bab ii tinjauan pustaka

advertisement
24 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Pengertian Kepemimpinan
Sebelum mengupas tentang kepemimpinan transformasional, kita lihat secara
umum tentang teori kepemimpinan. Menurut Robbins (2001), kepemimpinan
merupakan kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan.
Setiap organisasi mempunyai tujuan yang telah ditetapkan dan berdasarkan tujuan
tersebut pemimpin melakukan berbagai macam cara untuk memengaruhi kelompokkelompok dalam organisasi guna pencapaian tujuannya. Tidak semua pemimpin
memiliki kemampuan yang sama, karena memiliki berbagai macam sifat dan ciri di
dalamnya.
Kepemimpinan merupakan inti dari tugas organisasi pembelajaran yang
didasarkan pada Lima Disiplin (The Fifth Discipline) dari Senge (2002). Di dalam
teori Lima Disiplin, terjadi perubahan paradigma kepemimpinan, bahwa pemimpin
harus melakukan perubahan peran (role), keterampilan (skills), sarana dan prasarana
kerja (tools). Prinsip pentingnya adalah pemimpian adalah perencana (planner),
pelayanan
(steward)
dan
guru
(teacher)
dengan
cara
mengarahkan
dan
mengembangkan bawahan secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk
bekerja.
Nawawi dan Hadari (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan memiliki tiga
pola dasar, yaitu kepemimpinan yang berpola mementingkan tugas, mementingkan
pelaksanaan kerjasama dan mementingkan hasil yang dapat dicapai. Pola dasar
terhadap kepemimpinan yang lebih mementingkan pelaksanaan tugas oleh
bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang dibebankan padanya sesuai
keinginan pemimpin. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan pandangan
25 kepemimpinan, dewasa ini banyak dikaji tipe kepemimpinan partisipasif, situasional,
trasformasional, dan visioner (Meirawan, 2010).
Berikut ini tipe-tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh organisasi:
A. Kepemimpinan berdasarkan gelombang emosional yang dipancarkan kepada
bawahan, masyarakat dan
audiensnya, dua tipe kepemimpinan yaitu;
kepemimpinan resonansi dan kepemimpinan disonansi.
B. Kepemimpinan berdasarkan pendekatan karaktet dan perilaku pemimpin, ada
enam tipe, yaitu; kepemimpinan visioner, kepemimpinan pelatihan dan
pembimbingan,
kepemimpinan
afiliatif,
kepemimpinan
demokratis,
kepemimpinan komamdo, dan kepemimpinan ”pacesiting”.
C. Kepemimpinan berdasarkan cara memecahkan persoalan organisasi, ada lima
tipe yaitu; kepemimpinan yang terfokus, kepemimpinan yang komunikatif,
kepemimpinan
yang
dipercayai,
kepemimpinan
yang
dihormati,
dan
kepemimpinan resiko.
D. Kepemimpinan berdasarkan aspek kebutuhan kekuasaan, ada tiga tipe yaitu;
kepemimpinan transaksional, kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan
transformasional (Mangkuprawira, 2003).
2.1.2
Sejarah Konsep Kepemimpinan Transformasional
Konsep kepemimpinan transformasional memiliki sejarah yang panjang,
sebagaimana ditulis
oleh
Avolio
& Bass,
(1995).
Istilah
kepemimpinan
transformasional pertama kali diciptakan oleh JV Downton di Rebel. Namun yang
pertama kali mengenalkan konsep ini adalah James MacGregor Burns yang
dituangkan dalam bukunya Kepemimpinan pada tahun 1978, selama penelitian
tentang kepemimpinan politik, tetapi istilah ini sekarang digunakan dalam psikologi
organisasi. Konsep ini diGambarkan bukan sebagai seperangkat perilaku tertentu,
melainkan proses yang berkelanjutan di mana para pemimpin dan pengikut
mengangkat tingkat moralitas dan motivasi satu sama lain lebih tinggi.
Pemimpin Transformasional menawarkan tujuan yang melampaui tujuan
jangka pendek dan berfokus pada kebutuhan tatanan yang intrinsik lebih tinggi. Burns
dipengaruhi oleh Teori Kebutuhan Manusia dari Abraham Maslow. Teori ini
26 mengakui bahwa orang memiliki berbagai kebutuhan, dan sejauh mana mereka akan
tampil efektif di tempat kerja akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebutuhankebutuhan ini dipenuhi. Kepemimpinan Transformasional cocok dikelompokkan pada
tingkat yang paling tinggi, karena membutuhkan tingkat harga diri tinggi dan
aktualisasi diri untuk berhasil menjadi pemimpin transformasional yang otentik.
Burns adalah salah satu sarjana pertama yang menyatakan bahwa
kepemimpinan sejati tidak hanya menciptakan perubahan dan mencapai tujuan dalam
lingkungan, tetapi mengubah orang yang terlibat dalam tindakan yang diperlukan
untuk
menjadi
lebih
baik:
bagi
pengikut
dan
pemimpin.
Burns
menjadi terkenal di kalangan sarjana kepemimpinan alternatif karena model
kepemimpinan transformasional mencakup dimensi/etika moral yang, sebelum 1978,
belum dimasukkan ke dalam setiap teori kepemimpinan. Selanjutnya murid Burns yang bernama Bernard Bass, mendefinisikan
kepemimpinan transformasional dalam hal bagaimana pemimpin mempengaruhi
pengikut, yang dimaksudkan untuk mempercayai, mengagumi dan menghormati
pemimpin transformasional. Dia mengidentifikasi tiga cara di mana para pemimpin
dapat mengubah pengikut:
1) Meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya tugas dan nilai.
2) Mendapatkan mereka untuk fokus pertama pada tujuan tim atau organisasi,
bukan kepentingan mereka sendiri.
3) Mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi.
Namun berbeda dengan Burns, yang melihat kepemimpinan transformasional
sebagai terkait erat dengan nilai-nilai orde tinggi, Bass melihatnya sebagai tidak
berhubungan dengan moral, dan oleh karena itu timbul pertanyaan moralitas dan etika
komponen kepemimpinan transformasional. Menurut Burns, perbedaan antara
kepemimpinan transformasional dan transaksional adalah apa yang ditawarkan oleh
pemimpin dan pengikut satu sama lain.
Berikut ini perbedaan yang dimaksud: Kepemimpinan transaksional terjadi
ketika seseorang berhubungan dengan orang lain untuk tujuan tertentu dengan
pertukaran sesuatu yang berharga. Sedangkan Kepemimpinan transformasional
27 terjadi ketika satu orang atau lebih berhubungan dengan orang lain dengan cara
dimana pemimpin dan pengikut saling meningkatkan motivasi dan moralnya (Bass et
al, 2006).
2.1.3
Hakikat Kepemimpinan Transformasional
Seorang pemimpin yang efektif harus melihat dan mencocokkan gaya
kepemimpinannya dengan situasi yang meliputi gaya kerja karyawan, sifat-sifat
pribadi, serta hakikat dari tugas kelompoknya. Kepemimpinan sebagai perilaku
dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk
mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan
organisasi.
