BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Aterosklerosis Aterosklerosis merupakan suatu proses perjalanan penyakit yang mulai terjadi pada fase awal kehidupan dan berlanjut secara progresif sehingga menimbulkan manifestasi klinis beberapa dekade kemudian. Hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) yang didasari oleh kejadian aterosklerotik diyakini menjadi penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2020 (Murray dkk, 1997) Pembentukan plak aterosklerosis merupakan proses yang berlangsung lama sekitar 20-30 tahun sebelum timbulnya presentasi klinis SKA ( Rosen dkk, 2009). Beberapa faktor risiko konvensional, diantaranya ; hiperkolesterolemia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan endotel arteri koroner (Antmann dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Fuster dkk, 2005; Kleinschmid 2006; Libby, 2001; Rosen dkk, 2009). Kerusakan (disfungsi) endotel ini mengawali proses aterosklerosis. Saat endotel mengalami kerusakan, makrofag akan menginfiltrasi endotel. Molekul low density lipoprotein (LDL) juga dapat masuk ke lapisan dinding pembuluh darah, untuk kemudian LDL tesebut diikat oleh makrofag, membentuk foam cell. Foam cell merupakan dasar pembentukan plak aterosklerosis. Plak yang melekat pada dinding endotel arteri koroner akan terus membesar dan mengalami kalsifikasi. Jika plak tersebut mengalami ruptur, maka akan timbul reaksi inflamasi lokal, vasokonstriksi koroner, aktivasi trombosit serta pengaktifan sistem koagulasi sebagai respons terhadap ruptur atau erosi plak (Cannon dkk, 2001; Fuster dkk, 2005; Kumar dkk, 2009; Libby, 2001) Universitas Sumatera Utara Pada keadaan stenosis maka aliran cadangan koroner dapat mempertahankan aliran basal disebelah distal stenosis. Pada stenosis 70% atau lebih aliran distal dari stenosis tidak mencukupi pada saat aktivitas atau latihan, sehingga menyebabkan iskemia miokard akibat tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan kemampuan pembuluh darah koroner menyediakan oksigen yang cukup untuk kontraksi miokard. Iskemia miokard ini dapat bermanifestasi berupa angina pektoris, infark miokard akut bahkan kematian mendadak. Gejala yang dirasakan berupa nyeri dada sentral ataupun retrosternal yang dapat menyebar ke salah satu maupun kedua lengan, leher, punggung ( Libby, dkk 2001). Nyeri sering timbul pada kegiatan fisik maupun emosi atau dapat timbul spontan sewaktu beristirahat. Penderita dengan angina pektoris dapat dibagi dalam beberapa subset yaitu angina pektoris stabil (APS ) dimana nyeri dada dicetuskan oleh suatu aktivitas fisik maupun faktor-faktor pencetus tertentu. Angina pektoris tidak stabil (APTS) dimana terjadinya nyeri dada ditandai dengan meningkatnya frekuensi, beratnya serta lama nyerinya. Bahkan dalam keadaan istirahat pun nyeri dada ini dapat muncul, sehingga dapat dikatakan terjadi crescendo ke arah perburukan gejala-gejalanya. Sedangkan yang ketiga adalah angina Prinzmetal (variant) yang terjadi karena spasme arteri koroner. Manifestasi lain dari iskemia miokard yaitu sindroma koroner akut yang biasanya disebabkan oleh adanya trombus dari arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh adanya ruptur plak yang kemudian diikuti dengan pembentukan trombus oleh trombosit. Keluhan yang ditimbulkan berupa rasa berat seperti tertekan, terhimpit, diremas-remas, terasa berat maupun terasa panas. Durasi nyeri biasanya lebih dari tiga puluh menit dan umumnya tidak berhubungan dengan aktivitas fisik. Diagnosis sindroma koroner akut ditegakkan bila memenuhi 2 dari 3 kriteria yaitu nyeri dada yang khas infark, perubahan dari EKG, serta peningkatan serum enzim jantung ( Rosen, dkk 2009). Iskemia miokard, baik berupa angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, sindroma koroner akut semua harus diberikan pengobatan dengan tujuan untuk membantu memperbaiki aliran darah koroner. Pengobatan dapat dimulai baik secara medik dengan obat-obatan seperti pada angina pektoris stabil maupun dengan tindakan intervensi perkutan ataupun intervensi bedah. Penderita dengan penyakit pembuluh Universitas Sumatera Utara darah koroner kiri utama, penyakit pembuluh darah koroner lebih dari dua (multi vessel coronary artery disease) yang telah dilakukan angiografi koroner yang tidak dapat dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) merupakan indikasi untuk dilakukannya operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK). Tujuan dari revaskularisasi pada pasien-pasien PJK adalah untuk mengurangi gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Bedah pintas arteri koroner (BPAK) telah dikenal sejak tahun 1960an. 2.2 Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) 2.2.1 Pengenalan Revaskularisasi surgikal untuk penyakit jantung koroner merupakan kesuksesan yang besar dalam bidang kesehatan. Mengurangi angina setelah revaskularisasi, meningkatkan toleransi dalam latihan dan adanya keuntungan yang nyata dalam hal survival kehidupan. Alexis Carrel menemukan adanya hubungan antara angina pektoris dengan adanya stenosis di arteri koroner (Shumacker dkk, 1992). Sebelum perang dunia pertama, ia menemukan suatu model aortocoronary anastomis yang menggunakan arteri karotis sebagai conduit. Pada tahun 1930an, Carrel dan Charles Lindbergh berkolaborasi untuk menciptakan mesin jantung paru yang sederhana untuk mendampingi operasi-operasi jantung. Pada tahun 1953, John Gibbon mengembangkan serta mengaplikasikan penggunaan teknik cardiopulmonary bypass (CPB) secara sukses (Gibbon dkk, 1978). Operasi jantung mulai masuk ke era modern sejak tahun 1950an. Tindakan operasi jantung secara langsung ke pasien pertama kali dilakukan oleh William Mustard pada tahun 1953 di Toronto, menggunakan carotid- to coronary bypass. Namun pasiennya tidak mampu bertahan. William Longmira pertama kali yang mengaplikasikan teknik coronary endarterectomy pada right coronary artery secara langsung pada pasien pada tahun 1958. Michael DeBakey dan Edward Garrett juga memiliki pengalaman yang sama yakni dengan left anterior descending (LAD) coronary endarterectomy. Kondisi ini diselamatkan akibat adanya graft yang dipasang dari vena saphena ke dalam arteri koroner. Dan hal ini bisa bertahan sampai 8 tahun, setelah dilakukan evaluasi kemudian. Pengalaman ini merupakan suatu hal yang sukses sehingga kemudian dicatat sebagai operasi pertama kali yang sukses yang menggunakan vena saphena sebagai graft di arteri koroner. Pada tahun 1962, David Universitas Sumatera Utara Sabiston melakukan tindakan operasi aortocoronary SVG yang melibatkan teknik endto-end di Duke tanpa menggunakan CPB, walaupun hasil akhirnya jelek (Sabiston dkk, 1998, Mueller dkk, 1997). Akhirnya, Sones dan Favaloro membentuk suatu tim kerja yang menunjukkan efikasi dan keamanan dari penggunaan vena saphena dan aortocoronary, dapat digunakan pada pasien-pasien dengan single vessel, LM disease, maupun multivessel disease. Sehingga akhirnya, tindakan operasi arteri koroner merupakan suatu prosedur tindakan operasi yang sering dan berkembang di daerah Amerika Serikat. Kemudian V.I Kolessov mengenalkan pemakaian IMA (internal mammaria arteri) sebagai saluran untuk revaskularisasi koroner yang memberikan aplikasi klinis yang sukses dalam hal era operasi bedah pintas arteri koroner (Kolessov dkk, 1967, Effler dkk,1988) . 