13 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Globalisasi, Roving

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Globalisasi, Roving Bandits dan Sumberdaya Kelautan Perikanan
Tingginya pemanfaatan hasil laut dunia, menjadikan cermin tentang krisis
sumberdaya perikanan global. FAO melaporkan pada Tahun 2005 terjadi
penangkapan perikanan laut dunia mencapai 84,2 juta ton (Satria, et.al., 2009c: 1).
Dengan adanya krisis perikanan laut dunia, menjadikan cermin dalam pengelolaan
perikanan bertanggung jawab dan memperhatikan ekosistem untuk kedepannya,
guna menjawab pembangunan perikanan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan jika
kelestarian sumberdaya ikan di suatu negara terganggu, dikhawatirkan akan
merusak ataupun mengganggu perikanan global, karena stok ikan di negara lain
pun ikut terganggu, khususnya untuk komoditas ikan yang mempunyai sifat fleet
migration, lintas teritorial negara (transboundary) (Satria, et.al.2009c:2).
Satria (2009b: 129-; 2009c: 117), mengemukakan bahwa globalisasi
perikanan terdapat dalam tiga isu, yaitu globalisasi produksi, globalisasi
pengelolaan sumberdaya dan globalisasi perdagangan. Isu pertama adalah
globalisasi produksi, produksi perikanan suatu negara sangat tergantung pada
sumberdaya ikan global. Dalam globalisasi produksi terdapat polarisasi antara
kekuatan investor antara negara maju (NM) dengan nengara sedang berkembang
(NSB) seperti Indonesia. NSB, dinilai lamban dalam menyiasati kebijakan
produksi perikanan dan akhirnya mengalami penurunan dalam produksi
perikanan. Sedangkan NM memiliki investor dengan kekuatan modal dan
teknologi berlebih, sehingga terjadi ekspansi produksi perikanan terhadap wilayah
NSB. Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, baik NM
maupaun NSB, diharuskan tunduk pada konvensi internasional tentang
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
yang
lestari.
Konsekuensi
dari
pembangkangan terhadap konvensi internasional, akan dikenai sanksi melakukan
praktek Illegal, Unregullated, Unreported Fishing, termasuk dalam pencurian
dan tangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Sedangkan isu ketiga, globalisasi
perdagangan dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi NSB. Peluangnya
adalah NSB mempunyai kesempatan besar untuk meraih pasar NM, sedangkan
ancamannya adalah bahwa keuntungan dari hasil perdagangan hanya akan
13 dinikmati oleh eksportir atau pengusaha besar, sedangkan nelayan hanya
menikmati harga lokal yang menjadi permainan eksportir.
Produksi seringkali dikaitkan sebagai hasil dari proses kerja. Bernstein
(2010), secara inisial mendefinisikan bahwa produksi sebagai hasil dari suatu
proses dimana buruh/pekerja memanfaatkan sumberdaya sebagai wujud untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pekerja yang memproduksi hasil dari proses
kerja, memanfaatkan sumerdaya alam sebagai produser dalam lingkungannya.
Dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan adalah aktor produser
yang memproduksi hasil komoditas tersebut.
Proses produksi tersebut utuk menghasilkan perdagangan melalui proses
distribusi sebagai penyalur hasil produksi dari produser ke konsumen. Damsar
(2009), menyebutkan, distribusi adalah sebuah media pertukaran yang terdapat di
dalamnya suatu perangkat hubungan sosial untuk mengalokasikan barang dan jasa
dari produsen ke konsumen dalam sirkulasi perdagangan melalui pertukaran
media pasar. Aktor distribusi adalah aktor yang mempunyai modal dan mampu
membeli hasil produksi dari produsen. Middle man adalah aktor yang mempunyai
kemampuan secara modal dan jaringan pemasaran dalam memanfaatkan
pertukaran hasil produsen ke konsumen.
Produksi bukan hanya proses yang terkait dengan hasil dan kerja saja,
tetapi lebih mendalam tentang hubungan antara pekerja dan pemilik modal dalam
usahanya memanfaatkan sumberdaya alam termasuk penggunanaan teknologi,
pemberian modal dan jaminan sosial keamanan. Radjawali (2011; 2012), dalam
usaha produksi ikan konsumsi karang hidup, punggawa (middle man) sebagai
pemilik modal memberikan kepada nelayannya modal bekal untuk menangkap
ikan, teknologi sebagai peralatan alat tangkap, kapal, memberikan jaminan sosial
dan keamanan terhadap aktifitas produksinya. Sedangkan sawi sebagai
nelayannya menyerahkan dan menjual hasil tangkapannya kepada punggawa
untuk keberlangsungan proses produksi dan distribusi dalam rangkain rantai
perdagangan (supply chain) komoditas ikan konsumsi karang hidup sampai tahap
eksportir ke konsumen Hong Kong.
Johannes and Rippen (1995), menyatakan bahwa perusahaan perikanan
Hong Kong memulai eksploitasi ikan konsumsi karang hidup di sekitar laut China 14 Selatan pada awal Tahun 1968. Ikan konsumsi karang hidup dikonsumsi sampai
ke konsumen dalam keadaan hidup setelah penangkapan, tetapi pada awalnya
kebanyakan komoditas tersebut adalah ikan air tawar dan beberapa jenis ikan laut
yang ditangkap secara sedikit oleh nelayan lokal. Setelah Tahun 1968, tingkat
konsumerisme meningkat untuk lebih mengkonsumsi ikan yang mempunyai
warna mencolok seperti jenis ikan karang tropis. Laju perkembangan ekonomi di
Asia Tenggara pada saat itu juga mendukung munculnya elit-elit Hong Kong yang
mampu membeli komoditas ikan konsumsi karang hidup. Oomen (1998) dalam
Donnelly (2009), menyatakan bahwa adanya hubungan kultur China-Hong Kong
dengan mengkonsumsi ikan konsumsi karang hidup yang biasanya penuh dengan
identik warna merah. Mitos China mengatakan apabila mengkonsumsi karang
hidup menambahkan kekuatan dan keberkahan dalam hidup dan akan mengalami
proses reinkarnasi pada kehidupan selanjutnya yang lebih baik dengan kehidupan
saat ini.
Perdagangan ikan karang konsumsi hidup di Indonesia dimulai dengan
masuknya kapal Hong Kong sekitar dekade 1980-an (Radjawali, 2011).
Pengusaha perikanan dari Hong Kong mempekerjakan nelayan di Kepulauan
Spermonde sebagai penyelam untuk menangkap ikan karang hidup. Mereka
jugalah yang membeli dan mengirim langsung ke Hong Kong dengan
menggunakan kapalnya sendiri yang dilengkapi bak akuarium besar sehingga
ikan-ikan tersebut bisa hidup dalam perjalanan dari Spermonde ke Hong Kong.
Fenomena masuknya investor ikan konsumsi karang hidup, merupakan
fenomena roving bandit. Secara terminologi roving bandit merupakan bentuk
kontras dari stationary bandits, Olson (2000) dalam FAO (2009: 11-12). Roving
bandit merupakan bentuk ekspansi sumberdaya perikanan yang tidak mempunyai
insentif dan tanggung jawab dalam ekspansi sumberdaya perikanan. Hal ini
merupakan peran roving bandits yang dijalankan oleh aktor dengan mobilitas
tinggi, dimana dapat mengekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan
efisien. Ketika sumberdaya perikanan mulai menurun ataupun tidak mempunyai
keuntungan dalam jangka waktu yang lama, roving bandits akan berpindah dan
menemukan area baru untuk eksploitasi. Dampak dari ekspansi roving bandits
adalah tidak ada konseksuensi tanggungjawab terhadap wilayah yang telah di 15 eksploitasi untuk memulihkan kembali potensial wilayah perikanannya. FAO
(2009), menyebutkan bahwa fenomena roving bandits, sebagai modernisasi
perikanan yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: 1). Kemampuan
teknik peralatan dan teknologi, seperti kapal dan teknologi penangkapan lainnya,
2). Operator perdagangan yang mumpuni. Sehingga modernisasi perikanan
menguasai dua modal, yaitu teknologi dan jaringan pasar.
Pengaruh dari hadirnya roving bandits merupakan bentuk dari “tragedy of
the commons” yang melekat sifat bebas akses (open access) terhadap sumberdaya
perikanan. Sumberdaya perikanan akan mengalami deplesi sebagai bentuk dari
pengaruh globalisasi, seperti pengaruh pasar baru yang menyebabkan terjadinya
ekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan terus menerus (Berkes, et,al.
2006).
2.2.
Struktur Sosial Masyarakat Nelayan
Struktur sosial sangat erat sekali hubungannya dengan sistem sosial.
Struktur sosial melekat pada hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi
sosial. Pola hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial terwujud dalam
rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Hak
dan kewajiban antar interaksi pelaku tersebut melekat pada peran dan status antar
pelaku. Status dan peran itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam
masyarakat menurut kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang berkaitan
dengan kesatuan sosial dan interaksi sosial. Menurut Satria (2002), status adalah
kumpulan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing aktor (pelaku),
sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status. Status dan peran seorang
nelayan berbeda dengan status dan peran seorang bos. Peran dan status pada suatu
masyarakat diatur oleh norma-norma yang diakui dan dipatuhi oleh pelaku.
Kompleksitas karakteristik struktur sosial suatu masyarakat tergantung
dari keadaan masyarakat, semakin modern masayarakat tersebut maka semakin
luas interaksi sosialnya dan semakin banyak pula sumber status, peran, hak dan
kewajiban antar pelakunya. Satria (2002), menyebutkan karakteristik masyarakat
pesisir sebagari representasi komunitas desa-pantai yang memiliki karakteristik
sebagai berikut:
16 1. Sistem pengetahuan
Pengetahuan merupakan indigenous knowledge tentang teknik
penangkapan ikan yang didapat secara turun temurun dari nenek
moyang. Pengetahuan lokal tersebut merupakan kekayaan hingga kini
terus dipertahankan demi terjaminnya kelangsungan hidup nelayan;
2. Sistem kepercayaan
Secara sosio-religio magis, nelayan masih kuat kepercayaannya bahwa
laut mermpunyai nilai magis untuk keselamatan dan terjaminnya hasil
tangkapan ikan. Dalam masyarakat Bajo, kepercayaan laut sebagai
“mbo dilao” merupakan kebudayaan dan kepercayaan tersendiri, yang
mempunyai peran bahwa hidup mereka adalah tergantung dari laut.