Harsiwi (2001) mengidentifikasi implikasi dari definisi di atas, yaitu;
1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan
atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki
kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa
adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.menerima
arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau
bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
2. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya
(his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja
yang memuaskan.
3. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity),
sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance),
keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan
pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk
meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.
Walaupun
kepemimpinan
(leadership)
seringkali
disamakan
dengan
manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Pemimpin
berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan
perhatian pada mengerjakan secara tepat.
28 4. Di dalam hasil penelitian tentang hubungan kepemimpinan transformasional
dan karakteristik personal pemimpin oleh (Harsiwi, 2000),
dikemukakan
bahwa teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir
yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini.
5. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan
sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja
menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan
yang tidak pernah diraih sebelumnya. Perhatian orang pada kepemimpinan di
dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang
mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan
untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan
anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih
manusiawi.
6. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan
transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif,
peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap
sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam
praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan
transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia
cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk
dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif,
dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya.
Yukl dan Gary (2010) mengungkapkan keberadaan dua teori kepemimpinan
tersebut yaitu kepemimpinan karismatik dan transformasional. Kepemimpinan
transformasional terinspirasi oleh James McGregor Burns, yang menulis buku
kepemimpinan dalam bidang politik. Namun penelitian secara empiris baru dilakukan
oleh Bass pada tahun 1985 dan 1996.
Pada tahun 1980-an, para peneliti manajemen tertarik untuk mengkaji tentang
kepemimpinan emosional dan aspek-aspek simbolis dari kepemimpinan. Teori
kepemimpinan karismatik dan transformasional dapat mengGambarkan pentingnya
29 aspek tersebut. Teori kepemimpinan transformasional seringkali dibandingkan
dengan
kepemimpinan
transaksional,
walaupun
keduanya
berbeda,
seperti
diungkapkan oleh Stephen P.Robbins.
”Transformational are leader who inspire followers to transcend their own
self-interests and who are capable of having a profound and extraordinary effect on
followers, while transactional leaders are leaders who guide or motivate their
followers in the direction of established goals by clarifying role and task
requirements” (Robbins, 2001).
Dari definisi tersebut, kedua pendekatan kepemimpinan tersebut tidak berbeda
dalam hal bagaimana penyelesaian pekerjaan. Keduanya saling melengkapi. Dengan
kepemimpinan transformasional pengikut, dalam hal ini karyawan akan merasa
memiliki trust atau kepercayaan, admiration, kesetiaan, dan hormat kepada pimpinan,
dan mereka termotivasi untuk melakukan atau memberikan lebih dari kewajiban
mereka. Menurut Yukl (2010), seorang pemimpin dapat mentransformasi dan
memotivasi karyawan atau pengikut dengan: (1). Membuat mereka lebih waspada
atau aware dengan hasil pekerjaan atau tugasnya, (2). Mengingatkan karyawan
bahawa mereka memiliki interest pribadi untuk digunakan di dalam kerja tim di
organisasi, (3). Mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi karyawan.
Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan
sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju
sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah
diraih sebelumnya. Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan
(management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa
pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena
perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu
justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi.
Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan
transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif,
peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai
kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses
perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang
30 mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai
suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem
imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang
sebesar-besarnya (Harsiwi, 2001).
Sebuah penelitian yang berjudul Transformational Leadership Style and its
Relationship with Satisfaction yang dilakukan oleh Nawaz et al (2010) menjelaskan
tentang gaya kepemimpinan transformasional. Teori kepemimpinan transformasionaltransaksional merupakan suatu paradigma yang dapat membantu untuk dapat
memahami kepemimpinan dalam konteks yang lebih luas dan di tingkat dan fungsi
organisasi yang berbeda. Tema dasar dari penelitian ini adalah untuk menguraikan
gaya kepemimpinan transformasional dan hubungannya dengan kepuasan. Penelitian
ini menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara gaya kepemimpinan dan
kepuasan.
Implikasi dari penelitian ini dapat dijadikan landasan kebijakan, dimana
pemimpin juga harus setuju pendapat para pengikut ketika mereka memiliki logika
dan penalaran yang sehat sehingga mereka dapat merasa percaya diri dan berubah
menjadi pemimpin masa depan.
Ada lima faktor yang mengGambarkan kepemimpinan (satu sampai tiga
diterapkan
pada
kepemimpinan
transformasional,
empat
dan
lima
untuk
kepemimpinan transaksional), yaitu
1. Karisma, pemimpin mampu menginspirasi dengan nilai, rasa hormat,
kebanggaan dan memperjelas visi.
2. Perhatian individu, seorang pemimpin memberikan perhatian lebih pada
kebutuhan pengikutnya dan memberikan proyek yang berarti, sehingga
pengikutnya dapat berkembang secara personal
3. Memotivasi secara intelektual. Seorang pemimpin membantu pengikutnya
untuk berpikir secara rasional sehingga dapat berpikir kreatif.
4. Penghargaan ketergantungan. Pemimpin memberikan informasi kepada
pengikut sesuatu tugas, sehingga mereka dapat memperoleh reward bila
mengerjakannya.
31 5. Management by exception. Pemimpin memberi ijin kepada pengikut untuk
bekerja sesuai bidangnya dan tidak ikut campur tangan, kecuali tujuan tidak
tercapai (Ivancevich 1999).
Karisma merupakan hal terpenting dalam kepemimpinan trasformasional.
Untuk meningkatkan karisma, pemimpin membutuhkan keahlian penilaian,
kemampuan berkomunikasi yang baik, dan sensitif atau peka terhadap orang lain.
Mereka harus mampu untuk menjelaskan visi dan harus peka atas kekurangan
keahlian dari pengikutnya. Satu dimensi lagi yaitu menginspirasi bawahan dengan
pemberian motivasi (Robbins, 2001).
Karakteristik kepemimpinan transformasional juga seringkali dinyatakan
dengan The 4 I’s of Transformational Leadership, yaitu:
1) Idealized Influence (I.I.): (Developing the Vision). Pemimpin menekankan
pentingnya memiliki rasa kolektif misi dan meyakinkan orang lain bahwa
hambatan akan bisa diatasi. Mereka bersedia mengambil resiko, mereka
konsisten, dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar, dan
menunjukkan standar tinggi etika dan moral.
2) Inspirational
Motivation
(I.M.):
(Selling
the
Vision).
Pemimpin
mengartikulasikan visi masa depan, berbicara optimis tentang masa depan dan
antusias tentang apa yang harus dicapai.
3) Intellectual Stimulation (I.S.): (Finding the way forwards). Pemimpin
merangsang upaya orang lain untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan
asumsi mempertanyakan, mendapatkan orang lain untuk melihat masalah dari
berbagai sudut. Mendorong pemikiran non-tradisional. Ide-ide baru dan solusi
kreatif dikumpulkan.
