TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Globalisasi, Roving Bandits dan Sumberdaya Kelautan Perikanan Tingginya pemanfaatan hasil laut dunia, menjadikan cermin tentang krisis sumberdaya perikanan global. FAO melaporkan pada Tahun 2005 terjadi penangkapan perikanan laut dunia mencapai 84,2 juta ton (Satria, et.al., 2009c: 1). Dengan adanya krisis perikanan laut dunia, menjadikan cermin dalam pengelolaan perikanan bertanggung jawab dan memperhatikan ekosistem untuk kedepannya, guna menjawab pembangunan perikanan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan jika kelestarian sumberdaya ikan di suatu negara terganggu, dikhawatirkan akan merusak ataupun mengganggu perikanan global, karena stok ikan di negara lain pun ikut terganggu, khususnya untuk komoditas ikan yang mempunyai sifat fleet migration, lintas teritorial negara (transboundary) (Satria, et.al.2009c:2). Satria (2009b: 129-; 2009c: 117), mengemukakan bahwa globalisasi perikanan terdapat dalam tiga isu, yaitu globalisasi produksi, globalisasi pengelolaan sumberdaya dan globalisasi perdagangan. Isu pertama adalah globalisasi produksi, produksi perikanan suatu negara sangat tergantung pada sumberdaya ikan global. Dalam globalisasi produksi terdapat polarisasi antara kekuatan investor antara negara maju (NM) dengan nengara sedang berkembang (NSB) seperti Indonesia. NSB, dinilai lamban dalam menyiasati kebijakan produksi perikanan dan akhirnya mengalami penurunan dalam produksi perikanan. Sedangkan NM memiliki investor dengan kekuatan modal dan teknologi berlebih, sehingga terjadi ekspansi produksi perikanan terhadap wilayah NSB. Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, baik NM maupaun NSB, diharuskan tunduk pada konvensi internasional tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari. Konsekuensi dari pembangkangan terhadap konvensi internasional, akan dikenai sanksi melakukan praktek Illegal, Unregullated, Unreported Fishing, termasuk dalam pencurian dan tangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Sedangkan isu ketiga, globalisasi perdagangan dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi NSB. Peluangnya adalah NSB mempunyai kesempatan besar untuk meraih pasar NM, sedangkan ancamannya adalah bahwa keuntungan dari hasil perdagangan hanya akan 13 dinikmati oleh eksportir atau pengusaha besar, sedangkan nelayan hanya menikmati harga lokal yang menjadi permainan eksportir. Produksi seringkali dikaitkan sebagai hasil dari proses kerja. Bernstein (2010), secara inisial mendefinisikan bahwa produksi sebagai hasil dari suatu proses dimana buruh/pekerja memanfaatkan sumberdaya sebagai wujud untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pekerja yang memproduksi hasil dari proses kerja, memanfaatkan sumerdaya alam sebagai produser dalam lingkungannya. Dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan adalah aktor produser yang memproduksi hasil komoditas tersebut. Proses produksi tersebut utuk menghasilkan perdagangan melalui proses distribusi sebagai penyalur hasil produksi dari produser ke konsumen. Damsar (2009), menyebutkan, distribusi adalah sebuah media pertukaran yang terdapat di dalamnya suatu perangkat hubungan sosial untuk mengalokasikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen dalam sirkulasi perdagangan melalui pertukaran media pasar. Aktor distribusi adalah aktor yang mempunyai modal dan mampu membeli hasil produksi dari produsen. Middle man adalah aktor yang mempunyai kemampuan secara modal dan jaringan pemasaran dalam memanfaatkan pertukaran hasil produsen ke konsumen. Produksi bukan hanya proses yang terkait dengan hasil dan kerja saja, tetapi lebih mendalam tentang hubungan antara pekerja dan pemilik modal dalam usahanya memanfaatkan sumberdaya alam termasuk penggunanaan teknologi, pemberian modal dan jaminan sosial keamanan. Radjawali (2011; 2012), dalam usaha produksi ikan konsumsi karang hidup, punggawa (middle man) sebagai pemilik modal memberikan kepada nelayannya modal bekal untuk menangkap ikan, teknologi sebagai peralatan alat tangkap, kapal, memberikan jaminan sosial dan keamanan terhadap aktifitas produksinya. Sedangkan sawi sebagai nelayannya menyerahkan dan menjual hasil tangkapannya kepada punggawa untuk keberlangsungan proses produksi dan distribusi dalam rangkain rantai perdagangan (supply chain) komoditas ikan konsumsi karang hidup sampai tahap eksportir ke konsumen Hong Kong. Johannes and Rippen (1995), menyatakan bahwa perusahaan perikanan Hong Kong memulai eksploitasi ikan konsumsi karang hidup di sekitar laut China 14 Selatan pada awal Tahun 1968. Ikan konsumsi karang hidup dikonsumsi sampai ke konsumen dalam keadaan hidup setelah penangkapan, tetapi pada awalnya kebanyakan komoditas tersebut adalah ikan air tawar dan beberapa jenis ikan laut yang ditangkap secara sedikit oleh nelayan lokal. Setelah Tahun 1968, tingkat konsumerisme meningkat untuk lebih mengkonsumsi ikan yang mempunyai warna mencolok seperti jenis ikan karang tropis. Laju perkembangan ekonomi di Asia Tenggara pada saat itu juga mendukung munculnya elit-elit Hong Kong yang mampu membeli komoditas ikan konsumsi karang hidup. Oomen (1998) dalam Donnelly (2009), menyatakan bahwa adanya hubungan kultur China-Hong Kong dengan mengkonsumsi ikan konsumsi karang hidup yang biasanya penuh dengan identik warna merah. Mitos China mengatakan apabila mengkonsumsi karang hidup menambahkan kekuatan dan keberkahan dalam hidup dan akan mengalami proses reinkarnasi pada kehidupan selanjutnya yang lebih baik dengan kehidupan saat ini. Perdagangan ikan karang konsumsi hidup di Indonesia dimulai dengan masuknya kapal Hong Kong sekitar dekade 1980-an (Radjawali, 2011). Pengusaha perikanan dari Hong Kong mempekerjakan nelayan di Kepulauan Spermonde sebagai penyelam untuk menangkap ikan karang hidup. Mereka jugalah yang membeli dan mengirim langsung ke Hong Kong dengan menggunakan kapalnya sendiri yang dilengkapi bak akuarium besar sehingga ikan-ikan tersebut bisa hidup dalam perjalanan dari Spermonde ke Hong Kong. Fenomena masuknya investor ikan konsumsi karang hidup, merupakan fenomena roving bandit. Secara terminologi roving bandit merupakan bentuk kontras dari stationary bandits, Olson (2000) dalam FAO (2009: 11-12). Roving bandit merupakan bentuk ekspansi sumberdaya perikanan yang tidak mempunyai insentif dan tanggung jawab dalam ekspansi sumberdaya perikanan. Hal ini merupakan peran roving bandits yang dijalankan oleh aktor dengan mobilitas tinggi, dimana dapat mengekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan efisien. Ketika sumberdaya perikanan mulai menurun ataupun tidak mempunyai keuntungan dalam jangka waktu yang lama, roving bandits akan berpindah dan menemukan area baru untuk eksploitasi. Dampak dari ekspansi roving bandits adalah tidak ada konseksuensi tanggungjawab terhadap wilayah yang telah di 15 eksploitasi untuk memulihkan kembali potensial wilayah perikanannya. FAO (2009), menyebutkan bahwa fenomena roving bandits, sebagai modernisasi perikanan yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: 1). Kemampuan teknik peralatan dan teknologi, seperti kapal dan teknologi penangkapan lainnya, 2). Operator perdagangan yang mumpuni. Sehingga modernisasi perikanan menguasai dua modal, yaitu teknologi dan jaringan pasar. Pengaruh dari hadirnya roving bandits merupakan bentuk dari “tragedy of the commons” yang melekat sifat bebas akses (open access) terhadap sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan akan mengalami deplesi sebagai bentuk dari pengaruh globalisasi, seperti pengaruh pasar baru yang menyebabkan terjadinya ekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan terus menerus (Berkes, et,al. 2006). 2.2. Struktur Sosial Masyarakat Nelayan Struktur sosial sangat erat sekali hubungannya dengan sistem sosial. Struktur sosial melekat pada hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial. Pola hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial terwujud dalam rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Hak dan kewajiban antar interaksi pelaku tersebut melekat pada peran dan status antar pelaku. Status dan peran itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam masyarakat menurut kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang berkaitan dengan kesatuan sosial dan interaksi sosial. Menurut Satria (2002), status adalah kumpulan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing aktor (pelaku), sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status. Status dan peran seorang nelayan berbeda dengan status dan peran seorang bos. Peran dan status pada suatu masyarakat diatur oleh norma-norma yang diakui dan dipatuhi oleh pelaku. Kompleksitas karakteristik struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat, semakin modern masayarakat tersebut maka semakin luas interaksi sosialnya dan semakin banyak pula sumber status, peran, hak dan kewajiban antar pelakunya. Satria (2002), menyebutkan karakteristik masyarakat pesisir sebagari representasi komunitas desa-pantai yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 16 1. Sistem pengetahuan Pengetahuan merupakan indigenous knowledge tentang teknik penangkapan ikan yang didapat secara turun temurun dari nenek moyang. Pengetahuan lokal tersebut merupakan kekayaan hingga kini terus dipertahankan demi terjaminnya kelangsungan hidup nelayan; 2. Sistem kepercayaan Secara sosio-religio magis, nelayan masih kuat kepercayaannya bahwa laut mermpunyai nilai magis untuk keselamatan dan terjaminnya hasil tangkapan ikan. Dalam masyarakat Bajo, kepercayaan laut sebagai “mbo dilao” merupakan kebudayaan dan kepercayaan tersendiri, yang mempunyai peran bahwa hidup mereka adalah tergantung dari laut. Selain itu masyarakat Bajo menyebut laut dengan sebutan “koko dilao” yang artinya adalah kebon untuk penghidupan mereka; 3. Peran wanita Peran istri nelayan mempunyai peran yang vital dalam menstabilkan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan. Suami mempunyai peran menangkap ikan secara berkala, sedangkan istri mempunyai peran dalam pengelolaan pendapatan rumah tangga, juga mempunyai peran terhadap ikatan hutang suami terhadap majikannya. Sedangkan istri majikan mempunyai peran yang penting dalam pengaturan keuangan untuk usaha produksi suaminya. 