Selain itu masyarakat Bajo menyebut laut dengan sebutan “koko dilao”
yang artinya adalah kebon untuk penghidupan mereka;
3. Peran wanita
Peran istri nelayan mempunyai peran yang vital dalam menstabilkan
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan. Suami mempunyai
peran menangkap ikan secara berkala, sedangkan istri mempunyai
peran dalam pengelolaan pendapatan rumah tangga, juga mempunyai
peran terhadap ikatan hutang suami terhadap majikannya. Sedangkan
istri majikan mempunyai peran yang penting dalam pengaturan
keuangan untuk usaha produksi suaminya.
4. Struktur sosial
Struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien. Ikatan patron-klien dinilai sebagai konsekuensi dari sifat
kegiatan penangkapan ikan yang mempunyai resiko besar, uncertainty
dan unpredictable. Pola ikatan patron-klien merupakan jaminan secara
ekonomi bagi komunitas nelayan;
5. Posisi sosial nelayan
Posisi nelayan berada dalam posisi yang margin dan rendah. Hal ini
dikarenakan karena aktifitas nelayan yang sebagaian besar dihabiskan
di laut, sehingga mempunyai sedikit waktu berinteraksi dengan
masyarakat lainnya. Posisi margin, kebanyakan dari nelayan terikat
dalam ikatan hutang patronase yang menjadikan posisi nelayan selalu
17 dalam posisi yang tidak mempunyai posisi tawar baik dalam proses
penjualan hasil tangkap, maupun dalam akses perdagangan (pasar).
Menurut Satria (2002), nelayan adalah seseorang yang sumber mata
pencahariannya secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan. Sebagai
komunitas nelayan berbeda secara karakteristik dengan komunitas lainnya.
Perbedaan tersebut terletak pada: 1). Komunitas nelayan, tinggal dan menetap
serta melakukan aktivitas di perairan sebagai kebudayaan dan keberlangsungan
hidup individu dan komunitasnya, 2). Alat operasi tangkap ikan, nelayan
menggunakan peralatan sederhana, baik tanpa mesin maupun dengan mesin, 3).
Struktur sosial dalam masyarakat nelayan dicirikan dengan kentalnya hubungan
patron-klien. Hubungan patron-klien dinilai menjaga kelangsungan proses
produksi karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi produksi
perikanan, dan 4). Ikatan patron-klien tersebut menyebabkan terjadinya stratifikasi
sosial dalam komunitas.
Menurut data penelitian sebelumnya (Glaser, et.al, 2010; Radjawali, 2011;
Deswandi, 2012), dalam usaha yang dilakukan di Kepulauan Spermonde,
menangkap ikan konsumsi karang hidup, nelayan memiliki karakteristik
perbedaan alat tangkapnya, seperti: (1). pabius adalah nelayan yang alat
penangkapannya
menggunakan
bius,
(2).
pabom
adalah
nelayan
yang
menggunakan bom dalam menangkap ikan, (3). papancing, dimana pancing
sebagai alat untuk menangkap ikan, dan (4). pabubu maupun pareng-reng, alat
tangkap ikan dengan bubu dan jaring.
Mengenai hubungan patron-klien (Legg, 1983; Najib, 1999, dalam Satria,
2002; Radjawali, 2011), mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien
dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersifat:
1. Terjadi hubungan asimetris antar aktor pemanfaat dan pengguna
sumberdaya perikanan;
2. Hubungan yang bersifat khusus yang bersifat pribadi yang saling
membutuhkan berdasarkan rasionalitas ekonomi, kekuasaan (power),
maupun kinship;
3. Hubungan tersebut didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling
membutuhkan.
18 Dalam struktur sosial nelayan ikan konsumsi karang hidup, pola hubungan
patron-klien merupakan ciri spesifik dari struktur komunitasnya. Hubungan
patron-klient adalah hubungan asimetris ketergantungan yang terjadi antara
pekerja/debitur
dengan
pengusaha
(pemodal)/kreditur
(Radjawali,
2012).
Hubungan patron-klien merupakan struktur asli yang diadopsi dari pertanian,
namun dalam perikanan dikembangkan lebih kompleks. Merujuk Foster (dalam
Satria, 2002), bahwa gejala patron-klien disebut juga dengan istilah dyadic
contract, artinya hubungan antara dua kesatuan produksi dan distribusi yang
bekerja sama.
Pandangan James C. Scott (1993:7-8), banyak dijadikan rujukan teori
dalam mengupas pola hubungan sosial assosiatif antara patron dan klien
(patronase). Hubungan patron-klien adalah hubungan vertikal yang menunjukkan
hubungan kesetiaan antara klien terhadap patronnya. Hubungan patron-klien
merupakan sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang bersifat diadik
melibatkan hubungan instrumental di mana seorang patron dengan status sosialekonomi lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk
memberikan perlindungan ataupun keuntungan bagi seseorang dengan status lebih
rendah (klien). Hubungan patron-klien bersifat inequality dan flexibility sebagai
sebuah pertukaran pribadi. Jaringan patron-klien merupakan jaringan pertukaran
tradisional yang berfungsi sebagai penyatu hubungan pertukaran individu baik
dalam kontek kekerabatan maupun di luar kekerabatan sebagai balok pertukaran
yang timbul dari kebutuhan sumberdaya dari masing-masing aktor yang terlibat,
seperti materi, jasa, perlindungan, dsb.
Masih menurut Scott (1993: 9), jaringan patronase (arus dari patron ke
klien) meliputi: (1). Penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan
tetap, penyediaan sarana produksi, jasa pemasaran dan bantuan teknis; (2).
Jaminan krisis subsistensi berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien
menghadapi kesulitan ekonomi; (3). Perlindungan terhadap klien dari ancaman
pribadi (musuh pribadi) dan ancaman umum (tentara, pejabat atau pemungut
pajak); (4). Makelar dan pengaruh, jika patron memberikan perlindungannya
terhadap ancaman yang berasal dari luar, patron juga menggunakan kekuatan dan
kekuasaannya
untuk
menarik
kliennya.
Perlindungan
merupakan
peran
19 defensifnya dalam menghadapai dunia luar, sedangkang kemakelaran adalah
peran agresifnya untuk tetap membuat klien bersifat loyal terhadapnya. (5).
Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum
setempat serta mendukung adanya kegiatan hari besar di daerahnya.
Pelras (2000: 16), menyebutkan bahwa hubungan patron-klien sebagai
karakteristik pertukaran yang bersifat umum, tidak seimbang (tetapi secara teori
tidak terikat) merupakan hubungan antara superior (patron/leader) dan inferior
(klien atau pengikut), sebagai bentuk pertukaran yang asimetris, di mana posisi
patron mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan akan kliennya,
termasuk jaminan dalam hal keamanan, ekonomi, politik, tekanan militer dan
sebagainya, sampai terhadap bentuk pertukaran sistem hutang dan perlindungan
yang dibutuhkan oleh patron dan klien.
Dari temuan hasil peneltian sebelumnya, pada komunitas struktur nelayan
ikan konsumsi karang hidup di Kepulauan Spermonde (2010), sangat kental
diwarnai adanya sistem patron-klien. Patron memberikan jaminan sosial terhadap
kliennya dalam bentuk hutang dan modal untuk melakukan kegiatan produksi,
membeli hasil produksi tangkapan, dan melindungi kliennya dari ancamanancaman kelancaran produksi. Sedangkan klien mempunyai kewajiban menjual
hasil tangkapannya kepada patronnya dengan kesepakatan harga yang telah di
sepakati dan ditentukan. Sistem patron-klien menyebabkan adanya stratifikasi
sosial.
Komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan tidak berdiri sendiri,
artinya nelayan mempunyai penjamin sosial akan kehidupan mereka dan produksi
mereka untuk dapat dipasarkan keluar pulau. Nelayan mempunyai juragan
pembeli yang tidak luput juga memberikan peralatan tangkap dan perahu untuk
produksi ikan konsumsi karang hidup. Komoditas ikan konsumsi karang hidup
membentuk struktur komunitas nelayan di Kepulauan Spermonde yang terkenal
dengan istilah ikatan punggawa-sawi. Punggawa adalah seorang juragan yang
memberikan hutang dan jaminan sosial kepada sawinya (nelanyannya) untuk
melanjutkan usaha produksi penangkapan ikan konsumsi karang hidup.
Sedangkan sawi adalah nelayan yang memberikan atau menjual hasil
tangkapannya kepada punggawa mereka. Dikaji dari segi sosial dan ekonomi,
20 tingkat kehidupan nelayan kecil tidak banyak berubah. Artinya, tingkat
kesejahteraan mereka bersifat statis bahkan merosot. Hal yang seperti ini dialami
oleh buruh-buruh sawi yang bekerja kepada punggawa baik menggunakan alat
tangkap tradisional maupun modern seperti perahu joloro. Karena mempunyai
tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam struktur masyarakat sawi merupakan
lapisan sosial yang paling bawah.
Struktur masyarakat nelayan yang kental dengan ikatan patron-klien
menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam struktur masyarakat nelayan
tersebut. Startifikasi sosial berarti pembedaan masyarakat berdasarkan strata
(kelas) secara hirarkhi (Sorokin, 1969; dalam Satria 2002). Basis dari pembedaan
tersebut adalah right and previllage, duties and responsibility, social values and
privations, and social powers and influences among the member of society.
Sehingga startifikasi sosial masyarakat nelayan dapat dibedakan berdasarkan: (a).
stratifikasi berdasarkan ekonomi, (b). stratifikasi berdasarkan politik dan (c).
stratifikasi berdasarkan pekerjaan.
2.3.