2.2.2 Indikasi Bedah Pintas Arteri Koroner Operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) diindikasikan untuk mengurangi gejala angina dan untuk memperpanjang hidup dari si pasien. Sebagai tambahan, perpanjangan harapan hidup menjadikan BPAK menjadi terapi yang penting. Selain itu, BPAK bukan hanya efektif mengurangi angina tetapi juga bisa membebaskan pasien dari adanya angina serta membebaskan pasien untuk mengkonsumsi obatobatan antiangina. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa randomized trial (Serruys ,dkk 2001). Namun, manfaat yang nyata dari BPAK dalam hal mengurangi/ menghilangkan gejala sebanding dengan adanya risiko dari operasi itu sendiri. Risiko ini sebenarnya dapat sangat minimal pada kelompok-kelompok pasien tertentu. Namun ada hal juga yang harus diingat bahwa BPAK ini bermanfaat dalam mengurangi gejala yang merupakan manifestasi dari penyakit jantung koroner (PJK) bukan mengurangi proses terjadinya PJK. Dikarenakan proses PJK masih terus berlangsung maka tidak tertutup kemungkinan munculnya keluhan angina pada pasien-pasien yang telah mengalami BPAK (Eagle K, dkk 2004). Namun secara umum munculnya keluhan angina pada 5 tahun pertama setelah operasi relatif rendah, Universitas Sumatera Utara sejalan dengan waktu seiring proses aterosklerosis yang terus berjalan maka 5 tahun setelah operasi maka keluhan angina itu mungkin dapat muncul kembali. Hal itu harus dijelaskan pada pasien-pasien yang akan ataupun yang telah menjalani operasi BPAK. 2.2.2.1 Pasien tanpa gejala atau pasien dengan gejala yang ringan Kelas I (Eagle KA dkk, 2004): 1. BPAK sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien tanpa gejala ataupun gejala yang ringan yang memiliki lesi di left main yang bermakna (level A) 2. BPAK sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien tanpa gejala ataupun gejala yang ringan yang memiliki lesi left main equivalent : yaitu lesi ≥ 70% di proksimal LAD dan proksimal LCx (Level A) 3. BPAK bermanfaat pada pasien-pasien tanpa gejala iskemia maupun gejala yang ringan yang memiliki 3-vessel disease (lebih bermanfaat pada pasien yang memiliki fungsi ejeksi ventrikel kiri < 50% (level C) Kelas IIa BPAK dapat bermanfaat pada pasien-pasien dengan tanpa gejala maupun gejala yang ringan yang memiliki lesi di proksimal LAD dengan 1 atau 2 vessel disease (rekomendasi ini dapat menjadi kelas I jika dijumpai iskemia yang luas serta ada bukti dokumentasi non invasif dan atau tanpa fungsi ejeksi ventrikel kiri lebih kecil dari 50%) (level A) Kelas IIb BPAK dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan tanpa gejala ataupun gejala yang ringan yang memiliki lesi 1 atau 2 vessedl disease namun tanpa adanya lesi di proksimal LAD (Level B) 2.2.2.2 Pada angina yang stabil Kelas I (Eagle KA dkk, 2004): Universitas Sumatera Utara 1. BPAK direkomendasikan untuk pasien-pasien dengan angina yang stabil yang memiliki lesi yang bermakna pada left main (level A). 2. BPAK direkomendasikan pada pasien-pasien dengan angina yang tabil yang memiliki lesi left main equivalent (level A). 3. BPAK direkomendasikan pada pasien-pasien dengan angina yang tabil yang memiliki 3-vessel disease (level A) . 4. BPAK direkomendasikan pada pasien-pasien dengan angina yang tabil yang memiliki 2-vessel disease dengan lesi yang signifikan di proksimal LAD dan memiliki fungsi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) kurang dari 50% (level A). 5. BPAK direkomendasikan pada pasien-pasien dengan angina yang tabil yang memiliki 1 atau 2-vessel disease tanpa lesi yang signifikan di proksimal LAD namun dengan masih cukupnya miokard yang viabel (level B) Kelas IIa 1. BPAK dapat dilakukan pada pasien dengan angina yang stabil yang memiliki lesi di proksimal LAD dengan 1-vessel disease (level A). 