4) Individualized Consideration (I.C.): (Leading the Charge). Pemimpin
mengajar menghabiskan waktu dan pembinaan dan membantu orang lain
untuk mengembangkan kekuatan mereka. Peluang baru belajar diciptakan
bersama dengan iklim yang mendukung mereka untuk tumbuh.
32 Gambar 1 berikut menunjukkan peta posisi kepemimpinan transformasional
dibandingkan
dengan
pola
kepemimpinan
transaksional.
Gambar 1. Multifactor Leadership Questionnaire Actual Vs Ought
Feedback Report
Sumber: http://www.mlq.com.au
Seorang pemimpin transformasional lebih efektif karena tidak saja mereka
kreatif, namun juga mendukung mereka yang mengikutinya. Di dalam organisasi atau
perusahaan
dengan
pemimpin
transformasional,
terdapat
desentralisasi
tanggungjawab yang lebih besar, manajer lebih memiliki kecenderungan untuk
mengambil risiko. Pemimpin transformasional juga meningkatkan kinerja dengan
membangun konsensus diantara anggota grup (Robbins 2001).
2.1.4
Perbandingan Model Teori Kepemimpinan
Konsep dan pemikiran teori kepemimpinan telah menarik banyak minat
peneliti sejak awal abad ke dua puluh. Teori awal kepemimpinan berfokus pada
kualitas apa yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, sementara teori-teori
33 berikutnya memandang variabel lain seperti faktor situasional dan tingkat
keterampilan.1
Eric Yaverbaum dan Erik Sherman (2008) membagi model kepemimpinan
menjadi
Great
man,
Trait,
Behavioral
Contingency,
Transactional,
dan
Transformational. Namun ada yang menambahkan participative theory, management
theory, dan relationship theory. Kepemimpinan transaksional dan transfomasional
termasuk ke dalam teori ini. Teori relationship lebih fokus pada hubungan yang
terbentuk antara pimpinan dan karyawan. Teori ini juga disebut sebagai
kepemimpinan transformasional.2
Tabel 1 berikut memberikan ringkasan gambaran dari berbagai model teori
kepemimpinan yang populer saat ini.
Tabel 1. Berbagai Model Teori Kepemimpinan
No
1
Model Kepemimpinan
Great Man theory
2
Trait theory
3
Contingency theory
Penjelasan
Teori ini mengasumsikan bahwa seorang pemimpin
itu dilahirkan dan bukan dibentuk. Contohnya Raja,
komandan militer dsbnya. Teori ini hanya relevan
untuk kepemimpinan seorang pria dan saat ini tidak
banyak lagi diterapkan.
Teori ini mengasumsikan bahwa seseorang dapat
menjadi pemimpin dengan penilaian personality
atau kepribadiannya seperti; jujur, kompeten,
cerdas, berpikiran terbuka, supportive, perhatian,
berani, independen dll. Kritik atas teori ini adalah
tidak semua pemimpin dapat memenuhi kualifikasi
ini.
Teori kepemimpinan Contingency Fokus pada
variabel tertentu yang berkaitan dengan lingkungan
yang mungkin menentukan gaya kepemimpinan
paling cocok untuk situasi tertentu. Menurut teori
1
http://psychology.about.com/od/leadership/p/leadtheories.htm
2
http://www.netplaces.com/leadership/leadership-styles/popular-leadership-models.htm
34 Lanjutan Tabel 1.
No
4
5
6
7
Model Kepemimpinan
Penjelasan
ini, tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik
dalam semua situasi. Sukses tergantung pada
sejumlah variabel, termasuk gaya kepemimpinan,
kualitas dari aspek pengikut dan situasi. Konsep ini
lebih fleksibel dan realistis.
Situational theory
Teori Situasional mengusulkan bahwa para
pemimpin memilih tindakan yang terbaik
berdasarkan
variabel
situasional.
Gaya
kepemimpinan yang berbeda mungkin lebih sesuai
untuk jenis pengambilan keputusan tertentu.
Behavioral theory
Teori ini mengasumsikan bahwa pemimpin itu tidak
dilahirkan tapi dibentuk. Fokus teori ini pada
tindakan pemimpin bukan pada kualitas mental
semata. Seseorang dapat belajar menjadi pemimpin
melalui observasi dan pengajaran.
Transactional theory atau Model
kepemimpinan
transaksional
Management theory
memperlakukan proses memimpin sebagai lintas
antara transaksi sosial dan bisnis. Fokus pada
pengawasan peran, organisasi dan kinerja
kelompok. Dasar teori kepemimpinan ini adalah
sistem imbalan dan hukuman. Kesulitan dalam
kepemimpinan transaksional adalah bahwa konsep
tersebut tidak berlaku baik untuk segala kondisi
atau budaya
Transformational teory atau Teori kepemimpinan ini fokus pada hubungan yang
Relationship theory
terbentuk antara para pemimpin dan pengikut.
Pemimpin transformasional memotivasi dan
menginspirasi orang dengan membantu anggota
kelompok untuk melihat pentingnya sebuah tugas.
Pemimpin ini fokus pada kinerja anggota
kelompok, tapi juga ingin setiap orang untuk
memenuhi potensi dirinya. Pemimpin dengan gaya
ini sering memiliki standar etika dan moral yang
tinggi.
Dalam proses ini, semua orang membantu satu
sama lain untuk mencapai tingkat prestasi yang
lebih besar. Kepemimpinan transformasional telah
menjadi alat fundamental, terutama dalam konsep
mendapatkan orang lain untuk mencapai perubahan
yang diperlukan di tempat kerja
35 Lanjutan Tabel 1.
8
Spiritual Leadership theory
Kepemimpinan spiritual menyediakan konsensus
pada nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan
untuk kesejahteraan rohani, dan, kesehatan positif
manusia, kesejahteraan psikologis, kehidupan
kepuasan, komitmen organisasi dan produktivitas,
keberlanjutan dan kinerja keuangan. Kualitas
seorang pemimpin yang diperlukan dalam model
ini yaitu memiliki visi, kasih sayang, dan harapan
atau faith. Kritik dari model kepemimpinan ini yaitu
belum sepenuhnya pemimpin mampu menunjukkan
perilaku yang menjadi panutan para karyawan.
kepuasan, komitmen organisasi dan produktivitas,
keberlanjutan dan kinerja keuangan. Kualitas
seorang pemimpin yang diperlukan dalam model ini
yaitu memiliki visi, kasih saying, dan harapan atau
faith. Kritik dari model kepemimpinan ini yaitu
belum sepenuhnya pemimpin mampu menunjukkan
perilaku yang menjadi panutan para karyawan,
Dari uraian di atas, beberapa model kepemimpinan memiliki kelebihan
masing-masing, namun implementasinya memerlukan analisa lebih lanjut yang
disesuaikan dengan lingkungan organisasi. Kepemimpinan transformasional adalah
populer saat ini. Hal ini didasarkan pada visi. Seorang pemimpin adalah sosok
inspirasi yang bekerja dengan pengikut untuk mencapai tujuan. Dalam proses ini,
semua orang membantu satu sama lain untuk mencapai tingkat prestasi yang lebih
besar. Kepercayaan adalah ikatan penting, dan orang-orang yang mengikuti secara
sukarela untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan transformasional telah menjadi alat
fundamental, terutama dalam konsep mendapatkan orang lain untuk tertarik pada
pencapaian perubahan yang diperlukan di tempat kerja.