4. Struktur sosial Struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Ikatan patron-klien dinilai sebagai konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang mempunyai resiko besar, uncertainty dan unpredictable. Pola ikatan patron-klien merupakan jaminan secara ekonomi bagi komunitas nelayan; 5. Posisi sosial nelayan Posisi nelayan berada dalam posisi yang margin dan rendah. Hal ini dikarenakan karena aktifitas nelayan yang sebagaian besar dihabiskan di laut, sehingga mempunyai sedikit waktu berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Posisi margin, kebanyakan dari nelayan terikat dalam ikatan hutang patronase yang menjadikan posisi nelayan selalu 17 dalam posisi yang tidak mempunyai posisi tawar baik dalam proses penjualan hasil tangkap, maupun dalam akses perdagangan (pasar). Menurut Satria (2002), nelayan adalah seseorang yang sumber mata pencahariannya secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan. Sebagai komunitas nelayan berbeda secara karakteristik dengan komunitas lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada: 1). Komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta melakukan aktivitas di perairan sebagai kebudayaan dan keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, 2). Alat operasi tangkap ikan, nelayan menggunakan peralatan sederhana, baik tanpa mesin maupun dengan mesin, 3). Struktur sosial dalam masyarakat nelayan dicirikan dengan kentalnya hubungan patron-klien. Hubungan patron-klien dinilai menjaga kelangsungan proses produksi karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi produksi perikanan, dan 4). Ikatan patron-klien tersebut menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam komunitas. Menurut data penelitian sebelumnya (Glaser, et.al, 2010; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012), dalam usaha yang dilakukan di Kepulauan Spermonde, menangkap ikan konsumsi karang hidup, nelayan memiliki karakteristik perbedaan alat tangkapnya, seperti: (1). pabius adalah nelayan yang alat penangkapannya menggunakan bius, (2). pabom adalah nelayan yang menggunakan bom dalam menangkap ikan, (3). papancing, dimana pancing sebagai alat untuk menangkap ikan, dan (4). pabubu maupun pareng-reng, alat tangkap ikan dengan bubu dan jaring. Mengenai hubungan patron-klien (Legg, 1983; Najib, 1999, dalam Satria, 2002; Radjawali, 2011), mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersifat: 1. Terjadi hubungan asimetris antar aktor pemanfaat dan pengguna sumberdaya perikanan; 2. Hubungan yang bersifat khusus yang bersifat pribadi yang saling membutuhkan berdasarkan rasionalitas ekonomi, kekuasaan (power), maupun kinship; 3. Hubungan tersebut didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling membutuhkan. 18 Dalam struktur sosial nelayan ikan konsumsi karang hidup, pola hubungan patron-klien merupakan ciri spesifik dari struktur komunitasnya. Hubungan patron-klient adalah hubungan asimetris ketergantungan yang terjadi antara pekerja/debitur dengan pengusaha (pemodal)/kreditur (Radjawali, 2012). Hubungan patron-klien merupakan struktur asli yang diadopsi dari pertanian, namun dalam perikanan dikembangkan lebih kompleks. Merujuk Foster (dalam Satria, 2002), bahwa gejala patron-klien disebut juga dengan istilah dyadic contract, artinya hubungan antara dua kesatuan produksi dan distribusi yang bekerja sama. Pandangan James C. Scott (1993:7-8), banyak dijadikan rujukan teori dalam mengupas pola hubungan sosial assosiatif antara patron dan klien (patronase). Hubungan patron-klien adalah hubungan vertikal yang menunjukkan hubungan kesetiaan antara klien terhadap patronnya. Hubungan patron-klien merupakan sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang bersifat diadik melibatkan hubungan instrumental di mana seorang patron dengan status sosialekonomi lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk memberikan perlindungan ataupun keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Hubungan patron-klien bersifat inequality dan flexibility sebagai sebuah pertukaran pribadi. Jaringan patron-klien merupakan jaringan pertukaran tradisional yang berfungsi sebagai penyatu hubungan pertukaran individu baik dalam kontek kekerabatan maupun di luar kekerabatan sebagai balok pertukaran yang timbul dari kebutuhan sumberdaya dari masing-masing aktor yang terlibat, seperti materi, jasa, perlindungan, dsb. Masih menurut Scott (1993: 9), jaringan patronase (arus dari patron ke klien) meliputi: (1). Penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan sarana produksi, jasa pemasaran dan bantuan teknis; (2). Jaminan krisis subsistensi berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi; (3). Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) dan ancaman umum (tentara, pejabat atau pemungut pajak); (4). Makelar dan pengaruh, jika patron memberikan perlindungannya terhadap ancaman yang berasal dari luar, patron juga menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menarik kliennya. Perlindungan merupakan peran 19 defensifnya dalam menghadapai dunia luar, sedangkang kemakelaran adalah peran agresifnya untuk tetap membuat klien bersifat loyal terhadapnya. (5). Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat serta mendukung adanya kegiatan hari besar di daerahnya. Pelras (2000: 16), menyebutkan bahwa hubungan patron-klien sebagai karakteristik pertukaran yang bersifat umum, tidak seimbang (tetapi secara teori tidak terikat) merupakan hubungan antara superior (patron/leader) dan inferior (klien atau pengikut), sebagai bentuk pertukaran yang asimetris, di mana posisi patron mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan akan kliennya, termasuk jaminan dalam hal keamanan, ekonomi, politik, tekanan militer dan sebagainya, sampai terhadap bentuk pertukaran sistem hutang dan perlindungan yang dibutuhkan oleh patron dan klien. Dari temuan hasil peneltian sebelumnya, pada komunitas struktur nelayan ikan konsumsi karang hidup di Kepulauan Spermonde (2010), sangat kental diwarnai adanya sistem patron-klien. Patron memberikan jaminan sosial terhadap kliennya dalam bentuk hutang dan modal untuk melakukan kegiatan produksi, membeli hasil produksi tangkapan, dan melindungi kliennya dari ancamanancaman kelancaran produksi. Sedangkan klien mempunyai kewajiban menjual hasil tangkapannya kepada patronnya dengan kesepakatan harga yang telah di sepakati dan ditentukan. Sistem patron-klien menyebabkan adanya stratifikasi sosial. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan tidak berdiri sendiri, artinya nelayan mempunyai penjamin sosial akan kehidupan mereka dan produksi mereka untuk dapat dipasarkan keluar pulau. Nelayan mempunyai juragan pembeli yang tidak luput juga memberikan peralatan tangkap dan perahu untuk produksi ikan konsumsi karang hidup. Komoditas ikan konsumsi karang hidup membentuk struktur komunitas nelayan di Kepulauan Spermonde yang terkenal dengan istilah ikatan punggawa-sawi. Punggawa adalah seorang juragan yang memberikan hutang dan jaminan sosial kepada sawinya (nelanyannya) untuk melanjutkan usaha produksi penangkapan ikan konsumsi karang hidup. Sedangkan sawi adalah nelayan yang memberikan atau menjual hasil tangkapannya kepada punggawa mereka. Dikaji dari segi sosial dan ekonomi, 20 tingkat kehidupan nelayan kecil tidak banyak berubah. Artinya, tingkat kesejahteraan mereka bersifat statis bahkan merosot. Hal yang seperti ini dialami oleh buruh-buruh sawi yang bekerja kepada punggawa baik menggunakan alat tangkap tradisional maupun modern seperti perahu joloro. Karena mempunyai tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam struktur masyarakat sawi merupakan lapisan sosial yang paling bawah. Struktur masyarakat nelayan yang kental dengan ikatan patron-klien menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam struktur masyarakat nelayan tersebut. Startifikasi sosial berarti pembedaan masyarakat berdasarkan strata (kelas) secara hirarkhi (Sorokin, 1969; dalam Satria 2002). Basis dari pembedaan tersebut adalah right and previllage, duties and responsibility, social values and privations, and social powers and influences among the member of society. Sehingga startifikasi sosial masyarakat nelayan dapat dibedakan berdasarkan: (a). stratifikasi berdasarkan ekonomi, (b). stratifikasi berdasarkan politik dan (c). stratifikasi berdasarkan pekerjaan. 