2. BPAK dapat bermanfaat pada pasien dengan angina stabil yang memiliki 1 atau 2 vessel disease tanpa lesi di LAD proksimal yang bermakna (level B). Kelas III 1. BPAK tidak direkomendasikan pada pasien dengan angina stabil yang memiliki 1 atau 2 vessel disease yang tidak mencakup lesi yang bermakna di proksimal LAD, pada pasien yang memiliki gejala yang ringan ataupun pada pasien-pasien yang belum mendapatkan terapi medikal maksimal (level B). 2. BPAK tidak direkomendasikan pada pasien dengan angina stabil yang memiliki lesi 50%-60% (kecuali di left main). 3. BPAK tidak direkomendasikan pada pasien dengan angina stabil yang memiliki lesi yang tidak bermakna yaitu lesi dibawah 50%. 2.2.2.3 Pada pasien dengan angina pektoris yang tidak stabil (APTS) / IMA non elevasi segmen ST Kelas I Universitas Sumatera Utara 1. BPAK disarankan pada pasien-pasien dengan (APTS) / IMA non elevasi segmen ST dengan lesi bermakna di left main (Level A). 2. BPAK disarankan pada pasien-pasien dengan (APTS) / IMA non elevasi segmen ST dengan lesi left main equivalent yang bermakna (lesi diatas 70%), lesi di proksimal LAD dan proksimal LCx (level A). 3. BPAK disarankan pada pasien-pasien dengan (APTS) / IMA non elevasi segmen ST dimana iskemia terus berlanjut dan tidak respon terhadap terapi non bedah (level B). Kelas IIa BPAK diindikasikan pada pasien dengan APTS/IMA non elevasi segmen ST yang memiliki lesi di proksimal LAD dengan 1 atau 2-vessel disease (Level A). Kelas IIb BPAK dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan APTS/IMA non elevasi segmen ST yang memiliki 1 atau 2 vessel disease yang tidak mencakup lesi di proksimal LAD dimana tindakan revaskularisasi per kutan tidak optimal (level B). 2.2.2.4 IMA dengan elevasi segmen ST Kelas I Emergensi atau BPAK yang urgensi pada pasien-pasien dengan IMA dengan elevasi segmen ST harus dilakukan pada keadaan-keadaan (Hillis dkk ,2011, Eagle KA dkk, 2004): a. Tindakan angioplasty yang gagal dengan nyeri yang persisten ataupun hemodinamik yang tidak stabil dimana anatomi arteri koronernya memungkinkan untuk dilakukannya BPAK (level B). b. Nyeri dada yang persisten ataupun berulang yang sulit diatasi dengan terapi medikal (Level B). c. Di waktu yang sama dengan repair septum ventrikel yang ruptur ataupun repair dari katup mitral yang regurgitasu (level B). Universitas Sumatera Utara d. Pada pasien-pasien usia dibawah 75 tahun dengan syok kardiogenik dengan IMA dengan elevasi segmen ST ataupun dengan blok cabang berkas kiri dimana terjadinya syok setelah 36 jam dari IMA dan dapat dilakukan revaskularisasi dalam 18 jam setelah syok (level A). e. Pasien dengan aritmia yang mengancam kehidupan dimana didapati lesi 50% left main dan atau dengan 3-vessel disease (Level C). Kelas IIa (Hills dkk ,2011, Eagle KA dkk, 2004): 1. BPAK dapat dilakukan sebagai reperfusi primer dimana terapi fibrinolitik maupun IKP gagal dalam 6-12 jam dari onset IMA. 2. Pada pasien dengan IMA elevasi segmen ST maupun IMA tanpa elevasi segmen ST, angka mortalitas BPAK meningkat dalam 3 – 7 hari setelah infark dan manfaat revaskularisasi harus seimbang dengan peningkatan risikonya. 2.2.2.5 Fungsi ventrikel kiri (LVEF) yang jelek Kelas I (Hills dkk ,2011, Eagle KA dkk, 2004): 1. BPAK sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang jelek yang memiliki lesi yang bermakna di left main (level A). 2. BPAK sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang jelek yang memiliki lesi left main equivalent yang bermakna. 