2.1.5
Keuntungan Kepemimpinan Transformasional
Pengukuran terbaik Kepemimpinan Transformasional adalah Kuesioner
Kepemimpinan multifaktor (MLQ) yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1995).
Ada bukti yang signifikan bahwa Kepemimpinan Transformasional yang diukur
dengan MLQ berkorelasi dengan ukuran efektivitas kepemimpinan dan menilai ull
36 Range of Leadership (FRL).
Berikut ini beberapa keuntungan dari praktek
kepemimpinan transformasional.
1) Komitmen/Loyalitas serta Kepuasan Pengikut.
Pemimpin transformasional
mampu membangun komitmen dan loyalitas pengikut yang kuat dengan
membangun kepercayaan dan mempromosikan diri mereka dan efektifitas diri.
2) Efektivitas. Penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional
mengarah
pada
kinerja
yang
melebihi
harapan
dibandingkan
dengan
kepemimpinan transaksional dan membantu mengembangkan pengikutnya untuk
menjadi kontributor yang lebih baik untuk kelompok usaha dengan menjadi lebih
kreatif, lebih tahan terhadap stres, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap merubah
dan lebih kemungkinan untuk menjadi pemimpin transformasional sendiri.
3) Stres.
Kepemimpinan
yang
efektif
berhubungan
dengan
stres
adalah
kepemimpinan yang menghasilkan keputusan kualitas rasional; penggunaan
informasi yang tersedia dengan tepat, keterampilan dan sumber daya, dan kinerja
yang tinggi dari pengikut dalam mencapai tujuan meskipun ancaman dan
rintangan.
Stimulasi
Intelektual
dapat
menghentikan
krisis
dengan
mempertanyakan asumsi dan mengungkapkan peluang, pembinaan tidak terdidik,
dan menghilangkan fiksasi pada cara lama dalam melakukan sesuatu. Pemimpin
yang inspirasional menginspirasi keberanian dan merangsang minat.
4) Perencanaan Strategis. Kepemimpinan transformasional dapat berkontribusi
untuk perbaikan dalam perencanaan strategis, citra perusahaan, seleksi
perekrutan dan transfer karyawan. Hal ini juga memiliki implikasi untuk
pekerjaan dan desain organisasi serta untuk pengambilan keputusan dan
pengembangan organisasi
Pemimpin Transformasional tahu bahwa mereka harus terlebih dahulu
mengubah diri jika mereka berharap untuk sukses pada mentransformasi orang lain.
Sebuah unsur dasar dalam pengembangan kepemimpinan transformasional terdiri
dalam mengidentifikasi kualitas kepemimpinan melalui distribusi kuesioner
kepemimpinan multifaktor (MLQ) kepada pengikut dari pemimpin. Sangat penting
bahwa MLQ menghasilkan penilaian yang akurat dan tidak bias dari para pemimpin
37 di berbagai dimensi kepemimpinan. Seringkali terjadi dua bias dalam menilai
kepemimpinan transformasional, sebagaimana diungkapkan oleh Lievens (1997).
Pertama, ketika pengikut menilai kekuatan dan kelemahan dari para pemimpin
mereka, mereka mungkin memiliki kesulitan dalam membedakan antara berbagai
perilaku kepemimpinan transformasional dan transaksional. Hal ini ditemukan dan ini
hanya berlaku untuk atribut kepemimpinan transformasional karena keempat dimensi
kepemimpinan transformasional diukur dengan MLQ berkorelasi tinggi dan
dikelompokkan dalam satu faktor. Peringkat MLQ pada tiga dimensi kepemimpinan
transaksional yang ternyata tidak saling berhubungan dan menunjukkan bukti untuk
tiga faktor yang berbeda: contingency reward, manajemen-aktif by exception, dan
kepemimpinan pasif. Kedua, keinginan sosial nampaknya tidak menjadi faktor bias
yang kuat, walaupun skala kepemimpinan transformasional secara sosial lebih
diinginkan.
Beberapa penelitian mengenai kepemimpinan transformasional juga dikaitkan
dengan variabel lain, yaitu kualitas kehidupan kerja (quality of work life), seperti
penelitian Riady (2009), serta Kaihatu dan Rini (2007). Penelitian pertama menyoroti
pengaruh kepemimpinan transformasional dan QWL pada Bank BUMN. Di dalam
hasil tulisannya diungkapkan adanya kepemimpinan yang berorientasi pada QWL.
Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi, memotivasi,
dan memungkinkan orang lain memberikan sumbangsih bagi keefektifan organisasi.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada penciptaan
QWL. Penelitian kedua menyoroti pengaruh kepemimpinan transformasional pada
bidang pendidikan, yaitu studi pada guru-guru SMU di Surabaya. Secara signifikan,
ditemukan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah
akan meningkatkan kepuasan kualitas kehidupan kerja dan perilaku ekstra peran dari
para guru.
Senada dengan penelitian di atas, Tesis yang ditulis oleh Karim (2009)
mengkaji empat dimensi kepemimpinan transformasional di UIN Malang. penelitian
ini
dilaksanakan
dengan
fokus
untuk
menemukan
tipe
kepemimpinan
transformasional yang diterapkan oleh pemimpin (rektor) di UIN MALIKI Malang
38 dengan didasarkan pada empat komponen pengukuran perilaku kepemimpinan
transformasional perspektif Bass yaitu Idealized Influence, Inspirational Motivation,
Intellectual
Stimulation,
Individual
Consideration.
Penelitian
kualitatif
ini
menghasilkan satu kesimpulan yaitu berdasarkan temuan-temuan pada masingmasing empat komponen perilaku kepemimpinan transformasional, perilaku
kepemimpinan di UIN MALIKI merupakan tipe kepemimpinan transformasional.
Perilaku transformasional tersebut telah terbukti berkontribusi besar terhadap
pengembangan UIN MALIKI.
Dengan metode eksploratori, Davis (2007) dan Mills (2007), meneliti
kepemimpinan transformasional. Disertasi pertama meneliti tentang karakteristik
kepemimpinan transformasional dari enam pemimpin wanita di Amerika Serikat.
Karakteristik kepemimpinan yang paling penting dari pemimpin transformasional
yaitu kepercayaan diri, visioner, memiliki kemampuan untuk menginspirasi para
pengikut, fokus pada misi, menjadi pembangun tim, pengikut yang tumbuh dan
bernilai, memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi kepemimpinan di
pengikut, serta memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan, mendengar
dan menerima masukan dari pengikut. Hal lain yang dapat menjadi pengetahuan
mengenai karakteristik pemimpin adalah adanya hambatan yaitu sedikit peluang bagi
wanita untuk menduduki posisi tertinggi di suatu perusahaan.