2.3. Jaringan Perdagangan Ikan Konsumsi Karang Hidup Hasil tangkapan nelayan, berupa ikan konsumsi karang hidup tersebut dipasarkan keluar pulau untuk dijual ke pembeli besar (bos) yang mempunyai koneksi perdagangan langsung dengan pembeli yang ada di pulau. Ikan konsumsi karang hidup ini dijual dalam keadaan hidup sampai di konsumen dalam negeri atau konsumen di luar negeri melalui restoran yang menyediakan ikan konsumsi karang hidup dalam keadaan hidup dan kondisi segar. Menurut Scales, et.al, (2007), ikan konsumsi karang hidup, diidentifikasi sedikitnya ada 9 species ikan karang hidup yang laku di pasaran pada tingkat konsumen sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, yaitu: Ephinephelus lanceolatus (Giant grouper), Cromileptes altives (High-finned grouper), Ephinephelus coioides (Green grouper), Ephinephelus fuscoguttatus (Tiger grouper), Ephinephelus polyphekadion (Flowery grouper), Plectropomus leopardus (Leopard grouper), Plectropomus maculates (Spotted grouper), Cheilinus undulates (Humphead wrasse), dan Lutjunus argentimaculatus (Mangrove snapper). 21 Sedikitnya dari lima species ikan tersebut di atas (yang dicetak miring) di tangkap di wilayah perarian Indonesia timur yang menjadi komoditas utama dari nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Ikan konsumsi karang hidup tersebut ditangkap dan dipasarkan melalui “jaringan perdagangan antar pulau, antar propinsi sampai jaringan internasional”. Ikan tersebut di kirim dengan jarak yang jukup jauh dalam waktu yang lumayan lama, sehingga dibutuhkan perlakuan khusus agar mampu menjaga ikan tersebut dalam keadaan hidup dan bentuk yang bagus sampai ke konsumen. Pasokan utama ikan konsumsi karang hidup dari Indonesia timur adalah jenis ikan Sunu, Kerapu dan jenis Napoleon. Berbicara tentang ikatan pelaku produksi dan distribusi ikan konsumsi karang hidup melekat pada jaringan perdagangan ikan konsumsi karang hidup yang membentuk ikatan patron-klien. Ikatan produksi dan distribusi tersebut menghasilkan pertukaran barang dan uang yang masing-masing aktor membutuhkan satu sama lain. Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Dalam arti, aktor mungkin saja individu, tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu dan kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang benilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain. Grannovetter (1973), menekankan bahwa jaringan mengikat pada ikatan lemah dan kuat antar aktor yang dalam kegiatan produksi-distribusi. Pola jaringan dalam struktur masyarakat pun bisa terjadi dalam hubungan aktor yang bersifat simetris maupun asimetris. Beberapa prinsip teori jaringan, yakni: (1). Ikatan antar aktor biasanya bersifat simetris, baik isi maupun intensitasnya (aktor saling memberi hal berbeda, dan mereka melakukannya dengan kurang lebih intens); (2). Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur dan jaringan yang lebih besar; (3). Perstrukturan ikatan sosial mengarah kepada berbagai jaringan yang tidak acak, (4). Keberadaan kelompok mengarah pada fakta bahwa mungkin saja terdapat kaitan silang antar kelompok maupun antar individu; (5). Terdapat ikatan asimetris antar elemen dalam suatu sistem yang akibatnya adalah sumber 22 daya yang berlainan terdistribusikan secara berlainan; (6). Ketimpangan distribusi sumber daya yang langka melahirkan kolaborasi dan kompetisi. Usaha dalam mempertahankan kondisi ikan konsumsi karang hidup agar tetap hidup dan segar (tidak rusak dalam kondisi fisiknya), ikan tersebut diberi perlakuan untuk mempertahankan kehidupannya. Perlakuan tersebut diberikan melalui suntikan antibiotik dan multivitamin sejak mulai setelah penangkapan di lapangan, kemudian di masukan kedalam pemberokan (tempat penampungan ikan sementara untuk istirahat) dalam waktu satu malam sebelum dikirim ke Perusahaan eksprotir. Sebagai contoh di Makassar, perlakuan serupa pun terjadi. Pengemasan ikan karang hidup sebelum di kirim lewat udara menuju Jakarta terlebih dahulu di bius agar tidak menimbulkan kematian dan kerusakan fisik. Efek dari bius tersebut mempunyai efek waktu selama perjalanan dari Makassar sampai ke Jakarta. Ketika di Jakarta ikan tersebut di pulihkan kembali dan dengan diberi perlakuan yang sama, sampai akhirnya sampai pada tujuan ekspor di Hong Kong (Radjawali, 2011). Jaringan perdagangan secara tidak langsung memaksa adanya penangkapan ikan karang hidup secara terus menerus dan bahkan berlebih. Ketika terjadi penangkapan yang berlebih, sumber daya perikanan akan terus berkurang di sekitar perairan Spermonde. Penangkapan ikan menjadi kurang produktif/tangkapan per unit usaha menurun (yaitu untuk beberapa teknologi alat penangkapan (seperti pancing, bubu dan jaring)), sehingga nelayan yang terkena dampaknya akan mengurangi ukuran jaringnya dan berpindah ke metode yang lebih berproduktif. Hal ini disebabkan karena permasalahan lain, bahwa ikan karang hidup ditangkap di perairan lokal, tetapi pasarnya di luar yurisdiksi Indonesia (transboundary), sehingga ‘pengendali’nya adalah pasar dan dikombinasikan dengan ketiadaan jaminan sosial pemerintah dan pengetahuan yang baik akan kesadaran lingkungan, serta tekanan ekonomi pada nelayan, maka dengan sendirinya nelayan mencari ikan sebanyak-banyaknya untuk sekedar memenuhi hidup atau bahkan membayar hutang (Radjawali, 2011). Peningkatan permintaan akan pasar secara berlebihan pada pasar internasional menangkap menyebabkan species penangkapan yang berlebihan pula, baru secara berlebihan dan menyebabkan dengan banyak 23 bermunculan asosiasi untuk penangkapan ikan yang di dalamnya terdapat sistematika jaringan punggawa untuk setiap jenis ikan dan sawi akan menangkap ikan apapun yang ada, dimana mereka tahu akses untuk menangkapnya dan tempat untuk menjualnya (Radjawali, 2011). Scales, (2007), menyebutkan setidaknya 19 negara mengekspor ikan konsusmi karang hidup ke Hong Kong. Dari 19 negara tersebut kesemuanya berada di Asia Tenggara dan Pasifik. Akselerasi perdagangan konsumsi ikan karang hidup cukup pesat perkembangannya. Pengiriman ikan konsumsi karang hidup memakan perjalan dengan jarak tempuh lebih dari 400 km (Johannes and Riepen, 1995; Bentley, 1999). Hal ini yang menyebabkan proses pengriman ikan konsumsi karang hidup, diperlakukan sedemikan rupa dalam menjaga ikan tersebut hidup dengan kondisi sempurna tanpa cacat apapun dengan keadaan yang segar. Sehingga perlakuan tersebut banyak menggunakan bahan kimia untuk menjaga ikan tersebut dalam keadaan hidup. Dalam fenomena produksi-distribusi perikanan ikan konsumsi karang hidup, eksportir sebagai “aktor” middle man yang bermain dalam pasar. Bahwa hal ini merupakan ketergantungan dari nelayan kepada perusahaan-perusahaan yang memberikan pasar termasuk middle man I dan middle man II di Bali dan Jakarta. Hal ini menyebabkan nelayan tetap menjadi nelayan dengan terus membayar hutang yang diberikan oleh middle man sebagai jaminan sosial dalam ikatan produksi-distribusi patron-client. Dalam pertukaran barang dan jasa dalam ikatan patron-klien tersebut menjadikan adanya ketidakseimbangan proporsi hasil yang didapat antar pelaku produksi dan distribusi sehingga terjadi ketidaksetaraan pendapatan yang diterima dalam masing-masing pelaku produksi dan distribusi. Jaringan perdagangan tersebut melewati proses pengiriman ikan konsumsi karang hidup terjadi melalui beberapa tahap level pengiriman dan pemberangkatan yang masing-masing bertahap juga proses transaksi ekonominya. Mulai dari tahap penangkapan di alam oleh nelayan lokal, kemudian di beli oleh pembeli tahap I kemudian ditampung dalam pemberokan di pulau, di jual ke pembeli tahap II yang ada di Makassar, kemudian di tampung dalam pemberokkan Makassar, kemudian di kirim ke pembeli tahap III di Jakarta melalui jalur udara, kemudian ditampung dalam pemberokan sampai akhirnya di 24 kirim ke Hong Kong ke retail pasar Hong Kong sampai ke level konsumen. Proses tersebut tentunya proses yang lama yang menggunakan perlakuan ekstra agar ikan tersebut tetap hidup dan kondisi segar sampai ke konsumen di Hong Kong (Sadovy, et.al. 2003; Muldoon, 2009; Radjawali, 2011). Jaringan perdagangan tersebut dibangun berdasarkan atas jaringan sosial yang mengikat didalamnya modal sosial dan hubungan kekerabatan. Putnam, 1997 (dalam Prell, 2009), menyebutkan bahwa modal sosial terbetuk karena adanya jaringan sosial dalam komunitas, norma, kepercayaan dan hubungan timbal balik dimana menyebabkan adanya kerjasama dan hubungan keuntungan yang timbal balik. 2.1. Kepemilikan Sumberdaya Istilah “sumberdaya alam” yang digunakan dalam konsep teori kepemilikan sumberdaya mengacu kepada komponen ekosistem yang dapat diperbaharui, salah satunya adalah sumberdaya perikanan karang hidup. Sumberdaya perikanan seperti dipahami oleh beberapa komunitas sebagai milik bersama, dengan konsekuensi siapapun dianggap bisa mengakses dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya. Permasalahan yang kemudian muncul karena menganggap sumberdaya perairan bersifat open acess adalah tidak adanya pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kelestarian sumberdaya kelautan (Satria, 2009). Pengamatan yang sama dicatat dalam penelitian Radjawali (2011; 2012), yang menemukan keterkaitan antara status open access dengan rendahnya pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan di kepulauan Spermonde. Berbicara sumberdaya perikanan dan kelautan sebetulnya tidak lepas dari interaksi manusia dengan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Jager et.al., (2000), menyebutkan bahwa hubungan manusia dengan ekosistem adalah bermuka dua. Pada satu sisi, manusia bergantung pada ekosistem sebagai sumber makanan, bahan baku untuk membangun dan lingkungan yang sehat sebagai tempat hidup. Namun disisi yang lain, manusia melakukan eksploitasi dan melakukan pencemaran alam dan yang lebih parah terlihat penampakan seolah-olah ia tidak mempunyai hubungan ketergantungan sama sekali pada ekosistem di sekelilinginya. 