3. BPAK sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang jelek yang memiliki lesi di proksimal LAD dengan 2 atau 3 vessel disease. Kelas IIa BPAK dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri (LVEF) yang jelek dengan miokardium yang masih layak untuk dilakukan revaskularisasi (level B). Kelas III Universitas Sumatera Utara BPAK sebaiknya tidak dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang jelek tanpa adanya bukti iskemia yang berulang dan tanpa adanya bukti miokardium yang masih dapat dilakukan revaskularisasi. 2.2.3. Teknik Operasi BPAK Sejauh ini dikenal ada 2 teknik yang dipakai dalam melakukan tindakan BPAK, off-pump yaitu teknik operasi tanpa menggunakan mesin Cardiopulmonary bypass (CPB) serta teknik on-pump menggunakan mesin CPB. Meskipun banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk membandingkan mana yang lebih baik diantara kedua teknik operasi tersebut, namun secara umum hanya melaporkan hasil awal dari operasi dari masing-masing teknik tersebut. Teknik On pump yaitu merupakan teknik yang sering dilakukan pada awal-awal tindakan BPAK mulai berkembang. Dengan teknik ini, operator bekerja dengan pompa jantung yang diambil alih oleh mesin, untuk operator teknik ini membuat nyaman. Namun akhirnya ternyata dengan teknik ini ditimbulkan beberapa masalah yang ditemukan, seperti systemic inflammatory response syndrome (SIRS), post-pump syndrome, post-perfusion syndrome dan adult respiratory distress syndrome (ARDS),yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya gagal organ multipel seperti gangguan pada ginjal, sistem persyarafan, jantung, pencernaan serta hematologi ( Kaya dkk, 2010). Sejak ditemukannya beberapa kelemahan dari teknik pemakaian CPB dalam tindakan BPAK, teknik off pump mulai dilirik kembali. Sebenarnya teknik off pump ini bukanlah teknik yang baru, Kolesov dan Favaloro sendiri telah melaporkan penggunaan teknik ini pada tahun 1960an. Pada awalnya teknik off pump ini memang terasa lebih sulit untuk dilakukan namun sejalan dengan waktu dan perkembangan zaman,teknik ini mulai untuk dilakukan kembali. Dengan teknik ini, tindakan BPAK dilakukan dalam keadaan jantung yang tetap bekerja. Indikasi utama dilakukannya off pump dari segi kardiologinya adalah multivessel disease , sedangkan dari sisi non kardiologinya antara lain pasien dengan usia yang tua, pasien dengan gangguan ginjal, adanya riwayat penyakit neurologi sebelumnya. Tujuan Off pump menghindari pemakaian CPB untuk mencegah perburukan, mencegah pemakaian CPB untuk mengurangi komplikasi neurologi, ginjal, perdarahan. Namun off pump sendiri Universitas Sumatera Utara memiliki kelemahan yaitu adanya sternotomy yang lengkap, sehingga meningkatkan trauma bedah, meningkatkan risiko infeksi. 2.2.4. Beberapa keadaan khusus BPAK 2.2.4.1.BPAK pada pasien-pasien dengan usia tua Pada usia-usia tua ( 70 tahun atau lebih) secara umum memiliki komorbid-komorbid lain seperti diabetes melitus, hipertensi, PPOK, serta kelainan ginjal (Eagle KA, 2004, Hills dkk 2011, Ivanov,dkk 1998) . Kombinasi komorbid-komorbid ini dengan penyakit koroner yang lanjut meningkatkan komplikasi baik yang fatal maupun yang tidak fatal setelah maupun pada saat dilakukannya BPAK (Lin dkk, 2010). Strok, low output syndrome, komplikasi gastrointestinal, infeksi luka operasi, gagal ginjal dan penggunaan IABP adalah kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul pada pasienpasien yang tua yang menjalani BPAK (McGrath LB, dkk 1990, Moshkovitz Y, dkk 1997) . Gambar 2.1 : persentase angka kematian pada pasien-pasien yang menjalani BPAK berdasarkan usia (Hannan,dkk 1994) Selama 20 tahun terakhir, angka kematian pada orang tua berkisar 5% - 20% rata-rata 8,9% pada yang menjalani operasi BPAK murni. Prediktor preoperatif untuk terjadinya angka kematian maupun angka kesakitan pada 30 hari di rumah sakit antara lain fungsi ventrikel kiri yang rendah, recent AMI (kurang dari 30 hari) , left main disease ataupun 