Sedangkan penelitian Mills (2007) mencoba menggali dari keempat faktor
kepemimpinan transformasional yang paling berhubungan/bertanggung jawab
terhadap
retensi
karyawan
dalam
organisasi.
Hasil
dari
penelitian
ini
menyimpulkan bahwa tidak ada salah satu dari empat faktor kepemimpinan
transformasional secara statistik lebih signifikan dari yang lain, mereka secara
statistik
sama
dalam
mempromosikan
retensi.
Persepsi
kepemimpinan
transformasional kedua penelitian tersebut diukur dengan menggunakan Multifactor
Leadership Questionnaire (MLQ).
Dari
hasil-hasil
penelitian
di
atas
terlihat
bahwa
kepemimpinan
transformasional dapat diterapkan pada berbagai bidang. Dalam dunia bisnis maupun
pada institusi pendidikan tinggi, terbukti bahwa kepemimpinan transformasional
39 menunjang dan berkontribusi pada kemajuan organisasi. Dimensi-dimensi yang
dijabarkan memiliki kesamaan karena mengacu pada Multifactor Leadership
Questionnaire (MLQ) yang dikembangkan oleh Bernard Bass.
2.1.6 Kualitas Kehidupan kerja (Quality of Work Life)
Sejarahnya dimulai di Arden house pada tahun 1972 di AS. Pertemuan
tersebut untuk mendiskusikan dua gerakan, yang pertama adalah gerakan politik di
Eropa barat yang disebut “demokrasi industrial”. Gerakan ini bertujuan agar negaranegara di Eropa Barat mensahkan aturan partisipasi karyawan dalam pengambilan
keputusan korporat. Gerakan kedua, dilandasi oleh teori sosial tentang “humanizing
the workplace”. Semakin tinggi qwl, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan dan
produktifitas kerja karyawan (Idris et al 2006).
Para manajer dan pimpinan organisasi menghadapi tantangan besar saat ini.
Hal ini disebabkan karena angkatan kerja dewasa ini lebih terdidik daripada masa
sebelumnya. Namun pengamat ekonomi meyakini bahwa mutu pekerjaan akan
menurun senantiasa, sementara posisi-posisi yang lebih baru memberikan kepada
karyawan lebih sedikit tantangan dan kepuasan ego, yang terdapat dalam pekerjaanpekerjaan yang dihapuskan secara bertahap. Ada asumsi bahwa tingkat pekerjaan
yang lebih tinggi secara khusus disertai oleh tingkat harapan yang meningkat. Bila
pimpinan tidak mampu memenuhi harapan-harapan karyawan akan menyebabkan
ketidakpuasan kerja dan melemahnya etika kerja (Kossen, 1993).
Pimpinan organisasi berusaha menemukan cara mengatasi kebosanan
karyawan yang disebabkan oleh ketidakpuasan kerja tersebut, terutama menyangkut
masalah kemerosotan mutu kehidupan kerja. Produktivitas organisasi dipengaruhi
oleh mutu perlengkapan, alat-alat, dan faktor-faktor teknis dan material lain.
Organisasi yang mengenal peranan sumber daya manusia dan perbaikan produktivitas
dan menghargai kekuatan tenaga kerja yang mempunyai komitmen, terutama
diarahkan pada sumber daya dan manajemen, terhadap pengembangan lingkungan
dimana pekerja dapat memberikan kontribusi pada perbaikan kinerja pada kapasitas
maksumum. Usaha seperti ini dinamakan sebagai quality of work life atau strategi
40 pelibatan pekerja (Wibowo, 2009). Mutu kehidupan kerja (quality of work life) juga
mempengaruhi produktivitas (Kossen, 1993).
Hal ini dapat dilihat dari efektif atau tidaknya lingkungan pekerjaan
memenuhi keperluan-keperluan pribadi dan nilai-nilai para karyawan. Menurut Stan
kossen suatu faktor yang meningkatkan QWL seorang karyawan belum tentu
berpengaruh atau memiliki sedikit pengaruhnya pada QWL pekerja lain.
Wibowo (2009), mengungkapkan bahwa lingkungan dengan quality of work
life tinggi ditandai oleh karakteristik berikut:
a. Pekerja berpeluang mempengaruhi keputusan.
b. Pekerja berpartisipasi dalam pemecahan masalah.
c. Pekerja mendapatkan informasi lengkap tentang pengembangan dalam organisasi
d. Pekerja mendapatkan umpan balik bersifat konstruktif
e. Pekerja senang menjadi bagian dari tim dan meningkatkan kolaborasi
f. Pekerja merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan menantang
g. Pekerja merasakan adanya keamanan kesempatan kerja
Sedangkan Kossen (1993) mengemukakan delapan kategori utama yang
bersama-sama merupakan QWL, yaitu:
1. Kompensasi yang memadai dan wajar. Karyawan dapat mengajukan pertanyaan
kepada diri sendiri berkaitan dengan hal ini, seperti adakah upah atau gaji
sebanding dengan jumlah yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama?
Artinya imbalan yang diterima oleh karyawan harus sepadan dengan imbalan yang
diterima oleh orang lain yang melakukan pekerjaan yang sejenis.
2. Kondisi-kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat. Dapat dilihat lingkungan
kerja yang relatif bebas dari risiko berlebihan yang dapat mengakibatkan cedera
atau penyakit pada karyawan. Segi penting dari kondisi ini misalnya jam kerja
yang memperhitungkan daya tahan manusia yang terbatas dalam melakukan
pekerjaan.
3. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia.
Bagaimanakah hubungan pekerjaan tersebut dengan harga diri karyawan, serta
apakah mereka merasa terlibat dan tertantang dalam pekerjaan itu?
41 4. Kesempatan untuk tumbuh di masa depan. Adakah kesempatan untuk karyawan
maju atau hanya pekerjaan itu yang memberikan jaminan kesejahteraan dan
penghasilan? Artinya karyawan menyadari bahwa perubahan pasti terjadi di masa
depan, maka ada jaminan bahwa pekerjaan dan penghasilan mereka tidak akan
hilang.
5. Perasaan termasuk dalam suatu kelompok atau integrasi sosial perusahaan. Apakah
karyawan merasa sebagai bagian dari suatu tim atau sebaliknya merasa terkucil
dari kelompok? Adakah lingkungan kerja relatif bebas dari prasangka destruktif?
Melalui penerapan QWL di dalam perusahaan tidak ada diskriminatif. Suasana
keterbukaan ditumbuhkan dan dipelihara dan adanya iklim saling mendukung
diantara karyawan.
6. Hak-hak karyawan. Jenis hak-hak apa yang dimiliki karyawan? Apakah ada
standar mengenai privasi terhadap perbedaan pendapat? Artinya dengan QWL
perusahaan menjamin tidak ada campur tangan dalam urusan pribadi seseorang.
Karyawan bebas untuk mengemukakan pendapat dan bicara.
