quality of work life telah banyak dilakukan dan merupakan penelitian dengan pendekatan empiris, baik pada perusahaan maupun institusi pendidikan. Pada umumnya perusahaan yang diteliti adalah pada sektor jasa, seperti penelitian yang dilakukan oleh Cheung et al (2009) serta Yan Ma et al (2010). Obyek penelitian ini adalah karyawan hotel. Pada penelitian pertama, QWL bertindak sebagai mediator antara Emotional Labor dan Work Family Interference. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa gangguan dari keluarga (work family interference) berkorelasi penting dengan tindakan karyawan di perusahaan, serta adanya hubungan dari tindakan atau perilaku karyawan dengan kualitas kehidupan kerja mereka. 45 Sedangkan penelitian Yan Ma et al (2010) menyoroti QWL dan pengaruhnya terhadap outcome karyawan yang direfleksikan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Latar belakang dari penelitian ini yaitu adanya perbedaan pendapat diantara pimpinan (manager) tentang pentingnya QWL bagi perusahaan khususnya bidang jasa perhotelan. Sebagian pimpinan mengadaptasi QWL dari Barat dan melakukan pengukuran QWL kepada karyawan, namun pimpinan yang lain menganggap pelaksanaan QWL tidak berkaitan dengan outcome karyawan dan hanya menghabiskan dana perusahaan. Originalitas penelitian ini terletak pada kasus yang nyata di dalam jasa hotel khususnya di China. Perbedaan kedua penelitian ini hanya pada posisi QWL, pada penelitian pertama QWL memediasi Emotional Labor dan Work Family Interference, sedangkan pada penelitian kedua QWL menjadi variabel dependen. Namun implikasi dari praktek QWL di perusahaan sangat penting untuk diukur mengingat praktek QWL bertujuan untuk pengembangan lingkungan kerja yang baik bagi karyawan dan juga produksi (Davis, et al 1994). Penelitian mengenai QWL biasanya hanya mengukur kepuasan kerja, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Idris et al (2006) mencoba mengaitkan antara QWL dimensi-dimensi karir pada sektor industri manufaktur di Malaysia. Penelitian dengan metode survei ini bukan replika dari penelitian lain, maka kuesioner dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur dan melakukan penyesuaian dengan konteks lokal. Temuan penting dari penelitian ini yaitu bahwa keluarga secara signifikan berhubungan dengan level/tingkat QWL karyawan di perusahaan. Selain itu kunci penting peningkatan karir karyawan ada di dalam dimensi QWL salah satunya adalah keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga. Bila implementasi QWL dibandingkan antara bisnis jasa hotel dan perbankan dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma terkait peranan sumber daya manusia. nilai-nilai keunggulan SDM yang awalnya tangible assets berubah menjadi pengelolaan strategi berbasis-pengetahuan yang menampilkan intangible assets organisasi terutama human capital yang terbangun dari kompetensi dan komitmen. Seperti penelitian Riady (2009) yang menyoroti pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap komitmen karyawan pada Bank BUMN di Jakarta. Permasalahan 46 utama yang ditemukan oleh peneliti yaitu penerapan QWL yang belum baik pada Bank BUMN dibandingkan dengan Bank Swasta bila dikaitkan dengan komitmen karyawan. Dari studi ini diperoleh Gambaran bahwa secara umum QWL dan komitmen karyawan tergolong sedang/biasa. Namun penelitian ini juga ada kesamaan dengan penelitian Yan Ma et al (2010), yaitu bahwa peluang karir dapat tercipta dengan berorientasi pada QWL. Artinya pekerjaan merupakan penghubung antara organisasi dan SDM nya, maka agar keduanya dapat memperoleh keuntungan bersama, pekerjaan harus memberikan QWL yang baik melalui perancangan pekerjaan. Kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa penelitian di atas yaitu bahwa kepuasan atas kualitas kehidupan kerja (QWL) akan memberikan banyak keuntungan bagi karyawan dan perusahaan. Bagi karyawan sendiri, kepuasan atas kehidupan kerjanya tentu dapat ditunjukkan melalui komitmen untuk bekerja sebaik-baiknya. Perusahaan harus mengakomodasi berbagai kebutuhan dan hak karyawan bila ingin meningkatkan kinerja mereka. Variabel-variabel QWL yang digunakan di dalam beberapa penelitian di atas pada umumnya mengadopsi dari Cassio. 2.1.7 Definisi dan Sejarah Perilaku Ekstra Peran (Organizational Citizenship Behavior) Istilah atau tipe prestasi kerja yang disebut dengan Perilaku ekstra peran atau Organizational Citizenship Behavior pertama kali diajukan oleh Dennis. W. Organ. Organ mengusulkan bahwa OCB dapat mewakili bentuk yang lebih luas dari kinerja pekerjaan yang bisa lebih cenderung berhubungan dengan anteseden seperti perilaku pekerjaan dan tipe kepribadian (Podsakofet al 2000). Dari deskripsi awal tersebut, OCB telah menjadi salah satu variabel yang lebih banyak diteliti dalam literatur perilaku organisasi. Penelitian mengenai perilaku ekstra peran (OCB) lebih banyak dilakukan di Amerika Serikat dan dalam konteks global belum banyak dilakukan. Hanya pada tahun-tahun lalu dilakukan penelitian OCB di Cina, Singapura, Taiwan, Australia, Jepang dan Hong Kong. Penelitian tentang pengukuran OCB berbeda dengan yang dilakukan di AS karena alasan budaya yang berbeda pada setiap negara. 