25 Berkes dan Farvar, 1998; Berkes et.al. 2001; Buck, 1998; Hanna and Munasinghe, 1995, dan dikutip dari Satria, 2009), menyebutkan bahwa teori sumberdaya, dalam kepemilikan sumerdaya laut dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu: Pertama, state poperty (res publica) di mana sumberdaya dimiliki oleh seluruh warga Negara, dan pengenalian pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah. Kedua, private property (res pivate) dimana indvidu atau perusahaan memiliki hak terhadap sumberdaya laut, seperti model Indvidual Tranferable Qouta (ITQ) yang marak dikembangkan oleh negara-negara maju. Ketiga, communal property atau common property, di mana sumberdaya dimiliki dan dikontrol oleh sekolompok masyarakat. Keempat, open access, yang bersifat free for all, property to no one. Keempat macam kepemilikan sumberdaya laut tersebut merupakan tipe ideal, artinya secara empiris sulit ditemukan suatu rezim pengelolaan sumberdaya kelautan yang persis sebagai suatu kategori, sebagaimana tipe ideal tersebut, misalnya perpaduan berbagai kategori meskipun ada satu kategori yang menonjol. Masih menurut Berkes dan Farvar (1989), (dikutip dari Satria, 2009), konsep common property selama ini juga bermacam-macam, artinya pengelolaan sumberdaya milik bersama sebagai the common property merupakan the resources which are not amenable to private appropriation, so that such resources are basically open access and freely available to anyone, dan kalangan ilmuwan barat melihat common property seperti open access. Hal ini terlihat dalam esay dari Garett Hardin (1986), tentang tragedy of the common yang diartkan sebagai communally owned resources atau common property, yang artinya suatu sistem kepemilikan yang menjamin akses sekelompok orang yang secara kolektif mereka miliki (Gibbs and Bromley, 1989 dikutip dari Satria, 2009). Ostrom (1990), menyebutkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan common property right, dalam tingkatan sekecil apapun ada yang mengelolanya. Di Indonesia umumnya laut sebagai sumerdaya milik bersama yang berlaku pada wilayah pesisir di mana nelayan tradisional sebagai pengguna dalam menangkap ikan. Dijelaskan dalam hal ini pengguna sumberdaya milik bersama memiliki seperangkat hak (bundles of right), yaitu hak seperangkat hak yang dimiliki oleh 26 nelayan sebagai hak tradisional mereka. Lebih lanjut Ostrom dan Schalager (dalam Right to Nature, Ed. Hanna, Folke and Maler,1996), membedakan hak tradisional itu atas empat macam. Pertama, access right yaitu hak untuk memasuki suatu wilayah laut. Kedua, withdrawal right yaitu hak untuk melakukan kegiatan produksi dari hasil sumberdaya laut tersebut. Ketiga, management right, adalah hak untuk mengelola sumberdaya. Keempat, exclusion right, adalah hak untuk menentukan siapa saja yang boleh memiliki access right, withdrawal right, alienation right yaitu hak untuk menjual atau mentransfer dan management right atau exclusion right. Perdagangan ikan konsumsi karang hidup di kepulauan Spermonde dimulai pertengahan dekade 1980-an ketika kebutuhan pasar dari Hong Kong mulai dipenuhi langsung dari supplier di sana. Menarik untuk memahami lebih lanjut tentang perkembangan yang pesat terjadi di pasar Hong Kong yang sebenarnya tidak memiliki sumber daya ikan konsumsi karang hidup. Mengikuti logika dari “bandit berjalan” (roving bandits), dimulai di perairan Hong Kong yang melakukan ekspansi sumberdaya perikanan sampai ke wilayah perairan Indonesia. Terminologi “roving bandit” dikemukakan oleh Mancur Oslon, 2000 (dalam Berkes, et.al. 2006; FAO, 2009), tentang ekspansi sumberdaya oleh pengguna sumberdaya alam sebagai sebagai akibat dari penurunan sampai kelangkaan sumberdaya alam di wilayahnya. Ekspansi tersebut adalah ekspansi sumberdaya alam milik bersama (commons property) dan sumber daya yang bersifat bebas akses untuk pengguna (open access), mengingat dua sifat tersebut melekat pada sumberdaya perikanan dan kelautan. Menurut Fauzi (2005), ekspansi sumberdaya perikanan terjadi sebagai akibat dari sifat sumberdaya ikan yang fugitive (bergerak bebas) dan sulitnya melakukan fencing the ocean (pengkaplingan sumerdaya kelautan), mengingat sifat kepemilikan sumberdaya kelautan adalah common pool resources. Fenomena ini menyebabkan adanya fleet migration yang artinya dengan adanya teknologi penangkapan ikan yang semakin meningkat, negara-negara yang mengalami penurunan stok dan produksi sumberdaya ikan akan melakukan kompetisi dan akan bereaksi mencari fishing ground yang lebih produktif baik secara legal maupun illegal. Dalam hal ini akan menimbulkan adanya overfishing dan 27 overcapacity secara global dari suatu negara ke negara lainnya atau dalam skala nasional dari suatu daerah ke daerah lainnya. 2.5. Seafood Savers, sebagai Instrumen Pengelolaan Ikan Konsumsi Karang Hidup Perkembangan akhir-akhir ini bahwa sosiolog, anthropolog dan ahli politik sedang memfokuskan dirinya terhadap permasalahan konsumsi. Perubahan pola konsumsi dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial secara psikologi dan ekonomi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh kegiatan perdagangan untuk memprediksikan perubahan sosial akibat dari tingkah laku konsumen. Saat ini penelitian tentang konsumsi dalam kajian ilmu sosial menjadi sangat multidisipliner, yang merupakan gambaran atau cerminan dari meningkatnya kepentingan pola konsumsi modern atau postmodern di dalam masyarakat. Konsep tentang penelitian mengenai konsumsi menjadi bagian terhadap permasalahan sosial sehari-hari. Kita sangat dekat dengan istilah ide tentang “masyarakat beresiko/ risk society”. Tujuan disini adalah untuk menghubungkan konsep eco-labelling (Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism) dengan teori sosial. Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism adalah termasuk salah satu instrument dalam EPIS (Environmental Product Information Scheme) merupakan pengembangan secara teoritis dalam ilmu kajian sosial. Informasi ini disajikan dari produsen ke produsen lain dan dari produsen ke pelaku bisnis (bisnis) dan konsumer tentang pengutamaan produk ramah lingkungan. Informasi ini dapat diperoleh secara kuantitatif (seperti berapa banyak penangkapan ikan dengan cara memakai alat yang merusak lingkungan, bagaimana pemrosesan dan pengemasan ikan tersebut, dsb.), kualitatif (seperti penulisan tentang didapatnya darimana sumber produk itu berasal) dan secara grafik (seperti bahwa ecolabelling itu dapat menjadi voluntary atau mandatory dan apakah lingkupnya secara nasional, regional atau global). Pada dasarnya Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism adalah konsep tentang modernisasi ekologi. Pemakaian istilah modernisasi ekologi merupakan “kata kunci” yang sering digunakan dalam sosiologi lingkungan dan di dalam wacana ekologi politik. Modernisasi ekologi merupakan konsep dan ideologi yang dituntun oleh konsepsi internasional yaitu World 28 Commission for Evironment and Development (WCED), yang berfokus pada pendekatan sosiologi lingkungan secara mikro, penggunaan rendah dalam teknologi, pedesaan utopis, terdapat arah kanan untuk pro lingkungan dan arah kiri untuk pro pembangunan industri (Deere, 1999. FAO). Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan adalah sebuah isu yang sedang berkembang dalam perikanan yang melihat hasil dari perikanan yang diperoleh dengan cara penangkapan yang ramah lingkungan dan mempunyai efek minimal terhadap kerusakan lingkungan dengan melabelkan produk perikanan sebagai perikanan ramah lingkungan dengan tujuan adalah mengajak respon khayalak mengkonsumsi perikanan yang ramah lingkungan. Pemberlakuan Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism dalam menciptakan pasar berdasar pada produk perikanan yang ramah lingkungan dan proses produksinya merupakan tujuan dari konvensi PBB Tentang Konservasi dan Pembangunan Dunia (UNCED). Dasar dari dikuatkannya sistem Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism di perikanan adalah merujuk dari aturan FAO Tentang produk perikanan dan proses produksinya yang ramah lingkungan, dalam rangka menciptakan kondisi keberlanjutan perikanan baik pada pengaruh produksi tangkap perikanan maupun pasar perikanan. Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism merupakan salah satu instrumen yang memberikan label pada perikanan ikan karang hidup yang lebih ramah lingkungan di masa yang akan datang (Bostrom and Klintman, 2008). Di dalam kontek perikanan, Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan seringkali dikaitakan dengan keberlanjutan ekologi dalam sistem perikanan termasuk didalamnya adalah aspek biologi dan aspek manajemen, tetapi tidak semuanya Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan menyentuh aspek tersebut. Tipe Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan tidak hanya menyentuh isu-isu makro saja, seperti kriteria kredibilitas ecolabelling, keamanan dan keterjaminan kualitas ikan konsumsi, hak-hak pekerja perikanan, keberlanjutan perikanan, dan dampak penggunaan sumber bukan perikanan dan sumber perikanan terhadap keberlanjutan ekologi, tetapi juga menyentuh aspek mikro, yaitu mengenai penangkapan perikanan skala individu dan produksi perikanan skala individu. 