7. Kerja dan ruang kerja keseluruhan. Bagaimanakan pekerjaan mempengaruhi
peranan hidup pribadi, seperti hubungannya dengan keluarga?
8. Relevansi sosial kehidupan kerja. Apakah karyawan merasa bahwa organisasi
bertanggung jawab sosial? Adakah organisasi menghasilkan suatu produk atau jasa
yang menyumbangkan kebanggaan kepada karyawan?
Seluruh peningkatan produktivitas tersebut mengarah pada pengembangan
kualitas kehidupan kerja yang lebih baik. Salah satu caranya adalah memanusiawikan
sumber daya manusia dalam hal ini karyawan, melalui pemerkayaan pekerjaan (job
enrichment) dan sistem kerja sosio teknik yang diperkaya (enriched sosiotechnical
work system) (Davis et al 1993).
Cascio (2003), menjelaskan mengenai cara pandang tentang kualitas
kehidupan kerja.
42 “There are two ways of looking what quality of work life means. One way
equates QWL with a set of objective organizational conditions and practices
(e.g. promotion from whitin policies, democratic supervision, employee
involvement, safe working conditions). The order way equates QWL with
employes preceptions that they are safe, relatively well satisfied, and able to
grow and develop as human beings. This way relates QWL to the degree to
which the full range human need is met”.
Pada teori, QWL terlihat sederhana-hanya melibatkan karyawan tentang
bagaimana melaksanakan pekerjaan, desain tempat kerja, dan apa yang dibutuhkan
untuk menghasilkan produk lebih efisien. QWL ini banyak dipraktekkan di industri
makanan, elektronik, baja, dan industri berbasis kebutuhan konsumen (Cascio, 2003).
Menurut Cascio (2003), terdapat Sembilan indikator dalam penerapan Quality
of Work Life yaitu: partisipasi karyawan, pengembangan karir, penyelesaian konflik,
komunikasi, kesehatan kerja, keselamatan kerja,keamanan kerja, kompensasi yang
layak, dan kebanggaan. Gambar 2 menunjukkan kesembilan indikator Quality of
Work life.
43 Kerjasama karyawan dalam tim
Partisipasi karyawan dalam rapat
Peningkatan kualitas tim
Perlindungan jabatan
Pelatihan/pendidikan
Penilaian kegiatan
Promosi dari dalam
Identitas perusahaan
Partisipasi kemasyarakatan
Kepedulian Lingkungan
Partisipasi
Karyawan
Pengembangan
Karir
Kebanggaan
Keterbukaan
Proses penyampaian keluhan
secara formal
Pertukaran pendapat/proses
banding
Gaji dan keuntungan yang
kompetitif
Kompensasi
yang Layak
Penyelesaian
Konflik
QWL
Keamanan
Kerja
Komunikasi
Pertemuan tatap muka
Pertemuan kelompok
Publikasi
Tidak ada pemberhentian
karyawan tetap
Program pensiun
Keselamatan
Kerja
Komite keselamatan
Tim penolong gawat darurat
Program keselamatan kerja
Kesehatan
Kerja
Pusat kesehatan
Pusat kesehatan gigi
Program pusat senam
Kebugaran
Program rekreasi
Program konseling
Gambar 2. Quality of Work Life
Indikator-indikator yang diteliti dalam penelitian ini meliputi kompensasi yang layak,
partisipasi karyawan, pengembangan karir, keamanan kerja, dan kesehatan kerja
Penelitian Husnawati (2006) memuat pemaparan terkait pengaruh kualitas
kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja
sebagai variabel intervening. Hasil tesis ini memberikan bukti bahwa aplikasi
program kualitas kehidupan kerja melalui dimensi-dimensi pertumbuhan dan
pengembangan, partisipasi, upah dan keuntungan serta lingkungan kerja di dalam
perusahaan akan berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan. Aplikasi program
kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh pada kepuasan kerja yang selanjutnya
44 mempengaruhi kinerja karyawan. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan
terhadap perusahaan, maka semakin baik pula kinerja ditunjukkan oleh karyawan.
Responden penelitian ini adalah karyawan PERUM Pegadaian Kanwil Semarang.
Adanya pengaruh yang searah antara kualitas kehidupan kerja dengan
kepuasan kerja artinya bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat
penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif
organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan
mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja
yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota
organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organsiasi
tersebut secara keseluruhan.
Penelitian tentang kualitas kehidupan kerja juga dilakukan dari sudut pandang
karyawan Textile dan Engineering di District Coimbatore Tamil Nadu (Anjani,2010).
Konstruk QWL yang dibahas meliputi kepuasan kerja, kompensasi, hubungan kerja,
kondisi kerja, pengembangan kompetensi dan stress kerja. Temuan dari penelitian ini
adalah bahwa faktor yang utama dari kualitas kehidupan kerja adalah pekerjaan itu
sendiri. Suatu pekerjaan yang menarik, menantang dan memberikan status serta
kebanggaan kepada karyawan memerlukan pelibatan karyawan sendiri di dalam
pekerjaan.
Penelitian mengenai kualitas kehidupan kerja atau quality of work life telah
banyak dilakukan dan merupakan penelitian dengan pendekatan empiris, baik pada
perusahaan maupun institusi pendidikan. Pada umumnya perusahaan yang diteliti
adalah pada sektor jasa, seperti penelitian yang dilakukan oleh Cheung et al (2009)
serta Yan Ma et al (2010). Obyek penelitian ini adalah karyawan hotel. Pada
penelitian pertama, QWL bertindak sebagai mediator antara Emotional Labor dan
Work Family Interference. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa gangguan
dari keluarga (work family interference) berkorelasi penting dengan tindakan
karyawan di perusahaan, serta adanya hubungan dari tindakan atau perilaku karyawan
dengan kualitas kehidupan kerja mereka.
45 Sedangkan penelitian Yan Ma et al (2010) menyoroti QWL dan pengaruhnya
terhadap outcome karyawan yang direfleksikan dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB). Latar belakang dari penelitian ini yaitu adanya perbedaan pendapat
diantara pimpinan (manager) tentang pentingnya QWL bagi perusahaan khususnya
bidang jasa perhotelan. Sebagian pimpinan mengadaptasi QWL dari Barat dan
melakukan pengukuran QWL kepada karyawan, namun pimpinan yang lain
menganggap pelaksanaan QWL tidak berkaitan dengan outcome karyawan dan hanya
menghabiskan dana perusahaan. Originalitas penelitian ini terletak pada kasus yang
nyata di dalam jasa hotel khususnya di China. Perbedaan kedua penelitian ini hanya
pada posisi QWL, pada penelitian pertama QWL memediasi Emotional Labor dan
Work Family Interference, sedangkan pada penelitian kedua QWL menjadi variabel
dependen. Namun implikasi dari praktek QWL di perusahaan sangat penting untuk
diukur mengingat praktek QWL bertujuan untuk pengembangan lingkungan kerja
yang baik bagi karyawan dan juga produksi (Davis, et al 1994).