Jaringan Perdagangan Ikan Konsumsi Karang Hidup
Hasil tangkapan nelayan, berupa ikan konsumsi karang hidup tersebut
dipasarkan keluar pulau untuk dijual ke pembeli besar (bos) yang mempunyai
koneksi perdagangan langsung dengan pembeli yang ada di pulau. Ikan konsumsi
karang hidup ini dijual dalam keadaan hidup sampai di konsumen dalam negeri
atau konsumen di luar negeri melalui restoran yang menyediakan ikan konsumsi
karang hidup dalam keadaan hidup dan kondisi segar. Menurut Scales, et.al,
(2007), ikan konsumsi karang hidup, diidentifikasi sedikitnya ada 9 species ikan
karang hidup yang laku di pasaran pada tingkat konsumen sehingga memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, yaitu: Ephinephelus lanceolatus (Giant grouper),
Cromileptes altives (High-finned grouper), Ephinephelus coioides (Green
grouper),
Ephinephelus
fuscoguttatus
(Tiger
grouper),
Ephinephelus
polyphekadion (Flowery grouper), Plectropomus leopardus (Leopard grouper),
Plectropomus maculates (Spotted grouper), Cheilinus undulates (Humphead
wrasse), dan Lutjunus argentimaculatus (Mangrove snapper).
21 Sedikitnya dari lima species ikan tersebut di atas (yang dicetak miring) di
tangkap di wilayah perarian Indonesia timur yang menjadi komoditas utama dari
nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Ikan konsumsi karang hidup
tersebut ditangkap dan dipasarkan melalui “jaringan perdagangan antar pulau,
antar propinsi sampai jaringan internasional”. Ikan tersebut di kirim dengan jarak
yang jukup jauh dalam waktu yang lumayan lama, sehingga dibutuhkan perlakuan
khusus agar mampu menjaga ikan tersebut dalam keadaan hidup dan bentuk yang
bagus sampai ke konsumen. Pasokan utama ikan konsumsi karang hidup dari
Indonesia timur adalah jenis ikan Sunu, Kerapu dan jenis Napoleon.
Berbicara tentang ikatan pelaku produksi dan distribusi ikan konsumsi
karang hidup melekat pada jaringan perdagangan ikan konsumsi karang hidup
yang membentuk ikatan patron-klien. Ikatan produksi dan distribusi tersebut
menghasilkan
pertukaran
barang
dan
uang
yang
masing-masing
aktor
membutuhkan satu sama lain. Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan
perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Dalam arti, aktor mungkin saja
individu, tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan
ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu dan kolektivitas)
mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang benilai (kekayaan,
kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung
terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain.
Grannovetter (1973), menekankan bahwa jaringan mengikat pada ikatan
lemah dan kuat antar aktor yang dalam kegiatan produksi-distribusi. Pola jaringan
dalam struktur masyarakat pun bisa terjadi dalam hubungan aktor yang bersifat
simetris maupun asimetris. Beberapa prinsip teori jaringan, yakni: (1). Ikatan antar
aktor biasanya bersifat simetris, baik isi maupun intensitasnya (aktor saling
memberi hal berbeda, dan mereka melakukannya dengan kurang lebih intens); (2).
Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur dan jaringan yang
lebih besar; (3). Perstrukturan ikatan sosial mengarah kepada berbagai jaringan
yang tidak acak, (4). Keberadaan kelompok mengarah pada fakta bahwa mungkin
saja terdapat kaitan silang antar kelompok maupun antar individu; (5). Terdapat
ikatan asimetris antar elemen dalam suatu sistem yang akibatnya adalah sumber
22 daya yang berlainan terdistribusikan secara berlainan; (6). Ketimpangan distribusi
sumber daya yang langka melahirkan kolaborasi dan kompetisi.
Usaha dalam mempertahankan kondisi ikan konsumsi karang hidup agar
tetap hidup dan segar (tidak rusak dalam kondisi fisiknya), ikan tersebut diberi
perlakuan untuk mempertahankan kehidupannya. Perlakuan tersebut diberikan
melalui suntikan antibiotik dan multivitamin sejak mulai setelah penangkapan di
lapangan, kemudian di masukan kedalam pemberokan (tempat penampungan ikan
sementara untuk istirahat) dalam waktu satu malam sebelum dikirim ke
Perusahaan eksprotir. Sebagai contoh di Makassar, perlakuan serupa pun terjadi.
Pengemasan ikan karang hidup sebelum di kirim lewat udara menuju Jakarta
terlebih dahulu di bius agar tidak menimbulkan kematian dan kerusakan fisik.
Efek dari bius tersebut mempunyai efek waktu selama perjalanan dari Makassar
sampai ke Jakarta. Ketika di Jakarta ikan tersebut di pulihkan kembali dan dengan
diberi perlakuan yang sama, sampai akhirnya sampai pada tujuan ekspor di Hong
Kong (Radjawali, 2011).
Jaringan
perdagangan
secara
tidak
langsung
memaksa
adanya
penangkapan ikan karang hidup secara terus menerus dan bahkan berlebih. Ketika
terjadi penangkapan yang berlebih, sumber daya perikanan akan terus berkurang
di
sekitar
perairan
Spermonde.
Penangkapan
ikan
menjadi
kurang
produktif/tangkapan per unit usaha menurun (yaitu untuk beberapa teknologi alat
penangkapan (seperti pancing, bubu dan jaring)), sehingga nelayan yang terkena
dampaknya akan mengurangi ukuran jaringnya dan berpindah ke metode yang
lebih berproduktif. Hal ini disebabkan karena permasalahan lain, bahwa ikan
karang hidup ditangkap di perairan lokal, tetapi pasarnya di luar yurisdiksi
Indonesia
(transboundary),
sehingga
‘pengendali’nya
adalah
pasar
dan
dikombinasikan dengan ketiadaan jaminan sosial pemerintah dan pengetahuan
yang baik akan kesadaran lingkungan, serta tekanan ekonomi pada nelayan, maka
dengan sendirinya nelayan mencari ikan sebanyak-banyaknya untuk sekedar
memenuhi hidup atau bahkan membayar hutang (Radjawali, 2011).
Peningkatan permintaan akan pasar secara berlebihan pada pasar
internasional
menangkap
menyebabkan
species
penangkapan
yang
berlebihan
pula,
baru secara berlebihan dan menyebabkan
dengan
banyak
23 bermunculan asosiasi untuk penangkapan ikan yang di dalamnya terdapat
sistematika jaringan punggawa untuk setiap jenis ikan dan sawi akan menangkap
ikan apapun yang ada, dimana mereka tahu akses untuk menangkapnya dan
tempat untuk menjualnya (Radjawali, 2011). Scales, (2007), menyebutkan
setidaknya 19 negara mengekspor ikan konsusmi karang hidup ke Hong Kong.
Dari 19 negara tersebut kesemuanya berada di Asia Tenggara dan Pasifik.
Akselerasi perdagangan konsumsi ikan karang hidup cukup pesat
perkembangannya. Pengiriman ikan konsumsi karang hidup memakan perjalan
dengan jarak tempuh lebih dari 400 km (Johannes and Riepen, 1995; Bentley,
1999). Hal ini yang menyebabkan proses pengriman ikan konsumsi karang hidup,
diperlakukan sedemikan rupa dalam menjaga ikan tersebut hidup dengan kondisi
sempurna tanpa cacat apapun dengan keadaan yang segar. Sehingga perlakuan
tersebut banyak menggunakan bahan kimia untuk menjaga ikan tersebut dalam
keadaan hidup.
Dalam fenomena produksi-distribusi perikanan ikan konsumsi karang
hidup, eksportir sebagai “aktor” middle man yang bermain dalam pasar. Bahwa
hal ini merupakan ketergantungan dari nelayan kepada perusahaan-perusahaan
yang memberikan pasar termasuk middle man I dan middle man II di Bali dan
Jakarta. Hal ini menyebabkan nelayan tetap menjadi nelayan dengan terus
membayar hutang yang diberikan oleh middle man sebagai jaminan sosial dalam
ikatan produksi-distribusi patron-client. Dalam pertukaran barang dan jasa dalam
ikatan patron-klien tersebut menjadikan adanya ketidakseimbangan proporsi hasil
yang didapat antar pelaku produksi dan distribusi sehingga terjadi ketidaksetaraan
pendapatan yang diterima dalam masing-masing pelaku produksi dan distribusi.
Jaringan perdagangan tersebut melewati proses pengiriman ikan konsumsi
karang
hidup
terjadi
melalui
beberapa
tahap
level
pengiriman
dan
pemberangkatan yang masing-masing bertahap juga proses transaksi ekonominya.
Mulai dari tahap penangkapan di alam oleh nelayan lokal, kemudian di beli oleh
pembeli tahap I kemudian ditampung dalam pemberokan di pulau, di jual ke
pembeli tahap II yang ada di Makassar, kemudian di tampung dalam
pemberokkan Makassar, kemudian di kirim ke pembeli tahap III di Jakarta
melalui jalur udara, kemudian ditampung dalam pemberokan sampai akhirnya di
24 kirim ke Hong Kong ke retail pasar Hong Kong sampai ke level konsumen. Proses
tersebut tentunya proses yang lama yang menggunakan perlakuan ekstra agar ikan
tersebut tetap hidup dan kondisi segar sampai ke konsumen di Hong Kong
(Sadovy, et.al. 2003; Muldoon, 2009; Radjawali, 2011).
Jaringan perdagangan tersebut dibangun berdasarkan atas jaringan sosial
yang mengikat didalamnya modal sosial dan hubungan kekerabatan. Putnam,
1997 (dalam Prell, 2009), menyebutkan bahwa modal sosial terbetuk karena
adanya jaringan sosial dalam komunitas, norma, kepercayaan dan hubungan
timbal balik dimana menyebabkan adanya kerjasama dan hubungan keuntungan
yang timbal balik.
2.1.
Kepemilikan Sumberdaya
Istilah “sumberdaya alam” yang digunakan dalam konsep teori
kepemilikan sumberdaya mengacu kepada komponen ekosistem yang dapat
diperbaharui, salah satunya adalah sumberdaya perikanan karang hidup.
Sumberdaya perikanan seperti dipahami oleh beberapa komunitas sebagai milik
bersama,
dengan
konsekuensi
siapapun
dianggap
bisa
mengakses
dan
memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya. Permasalahan yang kemudian
muncul karena menganggap sumberdaya perairan bersifat open acess adalah tidak
adanya pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kelestarian
sumberdaya kelautan (Satria, 2009). Pengamatan yang sama dicatat dalam
penelitian Radjawali (2011; 2012), yang menemukan keterkaitan antara status
open access dengan rendahnya pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan
di kepulauan Spermonde. Berbicara sumberdaya perikanan dan kelautan
sebetulnya tidak lepas dari interaksi manusia dengan manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya tersebut. Jager et.al., (2000), menyebutkan bahwa
hubungan manusia dengan ekosistem adalah bermuka dua. Pada satu sisi, manusia
bergantung pada ekosistem sebagai sumber makanan, bahan baku untuk
membangun dan lingkungan yang sehat sebagai tempat hidup. Namun disisi yang
lain, manusia melakukan eksploitasi dan melakukan pencemaran alam dan yang
lebih parah terlihat penampakan seolah-olah ia tidak mempunyai hubungan
ketergantungan sama sekali pada ekosistem di sekelilinginya.