29 Eco-standarization perikanan pada saat ini merupakan bentuk dorongan yang kuat dari konsumen untuk mengetahui produk perikanan yang dikonsumsi adalah ramah lingkungan, mulai dari manajemen penangkapan, proses produksinya sampai darimana dan bagaimana ikan tersebut ditangkap. Hal ini merupakan bukti kuat adanya permintaan dari konsumen untuk keberlanjutan perikanan yang selama ini dalam kondisi di lapangan perikanan mulai berkurang karena sistem penangkapan yang merusak dan terjadinya overfishing karena didodorong oleh permintaan pasar. Terdapat dua dimensi dalam ekologi modern, yaitu pertama, kita dapat melihat sejarah tentang wacana aturan lingkungan yang berlaku di negera Eropa. Kedua, kita dapat melihat konsep teori yang menggambarkan pendekatan dengan sosiologi lingkungan, konsep keberlanjutan dan masyarakat yang makmur. Giddens, 1991 (dalam Deere, 1999; Strandbakken; Scheer dan Rubik, 2005; Gotberg, 2008), mengemukakan bahwa konsep modernitas biasanya diistilahkan dengan istilah modernisasi secara sederhana. Menurut Giddens, modernisasi dapat dimengerti secara sederhana dengan istilah industrilialisasi, akan tetapi kemudian dipahami bahwa industrialisasi bukan hanya semata-mata hanya bersifat instutisional saja. Sebetulnya jenis dari modernisasi mempunyai hubungan dengan kepercayaan, rasionalitas, lebih bersifat umum dan terdapat perencanaan dan rasionalitas para pelakunya. Pada dasarnya konsep modernisasi ekologi mengisyaratkan tentang ”rasionalitas konsumen” tentang kepercayaan konsumen dan dalam pelaku secara makro mempunyai kepercayaan yang bersifat umum. Dalam era modernisasi sekarang ini, perhatian lebih akan lingkungan menjadi menarik dikaji secara sosiologi, politik dan jurnalis yang memfokuskan kepada konsepnya Ulrich Beck tentang “masyarakat beresiko” (Strandbakken; Scheer dan Rubik, 2005), ide dasar dari masyarakat beresiko adalah karena keprihatinan tentang manusia-pembuat resiko. Itu tidak berarti bahwa kita hidup dalam bahaya saat ini dibanding dengan masa lampau. Hal ini karena disebabkan pada masyarakat pre-modern bahwa takut akan kelaparan, takut akan bencana alam, penyakit wabah dan binatang buas, dimana seperti sekarang ketakutan akan produk yang mengandung racun, pencemaran radiasi nuklir, merkuri, dsb. 30 Joop de Boer (2003), mengkategorikan bahwa sebetulnya eco-label itu tidak ada hubungan secara langsung dengan struktur organisasi. Sehingga dalam konsepnya de Boer, menggunakan istilah skema keberlanjutan labeling (labeling untuk menggambarkan perbedaan label). Eco-label itu terkait dengan perspektif privat, seperti kesehatan lingkungan, juga terkait dengan perspektif publik, seperti nilai keanekaragaman dan keadilan sosial. De Boer mengatakan “it refers to long term balances between ecological, economic, and social processes at the level of the society as a whole and makes it difficult to fully specifi what sustainability ideally means at the level of particular product, production processes or producer” (de Boer 2003, dalam Gottberg 2008). Bahwa eco-labelling melekat pada sikap dan tingkah laku, Azjen dan Fishbein (1980); dalam Gotberg (2008), menyatakan bahawa eco-labelling terikat psikologi ekonomi dan disiplin pasar, dimana perspektif dan paradigma masih memliki peran penting dalam kajian eco-labelling. Elemen utama dalam pendekatan model teori ini adalah penjelasan dari tingkah laku yang mempunyai dua dimensi yaitu: sikap yang mengarah ke tingkah laku dan norma-norma secara subyektif. Teori ini berangkat dari aksi-aksi yang berkaitan dengan sosial di masyarakat dengan kontrol dari kemauan sosial. Pada dasarnya ecolabelling perikanan mulai dibicarakan pada awal tahun 1990-an di Eropa. Hal ini karena melihat kondisi perikanan yang terus mengalami penurunan akibat dari adanya overfishing dan penangkapan yang bersifat destruktif. Sebelum dikonvensikan dalam peraturan PBB, ecolabelling perikanan diinisiasikan oleh WWF dan Unilever yang berkantor di Inggris. Penerapan ecolabelling perikanan saat ini sudah terjadi di negara-negara maju, seperti negara-negara Eropa Barat. Sebagai masayarakat yang modern, tentunya perlindungan terhadap konsumsi menjadi perhatian yang utama. Gottberg, (2008), menjelaskan ada dua skema penerapan kebijakan ecolabelling perikanan dalam suatu negara, yaitu ecolabelling mandatory dan ecolabelling voluntary. Ecolabelling mandatory adalah ecolabelling yang menjadi sebuah kewajiban dalam sebuah negara dimana, negara melalui kebijkannya mengontrol perusahaan perikanan untuk menerapkan praktek standarisasi ecolabelling. Sedangkan ecolabelling voluntary merupakan ecolabelling yang bersifat sukarela, yang 31 artinya merupakan inisiasi perusahaan menerapkan standarisasi ecolabelling karena didorong oleh permintaan pasar konsumen. 2.6. Ekologi Politik Sefood savers Ikan Konsumsi Karang Hidup Melihat fenomena dinamika komoditas ikan konsumsi karang hidup, termasuk kajian ekologi politik. Dinamika tersebut mencakup terjadi permasalahan sosial, ekologi dan juga ekonomi terjadi di dalamnya. Keterikatan antar aktor pun menjadi kajian yang penting untuk ekologi politik. Serta melekatnya sifat trans boundry, merupakan bagian dari spatial geography yang merupakan ranah kajaian ekologi politik juga. Bryant and Bailey (1997), dalam bukunya Third World Political Ecology, menyebutkan bahwa kajian ekologi politik, meliputi tiga aspek, yaitu; (1). Perkembangan dan keberlanjutan lingkungan di dunia ketiga, (2). Kerangka analisis tentang politicised environment, (3). Interaksi aktor dalam perubahan lingkungan di dunia ketiga. Sementara itu Robbins, (2004), bahwa kajian ekologi politik berangkat dari keempat thesis utama, yaitu tentang marjinalisasi dan degradasi lingkungan (perubahan lingkungan: kenapa dan bagimana), konflik lingkungan (akses terhadap lingkungan: siapa dan mengapa), kontrol dan konservasi (kegagalan konservasi dan tereklusi hak secara politik dan ekonomi: mengapa dan bagaimana), serta identitas lingkungan dan pergerakan sosial (perubahan lingkungan: oleh siapa, dimana dan bagaimana). Tabel. 2.1. .Empat Thesis Ekologi Politik, disadur dari Paul Robbins, 2004. Thesis What is explained? Relevance Degradation and Environment change; why and Land degradation, long Marginalization how? balmed on marginal people, is put in its larger political and economics context. Environmental conflict Environmental access: who Environmental conflict are and why? shown to be part of larger gendered, classed, and raced struggles and vice versa Conservation and control Conservation failures and Ussually viewed as benign, political/economic exclusion: efforts at environmental why and how? conservation are shown to have pernicious effects, and sometimes fail as result. Environmental identity and Social upheaval: who, where, Political and social struggles social movement and how? are shown to be linked to basic issues of livelihood and environment protection 32 Dapat disimpulkan dari thesis tersebut, bahwa permasalahan dinamisasi ikan konsumsi karang hidup, adalah termasuk kajian ekologi politik, selain melekat pada aspek sosial, ekologi, ekonomi dan politik, juga melekat pada aspek geografi (transboundary), aktor yang berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya, terjadinya kerusakan lingkungan, kemarjinalisasian grass root, terjadi kegagalan konservasi, dan munculnya gerakan sosial dan identitas lingkungan, yaitu bentuk konservasi sumberdaya melalui instrumen ecolabelling. Byrant and Bailey (1997), bahwa kajian ekologi politik adalah kajian tentang premis sumberdaya alam, didalamnya terdapat perubahan ekologi sumberdaya alam yang terkait dengan produksi yang merupakan termin proses politik. Political ecologist “accept the idea that cost and benefits associated with environment change are for most part distributed among actor unequally reinforces or reduces existing social and economic inequalities, political implications in terms of the altered power of actors in realtion to other actors. Dalam perdebatan keilmuan ekologi politik, Forsyth (2003), menjelaskan bahwa “ekologi politik” merujuk pada kajian sosial dan politik, yang didalmnya terdapat persoalan lingkungan, penyebab, proses dan pengelolaan lingkungan. Hal ini mengungkapkan bahwa kaian ekologi politik bukan hanya kajian ekologi semata, bahkan beberapa ahli ekologi politik menjelaskan bahwa kajian ekologi politik adalah kajian yang mendekatkan terhadap bidang ilmu ekologi di dalam ekologi politik. Forsyth (2003), memetakan kajian ekologi politik menjadi empat definisi. Pertama, bahwa ekologi politik menjelaskan tentang permasalahan lingkungan seperti fenomena interaksi lingkungan biofisik, kebutuhan manusia, dan sistem politik dan ekonomi politik yang menjembatani kebutuhan manusia akan lingkungan biofisik tersebut. Kedua, bahwa ekologi politik adalah bentuk respon dari gerakan Deep