Penelitian mengenai QWL biasanya hanya mengukur kepuasan kerja, namun
pada penelitian yang dilakukan oleh Idris et al (2006) mencoba mengaitkan antara
QWL dimensi-dimensi karir pada sektor industri manufaktur di Malaysia. Penelitian
dengan metode survei ini
bukan replika dari penelitian lain, maka kuesioner
dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur dan melakukan penyesuaian dengan
konteks lokal. Temuan penting dari penelitian ini yaitu bahwa keluarga secara
signifikan berhubungan dengan level/tingkat QWL karyawan di perusahaan. Selain
itu kunci penting peningkatan karir karyawan ada di dalam dimensi QWL salah
satunya adalah keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga.
Bila implementasi QWL dibandingkan antara bisnis jasa hotel dan perbankan
dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma terkait peranan sumber daya
manusia. nilai-nilai keunggulan SDM yang awalnya tangible assets berubah menjadi
pengelolaan strategi berbasis-pengetahuan yang menampilkan intangible assets
organisasi terutama human capital yang terbangun dari kompetensi dan komitmen.
Seperti penelitian Riady (2009) yang menyoroti pengaruh kualitas kehidupan
kerja terhadap komitmen karyawan pada Bank BUMN di Jakarta. Permasalahan
46 utama yang ditemukan oleh peneliti yaitu penerapan QWL yang belum baik pada
Bank BUMN dibandingkan dengan Bank Swasta bila dikaitkan dengan komitmen
karyawan. Dari studi ini diperoleh Gambaran bahwa secara umum QWL dan
komitmen karyawan tergolong sedang/biasa. Namun penelitian ini juga ada kesamaan
dengan penelitian Yan Ma et al (2010), yaitu bahwa peluang karir dapat tercipta
dengan berorientasi pada QWL. Artinya pekerjaan merupakan penghubung antara
organisasi dan SDM nya, maka agar keduanya dapat memperoleh keuntungan
bersama, pekerjaan harus memberikan QWL yang baik melalui perancangan
pekerjaan.
Kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa penelitian di atas yaitu bahwa
kepuasan atas kualitas kehidupan kerja (QWL) akan memberikan banyak keuntungan
bagi karyawan dan perusahaan. Bagi karyawan sendiri, kepuasan atas kehidupan
kerjanya tentu dapat ditunjukkan melalui komitmen untuk bekerja sebaik-baiknya.
Perusahaan harus mengakomodasi berbagai kebutuhan dan hak karyawan bila ingin
meningkatkan kinerja mereka. Variabel-variabel QWL yang digunakan di dalam
beberapa penelitian di atas pada umumnya mengadopsi dari Cassio.
2.1.7 Definisi dan Sejarah Perilaku Ekstra Peran (Organizational Citizenship
Behavior)
Istilah atau tipe prestasi kerja yang disebut dengan Perilaku ekstra peran atau
Organizational Citizenship Behavior pertama kali diajukan oleh Dennis. W. Organ.
Organ mengusulkan bahwa OCB dapat mewakili bentuk yang lebih luas dari kinerja
pekerjaan yang bisa lebih cenderung berhubungan dengan anteseden seperti perilaku
pekerjaan dan tipe kepribadian (Podsakofet al 2000).
Dari deskripsi awal tersebut, OCB telah menjadi salah satu variabel yang lebih
banyak diteliti dalam literatur perilaku organisasi. Penelitian mengenai perilaku
ekstra peran (OCB) lebih banyak dilakukan di Amerika Serikat dan dalam konteks
global belum banyak dilakukan. Hanya pada tahun-tahun lalu dilakukan penelitian
OCB di Cina, Singapura, Taiwan, Australia, Jepang dan Hong Kong. Penelitian
tentang pengukuran OCB berbeda dengan yang dilakukan di AS karena alasan
budaya yang berbeda pada setiap negara.
47 Menurut Utomo (2002) perilaku kerja the extra role sering diistilahkan
sebagai “organizational citizenship behavior atau sering juga disebut prosocial
behavior, namun dari berbagai istilah tersebut memiliki suatu pengertian yang sama,
yaitu suatu perilaku kerja karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role),
tapi juga bekerja tidak secara kontrak mendapatkan kompensasi berdasarkan sistem
penghargaan atau sistem penggajian formal (beyond the job)”.
Karyawan memainkan peran yang berkontribusi kepada sesama karyawan.
Kontribusi tersebut seperti perilaku menolong sesama yang lain, kerelaan melakukan
pekerjaan tambahan, menjunjung prosedur dan aturan kerja tanpa menghiraukan
permasalahan pribadi merupakan satu bentuk dari prosocial behavior, sebagai
perilaku social yang positif, konstruktif, dan suka memberi pertolongan.
Berikut ini definisi organizational citizenship behavior (OCB) menurut Organ
dan Clay (1982) performa yang mendukung lingkungan sosial dan psikologi dimana
tanggung jawab berada di lingkungan tersebut. Secara harfiah definisi tersebut
menyebutkan adanya dukungan kepada lingkungan sekitar organisasi baik secara
sosial maupun secara psikologi. Hal ini akan meningkatkan fungsi efektif dari
organisasi.
Organ juga menjelaskan bahwa OCB ditemukan sebagai alternatif penjelasan
pada hipotesis “kepuasan berdasarkan performance”. Berikut ini penjelasan tentang
OCB:
“Sifat mementingkan kepentingan orang lain, seperti memberikan pertolongan
pada kawan sekerja yang baru, dan menyediakan waktu untuk orang lain (Altruism)
adalah ditunjukkan secara langsung pada individu-individu lainnya, akan tetapi
kontribusi terhadap efisiensi didasarkan pada peningkatan kinerja secara individual.
Sifat kehati-hatian, seperti efisiensi menggunakan waktu, tingkat kehadiran tinggi
(Conscientiousness) adalah kontribusi terhadap efisiensi baik berdasarkan individu
maupun kelompok. Sifat sportif dan positif, seperti menghindari complain dan
keluhan yang picik (Sportsmanship) adalah dengan memaksimalkan total jumlah
waktu yang dipergunakan pada usaha-usaha yang konstruktif dalam organisasi. Sifat
sopan dan taat, seperti melalui surat peringatan, atau pemberitahuan sebelumnya, dan
48 meneruskan informasi dengan tepat (Courtesy) adalah dengan membantu mencegah
timbulnya masalah dan memaksimalkan penggunaan waktu. Sifat bijaksanan atau
keanggotaan yang baik, seperti melayani komite atau panitia, melakukan fungsifungsi sekalipun tidak diwajibkan untuk membantu memberikan kesan baik bagi
organisasi. (Civic Virtue) adalah memberikan pelayanan yang diperlukan bagi
kepentingan organisasi”.(Tschannen-Moran, 2003).
2.1.8
Dimensi-dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Berikut ini dimensi dari OCB yang dikembangkan oleh Organ yang terdiri
dari lima dimensi utama, yaitu:
1
Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugastugas yang berkaitan dengan erat dengan operasional organisasi atau
mementingkan kepentingan orang lain.