25 Berkes dan Farvar, 1998; Berkes et.al. 2001; Buck, 1998; Hanna and
Munasinghe, 1995, dan dikutip dari Satria, 2009), menyebutkan bahwa teori
sumberdaya, dalam kepemilikan sumerdaya laut dapat dibagi dalam empat
kategori, yaitu: Pertama, state poperty (res publica) di mana sumberdaya dimiliki
oleh seluruh warga Negara, dan pengenalian pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah. Kedua, private property (res pivate) dimana indvidu atau perusahaan
memiliki hak terhadap sumberdaya laut, seperti model Indvidual Tranferable
Qouta (ITQ) yang marak dikembangkan oleh negara-negara maju. Ketiga,
communal property atau common property, di mana sumberdaya dimiliki dan
dikontrol oleh sekolompok masyarakat. Keempat, open access, yang bersifat free
for all, property to no one. Keempat macam kepemilikan sumberdaya laut tersebut
merupakan tipe ideal, artinya secara empiris sulit ditemukan suatu rezim
pengelolaan
sumberdaya
kelautan
yang
persis
sebagai
suatu
kategori,
sebagaimana tipe ideal tersebut, misalnya perpaduan berbagai kategori meskipun
ada satu kategori yang menonjol.
Masih menurut Berkes dan Farvar (1989), (dikutip dari Satria, 2009),
konsep common property selama ini juga bermacam-macam, artinya pengelolaan
sumberdaya milik bersama sebagai the common property merupakan the
resources which are not amenable to private appropriation, so that such
resources are basically open access and freely available to anyone, dan kalangan
ilmuwan barat melihat common property seperti open access. Hal ini terlihat
dalam esay dari Garett Hardin (1986), tentang tragedy of the common yang
diartkan sebagai communally owned resources atau common property, yang
artinya suatu sistem kepemilikan yang menjamin akses sekelompok orang yang
secara kolektif mereka miliki (Gibbs and Bromley, 1989 dikutip dari Satria,
2009).
Ostrom (1990), menyebutkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan
common property right, dalam tingkatan sekecil apapun ada yang mengelolanya.
Di Indonesia umumnya laut sebagai sumerdaya milik bersama yang berlaku pada
wilayah pesisir di mana nelayan tradisional sebagai pengguna dalam menangkap
ikan. Dijelaskan dalam hal ini pengguna sumberdaya milik bersama memiliki
seperangkat hak (bundles of right), yaitu hak seperangkat hak yang dimiliki oleh
26 nelayan sebagai hak tradisional mereka. Lebih lanjut Ostrom dan Schalager
(dalam Right to Nature, Ed. Hanna, Folke and Maler,1996), membedakan hak
tradisional itu atas empat macam. Pertama, access right yaitu hak untuk
memasuki suatu wilayah laut. Kedua, withdrawal right yaitu hak untuk
melakukan kegiatan produksi dari hasil sumberdaya laut tersebut. Ketiga,
management right, adalah hak untuk mengelola sumberdaya. Keempat, exclusion
right, adalah hak untuk menentukan siapa saja yang boleh memiliki access right,
withdrawal right, alienation right yaitu hak untuk menjual atau mentransfer dan
management right atau exclusion right.
Perdagangan ikan konsumsi karang hidup di kepulauan Spermonde
dimulai pertengahan dekade 1980-an ketika kebutuhan pasar dari Hong Kong
mulai dipenuhi langsung dari supplier di sana. Menarik untuk memahami lebih
lanjut tentang perkembangan yang pesat terjadi di pasar Hong Kong yang
sebenarnya tidak memiliki sumber daya ikan konsumsi karang hidup. Mengikuti
logika dari “bandit berjalan” (roving bandits), dimulai di perairan Hong Kong
yang melakukan ekspansi sumberdaya perikanan sampai ke wilayah perairan
Indonesia. Terminologi “roving bandit” dikemukakan oleh Mancur Oslon, 2000
(dalam Berkes, et.al. 2006; FAO, 2009), tentang ekspansi sumberdaya oleh
pengguna sumberdaya alam sebagai sebagai akibat dari penurunan sampai
kelangkaan sumberdaya alam di wilayahnya. Ekspansi tersebut adalah ekspansi
sumberdaya alam milik bersama (commons property) dan sumber daya yang
bersifat bebas akses untuk pengguna (open access), mengingat dua sifat tersebut
melekat pada sumberdaya perikanan dan kelautan.
Menurut Fauzi (2005), ekspansi sumberdaya perikanan terjadi sebagai
akibat dari sifat sumberdaya ikan yang fugitive (bergerak bebas) dan sulitnya
melakukan fencing the ocean (pengkaplingan sumerdaya kelautan), mengingat
sifat kepemilikan sumberdaya kelautan adalah common pool resources. Fenomena
ini menyebabkan adanya fleet migration yang artinya dengan adanya teknologi
penangkapan ikan yang semakin meningkat, negara-negara yang mengalami
penurunan stok dan produksi sumberdaya ikan akan melakukan kompetisi dan
akan bereaksi mencari fishing ground yang lebih produktif baik secara legal
maupun illegal. Dalam hal ini akan menimbulkan adanya overfishing dan
27 overcapacity secara global dari suatu negara ke negara lainnya atau dalam skala
nasional dari suatu daerah ke daerah lainnya.
2.5.
Seafood Savers, sebagai Instrumen Pengelolaan Ikan Konsumsi
Karang Hidup
Perkembangan akhir-akhir ini bahwa sosiolog, anthropolog dan ahli politik
sedang memfokuskan dirinya terhadap permasalahan konsumsi. Perubahan pola
konsumsi dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial secara psikologi dan
ekonomi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh kegiatan perdagangan untuk
memprediksikan perubahan sosial akibat dari tingkah laku konsumen. Saat ini
penelitian tentang konsumsi dalam kajian ilmu sosial menjadi sangat
multidisipliner, yang merupakan gambaran atau cerminan dari meningkatnya
kepentingan pola konsumsi modern atau postmodern di dalam masyarakat.
Konsep tentang penelitian mengenai konsumsi menjadi bagian terhadap
permasalahan sosial sehari-hari. Kita sangat dekat dengan istilah ide tentang
“masyarakat beresiko/ risk society”. Tujuan disini adalah untuk menghubungkan
konsep
eco-labelling
(Eco-Standards,
Product
Labelling
dan
Green
Consumerism) dengan teori sosial. Eco-Standards, Product Labelling dan Green
Consumerism adalah termasuk salah satu instrument dalam EPIS (Environmental
Product Information Scheme) merupakan pengembangan secara teoritis dalam
ilmu kajian sosial. Informasi ini disajikan dari produsen ke produsen lain dan dari
produsen ke pelaku bisnis (bisnis) dan konsumer tentang pengutamaan produk
ramah lingkungan. Informasi ini dapat diperoleh secara kuantitatif (seperti berapa
banyak penangkapan ikan dengan cara memakai alat yang merusak lingkungan,
bagaimana pemrosesan dan pengemasan ikan tersebut, dsb.), kualitatif (seperti
penulisan tentang didapatnya darimana sumber produk itu berasal) dan secara
grafik (seperti bahwa ecolabelling itu dapat menjadi voluntary atau mandatory
dan apakah lingkupnya secara nasional, regional atau global).
Pada dasarnya Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism
adalah konsep tentang modernisasi ekologi. Pemakaian istilah modernisasi
ekologi merupakan “kata kunci” yang sering digunakan dalam sosiologi
lingkungan dan di dalam wacana ekologi politik. Modernisasi ekologi merupakan
konsep dan ideologi yang dituntun oleh konsepsi internasional yaitu World
28 Commission for Evironment and Development (WCED), yang berfokus pada
pendekatan sosiologi lingkungan secara mikro, penggunaan rendah dalam
teknologi, pedesaan utopis, terdapat arah kanan untuk pro lingkungan dan arah
kiri untuk pro pembangunan industri (Deere, 1999. FAO).
Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan
adalah sebuah isu yang sedang berkembang dalam perikanan yang melihat hasil
dari perikanan yang diperoleh dengan cara penangkapan yang ramah lingkungan
dan mempunyai efek minimal terhadap kerusakan lingkungan dengan melabelkan
produk perikanan sebagai perikanan ramah lingkungan dengan tujuan adalah
mengajak respon khayalak mengkonsumsi perikanan yang ramah lingkungan.
Pemberlakuan Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism dalam
menciptakan pasar berdasar pada produk perikanan yang ramah lingkungan dan
proses produksinya merupakan tujuan dari konvensi PBB Tentang Konservasi dan
Pembangunan Dunia (UNCED). Dasar dari dikuatkannya sistem Eco-Standards,
Product Labelling dan Green Consumerism di perikanan adalah merujuk dari
aturan FAO Tentang produk perikanan dan proses produksinya yang ramah
lingkungan, dalam rangka menciptakan kondisi keberlanjutan perikanan baik pada
pengaruh produksi tangkap perikanan maupun pasar perikanan. Eco-Standards,
Product Labelling dan Green Consumerism merupakan salah satu instrumen yang
memberikan label pada perikanan ikan karang hidup yang lebih ramah lingkungan
di masa yang akan datang (Bostrom and Klintman, 2008).
Di dalam kontek perikanan, Eco-Standards, Product Labelling dan Green
Consumerism perikanan seringkali dikaitakan dengan keberlanjutan ekologi dalam
sistem perikanan termasuk didalamnya adalah aspek biologi dan aspek
manajemen, tetapi tidak semuanya Eco-Standards, Product Labelling dan Green
Consumerism perikanan menyentuh aspek tersebut. Tipe Eco-Standards, Product
Labelling dan Green Consumerism perikanan tidak hanya menyentuh isu-isu
makro saja, seperti kriteria kredibilitas ecolabelling, keamanan dan keterjaminan
kualitas ikan konsumsi, hak-hak pekerja perikanan, keberlanjutan perikanan, dan
dampak penggunaan sumber bukan perikanan dan sumber perikanan terhadap
keberlanjutan ekologi, tetapi juga menyentuh aspek mikro, yaitu mengenai
penangkapan perikanan skala individu dan produksi perikanan skala individu.