47 Menurut Utomo (2002) perilaku kerja the extra role sering diistilahkan sebagai “organizational citizenship behavior atau sering juga disebut prosocial behavior, namun dari berbagai istilah tersebut memiliki suatu pengertian yang sama, yaitu suatu perilaku kerja karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role), tapi juga bekerja tidak secara kontrak mendapatkan kompensasi berdasarkan sistem penghargaan atau sistem penggajian formal (beyond the job)”. Karyawan memainkan peran yang berkontribusi kepada sesama karyawan. Kontribusi tersebut seperti perilaku menolong sesama yang lain, kerelaan melakukan pekerjaan tambahan, menjunjung prosedur dan aturan kerja tanpa menghiraukan permasalahan pribadi merupakan satu bentuk dari prosocial behavior, sebagai perilaku social yang positif, konstruktif, dan suka memberi pertolongan. Berikut ini definisi organizational citizenship behavior (OCB) menurut Organ dan Clay (1982) performa yang mendukung lingkungan sosial dan psikologi dimana tanggung jawab berada di lingkungan tersebut. Secara harfiah definisi tersebut menyebutkan adanya dukungan kepada lingkungan sekitar organisasi baik secara sosial maupun secara psikologi. Hal ini akan meningkatkan fungsi efektif dari organisasi. Organ juga menjelaskan bahwa OCB ditemukan sebagai alternatif penjelasan pada hipotesis “kepuasan berdasarkan performance”. Berikut ini penjelasan tentang OCB: “Sifat mementingkan kepentingan orang lain, seperti memberikan pertolongan pada kawan sekerja yang baru, dan menyediakan waktu untuk orang lain (Altruism) adalah ditunjukkan secara langsung pada individu-individu lainnya, akan tetapi kontribusi terhadap efisiensi didasarkan pada peningkatan kinerja secara individual. Sifat kehati-hatian, seperti efisiensi menggunakan waktu, tingkat kehadiran tinggi (Conscientiousness) adalah kontribusi terhadap efisiensi baik berdasarkan individu maupun kelompok. Sifat sportif dan positif, seperti menghindari complain dan keluhan yang picik (Sportsmanship) adalah dengan memaksimalkan total jumlah waktu yang dipergunakan pada usaha-usaha yang konstruktif dalam organisasi. Sifat sopan dan taat, seperti melalui surat peringatan, atau pemberitahuan sebelumnya, dan 48 meneruskan informasi dengan tepat (Courtesy) adalah dengan membantu mencegah timbulnya masalah dan memaksimalkan penggunaan waktu. Sifat bijaksanan atau keanggotaan yang baik, seperti melayani komite atau panitia, melakukan fungsifungsi sekalipun tidak diwajibkan untuk membantu memberikan kesan baik bagi organisasi. (Civic Virtue) adalah memberikan pelayanan yang diperlukan bagi kepentingan organisasi”.(Tschannen-Moran, 2003). 2.1.8 Dimensi-dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Berikut ini dimensi dari OCB yang dikembangkan oleh Organ yang terdiri dari lima dimensi utama, yaitu: 1 Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugastugas yang berkaitan dengan erat dengan operasional organisasi atau mementingkan kepentingan orang lain. 2 Civic virtue, yaitu menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah atau sukarela. 3 Conscientiousness, memuat kinerja yang dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum atau sifat kehati-hatian, seperti efisiensi menggunakan waktu, tingkat kehadiran tinggi. 4 Courtesy, yaitu perilaku yang meringankan masalah atau problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain atau sifat sopan dan taat, seperti melalui surat peringatan, atau pemberitahuan sebelumnya, dan meneruskan informasi dengan tepat. 5 Sportmanship, sifat sportif dan positif, seperti menghindari complain dan keluhan yang picik. Para peneliti telah mengembangkan beberapa pengukuran tentang OCB ini. Salah satunya menggunakan skala Morisson merupakan alat pengukuran yang telah disempurnakan dan memiliki kemampuan psikometerik yang baik (Aldag dan Resckhe, 1997), yang mengukur kelima dimensi di atas: 1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan a) Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat 49 b) Membantu orang lain yang pekerjaannya overload c) Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta d) Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk e) Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan permasalahan pekerjaan f) Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta g) Membantu orang lain di luar departemen ketika mereka memiliki permasalahan h) Membantu pelanggan atau tamu jika mereka membutuhkan bantuan 2. Conscientiousness, memuat kinerja yang dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum a) Kehadiran kepatuhan terhadap peraturan b) Tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai c) Tepat waktu setiap hari walaupun cuaca tidak bagus dan alas an lain d) Berbicara seperlunya dalam percakapan di telepon e) Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan f) Datang segera jika dibutuhkan g) Tidak mengambil kelebihan waktu/cuti 3. Sportmanship, sifat sportif dan positif a) Menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat b) Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi c) Tidak mengeluh tentang segala sesuatu d) Tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya 4. Civic virtue, yaitu menunjukkan partisipasi sukarela a) Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu image organisasi b) Memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang dianggap penting c) Membantu mengatur kebersamaan secara departemental 50 5. Courtesy, yaitu perilaku yang meringankan masalah atau problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain a) Mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan dalam organisasi b) Membaca dan mengikuti pengumuman-pengumuman organisasi c) Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB dapat mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan. Pertama, OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja. Kedua, OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial. Ketiga, OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan produktif. Keempat, OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan. Kelima, OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar kelompokkelompok kerja. Keenam, OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan bahwa organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik. Ketujuh, OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. Dan terakhir, OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan bisnisnya 2.1.9. Konsep dan Dimensi Perilaku Sebagai Warga Organisasi (OCB) Organizational citizenship behavior atau OCB seringkali juga disebut sebagai perilaku ekstra peran yang dianggap salah satu bentuk kinerja yang sulit diukur oleh pengukuran tradisional (Dyne,1994). Beberapa penelitian tentang OCB telah banyak dilakukan baik di bidang manajemen, organisasi serta bidang psikologi. Penelitian OCB pada karyawan di universitas di Kanada yang dilakukan oleh Skarlicki et al (1995), menggunakan A Behavioural Observation Scale (BOS) digunakan untuk mengukur OCB dari rekan kerja pada sampel yang diteliti. Sedangkan kinerja diukur dengan banyaknya jumlah publikasi, rating mahasiswa dan lama bekerja. Jumlah publikasi termasuk penulisan artikel, penulisan buku, serta 51 publikasi atau preceding di suatu seminar pada lima periode tertentu. Faktor lamanya bekerja juga mendorong karyawan untuk berperilaku ekstra peran. Penelitian OCB sebagai variabel perantara menunjukkan bahwa OCB berkontribusi terhadap fungsi dan efektivitas unit kerja (organisasi) sejauh mana karyawan percaya bahwa OCB penting untuk kepentingan mereka sendiri. sarana organisasi dan individu sebagian dimediasi antara kepemimpinan (kepemimpinan transformasional dan penghargaan kontingensi) dan OCB. Dengan judul penelitian Leadership and Organizational Citizenship Behavior: OCB-Specific Meanings as Mediators originalitas penelitian Jiao et al (2011) ini terletak pada variabel kepemimpinan transformasional yang memediasi OCB. Pada umumnya penelitian mengenai OCB mengacu pada budaya barat, namun penelitian yang dilakukan oleh Kumar dan Bakhshi (2005) melihat OCB dari perspektif budaya lokal yaitu India. Sampel yang digunakan adalah karyawan fulltime pada bermacam-macam organisasi jasa. Walaupun skala pengukunguran menggunakan terjemahan dari skala barat, namun konstruk OCB yang dikembangkan di India dibuat lebih lokal agar sampel lebih memahami pertanyaan yang diajukan. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Mearaj (2010) yang melihat pelaksanaan organizational Citizenship Behavior (Ocb) Inside Bahraini Organizations. Peneliti melihat dimensi-dimensi OCB serta faktor-faktor lain yang menyertainya, seperti gender, usia, ukuran organisasi, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, dan kepuasan kerja. Yang berbeda dari penelitian ini yaitu menggunakan tiga faktor model dari Coleman and Borman yang telah diadopsi, ketiga model tersebut adalah; Interpersonal citizenship, Organizational citizenship dan Job/task citizenship. Konteks tema penelitian yang sama dilakukan oleh Lievens dan Anseel dari (2004). Studi ini mengkaji dimensi ukuran dari sebuah OCB tertentu dalam konteks berbahasa Belanda, karena mereka beranggapan bahwa OCB telah dipelajari secara ekstensif selama bertahun-tahun di Amerika Serikat, pengukuran OCB relatif mendapat perhatian yang terbatas dalam konteks internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk OCB yang didominasi dengan yang dipelajari di Amerika Serikat tampaknya baik untuk dipakai secara internasional walaupun ada 52 beberapa perbedaan bila diterapkan di negara lain. Dari beberapa penelitian mengenai perilaku ekstra pera (OCB) tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian mengenai OCB perlu memperhatikan konteks lokal, dalam artian tidak sepenuhnya dimensi OCB di barat dapat diterapkan di negara lain, namun perlu penyesuaian terutama terkait budaya lokal. OCB telah dipelajari dan diteliti pada berbagai disiplin ilmu (HRM, marketing, ekonomi dan kesehatan). Efektivitas organisasi dapat tercipta dengan praktek OCB tersebut.