Green Environmentalism dan kritik terhadap modernisasi dan kapitalisme. Ketiga, bahwa penggunaan “ekologi” merupakan proses perubahan interkonesi dari hubungan politik. Artinya bahwa kajian ekologi politik, diartikan sebagai hubungan antara organisme atau kelompok dari organisme di dalam lingkungannya. Hal ini mengindikasikan terdapat sistem politik yang berhubungan dengan sosial dan lingkungan. Keempat, bahwa kajian ekologi politik 33 didefinisikan sebagai kajian kritis analisis Marx tentang materialism, keadilan, dan sumberdaya alam dalam masyarakat kapitalis, yang menekankan pada pembagian distribusi sumberdaya alam dan hak pengelolaan serta pemanfaatan. Bryant, 1992; (dalam Forsyth, 2003), menelaskan bahwa ekologi politik adalah ilmu yang di dalamnya, terdapat kekuatan politik, kondisi dan ramifikasi perubahan lingkungan, yang mana di dalamnya terdapat kajian dampak lingkungan dari sumber yang berbeda, lokasi secara spesifik atas perubahan lingkungan tersebut, dan dampak dari perubahan lingkungan sebagai akibat dari aspek sosial-ekonomi dan politik. Lebih lanjut, Bryant dan Bailey (1997), menyimpulkan, bahwa “ekologi politik” adalah kajian ilmu yang memfokuskan kajian interkasi antar aktor, baik negara, masayarakat, perusahaan maupun LSM, dan lingkungan fisik dimana disebut sebagai “politik lingkungan” sebagai kajian secara umum yang menyikapi kebijakan negara dalam pengelolaan sumberdaya ligkungan fisik. Forsyth (2003), dalam bukunya “Critical Political Ecology: the politics of environmental science”, menjelaskan dari tujuan kritik terhadap ekologi politik adalah memfokuskan kembali ekologi politik sebagai kritik terhadap kapitalisme pengelolaan sumberdaya yang menyebabkan degradasi lingkungan. Kritik terhadap hubungan kapitalisme dan degradasi lingkungan yang merupakan bagian dari permasalahan sosial dan lingkungan di dunia ketiga. 2.7. Kelembagaan Pengelolaan Sumbedaya Perikanan Melihat fenomena dinamisasi komoditas ikan konsumsi karang hidup, termasuk kajian ekologi politik. Dinamisasi tersebut mencakup terjadi permasalahan sosial, ekologi dan juga ekonomi terjadi di dalamnya. Keterikatan antar aktor pun menjadi kajian yang penting untuk ekologi politik. Serta melekatnya sifat trans boundry, merupakan bagian dari spatial geography yang merupakan ranah kajaian ekologi politik juga. Bryant and Bailey (1997), dalam bukunya Third World Political Ecology, menyebutkan bahwa kajian ekologi politik, meliputi tiga aspek, yaitu; (1). Perkembangan dan keberlanjutan lingkungan di dunia ketiga, (2). Kerangka analisis tentang politiciseid environment, (3). Interaksi aktor dalam perubahan lingkungan di dunia ketiga. 34 Sementara itu Robbins, (2004), bahwa kajian ekologi politik berangkat dari keempat thesis utama, yaitu tentang marjinalisasi dan degradasi lingkungan (perubahan lingkungan: kenapa dan bagimana), konflik lingkungan (akses terhadap lingkungan: siapa dan mengapa), kontrol dan konservasi (kegagalan konservasi dan tereklusi hak secara politik dan ekonomi: mengapa dan bagaimana), serta identitas lingkungan dan pergerakan sosial (perubahan lingkungan: oleh siapa, dimana dan bagaimana). Dapat disimpulkan dari thesis tersebut, bahwa permasalahan dinamisasi ikan konsumsi karang hidup, adalah termasuk kajian ekologi politik, selain melekat pada aspek sosial, ekologi, ekonomi dan politik, juga melekat pada aspek geografi (transboundary), aktor yang berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya, terjadinya kerusakan lingkungan, kemarjinalisasian grass root, terjadi kegagalan konservasi, dan munculnya gerakan sosial dan identitas lingkungan, yaitu bentuk konservasi sumberdaya melalui instrumen responsibility fisheries. Dalam kajian sosiologi, pengertian institusional mencakup aspek yang luas dan dalam, yang meliputi aspek kelentingan (resilient aspect) dari struktur sosial (Scott, 2004). Scott (2004), medifinisikan institusional sosial sebagai berikut: • Institusi adalah struktur sosial dimana mempunyai keterkaitan dengan kelentingan struktur masyarakat yang tinggi; • Institusi terdiri dari tiga pilar elemen, seperti cultural cognitive, normative dan regulative dimana ketiga pilar elemen tersebut sebagai penyusun sumber pandangan sosial komunitas; • Institusi merupakan tranmisi dari berbagai macam tipe, seperti sistem simbolik, sistem jaringan, rutinitas dan skema sosial yang menjadi pegangan dalam tingkah laku dalam sosial; • Bahwa institusi dijalankan pada berbagai level yuridiksi sosial, dari level global ke tingkat hubungan individu; • Elemen institusional diciptakan, dihilangkan, diadopsi dan beradaptasi dalam waktu dan wilayah tertentu, sampai elemet tersebut mengalami peluruhan dan tidak digunakan lagi dalam sistem sosial. Institusi sosial yang dikemukaan oleh Scott (2004), sangat dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi dan sosial. Hal ini merupakan perpaduan antara ekonomi 35 dan sosial yang didalamnya terdapat keterikatan antar aktor dan kepentingannya yang berintaksi dalam suatu masyarakat yang dibatasi oleh wilayahnya, sehingga dikatakan bahwa konsep institusi sosial tersebut melekat pada aktor pada aspek ekonomi, ekologi dan sosialnya. Menurut Scott (2004), bahwa teori institusi dapat berkembang dalam berbagai disiplin ilmu. Pada perkembangannya, Tahun 1960 teori instutisional diperkenalkan konsep sistem terbuka dalam studi organisasi dan ditransformasikan melalui pendekatan yang mementingkan aspek lingkungan dalam arti luas yang berpengaruh dalam perubahan institusi tersebut. Selanjutnya dalam perkembangannya Tahun 1970, kajian instistusi dapat dilihat sebagai suatu sistem produksi (karena menyangkut lingkungan teknis yang terkait dengan sistem produksi instrumental, kemudian terjadi transformasi input menjadi output) dan sebagai suatu sistem sosial budaya (sebagai kekuatan lingkungan institusi). Yang dimaksud Scott (2004), disini adalah bahwa lingkungan tersebut dapat dikategorikan dalam lingkungan sosial, ekonomi maupuan ekologis itu sendiri. Kemudian teori institusi bekermbang karena aspek lingkungan yang semakin komplek, maka teori institusi juga berkembang sesuai dengan perkembangan kompleksitas lingkungan. Dalam perkembangannya teori institusi dengan aspek lingkungan sosioekologis, perlu pemahaman bahwa institusi sebagai interaksi manusia dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, perlu memahami apa institusi tersebut, bagaimana dan mengapa perlu adanya institusi dan apa konsekuensinya apabila institusi tersebut dijalankan. Dalam kajiannya “sumberdaya bersama dan keberlanjutan institusional”, Agrawal (dalam The Drama of the Commons, 2002), menjelaskan kontek sumberdaya milik bersama, menunjukan adanya pengaturan kepentingan pasar dan kepemilikan negara dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya dan mekanisme institusional yang berjalan dalam pengelolaan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena institusi pengelolaan sumberdaya bersama menunjukan bagaimana pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan interaksi manusia dalam sosial dan ekologi secara global berjalan. Ditambahkan oleh Ostrom, (2005), bahwa institusi pengelolaan sumberdaya merupakan persepsi manusia dalam mengelola yang meliputi interaksi struktur dan repetitive (hubungan timbal balik) antara manusia terhadap sumberdaya yang ada 36 disekitarnya yang berlandaskan pada rules, norm dan strategies. Sedangkan Bromley (2001), menegaskan bahwa institusi adalah kajian dalam kebijakan publik, artinya Bromley, memandang secara kolektif dengan istiah yang disebut sebagai institusi yang merupakan kontruksi sosial dimana di dalamnya terdapat norms, rule and entitlements merupakan hasil interaksi manusia dengan sumerdaya alamnya. Perspektif ini memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi horizontal menekankan kepada hubungan antara manusia dengan manusia, dan dimensi vertikal menekankan hubungan manusia dengan alamnya yang merupakan manifestasi hubungan interpersonal atas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia. Satria (2009), dalam kajian pengelolaan sumberdaya perikanan (SDP) oleh masyarakat: visi, batasan dan ruang lingkup, dijadikan alternatif solusi karena keberhasilannya memberikan manfaat tentang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menjamin adanya mata pencaharian komunitas nelayan, kesamaan dalam akses seumerdaya perikanan dan solusi alternatif penyelesaian konflik pengguna sumberdaya. Merujuk pada Scott 2004; Satria, 2009, ada tiga dimensi dalam institusi pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu: a. Dimensi normatif. Dimensi ini merupakan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat sebagai dasar pengelolaan sumerdaya perikanan; b. Dimensi regulatif. Dimensi ini berisi tentang aturan (norm) tata kelola sumberdaya perikanan. Ruddle (1999), dalam Satria (2009), mengidentifikasikan unsure-unsur tatakelola sumerdaya perikanan sebagai berikut: • Batas wilayah : ada kejelasan batas wilayah yang mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat; • Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang, dalam dunia perikanan mencakup aturan kapan, dimana, bagaimana dan siapa yang boleh menangkap ikan; • Hak: berisi bundle of right pengguna atas sumberdaya alam. Menurut Ostrom dan Sclanger (1996) adalah access right, withdrawal right, management