29 Eco-standarization perikanan pada saat ini merupakan bentuk dorongan
yang kuat dari konsumen untuk mengetahui produk perikanan yang dikonsumsi
adalah ramah lingkungan, mulai dari manajemen penangkapan, proses
produksinya sampai darimana dan bagaimana ikan tersebut ditangkap. Hal ini
merupakan bukti kuat adanya permintaan dari konsumen untuk keberlanjutan
perikanan yang selama ini dalam kondisi di lapangan perikanan mulai berkurang
karena sistem penangkapan yang merusak dan terjadinya overfishing karena
didodorong oleh permintaan pasar.
Terdapat dua dimensi dalam ekologi modern, yaitu pertama, kita dapat
melihat sejarah tentang wacana aturan lingkungan yang berlaku di negera Eropa.
Kedua, kita dapat melihat konsep teori yang menggambarkan pendekatan dengan
sosiologi lingkungan, konsep keberlanjutan dan masyarakat yang makmur.
Giddens, 1991 (dalam Deere, 1999; Strandbakken; Scheer dan Rubik, 2005;
Gotberg, 2008), mengemukakan bahwa konsep modernitas biasanya diistilahkan
dengan istilah modernisasi secara sederhana. Menurut Giddens, modernisasi dapat
dimengerti secara sederhana dengan istilah industrilialisasi, akan tetapi kemudian
dipahami bahwa industrialisasi bukan hanya semata-mata hanya bersifat
instutisional saja. Sebetulnya jenis dari modernisasi mempunyai hubungan dengan
kepercayaan, rasionalitas, lebih bersifat umum dan terdapat perencanaan dan
rasionalitas para pelakunya. Pada dasarnya konsep modernisasi ekologi
mengisyaratkan tentang ”rasionalitas konsumen” tentang kepercayaan konsumen
dan dalam pelaku secara makro mempunyai kepercayaan yang bersifat umum.
Dalam era modernisasi sekarang ini, perhatian lebih akan lingkungan
menjadi menarik dikaji secara sosiologi, politik dan jurnalis yang memfokuskan
kepada konsepnya Ulrich Beck tentang “masyarakat beresiko” (Strandbakken;
Scheer dan Rubik, 2005), ide dasar dari masyarakat beresiko adalah karena
keprihatinan tentang manusia-pembuat resiko. Itu tidak berarti bahwa kita hidup
dalam bahaya saat ini dibanding dengan masa lampau. Hal ini karena disebabkan
pada masyarakat pre-modern bahwa takut akan kelaparan, takut akan bencana
alam, penyakit wabah dan binatang buas, dimana seperti sekarang ketakutan akan
produk yang mengandung racun, pencemaran radiasi nuklir, merkuri, dsb.
30 Joop de Boer (2003), mengkategorikan bahwa sebetulnya eco-label itu
tidak ada hubungan secara langsung dengan struktur organisasi. Sehingga dalam
konsepnya de Boer, menggunakan istilah skema keberlanjutan labeling (labeling
untuk menggambarkan perbedaan label). Eco-label itu terkait dengan perspektif
privat, seperti kesehatan lingkungan, juga terkait dengan perspektif publik, seperti
nilai keanekaragaman dan keadilan sosial. De Boer mengatakan “it refers to long
term balances between ecological, economic, and social processes at the level of
the society as a whole and makes it difficult to fully specifi what sustainability
ideally means at the level of particular product, production processes or
producer” (de Boer 2003, dalam Gottberg 2008).
Bahwa eco-labelling melekat pada sikap dan tingkah laku, Azjen dan
Fishbein (1980); dalam Gotberg (2008), menyatakan bahawa eco-labelling terikat
psikologi ekonomi dan disiplin pasar, dimana perspektif dan paradigma masih
memliki peran penting dalam kajian eco-labelling. Elemen utama dalam
pendekatan model teori ini adalah penjelasan dari tingkah laku yang mempunyai
dua dimensi yaitu: sikap yang mengarah ke tingkah laku dan norma-norma secara
subyektif. Teori ini berangkat dari aksi-aksi yang berkaitan dengan sosial di
masyarakat dengan kontrol dari kemauan sosial.
Pada dasarnya ecolabelling perikanan mulai dibicarakan pada awal tahun
1990-an di Eropa. Hal ini karena melihat kondisi perikanan yang terus mengalami
penurunan akibat dari adanya overfishing dan penangkapan yang bersifat
destruktif. Sebelum dikonvensikan dalam peraturan PBB, ecolabelling perikanan
diinisiasikan oleh WWF dan Unilever yang berkantor di Inggris. Penerapan
ecolabelling perikanan saat ini sudah terjadi di negara-negara maju, seperti
negara-negara Eropa Barat. Sebagai masayarakat yang modern, tentunya
perlindungan terhadap konsumsi menjadi perhatian yang utama.
Gottberg,
(2008), menjelaskan ada dua skema penerapan kebijakan ecolabelling perikanan
dalam suatu negara, yaitu ecolabelling mandatory dan ecolabelling voluntary.
Ecolabelling mandatory adalah ecolabelling yang menjadi sebuah kewajiban
dalam sebuah negara dimana, negara melalui kebijkannya mengontrol perusahaan
perikanan untuk menerapkan praktek standarisasi ecolabelling. Sedangkan
ecolabelling voluntary merupakan ecolabelling yang bersifat sukarela, yang
31 artinya merupakan inisiasi perusahaan menerapkan standarisasi ecolabelling
karena didorong oleh permintaan pasar konsumen.
2.6.
Ekologi Politik Sefood savers Ikan Konsumsi Karang Hidup
Melihat fenomena dinamika komoditas ikan konsumsi karang hidup,
termasuk
kajian
ekologi
politik.
Dinamika
tersebut
mencakup
terjadi
permasalahan sosial, ekologi dan juga ekonomi terjadi di dalamnya. Keterikatan
antar aktor pun menjadi kajian yang penting untuk ekologi politik. Serta
melekatnya sifat trans boundry, merupakan bagian dari spatial geography yang
merupakan ranah kajaian ekologi politik juga. Bryant and Bailey (1997), dalam
bukunya Third World Political Ecology, menyebutkan bahwa kajian ekologi
politik, meliputi tiga aspek, yaitu; (1). Perkembangan dan keberlanjutan
lingkungan di dunia ketiga, (2). Kerangka analisis tentang politicised
environment, (3). Interaksi aktor dalam perubahan lingkungan di dunia ketiga.
Sementara itu Robbins, (2004), bahwa kajian ekologi politik berangkat dari
keempat thesis utama, yaitu tentang marjinalisasi dan degradasi lingkungan
(perubahan lingkungan: kenapa dan bagimana), konflik lingkungan (akses
terhadap lingkungan: siapa dan mengapa), kontrol dan konservasi (kegagalan
konservasi dan tereklusi hak secara politik dan ekonomi: mengapa dan
bagaimana), serta identitas lingkungan dan pergerakan sosial (perubahan
lingkungan: oleh siapa, dimana dan bagaimana).
Tabel. 2.1. .Empat Thesis Ekologi Politik, disadur dari Paul Robbins, 2004.
Thesis
What is explained?
Relevance
Degradation and
Environment change; why and Land degradation, long
Marginalization
how?
balmed on marginal people, is
put in its larger political and
economics context.
Environmental conflict
Environmental access: who Environmental conflict are
and why?
shown to be part of larger
gendered, classed, and raced
struggles and vice versa
Conservation and control
Conservation failures and Ussually viewed as benign,
political/economic exclusion: efforts at environmental
why and how?
conservation are shown to
have pernicious effects, and
sometimes fail as result.
Environmental identity and Social upheaval: who, where, Political and social struggles
social movement
and how?
are shown to be linked to
basic issues of livelihood and
environment protection
32 Dapat disimpulkan dari thesis tersebut, bahwa permasalahan dinamisasi ikan
konsumsi karang hidup, adalah termasuk kajian ekologi politik, selain melekat
pada aspek sosial, ekologi, ekonomi dan politik, juga melekat pada aspek geografi
(transboundary), aktor yang berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya,
terjadinya kerusakan lingkungan, kemarjinalisasian grass root, terjadi kegagalan
konservasi, dan munculnya gerakan sosial dan identitas lingkungan, yaitu bentuk
konservasi sumberdaya melalui instrumen ecolabelling.
Byrant and Bailey (1997), bahwa kajian ekologi politik adalah kajian
tentang premis sumberdaya alam, didalamnya terdapat perubahan ekologi
sumberdaya alam yang terkait dengan produksi yang merupakan termin proses
politik. Political ecologist “accept the idea that cost and benefits associated with
environment change are for most part distributed among actor unequally
reinforces or reduces existing social and economic inequalities, political
implications in terms of the altered power of actors in realtion to other actors.
Dalam perdebatan keilmuan ekologi politik, Forsyth (2003), menjelaskan
bahwa “ekologi politik” merujuk pada kajian sosial dan politik, yang didalmnya
terdapat persoalan lingkungan, penyebab, proses dan pengelolaan lingkungan. Hal
ini mengungkapkan bahwa kaian ekologi politik bukan hanya kajian ekologi
semata, bahkan beberapa ahli ekologi politik menjelaskan bahwa kajian ekologi
politik adalah kajian yang mendekatkan terhadap bidang ilmu ekologi di dalam
ekologi politik.
Forsyth (2003), memetakan kajian ekologi politik menjadi empat definisi.
Pertama, bahwa ekologi politik menjelaskan tentang permasalahan lingkungan
seperti fenomena interaksi lingkungan biofisik, kebutuhan manusia, dan sistem
politik dan ekonomi politik yang menjembatani kebutuhan manusia akan
lingkungan biofisik tersebut. Kedua, bahwa ekologi politik adalah bentuk respon
dari gerakan Deep Green Environmentalism dan kritik terhadap modernisasi dan
kapitalisme. Ketiga, bahwa penggunaan “ekologi” merupakan proses perubahan
interkonesi dari hubungan politik. Artinya bahwa kajian ekologi politik, diartikan
sebagai hubungan antara organisme atau kelompok dari organisme di dalam
lingkungannya. Hal ini mengindikasikan terdapat sistem politik yang berhubungan
dengan sosial dan lingkungan. Keempat, bahwa kajian ekologi politik
33 didefinisikan sebagai kajian kritis analisis Marx tentang materialism, keadilan,
dan sumberdaya alam dalam masyarakat kapitalis, yang menekankan pada
pembagian distribusi sumberdaya alam dan hak pengelolaan serta pemanfaatan.