3-vessel disease, operasi BPAK yang mendesak, re-operasi, Universitas Sumatera Utara penurunan fungsi ginjal, cerebrovascular disease, riwayat merokok, obesitas, dan wanita (Applebaum dkk, 1991, Kurki dkk 1996). Beberapa faktor dari tindakan operasi itu sendiri yang dapat meningkatkan angka kematian pada pasien-pasien tua yang menjalani BPAK antara lain penggunana bilateral IMA graft, lamanya pemakaian mesin pompa jantung dengan atau tanpa crossclamp time, jumlah graft yang diperlukan ( He dkk, 1994, Canver dkk 1996, Stahle dkk, 1991). Obesitas sendiri merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi pada pasien-pasien yang mendapatkan bilateral IMA graft. BPAK sendiri tanpa menggunakan mesin pompa jantung paru mungkin akan lebih bermanfaat pada pasienpasien yang memiliki resiko tinggi operasi. Atrial fibrilasi setelah operasi merupakan masalah bagi sebagian pasien-pasien yang menjalani BPAK. Hubungan antara atrial fibrilasi dengan post operasi termasuk diantaranya usia diatas 70 tahun, laki-laki, adanya komplikasi pulmonal, waktu pemakaian mesin ventilasi lebih dari 24 jam serta penggunaan IABP. Atrial fibrilasi memberikan dampak terhadap lamanya rawatan rumah sakit (Aranski dkk, 1996). Variabel preoperatif yang berhubungan dengan angka harapan hidup jangka panjang pada pasien-pasien yang tua termasuk di dalamnya atrial fibrilasi, merokok, fungsi ginjal yang menurun (creatinine clearance yang menurun). Sebagai kesimpulan, pada pasien-pasien yang berusia 70 tahun atau lebih yang akan menjalani BPAK secara umum memilki risiko kematian dan kesakitan yang lebih tinggi baik itu yang berhubungan langsung dengan prosedur operasi seperti usia, fungsi ventrikel kiri, luasnya penyakit koronernya, kondisi komorbid lainnya (Boucher,dkk 1997). Pasien dan dokter harus bekerja sama untuk mencari manfaat yang potensial dari tindakan BPAK tersebut, walaupun pada dasarnya usia itu sendiri bukan merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya tindakan operasi BPAK (Pasic, dkk 1992, Edwards, dkk 1991). 2.2.4.2. BPAK pada pasien-pasien wanita Penelitian-penelitian sebelumnya membuktikan bahwa wanita merupakan faktor risiko independen yang lebih tinggi dalam angka kematian maupun kesakitan di rumah sakit walau untuk jangka panjangnya risiko kematian maupun kesakitan setelah Universitas Sumatera Utara BPAK itu sama ( Brandrup dkk, 1996, Findlan 1994, Risum dkk, 1997). Beberapa penelitian terdahulu menduga wanita memiliki kondisi klinik pre operasi yang tidak menguntungkan. Termasuk di dalamnya umumnya wanita mendapatkan pengobatan di usia yang lebih tua, dengan fungsi ventrikel kiri yang lebih jelek, lebih sering dengan APTS, dengan gagal jantung, 3-vessel maupun left main disease serta beberapa kondisi komorbid lainnya seperti gangguan ginjal, diabetes melitus, hipertensi. Dan secara umum, wanita juga terlambat untuk dilakukan tindakan coronary angiography, serta umumnya wanita juga mengalami keluhan yang lebih berat dari pada laki-laki meskipun secara coronary angiography hampir mirip dengan yang dialami laki-laki. Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa ukuran arteri koroner wanita umumnya lebih kecil dibanding ukuran arteri koroner laki-laki yang memungkinkan memberikan kontribusi pada angka kematian yang lebih tinggi. Begitu juga dengan penggunaan IMA, umumnya penggunaan IMA pada wanita lebih jarang dibandingkan dengan lakilaki (Ramstrom dkk, 1993). Komplikasi post operasi pada wanita termasuk diantaranya SKA, strok, reoperation karena perdarahan, insufisiensi ginjal, gagal jantung, low cardiac output syndrome. Untuk wanita, faktor risiko independen untuk jangka panjang yang jelek termasuk didalamnya usia, riwayat SKA, riwayat BPAK sebelumnya, serta diabetes melitus (Davis, dkk, 1995). Sebagai kesimpulan, memang angka kematian, kesakitan serta angka harapan hidup jangka panjang berhubungan dengan jenis kelamin, namun bukan berarti pada wanita yang memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi BPAK di tunda atau dibatalkan hanya karena ketakutan akan angka kematian maupun angka kesakitan yang tinggi setelah operasi BPAK (Eagle,dkk 2004). 