right, exclusion right, dan alienation right; 37 • Pemegang otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal/informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. • Sanksi: sanksi merupakan indikator berjalannya suatu aturan. Sanksi mempunyai beberapa tipe, yaitu: sanksi sosial, sanksi ekonomi, sanksi formal/hukum dan sanksi fisik; dan • Evaluasi dan monitoring: terdapat adanya mekanisme evaluasi dan monitoring oleh masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiendi pengelolaan. c. Dimensi kognitif. Dimensi ini berisi teknik pengelolaan dan indigenous knowledge. Ruddle (2002) dalam Satria (2009), medefinisikan karakteristik pengetahuan lokal sebagai berikut: • Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan bersifat terperinci; • Berorientasi pada hal-hal yang bersifat praktis yang menyangkut perilaku serta fokus terhadap tipe-tipe sumberdaya dan species; • Terstruktur secara kompatible dalam pemaknaan pemanfaatan dan pelindungan sumerdaya alamnya sebagai kesadaran akan pentingnya konservasi sumberdaya; dan • Bersifat dinamis. Sedangkan Berkes (1999) dan Satria (2009), mengidentifikasikan karekteristik pengetahuan asli sebagai berikut: • Pengetahuan melekat pada budaya lokal; • Memiliki dimensi ruang dan waktu; • Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dan obyek; • Komitemen bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan menjadi tempat yang tidak bias berpindah; dan • Tidak menggunakan pendekatan instrumental terhadap alam. Disadari bahwa sumberdaya perikanan karang hidup merupakan sumerdaya yang berifat common pool resources yang melekat sifat open access 38 didalamnya. Hasil studi dari Agrawal (dalam The Drama of the Commons, 2002) menjelaskan institusional keberlanjutan dalam pengelolaan sumerdaya milik bersama, mempunyai dua tipe permasalahan. Tipe pertama adalah substansi. Substansi dalam institusi pengelolaan sumberdaya alam kurang mendapat pemahaman dari peneliti sumberdaya alam. Kebanyakan dari mereka hanya memfokuskan bahwa pengaturan sumberdaya alam menghasilkan sifat yang berdaya efesien, terdapat alokasi kesejahteraan, dan bersifat konservasi berkelanjutan. Kekeliruan yang terjadi, bahwa dalam pengaturan dan pengelolaan sumberdaya alam membutuhkan adanya biaya. Sehingga kajian lintas sektoral dalam aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kontek budaya (indigenous knowledge) perlu dimasukan dalam kajian keberlanjutan institusional dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama. Tipe kedua adalah berkaitan dengan dasar metode dalam kajian keberlanjutan instutsional dalam pengelolaan sumberdaya alam, bahwa kebanyakan para peneliti fokus dalam mengkritik dari segi kelembagaan organisasi, kemampuan adaptasi dan keberlanjutan sumberdaya milik bersama, yang sebetulnya belum bisa membangun perkembangan konsep teori untuk keberlnajutan sumberdaya milik bersama. Seharusnya metode dasar dalam kajian keberlanjutan institusi mencakup faktor-faktor utama keberlanjutan, kesetaraan dan keefesiensian institusi dalam pegelolaan sumerdaya milik bersama yang sebetulnya bersifat relatif sebaliknya. Ostrom (1995); Satria (2009), mengantarkan beberapa indikator kerja institusi pengelolaan sumberdaya perikanan, indikator tersebut adalah: • Clearly Defined Boundaries. Kejelasan batas wilayah: batas wilayah dirumuskan secara jelas, sehingga setiap orang mudah untuk mengidentifikasi dan mengenalnya; • Proprotion Equivalence Between Benefits and Costs. Kesesuain aturan dengan kondisi lokal: memiliki aturan-aturan yang tepat untuk kepentingan kelestarian sumberdaya, perlindungan ekonomi lokal, serta penguatan sistem sosial dan aturan-aturan tersebut mudah ditegakkan dan mudah diawasi; • Collective Choice Arrangments. Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya: masyarakat mamapu membuat aturan yang 39 didasarkan atas pertimbangan saitifik, pengetahuan lokal, maupun kearifan lokal melalui mekanisme lembaga lokal; Adanya kelembagaan lokal yang berfungsi mengatur mekanisme pengelolaan, membuataturan, merevisi aturan serta mekanisme pengambilan keputusan; • Monitoring. Pelaksanaan pengawasan dihormati masyarkat: masyarakat memiliki instrument danmekanisme pengawasan sendiri dengan para pelaku pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat; • Graduated Santion. Berlakunya sanksi: ukuran keberhasilan suatu aturan adalah tegaknya sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administratif, maupun sanksi ekonomi. • Conflict Resolution Mechanism. Mekanisme penyelesaian konflik: masyarakat memiliki mekasnisme penyelesaian konflik di luar mekanisme formal; • Minimal Recognition of Rights to Organize. Kuatnya pengakuan dari pemerintah: pengakuan dari pemerintah dapat berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan daerah; dan For resources that are part of larger systems: • Nested Enterprises. Adaya ikatan atau jaringan degan lembaga luar. Jaringan dengan dunia luar yang dimaksud adalah baik jaringan antar komunitas (bridging social capital) maupun dengan di luar komunitas seperti akademis, LSM, maupun swasta (lingking social capital). 2.8. Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Komoditas ikan konsumsi karang hidup melanggengkan supply chain perdagangan karena ada aktor produksi dan distribusi yang digerakkan oleh kepentingan pasar. Ketika permintaan pasar semakin meningkat, menyebabkan terjadinya penangkapan yang melebihi quota tangkapan. Karena sumberdaya tereksploitasi secara terus menerus, maka terjadi penurunan stok ikan. Kelangkaan terjadi disebabkan karena adanya pola penangkapan yang merusak ekosistem terumbu karang dengan penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem seperti bom dan cyanide. Ketika daya dukung lingkungan sudah tidak mampu 40 memulihkan secara alami, timbulah kesadaran upaya konservasi sumberdaya ikan konsumsi karang hidup melalui upaya seafood savers. WWF bekerjasama dalam mekanisme seafood savers untuk mengupayakan produk UD. PMB. dihasilkan dengan cara yang sesuai dengan prinsip keberlanjutan yang tercantum dalam standar fisheries improvement management sesuai dengan standar Marine Stewardish Council. Upaya WWF sendiri adalah dengan tujuan mengkonservasi sumberdaya ikan konsumsi karang hidup dan terumbu karang, karena sudah mengalami kerusakan yang parah. Sampai saat ini UD. Pulau Mas Bali dalam mengimplementasikan mekanisme seafood savers baru dalam tahap conditioning. Tahap pengkondisian terhadap komunitas, agar bias menerima dengan perspektif mereka, akan pentingnya konservasi sumberdaya ikan konsumsi karang hidup untuk keberlanjutan sehinga bisa menopang sistem keberlanjutan livelihood masyarakat. Dalam kegiatan produksi, terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup secara terus menerus. Dalam jaringan perdagangan yang didalamnya terdapat interaksi antar aktor produksi, distribusi dan konsumsi terjadi banyak permasalahan diberbagai lini, mulai dari lini lokal, reginal dan global. Setidaknya ada 5 faktor komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat dikatakan dinamis: Pertama, komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah kegiatan lintas batas teritori (transboundary), artinya adalah bahwa komoditas ikan konsumsi karang hidup diproduksi secara lokal dan dikonsumsi secara ekspor. Hal ini menyebabkan banyak terjadinya permasalahan dalam penggunaan kebijakan pengiriman ekspor lintas negara. Mulai dari tumpang tindihnya kebijakan yang digunakan, ketidakjelasan aturan yang dipakai sehingga memunculkan fenomena pemburu rente yang dimanfaatkan oleh oknum pejabat pemerintah yang melancarkan kegiatan produksi-distribusi dalam rantai perdagangan (supply chain) komoditas ikan konsumsi karang hidup. Kedua, terdapat ikatan hutang dalam sistem patron-client dalam usaha produksi, aktor produsen (grass root), memanfaatkan sumerdaya milik bersama yang memiliki/melekat sifat open access dalam pemanfaatannya. Hal ini menyebabkan terjadiya upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut secara terus 41 menerus untuk memenuhi permintaan konsumen akan komoditas tersebut. Dalam menjual komoditas tersebut, produsen berjejaring dengan pedagang (middle man) dalam ikatan rantai perdagangan dimana ada aturan main yang disepakati oleh kedua aktor tersebut. Middle man menguasai produksi dan mengetahui akses kemana harus menjual untuk kepentingan konsumen. Sehingga dapat dikatakan bahwa middle man adalah pengguna sumberdaya ikan konsumsi karang hidup milik bersama yang bersifat bebas karena tidak berkaitan langsung dengan proses produksi (penangkapan). Ketiga, pola jaringan komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah komoditas (barang) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, menimbulkan perdagangan yang melibatkan produsen, distributor dan konsumer, yang mempertahankan komoditas tersebut dalam keadaan hidup dan segar mulai dari proses produksi penangkapan, pengiriman distribusi jaringan perdagangan sampai pada tahap sebelum dikonsumsi masih terjaga. Usaha mempertahakan kondisi tersebut dibutuhkan perlakuan ekstra penggunaan bahan-bahan kimia, multivitamin, antibiotik, obat kuning sampai menggunakan obat bius, untuk mempertahankan kondisi hidup ikan konsumsi karang hidup dalam pengiriman jarak jauh dan waktu lama. Keempat, komoditas tersebut menyebabkan terjadinya