Bryant, 1992; (dalam Forsyth, 2003), menelaskan bahwa ekologi politik
adalah ilmu yang di dalamnya, terdapat kekuatan politik, kondisi dan ramifikasi
perubahan lingkungan, yang mana di dalamnya terdapat kajian dampak
lingkungan dari sumber yang berbeda, lokasi secara spesifik atas perubahan
lingkungan tersebut, dan dampak dari perubahan lingkungan sebagai akibat dari
aspek sosial-ekonomi dan politik. Lebih lanjut, Bryant dan Bailey (1997),
menyimpulkan, bahwa “ekologi politik” adalah kajian ilmu yang memfokuskan
kajian interkasi antar aktor, baik negara, masayarakat, perusahaan maupun LSM,
dan lingkungan fisik dimana disebut sebagai “politik lingkungan” sebagai kajian
secara umum yang menyikapi kebijakan negara dalam pengelolaan sumberdaya
ligkungan fisik.
Forsyth (2003), dalam bukunya “Critical Political Ecology: the politics of
environmental science”, menjelaskan dari tujuan kritik terhadap ekologi politik
adalah memfokuskan kembali ekologi politik sebagai kritik terhadap kapitalisme
pengelolaan sumberdaya yang menyebabkan degradasi lingkungan. Kritik
terhadap hubungan kapitalisme dan degradasi lingkungan yang merupakan bagian
dari permasalahan sosial dan lingkungan di dunia ketiga.
2.7. Kelembagaan Pengelolaan Sumbedaya Perikanan
Melihat fenomena dinamisasi komoditas ikan konsumsi karang hidup,
termasuk kajian ekologi politik. Dinamisasi tersebut mencakup terjadi
permasalahan sosial, ekologi dan juga ekonomi terjadi di dalamnya. Keterikatan
antar aktor pun menjadi kajian yang penting untuk ekologi politik. Serta
melekatnya sifat trans boundry, merupakan bagian dari spatial geography yang
merupakan ranah kajaian ekologi politik juga. Bryant and Bailey (1997), dalam
bukunya Third World Political Ecology, menyebutkan bahwa kajian ekologi
politik, meliputi tiga aspek, yaitu; (1). Perkembangan dan keberlanjutan
lingkungan di dunia ketiga, (2). Kerangka analisis tentang politiciseid
environment, (3). Interaksi aktor dalam perubahan lingkungan di dunia ketiga.
34 Sementara itu Robbins, (2004), bahwa kajian ekologi politik berangkat dari
keempat thesis utama, yaitu tentang marjinalisasi dan degradasi lingkungan
(perubahan lingkungan: kenapa dan bagimana), konflik lingkungan (akses
terhadap lingkungan: siapa dan mengapa), kontrol dan konservasi (kegagalan
konservasi dan tereklusi hak secara politik dan ekonomi: mengapa dan
bagaimana), serta identitas lingkungan dan pergerakan sosial (perubahan
lingkungan: oleh siapa, dimana dan bagaimana). Dapat disimpulkan dari thesis
tersebut, bahwa permasalahan dinamisasi ikan konsumsi karang hidup, adalah
termasuk kajian ekologi politik, selain melekat pada aspek sosial, ekologi,
ekonomi dan politik, juga melekat pada aspek geografi (transboundary), aktor
yang berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya, terjadinya kerusakan
lingkungan, kemarjinalisasian grass root, terjadi kegagalan konservasi, dan
munculnya gerakan sosial dan identitas lingkungan, yaitu bentuk konservasi
sumberdaya melalui instrumen responsibility fisheries.
Dalam kajian sosiologi, pengertian institusional mencakup aspek yang luas
dan dalam, yang meliputi aspek kelentingan (resilient aspect) dari struktur sosial
(Scott, 2004). Scott (2004), medifinisikan institusional sosial sebagai berikut:
•
Institusi adalah struktur sosial dimana mempunyai keterkaitan dengan
kelentingan struktur masyarakat yang tinggi;
•
Institusi terdiri dari tiga pilar elemen, seperti cultural cognitive, normative
dan regulative dimana ketiga pilar elemen tersebut sebagai penyusun
sumber pandangan sosial komunitas;
•
Institusi merupakan tranmisi dari berbagai macam tipe, seperti sistem
simbolik, sistem jaringan, rutinitas dan skema sosial yang menjadi
pegangan dalam tingkah laku dalam sosial;
•
Bahwa institusi dijalankan pada berbagai level yuridiksi sosial, dari level
global ke tingkat hubungan individu;
•
Elemen institusional diciptakan, dihilangkan, diadopsi dan beradaptasi
dalam waktu dan wilayah tertentu, sampai elemet tersebut mengalami
peluruhan dan tidak digunakan lagi dalam sistem sosial.
Institusi sosial yang dikemukaan oleh Scott (2004), sangat dipengaruhi
oleh pemikiran ekonomi dan sosial. Hal ini merupakan perpaduan antara ekonomi
35 dan sosial yang didalamnya terdapat keterikatan antar aktor dan kepentingannya
yang berintaksi dalam suatu masyarakat yang dibatasi oleh wilayahnya, sehingga
dikatakan bahwa konsep institusi sosial tersebut melekat pada aktor pada aspek
ekonomi, ekologi dan sosialnya. Menurut Scott (2004), bahwa teori institusi dapat
berkembang dalam berbagai disiplin ilmu. Pada perkembangannya, Tahun 1960
teori instutisional diperkenalkan konsep sistem terbuka dalam studi organisasi dan
ditransformasikan melalui pendekatan yang mementingkan aspek lingkungan
dalam arti luas yang berpengaruh dalam perubahan institusi tersebut. Selanjutnya
dalam perkembangannya Tahun 1970, kajian instistusi dapat dilihat sebagai suatu
sistem produksi (karena menyangkut lingkungan teknis yang terkait dengan sistem
produksi instrumental, kemudian terjadi transformasi input menjadi output) dan
sebagai suatu sistem sosial budaya (sebagai kekuatan lingkungan institusi). Yang
dimaksud Scott (2004), disini adalah bahwa lingkungan tersebut dapat
dikategorikan dalam lingkungan sosial, ekonomi maupuan ekologis itu sendiri.
Kemudian teori institusi bekermbang karena aspek lingkungan yang semakin
komplek, maka teori institusi juga berkembang sesuai dengan perkembangan
kompleksitas lingkungan.
Dalam perkembangannya teori institusi dengan aspek lingkungan sosioekologis, perlu pemahaman bahwa institusi sebagai interaksi manusia dalam
aktivitas sosial kemasyarakatan, perlu memahami apa institusi tersebut,
bagaimana dan mengapa perlu adanya institusi dan apa konsekuensinya apabila
institusi tersebut dijalankan. Dalam kajiannya “sumberdaya bersama dan
keberlanjutan institusional”, Agrawal (dalam The Drama of the Commons, 2002),
menjelaskan kontek sumberdaya milik bersama, menunjukan adanya pengaturan
kepentingan pasar dan kepemilikan negara dalam pengelolaan sumberdaya alam
di wilayahnya dan mekanisme institusional yang berjalan dalam pengelolaan
tersebut. Hal ini menjadi penting, karena institusi pengelolaan sumberdaya
bersama menunjukan bagaimana pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan
interaksi manusia dalam sosial dan ekologi secara global berjalan. Ditambahkan
oleh Ostrom, (2005), bahwa institusi pengelolaan sumberdaya merupakan persepsi
manusia dalam mengelola yang meliputi interaksi struktur dan repetitive
(hubungan timbal balik) antara manusia terhadap sumberdaya yang ada
36 disekitarnya yang berlandaskan pada rules, norm dan strategies. Sedangkan
Bromley (2001), menegaskan bahwa institusi adalah kajian dalam kebijakan
publik, artinya Bromley, memandang secara kolektif dengan istiah yang disebut
sebagai institusi yang merupakan kontruksi sosial dimana di dalamnya terdapat
norms, rule and entitlements merupakan hasil interaksi manusia dengan
sumerdaya alamnya. Perspektif ini memiliki dimensi vertikal dan horizontal.
Dimensi horizontal menekankan kepada hubungan antara manusia dengan
manusia, dan dimensi vertikal menekankan hubungan manusia dengan alamnya
yang merupakan manifestasi hubungan interpersonal atas mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh manusia.
Satria (2009), dalam kajian pengelolaan sumberdaya perikanan (SDP) oleh
masyarakat: visi, batasan dan ruang lingkup, dijadikan alternatif solusi karena
keberhasilannya
memberikan
manfaat
tentang
keberlanjutan
pengelolaan
sumberdaya perikanan dengan menjamin adanya mata pencaharian komunitas
nelayan, kesamaan dalam akses seumerdaya perikanan dan solusi alternatif
penyelesaian konflik pengguna sumberdaya. Merujuk pada Scott 2004; Satria,
2009, ada tiga dimensi dalam institusi pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu:
a. Dimensi normatif. Dimensi ini merupakan sistem nilai yang berkembang
dalam masyarakat sebagai dasar pengelolaan sumerdaya perikanan;
b. Dimensi regulatif. Dimensi ini berisi tentang aturan (norm) tata kelola
sumberdaya
perikanan.
Ruddle
(1999),
dalam
Satria
(2009),
mengidentifikasikan unsure-unsur tatakelola sumerdaya perikanan sebagai
berikut:
•
Batas wilayah : ada kejelasan batas wilayah yang mengandung
sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat;
•
Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang, dalam
dunia perikanan mencakup aturan kapan, dimana, bagaimana dan
siapa yang boleh menangkap ikan;
•
Hak: berisi bundle of right pengguna atas sumberdaya alam.
Menurut Ostrom dan Sclanger (1996) adalah access right,
withdrawal right, management right,
exclusion right, dan
alienation right;
37 •
Pemegang otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang
dibentuk
masyarakat
yang
bersifat
formal/informal
untuk
kepentingan mekanisme pengambilan keputusan.