2.2.4.3. BPAK pada pasien-pasien dengan diabetes melitus Pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai dengan diabetes melitus, memiliki resiko 3x lipat angka kematiannya dibandingkan pasien yang memiliki penyakit jantung koroner tanpa diabetes (Aronson, dkk, 1996, Hillis 2011). Bukan hanya frekuensi terjadinya akut koroner sindroma saja yang meningkat pada pasienpasien dengan diabetes melitus, namun dibandingkan pasien-pasien tanpa diabetes, pengobatan pada pasien diabetes dengan penyakit jantung koroner juga lebih rumit. Universitas Sumatera Utara Pasien-pasien penyakit jantung koroner dengan diabetes cenderung memiliki infark yang lebih luas, lebih sering mengalami gagal jantung, syok, aritmia (Fava dkk, 1997) Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes tanpa memandang usia, memiliki angka kematian dua kali lipat dalam dua tahun pertama setelah operasi BPAK dibandingkan pasien-pasien tanpa diabetes. Angka kematian dalam 30 hari pertama setelah operasi BPAK pada penderita diabetes sekitar 6,7% dan dalam 2 tahun berkisar 7,8%. Meskipun terjadi peningkatan angka kematian dan kesakitan setelah BPAK, namun dari BARI trial menunjukkan bahwa pada pasien diabetes dengan multivessel coronary disease memiliki hasil yang lebih baik setelah revaskularisasi koroner dengan BPAK dibanding IKP. Meskipun angka kematian pada pasien yang menjalani BPAK dengan diabetes melitus itu lebih tinggi dibandingkan pada pasien tanpa diabetes, namun BPAK lebih baik sebagai cara revaskularisasi koroner pada penderita diabetes dibandingkan terapi medikal maupun IKP (Eagle dkk, 2004). 2.2.4.4. BPAK pada pasien-pasien dengan gagal ginjal Penyakit kardiovaskular merupakan prediktor kematian pada pasien-pasien dengan end-stage renal disease (ESRD),sekitar 54% dari seluruh angka kematian. Pasien-pasien dengan ESRD umumnya memiliki faktor risiko dalam angka kematian kardiovaskular termasuk didalamnya hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, gangguan miokardial, gangguan metabolisme lemak, anemia, serta peningkatan level plasma homosistein. Indikasi untuk dilakukannya BPAK pada pasien-pasien dengan ESRD sama dengan pada pasien-pasien yang mengalami penyakit jantung koroner yang tanpa ESRD ( Eagle dkk, 2004). Revaskularisasi koroner, baik dengan BPAK maupun IKP memiliki angka harapan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan terapi medis standar. Meskipun pasien-pasien tersebut memiliki risiko angka kematian dan kesakitan yang meningkat pada pasien-pasien dengan ESRD namun mereka akan lebih memiliki risiko lebih tinggi jika hanya di terapi dengan terapi konservatif. Perlu diingat bahwa pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik jelas berbeda dengan pasien-pasien lain yang juga menjalani revaskilarisasi koroner. Pasien-pasien dengan ESRD lebih sering memiliki kondisi komorbid lainnya, termasuk hipertensi, diabetes yang masing-masing memiliki efek jangka pendek maupun jangka panjang Universitas Sumatera Utara dalam hal angka harapan hidup. Sebagai tambahan, infeksi dan sepsis telah diidentifikasi sebagai penyebab yang signifikan terhadap angka kematian maupun angka kesakitan pada pasien-pasien dengan ESRD yang menjalani prosedur operasi BPAK (Eagle dkk, 2004, Hillis dkk, 2011). Sebagai kesimpulan, BPAK dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan ESRD yang tergantung pada dialisis dengan peningkatan risiko kematian dan kesakitan yang masih dapat ditolerir. Tahap awal dari revaskularisasi, pasien berharap gejala angina bisa menjadi ringan diiringi juga dengan peningkatan perbaikan fungsi lainnya. 