eksploitasi dalam penangkapan dengan menggunakan cara penangkapan yang merusak. Hal ini terjadi karena adanya permintaan pasar yang meningkat, kemudian tidak diimbangi dengan upaya konservasi yang berkelanjutan. Dalam kondisi penangkapan berlebih dengan menggunakan bahan yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan bius, menjadikan ekosistem karang sebagai habitat ikan konsumsi karang hidup mengalami kerusakan. Penangkapan berlebih dengan tidak memperhatikan keramahan lingkungan dan kriteria spesies komoditas, menyebabkan terjadinya kelangkaan ikan. Menurunnya stok ikan di alam, membuat kenekatan nelayan mencari daerah fishing ground yang baru. Kelima, Seafood Savers muncul sebagai reaksi atas kerusakan alam yang terjadi dan menurunnya persedian ikan di alam. Reaksi tersebut muncul sebagai gerakan dari permintaan pasar yang ingin mendapatkan sertifikasi ekolabel Marine Stewardish Council. Seafood Savers merupakan bentuk globalisasi 42 pengelolaan sumberdaya perikanan. Penerapan Seafood Savers merupakan upaya global dalam memerangi dan menurunkan angka praktek IUU Fishing. Penggunaan bahan kimia, sangat membahayakan kepentingan konsumen dan juga produsen. Proses penangkapan yang menggunakan alat tidak layak dalam menjaga keselamatan layak dipertimbangkan dalam ecolabelling ini. Sehingga dari segi perlindungan aktor grass root adalah bahwa Seafood Savers adalah sebagai penjamin keselamatan nelayan penangkap karena mengatur dilarangnya penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan dan penangkapan secara liar di alam. Dalam hal ini menjadi penting untuk mempelajari dan melihat praktek Seafood Savers, yang terjadi pada komunitas maupun pada pasar. Pendekatan aktor untuk mengetahui keefktifan institusi Seafood Savers, sangat diperlukan. Dengan pendekatan komunitas dan juga pasar, apakah Seafood Savers, dapat menjadikan instrumen kolaborasi manajemen sumberdaya ikan konsumsi karang hidup dalam memepertemukan aspek populis dan aspek pasar. Sehingga diharapkan institusi Seafood Savers bias menjadi instrumen yang berpihak pada masyarsakat (populis). Kajian end to end antar aktor sangat penting dalam penelitian ini, mengingat kebijakan seafood savers komoditas ikan konsumsi karang hidup begitu komplek siklus perdagangannya, yang melibatkan end actor nelayan dan end actor konsumen. Analisis kelembagaan sumberdaya milik bersama merujuk dari konsep dan teori Elinor Ostrom, 1990; 1994; 2005 dan Arif Satria, 2006. Ostrom, 1994; Satria 2006 mendefinisikan kelembagaan sebagai seperangkat aturan kerja yang melekat pada aktor, dimana mempunyai kewenangan membuat/merencanakan keputusan, aktifitas apa dalam pemanfaatan sumberdaya yang boleh dilakukan, prosedur aturan apa saja yang harus ditaati, informasi apa yang harus disampaikan dan tidak disampaikan, ketentuan-ketentua sanksi apakah yang dikenakan terhadap aktor, baik individual maupun koleksi apabila tidak mengikuti kesepakatan bersama. Sedangkan menurut Ruddle, 1999; Satria, 2006, menelaskan bahwa kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam mempunyai beberapa aspek, yaitu: (1). Batas teritori yang jelas, (2). Aturan, (3). Kewenangan, (4). Hak, (5). Sanksi, dan (6) Monitoring. 43 Dalam penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji bekerjanya instrumen Seafood Savers yang diterjemahkan menjadi kelembagaan keberlanjutan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup, dimana di dalamnya memuat aturan-aturan keberlanjutan lingkungan secara bio-fisik, mengikat antar aktor yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, mengikat dalam aturan komunitas, aturan pasar yang nantinya diharapakan dapat sebagai bahan masukan dalam evaluasi tentang bekerjanya kelembagaa tersebut. Selain itu dikaji pula bagaimana pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdapat di Kepulauan Wakatobi. Kepulauan Wakatobi mempunyai status sebagai Taman Nasional sejak Tahun 1996 melalui keputusan Menteri Kehutanan. Dalam penelitian ini penting untuk mengetahui pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang terjadi di kawasan konservasi dan masuknya instrumen ecolabelling seafood savers. Sehingga dapat diketahui pengelolaan seperti apa yang berjalan dan yang seharusnya berjalan di Kepulauan Wakatobi untuk sumbedaya perikanan konsusmi karang hidup yang mempunyai habitat di terumbu karang. 44 Kepentingan Negara Sistem Zonasi Taman Nasional Kepentingan Pasar Keberlanjutan Perikanan Kepentingan Komunitarian 1.Proses Konsumsi: -Interaksi aktor; -Pola Kebijakan. Seafood Savers 2.Proses Distribusi: -Interaksi aktor; -Pola Pemasaran 3.Proses Produksi: -Interaksi aktor -Pola penangkapan; Pola Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dalam Kawasan Konservasi Dampak : 1. Sosial: -Interaksi aktor: -Jaringan Penangkapan; -Jaringan Pemasaran/Distribusi. 2. Ekonomi: -Modal penangkapan; -Ikatan hutang 3. Ekologi: -Penggunaan teknologi; -Faktor eksternal. 4. Kabijakan: -Jaringan Pengaman Stakeholder: -Negara; -Komunitas; -Pasar; -NGO Sumberdaya Perikanan Konsumsi Karang Hidup dalam Kawasan Konsevasi Gambar 2.1. Bagan alir kerangka pemikiran peneltian. 45 2.9. Hipotesis Pengarah Terdapat hipotesis utama guna menjawab pertanyaan penelitian, yaitu “apabila mekanisme Seafood Savers pada komoditas ikan konsumsi karang hidup diterapkan, bagaimana pelaksanaannya di lapangan dan dampaknya terhadap proses produksi, distribusi dan konsumsi, mengingat bahwa proses produksi dan distribusi komoditas tersebut erat dengan berbagai masalah disetiap lini, baik lini lokal (produksi), lini regional (distribusi) dan lini global (konsumsi) dan bagaimana relasi aktor pada tiap level, baik produksi-middle man dan konsumen. Seafood Savers adalah instrumen pengelolaan sumerdaya perikanan karang hidup dan bagaimana bentuk kolaborasi manajemen yang mempertemukan kepentingan komunitas nelayan dengan kepentingan pasar?”. Selain itu, terdapat hipotesis pengarah untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yang diajukan. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, terdapat beberapa hipotesis kerja sebagai berkut: • ”Seafood savers merupakan kelembagaan yang berjalan secara efektif pada level komunitas dan pasar”; • “Seafood savers merupaka instrument baru yang menjadikan kekurangan hubungan dan jaringan produksi dan distribusi antar aktor menjadi lebih dinamis”; dan • “Bila relasi aktor produksi-distribusi-konsumsi tidak setara, Seafood Savers dapat menjadi alternatif yang mengakomodasi kepentingan komunitas (produksi) dan kepentingan pasar (distribusi dan konsumsi)”. 2.10. 1). Konsep Penting Penelitian Komoditas ikan konsumsi karang hidup: ikan hasil tangkapan nelayan di alam yang merupakan ikan karang hidup yang terjaga dalam kondisi hidup mulai dari penangkapan di alam sampai pada proses konsumsi untuk dapat disajikan dalam bentuk yang segar. Produksi tangkapan nelayan tersbut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yang diperjualbelikan melalu aktoraktor jaringan perdagangan. 3). Komunitas nelayan ikan konsumsi karang hidup: Nelayan ikan konsumsi karang hidup yang mempunyai hak dan kewajiban yang melekat pada peran dan status pada masing-masing aktor (pelaku) dalam interaksi sosial. Dalam 46 struktur sosial ikan konsumsi karang hidup ada hak dan kewajiban, sebagai nelayan dan sebagai bos. 4). Produksi dan distribusi: produksi adalah sebagai pelaku yang memproduksi sebuah komoditas, dalam hal ini adalah nelayan sebagai penangkap ikan konsumsi karang hidup, dan distribusi adalah pelaku distribusi dari komoditas yang berhubungan dengan jaringan pemasaran komoditi ikan konsumsi karang hidup. 6). Kerusakan dan kelangkaan sumberdaya perikanan: Kerusakan habitat hidup sumberdaya perikanan sebagai akibat dari adanya penangkapan berlebih dengan menggunakan alat penangkapan yang merusak, sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan sumberdaya perikanan sebagai akibat dari menurunnya stok ikan. 7). Permintaan konsumen pasar: bentuk dorongan pasar akan kebutuhan konsumen terhadap sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup. 8). Seafood savers: instrumen pengelolaan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan dengan bertujuan mengupayakan keberlanjutan sumberdaya dan keberlanjutan livelihood masyarakat pesisir. Seafood savers merupakan bridging mechanism sebagai upaya untuk mengurangi adanya dampak IUU Fishing. 9). Institusional pengolahan sumberdaya: kajian studi tentang institusional yang terkait dengan pengolahan sumberdaya. Dalam kajian tersebut aspek norm, rule, entitle dan strategy masayarakat menjadi pilar penting. 10). Kolaborasi manajemen: pengelolaan sumberdaya dimana melibatkan masyarakat lokal beserta institusinya dalam peran serta memberikan keputusan dan bertanggung jawab akan keberlanjutan sumberdayanya; membuat keputusan siapa, kapan dan dimana pengguna sumberdaya boleh mengakses sumberdaya; serta memberikan keuntungan yang sepadan dalam kontek persetujuan pengaturan sumbedaya alam bersama pemerintah 11). Pendekatan komunitas: sebuah studi dimana aspek komunitas menjadi kajian yang mendalam dalam rangka keberpihakan terhadap masyarakat (ideologi populis). 47 12). Pendekatan pasar: sebuah studi dimana aspek pasar dilihat dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan (market driven to sustainable fisheries) (ideologi pasar). 48