•
Sanksi: sanksi merupakan indikator berjalannya suatu aturan.
Sanksi mempunyai beberapa tipe, yaitu: sanksi sosial, sanksi
ekonomi, sanksi formal/hukum dan sanksi fisik; dan
•
Evaluasi dan monitoring: terdapat adanya mekanisme evaluasi dan
monitoring oleh masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiendi pengelolaan.
c. Dimensi kognitif. Dimensi ini berisi teknik pengelolaan dan indigenous
knowledge.
Ruddle (2002) dalam Satria (2009), medefinisikan
karakteristik pengetahuan lokal sebagai berikut:
•
Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang
disesuaikan dengan kondisi lokal dan bersifat terperinci;
•
Berorientasi pada hal-hal yang bersifat praktis yang menyangkut
perilaku serta fokus terhadap tipe-tipe sumberdaya dan species;
•
Terstruktur secara kompatible dalam pemaknaan pemanfaatan dan
pelindungan
sumerdaya
alamnya
sebagai
kesadaran
akan
pentingnya konservasi sumberdaya; dan
•
Bersifat dinamis.
Sedangkan Berkes (1999) dan Satria (2009), mengidentifikasikan
karekteristik pengetahuan asli sebagai berikut:
•
Pengetahuan melekat pada budaya lokal;
•
Memiliki dimensi ruang dan waktu;
•
Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek
dan obyek;
•
Komitemen bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan menjadi
tempat yang tidak bias berpindah; dan
•
Tidak menggunakan pendekatan instrumental terhadap alam.
Disadari bahwa sumberdaya perikanan karang hidup merupakan
sumerdaya yang berifat common pool resources yang melekat sifat open access
38 didalamnya. Hasil studi dari Agrawal (dalam The Drama of the Commons, 2002)
menjelaskan institusional keberlanjutan dalam pengelolaan sumerdaya milik
bersama, mempunyai dua tipe permasalahan. Tipe pertama adalah substansi.
Substansi dalam institusi pengelolaan sumberdaya alam kurang mendapat
pemahaman dari peneliti sumberdaya alam. Kebanyakan dari mereka hanya
memfokuskan bahwa pengaturan sumberdaya alam menghasilkan sifat yang
berdaya efesien, terdapat alokasi kesejahteraan, dan bersifat konservasi
berkelanjutan. Kekeliruan yang terjadi, bahwa dalam pengaturan dan pengelolaan
sumberdaya alam membutuhkan adanya biaya. Sehingga kajian lintas sektoral
dalam aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kontek budaya (indigenous knowledge)
perlu dimasukan dalam kajian keberlanjutan institusional dalam pengelolaan
sumberdaya milik bersama. Tipe kedua adalah berkaitan dengan dasar metode
dalam kajian keberlanjutan instutsional dalam pengelolaan sumberdaya alam,
bahwa kebanyakan para peneliti fokus dalam mengkritik dari segi kelembagaan
organisasi, kemampuan adaptasi dan keberlanjutan sumberdaya milik bersama,
yang sebetulnya belum bisa membangun perkembangan konsep teori untuk
keberlnajutan sumberdaya milik bersama. Seharusnya metode dasar dalam kajian
keberlanjutan institusi mencakup faktor-faktor utama keberlanjutan, kesetaraan
dan keefesiensian institusi dalam pegelolaan sumerdaya milik bersama yang
sebetulnya bersifat relatif sebaliknya.
Ostrom (1995); Satria (2009), mengantarkan beberapa indikator kerja
institusi pengelolaan sumberdaya perikanan, indikator tersebut adalah:
•
Clearly Defined Boundaries. Kejelasan batas wilayah: batas wilayah
dirumuskan
secara
jelas,
sehingga
setiap
orang
mudah
untuk
mengidentifikasi dan mengenalnya;
•
Proprotion Equivalence Between Benefits and Costs. Kesesuain aturan
dengan kondisi lokal: memiliki aturan-aturan yang tepat untuk
kepentingan kelestarian sumberdaya, perlindungan ekonomi lokal, serta
penguatan sistem sosial dan aturan-aturan tersebut mudah ditegakkan dan
mudah diawasi;
•
Collective Choice Arrangments. Aturan disusun dan dikelola oleh
pengguna sumberdaya: masyarakat mamapu membuat aturan yang
39 didasarkan atas pertimbangan saitifik, pengetahuan lokal, maupun kearifan
lokal melalui mekanisme lembaga lokal; Adanya kelembagaan lokal yang
berfungsi mengatur mekanisme pengelolaan, membuataturan, merevisi
aturan serta mekanisme pengambilan keputusan;
•
Monitoring. Pelaksanaan pengawasan dihormati masyarkat: masyarakat
memiliki instrument danmekanisme pengawasan sendiri dengan para
pelaku pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat;
•
Graduated Santion. Berlakunya sanksi: ukuran keberhasilan suatu aturan
adalah tegaknya sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi
administratif, maupun sanksi ekonomi.
•
Conflict Resolution Mechanism. Mekanisme penyelesaian konflik:
masyarakat memiliki mekasnisme penyelesaian konflik di luar mekanisme
formal;
•
Minimal Recognition of Rights to Organize. Kuatnya pengakuan dari
pemerintah: pengakuan dari pemerintah dapat berbentuk undang-undang,
peraturan pemerintah atau peraturan daerah; dan
For resources that are part of larger systems:
•
Nested Enterprises. Adaya ikatan atau jaringan degan lembaga luar.
Jaringan dengan dunia luar yang dimaksud adalah baik jaringan antar
komunitas (bridging social capital) maupun dengan di luar komunitas
seperti akademis, LSM, maupun swasta (lingking social capital).
2.8.
Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran
Komoditas ikan konsumsi karang hidup melanggengkan supply chain
perdagangan karena ada aktor produksi dan distribusi yang digerakkan oleh
kepentingan pasar. Ketika permintaan pasar semakin meningkat, menyebabkan
terjadinya penangkapan yang melebihi quota tangkapan. Karena sumberdaya
tereksploitasi secara terus menerus, maka terjadi penurunan stok ikan. Kelangkaan
terjadi disebabkan karena adanya pola penangkapan yang merusak ekosistem
terumbu karang dengan penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem seperti
bom dan cyanide. Ketika daya dukung lingkungan sudah tidak mampu
40 memulihkan secara alami, timbulah kesadaran upaya konservasi sumberdaya ikan
konsumsi karang hidup melalui upaya seafood savers.
WWF
bekerjasama
dalam
mekanisme
seafood
savers
untuk
mengupayakan produk UD. PMB. dihasilkan dengan cara yang sesuai dengan
prinsip keberlanjutan yang tercantum dalam standar fisheries improvement
management sesuai dengan standar Marine Stewardish Council. Upaya WWF
sendiri adalah dengan tujuan mengkonservasi sumberdaya ikan konsumsi karang
hidup dan terumbu karang, karena sudah mengalami kerusakan yang parah.
Sampai saat ini UD. Pulau Mas Bali dalam mengimplementasikan mekanisme
seafood savers baru dalam tahap conditioning. Tahap pengkondisian terhadap
komunitas, agar bias menerima dengan perspektif mereka, akan pentingnya
konservasi sumberdaya ikan konsumsi karang hidup untuk keberlanjutan sehinga
bisa menopang sistem keberlanjutan livelihood masyarakat.
Dalam kegiatan produksi, terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan
konsumsi karang hidup secara terus menerus. Dalam jaringan perdagangan yang
didalamnya terdapat interaksi antar aktor produksi, distribusi dan konsumsi terjadi
banyak permasalahan diberbagai lini, mulai dari lini lokal, reginal dan global.
Setidaknya ada 5 faktor komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat dikatakan
dinamis:
Pertama, komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah kegiatan lintas
batas teritori (transboundary), artinya adalah bahwa komoditas ikan konsumsi
karang hidup diproduksi secara lokal dan dikonsumsi secara ekspor. Hal ini
menyebabkan banyak terjadinya permasalahan dalam penggunaan kebijakan
pengiriman ekspor lintas negara. Mulai dari tumpang tindihnya kebijakan yang
digunakan, ketidakjelasan aturan yang dipakai sehingga memunculkan fenomena
pemburu rente yang dimanfaatkan oleh oknum pejabat pemerintah yang
melancarkan kegiatan produksi-distribusi dalam rantai perdagangan (supply
chain) komoditas ikan konsumsi karang hidup.
Kedua, terdapat ikatan hutang dalam sistem patron-client dalam usaha
produksi, aktor produsen (grass root), memanfaatkan sumerdaya milik bersama
yang memiliki/melekat sifat open access dalam pemanfaatannya. Hal ini
menyebabkan terjadiya upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut secara terus
41 menerus untuk memenuhi permintaan konsumen akan komoditas tersebut. Dalam
menjual komoditas tersebut, produsen berjejaring dengan pedagang (middle man)
dalam ikatan rantai perdagangan dimana ada aturan main yang disepakati oleh
kedua aktor tersebut. Middle man menguasai produksi dan mengetahui akses
kemana harus menjual untuk kepentingan konsumen. Sehingga dapat dikatakan
bahwa middle man adalah pengguna sumberdaya ikan konsumsi karang hidup
milik bersama yang bersifat bebas karena tidak berkaitan langsung dengan proses
produksi (penangkapan).
Ketiga, pola jaringan komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah
komoditas (barang) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, menimbulkan
perdagangan yang melibatkan produsen, distributor dan konsumer, yang
mempertahankan komoditas tersebut dalam keadaan hidup dan segar mulai dari
proses produksi penangkapan, pengiriman distribusi jaringan perdagangan sampai
pada tahap sebelum dikonsumsi masih terjaga. Usaha mempertahakan kondisi
tersebut
dibutuhkan
perlakuan
ekstra
penggunaan
bahan-bahan
kimia,
multivitamin, antibiotik, obat kuning sampai menggunakan obat bius, untuk
mempertahankan kondisi hidup ikan konsumsi karang hidup dalam pengiriman
jarak jauh dan waktu lama.