2.2.4.5. BPAK pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun Disfungsi ventrikel kiri berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perioperative maupun risiko kematian jangka panjang dibandingkan dengan pasienpasien dengan fungsi ventrikel kiri yang normal. Gagal jantung serta rendahnya nilai fungsi ventrikel kiri dapat memprediksi tingginya angka kematian pada BPAK. Namun, manfaat yang diperoleh dari revaskularisasi koroner pada pasien dengan penyakit jantung iskemia dengan disfungsi ventrikel kiri yang jelek terbukti secara nyata lebih baik dibandingkan dengan terapi medikal ( Eagle dkk,2004, Hillis dkk, 2011). BPAK direkomendasikan pada pasien-pasien dengan severe multivessel disease dan fungsi ventrikel kiri yang jelek namun miokardium yang masih viable. 2.2.5. Faktor prediktor angka kematian pada BPAK Dari beberapa sumber data, didapati ada 7 variabel utama yang dapat digunakan sebagai prediktor kuat dalam memprediksikan angka kematian maupun angka kesakitan di rumah sakit pada pasien-pasien yang telah menjalani tindakan BPAK. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain urgensi atau tidaknya tindakan BPAK tersebut, usia, riwayat BPAK sebelumnya, jenis kelamin, fungsi ventrikel kiri, persentasi lesi di left main, dan jumlah arteri koroner utama yang mengalami sumbatan lebih dari 70% (Valvukis dkk,2006). Selain ketujuh variabel utama tadi, ada beberapa variabel yang ikut memperberat angka kematian termasuk di dalamnya tinggi badan, berat badan, riwayat sindroma koroner akut di bawah satu minggu, riwayat adanya angina, riwayat adanya Universitas Sumatera Utara aritmia ventrikel, gagal jantung, mitral regurgitasi, diabetes, penyakit serebrovaskular, penyakit arteri perifer, gangguan ginjal serta level kadar kreatinin, on pump atau off pump, CPB time. Usia secara konsisten dapat dijadikan prediksi kematian setelah BPAK, dimana adanya peningkatan usia akan berhubungan dengan peningkatan angka kematian (Eagle dkk, 2004). Jenis kelamin juga dapat dijadikan sebagai prediktor kematian awal di rumah sakit setelah tindakan BPAK. Dimana jenis kelamin wanita lebih berisiko dibandingkan jenis kelamin pria dalam angka kematian setelah BPAK. Ukuran tubuh yang lebih kecil, ukuran arteri koroner yang lebih kecil, peningkatan usia, kondisi komorbid yang memperberat inilah alasan mengapa wanita lebih berisiko daripada pria, walau dalam jangka panjangnya peningkatan risiko tersebut setara dengan pria. Sehingga sebelum mengambil keputusan untuk dilakukannya tindakan revaskularisasi terhadap pasien dengan penyakit jantung koroner berupa tindakan BPAK, dokter dan pasien harus lebih berhati-hati terhadap risiko yang mungkin dapat terjadi termasuk didalamnya adalah kematian. Universitas Sumatera Utara 2.3 Kerangka Teori: Aterosklerosis Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner Revaskularisasi koroner IKP BPAK Off Pump On Pump 1. Urgensi/tidak BPAK 2. Usia 3. Riw. BPAK sebelumnya 4. Jenis kelamin 5. Fungsi ventrikel kiri 6. Lesi di Left Main 7. Jumlah koroner yang stenosis > 70% Angka MACE Universitas Sumatera Utara 2.4. Kerangka Konsep BPAK Off pump On pump 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Urgensi/tidak BPAK Usia Riw. BPAK sebelumnya Jenis kelamin Fungsi ventrikel kiri Lesi di Left Main Jumlah koroner yang stenosis >70% MACE ( kematian, perdarahan, strok, kematian) di RS Universitas Sumatera Utara