2
Civic virtue, yaitu menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap
fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah atau
sukarela.
3
Conscientiousness, memuat kinerja yang dari prasyarat peran yang melebihi
standar minimum atau sifat kehati-hatian, seperti efisiensi menggunakan waktu,
tingkat kehadiran tinggi.
4
Courtesy, yaitu perilaku yang meringankan masalah atau problem yang
berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain atau sifat sopan dan taat,
seperti melalui surat peringatan, atau pemberitahuan sebelumnya, dan
meneruskan informasi dengan tepat.
5
Sportmanship, sifat sportif dan positif, seperti menghindari complain dan
keluhan yang picik.
Para peneliti telah mengembangkan beberapa pengukuran tentang OCB ini.
Salah satunya menggunakan skala Morisson merupakan alat pengukuran yang telah
disempurnakan dan memiliki kemampuan psikometerik yang baik (Aldag dan
Resckhe, 1997), yang mengukur kelima dimensi di atas:
1.
Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan
a) Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat
49 b) Membantu orang lain yang pekerjaannya overload
c) Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta
d) Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk
e) Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan
permasalahan pekerjaan
f) Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta
g) Membantu orang lain di luar departemen ketika mereka memiliki
permasalahan
h) Membantu pelanggan atau tamu jika mereka membutuhkan bantuan
2.
Conscientiousness, memuat kinerja yang dari prasyarat peran yang melebihi
standar minimum
a) Kehadiran kepatuhan terhadap peraturan
b) Tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai
c) Tepat waktu setiap hari walaupun cuaca tidak bagus dan alas an lain
d) Berbicara seperlunya dalam percakapan di telepon
e) Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan
f) Datang segera jika dibutuhkan
g) Tidak mengambil kelebihan waktu/cuti
3.
Sportmanship, sifat sportif dan positif
a) Menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat
b) Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi
c) Tidak mengeluh tentang segala sesuatu
d) Tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya
4.
Civic virtue, yaitu menunjukkan partisipasi sukarela
a) Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu image
organisasi
b) Memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang dianggap
penting
c) Membantu mengatur kebersamaan secara departemental
50 5.
Courtesy, yaitu perilaku yang meringankan masalah atau problem yang
berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain
a) Mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan dalam organisasi
b) Membaca dan mengikuti pengumuman-pengumuman organisasi
c) Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi
Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB dapat mempengaruhi keefektifan
organisasi karena beberapa alasan. Pertama, OCB dapat membantu meningkatkan
produktivitas rekan kerja. Kedua, OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas
manajerial. Ketiga, OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumberdaya
organisasional untuk tujuan-tujuan produktif. Keempat, OCB dapat menurunkan
tingkat kebutuhan akan penyediaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan
pemeliharaan karyawan. Kelima, OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif
untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar kelompokkelompok kerja. Keenam, OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk
mendapatkan
dan mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan
bahwa organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik. Ketujuh, OCB dapat
meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. Dan terakhir, OCB dapat meningkatkan
kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan
bisnisnya
2.1.9. Konsep dan Dimensi Perilaku Sebagai Warga Organisasi (OCB)
Organizational citizenship behavior atau OCB seringkali juga disebut sebagai
perilaku ekstra peran yang dianggap salah satu bentuk kinerja yang sulit diukur oleh
pengukuran tradisional (Dyne,1994). Beberapa penelitian tentang OCB telah banyak
dilakukan baik di bidang manajemen, organisasi serta bidang psikologi.
Penelitian OCB pada karyawan di universitas di Kanada yang dilakukan oleh
Skarlicki et al (1995), menggunakan A Behavioural Observation Scale (BOS)
digunakan untuk mengukur OCB dari rekan kerja pada sampel yang diteliti.
Sedangkan kinerja diukur dengan banyaknya jumlah publikasi, rating mahasiswa dan
lama bekerja. Jumlah publikasi termasuk penulisan artikel, penulisan buku, serta
51 publikasi atau preceding di suatu seminar pada lima periode tertentu. Faktor lamanya
bekerja juga mendorong karyawan untuk berperilaku ekstra peran.
Penelitian OCB sebagai variabel perantara menunjukkan bahwa OCB
berkontribusi terhadap fungsi dan efektivitas unit kerja (organisasi) sejauh mana
karyawan percaya bahwa OCB penting untuk kepentingan mereka sendiri. sarana
organisasi dan individu sebagian dimediasi antara kepemimpinan (kepemimpinan
transformasional dan penghargaan kontingensi) dan OCB. Dengan judul penelitian
Leadership and Organizational Citizenship Behavior: OCB-Specific Meanings as
Mediators originalitas penelitian Jiao et al (2011) ini terletak pada variabel
kepemimpinan transformasional yang memediasi OCB.
Pada umumnya penelitian mengenai OCB mengacu pada budaya barat, namun
penelitian yang dilakukan oleh Kumar dan Bakhshi (2005) melihat OCB dari
perspektif budaya lokal yaitu India. Sampel yang digunakan adalah karyawan fulltime pada bermacam-macam organisasi jasa. Walaupun skala pengukunguran
menggunakan terjemahan dari skala barat, namun konstruk OCB yang dikembangkan
di India dibuat lebih lokal agar sampel lebih memahami pertanyaan yang diajukan.
Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Mearaj (2010) yang melihat
pelaksanaan
organizational
Citizenship
Behavior
(Ocb)
Inside
Bahraini
Organizations. Peneliti melihat dimensi-dimensi OCB serta faktor-faktor lain yang
menyertainya, seperti gender, usia, ukuran organisasi, pengalaman kerja, tingkat
pendidikan, dan kepuasan kerja. Yang berbeda dari penelitian ini yaitu menggunakan
tiga faktor model dari Coleman and Borman yang telah diadopsi, ketiga model tersebut
adalah; Interpersonal citizenship, Organizational citizenship dan Job/task citizenship.
Konteks tema penelitian yang sama dilakukan oleh Lievens dan Anseel dari
(2004). Studi ini mengkaji dimensi ukuran dari sebuah OCB tertentu dalam konteks
berbahasa Belanda, karena mereka beranggapan bahwa OCB telah dipelajari secara
ekstensif selama bertahun-tahun di Amerika Serikat, pengukuran OCB relatif
mendapat perhatian yang terbatas dalam konteks internasional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk OCB yang didominasi dengan yang dipelajari di
Amerika Serikat tampaknya baik untuk dipakai secara internasional walaupun ada
52 beberapa perbedaan bila diterapkan di negara lain.
Dari beberapa penelitian mengenai perilaku ekstra pera (OCB) tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa penelitian mengenai OCB perlu memperhatikan konteks
lokal, dalam artian tidak sepenuhnya dimensi OCB di barat dapat diterapkan di
negara lain, namun perlu penyesuaian terutama terkait budaya lokal. OCB telah
dipelajari dan diteliti pada berbagai disiplin ilmu (HRM, marketing, ekonomi dan
kesehatan). Efektivitas organisasi dapat tercipta dengan praktek OCB tersebut.
Download