Keempat, komoditas tersebut menyebabkan terjadinya eksploitasi dalam
penangkapan dengan menggunakan cara penangkapan yang merusak. Hal ini
terjadi karena adanya permintaan pasar yang meningkat, kemudian tidak
diimbangi dengan upaya konservasi yang berkelanjutan. Dalam kondisi
penangkapan berlebih dengan menggunakan bahan yang tidak ramah lingkungan
seperti bom dan bius, menjadikan ekosistem karang sebagai habitat ikan konsumsi
karang hidup mengalami kerusakan. Penangkapan berlebih dengan tidak
memperhatikan
keramahan
lingkungan
dan
kriteria
spesies
komoditas,
menyebabkan terjadinya kelangkaan ikan. Menurunnya stok ikan di alam,
membuat kenekatan nelayan mencari daerah fishing ground yang baru.
Kelima, Seafood Savers muncul sebagai reaksi atas kerusakan alam yang
terjadi dan menurunnya persedian ikan di alam. Reaksi tersebut muncul sebagai
gerakan dari permintaan pasar yang ingin mendapatkan sertifikasi ekolabel
Marine Stewardish Council. Seafood Savers merupakan bentuk globalisasi
42 pengelolaan sumberdaya perikanan. Penerapan Seafood Savers merupakan upaya
global dalam memerangi dan menurunkan angka praktek IUU Fishing.
Penggunaan bahan kimia, sangat membahayakan kepentingan konsumen dan juga
produsen. Proses penangkapan yang menggunakan alat tidak layak dalam menjaga
keselamatan layak dipertimbangkan dalam ecolabelling ini. Sehingga dari segi
perlindungan aktor grass root adalah bahwa Seafood Savers adalah sebagai
penjamin keselamatan nelayan penangkap karena mengatur dilarangnya
penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan dan penangkapan secara liar
di alam.
Dalam hal ini menjadi penting untuk mempelajari dan melihat praktek
Seafood Savers, yang terjadi pada komunitas maupun pada pasar. Pendekatan
aktor untuk mengetahui keefktifan institusi Seafood Savers, sangat diperlukan.
Dengan pendekatan komunitas dan juga pasar, apakah Seafood Savers, dapat
menjadikan instrumen kolaborasi manajemen sumberdaya ikan konsumsi karang
hidup dalam memepertemukan aspek populis dan aspek pasar. Sehingga
diharapkan institusi Seafood Savers bias menjadi instrumen yang berpihak pada
masyarsakat (populis). Kajian end to end
antar aktor sangat penting dalam
penelitian ini, mengingat kebijakan seafood savers komoditas ikan konsumsi
karang hidup begitu komplek siklus perdagangannya, yang melibatkan end actor
nelayan dan end actor konsumen.
Analisis kelembagaan sumberdaya milik bersama merujuk dari konsep dan
teori Elinor Ostrom, 1990; 1994; 2005 dan Arif Satria, 2006. Ostrom, 1994;
Satria 2006 mendefinisikan kelembagaan sebagai seperangkat aturan kerja yang
melekat pada aktor, dimana mempunyai kewenangan membuat/merencanakan
keputusan, aktifitas apa dalam pemanfaatan sumberdaya yang boleh dilakukan,
prosedur aturan apa saja yang harus ditaati, informasi apa yang harus disampaikan
dan tidak disampaikan, ketentuan-ketentua sanksi apakah yang dikenakan
terhadap aktor, baik individual maupun koleksi apabila tidak mengikuti
kesepakatan bersama. Sedangkan menurut Ruddle, 1999; Satria, 2006,
menelaskan bahwa kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam mempunyai
beberapa aspek, yaitu: (1). Batas teritori yang jelas, (2). Aturan, (3). Kewenangan,
(4). Hak, (5). Sanksi, dan (6) Monitoring.
43 Dalam penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji bekerjanya
instrumen
Seafood
Savers
yang
diterjemahkan
menjadi
kelembagaan
keberlanjutan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup, dimana di dalamnya
memuat aturan-aturan keberlanjutan lingkungan secara bio-fisik, mengikat antar
aktor yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, mengikat dalam aturan
komunitas, aturan pasar yang nantinya diharapakan dapat sebagai bahan masukan
dalam evaluasi tentang bekerjanya kelembagaa tersebut. Selain itu dikaji pula
bagaimana pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdapat di Kepulauan
Wakatobi. Kepulauan Wakatobi mempunyai status sebagai Taman Nasional sejak
Tahun 1996 melalui keputusan Menteri Kehutanan. Dalam penelitian ini penting
untuk mengetahui pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang terjadi di
kawasan konservasi dan masuknya instrumen ecolabelling seafood savers.
Sehingga dapat diketahui pengelolaan seperti apa yang berjalan dan yang
seharusnya berjalan di Kepulauan Wakatobi untuk sumbedaya perikanan
konsusmi karang hidup yang mempunyai habitat di terumbu karang.
44 Kepentingan Negara
Sistem Zonasi
Taman
Nasional
Kepentingan Pasar
Keberlanjutan
Perikanan
Kepentingan
Komunitarian
1.Proses Konsumsi:
-Interaksi aktor;
-Pola Kebijakan.
Seafood Savers
2.Proses Distribusi:
-Interaksi aktor;
-Pola Pemasaran
3.Proses Produksi:
-Interaksi aktor
-Pola penangkapan;
Pola Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan
dalam Kawasan
Konservasi
Dampak :
1. Sosial:
-Interaksi aktor:
-Jaringan Penangkapan;
-Jaringan Pemasaran/Distribusi.
2. Ekonomi:
-Modal penangkapan;
-Ikatan hutang
3. Ekologi:
-Penggunaan teknologi;
-Faktor eksternal.
4. Kabijakan:
-Jaringan Pengaman
Stakeholder:
-Negara; -Komunitas; -Pasar; -NGO
Sumberdaya Perikanan
Konsumsi Karang Hidup
dalam Kawasan Konsevasi
Gambar 2.1. Bagan alir kerangka pemikiran peneltian.
45 2.9.
Hipotesis Pengarah
Terdapat hipotesis utama guna menjawab pertanyaan penelitian, yaitu
“apabila mekanisme
Seafood Savers pada komoditas ikan konsumsi karang
hidup diterapkan, bagaimana pelaksanaannya di lapangan dan dampaknya
terhadap proses produksi, distribusi dan konsumsi, mengingat bahwa proses
produksi dan distribusi komoditas tersebut erat dengan berbagai masalah disetiap
lini, baik lini lokal (produksi), lini regional (distribusi) dan lini global (konsumsi)
dan bagaimana relasi aktor pada tiap level, baik produksi-middle man dan
konsumen. Seafood Savers adalah instrumen pengelolaan sumerdaya perikanan
karang
hidup
dan
bagaimana
bentuk
kolaborasi
manajemen
yang
mempertemukan kepentingan komunitas nelayan dengan kepentingan pasar?”.
Selain itu, terdapat hipotesis pengarah untuk menjawab dua pertanyaan penelitian
yang diajukan. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, terdapat beberapa
hipotesis kerja sebagai berkut:
•
”Seafood savers merupakan kelembagaan yang berjalan secara efektif
pada level komunitas dan pasar”;
•
“Seafood savers merupaka instrument baru yang menjadikan kekurangan
hubungan dan jaringan produksi dan distribusi antar aktor menjadi lebih
dinamis”; dan
•
“Bila relasi aktor produksi-distribusi-konsumsi tidak setara, Seafood
Savers dapat menjadi alternatif yang mengakomodasi kepentingan
komunitas (produksi) dan kepentingan pasar (distribusi dan konsumsi)”.
2.10.
1).
Konsep Penting Penelitian
Komoditas ikan konsumsi karang hidup: ikan hasil tangkapan nelayan di
alam yang merupakan ikan karang hidup yang terjaga dalam kondisi hidup
mulai dari penangkapan di alam sampai pada proses konsumsi untuk dapat
disajikan dalam bentuk yang segar. Produksi tangkapan nelayan tersbut
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yang diperjualbelikan melalu aktoraktor jaringan perdagangan.
3).
Komunitas nelayan ikan konsumsi karang hidup: Nelayan ikan konsumsi
karang hidup yang mempunyai hak dan kewajiban yang melekat pada peran
dan status pada masing-masing aktor (pelaku) dalam interaksi sosial. Dalam
46 struktur sosial ikan konsumsi karang hidup ada hak dan kewajiban, sebagai
nelayan dan sebagai bos.
4).
Produksi dan distribusi: produksi adalah sebagai pelaku yang memproduksi
sebuah komoditas, dalam hal ini adalah nelayan sebagai penangkap ikan
konsumsi karang hidup, dan distribusi adalah pelaku distribusi dari
komoditas yang berhubungan dengan jaringan pemasaran komoditi ikan
konsumsi karang hidup.
6).
Kerusakan dan kelangkaan sumberdaya perikanan: Kerusakan habitat hidup
sumberdaya perikanan sebagai akibat dari adanya penangkapan berlebih
dengan
menggunakan
alat
penangkapan
yang
merusak,
sehingga
menyebabkan terjadinya kelangkaan sumberdaya perikanan sebagai akibat
dari menurunnya stok ikan.
7).
Permintaan konsumen pasar: bentuk dorongan pasar akan kebutuhan
konsumen terhadap sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup.
8).
Seafood savers: instrumen pengelolaan sumberdaya perikanan yang ramah
lingkungan dengan bertujuan mengupayakan keberlanjutan sumberdaya dan
keberlanjutan livelihood masyarakat pesisir. Seafood savers merupakan
bridging mechanism sebagai upaya untuk mengurangi adanya dampak IUU
Fishing.
9).
Institusional pengolahan sumberdaya: kajian studi tentang institusional yang
terkait dengan pengolahan sumberdaya. Dalam kajian tersebut aspek norm,
rule, entitle dan strategy masayarakat menjadi pilar penting.
10). Kolaborasi manajemen: pengelolaan sumberdaya dimana melibatkan
masyarakat lokal beserta institusinya dalam peran serta memberikan
keputusan dan bertanggung jawab akan keberlanjutan sumberdayanya;
membuat keputusan siapa, kapan dan dimana pengguna sumberdaya boleh
mengakses sumberdaya; serta memberikan keuntungan yang sepadan dalam
kontek persetujuan pengaturan sumbedaya alam bersama pemerintah
11). Pendekatan komunitas: sebuah studi dimana aspek komunitas menjadi kajian
yang mendalam dalam rangka keberpihakan terhadap masyarakat (ideologi
populis).
47 12). Pendekatan pasar: sebuah studi dimana aspek pasar dilihat dalam
hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan (market driven to
sustainable fisheries) (ideologi pasar).
48 
Download